Disusun Oleh : Rosmidar Guzyana Marzela Mina Rosnita Ria Khoirunnisa Ivo Dwi Anggrianisa Yulia Fitri Mulyani Fitri Romawati Muzaroah Sri Rahayu
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI JURUSAN
KEBIDANAN PROGRAM STUDI DIPLOMA IV ALIH JENJANG TAHUN 2023 Pendaluhuan • Hipertensi postpartum dialami oleh sekitar 2% ibu hamil. Jika tidak ditangani dengan tepat, kondisi ini dapat menimbulkan komplikasi, seperti kehilangan penglihatan, bahkan kematian. • Hipertensi postpartum merupakan kondisi ketika seorang ibu mengalami tekanan darah tinggi setelah melahirkan. Kenaikan tekanan darah biasanya mencapai puncaknya pada 3–6 hari pascapersalinan. Namun, tekanan darah tinggi juga bisa berlangsung hingga 6 bulan setelah melahirkan. Pilihan Obat Antihipertensi pada Penyakit Kardiovaskular
Menurut pedoman American Heart
Association (AHA) tahun 2017, pilihan obat antihipertensi pada penyakit kardiovaskular ditentukan berdasarkan berbagai jenis manifestasi klinisnya. Pilihan Obat Antihipertensi pada Penyakit Jantung Iskemik • Pedoman AHA tahun 2017 melaporkan bahwa pasien dengan tekanan darah ≥130/80 mmHg dengan penyakit jantung iskemik dengan riwayat infark miokard atau angina stabil dapat diberikan obat penyekat reseptor beta seperti metoprolol, atenolol dan bisoprolol, angiotensin receptor blocker (ARB) seperti irbesartan candesartan atau ACE-inhibitors (ACEi). Obat tersebut dapat dikombinasi dengan penyekat reseptor kalsium dihidropiridin (CCB) yakni amlodipine , diuretik tiazid (hydrochlorothiazide), dan atau antagonis reseptor mineralokortikoid (spironolactone) untuk mengontrol tekanan darah. • Pada pasien penyakit jantung iskemik dengan tensi yang tidak terkontrol dengan pemberian penyekat reseptor beta, dapat ditambahkan penyekat reseptor kalsium dihidropiridin. Pemberian penyekat reseptor beta dapat diberikan dalam jangka waktu menahun (>3 tahun) pada pasien dengan riwayat sindrom koroner akut (SKA) atau infark miokard. Sedangkan bila pasien dengan riwayat SKA >3 tahun dan mengalami angina, pemberian kombinasi penyekat reseptor beta dan atau penyekat reseptor kalsium dihidropiridin dapat diberikan untuk mengontrol tekanan darah dengan catatan pasien tersebut tidak dalam keadaan gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi. Pilihan Obat Antihipertensi pada Gagal Jantung dengan Penurunan Ejeksi Fraksi • Pedoman AHA tahun 2017 melaporkan bahwa terapi hipertensi pada gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi meliputi tatalaksana farmakologis dan non-farmakologis. Modifikasi non-farmakologis seperti penurunan berat badan, mengurangi asupan natrium dianjurkan untuk dilakukan sebagai terapi komplementer dari tatalaksana farmakologis. • Hingga saat ini, tidak didapatkan superioritas obat antihipertensi pada kasus gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi. Rekomendasi AHA melaporkan penggunaan ACEi seperti lisinopril, captopril dan enalopril, ARB, angiotensin receptor neprilysin inhibitor (ARNI) kombinasi valsartan/sacubitril, antagonis reseptor mineralokortikoid, diuretik, dan penyekat reseptor beta dapat diberikan. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan penyekat kanal kalsium non- dihidropiridin seperti verapamil dan diltiazem dapat menyebabkan depresi otot miokard sehingga dapat memberikan efek yang tidak menguntungkan pada pasien dengan hipertensi dengan gagal jantung pada penurunan ejeksi fraksi. Pilihan Obat Antihipertensi pada Gagal Jantung tanpa Penurunan Ejeksi Fraksi • Pedoman AHA tahun 2017 menyatakan bahwa pengontrolan tekanan darah pada kasus gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi. Pengontrolan tekanan darah yang baik telah dilaporkan dapat menurunkan angka hospitalisasi, komplikasi serebrovaskular, dan mortalitas. • Pada gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi, salah satu faktor risiko adalah hipertensi dan memiliki manifestasi klinis gagal peningkatan tekanan darah seiring dengan beban fisik. Selain itu, edema pulmoner akut merupakan salah satu manifestasi gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi yang sering didapatkan. • Oleh karena itu, diuretik direkomendasikan sebagai tatalaksana hipertensi pada kasus ini oleh karena kemampuannya dalam mengontrol retensi cairan pada gagal jantung. Pada kasus gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi dengan hipertensi persisten setelah dilakukan manajemen volume dengan diuretik, penambahan penyekat reseptor beta dan ACEi/ARB direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah target, yaitu kurang dari 130/80 mmHg. Kesimpulan • Hipertensi merupakan faktor risiko kuat dari penyakit kardiovaskular oleh karena itu, diperlukan suatu tatalaksana untuk mengendalikan tekanan darah dengan tujuan mengurangi risiko terjadinya mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Pemilihan obat antihipertensi yang tepat pada skenario komorbid penyakit kardiovaskular dapat menjadi bahan pertimbangan klinis dalam praktik klinis sehari-hari. • Pada penyakit jantung iskemik, pilihan obat antihipertensi pada pasien tanpa keluhan angina dapat menggunakan penyekat reseptor beta, angiotensin receptor blocker (ARB) atau ACE- inhibitors (ACEi). Obat tersebut dapat dikombinasi dengan penyekat reseptor kalsium dihidropiridin (CCB), diuretik tiazid, dan atau antagonis reseptor mineralokortikoid untuk mengontrol tekanan darah. Sedangkan pada pasien dengan angina, kombinasi penyekat reseptor beta dan atau penyekat reseptor kalsium dihidropiridin dapat diberikan untuk mengontrol tekanan darah dengan catatan pasien tersebut tidak dalam keadaan gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi. • Pada skenario gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi, Rekomendasi AHA melaporkan penggunaan ACEi, ARB, angiotensin receptor neprilysin inhibitor (ARNI), antagonis reseptor mineralokortikoid, diuretik, dan penyekat reseptor beta dapat diberikan. Namun pemberian penyekat kanal kalsium non-kalsium harus dipertimbangkan karena dapat menyebabkan depresi miokard. Untuk gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi, pemberian diuretik direkomendasikan mengingat kemampuannya dapat mengurangi terjadinya retensi cairan