Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kecemasan

2.1.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan perasaan yang tidak menyenangkan yang disertai

dengan gejala fisiologi. Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan 3

khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Pada gangguan

kecemasan terkandung unsur penderitaan yang bermakna dan gangguan fungsi yang

disebabkan oleh unsur tersebut (Aprianawati , 2007).

2.1.2 Aspek Kecemasan

Greenberger & Padesky (1995) (dalam Carnegie, 2007.) menyatakan bahwa

kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang

terjadi pada seseorang. diantaranya adalah :

2.1.2.1 Aspek Kognitif

1. Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam

bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik

kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang

menurutnya akan terjadi,

2. Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah: Ancaman

fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik, Ancaman

mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau

hilang ingatan, Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan

ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.

3. Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang.

9
10

4. Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu

mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa

aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di lingkungan yang kacau dan

tidak sabil bisa membuat seseorang menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain

selalu berbahaya.

5. Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali

memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan

keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau. Pemikiran tentang

kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya. Pemikiran-pemikiran ini

semua adalah masa depan dan semuanya memprediksi hasil yang buruk.

2.1.2.2 Aspek Kepanikan

Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas

kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai

dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang

menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan

pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini

menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin.

Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang

terjadi bisa menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah

terjadi sebelumnya.
11

2.1.3 Faktor Kecemasan

Menurut Suliswati (2005), (dalam Sayogi 2011) ada 2 faktor kecemasan yaitu :

a. Faktor predisposisi yang meliputi :

1. Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan

krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.

2. Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.

Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat

menimbulkan kecemasan pada individu. Konsep diri terganggu akan

menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan

menimbulkan kecemasan.

3. Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang

berdampak terhadap ego.

4. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman

integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.

5. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani kecemasan akan

mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena

mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.

6. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu

dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.

7. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang

mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine dapat menekan

neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas

neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.


12

b. Faktor presipitasi meliputi :

1. Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam

integritas fisik ada dua yaitu Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme

fisiologi system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis

normal.Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,

polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat

tinggal.

2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan

eksternal. Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan

interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga

diri.Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.

2.1.3.1 Jenis Kecemasan

Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk yaitu

kecemasan sebagai state anxiety dan trait anxiety (Spielberger, 1966) (dalam Aziz

2016). State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi dan

waktu tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh

perasaan ketegangan yang subjektif. State anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan

berfluktuasi dari waktu ke waktu. Sedangkan trait anxiety adalah ciri atau

karakteristik seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk

menginterpretasikan suatu keadaan sebagai ancaman. Semakin kuat trait anxiety,


13

semakin mungkin seseorang akan mengalami kenaikan yang lebih tinggi pada state

anxiety dalam situasi yang mengancam Spielberger (1995), (dalam Rizqiah 2010)

2.1.4 Dampak Kecemasan

Menurut Stuart dan Laraia (2005) (dalam Kurniawan 2012), ada 2 macam

dampak yang dialami seseorag ketika mengalami kecemasan :

2.1.5.1 Dampak Fisiologis

1. Kardio vaskuler Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar,

denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.

Respirasi ; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa

tercekik.

2. Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat

seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat,

gatal-gatal.

3. Gastrointestinal ; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar

di epigastrium, nausea, diare.

4. Neuromuskuler ; Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip,

insomnia, tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat. b. Respon

Psikologis terhadap Kecemasan

2.1.5.2 Dampak Psikologis

1. Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi,

menarik diri, menghindar.

2. Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah

tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang

berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut

kecelakaan, takut mati dan lain-lain.


14

3. Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa,

sangat gelisah dan lain-lain.

2.1.5 Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen, (2001) (dalam Kurniawan 2012) mengidentifikasi

tingkat kecemasan dapat dibagi menjadi :

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-

hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada serta meningkatkan

lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Kecemasan ini normal

dalam kehidupan karena meningkatkan motivasi dalam membuat individu

siap bertindak. Stimulus dari luar siap diinternalisasi dan pada tingkat

individu mampu memecahkan masalah secara efektif, misalnya seseorang

yang menghadapi ujian akhir, individu yang akan melanjutkan pendidikan

ke jenjang lebih tinggi, atau pasangan dewasa yang akan memasuki

jenjang pernikahan (Asmadi 2008).

2. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga

seseorang yang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan sesuatu yang lebih terarah. Manifestasi yang terjadi pada

tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara

cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk

belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun,

perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah


15

ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan

menangis. Pada kondisi ini individu masih bisa belajar dari arahan orang

lain. Stimulus dari luar tidak mampu diinternalisasi dengan baik, tetapi

individu sangat memperhatikan hal-hal yang menjadi pusat perhatian

(Asmadi 2008).

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi orang yang

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta

tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk

mengurangi ketegangan. Seseorang memerlukan banyak pengarahan

untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Lapang persepsi individu

sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan

tidak berfikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk

mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah atau arahan untuk

berfokus pada area lain misalnya individu yang mengalami kehilangan

harta benda dan orang yang dicintai karena bencana alam, individu dalam

penyanderaan. Manifestasi yang muncul pada tingkatan ini adalah

mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia),

sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau

belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, dan keinginan untuk

menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung,

disorientasi (Asmadi 2008).

2.1.6 Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon kecemasan terdiri dari respon adaptif dan maladaptif.

Respon adaptif seseorang menggunakan koping yang bersifat membangun


16

(konstruktif) dalam mengatasi kecemasan berupa antisipasi. Respon

maladaptif merupakan koping yang bersifat merusak (destruktif) dan

disfungional seperti individu menghindari kontak dengan orang lain atau

mengurung diri, tidak mau mengurus diri Suliswati (2005) (dalam Sayogi

2011).

Adaptif Maladaptif

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan (Stuart & Sundeen, 1998)

2.1.7 Gejala Kecemasan

Keluhan dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan dapat

dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis (Hawari, 2006) :

1. Gejala Somatik

a) Keringat berlebih; b) Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala,

kontraksi pada bagian belakang leher atau dada, suara bergetar, nyeri

punggung; c)Sindrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi; d)

Gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu makan,

mual, diare, konstipasin ; e) Iritabilitas kardiovaskuler: hipertensi,

takikardi; f) Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat

berkemih, impoten, sakit pelvis pada wanita, kehilangan nafsu seksual.


17

2. Gejala Psikologis

a) Gangguan mood: sensitif sekali, cepat marah, mudah sedih; b)

Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk, mimpi yang berulang-ulang; c)

Kelelahan, mudah capek; d) Kehilangan motivasi dan minat; e) Perasaan-

perasaan yang tidak nyata; f) Sangat sensitif terhadap suara: merasa tak

tahan terhadap suara-suara yang sebelumnya biasa saja; g) Berpikiran

kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa; h) Kikuk, canggung,

koordinasi buruk. Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan

pilihan bahkan untuk hal-hal kecil; i) Gelisah, resah, tidak bisa diam; j))

Kehilangan kepercayaan diri; k) Kecenderungan untuk melakukan segala

sesuatu berulang-ulang. 12) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu; l)

Terus menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan.

2.1.8 Alat Ukur Kecemasan

Kecemasan seseorang dapat diukur dengan menggunakan instrumen

Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), Analog Anxiety Scale, Zung SelfRating

Anxiety Scale (ZSAS), dan Trait Anxiety Inventory Form Z-I (STAI Form Z-I)

(Kaplan & Saddock, 1998).

1. State Trait Anxiety Inventory (STAI)

Penelitian ini menggunakan alat ukur STAI dimana alat ini pertama kali

dibuat oleh Charles D. Spielberger, Richard L. Gosrsuch, dan Robert E.

Lsuhene pada tahun 1964, dimana telah diadaptasi lebih dari 48 bahasa untuk

penelitian silang budaya dan praktek klinis (Tilton, 2008). Alat ukur STAI

merupakan adalah pengukuran self-report yang total keseluruhannya terdapat

40 item, dimana 40 item ini terbagi menjadi dua konsep anxiety, yaitu state-
18

anxiety dan trait anxiety. Dalam penelitian saya hanya menggunakan state-anxiety

yang hanya mengindentifikasi kecemasan yang sesaat.

2.2 OSCE

OSCE diperkenalkan pertama kali oleh Harden dkk pada tahun 1975, ujian

ini didesain untuk menilai hasil belajar mahasiswa pada keterampilan klinik dan

kompetensi mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Pengaturan OSCE menurut

Harden, dkk terdiri dari 20-30 pojok uji (station) dengan alokasi waktu ujian antara

5-10 menit pada setiap pojok uji. Harden berpendapat bahwa ujian OSCE lebih

objektif dan reliabel dalam menilai keterampilanmahasiswa dibandingkan dengan

ujian konvensional dan berperan penting pada pengembangan keterampilan klinis

yang

efektif. Menurut Newble (2006) Tujuan OSCE menilai kompetensi dan

keterampilan klinis mahasiswa secara objektif dan terstruktur. Objektif maksudnya

adalah setiap mahasiswa yang diuji dinilai dengan alat uji berupa daftar tilik yang

sama, dengan kriteria kinerja yang terukur. Terstruktur maksudnya adalah bahwa

sekumpulan mahasiswa diuji dengan jenis tugas yang sama, dalam alokasi waktu

ujian yang sama. Pada soal OSCE yang baik, validitas dan reliabilitas dapat terjaga

apabila soal ujian mengacu pada kisi-kisi (blueprint) kompetensi yang akan diujikan.

Aspek reliabilitas ujian dapat diperbaiki dengan menambah jumlah pojok uji atau

menambah jumlah penguji dalam setiap pojok uji untuk mengurangi bias. Daftar

tilik membantu tercapainya konsistensi dan stabilitas penilaian penguji, sebagai

komponen

penting untuk menentukan keakuratan ujian keterampilan. (Tambunan T,

Soetjiningsih, & Supriyatno B 2011)


19

2.2.1 Proses Pembelajaran Praktikum

Proses pembelajaran praktikum menurut Nursalam dan Efendi (2008)

dilakukan melalui tiga tahapan yaitu :

1. Persiapan rancangan pembelajaran meliputi :perencanaan pembelajaran

yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, sumber yang sesuai

dengan jumlah peserta, mencoba peralatan, merancang lay out,

merencanakan ruang praktikum, membuat makalah, pengaturan tempat

duduk.

2. Penerapan berbagai metode pembelajaran laboratorium meliputi :

demonstrasi, simulasi, eksperimen.

3. Evaluasi pencapaian tujuan pembelajaran praktikum dan kemampuan

peserta didik.

Dalam pembelajaran OSCE diperlukan instruktur. Instruktur merupakan tenaga

mahir pada bidang ketrampilan keperawatan tertentu yang melatih ketrampilan

keperawatan kepada mahasiswa (Nurini, dkk, 2007). Instruktur pembelajaran

praktik mempunyai beberapa tanggungjawab. Menurut (Freiberg dan Driscoll 1996)

pada tahap perencanaan, instruktur berperan sebagai manager. Peran ini dilakukan

dalam hal membuat rancangan kegiatan pembelajaran. Zainuddin (2008)

menambahkan bahwa dalam rancangan pembelajaran tersebut tujuan

instruksionalnya harus jelas, isi dan urutan kegiatan terarah, relevan dengan tuntutan

tugas profesi, dan dirancang agar mahasiswa tidak mudah bosan. Pada tahap

pelaksanaan pembelajaran, instruktur berperan sebagai fasilitator dan motivator.

Fasilitator yaitu menjadikan pelajaran lebih mudah, memberi penjelasan tentang

strategi, aturan, prosedur, mekanik dan peran. Peran sebagai motivator diperlukan
20

karena mahasiswa kadang mengalami ketakutan ketika melakukan simulasi. Pada

tahap evaluasi, peran sebagai evaluator dilakukan untuk menilai keberhasilan

pembelajaran

2.2.2 Evaluasi OSCE

Penilaian aspek ketrampilan lebih rumit dan subyektif bila dibandingkan

dengan penilaian dalam aspek kognitif. Hal ini dikarenakan penilaian ketrampilan

memerlukan teknik pengamatan dengan keterandalan yang tinggi terhadap

dimensi yang akan diukur. Bila tidak demikian maka unsur subyektivitas menjadi

sangat dominan (Taufiqurrahman, 2008).

Yanti dan Pertiwi (2008) menyatakan bahwa untuk menilai kompetensi

klinik mahasiswa kesehatan, metode OSCA atau OSCE (Objective Structure Clinical

Examination) saat ini merupakan suatu pilihan terbaik. Dikatakan objektive karena

menggunakan tes objektif dengan seting nyata yang dihadapi dalam praktik klinik.

Structure berarti menggunakan struktur tertentu secara konsisten dalam menyusun

tes OSCE. Sedang Clinical Examination berarti yang dites adalah ketrampilan yang

terkait dengan manajemen pasien klinik. Keunggulan metode OSCE adalah lebih

valid, reliable dan objektif di banding uji lisan, bisa melakukan evaluasi dengan

jumlah peserta yang lebih banyak dalam waktu yang lebih pendek serta serentak,

menguji ketrampilan yang lebih luas dan semua peserta diuji dengan instrument

yang sama.

Evaluasi hasil belajar dalam pembelajaran ketrampilan lazimya melalui

observasi langsung dengan menggunakan daftar cek (check

list), skala nilai (rating scale). Teknik observasi langsung memiliki keuntungan dapat

memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan pengajar. Namun teknik ini juga
21

memiliki kelemahan diantaranya : a) pengamatan sesaat tidak akan mencerminkan

perilaku keseluruhan mahasiswa. b) Subyektivitas pengamat berpengaruh terhadap

hasil penilaian. Penilaian langsung akan lebih baik bila dilengkapi dengan observasi

tak langsung melalui uji lisan atau kuesioner (Taufiqurrahman, 2008)

2.2.3 Laboratorium

Laboratorium adalah ruangan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan

untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Laboratorium yang dimaksud

dalam standar ini adalah untuk pembelajaran di laboratorium klinik, bengkel kerja,

workshop. Kegiatan laboratorium akan membawa peserta didik kepada

pembentukan sikap, ketrampilan, kemampuan bekerja sama, dan kreatifitas dalam

menerima pengetahuan. Dengan melaksanakan kegiatan laboratorium yang baik,

sesuai dengan prosedur dan tata tertib laboratorium, maka hal tersebut secara

tidak langsung dapat menunjang pelaksanaan Kurikulum. Pembelajaran teori yang

dipelajari melalui perkuliahan dan studi pustaka bersifat abstrak, dapat

diaktualisasikan dengan nyata melalui kegiatan laboratorium. (MENKES 2010)

Anda mungkin juga menyukai