Anda di halaman 1dari 3

BAB 7

HAK ASASI MANUSIA

A. PENGERTIAN HAM

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB),hak
asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup.
Senada dengan pengertian di atas adalah pertanyaan awal hak asasi manusia (HAM) yang
dikemukakan oleh John Locke. Menurut Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.
Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut UU, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM

A. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948


Para ahli HAM menyatakan sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa. Wacana
awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut pada
penguasa raja-raja. Sejak lahir Magna Charta (1215), raja yang melanggar aturan kekuasaan harus
diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Empat
abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris.
Untuk mewujudkan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara tersebut, lahirlah
sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan perkembangan dan karakter masyarakat Eropa,
dan selanjutnya Amerika: kontrak sosial (J.J. Rousseau), trias politica (Montesquieu), teori hukum
kodrati dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan.
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) pada tahun 1948.
Menurut DUHAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu, hak personal
(hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik,
hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) dan hak ekonomi,
sosial, budaya.
B. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
Secara garis besar, perkembangan pemiikiran tentang HAM pasca Perang Dunia II dibagi menjadi
empat kurun generasi, yaitu:
Generasi pertama, merupakan generasi yang mendefinisikan HAM hanya berpusat pada bidang
hukum dan politik.
Generasi kedua, merupakan generasi yang berpikiran bahwa HAM tidak saja menuntuk hak
yudiris seperti dikampanyekan generasi pertama,tetapi juga menyerukan hak-hak
sosial,ekonomi,politik, dan budaya.
Generasi ketiga, generasi ini menyerukan wacana kesatuan wacana kesatuan HAM antara hak
ekonomi,sosial,budaya, dan hukum dalam satu bagian intergal yang dikenal dengan istilah hak-hak
melaksanakan pembangunan (the rights of development).
C. PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA

A. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)


Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam kemunculan
organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij
(1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Indonesia (1927)

B. Periode Setelah Kemerdekaan

Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca-kemerdekaan Indonesia 1945-
1950,1950-1959,1959-1966,1966-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer (pasca-Orde Baru)

C. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak
untuk merdeka,hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama pada parlemen.

D. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa Demokrasi Parlementer. Menurut catatan Bagir
Manan, gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM.
1. Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi.
2. Adanya kebebasan pers.
3. Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis.
4. Kontrol parlemen atas eksekutif.
5. Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.

5. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem Demokrasi
Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Menurut Soekarno, Demokrasi
Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah dimiliki tradisinya sendiri
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut,
bahkan dinobatkan sebagai PresIden RI seumur hidup.

6. Periode 1966-1998
Kelahiran Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah
Orde Baru terhadap konsep universal HAM, yaitu:
1) HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
2) Bangsa Indonesia sudah lebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam
rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi universal
HAM.
3) Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia

7. Periode Pasca-Orde Baru


Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Pada tahun ini, Presiden
Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Pada masa
pemerintahan Habibie misalnya,perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami
perkembangan yang sangat signifikan.
D. HAM: ANTARA UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS

Sekalipun substansi HAM bersifat universal, namun mengingat sifatnya sebagai pemberian
Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Kekhususan tersebut bisa
saja bersumber pada kekhasan nilai budaya,agama,dan trasisi setempat. Misalnya, hidup serumah
tanpa ikatan nikah (kumpul kebo) atau berciuman didepan umum dalam perspektif HAM universal
diperbolehkan,tetapi dalam perspektif budaya lokal suatu negara keduanya dipandang sebagai
praktik yang menggangu adat kesusilaan setempat bahkan bisa dikenakan sanksi hukum. Perdebatan
antara universalitas dan partikular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: teori
relativisme kultural dan teori universalitas HAM.
E. PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAM
Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM. Secara jelas UU No.26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran HAM dikelompokkan
pada dua bentuk, yaitu: pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat
meliputi kejaharan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun, bentuk pelanggaran HAM ringan
selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan dimaksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa,ras,kelompok etnis,dan agama. Adapun kejahatan manusai adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan meluas dan sistematis. Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik
oleh aparatur negara maupun warga negara. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah tingkat I
(provinsi) dan daerah II (kabupaten/kota) yang meliputi daerah hukum pengadilan umum yang
bersangkutan.
F. HAM, GENDER, KEBEBASAN LINGKUNGAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural
yang berkembang dimasyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas,
dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan sosial misalnya,
berkembang anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki
dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam sebagai
bentuk:
1. Marganalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan
kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya, dierung kecil ketimbang laki-laki
2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada
prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki.
3. Stereotipisasi perempuan, yakni pencitraan atas perempuan yang berkonota si negatif.
4. Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-
laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan
5. Beban kerja yang tidak proporsional, pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan
kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran
perempuan yang seharusnya diperlakukan oleh manusia yang memiliki kesamaan hak dan
kewajiban.

Dalam perpektif membangun toleransi antar-umat beragama ada lima prinsip:


1. Tidak satupun agama mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat,
2. Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang berbuat baik
kepada sesama,
3. Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Diantaranya, perbedaan kitab
suci, nabi, dan tata cara ibadah
4. Adanya nukti kebenaran agama
5. Tidak boleh memaksa orang menganut suatu agama atau kepecayaan

Anda mungkin juga menyukai