Anda di halaman 1dari 37

SYOK

1. DEFINISI SYOK
Syok didefinisikan sebagai kondisi abnormal pada sistem sirkulasi tubuh yang
menyebabkan kegagalan akut dalam mempertahankan perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang adekuat. Kegagalan sirkulasi ini terjadi akibat berkurangnya distribusi
oksigen serta unsur – unsur gizi ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan cidera
seluler dan hipoksia jaringan yang mula – mula bersifat reversible lama – lama dapat
menjadi irreversible, ditandai dengan kegagalan multiorgan bahkan sampai
menimbulkan kematian (Harisson, 2013).
Kondisi terjadinya syok dapat ditandai ketidakseimbangan antara jumlah
oksigen yang dihantarkan ke jaringan (Delivery Oxygen/DO2) dengan jumlah oksigen
yang dapat dikonsumsi oleh jaringan tubuh (Oxygen Consumption/VO2). Penurunan
penghantaran oksigen akibat adanya gangguan sistem sirkulasi dipengaruhi oleh tiga
komponen penting sebagai penentu keadekuatan aliran darah yaitu isi atau volume
darah, jantung sebagai pompa, dan pembuluh darah sebagai selang lewatnya darah.
Ketiga hal tersebut akan memengaruhi hasil curah jantung atau cardiac output (CO),
stroke volume (SV) dan heart rate (HR) yang menjadi hal penting untuk dipahami
dalam memahami fase syok (Hasser K, 2020).

Gambar 1. asdfghjkl
Jumlah ambilan oksigen oleh jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti tekanan parsial oksigen darah arteri (PaO2), kadar hemoglobin (Hb), dan
saturasi oksigen (SaO2). Ketidakseimbangan antara DO2 dan VO2 dalam tubuh
mengarah menjadi suatu kondisi syok. Rumus DO2 sebagai berikut :
DO2 = CO x (Hb x SaO2 x 1.34 + (PaO2 x 0.003))

Syok adalah salah satu keadaan darurat medik yang perlu mendapat
pertolongan medis segera. Namun, pertolongan prehospital yang benar dapat
meningkatkan kualitas hidup korban dan mencegah perburukan kondisi. Langkah
pertama yang harus diambil adalah menyadari keberadaan syok dan melakukan
pertolongan pertama berdasarkan etiologi penyebab syok tersebut (Buku Diklat
PTBMMKI, 2015 ; American College of Surgeons Comitte on Trauma, 2018).

Patofisiologi Syok
Syok secara umum berkembang melalui empat yang mengambarkan
perburukan kondisi perfusi dan oksigenasi jaringan sampai menyebabkan kematian
sel. Tahap – tahap ini dapat diketahui dengan lebih jelas pada patofisiologis syok
hipovolemik tetapi juga dapat digunakan secara umum pada syok tipe lain. Adapun
keempat tahap tersebut ialah (Buku Panduan Medis TBM JD, 2020 ; American
College of Surgeons Comitte on Trauma, 2018) :
a. Tahap Inisial
Tahap ini merupakan tahap awal dimana muncul kegagalan perfusi
akibat penghantaran oksigen yang tidak adekuat sehingga metabolisme sel
berubah dari metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob. Hal
tersebut memicu terjadinya peningkatan produksi karbondioksida dan
penumpukan asam laktat pada darah atau yang disebut dengan
hiperlaktemia ( >1.5 mmol/L – Mild, >3.0 mmol/L – Moderate, >5.0
mmol/L – Severe). Perfusi ke jaringan dan organ vital masih tetap
dipertahankan sehingga belum ada gejala klinis yang nampak jelas.
b. Tahap Kompensasi (Nonprogresif)
Tahap kompensasi merupakan kesempatan pada tubuh untuk menjaga
perfusi organ vital terutama dalam mengembalikan volume curah jantung
dan mempertahankan tekanan darah tetap normal. Pada tahap ini berbagai
mekanisme neurohumoral bekerja membantu mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah. Mekanisme ini meliputi refleks baroreseptor,
pelepasan katekolamin dan hormon antidiuretik, pengaktifan jalur renin-
angiostensin-aldosteron, peningkatan sekresi epinefrin dan norepinefrin,
serta rangsangan simpatis umum seperti peningkatan denyut jantung dan
frekuensi pernapasan. Manisfestasi klinis awal dari syok adalah takikardia
dan vasokonstriksi kulit.
c. Tahap Dekompensasi (Progresif)
Tahap ini ditandai dengan hipoperfusi jaringan yang dapat
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sistem sirkulasi, adanya
gangguan metabolisme yaitu asidosis akibat asam laktat berlebihan. Tahap
ini terjadi karena penyebab yang mendasari timbulnya syok tidak
dikoreksi sehingga tubuh tidak bisa lagi mengompensasi masalah yang
timbul. Gejala klinis yang timbul adalah perburukan dari hipotensi,
takipnea, dan munculnya gangguan status mental akibat hipoperfusi
serebral.
d. Tahap Irreversible
Sejalan dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ-organ vital
terpengaruh dan mulai mengalami kegagalan organ. Pada tahap ini di
mana kegagalan organ yang terjadi walaupun diberikan pengobatan yang
terbaik, biasanya proses akan terus berlanjut hingga berakhir pada
kematian.

2. KLASIFIKASI SYOK
Syok dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan penyebabnya
(Amboss, 2020) :
a. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi terjadinya perfusi organ
yang tidak adekuat akibat kehilangan cairan intravaskular. Kehilangan
cairan ini dapat disebabkan oleh perdarahan masif yang nanti disebut
sebagai syok hemoragik atau disebabkan oleh muntah, dehidrasi, dan
luka bakar yang disebut syok non hemoragik. Penurunan cairan tubuh
pada syok hemoragik ini menyebabkan pengisian ventrikel tidak
adekuat, adanya penurunan preload, penurunan stroke volume dan
cardiac output yang tidak adekuat. Penyebab syok paling banyak pada
pasien trauma adalah syok hipovolemik. Gejala klinis yang terdapat
pada pasien syok hipovolemik adalah takikardia/bradikardia,
takipnea/bradipnea, hipotensi, Capillary Refill Time (CRT) lambat,
ekstremitas yang dingin dan pucat, berkeringat, kencing berkurang
(oligouri), sianosis, gangguan kesadaran, dan penurunan turgor kulit.
Untuk dapat memperkirakan presentase jumlah darah yang
hilang, klasifikasi perdarahan dibagi menjadi 4 (American College of
Surgeons Comitte on Trauma, 2018) :
1. Kelas I (<15% volume kehilangan darah)
Gejala klinis biasanya masih minimal, tidak ada perubahan drastis
pada tekanan darah, tekanan nadi, dan laju pernapasan. Dalam
kelas ini, hilangnya banyak volume darah masih dapat
dikompensasi secara alami oleh tubuh dalam pemulihan volume
darah dalam waktu 24 jam tanpa transfuse darah.
2. Kelas II (15% - 30% volume kehilangan darah)
Gejala klinis yang timbul yaitu takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan nadi (selisih tekanan sistolik dan diastolik).
Penurunan tekanan nadi ini berhubungan dengan peningkatan
tekanan darah diastolik akibat peningkatan kadar katekolamin
yang menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi vaskular
perifer. Pasien dalam kondisi ini biasanya dapat distabilkan hanya
dengan resusitasi cairan kristaloid.
3. Kelas III (31% - 40% volume kehilangan darah)
Perdarahan pada kelas ini sudah menimbulkan tanda perfusi yang
tidak adekuat, termasuk takikardia dan takipnea, perubahan status
mental signifikan dan penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Pasien dalam kondisi ini membutuhkan
transfusi sel darah merah atau produk darah lainnya.
4. Kelas IV (>40% volume kehilangan darah)
Gejala klinis yang timbul berupa takikardia tinggi, penurunan
tekanan darah sistolik yang signifikan, kulit dingin dan pucat dan
tekanan nadi yang menurun. Pasien kondisi ini membutuhkan
transfusi darah cepat dan intervensi bedah sesegera mungkin.
Syok perdarahan berdasarkan jumlah darah yang hilang

Klasifikasi
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Syok

Kehilangan
Hingga
darah (ml) 750 750–1500 1500–2000 >2000

Kehilangan
Hingga
darah (%) 15% 15–30% 30–40% >40%

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan
Normal Normal Menurun Menurun

Normal
Tekanan nadi
atau Menurun Menurun Menurun
menuru
n
Frekuensi

pernapasan 14–20 20–30 30–40 >40

Produksi
urine

(cc/jam) >30 20–30 5–15 Tdk berarti

Sedikit Sedikit
Status Mental cemas cemas Cemas Bingung,

Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid


Kristaloid dan
Cairan dan
darah
darah
b. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan syok akibat adanya kegagalan jantung
dalam berkontraksi dengan kekuatan cukup untuk memompa darah ke
seluruh tubuh. Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ini
diakibatkan oleh gangguan pada jantung, misalnya serangan jantung,
miokarditis, kardiomiopati, trauma jantung, dan abnormalitas padadenyut
jantung. Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik.
Tekanan arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah
1,8 L/menit/m2, dan tekanan pengisian ventrikel meningkat. Pasien sering
tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/jam,
ekstremitas dingin dan sianotik. Manisfestasi klinis dari syok kardiogenik
antara lain pasien kehilangan kesadaran secara tiba – tiba, sianosis akibat
aliran perifer berhenti, dan akral dingin.
c. Syok Obstruktif
Syok obstruktif merupakan syok yang disebabkan karena sumbatan
mekanik aliran darah dari dan atau ke jantung yang dapat diakibatkan oleh
tension pneumothorax, tamponade jantung, emboli paru, serta obstruksi
pada aliran keluar darah pada bagian kiri jantung. Obstruksi aliran darah
ini mengakibatkan penurunan cardiac output dan perfusi jaringan yang
pada akhirnya dapat menimbulkan gejala-gejala syok.
d. Syok Distributif
Syok distributif merupakan syok yang disebabkan oleh maldistribusi
darah karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permebabilitas
pembuluh darah sehingga resistensi sistemik dari pembuluh darah
mengecil. Karena resistensi berkurang, maka tekanan darah secara
keseluruhan akan menurun. Mekanisme kompensasi oleh tubuh berupa
peningkatan cardiac output dan takikardia. Contoh syok distributive yaitu
syok anafilaktik, syok septik, dan syok neurogenik.
1. Syok Anafilaktik
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
- Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-
13) yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma
(plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E)
spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada
receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
- Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya
yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan
ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah
preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators.
c. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan
bronchokonstriksi, demikian juga dengan leukotrien.
2. Syok Septik
Syok septik adalah kondisi yang diakibatkan oleh infeksi
bakteri yang disebarkan lewat darah dari satu jaringan ke jaringan
lain sehingga timbul kerusakan sistemik. Syok septik ditandai
dengan vasodilatasi pada bagian tubuh yang terinfeksi, curah
jantung tinggi pada bagian tubuh yang terinfeksi akibat
vasodilatasi di bagian tersebut, melambatnya aliran darah, serta
pembentukan bekuan darah kecil di dalam pembuluh darah yang
dikenal dengan DIC atau Disseminated Intravascular
Coagulation.
3. Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus
vasomotor secara tiba-tiba di seluruh tubuh yang kemudian
menyebabkan dilatasi vena besar-besaran, menurunkan resistensi
pembuuluh darah sehingga volume darah normal tidak dapat
secara adekuat bersirkulasi sehingga terjadilah syok neurogenik.
Penurunan tonus vasomotor ini dapat terjadi akibat beberapa hal,
diantaranya akibat anestesi umum, anestesi spinal, ataupun karena
kerusakan otak dan spinal cord. Patofisiologi syok neurogenik
sedikit berbeda dengan patofisiologi syok lainnya. Pada tipe syok
ini, tubuh tidak akan melewati fase kompensasi akibat kelumpuhan
sistem saraf simpatetik.

Penjelasan di atas dapat dirangkum dalam table di bawah ini :

Jenis Syok Penyebab Contoh


Kehilangan darah
(perdarahan)
Kehilangan darah dan/atau Kehilangan
cairan tubuh dalam jumlah plasma darah
Syok Hipovolemik besar tubuh mengalami (luka bakar)
kekurangan volume darah Kehilangan cairan
untuk mengangkut oksigen tubuh
(muntah, diare,
dehidrasi)
Trauma multipel
Kegagalan jantung memompa Gagal jantung,
darah Serangan jantung,
Syok Kardiogenik
Kematian otot
jantung (infark

Perdarahan
pericardium
Obstruksi yang menghambat (cardiac
darah untuk masuk atau tamponade)
Syok Obstruktif
keluar dari jantung Aneurisma aorta
Emboli paru
Tension
pneumothorax
Infeksi (septic
Gangguan pada pembuluh shock),
darah, biasanya berupa Reaksi alergi
vasodilatasi/pelebaran (anafilaksis),
berlebih sehingga perfusi Gangguan saraf
jaringan buruk meskipun yang
Syok
jantung dapat memompa mengganggu
Distributif/Anafilaktik
dengan baik. Pelebaran fungsi
pembuluh darah perifer pembuluh darah
Berlebih juga dapat ,(neurogenik)
menyebabkan syok karena Cedera spinal
bagian sentral dapat
kekurangan darah.

3. DERAJAT SYOK
Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan prgan non-vital seperti kulit,
lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relative dapat hidup lebih lama dengan
perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).
Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau anya sedikit menurun, asidosis
metabolic tidak ada atau ringan.

Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal, dan
lainnya). Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti
lemak, kulit, dan otot. Oligouria bisa terjadi dan asidosis metabolik. Akan tetapi
kesadaran relatif masih baik.

Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok


beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokonstriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oligouria dan asidosis berat,
ganguan kesadaran dan tanda- tanda hipoksia jantung.

4. MANISFESTASI KLINIS SYOK


Gejala klinis syok secara umum yaitu :
- Nadi cepat namun lemah./dangkal, ketika sudah parah, nadi menjadi sangat
lambat dan lemah
- Kulit pucat, dingin, dan lembab
- Wajah pucat atau terlihat sianosis/kebiruan pada bibir, lidah, dan cuping telinga
- Merasa haus, dingin, mual, dan ingin muntah
- Merasa lemah dan lesu
- Kehilangan kesadaran, kebingungan, pusing
- Mata terlihat sayu dan pupil melebar
- Capillary Refill Time > 2 detik

5. PENANGANAN SYOK
Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok untuk awam terlatih (Buku
Diklat PTBMMKI, 2015).
a. Bawa korban ke tempat teduh dan aman
b. Minta orang-orang yang tidak berkepentingan untu k
tidak mengerumuni korban.
c. Posisi Tubuh

o Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka.


Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan
tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
o Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang,
penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi
selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih
parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti
pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
o Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah
muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah
satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan
keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan
jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat
penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka
untuk menghindari terjadinya asfiksia.
o Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang
datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi
kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
o Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya
penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.
o Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan
penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga
aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah
menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan.

d. Pertahankan Respirasi
o Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi
atau muntah.
o Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu
jalan nafas (guedel/oropharingeal airway).
o Berikan oksigen 6 liter/menit
o Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen
dengan pompa sungkup (ambu bag) atau ETT.
o Jika denyut nadi tidak ada lakukan BLS
o Jika nadi ada namun tidak bernapas lakukan rescue breathing.
Jika napas dan nadi ada pertahankan jalan napas dan lanjut ke
penanganan selanjutnya

e. Pertahankan Sirkulasi
o Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus.
Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi
urin, dan Central Venous Pressure (CVP) untuk tim
medis ahli. Kontrol perdarahan dan rawat cedera lain bila ada
Tinggikan tungkai korban 15-30 cm agar lebih tinggi dari
kepala (jika tidak dicurigai adanya cedera spinal) agar aliran
darah dari tungkai dapat mengalir ke organ vital (jantung dan
otak) dengan lancar
o Pastikan bahwa kepala korban lebih rendah dari jantung, otak
adalah salah satu organ paling vital yang cepat mengalami
kematian sel bila tidak tersuplai oksigen
o Longgarkan pakaian korban yang terlalu ketat untuk
memperlancar sirkulasi
o Pertahankan suhu tubuh korban dan cegah kehilangan panas
dengan menyelimuti dan memberi tutup kepala
o Pertahankan kadar oksigenasi korban dengan memberikan
oksigen jika memungkinkan
o Pantau dan reassessment kondisi korban

Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok untuk paramedis (Buku Diklat
PTBMMKI, 2015) :

a.Letakkan pasien pada posisi telentang kaki lebih tinggi agar aliran darah otak maksimal.
Gunakan selimut untuk mengurangi pengeluaran panas tubuh.
b.Periksa adanya gangguan respirasi. Dagu ditarik kebelakang supaya posisi kepala
menengadah dan jalan nafas bebas, beri O2, kalau perlu diberi nafas bantuan.
c.Pasang segera infus cairan kristaloid dengan kanul yang besar (18, 16)
d.Lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap termasuk kepala dan punggung. Bila tekanan
darah dan kesadaran relatif normal pada posis telentang, coba periksa dengan posisi
duduk atau berdiri.
e.Keluarkan darah dari kanul intravena untuk pemeriksaan laboratorium : darah lengkap,
penentuan golongan darah, analisis gas darah elektrolit. Sampel darah sebaiknya
diambil sebelum terapi cairan dilakukan.
f. Pada syok hipovolemik, kanulasi dilakukan pada v. safena magna atau v. basilika dengan
kateter nomor 16 perkutaneus atau vena seksi. Dengan memakai kateter yang panjang
untuk kanulasi v. basilika dapat sekaligus untuk mengukur Tekanan Vena Sentral
(TVS).
g.Pada kecurigaan syok kardiogenik, kanulasi vena perkutan pada salah satu vena
ekstrimitas atas atau vena besar leher dilakukan dengan kateter nomor 18- 20.
Peubahan nilai PaCO2, PaO2, HCO3, dan pH pada analisis gas darah dapat dipakai
sebagai indikator beratnya gangguan fungsi kardiorespirasi, derajat asidosis metabolik,
dan hipoperfusi jaringan.
h.Beri oksigen sebanyak 5-10 L/menit dengan kanul nasal atau sungkup muka dan
sesuaikan kebutuhan oksigen PaO2. Pertahankan PaO2 tetap di atas 70 mmHg.
i. Beri natrium bikarbonat 1 atau 2 ampul bersama cairan infus elektrolit untuk
mempertahankan nilai pH tetap di atas 7,1, walaupun koreksi asidosis metabolik yang
terbaik pada syok adalah memulihkan sirkulasi dan perfusi jaringan.
j. Terapi medikamentosa segera
o Adrenalin dapat diberikan jika terdapat kolaps kardivaskuler berat (tensi/nadi
hampir tidak teraba) dengan dosis 0,5-1 mg larutan 1 : 1000 intra muskuler atau
0,1-0,2 mg larutan 1 : 1000 dalam pengenceran dengan 9 ml NaCl 0,9 %
intravena. Adrenalin jangan dicampur dengan natrium bikarbonat karena
adrenalin dapat menyebabkan inaktivasi larutan basa.
o Infus cepat dengan Ringer‘s laktat (50 ml/menit) terutama pada syok
hipovolemik. Dapat dikombinasikan dengan cairan koloid (dextran L).
o Vasopresor diberikan pada syok kardiogenik yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan terapi cairan. Dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5 Ug/kg/menit
(larutkan dopamin 200 mg dalam 500 ml cairan dekstrosa 5%. Setiap ml larutan
mengandung 400 Ug dopamin). Dosis dopamin secara bertahap dapat
ditingkatkan hingga 10-20 Ug/kg/menit. Pemberian vasopresor pada hipovolemia
sedang sampai berat tidak bermanfaat.

k.Pantau irama jantung dan buat rekaman EKG (terutama syok kardiogenik). Syok adalah
salah satu predisposisi aritmia karena sering disertai gangguan keseimbangan
elektrolit, asam dan basa.
l. Pantau diuresis dan pemeriksaan analisis urin.
m. Pemeriksaan foto toraks umumnya bergantung pada penyebab dan tingkat kegawatan
syok. Semua pasien syok harus dirujuk ke rumah sakit, terutama untuk perawatan
intensif

6. PENATALAKSANAAN SYOK BERDASARKAN JENISNYA

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat


lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
b. Penilaian A-B-C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap
bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak
sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut (jaw thrust)
Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat- obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

c. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1:


1.000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mg/kg untuk penderita
anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
d. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin
kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6
mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
e. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg
atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang
membandel.
f. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke
ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok
anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah
dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan
jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma.
g. Dalam keadaan gawat, pada penderita syok anafilaktik jangan
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Bila terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat
kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.
h. Kalau syok sudah teratasi, lakukan evaluasi selama kurang lebih 4
jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin
lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam
untuk evaluasi.
Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Mempertahankan Suhu Tubuh


Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan
selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan
mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan
tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.

a. Pemberian Cairan
o Jangan memberikan minum kepada penderita yang
tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena
bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
o Jangan memberi minum kepada penderita yang akan
dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada
perut serta kepala (otak).
o Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul
dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus
dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
o Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi
cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau
pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.

Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus


seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin
diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah
pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan
elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian
volume intravaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume
3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan
larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit
konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama
efektifnya dengan darah lengkap. Pemantauan tekanan vena sentral
penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.

b. Mempertahankan Suhu Tubuh


Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan
selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan
mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan
tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.

c. Pemberian Cairan
 Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak
sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya
terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
 Jangan memberi minum kepada penderita yang akan
dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut
serta kepala (otak).
 Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan
tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus
dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
 Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi
cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.

Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus


seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin
diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah
pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan
elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian
volume intravaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume
3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan
larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit
konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama
efektifnya dengan darah lengkap. Pemantauan tekanan vena sentral
penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
Algoritma Penanganan Syok Hipovolemik
Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang
akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri dan mengatasi penyebab awalnya.

Algoritma Penanganan Syok Kardiogenik


Penatalaksanaan Syok Septik

Algoritma Penanganan Syok Septik


Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong jalannya darah. Penatalaksanaannya:

a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari


kaki (posisi trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen,
sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien
dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat,
penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik
sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari
pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi
distres respirasi yang berulang.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang
dengan resusitasi cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara
cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat
terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urine
output untuk menilai respon terhadap terapi.

Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan
obat- obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang merupakan
indikasi, sedangkan kontra bila ada perdarahan seperti ruptur
lien):

a. Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis >


10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin.
Jarang terjadi takikardi.
b. Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam
menaikkan tekanan darah. Efek vasokonstriksi perifer
sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung.
Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu
bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi
perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenic.
c. Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiac output.
Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui
vasodilatasi perifer.
Algoritma Penanganan Syok Neurogenik
HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN

- JANGAN meninggikan kepala. Jaga posisi kepala lebih rendah dari tungkai
dan jantung
- JANGAN memindahkan korban jika dicurigai adanya cedera spinal
- JANGAN memberikan cairan atau makanan melalui mulut apabila korban
belum benar-benar sadar, untuk menghindari tersedak atau masuknya
cairan ke paru-paru
DAFTAR PUSTAKA

1. Amboss.com. 2020. Shock - AMBOSS. [online] Available at:


<https://www.amboss.com/us/knowledge/Shock> [Accessed 14 January
2021].
2. American College of Surgeons. Committee On Trauma (2018). Advanced
trauma life support student course manual. Chicago, II: American College
of Surgeons.
3. Buku Diklat PTBMMKI 2015.
4. Buku Materi Diklat Medis, KAT dan Pengabdian masyarakat Hippocrates
Emergency Team Angkatan XXV
5. Buku Panduan Medis, Tim Bantuan Medis Janar Dūta FK UNUD.
6. Harrison.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:EGC.2013.

7. Haseer Koya H, Paul M. Shock. [Updated 2020 Nov 21]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531492/
8. Rifki,Az. Simposium Emergency in Field Activities.Padang:RSI Siti
Rahmah.2013.
RESUSITASI CAIRAN

Resusitasi cairan merupakan proses pemasukan cairan pada tubuh yang mengalami
pengurangan kadar cairan tubuh berkurang di bawah batas normal. Peran dari resusitas cairan
adalah untuk mempertahankan perfusi organ (hemodinamik tubuh) dan pengangkutan substrat
(oksigen, elektrolit, gizi). Cairan tubuh dibedakan menjadi cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Cairan intraseluler ini menyumbang dari hampir seluruh total air dalam tubuh,
sedangkan cairan ekstraseluler dibedakan menjadi 3 bagian yaitu interstitial, intravaskular, dan
ruang trans-seluler (Wallace H, 2020).

Kebutuhan cairan dan elektrolit pada orang dewasa normal umumnya sebagai berikut :

- Air : 30-35ml/kgBB/jam
- Sodium : 1-2meq/kgBB/jam
- Kalium : 1 meq/kgBB/jam

Jumlah cairan di atas meningkat sebanyak 10-15% setiap peningkatan 1°C suhu tubuh.
Sedangkan kebutuhan cairan pada bayi sebagai berikut :

- Air (BB <10kg) : 4 ml/kgBB/jam


- Air (BB 11-20kg) : 40 ml + 2 ml/kgBB/jam
- Air (BB >20kg) : 60 ml + 1 ml/kgBB/jam
- Sodium : 2 meq/kgBB/jam
- Kalium : 2 meq/kgBB/jam

1. Jenis – jenis cairan


A. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul –
molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler dan memasuki jaringan –
jaringan disekitarnya dengan mudah. Cairan kristaloid ini adalah cairan paling umum
dalam pemberian resusitasi cairan secara intravena dan digunakan sebagai “first-line”
untuk resusitasi pada penyakit kritis seperti syok hemoragik, sepsis, dan henti
jantung. Biasanya, volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasi singkat,
efek samping lebih sedikit dan harganya lebih murah.
Yang termasuk cairan kristaloid antara lain normal saline 0.9%, ringer laktat,
ringer asetat, glukosa (D5%, D10%, D20%), ringerfundin serta sodium bikarbonat.
Masing – masing jenis memiliki kegunaan tersendiri :
o Saline biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari – hari
dan dalam kondisi gawat darurat
o Glukosa biasa digunakan pada penanganan kasus hipoglikemia
o Sodium bikarbonat merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolic
dan alkalinisasi urin

Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari


kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke
semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang
tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali
dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi
sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien
yang membutuhkan cairan segera.

Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus
dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis, penting untuk
dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.
Berikut ini beberapa jenis dari cairan kristaloid.

a. Normal Saline
Komposisi (mmol/L) : Na = 154, Cl = 154
Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml
Indikasi :
- Resusitasi
Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor,
diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen
interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial
karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.
- Diare
Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah
banyak, cairan NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang
hilang tersebut.
- Luka Bakar
Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam jumlah
besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk mempertahankan
cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl, ringer laktat,
atau dekstrosa.
- Gagal ginjal akut
Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal
menjaga homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan
metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline dan
glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit.

Kontraindikasi :

- Hiperonik uterus - Hiponatremia


- Retensi cairan - Congestive Heart Failure
- Insufisiensi renal - Hipertensi
- Edema perifer - Edema paru

Adverse Reaction edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya
paru – paru.

b. Ringer Laktat
Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl =
109-110, basa = 28-30mEq/l.
Kemasan : 500, 1000 ml
Cara kerja cairan : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah
komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma
darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di
plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan
berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit- elektrolit ini dibutuhkan
untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan Syok hipovolemik
termasuk syok perdarahan. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena
menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan
menyebabkan penumpekan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme
anaerob.
Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan
dehidrasi dan syok hipovolemik.
Kontraindikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Adverse Reaction edema jaringan pada penggunaan volume yang besar,
biasanya paru – paru.
Peringatan dan Perhatian ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”.
Hati-hati pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart
failure/impaired renal function & pre-eklamsia.

c. Dextrosa
Komposisi : Glukosa = 50gr/L (5%), 100gr/L (10%), 200gr/L (20%)
Kemasan : 100, 250, 500 ml
Indikasi :

 Cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan


hidrasi selama dan sesudah operasi
 Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar
kreatinin kurang dari 25 mg/100ml)
 Hiperglikemia
Adverse Reaction Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat
menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis.
B. Cairan Koloid
Cairan koloid merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit
menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler.
Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek
samping lebih banyak, dan lebih mahal. Mekanisme secara umum memiliki sifat
seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan
tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari
pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama
dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan
meningkatkan tekanan osmosis plasma. Berikut ini beberapa jenis dari cairan koloid.

a. Albumin

Komposisi : albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang
dimurnikan dari plasma manusia (contoh : albumin 5%)

Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena volume yang
dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam
jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan
resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.

Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia,


hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass,
hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka
bakar.

Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).


Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid
yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat badan
secara bersamaan.

Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran,


operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi
renal berlebih.
Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari
sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama,
sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal
impairment dan kematian. Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.

b. HES (Hydroxyetyl Starches)

Komposisi : starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa yaitu amilosa dan
amilopektin.

Indikasi : penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan


permeabilitas pembuluh darah sehingga dapat menurunkan risiko kebocoran
kapiler.

Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan


setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis
moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal
failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan.

NB : Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana


suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien
sepsis karena :

 Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid,


disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume
plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas.

 Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan


albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil
dibandingkan kristaloid.

 Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut


seperti asidosis refraktori.

 HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat


menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi
dengan menghambat adesi molekuler.

Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh
digunakan pada sepsis karena :

 Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun


koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.

 HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan


dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia.

 HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan


koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi
pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi
ginjal).

 Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan


dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.

Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus.

2. Alat dan Bahan untuk persiapan terapi intravena

Perlengkapan dan peralatan yang umum diperlukan untuk terapi intravena


meliputi :

a. Sarung tangan non steril


b. Spuit 2ml
c. Jarum 25g
d. Lidocain 1% 5ml 1 ampul
e. Kapas alcohol
f. Tourniquet
g. Kassa steril
h. Plester
i. Abocath
j. Infuse set
k. Betadin
l. Botol infuse
m. Bak spuit

Setiap campuran intravena memerlukan label yang memuat informasi berikut

a. Nama pasien dan nomor identifikasi


b. Bahan tambahan, kekuatan dan jumlah
c. Larutan utama dan jumlah total
d. Kecepatan aliran, tanggal persiapan dan kadaluwarsa
e. Nama orang yang menyiapkan dan menggantung infuse Setiap selang juga
harus diberi label dengan informasi mengenai :
a. Tanggal dan waktu penggantungan
b. Nama inisial orang yang menggantung selang.

3. Indikasi Pemberian Cairan

Keadaan – keadaan yang umumnya memerlukan pemasangan infus adalah :

a. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen


darah)
b. Trauma abdomen berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
c. Fraktur khusus di pelvis dan femur (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah)
d. Heat stroke (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi).
e. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi).
f. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
g. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangancairan
tubuh dan komponen darah).
h. Dehidrasi

4. Prosedur Pemasangan Infus


Tahap-tahap pelaksanaan pemasangan infuse adalah sebagai berikut :

a. Letakkan pasien pada posisi yang nyaman, sebaiknya lengan pasien


disangga dengan bantal kecil.
b. Identifikasi vena yang akan dikanulasi, vena daerah ante- cubital
(punggung tangan) kiri ( vena basilica atau vena cephalica).
c. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan non-steril (non- sterile gloves, DC
2002)
d. Pasang torniket pada lengan bagian proximal dari daerah vena yang akan
dikanulasi, nadi arteri radialis harus tetap teraba.
e. Minta pasien untuk buka tutup genggaman tangan ( memperbesar
pengisian vena).
f. Bersihkan bagian kulit dengan larutan chlorhexidine atau alcohol 70%,
biarkan sampai kering dan jangan raba atau sentuh lagi bagian tersebut.
g. Buka iv-catheter yang sudah dipilih ukurannya, pegang dengan posisi
bevel stylet menghadap keatas.
h. Pegang tangan pasien dengan tangan kiri, gunakan ibu jari menekan dan
fiksasi (untuk stabilisasi) distal vena yang akan dikanulasi
i. Pegang iv-catheter sejajar vena, dan membentuk sudut 100 - 300 dengan
permukaan kulit, lakukan insersi (tusukan). Bila iv-catheter sudah masuk
yang ditandai dengan adanya darah yang masuk kedalam chamber (flash
back), kemudian datarkan iv-catheter untuk mencegah tertusuknya dinding
posterior dari vena, sorong masuk ± 1 mm.
j. Tarik stylet perlahan dan darah harus terlihat masuk kedalam iv-catheter,
hal ini memberi konfirmasi bahwa kanula berada dalam vena.
k. Sorong masuk iv-catheter kedalam vena dengan perlahan, bebaskan
torniket, masukkan stylet kedalam kantong sampah benda tajam.
l. Flush iv-catheter untuk memastikan patensi dan mudahnya penyuntikan
tanpa adanya rasa sakit, resistensi, dan timbulnya pembengkakan.
m. Fixasi iv-catheter dengan moisture-permeable transparent dressing
( supaya bila ada phlebitis atau dislodge dapat terlihat)
n. Catat seluruh prosedur ini, termasuk alat-alat, tempat atau lokasi kanulasi,
operator, dan jumlah tusukan yang dilakukan.

5. Maintenance Cairan

Kebutuhan cairan harinya seperti berikut :

a. 100 ml/kg pada 10 kg pertama berat badan

b. 50 ml/kg pada 10 kg kedua berat badan

c. 20 ml/kg pada sisa berat badan selanjutnya


Untuk kemudahan, pada 24 jam dibagi perjamnya menjadi :

a. 100 ml/kg/24 jam = 4 ml/kg/jam pada 10 kg pertama berat badan

b. 50 ml/kg/24 jam = 2 ml/kg/jam pada 10 kg kedua berat badan

c. 20 ml/kg/24 jam = 1 ml/kg/jam pada sisa berat badan selanjutnya

Contoh : pada orang berat badan 40 kg, cairan maintenance menjadi : 40


ml/jam + 20 ml/jam + 20 ml/jam = 80 ml/jam

2. Komplikasi Pemasangan Infus

Komplikasi yang paling umum yang timbul dari kanulasi intravena :


a. Nyeri
b. Memar
c. Infeksi bakteri
d. Ekstravasasi
e. Flebitis
f. Trombosis
g. Emboli, dan kerusakan saraf
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Committee On Trauma (2018). Advanced trauma life


support student course manual. Chicago, II: American College of Surgeons.
2. Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill. 4. Powel, jeremy.
2011. British Consensus Guidelines on Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical
Patients. BAPEN
5. Wallace HA, Regunath H. Fluid Resuscitation. [Updated 2020 Jun 28]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534791/

Anda mungkin juga menyukai