Anda di halaman 1dari 4

BAB 10

PENCEGAHAN KORUPSI
A. BENTUK-BENTUK KORUPSI
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruption,atau “corruptus” dari asal
katanya corrumpere. Dari kata latin inilah kemudian menjelma dalam bahasa Eropa:
corruption,corrupt (Inggris),corruption (Perancis),corruptive atau korruptie (Belada). Secara
harfiah kata “korupsi” (Arab: risywah, Malaysia: resuah) mengandung bayak pengertian
yang bersifat negatif ,yakni kebusukan, kebejatan,ketidakjujuran, dapat di suap, tidak
bermoral,penyimpangan dari kesucian,kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.
Menurut Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk
dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri, atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomin Negara. Lebih ringkas dari defenisi korupsi ini, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefenisiskan korupsi sebagai tindakan yang
merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau
kelompok tertentu.
Secara umum korupsi dapat dikategorikan mejadi dua jenis: korupsi besar (grand
corruption) dan korupsi kecil (petty corruption). Korupsi besar adalah tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi terkait dengan kebijakan publik yang
berhubungan dengan berbagai bidang termasuk Ekonomi. Korupsi jenis ini, sering pula
disebut sebagai corruption by greed yakni korupsi akibat keserakahan pejabat pubik yag
telah berkecukupan secara materiel. Korupsi tingkat ini mengakibatkan kerugian Negara
sangat besar secara financial maupun non financial. Modus korupsi masih dalam kategori
ini, seperti disimpulkan oleh Bank Dunia terjadi dalam bentuk penyuapan kepada:
1. Anggota DPR untuk memengaruhi perundangan.
2. Pejabat Negara untuk memengaruhi kebijakan publik.
3. Penegak hukum untuk memengaruhi putusan kasus-kasus korupsi berskala besar.
4. Pejabat bank sentral untuk memengaruhi kebijakan moneter.
5. Partai politik dalam bentuk sumbangan kampanye ilegal.
Bentuk korupsi kedua, dikenal dengan istilah petty corruption, atau korupsi kecil
sering disebut dengan istilah survival corruption atau corruption by need (korupsi untuk
bertahan hidup atau karena kebutuhan) adalah bentuk korupsi yang dilakukan oleh pegawai
pemerintah untutk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena pendapatan yang tidak
memadai.

B. PEMICU KORUPSI
Ada enam faktor utama penyebab muncul dan berkembangya korupsi di Indonesia:
1. Faktor politik.
2. Faktor yuridis.
3. Faktor budaya.
4. Faktor struktur administrasi pemerintahan.
5. Faktor intensif ekonomi.
6. Faktor historis warisan kolonialisme.

Studi kaitan antara kekuasaan dan korupsi yag dilakukan Lambsdorff, papar Wijayanto
(2009), menunjukkan terdapat tiga hal yang menjadikan seseorang memiliki peluang untuk
melakukan korupsi. Ketiga hal itu adalah: 1. Jika seseorang memiliki kekuatan yang
memberikan wewenang kepadanya ntuk melakukan kebijakan publik dan melakukan
administrasi atas kebijakan tersebut. 2. Adanya manfaat ekonomi (economic rents) akibat
dari kebijakan tersebut. 3. Sistem yang membuka kesempatan bagi pejabat publik untuk
melakukan pelanggaran.

C. DAMPAK KORUPSI
Korupsi telah banyak membuktikan berdampak negatif,langsung maupun tidak
langsung , kepada sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) sekaligus.
Akibat korupsi anggaran pembangunan pendidikan suatu negara melorot drastis. Akibat
dikorupsi pejabat publik,bangunan sekolah ambruk jauh sebelum waktunya, sarana
pembelajaran tidak berkualitas, fasilitas pendidikan kurang bermutu, belum lagi potongan
tidak beralasan jelas atas gaji guru yang dilakukan oleh oknum birokrasi pendidikan telah
menambah daftar panjang budaya korupsi di Indonesia.
Menurut Carada,korupsi dalam skala besar yang melibatkan aparatur negara (state
capture) dalam bidang SDA dan lingkungan terjadi dalam bentuk, antara lain: suap untuk
transfer hak atas tanah, suap untuk sistem pengairan skala besar,suap untuk mendapatkan
akses sektor perikanan; kehutanan; pertambangan dan perdagangan ilegal spesies
tumbuhan dan hewan tertentu. Sementara modus korupsi dalam bidang manajemen
lingkungan dan SDA yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat atas terjadi dalam bentuk
campur tangan dalam regulasi-regulasi tanah, perikanan, kehutanan, kehidupan hutan (flora
dan fauna),pertambangan dan investasi-investasi air publik.

D. GERAKAN ANTI-KORUPSI
Program – program pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pendidikan dan
kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka
mempersiapkan generasi Indonesia sekarang dan mendatang yang anti terhadap korupsi.
Korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Penanggulangan korupsi harus
dilakukan dengan pendekatan komprehensif, sistemis, dan terus menerus. Penanggulangan
tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain melalui:
a) Political will dan political action dari pejabat Negara.
b) Penegakan hokum yang tegas dan berarti.
c) Pembangunan lembaga-lembaga pendukung upaya pencegahan korupsi.
d) Membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip-prinsip
good and clean governance.
e) Memberikan pendidikan antikorupsi baik melalui pendidikan formal maupun
nonformal.
f) Membengun gerakan keagamaan antikorupsi.

E. KORUPSI PENGHAMBAT UTAMA TATA KELOLA PEMERINTAHAN BAIK


DAN BERSIH
Praktik penyelewengan uang dan aset negara ini masih diramaikan oleh praktik
politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah dan pimpinan partai potik
maupun suap menyuap yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pejabat publik dan
aparat penegak hukum.
Hal yang tak kalah penting dari pengawasan terhadap sirkulasi dana partai politik adalah
sikap kritis publik terhadap kemungkinan kedekatan pengusaha dengan tokoh politik.
Kedekatan-kedekatan antara pengusaha dan tokoh partai politik ini banyak terjadi pada
saat menjelang pemilihan umum atau pemilukada. Selain persekongkolan antara
pengusaha dengan elite Parpol dapat berpotensi terganggunya kaderisasi di internal
Parpol, fenomena ini acap kali berakibat pada tindakan korupsi.
Menurut Sugiarto (2009), untuk mencegah praktik penyalahgunaan dana
kampanye setidaknya ada enam cara untuk mengontrol aliran dalam kampanye politik
(Sugiarto, 2009):
Pertama, melakukan pembatasan dana kampanye, sebagaimana dilakukan di banyak
negara. Kedua, pelarangan sumbangan dari luar negeri,sebagai tindakan pencegahan atas
kemungkinan campur tangan asing dalam kebijakan politik setelah pemilu.
Ketiga, pembatasan penggunaan dana kampanye, dalam rangka mengurangi
ketergantungan parpol kepada lembaga donor,perusahaan maupun perorangan,
Keempat, pembatasan waktu kampanye, dalam rangka mengurangi peredaran uang
sepanjang masa kampanye.
Kelima, transparansi publik terkait dengan dana para kandidat dan parpol.
Keenam, memperkuat sumber dana yang berasal dari swadaya masyarakat dengan tujuan
mengurangi ketergantungan parpol terhadap kucuran dana sumber Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN), donator maupun organisasi penyandang dana.

F. KORUPSI DAN NASIB DEMOKRASI INDONESIA


Nasib demokrasi ditentukan oleh sejauh mana budaya korupsi dapat dihilangkan.
Kedengarannya utopis, tapi jika korupsi tetap berlangsung, khususnya didunia politik
nasional, maka nasib demokrasi akan mengalami kesuraman bahkan kebangkrutan
demokrasi. Demokrasi akan berlangsung tanpa etika. Kebijakan publik akan dikorbankan
untuk kepentingan pribadi dan kelompok maupun parpol.

Anda mungkin juga menyukai