Syok anafilaksis, yaitu komplikasi dari reaksi alergi . Pemicu reaksi ini biasanya datang dari
makanan, sengatan serangga, maupun obat-obatan tertentu.
Syok septik yang disebabkan oleh sepsis. Sepsis adalah komplikasi dari infeksi bakteri yang sangat
parah, yang menyebabkan adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah danmemicu kerusakan
serius pada organ-organ dalam.
Syok neurogenik yang terjadi akibat kerusakan pada sistem saraf pusat. Penyebab kerusakan ini
umumnya adalah cedera pada saraf tulang belakang.
Tatalaksana Syok
Terapi Cairan
Obat – obatan Vasopressor dan inotropik
Terapi Cairan
Defisit volume intravascular dapat diisi dengan cairan kristaloid atau koloid . Pada
pasien dewasa satu liter kristaloid atau 250 ml. Larutan koloid dapat diberikan
sebagai bonus awal dan dapat diulang pemberiannya sesuai dengan keperluan.
Pada pasien perdarahan/anemia pemberian larutan kristaloid atau koloid dapata
ditambahkan dengan pemberian packed – red blood cell untuk meningkatkan daya
angkaut oksigen (Hb) .
Target pertama pada resusitasi adalah untuk memperbaiki hipotensi . Setelah
hipotensi terkoreksi, takikardi akan menurun, dan hipoperfusi akan membaik,
produksi urine perlu dimonitor apakah resusitasi cairan sudah memadai. Target yang
dapat diterima secara umum untuk memperkirakan hipoperfusi sudah terkoreksi
adalah produksi urine, tingkat kesadaran Kembali normal, dan asidosis laktat telak
terkoreksi
Obat – obatan Vasopressor dan Inotropik
Dopamin
Dobutamin
Norefinefrin
Epineprin
Kegawatdaruratan pada Pasien
dengan Gagal Nafas
Definisi
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup masuk
dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,
membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik. Kegagalan
pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang karbon
dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah dapat
membahayakan organ tubuh (National Heart, lung, 2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak
adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan pCO2, darah arteri
dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia
(Arifputera, 2014).
Klasifikasi Gagal Nafas
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD:
Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri)
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh
setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri
yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan),
peningkatan perbedaan PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT .
Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia)
Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm
Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 -
PaO2 masih tetap tidak berubah.
Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan PaO 2 dan
peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan
perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan
gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III.
Klasifikasi gagal napas berdasarkan
lama terjadinya
Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai dengan perubahan hasil
analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul
pada pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul.
2. Gejala
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2 meningkat)
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)
Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa Gas Darah:
Hipoksemia ringan : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemia sedang : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemia berat : PaO2 < 40 mmHg
2. Pulse Oximetry
3. Capnography
4. Pemeriksaan Rontgen Dada
5. Ekokardiografi
6. Pulmonary Function Tests (PFTs)
Penatalaksanaan
Terapi Oksigen
Indikasi terapi oksigen adalah :
Hipoksemia yang nyata
Distress napas
Hipotensi
Trauma
Infark miokard dengan hipoksemia
Sesak tanpa hipoksemia
Simple Mask
Non rebreathing mask
Cara pemberian oksigen dan dosisnya
Laju oksigen (dalam
Laju oksigen L/menit)
dalam L/menit FIO2 (%)
Nasal cannula
•1 •24
•2 •28
•3 •32
•4 •36
•5 •40
•6 •44
Simple mask
•5-6 •40
•6-7 •50
•7-8 •60
Nonrebreathing mask
•4 •60
•10 •100
Venturi mask
•3 •24
•6 •28
•9 •35
•12 •40
•15 •50
VENTILASI MEKANIK
Ventilasi mekanik dipertimbangkan pada distres napas disertai keadaan seperti :
Stridor
Apnea
Penurunan kesadaran
Flail chest
Kelainan neuromuskular
Trauma pada mandibula dan jalan napas
Hipoksemia refrakter setelah pemberian terapi oksigen
Pertimbangan dalam pemilihan pengaturan setting ventilator adalah 3T, yaitu :
Target/Limit : Merupakan batasan dalam pemberian udara untuk inspirasi. Target dapat
berupa volume, maupun tekanan
Trigger : Pencetus siklus napas. Bisa menggunakan timer (inisiasi napas oleh ventilator) atau
usaha napas dari pasien (inisiasi napas oleh pasien)
Termination/Cycle: Terminasi inspirasi dan perpindahan ke ekspirasi dapat berdasarkan
volume, waktu, tekanan, maupun aliran udara
Kelemahan ventilator yang patut diwaspadai antara lain
Stres bagi pasien dan keluarga
Higiene saluran napas sulit dijaga
Tidak nyaman bagi pasien
Dapat menyebabkan distensi lambung
Hipoksemia muncul kembali segera saat dilepas
Harus diawasi dengan ketat
Salah pengaturan mode ventilasi dapat menyebabkan komplikasi, misalnya barotrauma
Peningkatan tekanan intratorakal dapat menurunkan curah jantung
Dapat menyebabkan infeksi nosokomial
Trakeostomi
prosedur yang dilakukan untuk menempatkan sebuah alat bantu napas berupa tabung
di tenggorokan Anda sebagai jalur napas buatan, sehingga pasien dapat lebih mudah
bernapas.
Komplikasi
1. Paru-paru
Gagal napas bisa menyebabkan fibrosis paru, pneumothorax dan gagal napas kronis. Pada pasien gagal napas yang
memiliki penyakit paru kronis, alat bantu napas mungkin akan perlu digunakan seumur hidup untuk membantu
mencukupi kebutuhan oksigennya.
2. Jantung
Gagal napas dapat memicu terjadinya serangan jantung, gagal jantung, dan kelainan irama detak jantung atau
aritmia akibat kekurangan oksigen pada jantung.
3. Ginjal
Gagal napas yang membuat kekurangan oksigen dapat dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Fungsi ginjal yang
rusak dan terganggu ini bisa memperparah gangguan elektrolit dan gangguan asam basa.
4. Otak
Gagal napas yang menyebabkan kekurangan oksigen dapat membuat sel otak mengalami kerusakan. Kondisi ini
bisa berkembang menjadi koma hingga kematian.
5. Sistem pencernaan
Gagal napas dapat memicu terjadinya perdarahan pada saluran pencernaan, serta gangguan pada lambung dan usus.
Daftar Pustaka
Sundana, k. (2014). Ventilator Pendekatan Praktis Di Unit Perawatan Kritis. Bandung: CICU
Bandung
Global Initiative of Astma. (2016). The Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Gina, 1–147. (online), available at: https://ginasthma. org/wp-content/uploads/2016/04/GINA-
2016-main-report_tracked.pdf, diakses tanggal 17 Januari 2019.
Hoorn, S.Ten dkk. (2016). Communicating With Conscius and Mechanically Ventilated Critically
Ill Patient:A Systematic Review. BioMed Central:Amsterdam, diakses pada 28 Oktober
2017https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27756433
Hutabarat, E. M. (2020). Kegawtadaruratan pada Pasien Syok. Retrieved from
http://repository.unpad.ac.id/frontdoor/index/ index/docId/36048