Anda di halaman 1dari 34

Prof.

Abdul Kadir Muhammad

ETIKA, MORAL, AGAMA


Etika
 Bertens (1994) menjelaskan, Etika berasal dari bahasa
Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal yang berarti
adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat
kebiasaan.

 Etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC)


sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.

 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Etika dirumuskan dalam


tiga arti, yaitu :
 ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
 kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
 nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
 Bertens tiga arti Etika dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kolompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Arti ini disebut juga sebagai "sistem nilai" dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasyarakat Misalnya Etika orang Jawa, Etika
agama Budha.
2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di
sini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia, Kode Etik
Notaris Indonesia,
3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti Etika
di sini sama dengan filsafat moral.
 Sumaryono (1995), Etika berasal dari istilah bahasa Yunani
ethos yang
mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari
pengertian ini kemudian Etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan
manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang
berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada
umumnya.

 Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan
ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui
kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi T Etika dapat
dibedakan antara Etika perangai dan Etika moral.
1. Etika Perangai
 Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang
menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di
daerah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai
tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat
berdasarkan hasil penilaian perilaku. Contoh Etika perangai adalah:
 berbusana adat;
 pergaulan muda-mudi;
 perkawinan semenda;
 upacara adat;
2. Etika Moral

 Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar


berdasarkan kodrat manusia. Apabila Etika ini dilanggar timbullah
kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar.
Kebiasaan ini . berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Contoh Etika moral adalah:
 berkata dan berbuat jujur;
 menghargai hak orang lain;
 menghormati orangtua atau guru;
 membela kebenaran dan keadilan.
 menyantuni anak yatim/yatim piatu.
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan
kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan manusia selalu dikehendaki yang
baik dan benar.

Karena ada kebebasan kehendak, maka manusia bebas memilih antara yang baik dan
tidak baik, antara yang benar dan tidak benar. Dengan demikian, dia
mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dibuatnya itu.

 Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila
manusia melakukan pelanggaran Etika moral, berarti dia berkehendak melakukan
kejahatan, dengan sendirinya pula berkehendak untuk dihukum. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang diciptakan
oleh penguasa.
Etika dan Etiket
 Perbedaan Kata Etika berarti moral, sedangkan kata
Etiket berarti sopan santun, tatakrama.

 Persamaan antara kedua istilah tersebut adalah


keduanya mengenai perilaku manusia. Baik Etika
maupun Etiket mengatur perilaku manusia secara
normatif, artinya memberi norma perilaku manusia
bagaimana seharusnya berbuat atau tidak berbuat.
Bertens (1994) mengemukakan empat
perbedaan seperti diuraikan berikut ini:
 Etika menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan itu boleh diiakukan
atau tidak, misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin. Bagaimana cara
masuknya, bukan soal.
Etiket menetapkan cara melakukan perbuatan, menunjukkan cara yang
tepat. baik, dan benar sesuai dengan yang diharapkan

 Etika berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang lain, misalnya
larangan mencuri selalu berlaku, baik ada atau tidak ada orang lain.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, jika tidak ada orang lain hadir, etiket
tidak berlaku, misalnya makan tanpa baju. Jika makan sendiri, tanpa orang
lain, sambil telanjang pun tidak jadi masalah.
 Etika bersifat absolut, tidak dapat ditawar-tawar, misalnya jangan mencuri, jangan
membunuh.
Etiket bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan dapat
saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh memegang kepala orang fain,
di Indonesia tidak sopan, tetapi di Amerika biasa saja.

 Etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah), orang yang bersikap etis
adalah orang yang benar-benar baik, sifatnya tidak bersikap munafik.
Etiket memandang manusia dari segi bar (lahiriah), tampak- nya dari iuar sangat
sopan dan halus, tetapi di dalam dirinya penuh kebusukan dan kemunafikan,
musang berbulu ayam. Penipu berhasil dengan niat jahatnya karena penampilannya
begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan korbannya.
Moral
 Bertens (1994). kata yang sangat dekat dengan Etika
adalah "moral". Kata ini berasal dari bahasa Latin mos,
jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan.
 Secara etimologis, kata Etika sama dengan kata moral,
keduanya berarti adat kebiasaan. Perbedaannya hanya
pada bahasa asalnya, Etika berasal dari bahasa Yunani,
sedangkan moral berasal dari bahasa Latin.
Dengan merujuk kepada arti kata Etika yang sesuai, maka arti kata moral
sama dengan arti kata Etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

 Apabila dikatakan : "Advokat yang membela perkara itu tidak bermoral",


artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma- norma etis
yang berlaku dalam kelompok profesinya.
 Apabila dikatakan: "Dosen itu bermoral bejat", artinya dosen itu berperilaku
tidak baik dan tidak benar, tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
pegangan dosen.
 Moralitas berasal dari bahasa Latin moralis yang pada dasarnya
mem- punyai arti sama dengan moral, tetapi lebih bersifat abstrak.
Moralitas suatu perbuatan artinya segi moral atau baik buruknya
suatu perbuatan. Moralitas adalah keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Dengan kata lain, moralitas
merupakan kualitas perbuatan manusiawi. dalam arti perbuatan itu
baik atau buruk, benar atau salah. Misalnya moralitas kolusi para
hakim dengan pihak berperkara adalah buruk. sedangkan moralitas
putusan hakim yang sesuai dengan rasa keadilan adalah baik.
Faktor Penentu Moralitas
 Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor penentu moralitas
perbuat­an manusia, yaitu:
1. motivasi;
2. tujuan akhir;
3. lingkungan perbuatan.

Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir, dan


lingkungannya juga baik. Apabila salah satu faktor penentu tersebut
tidak baik, maka keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak baik.
1. Motivasi adalah hal yang diinginkan oleh pelaku perbuatan dengan maksud
untuk mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki
secara sadar, sehingga menentukan kadar moralitas perbuatan.

Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga:


 yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik harta yang berstatus sebagai
pewaris;
 sasaran yang hendak dicapai adalah penguasaan harta warisan;
 moralitas perbuatan adalah salah dan jahat.

Apa Motivasi anda kuliah di FH UNSRI?


Apa Motivasi kerja anda nantinya?
 Tujuan akhir (sasaran) adalah diwujudkannya perbuatan yang
dikehendaki secara bebas. Moralitas perbuatannya ada dalam
kehendak.
Apa Tujuan Akhir dari motivasi anda?

 Perbuatan itu menjadi objek perhatian kehendak, artinya memang dikehendaki oleh
pelakunya. Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga yang telah
dikemukakan di atas :
 perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh;
 Diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya
pemilik harta (pewaris);
 moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan salah dan jahat.
 Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental
mengelilingi atau mewarnai perbuatan. Termasuk dalam pengertian
lingkungan perbuatan adalah :
 Manusia yang terlibat;
 kuantitas dan kualitas perbuatan;
 cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan;
 frekuensi perbuatan.

 Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat pula dikehendaki ada
pada perbuatan yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan
kadar moralitas perbuatan yaitu baik atau jahat benar atau salah.
Moralitas Sebagai Norma
 moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi,
sehingga perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk,
benar atau salah. Penentuan baik atau buruk, benar
atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai
ukuran. Sumaryono (1995) mengklasifikasikan
moralitas itu menjadi dua golongan, yaitu :
 moralitas objektif, dan
 moralitas subjektif.
 Moralitas objektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagaimana adanya. terlepas
dari segala bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya Moralitas ini dinyatakan dari
semua kondisi subjektif-khusus pelakunya misalnya kondisi emosional yang menyebabkan
pelaku lepas kontrol, apakah perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak.

 Moralitas objektif sebagai norma berhubungan dengan semua perbuatan. yang pada
hakikatnya baik atau jahat, benar atau salah, misalnya:
 Menolong sesama manusia adalah perbuatan baik.
 Mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat.

Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat
dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi, moralitasnya terletak
pada upaya untuk mempertahankan atau. membela diri (hak untuk hidup adalah hak asasi).
 Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagai
dipengaruhi oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya, latar belakang,
stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya.

Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan
suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhubungan
dengan semua perbuatan yang diwarnai oleh niat pelakunya niat baik atau
jahat. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu me-
nyelamatkan harta benda korban, ini adalah baik. Tetapi jika tujuan akhirnya
adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka per­buatan
tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelakunya.
 Moralitas dapat juga intrinsik atau ekstrinsik.
Moralitas intrinsik
menentukan perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakikatnya,
terlepas dari pengaruh hukum positif. Artinya penentuan benar atau salah
perbuatan tidak bergantung pada perintah atau larangan hukum positif.
Misalnya :
 Gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal.
 Jangan menyusahkan orang lain.
 Berikanlah apa yang terbaik.

Walaupun undang-undang tidak mengatur, perbuatan-perbuatan tersebut


secara intrinsik menurut hakikatnya adalah baik dan benar.
 Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah
sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan hukum positif.
Misalnya :
 Larangan menggugurkan kandungan.
 Wajib melaporkan adanya permufakatan jahat.

 Perbuatan-perbuatan ini diatur oleh undang-undang (KUHP). Jika


ada yang menggugurkan kandungan atau tidak melapor kepada yang
berwajib adanya permufakatan jahat, maka perbuatan tersebut
salah.
 Pada zaman modern mulai muncul perbuatan yang berkenaan dengan
moralitas, yang tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya
adalah: .
 Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.
 Aborsi untuk keselamatan ibu yang hamil.
 Menyewa rahim wanita untuk membesarkan janin bayi tabung.

Bagaimana menurut pendapat anda?


Persoalan moralitas hanya relevan apabila dikaitkan dengan manusia
seutuhnya.

 Menurut Driyarkara (1969), manusia seutuhnya adalah manusia yang


memiliki nilai pribadi, kesadaran diri dan dapat menentukan dirinya
dilihat dari setiap aspek kemanusiaan. Tidak setiap perbuatan
manusia dapat dikategorikan ke dalam perbuatan moral. Perbuatan
itu bernilai moral apabila di dalamnya terkandung kesadaran dan
kebebasan kehendak pelakunya. Kesadaran adalah suara hati nurani
dan kebebasan kehendak berdasarkan kesadaran.
Agama
Rumusan Pertama
 Agama dalam bahasa Belanda religie, dalam bahasa Inggris religion berarti pada
umumnya hubungan antara manusia dan suatu kekuasaan luar yang lain dan lebih
daripada apa yang dialami oleh manusia.

 Yang penting adalah bagian pengertian yang dianggap "suci" yang mendatangkan
rasa tunduk mahusia kepada-Nya, dan memperlakukannya dengan penuh khidmat,
yang sebaliknya menarik manusia kepada-Nya, dan manusia "itu mencintai-Nya dan
mempercayai-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya.

Agama mengajarkan hubungan antara pencipta (khalik) dengan yang diciptakan


(makhluk) yang disebut ibadah. Agama mempunyai unsur-unsur: wahyu, rasul,
risalah dan kitab suci,
Rumusan Kedua
 Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-
nabiNya, berupa perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat. Ciri-ciri umum agama adalah:
a. percaya kepada Yang Maha Gaib;
b. mengadakan hubungan dengan Yang Maha Gaib dengan melakukan upacara
(ritus), ibadah/pemujaan dan permohonan;
c. ada ajaran tentang Yang Maha Gaib;
d. ada sikap hidup yang ditumbuhkan oleh ketiga hal di atas.

Dilihat dari segi sumber, ada dua kategori agama, yaitu agama samawi
(yang diwahyukan) dan agama wad'i (hasil pemikiran manusia).
 Berdasarkan dua rumusan tadi, maka dapat dirinci
unsur-unsur penting dalam pengertian agama, yaitu:
1. percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. mengabdi kepada-Nya dengan ibadah;
3. berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang
diwahyukan kepada dan yang dituntunkan oleh utusan-
utusan-Nya;
4. untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta umat manusia
merupakan penopang moral yang terpenting.

Tuhan menciptakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang


menuntun dan mengarahkan perbuatan manusia kepada kebaikan
dan kebenaran.

Tuhan memerintahkan manusia agar berbuat baik dan benar sesuai


dengan tuntunan-Nya untuk mencapai tujuan, yaitu kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Agama dan Moral
Setiap agama mengandung ajaran moral. Agama adalah pernyataan orang
yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 Ajaran moral yang terkandung dalam agama meliputi dua macam norma,
yaitu norma yang berkenaan dengan ibadah yang berbeda di antara
bermacam agama, dan norma etis yang berlaku umum mengatasi
perbedaan agama, yaitu yang berkenaan dengan larangan, seperti dilarang
membunuh, dilarang berdusta, dilarang mencuri, dilarang berzinah.

Semua agama mengakui dan menerima norma etis tersebut.


 Apabila agama berbicara tentang nilai-nilai dan norma-norma, maka
ini merupakan motivasi agar umatnya mematuhi nilai- nilai dan
norma-norma yang sudah diterima berdasarkan iman.

Manusia merasa berdosa kepada Tuhan apabila melanggar perintah dan


larangan- Nya yang tertuang dalam norma-norma moral agama. Apabila
orang beriman percaya bahwa Tuhan telah menciptakan manusia di
muka bumi untuk patuh kepada perintah dan larangan-Nya, maka
keimanannya itu mengarahkan pikirannya kepada perilaku etis, supaya
manusia tidak melakukan kejahatan, misalnya abortus, bunuh diri.
 Manusia yang beriman kepada Tuhan percaya bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna, maka sudah sewajarnya agama menjadi dasar
moralitas.
 Moral memperoleh daya ikat dari agama. Agar kewajiban moral sungguh-sungguh
mengikat, maka perlu dipercaya ganjaran Tuhan atas perbuatan yang baik, dan
hukuman atas perbuatan yang buruk.

Walaupun manusia berhasil bebas dari hukuman hakim manusiawi, dia tidak akan
pernah bebas dari hukuman pengadilan Tuhan, sebagai hakim tertinggi yang maha
adil di hari kemudian. Bagi orang beragama, Tuhan adalah jaminan berlakunya
tatanan moral. Tuhan mengharuskan manusia berbuat baik dan benar sesuai dengan
tuntunan moral.
 Meskipun diakui bahwa banyak manusia yang mengabaikan agama,
tidak berarti mereka menolak moralitas. Moralitas bukanlah
monopoli orang beragama saja. Baik dan buruk, benar dan salah
tidak hanya berarti bagi mereka yang beragama.

Perlu ditekankan lagi bahwa agama menguatkan moral, makin tebal


keyakinan agama dan kesempurnaan taqwa seseorang, makin baik
moralnya yang diwujudkan dalam 'bentuk perilaku, walaupun ini tidak
mutlak. Orang beragama sudah pasti bermoral, tetapi orang bermoral
belum tentu mengamalkan agamanya.

Anda mungkin juga menyukai