Anda di halaman 1dari 26

Problematika Lahan Pasang

Surut untuk Wilayah


Permukiman
Oleh Henny Herawati
Kartini
Dampak Perubahan Hidrologis dan
Perkembangan Tata Guna Lahan
pada Permukiman Lahan Basah di
Kota Dumai
Rijal, M dan Aldy, P, 2012
Dampak Konversi Lahan Basah untuk Pemukiman
Kegiatan konversi lahan gambut untuk wilayah permukiman berdampak pada:
 Dapat mengubah ekosistem lahan basah tropis
 Rusaknya kondisi biofisik lahan gambut
 Menguras simpanan karbon
 Hilangnya fungsi lahan gambut sebagai penyimpan dan penyerap karbon
 Menghilangkan kemampuan kemampuan gambut untuk menyimpan air 13x lipat dari
bobotnya dalam system hidrologi kawasan hilir sungai.
Kegiatan normalisasi sungai untuk kepentingan wilayah permukiman, bertujuan
mempercepat arus dari hulu ke hilir sungai, berdampak pada:
 Percepatan aliran dan cadangan air yang ada diatas permukaan tanah menjadi berkurang.
 Perubahan hidrologi kawasan lahan basah tropis yang jauh lebih cepat daripada pengaruh
alami.
Studi Kasus: Normalisasi Sungai Mampu untuk Permukiman

 Akibat kegiatan drainase dalam proses yang lama


dan berkesinambungan: endapan-endapan baru pada
muara sungai, berupa delta dan ranting-ranting yang
tidak terpakai → kecepatan aliran air hulu Sungai
Mampu < aliran air pada daerah hilir.
 Endapan-endapan baru pada bagian hulu tidak dapat
menampung aliran dari bagian hilir.
 → Pada bagian hilir, endapan-endapan mengganggu
ekosistem pada daerah sungai.
 Endapan-endapan tersebut menghasilkan tumbuhan
yang hidup didaerah gambut.
 →Kosentrasi lahan basah pada bagian hilir Sungai
Mampu akan menyempit sedangkan pada bagian
hulunya kosentrasi lahan basah akan makin melebar
yaitu berupa rawa-rawa.
Studi Kasus: Normalisasi Sungai Mampu untuk Permukiman
 Konsep drainase konvensional yang selama ini dianut =
usaha untuk membuang / mengalirkan air kelebihan di
suatu tempat secepat-cepatnya menuju sungai dan
secepat-cepatnya dibuang ke laut, menurut tinjauan eko-
hidraulik tidak bisa lagi dibenarkan.
 Konsep pembuangan secepat-cepatnya → terjadi
akumulasi debit di bagian hilir dan rendahnya konservasi
air untuk ekologi di hulu.
 Dampak: Sungai di hilir menerima beban debit lebih
tinggi dan waktu debit puncak lebih cepat dari pada
keadaan sebelumnya dan terjadi penurunan kualitas
ekologi daerah hulu.
Jika sungai kecil, menengah, dan besar dijadikan sarana drainase
dengan konsep konvensionel seperti diatas bagi, maka akan didapat
suatu rezim saluran drainase sebagai ganti rezim sungai.
Solusi = Konsep eko-drainase: usaha membuang/mengalirkan air
kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga
tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di
sungai yang terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan
waktu mencapai debit puncak)
Studi Kasus: Normalisasi Sungai Mampu untuk Permukiman

 Program kegiatan normalisasi sungai bermaksud untuk


memperhalus dinding sungai → daya pengaliran debit sungai
dapat dipertinggi dan level muka air dapat direndahkan → tidak
membanjiri permukiman setempat.
 Dijumpai gejala perubahan kondisi lahan: terjadi pengeringan
pada lahan basah/lahan gambut ± 250 m dari parit melati (parit
buatan).
 Parit buatan dibangun tahun 2010 di lahan basah oleh Dinas Normalisasi Sungai Cegah Banjir di
Sampit
Pekejaan Umum Kota Dumai, tujuan: mengalirkan air yang
tergenang di sekitar kawasan hulu Sungai Mampu →
mempengaruhi luas lahan basah sekitar muara.
 Akibat pekerjaan normalisasi parit buatan: telah terjadi
penyusutan lahan basah tropis seluas ± 37,5 Ha.

Dinas PUPR Pontianak Normalisasi Parit


Studi Kasus: Normalisasi Sungai Mampu untuk Permukiman

Solusi untuk memperkecil tingkat kerusakan lahan basah:


 Renaturalisasi sungai, mengembalikan sungai kepada
bentuk yang alamiah demi mempertahankan dan
menjaga kelangsungan ekosistem di sungai
 Mempertahankan vegetasi di bantaran sungai
 Membuat lubang resapan biopori yang berguna untuk
mengubah sampah organik menjadi kompos
 Membuat sumur resapan yang bertujuan untuk
menggantikan peresap alami yang hilang akibat
meluasnya lahan pembangunan yang telah tertutup.
KONSEP PENGOLAHAN
TAPAK PERMUKIMAN DI
LAHAN RAWA, BANJARMASIN
DAhliani, 2012
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi
Berdasarkan historis, orang Banjar membuat tiga macam kanal sesuai besaran dan fungsinya.
 Saluran utama = anjir
→ Menghubungkan dua sungai besar.
→ Kedalaman 1 meter hingga 2 meter
→ Panjang saluran mencapai 100 sampai 2.000 meter.
 Saluran sekunder = handil
→ dikelola scara kolektif
→ fungsi utama: mengairi daerah pertanian
 Saluran tersier = saka
→ mengairi lahan milik pribadi atau keluarga
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi
Berdasarkan historisnya, jalan sebagai transportasi darat adalah sbg
berikut:
1. dibentuk dari hasil tanah timbunan dengan menggali tanah di kiri
kanan jalan;
area bekas galian = saluran drainase sekitar jalan → masih ada area
aliran air saat pasang naik
2. tahun 70-an: mulai dibangun dengan menimbun rawa-rawa
Orientasi pembangunan kota ke darat = kanal-kanal terabaikan
Rawa, areal pertanian dan persawahan dengan cepat berubah areal
perumahan, perkantoran, pertokoan serta sarana jalan dan fasilitas
umum lainnya
3. Mulai tahun 90-an: penutupan besar-besaran sungai dan kanal di Banjir di Kalsel dan Ramai Tagar
Kota Banjarmasin #KalselJugaIndonesia
Kanal-kanal hilang → sistem tata air di Banjarmasin hancur
Banjir menggenangi Banjarmasin, pada masa lalu tidak pernah
terjadi
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi
Pola dan Tapak Permukiman di Banjarmasin
 Pola permukiman = lingkup penyebaran daerah tempat tinggal penduduk menurut
keadaan geografi/fisik
 Awalnya terkonsentrasi di tepian sungai, terutama daerah aliran Sungai Barito dan anak
sungainya; banyak terdapat areal permukiman bahkan adanya pusat kerajaan
 Permukiman memanjang di tepian sungai, berpola linier dengan sungai sebagai poros
 Rumah-rumah dibangun menghadap sungai + di depan rumah biasanya terdapat
dermaga untuk tempat menyandarkan/mengikat sampan/jukung
 Pola memperhatikan ekosistem, mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam
 Perkembangannya: Rumah tumbuh di bantaran sungai.
 jalan raya+transportasi darat → rumah berorientasi ke jalan, membelakangi sungai.
 Praktek mengurug rawa berkembang → hilangnya area resapan dan penampungan air :
resiko banjir di area permukiman
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Pola dan Tapak Permukiman di Banjarmasin


 Arsitektur rumah tradisional di tepian sungai : konstruksi rumah panggung dari
bahan kayu ulin dan pancangan kayu galam
 Arsitektur serupa sampai ke daerah daratan yang berair dan berawa, dengan
menyesuaikan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin.
 Arsitektur rumah panggung: Sebagai kearifan lokal untuk menyesuaikan dan
mengatasi permasalahan setempat → di bagian bawah bangunan masih terdapat
ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan air.
 Perkembangan tapak permukiman terbagi dalam dua kawasan, yaitu
a) tapak permukiman yang berada di tepian (dekat) sungai
b)tapak permukiman pedalaman (jauh dari sungai)
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Tapak Permukiman Tepian Sungai


Perkembangannya terdiri atas beberapa tahap sebagai berikut:
1. Rumah tumbuh disepanjang tepian sungai, dengan orientasi ke sungai
 tiap rumah memiliki dermaga: tempat menambatkan perahu, tempat kegiatan sehari-
hari; mandi, cuci dan mengambil air untuk keperluan di rumah.
 Jarak rumah ─ sungai ±30 meter, Jarak antar rumah >20 meter
 Penghubung rumah ─ dermaga → titian dari kayu ulin dengan struktur panggung
 Antara dermaga dan titian terdapat urugan tanah yang dijadikan tanggul (kemudian
difungsikan sbg jalan darat).
 Tanggul diurug dengan mengeruk sungai saat kemarau (sungai kering) → mengurangi
endapan lumpur yang dapat membuat sungai dangkal.
 Rumah: struktur panggung + tiang ulin + pondasi kacapuri/pancangan kayu galam.
 Tapak permukiman masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan aliran air.
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Tapak Permukiman Tepian Sungai


2. Mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis
pertama) + bantaran sungai
 Disebabkan eratnya sistem kekerabatan → rumah anak&keluarga disekitar rumah
utama
 Akses menuju rumah-rumah baru dengan titian
 Titian yang menghubungkan rumah utama dengan dermaga, berubah menjadi
halaman yang berasal dari tanah yang dikeruk dari sungai dan dari bawah rumah
 Kearifan lokal lahan rawa masih diperhatikan:
 menggunakan rumah struktur panggung,
 akses titian
 sistem urug dan keruk untuk halaman dengan tanah urugan dari area itu sendiri.
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Tapak Permukiman Tepian Sungai


3. Tahap berikutnya.
 Titian menuju rumah-rumah disekitar rumah lapis pertama mulai hilang → diganti
urugan tanah dan perkerasan paving stone.
 Rumah di bantaran sungai bertambah banyak menjorok ke sungai → sungai
semakin sempit.
 Titian di bantaran sungai sudah diurug menjadi halaman rumah
 Transportasi darat semakin berkembang → fungsi dermaga dan sungai sebagai
media transportasi mulai berkurang.
 Urugan tanah (reklamasi rawa) semakin luas → lahan rawa semakin berkurang.
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Akses rumah di area


bantaran sungai yang
dengan titian kayu ulin Akses disekitar
rumah utama dgn
perkerasan

Tapak
Permukiman
Rumah Tepian
di area bantaran
sungai yang
Sungaisungai
mempersempit
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Tapak Permukiman Pedalaman (jauh dari sungai)


 Permukiman lebih didominasi perumahan formal yang dibangun oleh developer.
 Pola pemukiman adalah sebagai berikut:
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Tapak Permukiman Pedalaman (jauh dari


sungai)
 Seluruh halaman diurug
 Saluran yang mengalirkan air (gorong-gorong/saluran
terbuka dari area panggung rumah menuju keluar tidak
ada → air terkungkung di bawah lantai rumah.
 Pasang tinggi→biasanya lantai bangunan yang berada
paling bawah (area dapur/ service) akan tergenang air.
 Tidak ada lagi system urug dan keruk→tidak ada area
resapan air.
 Salah satu sisi/kedua sisi jalan tidak terdapat saluran air,
atau hanya dengan lebar minimal (l = 20 cm, t = 30 cm)
→ permukiman akan banjir saat pasang tinggi + perlu
waktu yang lama untuk surut kembali.
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Tapak Permukiman Pedalaman (jauh dari sungai)


 Rumah modern: bagian bawah bangunan (masih struktur panggung) seluruhnya ditutup
dengan kayu ulin → saat mengurug halaman, tanah urug tidak masuk ke bagian bawah
bangunan → menghambat aliran pasang surut
 Rumah tradisional: struktur panggung tapi masih memberikan
keleluasaan air untuk mengalir di bagian bawah bangunannya

Rumah
Moder
n
Rumah
Tradisional
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman


 Manajemen air merupakan hal utama dengan tujuan memudahkan dan memberikan ruang
untuk aliran air.
 Konsep pengolahan tapak pemukiman:
1. Konstruksi bangunan panggung
 Sitem pondasi batang (log) dengan batang kayu Kapur Naga diletakkan sebagai bantalan.
 Sangat fungsional dgn sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan” bangunan
 Kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan
dengan membenamkan kayu ke lumpur (rawa) (Gambar A)
 Struktur lebih ringan → konstruksi kacapuri; kayu galam disusun melintang disepanjang
bentang bangunan. Prinsip=sistem pondasi batang kayu kapur naga (Gambar B)
 Perkembangan teknologi struktur + kelangkaan batang (log) & kayu galam berdiameter
>15 cm → struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam (Gambar C)
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman


 Konsep pengolahan tapak pemukiman: B
1. Konstruksi bangunan panggung

C
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasin

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman


 Konsep pengolahan tapak pemukiman:
2. Terdapat area resapan air dan aliran air yang menerus
 dapat dilakukan pada komplek perumahan & 1 kapling rumah tinggal.
 Saluran air (kanal) primer dengan lebar minimal 4-6 meter dapat dibuat di bagian depan
dan belakang tapak permukiman yang berhubungan langsung dengan sungai atau kanal
utama yang ada di kawasan tersebut.
 Saluran sekunder dibuat di dalam komplek perumahan dengan lebar 2-3 meter yang
berhubungan langsung dengan saluran primer dan tertier.
 Saluran tertier dibuat di sekeliling kelompok kavlingan rumah dan terdapat gorong-
gorong yang lebar untuk menghubungkan antar saluran yang berada di bawah jalan.
Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman


2. Terdapat area resapan air dan aliran air yang menerus
 Konsep aliran air yang menerus pada satu kaplingan lahan rumah tinggal = menggunakan
konstruksi bangunan panggung dan lahan tidak di urug
 Jika ada bagian yang diurug
untuk halaman dan taman
→ menggunakan sistem
urug dan keruk → masih ada
lahan sebagai area resapan
air + tetap ada aliran air
yang menerus ke saluran
tertier yang berada di bagian
depan tapak.

Layout&perspektif bangunan pada satu kavling lahan rawa tanpa mengurug


Studi Kasus: Pengolahan Tapak Permukiman di Lahan Rawa Banjarmasi

Konsep Pengolahan Tapak Permukiman


3. Sistem urug dan keruk
 Merupakan manajemen air yang sudah
dilakukan sejak dulu
 Sebagian lahan di keruk untuk mengurug
bagian lahan yang lain.
 Hasil kerukan dapat berfungsi:
 sebagai kanal atau kolam
 mengurangi tanah berlumpur
 memudahkan pancangan galam mengenai
tanah keras pada saat dipancangkan.
 Hasil urugan → sebagai jalan/halaman
TERIMAKASI
H

Anda mungkin juga menyukai