Anda di halaman 1dari 15

Strategi pemberantasan korupsi

ABSTRAK
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan fenomenal di Indonesia. Modus
korupsi sangat bervariasi, seperti mark-up, penipuan, penyuapan, pemerasan,
gratifikasi dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk menghilangkan korupsi itu perlu
langkah serius. Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat semua
pihak: pemerintah, penegak hukum dan masyarakat sipil. Tanpa itu, upaya
pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat.

PENDAHULUAN
Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan sosioekonomi dan kejahatan
jabatan yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
bagaikan virus ganas yang mematikan. Virus ini sangat mudah menyerang
birokrasi pemerintah terutama di negara-negara berkembang. Menurut survey
PERC (Politcal and Economic Risk Consultancy), sebuah Biro Konsultasi Risiko
Politik dan Ekonomi yang bermarkas di Hongkong, menunjukkan bahwa dari 13
negara-negara Asia yang disurvey, Indonesai menduduki peringkat ke-3
sebagai negara yang terkorup di Asia setelah Filipina dan Thailand. Adapun
negara di kawasan Asia yang dinilai paling berhasil memberantas korupsi
adalah Singapura, disusul Hongkong, Jepang, Makau, Korea Selatan, Malaysia,
Taiwan, India, Vietnam dan Tiongkok. Indonesia dari dahulu hingga kini
bejuang memberantas korupsi, baik secara prefentif, edukatif, maupun
represif. Bahkan tidak sedikit perangkat hukum yang telah dibuat untuk
menjerat para koruptor. Tetapi mengapa Indonesia masih selalu menjadi
“juara bertahan” dalam soal korupsi? Penulis berpendapat bahwa korupsi
jangan lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi harus digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa.
pengertian korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio sendiri
berasal dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
itulah turun ke bayak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;
Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu cnorruptie. Dari bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Andi Hamzah, 2005:4).
Dalam Kamus Hukum (2002), kata korupsi berarti buruk; rusak; suka menerima
uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara;
menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada
kerabat dan famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini
terdapat “perangsang dengan pertimbangan tidak wajar.” Jadi korupsi,
sekalipun khusus terkait dengan penyuapan dan penyogokan, adalah istilah
umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan
demi mengejar keuntungan pribadi, keluarga dan kelompok.

SEBAB-SEBAB TERJADINYA KORUPSI


Menurut analisis Syed Hussain Alatas (1987:120), korupsi yang melanda
segenap negara dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Dunia II.
Mengutip Laporan Komite Shantanam, ia mengatakan, peperangan yang
meluas yang menguras pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar untuk
pengadaan dan persediaan system telah memberi peluang bagi korupsi.
Bahkan di sebuah negara yang sedikit saja dipengaruhi oleh mobilitas seperti
itu, misalnya Saudi Arabia, korupsi juga ada. Dalam hal Asia Tenggara,
pendudukan Jepang menimbulkan korupsi yang membengkak secara
mendadak. Kelangkaan barang dan makanan bersamaan dengan inflasi yang
tinggi karena lemahnya pengawasan pemerintah, menjadikan korupsi sebagai
jalan menutup kekurangan pendapatan. Jelas bahwa situasi perang melahirkan
masalah korupsi.Faktor lain yang ikut menyebabkan terjadinya korupsi adalah
pemerintahan Kolonial. Korupsi terhadap pemerintahan Kolonial dianggap
sebagai patriotic karena merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah.
Contoh di India, semasa penjajahan Inggris, menipu pemerintah umumnya
dianggap perbuatan patriotic. Mencopoti bola lampu dan perlangkapan lain di
kereta api, melindungi para pelnggar hukum dari tangkapan polisi, semua itu
dianggap sebagai perbuatan yang bertujuan agar pemerintahan Kolonial tidak
merampas uang rakyat India. Setelah kemerdekaan pada tahun 1947,
kebiasaan bersikap tidak jujur kepada pemerintah terus berlanjut.
Demikian juga di Indonesia, mencuri dan merampas harta Kompeni Belanda
dianggap pahlawan karena berarti menyelamtkan harta rakyat pribumi. Namun
konyolnya, kebiasaan serupa masih berlangsung di saat pemerintahan
dipegang orang pribumi sendiri.Sebab-sebab korupsi lainnya ialah
bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji
mereka menjadi sangat kurang. Hal itu selanjutnya mengakibatkan perlunya
pendapatan tambahan.

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI


Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa
disusun dalam tigas tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public Education
dan Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk pencegahan; Publik
Education, yaitu pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi dan
Punishment, adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.
1. Strategi Preventif:
Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang
terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, Uneted Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-langkah untuk mencegah
terjadinya korupsi. Masing-masing negara setuju untuk: “...mengembangkan
dan menjalankan kebijaksanaan anti-korupsi terkoordinasi dengan
mempromosikan partisipasi masyarakat dan menunjukkan prinsip-prinsip
supremasi hukum, manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik,
integritas, transparan, dan akuntable, ... saling bekerjasama
untukmengembangkan langkah-langkah yang efektif untuk pemberantasan
korupsi”. Sebagai upaya pencegahan korupsi, Konvensi menegaskan tujuannya
yaitu, (a) mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna
mencegahdan memerangki korupsi secara lebih efisien dan efektif; (b) untuk
mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan
teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi termasuk dalam
pemulihan aset; (c) Untuk mempromosikan integritas, akuntabilitas dan
manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik.Dalam konteks
Indonesia, langkah-langkah preventif terhadap korupsi dapat dilakukan dengan
cara: (a) Penguatan fungsi dan peran lembaga legislatif; (b) Penguatan peran
dan fungsi lembaga peradilan; (c) Membangun Kode Etik di sektor publik;
sektor Parpol, Organisasi Politik, dan Asosiasi Bisnis; (d) Mengkaji sebab-
sebab terjadinya korupsi secara berkelanjutan; (e) Penyempurnaan Sumber
Daya Manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri; (f)
Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas
kinerja bagi instansi
pemetintah; (g) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian
manajemen; (h) Penyempurnaan manajamen Barang Kekayaan Milik Negara
(BKMN); (i) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; (j) Kampanye
untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.
2. Public Education
Public education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan
untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi ini bisa
dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya,
sosioal, ekonomi, etika, dsb. Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara
garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua:
(a). Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur
pemerintah. Misalnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memasukkan
materi “Percepatan Pemberantasan Korupsi” bagi Peserta Diklat Prajabatan Ex.
Honorer. (Lihat: Peraturan Kepala LAN/5/2007 tentang “Perubahan atas
Peraturan Kepala LAN/2/2007 tetang Pedoman Penyelenggaraan Diklat
Prajabatan CPNS yang diangkat dari Tenaga Honorer). Usaha semacam itu
sangat baik, tetapi amat disayangkan, mengapai hanya peserta Pajabatan ex.
Honorer yang mendapatkan materi pemberantasan korupsi? Bukankah pelaku
korupsi, sebagaimana telah dijelaskan di muka, adalah 90% PNS? Penulis
berpendapat, hendaknya materi “Percepatan Pemberantasan Korupsi”
diberikan bukan hanya kepada CPNS Ex. Honorer, tetapi juga CPNS reguler, dan
lebih-lebih kepada PNS yang sudah menduduki jabatan. Maka LAN harus lebih
inovatif dalam mendesain pembelajaran dan memasukkan mata diklat
“Percepatan Pemberantasan Korupsi” pada diklat-diklat aparatur.
(b) Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-
lembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukan untuk
meningkatkanmoral anti korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep-
konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan
konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral,
dan agama yang diakibatkan korupsi.
3. Strategi Punishment:
Strategi punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku
tindak pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki
dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan
perundang-undangan yang lahir sebelum era eformasi sampai dengan produk
hukum era reformasi; tetapi pelaksanaannya kurang konsisten sehingga
korupsi tetap subur di negeri ini.

Kesimpulan
Korupsi telah menjadi endemy yang sudah mengurat-mengakar dalam
“budaya” masyarakat Indonesia. (Mohon maaf kepada para Budayawan yang
kurang sependapat dengan penisbatan istilah “budaya” di sini). Oleh karena itu
usaha pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat, ikhlas dan
tulus dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Tanpa
komitmen itu, usaha pemberantasan korupsi akan “jalan di tempat”. Kegagalan
gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang
lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering
karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari
kepememimpinan politik. Hal itulah yang kemudian menimbulkan sikap
“skeptis” masyarakat. Masyarakat di lapis bawah akan meniru apa yang
dilakukan oleh para birokrat di level yang lebih tinggi.
2. Rekomendasi
Sekurang-kurangnya, terdapat lima macam kebijakan yang dapat diambil oleh
pemerintah, penegak hukum dan masyarakat untuk memberantas korupsi
secara efektif:a. Mengubah kebijakan publik atau kebijakan administratif
penyelenggaraan negara yang mendorong orang untuk berbuat korup. Seperti
dengan menyederhanakan prosedur administrasi pelayanan publik; memotong
rantai pungli; menata kembali sistem administrasi akuntabilitas keuangan yang
selama ini hanya dilihat dari adanya “hitam di atas putih”. Padahal yang ada
“hitam di atas putih”-nya belum tentu semua benar.
b. Menata kembali struktur penggajian dan insentif yang berlaku pada
lembaga-lembaga pemerintah dengan menaikkan gaji pegawai.
c. Mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan penegakan
hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Harus ada kerjasama
yang sinergis antara lembaga penegak hukum, seperti Polri, Lembaga
Peradilan, dan KPK.
d. Memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan, dengan cara: pertama,
memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor
para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar
lembaga dan mekanisme kontrol bisa berfungsi baik. Ini memerlukan reformasi
struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang
memungkinkan publik untuk dapat melakukan kontrol. Fungsi ini dapat
dijalankan melalui kebebasan pers dan transparansi pemerintah dan birokrasi
dalam proses pengambilan keputusan.
e. Meningkatkan moralitas antikorupsi melalui public education baik secara
formal melalui diklat-diklat antikorupsi kepada aparaur pemerintah, maupun
secara non-formal oleh tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat serta
melalui publikasi dan promosi antikorupsi.
Daftar pustaka
Aditjondro, George Junus, Korupsi kepresidenan; Reproduksi oligarki berkaki tiga,istana,
tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: Elkis, 2006.
Alatas, S.H., Korupsi: sifat, sebab dan fungsi; Penerjemah, Nirwono, Jakarta: LP3ES, 1987.
Bayley, David H., “Akibat-akibat korupsi pada bangsa-bangsa sedang berkembang”, dalam
Bunga rampai korupsi; Penyunting, Muchtar Lubis dan James C. Scott., Jakarta: LP3ES,
1995.Baderani, H., Percepatan pemberantasan korupsi: Bahan ajar diklat Prajabatan
Golongan III Ex. Honorer. Banjarbaru: Badan Pendidikan dan pelatihan Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan, 2007.Fahman, Mundzar, Kiai dan korupsi: Adil rakyat, Kiai dan Pejabat
dalam korupsi. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004.Gunawan, Ilham., Postur korupsi di
Indonesia: Tinjauan yuridis, sosiologis, budaya dan politis. Bandung: Angkasa, 1993.
Hamzah, Jur. Andi., Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.Hehaahua, Abdullah., “Pemberantasan
Korupsi Harus Simultan”, “Kata Pengentar”, dalam Rafi, Abu Fida’ Abdur., Terapi penyakit
korupsi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Jakarta: Republika, 2004.Indonesia.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.
-------, Undang-Undang RI Nomor 201 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-------, Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.
PENANGGULAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT
KERUSAKAN LINGKUNGAN (TAMBANG)
OLEH KORPORASI

PENDAHULUAN
Hukum pertambangan tidak pernah terlepas dari bagian lingkungan hidup
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang
hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri.Dewasa ini, kejahatan lingkungan sering
terjadi di sekeliling lingkungan kita, namun semua itu tanpa kita sadari.
Misalnya saja pada pertambangan, pertambangan merupakanusaha untuk
menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi.Negara
menguasai secara penuh semua kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan
di pergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi
kenyataannya rakyat melakukan kegiatan penambangan dengan tidak
memperhatikan aspek-aspek yang penting di dalamnya, seperti tidak
memperhatikan akibat yang ditimbulkan atau pengaruh denganadanya
pertambangan tersebut (pertambangan liar), namun tidak menutup
kemungkinan pertambangan juga dilakukan oleh perusahaan tambang yang
telah memiliki ijin resmi.Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan
dan bahasa Inggris, yaitu mining law. Hukum pertambangan adalah : "hukum
yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan mineral-
mineral dalam tanah".Definisi ini hanya difokuskan pada aktivitas penggalian
atau pertambangan bijih-bijih. Penggalian atau pertambangan merupakan
usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut
bumi. Didalam defmisi ini juga tidak terlihat bagaimana hubungan antara
pemerintah dengan subyek hukum. Padahal untuk menggali bahan tambang
itu diperlukan perusahaan atau badan hukum yang mengelolanya.
PENGERTIAN
Pengertian Pertambangan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 Ayat (1) Pertambangan adalah
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan
dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang, Ayat (6) Usaha Pertambangan adalah
kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta pascatambang, dan Ayat (19) Penambangan adalah bagian kegiatan
usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan
mineral ikutannya.

PRINSIP – PRINSIP PENAATAN DAN PENEGAKAN HUKUM


LINGKUNGAN
Dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim terlebih
dahulu harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of
environmental policy) yang meliputi:
A. Prinsip Substansi Hukum Lingkungan (Substantive Legal Principles)
B. Prinsip-prinsip Proses (Principles of Process)
C. Prinsip Keadilan (Equitable Principles)

A. Prinsip Substansi Hukum Lingkungan (Substantive Legal Principles)


Beberapa prinsip subtansi hukum lingkungan yang perlu untuk menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
lingkungan hidup adalah: (1) Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan, (2)
Prinsip Kehati-hatian, (3) Prinsip Pencemar Membayar, serta (4) Prinsip
Pembangunan Berkelanjutan.A. 1. Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention
of Harm).Prinsip ini memandatkan adanya penyesuaian aturan ditingkat
nasional dengan aturan dan
standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol kerugian
negara lain akibat suatu kegiatan di dalam negeri. Untuk menghindari kerugian
negara lain tersebut, suatu negara wajib melakukan due diligence, yaitu upaya
yang memadai dan didasarkan pada itikad baik untuk mengatur setiap kegiatan
yang berpotensi merusak lingkungan, antara lain dengan membatasi jumlah
polutan yang masuk ke media lingkungan, salah satunya dengan menetapkan
standar. Prinsip ini berangkat dari pemikiran bahwa masing-masing bagian dari
ekosistem saling tergantung satu sama lain tanpa memandang batas-batas
negara. Untuk menerapkan prinsip ini dapat digunakan beberapa mekanisme
antara lain melalui perizinan (termasuk penetapan syarat operasi dan
konskuensinya apabila melanggar), penentuan standar dan pembatasan emisi,
serta penggunaan best available techniques. Selain itu, penerapan prinsip ini
juga dapat dilakukan dengan memberlakukan penilaian (assessment)awal,
monitoring, dan pemberian informasi atas dilakukannya suatu kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.Prinsip ini penting
dipahami oleh hakim terutama dalam memahami bahwa lingkungan
merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan satu dengan
yang lain tanpa mengenal batas wilayah. Pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan pada suatu wilayah atau komponen lingkungan hidup tertentu akan
mempengaruhi wilayah atau komponen lingkungan hidup lainnya. Dalam
konteks demikian, perizinan lingkungan harus dipandang bukan sekedar
formalitas administrasi belaka akan tetapi merupakan instrument pencegahan
dan control penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian,
makna penting perizinan bukan hanya terletak pada keberadaan formalnya
semata, akan tetapi pada substansi dan implementasinya.
A. 2. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle).
Prinsip ini bersumber dari prinsip 15 Deklarasi Rio : ”Untuk melindungi
lingkungan, prinsip kehati-hatian harus diterapkan di setiap negara sesuai
dengan kemampuan negara yang bersangkutan. Apabila terdapat ancaman
kerusakan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak
dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan penurunan
fungsi lingkungan.” Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian ini, maka hakim
wajib mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi dan memutuskan
apakah pendapat ilmiah didasarkan pada bukti dan metodologi yang dapat
dipercaya dan telah teruji kebenarannya (sah dan valid). Mahkamah Agung
dalam Putusan No. 1479 K/Pid/1989 dalam perkara pencemaran Kali Surabaya,
mendefinisikan bahwa suatu alat bukti dianggap sahapabila proses
pengambilannya dilakukan dalam rangka pro yustisia dengan prosedur acara
yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Sedangkan alat bukti dianggap valid apabila proses pengambilan dan
pemeriksaannya didasarkan pada metodologi ilmu pengetahuan yang paling
sahih, terbaru, dan diakui oleh para ahli dalam bidang ilmu yang bersangkutan.
Prinsip ini dikenal pula dengan istilah In Dubio Pro Natura, terutama dalam
penerapan untuk perkara perdata dan Tata Usaha Negara di bidang lingkungan
hidup.
Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai
instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule)
pihak yang diduga melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Dalam menentukan pertanggungjawaban, ada dua hal yang penting untuk
diperhatikan, yaitu (i) kealpaan dan (ii) strict liability. i. Kealpaan; Terkait
dengan kealpaan, orang yang menyebabkan kerusakan tersebut harus
bertanggungjawab apabila yang bersangkutan menerapkan prinsip kehati-
hatian di bawah standar atau menerapkan tidak sebagaimana mestinya. ii.
Strict liability; Dalam hal strict liability, orang yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan tersebut bertanggungjawab untuk memberikan kompensasi
terhadap kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Di sini, biaya sosial harus
ditanggung oleh pelaku. Untuk mencegah agar pelaku tidak menanggung biaya
sosial yang besar, maka seharusnya pelaku melakukan tindakan-tindakan
pencegahan. Dalam strict liability ini, pelaku tetap harus bertanggungjawab
walaupun sudah secara optimal menerapkan prinsip kehati-hatian.
A. 3. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle).Prinsip ini
merupakan bagian dari instrumen pencegahan (preventif) dalam penaatan dan
penegakan hukum lingkungan. Dalam prinsip ini, mereka yang memiliki itikad
baik untuk melakukan upaya pencegahan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan, antara lain dengan memilih dan menerapkan teknologi dan/atau
kebijakan yang lebih ramah lingkungan seharusnya memperoleh insentif
ekonomi, misalnya melalui mekanisme pajak, retribusi, keringanan pajak impor
dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang melakukan usaha tanpa itikad baik
untuk melakukan pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup harus memperoleh “disinsentif”. Banyak kesalahfahaman dalam
memahami prinsip ini, sehingga dianggap bahwa siapa pun boleh mencemari
asalkan mau membayar. Oleh karena itu, Hakim dalam memeriksa, mengadili
perkara lingkungan hidup diharapkan dapat menempatkan prinsip ini secara
tepat, khususnya dalam menentukan faktor-faktor pemberian dan peringan
hukuman.
A. 4. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).Prinsip
ini menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan menghendaki terjaminnya
kualitas hidup yang baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang
melalui pelestarian daya dukung ekosistem. Artinya dalam proses dan capaian
pembangunan harus terdapat keseimbangan antara kepentingan ekonomi,
sosial dan pelestariandan perlindungan ekosistem agar generasi yang akan
datang memiliki kemampuan yang sama untuk mendapatkan kualitas
hidupnya. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah:a)
Mempertahankan pertumbuhan ekonomi namun mengubah kualitasnya
sehingga tidak merusak lingkungan dan kondisi sosial;
b) Memenuhi kebutuhan akan pekerjaan, pangan, energi, air, dan sanitasi;
c) Memastikan pertumbuhan penduduk agar tidak melebihi daya dukung bumi;
d) Melindungi dan meningkatkan sumber daya alam;
e) Reorientasi teknologi dan manajemen resiko;
f) Memadukan kepentingan ekonomi dan lingkungan dalam setiap tahap
pengambilan keputusan.
B. Prinsip-prinsip Proses (Principles of Process)
Ketika seorang hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara lingkungan,
maka pada saat itu ia sedang memastikan berjalannya proses penaatan dan
penegakan hukum lingkungan yang baik. Beberapa prinsip yang harus menjadi
pertimbangan hakim untuk memastikan proses penaatan dan penegakan
hukum lingkungan berjalan dengan baik adalah: (1) Prinsip Pemberdayaan
Masyarakat, (2) Prinsip Pengakuan Terhadap Daya Dukung dan Keberlajutan
Ekosistem, (3) Prinsip Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat
Sekitar, serta (4) Prinsip Daya Penegakan.
B. 1. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Prinsip ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan
hidup (termasuk penaatan dan penegakan hukum) harus mengakui aspek
pemberdayaan masyarakat (people’s empowerment) melalui berbagai peluang
agar masyarakat mempunyai akses dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk itu pemenuhan akses informasi dan partisipasi
masyarakat harus dijamin. Pengaturan ini untuk menjamin hak masyarakat,
khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam
dan ekosistemnya atau yang potensial terkena dampak akibat suatu kegiatan,
memperoleh akses keadilan apabila haknya dilanggar serta memperoleh
perlindungan hukum ketika memperjuangkan haknya atas lingkungan hidup
yang sehat. Untuk menerapkan konsep ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66
mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.
B. 2. Prinsip Pengakuan Terhadap Daya Dukung dan Keberlanjutan Ekosistem
Prinsip ini sangat penting untuk melindungi sumber daya alam tertentu yang
rentan terhadap eksploitasi, kerusakan dan kepunahan. Pengakuan ini tidak
terbatas pada pengakuan tekstual tetapi juga secara konsisten pengakuan
tersebut harus diterapkan ketika memeriksa dan mengadili perkara untuk
memperjelas langkah-langkah pencegahan serta penanggulangan perusakan
dan/atau pencemaran sumber daya alam dan lingkungan melalui piranti
manajemen lingkungan, instrumen ekonomi, instrumen daya paksa, sanksi
moralmaupun kontrol publik. Dalam hal ini, penting bagi hakim untuk
menerapkan prinsip ini dalam mengambil putusan tentang perintah melakukan
tindakan tertentu.
B.3. Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Setempat.
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di
sekitar lokasi di mana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi
harus menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memriksa dan mengadili suatu
perkara lingkungan. Pengakuan ini diperlukan mengingat pada umumnya
masyarakat adat dan setempat bergantung hidupnya pada sumber daya alam
dan lingkungan sekelilingnya. Pengakuan juga diperlukan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran atas hak-hak mereka dari arus pembangunan dan
penanaman modal yang berlangsung dengan sangat cepat dan masiv.
B.4. Daya penegakan (Enforceability)
Daya penegakan ditentukan oleh: (a) ketersediaan sanksi yang mampu
menimbulkan efek jera (detterent effect); (b) ketersediaan 3 jenis sarana
sanksi yang terdiri dari sanksi
administrasi, perdata, dan pidana; (c) ketersediaan mekanisme pengaduan
masyarakat dan penindaklanjutannya terhadap pelanggaran-pelanggaran hak
yang dialami oleh masyarakat; (d) ketersediaan mekanisme pengawasan
terhadap penaatan persyaratan lingkungan; (e) ketersediaan institusi dan
aparat yang berkualitas dan berintegritas untuk melakukan pengawasan
penaatan, penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, bahkan hingga
pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam konteks penanganan perkara, maka seorang hakim dalam putusannya
harus mempertimbangkan kemampuan hukuman yang dijatuhkan untuk
memberikan efek jera, menguatkan mekanisme pengawasan untuk menjamin
tidak berlanjutnya pelanggaran dan terlindunginya hak masyarakat atas
lingkugan hidup yang baik dan sehat.
C. Prinsip Keadilan (Equitable Principles)
Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan lingkungan, antara lain: (1) Prinsip
Keadilan Antar Generasi, (2) Prinsip Pembagian Beban Tanggungjawab
Bersama Secara Proporsional, serta (3) Prinsip Keadilan
Pemanfaatan Sumber Daya.
C.1. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) dan Antar
Generasi (Intergenerational Equity)Prinsip ini didasarkan pada pemahaman
bahwa setiap makhluk hidup sangat tergantung pada sumber daya alam dan
tidak dapat dipisahkan dari ekosistemnya. Oleh karena itu, lingkungan hidup
dan sumber daya alam hendaknya dikelola secara berkeadilan tidak saja bagi
generasi saat ini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Beberapa elemen
kunci dari prinsip ini adalah: 1) Masyarakat termasuk masyarakat di seluruh
dunia antara satu generasi dengan generasi lainnya merupakan mitra; 2)
Generasi sekarang harus tidak memberikan beban eksternalitas pembangunan
kepada generasi selanjutnya; 3) Setiap generasi mewarisi kekayaan sumber
daya alam serta kualitas habitat dan harus meneruskannya kepada generasi
berikutnya dalam keadaan generasi tersebut yang akan datang memiliki
peluang yang kurang lebih ekuivalen secara fisik, ekologis, sosial, dan ekonomi;
4) Generasi sekarang tidak dibenarkan meneruskan kepada generasi
berikutnya sumber alam yang tidak dapat diperbarui secara eksak (pasti).
Demikian juga kita tidak dapatmenduga kebutuhan atau preferenasi generasi
yang akan datang. Generasi sekarang harus
memberikan fleksibilitas kepada generasi berikutnya untuk mencapai tujuan
mereka sesuai dengan nilai yang diyakininya.
C.2. Pembagian Beban Tanggungjawab Bersama Secara Proporsional (Common
but Differentiated Responsibility)Prinsip ini menekankan adanya tanggung
jawab yang proporsional antara negara-negara maju yang pada umumnya
negara-negara industri untuk ikut bertanggung jawab dan membantu negara-
negara berkembang dalam mengatasi permasalahan degradasi fungsi
lingkungan. Hal ini didasarkan pada perjalanan sejarah bahwa negara-negara
maju telah berkontribusi terhadap degradasi lingkungan untuk mencapai
kesejahteraan yang dinikmati saat ini.

KESIMPULAN
Penanggulangan dalam hal kerugian negara dapat di lakukan dengan adanya
beberapa prinsip tentang peraturan tambang dan menindaklanjutkan
mengenai pelaku dalam perusakan lingkungan tersebut.
Dalam hal ini dapat dijangkau dengan semakin tegasnya hukum dalam
penindaklanjutan masalah ini sehingga nanti nya tidak ada lagi kerugian negara
dalam hal ini.
Untuk itu perlu sekali panataan terhadap lingkungan dan penjagaan terhadap
segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan agar tidak terjadi
kerugian.

Anda mungkin juga menyukai