Anda di halaman 1dari 8

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin 2000). Sumber DO di perairan adalah difusi langsung dari atmosfer dan hasil fotosintesis organisme autotrof (Welch 1952). Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), sumber utama oksigen terlarut di perairan adalah difusi dari udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnan) atau adanya pergolakan massa air akibat arus atau angin. Pada kondisi air diam, difusi terjadi apabila tekanan parsial udara lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial permukaan perairan. Pada kondisi pergolakan massa air, terjadi peningkatan peluang bagi molekul air untuk bersentuhan dengan atmosfer (Wetzel 2001). Penyerapan oksigen dari atmosfer ke dalam air terjadi dalam dua cara: (a) difusi langsung di permukaan perairan dan (b) melalui berbagai bentuk agitasi pada permukaan air, seperti gelombang, air terjun, dan turbulensi. Namun, difusi langsung dari udara melalui lapisan permukaan ke dalam perairan terjadi sangat lambat dan relatif tidak efektif dalam menyediakan oksigen ke perairan walaupun dapat berlangsung selama 24 jam (Welch 1952). Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), fotosintesis terjadi di zona fotik, sedangkan respirasi terjadi di seluruh kolom perairan bahkan sampai ke dasar perairan. Oleh karena itu, lapisan permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Umumnya pada pagi hari, konsentrasi DO cukup rendah. Pada siang hari, konsentrasi DO akan meningkat dan pada sore hingga malam hari secara kontinyu konsentrasi DO semakin berkurang karena dipakai untuk respirasi organisme yang ada di danau. Oksigen juga dapat masuk ke dalam perairan karena terbawa oleh aliran air yang masuk ke dalam badan perairan (inflow). Inflow akan mengalir menuju lapisan

4 yang memiliki densitas yang hampir sama dengan densitasnya. Perbedaan densitas air di waduk lebih banyak disebabkan oleh suhu. Jika densitas inflow lebih kecil daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di atas (overflow). Jika densitas inflow lebih besar daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di bawah (underflow). Jika densitas inflow lebih besar dari densitas lapisan epilimnion tetapi lebih kecil dari lapisan hipolimnion, inflow akan berada di lapisan tengah (interflow) (Wetzel 2001). Konsentrasi DO berkurang dengan semakin meningkatnya suhu,

bertambahnya kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer.

Penurunan

konsentrasi DO dengan bertambahnya kedalaman suatu perairan terkait dengan faktor cahaya yang mempengaruhi aktivitas fitoplankton di perairan. Jika semakin dalam suatu perairan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin rendah dan bahkan tidak akan ada lagi cahaya yang masuk ke perairan. Pada perairan oligotrofik, konsentrasi DO masih tersedia sampai dekat dasar perairan. Pada perairan eutrofik, konsentrasi DO terbesar terdapat di kedalaman permukaan karena melimpahnya fitoplankton. Konsentrasi DO menurun dengan bertambahnya kedalaman, bahkan dapat mencapai nol karena adanya dekomposisi biomassa alga yang telah mati dan mengalami pembusukan di dasar perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi dalam waktu 24 jam. Pada siang hari, terjadi fotosintesis dan respirasi, sedangkan pada malam hari, hanya terjadi respirasi yang dilakukan oleh produser primer dan konsumer, sehingga terjadi penurunan DO. Pada danau eutrofik, hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerob di perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Penyebab utama terjadinya penurunan

konsentrasi DO di perairan adalah (Welch 1952): (a) respirasi organisme yang berlangsung sepanjang hari; (b) dekomposisi bahan organik yang terlarut dan

terakumulasi di dasar perairan; dan (c) reduksi oleh gas lain. 2.1.2. Distribusi DO di perairan DO adalah salah satu parameter kualitas air terpenting yang ada di perairan karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme akuatik dan perubahan proses-proses kimia di perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Di lapisan permukaan konsentrasi oksigen relatif lebih tinggi karena adanya proses difusi dan

5 fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman, maka akan terjadi penurunan

konsentrasi DO. Hal ini karena proses fotosintesis semakin berkurang, oksigen semakin banyak digunakan untuk respirasi organisme, dan oksidasi bahan-bahan organik (Salmin 2000). Menurut Goldman & Horne (1983); Wetzel (2001), tipe distribusi oksigen terlarut di danau secara vertikal adalah sebagai berikut. a. Tipe orthograde Distribusi oksigen tipe ini terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Distribusi oksigen lebih dipengaruhi oleh suhu perairan. Pada tipe ini konsentrasi oksigen semakin

meningkat dengan bertambahnya kedalaman. b. Tipe clinograde Tipe ini terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) atau danau yang kaya unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin menurun dengan

bertambahnya kedalaman. Distribusi oksigen terstratifikasi seperti pada danau atau waduk eutrofik. Penurunan oksigen terjadi di lapisan hipolimnion pada saat musim panas. Konsentrasi oksigen di permukaan lebih tinggi dengan adanya proses

fotosintesis. c. Tipe heterograde positif dan negatif Tipe heterograde negatif terjadi jika respirasi (konsumsi oksigen) dominan terjadi di bagian bawah lapisan metalimnion sehingga konsentrasi oksigen lebih rendah. Tipe heterograde positif terjadi jika fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin sehingga akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion. d. Tipe anomali Tipe anomali terjadi pada aliran air yang deras, dingin, dan kaya oksigen. Tipe ini membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. 2.2. Lapisan Hipolimnion Danau biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air, yaitu lapisan epilimnion, metalimnion, dan hipolimnion. Lapisan hipolimnion merupakan lapisan paling

bawah yang berada di bawah metalimnion. Suhu di lapisan ini lebih dingin dan perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air di lapisan ini bersifat stagnan,

6 tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil (Goldman & Horne 1983). 2.3. Aerasi Hipolimnion Aerasi hipolimnion digunakan pertama kali di Danau Bret, Swiss (Mercier & Perret 1949 in Cooke et al. 2005). Aerasi tersebut merupakan teknik manajemen danau yang dirancang untuk mengurangi kondisi anoksia di lapisan hipolimnion dan masalah-masalah yang terkait. Tujuan utama dari aerasi hipolimnion adalah untuk meningkatkan konsentrasi oksigen hipolimnion tanpa merusak stratifikasi kolom air dan pemanasan air di lapisan hipolimnion tersebut. Menurut McQueen & Lean (1986) in Burris (1998) adanya aerasi hipolimnion berpengaruh terhadap kualitas air dan ekosistem danau. Beberapa pengaruh tersebut adalah (1) sistem aerasi yang dirancang dengan baik tidak akan merusak stratifikasi dan tidak meningkatkan suhu air secara signifikan di lapisan hipolimnion; (2) konsentrasi oksigen hipolimnion meningkat; (3) konsentrasi besi, mangan, H2S, dan metana menurun; (4) tingkat klorofil biasanya tidak berubah. Aerasi juga dapat menurunkan konsentrasi fosfor. Ada beberapa desain alat aerasi hipolimnion. Fast & Lorenzen (1976) in Cooke et al. (2005) memeriksa ada 21 desain dan mengelompokkannya ke dalam tiga kategori: (1) agitasi mekanik; (2) injeksi oksigen murni; dan (3) injeksi udara. Pada sistem aerasi agitasi mekanik, air dipompa dari lapisan hipolimnion ke dalam sebuah wadah yang terletak di permukaan danau kemudian air diberikan aerasi untuk meningkatkan transfer oksigen dari fase gas ke fase cair. Air yang telah diaerasi tersebut kemudian dikembalikan lagi ke lapisan semula. Sistem aerasi ini bukan sistem yang popular dan pertukaran gas relatif tidak efisien, tetapi terbukti berhasil dalam sejumlah kasus (Pastorak et al. 1982 in Cooke et al. 2005). Metode aerasi dengan injeksi oksigen dilakukan dengan menaikkan air dari lapisan hipolimnion, kemudian diberikan oksigen murni dengan tekanan tinggi. Setelah itu, air dikembalikan lagi ke lapisan hipolimnion. Metode ini digunakan untuk

meningkatkan efisiensi pertukaran gas (Fast & Lorenzen 1976 in Cooke et al. 2005). Metode injeksi udara melalui sistem pengangkatan (lift systems) merupakan metode yang paling populer untuk aerasi hipolimnion. Metode ini memindahkan air dari hipolimnion ke permukaan perairan, kemudian mengekspos air tersebut dengan

7 udara (compressed air) sehingga terjadi peningkatan oksigen. Air beroksigen

tersebut kemudian dikembalikan lagi ke kedalaman hipolimnion. Fast et al. (1976), Lorenzen & Fast (1977), Pastorak et al. (1982) in Cooke et al. (2005) menemukan bahwa desain alat aerasi hipolimnion dengan sistem pengangkatan penuh (full lift systems) paling mahal dan lebih efisien dalam meningkatkan oksigen dibandingkan dengan sistem lainnya. Beberapa desain alat aerasi hipolimnion yang termasuk dalam kategori injeksi udara dapat dilihat pada Lampiran 2. 2.4. Kecerahan Kecerahan perairan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan Secchi disk (Goldman & Horne 1983). Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi (Wetzel & Likens 1991). Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan kekeruhan yang berasal dari bahan organik dan anorganik. Kecerahan perairan akan semakin rendah dengan semakin tingginya nilai kekeruhan. Hal ini karena cahaya yang masuk ke perairan semakin rendah (Boyd 1982). Kecerahan perairan juga berkaitan dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke suatu perairan. Kecerahan merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk mengetahui status kesuburan suatu danau. Perairan yang memiliki status kesuburan oligotrofik memiliki kedalaman Secchi sebesar lebih dari 6 m, sedangkan perairan mesotrofik dan eutrofik masing-masing berkisar antara 3-6 m dan kurang dari 3 m (HendersonSellers & Markland 1987). 2.5. Suhu Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Suhu mempunyari peran penting dalam mengendalikan suatu ekosistem perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses-proses fisika, kimia, dan biologi suatu perairan (Goldman & Horne 1983). Peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kelarutan gas-gas di perairan seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan

8 kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Goldman & Horne 1983). Menurut Wetzel (2001), Goldman & Horne (1983), serta Welch (1952), intensitas cahaya matahari mempunyai korelasi positif dengan suhu di perairan. Intensitas cahaya matahari yang tinggi akan menyebabkan suhu di perairan menjadi tinggi. mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman Suhu akan karena

perairan

berkurangnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Suhu danau di daerah tropis berkisar antara 20-30 oC, dan menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Air mempunyai sifat penyimpan panas yang baik dan memerlukan panas yang tinggi untuk dapat menguap. Hal tersebut menyebabkan variasi suhu air lebih rendah jika

dibandingkan dengan variasi suhu udara (Cole 1983). Berdasarkan perbedaan suhu secara vertikal, danau dibagi menjadi beberapa lapisan, di antaranya (1) epilimnion, yaitu lapisan yang hangat dengan kerapatan air yang tinggi; (2) hipolimnion, yaitu lapisan yang lebih dingin; dan (3) metalimnion, yaitu lapisan yang berada di antara lapisan epilimnion dan hipolimnion (Goldman & Horne 1989). 2.6. pH pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH menggambarkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu danau dengan nilai 1-14. Keasaman ditandai dengan pH 1-7, sedangkan kebasaan 7-14. Menurut Goldman & Horne (1983), nilai pH normal suatu danau adalah 6-9. pH berhubungan dengan konsentrasi karbondioksida di perairan. Perairan yang memiliki karbondioksida tinggi akan menyebabkan pH perairan menjadi rendah karena akan membentuk asam karbonat (Wetzel 2001). Secara umum,

perubahan pH harian dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, fotosintesis, respirasi organisme, dan keberadaan ion dalam perairan (Welch 1952). 2.7. Fosfat Total Fosfat merupakan unsur yang penting bagi tumbuhan dan fitoplankton. Fosfat merupakan faktor pembatas bagi organisme tersebut dan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Goldman & Horne 1983). Sumber fosfat berasal dari aktivitas pertanian dan perikanan. Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987)

9 pupuk yang digunakan dalam pertanian banyak mengandung fosfat. Fosfat di

perairan berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan pada kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA. Penyusun fosfat total yang terbesar adalah organik fosfat sebesar 70% dalam bentuk partikulat (Wetzel 2001). Partikulat memiliki massa jenis yang lebih besar daripada air sehingga mudah mengendap. Selain itu, fosfat juga dapat berikatan dengan ion logam (FePO4) yang menyebabkan fosfat mengendap di sedimen. Fosfat total akan terhidrolisis menjadi ortofosfat yang akan dimanfaatkan oleh fitoplankton. Ortofosfat merupakan bagian kecil dari fosfat total, yaitu sekitar 5% (Wetzel 2001). 2.8. Klorofil-a Klorofil-a (C55H72O5N4Mg) merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi fitoplankton. Klorofil-a di suatu perairan dapat digunakan sebagai ukuran produktivitas primer fitoplankton, karena pada umumnya dapat dijumpai pada semua jenis fitoplankton (Goldman & Horne 1983). HendersonSellers & Markland (1987) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a untuk perairan tipe oligotrofik sebesar 0-4 mg/m3, tipe mesotrofik sebesar 4-10 mg/m3, dan tipe eutrofik sebesar 10-100 mg/m3. Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987) konsentrasi klorofil-a di perairan dapat mewakili biomassa dari alga atau fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a dalam fitoplankton sekitar 0,5-2% berat tubuh. Konsentrasi klorofil-a dari tiap jenis fitoplankton berbeda-beda. Konsentrasi klorofil-a berbanding lurus dengan

biomassa fitoplankton (Wetzel 2001). 2.9. Indeks Status Trofik (TSI; Trophic State Index) Status trofik didefinisikan sebagai berat total bahan organik yang hidup (biomassa) dalam suatu perairan di lokasi dan waktu tertentu. Status trofik dipahami sebagai respon biologis terhadap penambahan nutrien. TSI merupakan dasar

penentuan status trofik/kesuburan perairan dengan menggunakan biomassa alga (Carlson 1977). TSI adalah indeks yang sederhana karena membutuhkan data yang sedikit dan umumnya mudah dipahami. Pendugaan biomassa alga dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap tiga parameter, yaitu klorofil-a, kedalaman Secchi, dan fosfat total. Nilai TSI berkisar dari 0-100 (Carlson 1977).

10 Penggandaan biomassa alga ditunjukkan dengan pengurangan nilai kedalaman Secchi. Fosfat total juga akan mengurangi nilai kedalaman Secchi. Peningkatan fosfat total akan mempengaruhi pertumbuhan biomassa alga. Pendugaan biomassa alga dapat dilihat dari kandungan klorofil-a (Carlson 1977). Tabel 1. Kategori status kesuburan berdasarkan TSI (Carlson 1977) Kategori status kesuburan TSI Oligotrofik 0-40 Mesotrofik 40-50 Eutrofik 50-70 Hipereutrofik 70-100

2.10. Laju Penurunan Oksigen Hipolimnion (AHOD; Areal Hypolimnetic Oxygen Depletion Rate) Laju penurunan oksigen hipolimnion (areal hypolimnetic oxygen depletion rate/ AHOD) dapat digunakan sebagai indikator produktivitas primer di danau. Nilai AHOD untuk danau oligotrofik adalah kurang dari 0,25 g O2/m2 hari; sedangkan untuk danau eutrofik umumnya lebih besar dari 0,55 g O2/m2 hari (Mortimer 1941 in Walker 1979). Cornett & Rigler (1979, 1980) in Heiskary & Wilson (2005) menemukan bahwa AHOD berhubungan dengan jumlah fosfor epilimnetik dan produksi primer tahunan serta berhubungan terbalik dengan kedalaman Secchi rata-rata. Heiskary & Wilson (2005) menyatakan AHOD berhubungan dengan konsentrasi klorofil-a epilimnetik, fosfat total, dan kecerahan perairan. AHOD

bervariasi secara langsung dengan konsentrasi fosfat total (Walker 1979). Pada danau yang tertentu, konsentrasi fosfat total di atas 10-15 g/l biasanya akan mengakibatkan penurunan konsentrasi oksigen hipolimnion. Borowiak (2010)

menyatakan indeks status trofik (TSI) merupakan penduga terbaik dalam menduga AHOD. Perbedaan indeks status trofik menunjukkan tingkat korelasi yang berbeda dengan laju deplesi oksigen di lapisan hipolimnion.

Anda mungkin juga menyukai