Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kecemasan

2.1.1 Definisi Kecemasan

Definisi kecemasan menurut (Stuart, 2012) kecemasan merupakan

kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan

perasaan yang tidak pasti dan ketidakberdayaan. Keadaan emosi yang

dialami tidak memiliki objek secara spesifik, kecemasan dialami secara

subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal dan berada dalam

suatu rentang. Tingkat kecemasan yang dialami tergantung reaksi dari

diri mereka sendiri dan lama paparan terhadap situasi atau objek yang

memiliki kapasitas untuk menyebabkan seseorang menjadi stres (Davies

& Armstrong, 2002). Thomas 2004 mengungkapkan, kecemasan menjadi

gangguan ketika konsistensi dan intensitasnya mampu melemahkan dan

mengganggu kehidupan dari seseorang.

Kecemasan dapat didefinisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa

gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi dari

ancaman sumber actual yang tidak nyaman, rasa khawatir akan terjadinya

sesuatu (NANDA, 2008). Sedangkan menurut (Maramis, 2010),

kecemasan merupakan rasa yang tidak terikat pada suatu benda atau

keadaan tetapi mengambang bebas.


Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan

ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak

mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih utuh atau

tidak mengalami keretakan kepribadian, perilaku dapat terganggu tetapi

masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2011)

2.1.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut (Stuart, 2012) faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

adalah sebagai berikut :

2.1.2.1 Faktor Predisposisi

a. Psikoanalitis

Cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian dan superego. Mewakili dorongan insting dan implus

primitif, sedangkan suoerego mencerminkan hati nurani dan

dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau aku, berfungsi menengahi

tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi

cemas adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan

penolakan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan

perkembangan trauma seperti perpisahan dan kehilangan

menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah

terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.


2.1.2.2 Faktor Presipitasi

Menurut Kaplan dan Sadock (1997, dalam Nursalam, 2005) menyatakan

bahwa faktor pencetus kecemasan meliputi :

a. Faktor Belajar

Kecemasan dapat dikomunikasikan dari orang tua kepada anak-

anaknya dengan modeling langsung. Jika orang penuh ketakutan,

anak kemungkinan memiliki adaptasi terhadap situasi baru, terutama

pada lingkungan baru. Beberapa orang tua tampaknya mengajari

anak-anaknya untuk cemas dengan melindungi mereka secara

berlebihan (overprotecting) dari bahaya yang diharapkan atau

dengan membesar-besarkan bahaya.

b. Faktor Genetik

Intensitas kecemasan dialami anak individual kemungkinan memiliki

dasar genetik. Penelitian keluarga telah menunjukkan bahwa

keturunan biologis dari orang dewasa dengan gangguan kecemasan

adalah rentan terhadap gangguan pada masa anak-anak.

2.1.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Menurut (Carpenito, 2007), menyatakan bahwa tanda dan gejala

kecemasan antara lain :

2.1.3.1 Fisiologis

Peningkatan frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah,

peningkatan frekuensi pernafasan diofersis, dilatasi pupil, suara tremor

perubahan nada, gelisah, gemetar, berdebar-debar sering berkemih, diare,


insomnia, keletihan dan kelemahan, pucat atau kemerahan, pusing, mual,

dan anoreksia.

2.1.3.2 Emosional

Ketakutan, ketidakberdayaan, gugup, kurang percaya diri, kehilangan

kontrol. Ketegangan individu juga sering memperlihatkan marah

berlebihan, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata

buruk, kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, mencela

diri reaksi baku.

2.1.3.3 Kognitif

Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa, penurunan kemampuan belajar,

terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu dari pada masa kini atau masa

depan.

2.1.4 Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Stuart & Sundeen dibagi menjadi :

2.1.4.1 Kecemasan Ringan (mild anxiety)

Tingkat kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

mingkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan & kreativitas.


2.1.4.2 Kecemasan Sedang (moderate anxiety)

Pada tingkat kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memutuskan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.

Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan sesuatu yang lebih terarah.

2.1.4.3 Kecemasan Berat (severe anxiety)

Pada tingkat kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi

seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang

terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu

area lain.

2.1.4.4 Panik (panic)

Kecemasan tingkat panik menyebabkan seseorang kehilangan kontrol,

ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang

mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik

terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan

kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan

dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama,

dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.


Gambar 2.1 Rentang Respon

2.1.5 Respon Terhadap Kecemasan

Stuart & Sundeen (2009) menyebutkan bahwa respon individu terhadap

kecemasan meliputi respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif

adalah sebagai berikut :

2.1.5.1 Kardiovaskular

Respon dari kardiovaskular dapat berupa palpitasi, jantung berdebar,

peningkatan tekanan darah atau dapat juga menurun, rasa mau pingsan,

dan denyut nadi menurun.

2.1.5.2 Pernafasan

Respon dari pernafasan dapat berupa nafas menjadi cepat dan dangkal,

nafas pendek, tekanan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan,

sensasi tercekik, dan terengah-engah.


2.1.5.3 Neuromuskular

Respon dari neuromuskular dapat berupa refleks meningkat, reaksi

kejutan, mata berkedip-kedip, tremor, gelisah, wajah tegang, kelemahan

umum, kaki goyang, dan gerakan yang janggal.

2.1.5.4 Gastrointestinal

Respon dari gastrointestinal dapat berupa kehilangan nafsu makan,

menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, dan diare.

2.1.5.5 Kulit

Respon dari kulit berupa wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak

tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, dan

berkeringat seluruh tubuh.

2.1.5.6 Perilaku

Respon perilaku berupa gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara

cepat, kurang koordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik diri dari

hubungan interpersonal, menghalangi, dan menghindar dari masalah.

2.1.5.7 Kognitif

Responnya berupa konsentrasi terganggu dan pelupa, selalu dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, kreatifitas dan produktifitas


menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat,

kehilangan objektifitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran

visual, takut cidera atau kematian.

2.1.5.8 Afektif

Responnya berupa mudah terganggu, tidak sabar, gelisah dan tegang,

ketakutan, dan gugup.

2.2 Konsep Terapi Kognitif

2.2.1 Definisi

Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi yang menekankan

dan meningkatkan kemampuan berfikir yang di inginkan (positif) dan

merubah pikiran-pikiran yang negatif (Boyd & Nihart, 1998 dalam

Pasaribu 2012). Menurut (Granfa, 2007) terapi kognitif adalah suatu

proses mengidentifikasi atau mengenali pemikiran yang negatif dan

merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi

yang menetap.

Terapi kognitif bukanlah suatu cara bagaimana memecahkan masalah

pasien, namun suatu cara membantu pasien untuk mengembangkan cara-

cara baru dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman di masa lalu

dan mencari alternatif penyelesaian masalahnya sendiri (Boyd & Nihart,

1998, dalam Modul UI 2014). Dengan demikian maka, terapi kognitif

merupakan suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk

mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekecewaan,


kegagalan, dan ketidakberdayaan, sehingga pasien dapat menjadi lebih

baik dan dapat kembali produktif.

2.2.2 Tujuan Terapi Kognitif

Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi

positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan,

membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan

pribadi (Burn, 1980 ; Towsed 2009). Menurut Copel (2007), terapi

kognitif bertujuan untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir

yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali

perilaku dengan mengubah pesan-pesan inernal. Mengubah kepercayaan

(anggapan) tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif yang

mendasari perilaku (Stuart & Laraia, 2005 dalam Modul UI 2014).

Terapi kognitif berfokus pada bagaimana cara mengidentifikasi dan

memperbaiki persepsi pasien yang terdapat pada pikirannya (Frisch &

Frisch, 2008). Dengan demikian tujuan terapi kognitif dapat disimpulkan

yaitu untuk mengubah pola pikiran negatif yang dimunculkan menjadi

pikiran-pikiran yang lebih realistis, positif dan rasional.

2.2.3 Indikasi dan Karakteristik Pasien

Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik

lainnya seperti, panik, masalah pengontrolan marah dan penggunaan

obat, harga diri rendah, resiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan. Selain

itu juga efektif pada gangguan makan (bulimia, anoreksia nervosa),


gangguan kepribadian (Stuart & Laraia, 2005 dalam Modul UI 2014).

Pasien yang dapat diberikan terapi kognitif mempunyai karakteristik

perilaku sebagai berikut :

a. Mengkritik diri sendiri atau orang lain

b. Penurunan produktifitas

c. Perilaku destruktif pada orang lain atau diri sendiri

d. Gangguan dalam berhubungan

e. Rasa diri penting yang berlebihan

f. Perasaan tidak mampu

g. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan

h. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri

i. Ketegangan peran yang dirasakan

j. Pandangan hidup yang bertentangan

k. Penolakan terhadap kemampuan personal

l. Penyalahgunaan zat

m. Menarik diri dari realitas

n. Khawatir atau cemas

Persyaratan kondisi lain yang dibutuhkan dalam pemberian terapi ini

adalah :

a. Pasien bersedia untuk mengikuti atau menjalani terapi

b. Kondisi fisik saat dilakukan terapi dalam keadaan sehat, ditunjukkan

dengan pemeriksaan tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan

tekanan darah) dalam keadaan normal dan stabil.


c. Komunikasi pasien koheren

d. Pasien kooperatif

2.2.4 Kriteria Terapis

Semua profesi di bidang kesehatan yang memiliki legalitas dalam

melakukan terapi kognitif dapat melaksanakan terapi ini, seperti medis

(khususnya psikiater), psikolog dan perawat spesialis keperawatan jiwa.

2.2.5 Prinsip Pelaksanaan Terapi Kognitif

Menurut Towsend (2009), prinsip pelaksanaan terapi kognitif adalah :

a. Terapi kognitif berdasarkan proses pembentukan kembali pola pikir

pasien yang terganggu. Untuk itu, terapis harus mengidentifikasi

terlebih dahulu adanya kelainan bentuk pikir (distorsi kognitif) pada

pasien.

b. Terapi kognitif membutuhkan terapeutik perawat-pasien. Hubungan

saling percaya antara perawat dan pasien harus sudah terbina

sebelum terapi ini dilakukan. Terapis (perawat) harus dapat bersikap

hangat, empati, caring, dan menghormati martabat (harga diri)

pasien.

c. Terapi kognitif menekankan pada teknik kolaborasi dan partisipasi

aktif pasiennya. Perawat sebagai terapis mendorong pasien untuk

terlibat aktif dalam setiap sesi untuk dikerjakan di rumah.


d. Terapi kognitif merupakan terapi yang berorientasi pada tujuan

penyelesaian masalah pasien. Di awal pertemuan, terapis harus

mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi pasiennya.

Kemudian bersama-sama menetapkan tujuan dan hasil yang

diharapkan dalam terapi. Proses diskusi dan dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi pasien dibutuhkan saat pasien mulai

mengenal distorsi kognitif dan memperbaiki polanya.

e. Terapi kognitif menekankan kondisi realita yang ada pada pasien.

Penyelesain masalah yang dihadapi pasien berdasarkan kondisi yang

nyata saat terapi dilakukan.

f. Terapi kognitif merupakan suatu pendekatan terapi yang bersifat

edukatif dengan tujuan mengajarkan pasien untuk dapat menolong

dirinya sendiri dan mencegah terjadinya kondisi berulang.

g. Terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang terprogram

waktu dengan baik (Time Limited Program). Proses pelaksanaan

terapi dapat berjalan beberapa minggu sampai bulan. Beberapa

pasien kadang menghendaki pertemuan ulang.

h. Program terapi kognitif harus terstruktur dengan baik untuk setiap

sesi dalam peretemuannya. Setiap sesi harus meliputi evaluasi

kondisi pasien disetiap pertemuan, reveiw hasil pertemuan

sebelumnya, mengevaluasi tugas pasien yang harus dilakukan pada

pertemuan sebelumnya, mendiskusikan topik pertemuan saat ini,

merencanakan tugas yang akan dilakukan pasien dan membuat


ringkasan hasil pertemuan. Hal ini dapat membuat waktu

pelaksanaan terapi menjadi efektif.

i. Terapi kognitif bertujuan mengajarkan pasien untuk

mengidentifikasi, mengevaluasi dan berespon terhadap kelainan

bentuk pikiran dan kepercayaan. Hal ini dilakukan dengan

membantu pasien untuk dapat mengenal setiap pikiran negatif dan

mengganti dengan pikiran yang positif yang sesuai dengan kondisi

yang nyata pada pasien.

j. Terapi kognitif menggunakan berbagai bentuk atau teknik untuk

merubah cara berfikir, perasaan dan perilaku pasien. Berbagai teknik

dapat digunakan dalam proses pemberian terapi kognitif dalam

upaya untuk memodifikasi cara berfikir pasien yang salah yang dapat

mempengaruhi timbulnya perilaku maladaptif.

2.2.6 Strategi Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari lima sesi dan masing-masing sesi

dilaksanakan selama 30-45 menit. Uraian pelaksanaan masing-masing

sesi akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Sesi 1

Mengidentifikasi pikiran negatif otomatis yang negatif dan

penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif

pertama.

b. Sesi 2

Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif kedua.

c. Sesi 3
Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif ketiga.

Semakin sering dan rutin klien melatih mencounter pikiran

negatifnya maka akan semakin meningkat pula kemampuan klien

untuk melakukan terapi kognitif secara mandiri. Pada sesi ini, klien

dianjurkan untuk melatih kembali melawan pikiran negatif dengan

harapan klien semakin mampu dan mudah merubah pikiran negatif

yang dialaminya.

d. Sesi 4

Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis (ungkapan

hasil dalam mengikuti terapi kognitif) pada sesi ini kegiatan yang

dilakukan adalah mendiskusikan dengan klien manfaat yang

dirasakan klien setelah menggunakan tanggapan rasional yang di

ajarkan terhadap pikiran otomatis negatif. Latihan yang dilakukan

secara disiplindan rutin oleh klien dapat mendatangkan hasil yang

sangat memuaskan bagi klien terhadap perubahan pikiran negatif

yang dialami.

e. Sesi 5

Support system

Pada sesi ini teraps mendiskusikan dengan keluarga tentang pikiran

negatif yang dialami oleh klien dan cara mengubah cara negatif yang

dialami klien. Sehingga pada sesi ini keluarga memiliki pengetahuan

tentang kondisi klien dan dapat membantu klien dalam mengatasi

pikiran negatif yang muncul.

2.3 Konsep Anak Usia Sekolah


2.3.1 Definisi

Menurut Wong (2013) anak usia sekolah adalah periode kehidupan

antara usia 6-12 tahun memiliki berbagai macam lebel, dimana masing-

masing lebel menggambarkan karakter penting pada setiap periode. Anak

usia sekolah adalah anak yang berusia antara 6-12 tahun. Seorang anak

dikatakan memasuki tahap middle Childhood ketika berada pada usia 5-

10 tahun. Anak usia sekolah dapat dikategorikan dalam fase pra-remaja,

yaitu anak yang berada pada usia 9-12 tahun untuk perempuan dan 10-12

tahun untuk laki-laki. Pada masa ini anak akan mengalami pertumbuhan

dan perkembangan baik secara psikologis maupun kognitif (Arifmurti,

2012).

2.3.2 Tahap-Tahap Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah (10-12 Tahun)

2.3.2.1 Pertumbuhan Fisik

Anak usia 10-12 tahun (Nasir, 2011)

a. Pertambahan tinggi badan lambat

b. Pertambahan berat badan cepat

c. Perubahan tubuh yang berhubungan dengan pubertas mungkin

tampak terlihat

d. Mampu melakukan aktivitas seperti mencuci dan menjemur pakaian

sendiri

e. Memasak, menggergaji, dan mengecat

f. Menggambar, senang menulis surat atau catatan tertentu

g. Membaca untuk kesenangan atau tujuan tertentu


h. Peran teman sebaya dan orang tua penting

i. Mulai tertarik dengan lawan jenis

j. Sangat tertarik pada bacaan, ilmu pengetahuan

2.3.2.2 Perkembangan Intelektual

Perkembangan kognitif merupakanpertumbuhan berfikir logis dari masa

bayi hingga dewasa, menurut Piaget perkembangan yang berlangsung

melalui empat tahap yaitu :

a. Tahap sensori-motor : 0-1, 5 Tahun

b. Tahap pra-operasional : 1, 5-6 Tahun

c. Tahap operasional konkrit : 6-12 Tahun

d. Tahap operasional formal : 12 Tahun keatas

Piaget percaya, bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut,

meskipun mungkin setiap tahap dilalui dalam usia berbeda. Setiap tahap

dimasuki ketika otak kita sudah cukup matang untuk memungkinkan

logika jenis baru atau operasi. (MattJarvis, 2011:148). Semua manusia

melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi

mungkin saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat

operasional konkrit, sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun

masih pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun urutan

perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat

sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat

berikutnya. (Ratna Wilis, 2011:137).


2.3.2.3 Perkembangan Emosional

Adapun ciri-ciri emosi pada anak adalah sebagai berikut (Izzati, 2009)

a. Emosi anak berlangsung relatif lebih singkat (sebentar), hanya

beberapa menit dan siafatnya tiba-tiba. Hal ini disebabkan karena

emosi anak menampakkan dirinya di dalam kegiatan atau gerakan

yang nampak, sehingga menghasilkan emosi yang pendek, tidak

seperti pada orang dewasa yang dapat berlangsung lama. Emosi yang

khusus pada anak-anak adalah kesedihan, kemurungan, ketakutan,

ketegangan, kebahagiaan, humor dan sebagainya.

b. Emosi anak kuat atau hebat. Hal ini terlihat bila anak takut, marah

atau sedang bersenda gurau. Mereka akan tampak marah sekali, takut

sekali, tertawa terbahak-bahak meskipun kemudian cepat hilang.

Pada orang dewasa meskipun ia takut, ketakutan itu tidak begitu

nampak kuat, begitu juga bila marah atau bersenda gurau, marah dan

tertawanya dikendalikan.

c. Emosi anak mudah berubah. Sering kita jumpai seorang anak yang

baru saja menangis berubah menjadi tertawa, dari marah berubah

tersenyum. Sering terjadi perubahan, saling berganti-ganti emosi,

dari emosi susah ke emosi senang dan sebaliknya dalam waktu yang

singkat.

d. Emosi anak tampak berulang-ulang. Hal ini timbul karena anak

dalam proses perkembangan keraha kedewasaan. Ia harus

mengadakan penyesuaian terhadap situasi di luar, dan hal ini

dilakukan secara berulang-ulang. Anak sering menangis, sering


marah, sering takut. Mungkin anak sehari menangis 7 kali, marah 5

kali dan seterusnya.

e. Respon emosi anak berbeda-beda. Pengamatan terhadap anak

dengan berbagai tingkat usia menunjukkan bervariasinya respon

emosi. Pada waktu bayi lahir, pola responnya sama. Secara

berangsur-angsur, pengalaman belajar dari lingkungannya

membentuk tingksh laku dengan perbedaan emosi secara individual.

Misalnya anak yang dibawa ke dokter gigi, responnya ada yang

tertawa dan yang menangis, ada yang tidak memperlihatkan reaksi

apapun.

f. Emosi anak dapat diketahui atau dideteksi dari gejala tingkah

lakunya. Meskipun anak adang-kadang tidak memperlihatkan reaksi

emosi yang nampak dan langsung, namun emosi itu dapat diketahui

dari tingkah lakunya, misalnya melamun, gelisah, menghisap jari,

sering menangis dan sebagainya.

g. Emosi anak mengalami perubahan dalam kekuatannya. Suatu ketika

emosi itu begitu kuat, kemudian berkurang. Emosi yang lain mula-

mula lemah kemudian berubah menjadi kuat. Misalnya seorang anak

memperlihatkan rasa malu0malu ditempat yang masih asing.

Kemudian ketika ia sudah tidak merasa asing lagi rasa malunya

berkurang atau bahkan hilang.

h. Perubahan dalam ungkapan-ungkapan emosional. Anak-anak

memperlihatkan keinginan yang kuat terhadap apa yang mereka

inginkan. Ia tidak mempertimbangkan bahwa keinginan itu


merugikan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, juga tidak

mempertimbangkan bahwa untuk memenuhi keinginanny itu

memerlukan biaya yang tidak terjangkau oleh orang tuanya. Bila

keinginannya tidak terpenuhi ia akan marah. Sebaliknya jika ia

merasa senang, bahagia, tanpa melihat tempat dan waktu ia akan

tersenyum dan tertawa, meskipun orang lain kadang-kadang tidak

mengetahui apa yang dirasakan oleh anak.

Tingkat emosi anak usia 10-12 tahun (Izzati,2009) curiosity about

sex, adanya kecendrungan untuk menjadi sempurna dengan standar

yang terkadang tidak realitis, mencoba tidak tergantung dengan

ortunya namun dengan best friendnya, berkurangnya rasa ketakutan

dan kehawatiran akan fantasi, timbulnya rasa kecemasan akan

prestasi sekolah, dan lingkungan sosial yang tidak menyenangkan

dalam situasi konflik atau situasi yang menekan, anak perempuan

mempunyai kecenderungan “emotional outburst” dan boys

kecenderungan sullen and sulky (merajuk/cemberut/dongkol).

2.3.2.4 Perkembangan Psikologis

Erikson mengidentifikasi masalah sentral psikososial pada masa ini

sebagai kritis antara kearifan dan inferioritas. Perkembangan kesehatan

membutuhkan peningkatan pemisahan dari orangtua dan kemampuan

menemukan penerimaan dalam kelompok yang sepadan serta

merundingkan tantangan-tantangan yang berada diluar (Arvin, 2002

dalam Sarayati, 2016). Pendekatan erikson dalam membahas proses

perkembangan anak adalah dengan menguraikan lima tahapan


perkembangan psikososial, yaitu percaya versus tidak percaya (0-1

tahun), otonomi versus rasa malu dan ragu (1-3 tahun), inisiatif versus

rasa bersalah (3-6 tahun), industry versus inferiority (6-12 tahun),

identitas versus keracunan peran (12-18 tahun).

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak

Secara umum perkembangan dipengaruhi oleh pengalaman (experience),

belajar (learning), dan kematangan (maturation). Adapun berbagai faktor

yang menyebabkan adanya perbedaan perkembangan pada anak (Izzati,

2009).

a. Internal

Kondisi fisik alat indra yang tidak berfungsi baik sindroma down

penyakit tertentu, keturunan,. Selain itu juga kondisi psikologis yang

berbeda yang ditunjukkan dengan kondisi dibawah rata-rata

kemampuan perkembangan anak seusiannya.

b. Eksternal

1. Kondisi saat didalam kandungan kondisi ibu (kurang gizi,

depresi, obat, alkohol, kafein).

2. Kondisi saat kelahiran proses kelahiran, kekurangan oksigen

ketika proses kelahiran terjadi.

3. Keluarga, pola asuh yang salah stimulasi yang kurang, keadaan

sosek, tingkat pendidikan.

4. Kondisi lingkungan sekolah, teman, masyarakat

5. Media elektronik TV, play station, game elektronik.

Anda mungkin juga menyukai