Anda di halaman 1dari 6

Pendidikan Kewarganegaraan

[Pertemuan 15]

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

ini Materi Tambahan dari Pemerintah untuk Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola
administrasi.

Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari
kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik.

Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum, pengertian korupsi dipisahkan
dari bentuk pelanggaran hukum lainnya.

Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan
publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional.

Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga organisasi internasional seperti PPB
memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia.

Dasar atau landasan untuk memberantas dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian
korupsi itu sendiri.

Sejarah Korupsi

Korupsi di Indonesia sudah „membudaya‟ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde
Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas
korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi

korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan.

Pada bagian ini dibahas mengenai pengertian korupsi berdasarkan definisi-definisi umum dan pendapat
para pakar.
A. Definisi Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster
Student Dictionary : 1960).

Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin

tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda).

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri
dan sebagainya

2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya;
dan

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.

Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan
tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk,
menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, menyangkut

faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah
kekuasaan jabatan.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi,
perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Subekti dan
Tjitrosoedibio : 1973).

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang
berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi
Hartanti: 2008).
B. Bentuk - Bentuk Korupsi

- Kerugian Keuangan Negara

- Suap Menyuap

- Penggelapan menggunakan jabatan

- Pemerasan dlm Departemen/Kementrian

- Perbuatan Curang

- Gratifikasi

- Benturan kepentingan dalam pengadaan alat/bahan

C. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi

Faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua. Yaitu diantaranya faktor internal dan faktor eksternal, yang
masing-masing faktor tersebut memiliki beberapa poin-poin:

Faktor internal

Yang menjadi penyebab akibat terjadinya korupsi pada faktor internal adalah :

- Sifat rakus atau tamak yang dimiliki oleh manusia.

Pada sifat rakus tersebut artinya manusia tidak mudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Mereka
cenderung merasa kurang dengan apa yang mereka miliki dan hal tersebut akan mendorong manusia
tersebut untuk melakukan korupsi.

- Gaya hidup yang konsumtif.

Gaya hidup yang konsumtif yaitu dalam segi kehidupan mereka sehari-hari berlebihan, atau dapat disebut
juga dengan gaya hidup yang boros. Gaya hidup yang semacam ini akan mendorong mereka untuk
melakukan korupsi karena apabila dari penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup
mereka yang boros.

- Moral yang kurang kuat.

Faktor internal yang menyebabkan korupsi salah satunya yaitu akibat moral manusia yang kurang kuat.
Artinya moral yang mereka miliki sangat kurang dan mereka lebih mementingkan kepentingan mereka
sendiri.
Faktor eksternal

Penyebab korupsi dari faktor eksternal antara lain:

- Politik

Faktor politik mempengaruhi terjadinya korupsi karena pada dasarnya politik sendiri berhubungan dengan
kekuasaan. Artinya siapapun orang tersebut pasti akan menggunakan berbagai cara, bahkan melakukan
korupsi demi mendapatkan kekuasaan tersebut. Faktor politik terbagi menjadi dua yaitu kekuasaan dan
stabilitas politik.

- Hukum

Pada faktor hukum dapat dilihat dari sistem penegakan hukum yang hanya pro pada pihak-pihak tertentu
saja yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Faktor hukum juga dibagi menjadi dua yaitu
konsistensi penegakan hukum dan kepastian hukum.

- Ekonomi

Faktor ekonomi juga salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari
apabila gaji atau pendapatan seseorang tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Faktor ekonomi juga terbagi menjdai dua yaitu gaji atau pendapatan dan sistem
ekonomi.

- Organisasi

Faktor organisasi memiliki beberapa aspek yang menyebabkan korupsi , diantaranya yaitu :

- Kultur atau budaya

- Pimpinan

- Akuntabilitas

- Manajemen atau sistem

D. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

Banyak sekali hambatan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih bila korupsi sudah secara sistemik
mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat di sebuah negara.

Beragam cara dicoba, namun praktek korupsi tetap subur dan berkembang baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya.

Kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu tidak boleh menyurutkan keinginan semua pihak untuk
memberantas korupsi. Perlu dipahami bahwa tidak ada satu konsep tunggal yang dapat menjawab
bagaimana korupsi harus dicegah dan diberantas. Semua cara, strategi dan upaya harus dilakukan dalam
rangka memberantas korupsi.
Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik

kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :

1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);

3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
mass media (influencing views of society on crime and punishment / mass media) (atau media lainnya
seperti penyuluhan, pendidikan dll).

Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2
(dua). yakni melalui penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar
hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal).

Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih
menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan).

Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas (Nawawi Arief : 2008).

Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan
korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki
Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi; tambahan dari penulis).

Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah
yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief „memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya politik
kriminal‟.
Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan
menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.

Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang
dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat
dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC : 2004) .

1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi

2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik

3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

4. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum

5. Monitoring dan Evaluasi

6. Kerjasama Internasional

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai