Anda di halaman 1dari 104

GAGAL NAPAS

Definisi
Gagal nafas : ketidakmampuan sistem pernafasan
untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran
udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh normal.
Ketidakmampuan mempertahankan nilai pH
(keasaman), oksigen (O2), dan karbondioksida (CO2)
darah arteri supaya tetap dalam batas normal.
Gagal nafas terjadi bila :

PO arterial (Pao) < 60 mmHg atau


PCO arterial (Paco) > 45 mmHg, kecuali jika
peningkatan PCO merupakan kompensasi dari alkalosis
metabolik.

PaO < 60 mmHggagal nafas hipoksemia, berlaku


bila bernafas pada udara ruangan biasa (fraksi O
inspirasi FO=0,21), maupun saat mendapat bantuan
oksigen.
PaCO > 45 mmHg gagal nafas hiperkapnia.

Klasifikasi
Gagal nafas ada dua macam yaitu
gagal nafas akut : gagal nafas yang
timbul pada pasien yang parunya
normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
gagal nafas kronik : terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik seperti
bronkitis kronik, emfisema dan penyakit
paru hitam (penyakit penambang
batubara).

Gagal napas dibagi menjadi :


Hipoksemi (tipe I) : kegagalan transfer
oksigen dalam paru
Hiperkapnia ( tipe II) : kegagalan
ventilasi untuk mengeluarkan CO

ETIOLOGI GAGAL
NAPAS
GANGGUAN EKSTRINSIK
PARU
Penekanan pusat
pernapasan
Overdosis obat
(sedatif/narkotik)
Trauma serebral atau
infark
Poliomielitis bulbar
Ensefalitis

Gangguan neuromuskular
Cedera medula servikalis
Sindroma guillain-barre
Sklerosis amiotrofik
lateral
Miatenia gravis
Distrofi muskular

Gangguan pleura dan


dinding dada
Cedera dada (flail
chest,fraktur tulang iga)
Pneumotoraks
Efusi pleura
Kifoskoliosis
Obesitas : sindrom
pickwickan

GANGGUAN INTRINSIK
PARU
Gangguan obstruktif
difus
Emfisema
Asma,status asmatikus
Fibrosis kistik

Gangguan restriktif

Fibrosis intersisial
Sarkoidosis
Skleroserma
Edema paru
Kardiogenik
Non kardiogenik

Atelektasis
Pneumonia konsolidasi

Gangguan pembuluh
darah paru
Emboli paru
Emfisema berat

Tipe

Contoh

Hipoventilasi
Obstruksi jalan nafas
Penyakit paru
Penyebab neurologi
Cedera dada

Spasme laring, aspirasi benda


asing, edema jalan nafas
Asma, COPD
SCI, overdosis obat, stroke
pneumothoraks

Gangguan difusi gas


Gangguan alveolar
Edema paru

Pneumonia, COPD
Gagal jantung

V-P mismatch

Emboli paru

Gagal Napas Hipoksemia

Gagal Napas Hipoksemia


a. Definisi
. Merupakan keadaan kadar PO2
arterial yang rendah, tetapi PaCO2
normal atau rendah.
. Hipoksemia dapat terjadi pada :
Atmosfer yang memiliki kadar O2 yang
sangat rendah.
Penyakit yang mempengaruhi parenkim
atau sirkulasi paru.

Gagal Napas Hipoksemia


b. Etiologi
Pneumonia
Aspirasi isi lambung
Emboli paru
Asma
ARDS

Gagal Napas Hipoksemia


c. Patofisiologi
Mekanisme Hipoksemia
Mekanisme

PaCO2

PAO
2

PO2 alveolar
PO2 inspirasi
Hipoventilasi

Campuran
darah vena
Pirau kanan
kiri.
V/Q
missmatching
Keterbatasan
difusi

N atau

N atau

N atau

P (Aa)
O2

Norm
al
Norm
al

N
N
N

PO2
pada
100%
O2
>550
>550

<550
<550
<550

Contoh

Ketinggian
Penyakit neuromuskular,
sindrom obesitashipoventilasi

ARDS, defek septal


Pneumonia,asma, PPOK
Proteinosis alveolar

Gagal Napas Hipoksemia


d. Gejala
Ansietas
Takikardia
Takipnea
Diaforesis
Aritmia
Perubahan status mental
Bingung
Sianosis
Hipertensi
Hipotensi
Kejang
Asidosis laktat merangsang ventilasi

Gagal Napas Hipoksemia


e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum
Suplementasi oksigen
Ventilasi mekanik Positive End
Expiratory Pressure (PEEP) pada ARDS.
Pada penyakit paru yang tidak merata
pada semua bagian paru

Miringkan pasien pada posisi dimana area


paru tidak terkena meningkatkan
oksigenasi.
Pasien dengan hemoptisis berat atau
sekret/dahak banyak karena dapat
menyebabkan aspirasi darah atau sekret ke
area yang belum terkena.

Gagal Napas Hipoksemia


Pada ARDS
Pasien ditempatkan dalam posisi pronasi
(tengkurap) mencegah prolaps pada
sisi paru yang tergantung.
Posisi tersebut juga dapat memperbaiki
hipoksemia arterial dalam beberapa
jam.

Gagal Napas Hipoksemia


Penatalaksanaan khusus
1.Jalan napas (airway)
2.Oksigen
3.Bronkodilator
4.Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
5.Antikolinergik
6.Teofilin
7.Kortikosteroid
8.Eksprektoran dan nukleonik

Gagal Napas Hipoksemia


1. Oksigen
Insersi jalan napas artifisial (misalnya ETT)
. Indikasi :
1. Secara fisiologis :

Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen


PCO2 > 55 mmHg + pH < 7,25.
Kapasitas vital <15 mL/kg dengan penyakit
neuromuskular.

2. Secara klinis :

Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan


napas.
Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik.
Obstruksi jalan napas atas (pertimbangkan trakeostromi
jika obstruksi terletak di atas trakea)
Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh
pasien, dan membutuhkan penyedotan.

Gagal Napas Hipoksemia


Keuntungan jalan napas artifisial :

Dapat melintasi obstruksi jalan napas atas.


Menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan.
Memfasilitasi ventilasi tekanan-positif dan PEEP
(Possitive End Expiratory Pressure).
Memfasilitasi penyedotan sekret.
Rute untuk bronkoskopi fiberoptik.

Risiko jalan napas artifisial :

Trauma insersi.
Trauma orofaring atau nasofaring karena
penekanan kronik.
Kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia).
Gangguan respons batuk.
Risiko aspirasi meningkat.
Tak dapat berbicara.
Meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.

Gagal Napas Hipoksemia


2. Oksigen
Oksigen diberikan dengan FiO2 60-100%
dalam waktu pendek sampai kondisi
membaik dan terapi yang spesifik
diberikan.
3. Bronkodilator
Merupakan terapi utama untuk penyakit
paru obstruktif.
Namun dapat juga pada :
Edema paru
ARDS
Mungkin pneumonia.

Gagal Napas Hipoksemia


4. Agonis betaadrenergik/simpatomimetik
Yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin.
Obat-obatan ini > efektif dan efek samping
bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan secara parenteral atau oral.
Efek samping :

Tremor
Takikardia
Palpitasi
Aritmia
Hipokalemia

Gagal Napas Hipoksemia


5. Antikolinergik
Misalnya ipratropium bromida dalam
bentuk MDI (Metered-Dose Inhaler).
Indikasi : Bronkitis kronik.
Harus selalu digunakan dalam
kombinasi dengan agonis betaadrenergik.

Gagal Napas Hipoksemia


6. Teofilin
Kurang kuat sebagai bronkodilator
dibandingkan agonis beta-adrenergik.
Mekanisme teofilin berkurang pada keadaan :

Demam
Usia lanjut
Berhentik merokok
Dengan obat yang meningkatkan metabolisme
Penyakit hati
Gagal jantung

Efek samping :

Takikardia
Mual dan muntah
Aritmia jantung
Hipokalemia
Perubahan status mental
Kejang

Gagal Napas Hipoksemia


7. Kortikosteroid
Mekanismenya adalam menurunkan inflamasi jalan
napas tidak diketahui pasti.
Namun dapat menyebabkan perubahan pada sifat dan
jumlah sel inflamasi pada pemberian sistemik dan
topikal.
Kortikosteroid aerosol kurang baik pada gagal napas
akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau
parenteral.
ES kortikosteroid parenteral :

Hiperglikemia
Hipokalemia
Retensi natrium dan air
Miopati steroid akut (terutama pada dosis berat)
Gangguan sistem imun
Kelainan psikiatrik
Gastritis
Perdarahan gastrointestinal

ES kortikosteroid inhalasi :

Batuk karena provokasi bronkospasme


Kandidiasis oral dan faring

Gagal Napas Hipoksemia


8. Ekspektoran dan nukleonik
Kalium yodida oral mungkin berguna untuk
meningkatkan volume dan menipiskan sputum
yang kental.
Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada
sekret jalan napas (terutama pasien dengan ETT).
Sedikit (3-5 ml) NaCl 0,9% salin hipertonik dan
natrium bikarbonat hipertonik diteteskan
sebelum penyedotan keluar sekret yang lebih
banyak.
Asetilsistein Mukolitik yang kuat
Jika diperlukan, dapat diberikan saat lavase dengan
bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang
bermasalah.

Gagal Napas Hipoksemia


9. Tatalaksana lain
Fisioterapi dada dan nutrisi perlu diintergrasikan
dalam tata laksana menyeluruh gagal napas akut.
Pemantauan hemodinamik
Pengukuran rutin :

Frekuensi denyut jantung


Ritme jantung
Tekanan darah sistemik
Tekanan vena sentral

Dengan teknik yang lebih invasif kateterisasi


jantung kanan.

Pemantauan respirasi

Frekuensi napas
Penilaian mekanik respirasi
Pertukaran udara
Fungsi terintergrasi sistem kardiovaskuler dan
respirasi

Gagal Napas Hiperkapnia

Gagal Napas Hiperkapnia


a. Definisi
. Merupakan keadaan dimana kadar
PaCO2 arterial yang abnormal
tinggi.
. CO2 meningkat O2 tersisih dalam
alveolus PaO2 arterial menurun.
. Sehingga pada pasien biasanya
didapatkan hiperkapnia dan
hipoksemia bersama-sama.

Gagal Napas Hiperkapnia


b. Etiologi
PPOK
Asma berat
Fibrosis paru stadium akhir
ARDS berat

Gagal Napas Hiperkapnia


c. Patofisiologi
Mekanisme hiperkapnia.
Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi
saat :
1. Nilai VE di bawah normal.
2. Nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio V D/VT
meningkat.
3. Nilai VE di bawah normal dan rasio V D/VT
meningkat.
Keterangan :
. VE : Jumlah total udara yang masuk dan keluar
kedua paru /menit
. VD/VT : Derajat inefisiensi ventilasi kedua paru.

Gagal Napas Hiperkapnia


d. Gejala
Somnolen
Letargi atau apatis
Koma
Asteriks
Tidak dapat tenang
Tremor
Bicara kacau
Sakit kepala
Edema papil

Gagal Napas Hiperkapnia


e. Penatalaksanaan
Hiperkapnia hipoventilasi alveolar.
Sehingga dilakukan :

Ventilasi alveolar ditingkatkan dengan :

Penyedotan sekret
Stimulasi batuk
Drainase postural
Perkusi dada atau dengan membuat jalan napas artifisial
dengan selang endotrakeal atau trakeostomi.

Ventilator mekanik

Pada hiperkapnia kronik menyebabkan alkalosis berat


dan mengancam nyawa

Oksigen tambahan
Terapi suportif

Pada gagal napas hiperkapnia karena overdosis obat


sedatif atau botulisme dan trauma dada.

ARDS

ARDS
Merupakan suatu sindrom kegagalan
pernapasan akut yg ditandai dg edema
paru akibat peningkatan permeabilitas
Konsensus Komite Konferensi ARDS
Amerika-eropa tahun 1994

Gagal napas dg onset akut


Rasio tekanan pembuluh arteri berbanding
fraksi oksigen yg diinspirasi (PaO2 / FiO2) <
200 mHg hipokesmia berat
Radiografi dada: infiltrat alveolar bilateral yg
sesuaidg edema paru
Tekanan baji kapiler pulmoner < 18mmHg,
tanpa tanda klinis dan adanya hipertensi
atrial kiri (tanpa adanya tanda gagal jantung
kiri)

Etiologi tersering pd pediatri


Syok
Sepsis
Hampir-tenggelam

Kelainan yg berhubungan dengan


ARDS
Direct lung injury

Indirect lung injury

Pneumonia
Aspirasi gaster
Kontusio pada pulmonar
Inhalasi toksik

Sepsis
Multiple bone fractures
Flail chest
Trauma kepala
Luka bakar
Multiple transfusion
Overdosis obat
Pankreatitis
Post-cardiopulmonary
bypass

Manifestasi klinis
Gejala paru segera setelah cedera akut
sangat meinima, karena seringkali ada
periode laten hanya distres napas
ringan yg disertai hiperventilasi,
auskultasi paru bersih
4-24jam berikutnya hipoksemia dan
distres pernapasan semakin jelas,
sianosis, dispneu, takipneu berat
disertai ronkhi basah inspirasi difus
Kemudian penderita bertahap
membaik, tetapi sebagian mengalami
perburukan hipoksemia &
hiperkapnia berat

DD
Edema paru kardiogenik
Infeksi paru (viral, fungal, bakteri)
Edema paru yg berhubungan dg
ketinggian
Edema paru neurogenik
Edema paru diinduksi laringospasme
Edema paru diinduksi obat (heroin,
salisilat, kokain)
Pneumonitis radiasi
Sindrom emboli lemak
Stenosis mitral dg perdarahan alveolar
Vaskulitis
Pneumonitis hipersensitivitas
Penyakit paru interstisial

Tatalaksana
Ambil alih fungsi pernapasan dg
ventilator mekanik
Obat2an:
Kortokosteroid ARDS pd fase lanjut
(pasien dg hipoksemia berat yg
persisten)
Inhalasi NO efek vasodilatasi, selektif
pd area paru yg terdistribusi
menurunkan pirau intrapulmoner &
tekanan arteri pulmoner, memperbaiki
V/Q matching & oksigenasi arterial
(pasien dg hipoksia berat yg refrakter)

Tatalaksana
Posisi pasien :
Telungkup meningkatkan o2

Cairan, harus menghiting


keseimbangan antara:
Kebutuhan perfusi organ yg optimal
Peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskular mendorong akumulasi
cairan di alveolus pd keadaan
ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan

Komplikasi

MODS
Pneumonia nosokomial
Barotrauma, pneumotoraks
Sinusitis
Trauma laring
Trakeomalasia
Fistula trakeo-esofageal
Erosi arteri inominata
Kematian

Prognosis
Mortalitas 40%, prognosis dipengaruhi
oleh:

Faktor resiko (sepsis, pasca trauma)


Penyakit dasar
Adanya keganasan
Adanya atau timbulnya MODS
Usia
Riwayat penggunaan alkohol
Ada atau tidaknya perbaikan dlm indeks
pertukaran gas, seperti rasio PaO2/FiO2,
dalam 3-7hr pertama

ASMA
Penyakit paru obstruktif, difus
dengan:
Hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan
Tingginya tingkat reversibilitas proses
obstruktif
yg dpt terjadi secara spontan atau
sebagai akibat pengobatan

PATOFISIOLOGI

Faktor2 yg mempengaruhi aktivasi


proses asma
Faktor imunologis (alergik)
Faktor endokrin
Lebih buruk pd saat kehamilan dan
menstruasi, terutama pd pramenstruasi
dan dpt tibul pd menopause

Faktor psikologis (emosi)

Derajat penyakit asma (GINA 2006)

Intermiten
Gejala < 1x/minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tdk > 2x/bln ( 2x)
FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai
terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

Persisten ringan
Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari
Serangan dpt mengganggu aktivitas dan
tidur
Gejala nokturnal > 2x/bln
FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai
terbaik individu

Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari


Serangan dpt mngganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1x dlm seminggu
Menggunkan agonis-2 kerja pendek setiap
hari
FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-89% nilai
terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

Persisten berat

Gejala setiap hari


Serangan sering terjadi
Gejala nokturnal sering terjadi

FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai


terbaik individu
Varuaibilitas PEF atau FEV1 > 30 %

Klasifikasi asma
1. Asma episodik jarang

70% populasi asma pd anak


Episode < 1x tiap 4-6 mgu
Mengi setelah aktivitas berat
Tdk terdapat gejala diantara episode
serangan
Fungsi paru normal diantara serangan

2. Asma episodik sering

20% populasi asma


Frekuensi serangan lebih sering
Mengi setelah aktivitas sedang, dpt dicegah
dg pemberian agonis- 2
Gejala < 1x/mgu
Fungsi paru dianta serangan normal atau
hampir normal

Klasifikasi asma
3. Asma persisten

5% Populasi asma
Seringnya episode akut
Mengi pd aktivitas ringan
Di antara interval gejala dibutuhkan
agonis- 2 > 3x/mgu
Anak terbangun di malam hari atau
terasa berat di pagi hari
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

PARAMETER
KLINIS,
FUNGSI
PARU,
LABORATORI
UM

RINGAN

SEDANG

BERAT
TANPA
ANCAMAN HENTI
NAPAS

SESAK

BERJALAN
BAYI :
MENGANGIS
KERAS

BERBICAR
A
BAYI :
TANGIS
PENDEK &
LEMAH,
KESULITAN
MENYUSU
& MAKAN

ISTIRAHAT
BAYI : TIDAK
MAU
MINUM/MAKAN

POSISI
TUBUH

BISA
BERBARING

LEBIH
SUKA
DUDUK

DUDUK
BERTOPANG
LENGAN

BICARA

KALIMAT

PENGGAL
KALIMAT

KATA-KATA

KESADARAN

MUNGKIN

BIASANYA

BIASANYA

DENGAN
ANCAMAN
HENTI
NAPAS

KEBINGUNG

PARAMETER
KLINIS,
FUNGSI
PARU,
LABORATORI
UM

RINGAN

SEDANG

BERAT
TANPA
ANCAMAN
HENTI NAPAS

DENGAN
ANCAMAN
HENTI NAPAS

SIANOSIS

TIDAK ADA

TIDAK ADA ADA

NYATA

MENGI

SEDANG,
SERING
HANYA PADA
AKHIR
EKSPIRASI

NYARING,
SEPANJAN
G
EKSPIRASI
&
INSPIRASI

SANGAT
NYARING,
TERDENGAR
TANPA
STETOSKOP
SEPANJANG
EKSPIRASI &
INSPIRASI

SULIT/TIDAK
TERDENGAR

PENGGUNAA
N OTOT
BANTU
RESPIRATORI
K

BIASANYA
TIDAK

BIASANYA
YA

YA

GERAKAN
PARADOKSTO
RAKOABDOMI
NAL

RETRAKSI

DANGKAL,

SEDANG,

DALAM,

DANGKAL,

PARAMETER
KLINIS, FUNGSI
PARU,
LABORATORIUM

RINGAN

SEDANG

BERAT
TANPA
ANCAMAN
HENTI NAPAS

DENGAN
ANCAMAN
HENTI NAPAS

FREKUENSI
NAPAS

TAKIPNEA TAKIPNEA

TAKIPNEA

BRADIPNEA

FREKUENSI NADI

NORMAL

TAKIKARDI

TAKIKARDI

BRADIKARDI

PULSUS
PARADOKSUS

TIDAK
ADA
< 10
mmHg

ADA
10 20
mmHg

ADA
>20mmHg

TIDAK ADA,
TANDA
KELELAHAN
OTOT NAPAS

>60%

40-60%

<40%

>80%

60-80%

<60%
RESPON < 2
JAM

>95%

91-95%

90%

PEFR atau FEV1


PRA
BRONKODILATOR
PASCA
BRONKODILATOR
SaO2

Manifestasi klinis

Batuk
Mengi
Takipneu
Dispneu
Ekspirasi panjang serta
menggunanakan otot2 tambahan
Sianosis
Hiperinflasi dada
Takikardi
Pulsus paradoksus

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi paru :
PEFR
Pulse oxymetry
Spirometri
Musle strength testing
Volume paru absolut
Kapasitas difusi
Pemeriksaan ini apabila ada manisfestasi gejala
asma yang tidak khas

Pemeriksaan hiperaktivitas saluran napas :


Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, olahraga, udara dingin/kering, salin
hipertonik sangat menunjang diagnosis
Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi
fungsi paru tampak normal penilaian respon
sal.napas terhadap metakolin, histamin, olahraga
untuk menegakkan diagnosis asma
Pengukuran ini sensitif terhadap asma tetapi
spesifitasnya rendah
Pengukuran petanda inflamasi sal.napas non-invasif
Memeriksa eosinofil sputum
Pengukuran kadar NO ekshalasi

Penilaian status alergi :


Uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum
Dapat membantu dalam menentukan
faktor risiko atau pencetus asma

Status asmatikus
Jika penderita asma berlanjut
menderita distres pernapasan yg
berarti walaupun dg pemberian
obat2 simptomimetis.
Para penderita status asmatikus
hipoksemik peberian oksigen u/
mempertahankan oksigenasi jaringan
Dpt terjadi dehidrasi masukan
cairan tdk mencukupi, kehilangan
cairan yg tdk terasa akibat takipneu

Penanganan

Oksigenasi
Efektif diberikan melalui pipa hidung
atau masker dg kecepatan aliran 2-3
L/menit
Kadar O2 yg cukup PaO2 70-90mmHg
atau saturasi O2 > 92%

Pemberian cairan
Jgn berlebihan (overhidrasi) kenaikan
sekresi ADH, menambah retensi cairan
dan karena tekanan pleura puncakinspirasi sangat negatif (pd anak2)
membantu pengumpulan cairan dlm
sela interstisial di sekeliling jln napas.

Penanganan
Terapi aerosol
Aminofilin
agonis- 2
Terbutalin

Obat2 antimuskarinik

Atropin sulfat bersama dg nebulasi agonis lebih efektif dibandingkan dg salah satu
saja
Inpratropin bromida

Golongan kortikosteroid
metilprednisolon

BRONKODILATOR KERJA CEPAT :


Salbutamol nebulisasi
Dosis salbutamol 2,5 mg/kali nebulisasi tiap 4 jam
kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila
kondisi membaik
Pada kasus berat , bisa diberikan setiap jam untuk
waktu singkat
Salbutamol MDI
Epinefrin subkutan
Jika salbutamol tidak tersedia, beri epinefrin dengan
dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1000
Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit ulangi
dosis yang sama
Bila gagal dirawat sebagai serangan berat,
berikan steroid & aminofilin

BRONKODILATOR ORAL :
Ketika anak membaik untuk bisa dipulangkan, bila
tidak tersedia salbutamol hirup berikan
salbutamol oral
Dosis 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam
STEROID :
Jika anak mengalami serangan wheezing atau berat
berikan KS sistemik metilprednisolon 0.3
mg/kgBB/kali IV/oral 3x sehari selama 3-5 hari
AMINOFILIN :
Dosis awal (bolus) 6-8mg/kgBB dalam 20 menit
Bila 8 jam sebelumnya sudah mendapat aminofilin,
beri dosis setengahnya diikuti dosis rumatan 0.5-1
mg/kgBB/jam
Hentikan aminofilin IV segera apabila anak mulai
muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit kepala,

CHEST WALL DEFECTS


1. Flail Chest
2. Neuromuscular
Diseases

Flail Chest
Posttraumatik
Nyeri dan pernapasan paradoks
Penurunan suara pernafasan
Tatalaksana oksigenasi cegah
hipoventilasi
Berikan intubasi endotrakeal bila
saturasi oksigen < 95% atau terjadi
hipoventilasi ok nyeri.
Berikan analgesic (morfin, fentanil)

Neuromuscular Diseases
Dispnea, hipoksemia dan hiperkapnea
Penyebab: Guillain-Barr syndrome,
myasthenia gravis, periodic paralysis,
botulism, and tick paralysis
Tatalaksana : evaluasi dengan pulse
oksimetri, analisa gas darah, dan tes
fungsi paru (kapasitas vital)
Bila gas darah sudah stabil Lakukan
pemasangan intubasi
Penatalaksanaan disesuaikan dengan
masing2 penyebab.

PULMONARY COLLAPSE
1. Pneumothorax
2. Hydrothorax & Hemothorax
(Pleural Fluid or Blood)
3. Massive Atelectasis

Pneumothorax
Nyeri dada, penurunan suara pernafasan
bergantung pada derajat kolapsnya
paru
Tension pneumotoraks Pergeseran shift
mediastinum, pelebaran vena leher,
hipotensi dan syok.
Tatalaksana thoracostomi
Cateter aspirastion utk reexpansion
paru
Pada penumotoraks yg rekuren surgical

Hydrothorax & Hemothorax (Pleural


Fluid or Blood)

Dapat mengakibatkan paru2 kolaps


dyspnea or respiratory distress
terdengar dullness saat perkusi
tatalaksana :
Hydrothorax

drainage
Cairannya kemudian digunakan utk analisis (pH,
specific gravity, cell count, glucose, protein, lactate
dehydrogenase, and amylase), culture (for
Mycobacterium tuberculosis and other bacteria), and
cytologic studies.

hemothoraks

Lakukan autotransfusion
aortic angiography, exploration

Massive Atelectasis
Penurunan pergerakan dada,
Dyspnea, tachycardia, and cyanosis
Oksigenasi dan atasi etiologi nya

LOSS OF FUNCTIONAL
LUNG PARENCHYMA
(1) pulmonary edema,
(2) pneumonia (including aspiration
pneumonia),
(3) interstitial disease
(4) Aspiration.

Pulmonary Edema
Gejalanya tidak terlalu berat
(dyspneic)
Noncardiogenic edema lebih berat
dan lebih akut dibandingkan
cardiogenic form
Tatalaksana oksigenasi
Endotracheal intubation

Pneumonia
Ada gejala demam dan batuk
Dyspnea Gejala sekunder dan
terjadi agak terlambat
Pasien AIDS dapat menderita
pneumonia ok Pneumocystis carinii
manifestasi kliniknya sedikit dan
Px CTscn normal
Tatalaksana berikan antibiotic

Diffuse Interstitial Pulmonary


Disease
Biasanya ditandai dengan chronic
dyspnea biasangya datang ke
emergency akibat perburukan gejala.
chest x-ray interstitial infiltrates,
arterial PCO2 and PO2 rendah

Aspiration
Biasanya sering pada pasien dengan
penurunan kesadaran (ditandai
dengan muntah)
Tatalaksana bersihkan jalan nafas
Endotracheal intubation
emergency bronchoscopy (jika tidak
memgknkn)

AIRWAY DISEASE
1. Upper Airway Obstruction
2. Asthma, Chronic Obstructive
Pulmonary Disease, &
Pulmonary Fibrosis

Upper Airway Obstruction


Dapat bermanifestasi : stridor, peningkatan usaha
bernafas (intercostals, suprasternal, or
supraclavicular)
fiberoptic laryngoscopy dapat membantu
penyebab : benda asing, hipertrofi tonsil,
epiglotitis, anafilaksis dengan edema laring,
abses retropharyngeal, dan tumor.
Tatalaksana benda asing disingkirkan
Anafilaksis dengan edema laring injeksi
epinefrin 0,5 1 mg (atau diphenhydramine,
famotidine)
Surgical cricothyrotomy bila obstruksinya
progresif

Asthma, Chronic Obstructive


Pulmonary Disease, & Pulmonary
Fibrosis
Dyspnea, batuk
Pada px auskultasi wheezing
Pada tatalaksana didasarkan pada
etiologinya

PULMONARY VASCULAR
DISEASE
1. Acute Pulmonary Embolism
2. Chronic Pulmonary Vascular
Obstruction (Repeated Small
Pulmonary Emboli)

Acute Pulmonary Embolism


dyspnea, tachypnea, tachycardia,
hypoxemia, and hypocapnia
demam ringan , batuk, hemoptisis,
dan wheezing
pada px X-ray infiltrat pulmonar
(efusi)
Tatalaksana berikan oksigenasi
Bila dicurigai adanya embolisasi utk
mengatasinya berikan heparin

MISCELLANEOUS
CONDITIONS

Psychogenic
Hyperventilation &
Pulmonary Neurosis
Pleurisy
Metabolic Acidosis
Anemia, Pregnancy, &
Thyrotoxicosis
Neurologic
Hyperventilation

Psychogenic
Hyperventilation &
Pulmonary Neurosis
dyspnea and anxiety
psychogenic
hyperventilation
hypocapnia
(circumoral tingling,
carpopedal spasm,
tetany)
respiratory alkalosis

Metabolic Acidosis
Ok diabetic ketoacidosis, salicylate
overdose
Terjadi hiperventilasi , dispnea
hypocapnia (PCO2 of 1020 mm Hg),
PO2 normal atau tinggi
tatalaksana berdasarkan
etiologinya

Neurologic Hyperventilation
central hyperventilation and CheyneStokes respiration
PO2 normal; PCO2 may be low or
high.

Sindrom Gawat Nafas pada


Neonatus (SGNN)
adalah keadaan dimana terdapat kumpulan
gejala yang terdiri atas dispneu, sianosis,
takipneu, penggunaan otot-otot bantu
nafas dan adanya merintih, yang dapat
berakibat kematian atau cacat fisik dan
mental di masa depan

FAKTOR RISIKO
Faktor pada kehamilan :

Kehamilan kurang bulan.


Kehamilan dengan penyakit Diabetes Melitus.
Kehamilan dengan gawat janin.
Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
Kehamilan dengan pertumbuhan janin
terhambat.
Kehamilan lebih bulan.
Infertilitas.

Faktor pada partus :

Partus dengan infeksi intra partum.


Partus dengan tindakan
Partus dengan penggunaan obat sedatif.

FAKTOR RISIKO
Faktor pada bayi :

Skor apgar yang rendah.


Bayi berat lahir rendah.
Bayi kurang bulan.
Berat lahir lebih dari 4000 gram.
Cacad bawaan.
Frekwensi pernafasan dengan 2 kali observasi
lebih dari 60/menit.

Patogenesis

Prematuritas
Predisposisi
familial
Asidosis

Asfiksia
intrapartum

Gangguan
Metabolisme
sel

Surfaktan
yang
menurun

Hipoperfusi
alveolar

Atelektasis
progresif
Hipoventilasi

pCO2, pO2,
pH

Penyempitan
pembuluh
Darah paru

Syok
hipotensi
Hipovolemia

Takipnea
sementara
Asfiksia neonatal
Hipotermia
Apnea

Patogenesis
Hipoksia akan menimbulkan :
1. Oksigeniasi jaringan menurun dan
ischemia
akan terjadi metabolisme anaerobik dengan
penimbunan asam laktat dan asam organik
lainnya yang menyebabkan asidosis metabolik
pada bayi.

2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel


duktus alveolaris
akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya
fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang
nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin

GEJALA KLINIS

Dispnea
Merintih saat ekspirasi (grunting)
Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit)
Pernafasan cuping hidung
Retraksi dinding thoraks (suprasternal,
epigastrium atau interkostal) pada saat inspirasi
Sianosis
hipotensi
Brakikardia
Kardiomegali
pitting oedema terutama di dorsal tangan/kaki
Hipotermia
tonus otot menurun

PENATALAKSANAAN
1. Resusitasi ABC
2. Pemberian O2
Konsentrasi O2 dipertahankan supaya PaO2 antara 80-100
mgHg.

3. Pemberian Antibiotika
penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau ampicilin
(100mg/KgBB/hr) dgn gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr)

4. Pemberian NaHCO3
Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)
Tujuan :mempertahankan PH darah antara 7,35-7,45

5. Pemberian Surfaktan Buatan


6. Memberikan lingkungan yang optimal
(meletakan bayi dalam inkubator)

7. Pemberian cairan intravena


disesuaikan dgn kebutuhan kalorinya (dekstrose 10%

Pencegahan
Mencegah kelahiran prematur
Mencegah kelahiran bayi dengan IUGR (Intra
Growth Retardation)
Antenatal ultrasound untuk lebih dapat
menentukan gestasi secara akurat dan
mendeteksi keadaan fetus
Fetal monitoring yang berkelanjutan untuk
mendeteksi keadaan fetus dan mengetahui
perlunya intervensi segera bila terjadi fetal
distress
Menentukan pematangan paru sebelum
persalinan dengan pemeriksaan L/S rasio
Pengendalian kadar gula ibu hamil yang
menderita DM
Optimalisasi kesehatan ibu hamil
Menghindari SC yang sebenarnya tidak
diperlukan

KOMPLIKASI

Perdarahan intrakranial oleh karena belum


berkembangnya vaskularisasi sistem saraf pusat
Pada intubasi trakea bisa terjadi asfiksasi akibat
obstruksi pipa, cardiac arrest ,stenosis

subglotis

kesadaran yang
menurun, apneu, gerakan bola mata yang
aneh, kekakuan extremitas dan kejang
neonatus
Komplikasi pneumotoraks atau pneuma
Gejala neurologik berupa

mediastinum pada bayi yang mendapatkan bantuan


ventilasi mekanis.
koagulasi intravaskular diseminata pada
penderita dengan sepsis oleh kuman gram negatif

Paten ductus arteriolus

Daftar Pustaka
dr. Aru W. Sudoyo,dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta :
InternaPublishing, 2009

Anda mungkin juga menyukai