Anda di halaman 1dari 54

HUKUM

PERBURUHAN
TATA TERTIB PERKULIAHAN DALAM JARINGAN/ONLINE

 Mahasiswa WAJIB masuk dalam jaringan via link zoom yang telah dibagikan sebelum
Perkuliahan di Mulai.
 Mahasiswa WAJIB mengenakan Pakaian yang rapi dan sopan serta tidak diperkenankan
memakai kaos oblong.
 Mahasiswa WAJIB mengikuti perkuliahan dengan menampilkan nama dan foto serta NIM
yang sebenarnya di akun tersebut.
 Mahasiswa WAJIB mematikan microphone selama perkuliahan berlangsung.
 Mahasiswa WAJIB menyalakan microphone dan video ketika:
 Bertanya kepada dosen mengenai materi kuliah yang sedang berjalan.
 Menjawab pertanyaan yang diberikan oleh dosen
 Mahasiswa DILARANG melakukan sharing file dan membuat gaduh selama perkuliahan
daring berlangsung
 Mahasiswa WAJIB fokus dan memperhatikan semua materi yang disampaikan oleh dosen
 Mahasiswa DILARANG untuk melakukan aktifitas lain pada saat mengikuti perkuliahan
daring kecuali atas seizin dosen
 Mahasiswa WAJIB memberikan informasi/keterangan apabila akan meninggalkan kelas
 Bagi yang berhalangan masuk WAJIB mehubungi dosen melalui chat WA sebelum
perkuliahan dimulai dan menginformasikan juga ketua kelas
1. PENGERTIAN HKM PERBURUHAN
2. ASAS, TUJUAN & SIFAT HKM PERBURUHAN
3. SUMBER HKM PERBURUHAN
4. HUBUNGAN KERJA
5. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
6. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
7. KESEHATAN KERJA
8. KESELAMATAN KERJA
9. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI
TAHUN 1945 SEBAGAI HUKUM DASAR

UNDANG-UNDANG
DASAR
mengatur
3 hal penting :

Merupakan hukum dasar tertulis dan tertinggi serta


merupakan puncak dari seluruh peraturan perundang-
undangan.
1
Dasar Hukum Hukum Perburuhan

 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945


 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945
Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

 (2) Setiap orang berhak untuk bekerja


serta mendapat perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi##
Pembatasan Pelaksanaan HAM
Pelaksanaan dan pembatasan HAM di bidang
perburuhan melalui undang-undang
Prof. Iman Soepomo, S.H. menyimpulkan bahwa, Hukum perburuhan adalah
himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan
kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

Istilah ketenagakerjaan berasal dari kata kerja


”tenaga kerja”, yang mempunyai pengertian
berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun
2003, sebagai :
”Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat”
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 1 angka 4 memberikan definisi
Pemberi kerja, adalah :
”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain”
Sementara untuk istilah Pengusaha, Pasal 1
angka 5 UU No. 13 Tahun 2003 memberikan
definisi sebagai berikut:

”Pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia”
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal
1 angka 6 memberikan definisi Perusahaan,
adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain”
• Pemberdayaan tenaker secara optimal dan manusiawi;
• pemerataan kesempatan kerja & penyediaan teker yg sesuai dgn kebutuhan pemb nas &
daerah;
• perlindungan bagi tenaker dalam mewujudkan kesejahteraan;
• Peningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

TUJUAN
HKM PERBURUHAN

Pembangunan
Ke-TENAKER-an
Custom

Traktat

Perjanjian

Keputusan
Penetapan
Per-UU-an
• UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
• UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
• UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
• Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat,
Dan Pemutusan Hubungan Kerja

• Perj Kerja Bersama / Perj Perburuhan /


Kesepakatan Kerja Bersama;
• Perjanjian Kerja;
• Peraturan Perusahaan.
Penetapan yang dibuat Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan baik tingkat Pusat atau Daerah (P4D atau P4P
menurut UU No. 22 tahun 1957) yang kemudian diganti
dengan istilah PPHI menurut UU No 2 tahun 2004. Oleh UU
telah dinyatakan bahwa penetapan PPHI merupakan
compulsory arbitration (arbitrase wajib) sebelum
perselisihan pada akhirnya diselesaikan oleh badan
peradilan

Kesepakatan internasional baik bilateral maupun multilateral telah banyak


melahirkan kaedah-kaedah hukum ketenagakerjaan yang relatif baru atau pun
penegasan terhadap praktik ketenagakerjaan yang sudah ada sebelumnya.

Contoh:
Konvensi ILO No. 100 tentang pengupahan yang sama antara pekerja
pria dan pekerja wanita, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui
UU No. 80 tahun 1957;
Konvensi ILO No. 120 tentang hygiene dalam perniagaan dan
perkantoran, yang kemudian diraifikasi oleh Pemerintah RI melalui
UU No. 3 tahun 1969;
Konvensi ILO No. 155 tahun 1981 tentang kewajiban penyelenggaraan
program K3
• Terkesan (seringkali) dianggap wajib untuk dilakukan sehingga dengan
tidak dilakukannya kebiasaan tersebut dianggap sebagai sebuah
pelanggaran;
• Berulang-ulang dilakukan

Sebuah kebiasaan yang telah lama berlangsung kemudian diberikan


penegasan yang lebih kuat oleh hukum dengan dimuatnya materi yang
diatur sebuah kebiasaan menjadi sebuah norma / kaidah yang berlaku
mengikat
EVALUASI PERKULIAHAN KE-1

MAHASISWA MEMBUAT KELOMPOK


DISKUSI SEBANYAK 6 ORANG
DALAM SATU KELOMPOK
MENEMUKAN SATU PERMASALAHAN
DALAM HUKUM PERBURUHAN YANG
NANTINYA DIBUAT MAKALAH UNTUK
DILANJUTKN DENGAN DISKUSI
HUKUM
PERBURUHAN
Oleh :
Fajrian Noor Anugrah,SH.MH
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI
TAHUN 1945 SEBAGAI HUKUM DASAR

UNDANG-UNDANG
DASAR
mengatur
3 hal penting :

Merupakan hukum dasar tertulis dan tertinggi serta


merupakan puncak dari seluruh peraturan perundang-
undangan.
1
PASAL 27 AYAT 2 UUD N RI 1945

Tiap-tiap warga negara berhak atas


pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan
HUKUM PERBURUHAN

Hubungan Kerja
Kategori dari sudut pandang pemberi
kerja

Pegawai Negeri (ambtenaar)


UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA
ASN dan PPPK
Swasta (arbiedar)
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenaga kerjaan
Pegawai Swasta dan Buruh
Pengertian Hubungan Kerja

Pasal 1 Angka 15 UU No.13 Tahun 2003


tentang ketenagakerjaan menjelaskan
hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan,upah, dan perintah
HUBUNGAN KERJA

Kategori melakukan pekerjaan :


1)Swakerja
2)Melakukan pekerjaan untuk orang/pihak lain

Pasal angka 3 UU nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1


angka 3
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain
Pengertian Perjanjian Kerja

Pasal 1 Angka 14 UU No.13 Tahun


2003 Menyatakan Perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian antara
pekerja/buruh dan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat
– syarat kerja dan hak kewajiban
kedua belah pihak
Perjanjian Kerja

 Ketentuan Hukum Perburuhan berlaku


terhadap hubungan hukum yang berasal
dari adanya suatu perjanjian yang
melibatkan dua belah pihak yaitu pihak
pemberi kerja dan pihak yang akan
melakukan pekerjaan sesuai dengan
perjanjian yang diadakan.
 (Arbeidsoveenkomst).
Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata

 Perjanjian kerja merupakan salah satu


bentuk perjanjian untuk melakukan
pekerjaan

 Bersifat Subordinasi
Bentuk Perjanjian lain dalam melakukan
pekerjaan :
 Perjanjian Pemberian Jasa/pekerjaan
tertentu
(de overeenkomst tot het verrichten van
diensten).

 Perjanjian Pemborongan Pekerjaan


(de overeenkomst tot het aannemen van werk).

 Bersifat Koordinatif
Ketentuan Hukum Tentang Perjanjian Kerja
Unsur-unsur Perjanjian Kerja

 Adanya Pekerjaan (arbeid)


 Adanya Unsur di Bawah perintah (in
dients/gezag verhouding)
 Adanya Upah Tertentu (loon)
 Adanya Waktu (Tijd)
 Perjanjian kerja waktu tertentu
 Perjanjian Kerja dengan Batas Waktu
Bentuk Perjanjian Kerja

 Perjanjian kerja bersifat konsensual


artinya
Sudah sah dan Mengikat setelah
terjadinya sepakat antara pekerja dan
pengusaha mengenai pekerjaan dan upah
Subjek/Pihak yang mengadakan Perjanjian Kerja

 Mereka Yang Cakap untuk melakukan


Perbuatan Hukum atau untuk
mengadakan Perjanjian
 Kecakapan Seseorang terkait batas
kedewasaan seseorang.
 Dalam hukum Perburuhan dewasa adalah
telah berumur 18 tahun
Lex spesialist dari subyek perjanjian kerja

a) Mengenai Wanita yang besuami


b) Mengenai Orang yang belum dewasa
Hak dan Kewajiban Para Pihak

 Hak kewajiban timbal balik antara


pengusaha dan pekerja
 Kewajiban bagi pengusaha
Kaidah Hetorenon
Kaidah Otonom
1. KAEDAH OTONOM

 KAEDAH OTONOM
ADALAH KETENTUAN-KETENTUAN YANG DIBUAT
OLEH PARA PIHAK YANG TERIKAT DALAM SUATU
HUBUNGAN KERJA, MISALNYA:
a. PERJANJIAN KERJA
b. PERATURAN PERUSAHAAN
c. PERJANJIAN KERJA BERSAMA
2. KAEDAH HETERONOM

 KAEDAH HETERONOM
ADALAH KETENTUAN-KETENTUAN YANG DIBUAT
OLEH PIHAK DILUAR PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT
DALAM HUBUNGAN KERJA (PIHAK KETIGA). PIHAK
KETIGA YANG MEMBUAT KETENTUAN-KETENTUAN
DIMAKSUD ADALAH PEMERINTAH (BERSAMA DPR).
OLEH KARENA ITU BENTUK DARI KAEDAH TSB
ADALAH SEMUA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI BIDANG PERBURUHAN /
KETENAGAKERJAAN.
Pasal 50 Undang-undang
Ketenagakerjaan menetapkan
bahwa hubungan kerja terjadi karena
adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja/buruh.
(1) pekerja/buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
(2) Pemberi kerja (majikan) adalah orang
perseorangan, persekutuan, badan hukum
atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain. (Pasal 1 UU-TKA)
Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupun
lisan. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 54 (1) UUK
setidak-tidaknya harus mencakup:

 a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;


 b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat
pekerja/buruh;
 c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
 d. Tempat pekerjaan;
 e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
 f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha
 dan pekerja/buruh;
 g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
 h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
 i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
PKWT PKWTT
a. Pekerjaan yg sekali selesai a. Pekerja / karyawan TETAP;
atau bersifat sementara; b. Dpt diberlakukan masa
b. Kerja selesai dlm jangka percobaan asal tertulis dlm
waktu tdk terlalu lama, max. kontrak atau surat
3 thn ( 2 thn masa kerja & pengangkatan;
dpt diperpanjang 1 thn) c. PKWTT tidak berakhir
c. Bersifat musiman karena meninggalnya
d. Berkaitan dgn produk baru, pengusaha atau beralihnya
kegiatan baru atau produk hak atas perusahaan yang
tambahan yang masih dlm disebabkan oleh penjualan,
percobaan atau penjajakan pewarisan atau hibah

HUBUNGAN
PK DGN PERUSH
PEMBORONG
KERJA PK DGN PPJP
a. Menyediakan jasa pekerja
a. Harus dibuat tertulis; bagi kepentingan perushn
b. Dilakukan terpisah dari kegiatan lain;
utama; b. T’dpt hub kerja antara
c. Dilakukan melalui perintah pekerja dgn PPJP;
langsung atau tidak adri c. Mrpkn PKWT;
pemberi pekerjaan; d. Upah, kesejahteraan, syarat
d. Mrpkn kegiatan penunjang dari kerja, perselisihan menjadi
perushn scr keseluruhan; tanggungjawab PPJP ;
e. Tdk menghambat produksi e. dibuat tertulis dan didaftar
pada dinas ketenagakerjaan
TERIMA KASIH
“Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak-hak dan
kewajiban (prestrasi dan kontra-prestasi) antara
pekerja/buruh dengan pengusaha”

Bila segala upaya telah dilakukan (secara bipartit), dan PHK tidak dapat dihindari,
maksud PHK tersebut wajib dirundingkan (membahas mengenai hak-hak atas PHK)
oleh pengusaha dengan serikat pekerja/buruh yang bersangkutan (apabila tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh atau tidak ada Serikat Pekerja di
perusahaan tersebut.).

Setelah perundingan benar-benar tidak menghasilkan Persetujuan Bersama (PB),


pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) setelah memperoleh
penetapan (izin) dari lembaga PPHI. Dengan kata lain, PHK yang tidak terdapat
alasan dan normanya dalam UUK, dapat dilakukan dengan besaran hak-haknya
harus disepakati melalui perundingan (dituangkan dalam PB)
PHK Oleh
Perushn, PHK Oleh
Majikan, TENAKER
Pengusaha

JENIS
PHK

PHK Oleh
PHK Pengadilan
Demi Hukum (PPHI)
PHK OLEH MAJIKAN / PENGUSAHA / PERUSAHAAN

a. PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat 4 UUKK);
b. PHK karena pekerja/buruh (setelah) ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan)
berturut-turut disebabkan melakukan tindak pidana di luar perusahaan (Pasal 160
ayat 3 UUKK);
c. PHK setelah melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III (Pasal 161 ayat 3 UUKK);
d. PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan
hubungan kerja) karena adanya perubahan status, penggabungan dan peleburan
perusahaan (Pasal 163 ayat 2 UUKK);
e. PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan bukan karena perusahaan
mengalami kerugian (Pasal 164 ayat 2 UUKK);
f. PHK karena mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat 3 UUKK);
g. PHK atas pengaduan pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha
(kepada pihak yang berwajib) melakukan "kesalahan" dan (ternyata) tidak benar
(Pasal 169 ayat 3 UUKK);
h. PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia (Pasal 61 ayat 4
UUKK);
PHK OLEH TENAKER

a. PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat 2 UUKK);


b. PHK karena pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan
adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan
perusahaan ( Pasal 163 ayat 1 UUKK);
c. PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha
melakukan "kesalahan" dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat 2 UUKK);
d. PHK atas permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-
tetap) akibat kecelakaan kerja (Pasal 172 UUKK);
PHK DEMI HUKUM

a. PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang


disebabkan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat
1 UUKK);
b. PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166
UUKK);
c. PHK karena memasuki usia pensiun (Pasal 167
ayat 5 UUKK);
d. PHK karena berakhirnya PKWT pertama (154
huruf b kalimat kedua UUKK);
PHK OLEH PENGADILAN (PPHI)

a. PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan


putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165
UUKK);
b. PHK terhadap anak yang tidak memenuhi
syarat untuk bekerja yang digugat melalui
lembaga PPHI (Pasal 68 UUKK);
c. PHK karena berakhirnya Perjanjian Kerja
(154 huruf b kalimat kedua UUKK);
Pada prinsipnya PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan
(izin) dari lembaga PPHI (cq P4D/P4P) karena PHK tanpa izin adalah batal
demi hukum (null and void). Namun terdapat beberapa macam PHK yang
tidak memerlukan izin dimaksud, antara lain:
1. PHK bagi pekerja yang masih dalam masa percobaan bilamana  (terlebih dahulu)
telah dipersyaratkan adanya masa percobaan tersebut secara tertulis;
2. PHK bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri  (tertulis) atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi;
3. Pekerja/buruh mangkir yang dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri (Pasal
168 ayat (1) jo Pasal 162 ayat (4) UUK)
4. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan PKWT (dalam hal perjanjian-kerjanya
untuk waktu tertentu);
5. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketentuan (batas usia
pensiun) dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan /Perjanjian Kerja
Bersama (PK/PP/PKB) atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
PHK YG TDK MEMERLUKAN IZIN :
6. Pekerja/buruh meninggal dunia (Pasal 154 UUKK);
7. PHK bagi pekerja/buruh yang mengajukan kepada lembaga PPHI dalam hal
pengusaha melakukan kesalahan, namun tidak terbukti adanya kesalahan
tersebut (Pasal 169 ayat 3 UUKK);
8. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal 171 jo 158 ayat 1 UUKK);
9. Pekerja/buruh melakukan tindak pidana di luar perusahaan setelah ditahan
6 bulan/lebih (Pasal 171 jo Pasal 160 ayat (3) UUK)
LARANGAN
PHK

a. P/B sakit (sesuai surat keterangan dokter) selama (dalam waktu) 12 bulan secara
terus terus menerus; (Pasal 93 ayat (2) huruf a UUKK)
b. P/B menjalankan tugas negara (lihat penjelasan Pasal 6 PP No. 8 Tahun 1981 jo Pasal
93 ayat (2) huruf d UUKK)
c. P/B menjalankan ibadah (tanpa pembatasan pelaksanaan ibadah yang keberapa,
(biasanya ibadah yang pertama upah dibayar penuh), lihat Pasal 93 ayat (2) huruf e
UUKK
d. P/B menikah (Pasal 93 ayat 2 UUKK)
e. P/B (perempuan) hamil, melahirkan, gugur kandung, atau menyusui bayinya (lihat
Pasal 93 ayat (2) huruf c jo Pasal 82 dan Pasal 83)
f. P/B mempunyai hubungan (pertalian) darah dan semenda, kecuali (terlebih dahulu)
telah diatur dan ditentukan lain dalam PERJANJIAN KERJA,PP/PB
g. P/B mengadukan pengusaha (kepada yang berwajib) yang melaporkan mengenai
suatu perbuatan tindak pidana kejahatan
h. Adanya perbedaan faham , agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan (sp)
i. P/B cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja/hubungan kerja yang menurut
keterangan dokter jangka waktu penyembuhannya tidak dapat ditentukan

Anda mungkin juga menyukai