Anda di halaman 1dari 7

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oksigen Terlarut


Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses
metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dan pembiakan. Di samping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd
1982). Oksigen berperan penting sebagai indikator dalam penentuan kualitas suatu
perairan (Satria 2007).

2.1.1. Sumber oksigen terlarut dalam perairan


Oksigen terlarut di perairan bersumber dari proses fotosintesis dan proses
difusi dari udara bebas (Boyd 1982). Menurut Schmittou (1990), sebagian besar
(90-95%) oksigen masuk ke perairan waduk atau danau melalui proses fotosintesis
kemudian oleh difusi dari udara, dan yang paling kecil oleh aliran air yang
memasuki badan perairan. Fotosintesis memiliki peranan yang lebih penting dalam
mengatur konsentrasi oksigen terlarut di perairan dibandingkan dengan proses fisika
(Boyd 1982). Secara umum proses fotosintesis dapat ditunjukkan pada reaksi
berikut.
6CO2 + 6H2O  C6H12O6 + 6O2 (Cole 1983)
Faktor pengontrol yang mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis dan
konsentrasi oksigen terlarut di perairan adalah suhu, cahaya, konsentrasi nutrien,
spesies dari fitoplankton yang hidup di perairan, kelimpahan plankton, turbulensi,
dan faktor lainnya. Pada lapisan permukaan hingga perairan kolam, konsentrasi
oksigen terlarut akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kelimpahan
plankton (Boyd 1982).
Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif
lambat meskipun terjadi pergolakan massa air. Laju transfer oksigen tergantung
pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen,
dan akan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland 1987). Difusi
oksigen dari udara bebas terjadi ketika berlangsung kontak antara campuran gas
atmospheric dengan air, dengan syarat air berada dalam keadaan undersaturated
5

(Boyd 1982). Oksigen bawaan yang masuk ke dalam badan perairan dapat terjadi
karena adanya inflow (Wetzel 2001).
Odum (1993) menyatakan bahwa perairan tergenang biasanya memiliki
stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan
perbedaan suhu secara vertikal pada kolom perairan. Bila dibagi berdasarkan ada
tidaknya cahaya pada suatu lapisan perairan, maka ada dua kelompok lapisan, yaitu
lapisan fotik (eufotik, kompensasi, dan disfotik) dan lapisan afotik. Berdasarkan
perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan, stratifikasi vertikal kolom air
pada perairan menggenang dikelompokkan sebagai berikut.
a. Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapatkan cukup matahari. Pada
lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada
oksigen yang digunakan untuk respirasi.
b. Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari
intensitas cahaya permukaan atau yang dicirikan oleh hasil fotosintesis yang
sama dengan hasil respirasi.
c. Lapisan profundal, yaitu lapisan di bawah lapisan kompensasi dengan intensitas
cahaya sangat kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik).

2.1.2. Pemanfaatan oksigen terlarut


Oksigen terlarut di perairan dimanfaatkan oleh tumbuhan air (termasuk di
dalamnya fitoplankton) dan biota perairan lainnya dalam proses respirasi, serta
mikroba untuk mendekomposisi bahan organik. Penggunaan oksigen terlarut di
perairan untuk respirasi plankton dan mikroorganisme perairan lainnya mencapai
72%, untuk ikan hanya tersedia 22%, digunakan untuk respirasi organisme dasar
perairan sebesar 2,9% serta sisanya 3,1% lepas ke udara. Proses respirasi
berlangsung sepanjang hari baik siang maupun malam hari, sedangkan fotosintesis
berlangsung hanya pada siang hari. Hal ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harian
kadar oksigen terlarut di lapisan eufotik. Proses respirasi juga berlangsung di
seluruh lapisan perairan, sehingga pada lapisan eufotik kadar oksigen cenderung
lebih melimpah dibandingkan lapisan di bawahnya. Titik kedalaman terjadinya
konsumsi oksigen dalam proses respirasi sama dengan produksi melalui proses
fotosintesis disebut kedalaman kompensasi (Widiyastuti 2004). Data mengenai
6

konsentrasi oksigen dan tingkat konsumsi sangat berguna untuk menggambarkan


sebab dan akibat terjadinya eutrofikasi di perairan (Carlsson et al. 1999).

2.1.3. Penurunan oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion


Dalam berbagai stratifikasi, oksigen terlarut akan semakin menurun hingga
lapisan hipolimnion. Penurunan ini disebabkan oleh proses oksidasi yang terjadi
dari pemukaan hingga dasar perairan. Proses yang terjadi pada lapisan hipolimnion
adalah proses dekomposisi oleh bakteri serta proses respirasi (Sumawidjaja 1974).
Pengurangan kandungan oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion yang
semakin meningkat selama terjadi stratifikasi bukan hanya karena faktor kedalaman
atau pun bertambah tebalnya volume lapisan hipolimnion, melainkan juga karena
faktor waktu selama periode stratifikasi. Perbedaan kadar oksigen terlarut awal,
selama, dan akhir periode stratifikasi pada suatu kedalaman tertentu dinyatakan
sebagai defisit oksigen. Defisit oksigen pada areal hipolimnetik pada sejumlah
danau atau waduk dapat mengindikasikan bahwa (Wetzel 2001).
a. Defisit oksigen berkorelasi positif dengan produktivitas primer alga
fitoplankton.
b. Defisit berkebalikan secara proporsional terhadap transparansi epilimnetik
(kedalaman Secchi disk).
c. Danau dengan konsentrasi total fosfor lebih tinggi memiliki nilai defisit oksigen
lebih tinggi pula.
d. Defisit cenderung lebih besar terjadi pada danau yang memiliki rata-rata
temperatur hipolimnetik musim panas lebih tinggi.
e. Defisit oksigen lebih besar pada danau dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik
yang tebal.
Danau dengan hipolimnion tipis dapat memiliki nilai rata-rata deplesi oksigen per
unit volume lebih besar namun rata-rata per unit arealnya lebih kecil apabila
dibandingkan dengan yang terjadi pada danau dengan hipolimnion tebal (Wetzel
2001).
Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal bervariasi. Tipe distribusi
oksigen terlarut dalam suatu perairan secara vertikal menurut Goldman dan Horne
(1983) adalah sebagai berikut.
7

a. Tipe orthograde: terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau
danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin
meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen
pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya
kedalaman.
b. Tipe clinograde: terjadi pada danau dengan kandungan unsur hara dan bahan
organik yang tinggi (eutrofik). Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang
dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar.
Penurunan ini diakibatkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme.
c. Tipe heterograde positif dan negatif: pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis
dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di
bagian atas lapisan metalimnion.
d. Tipe anomali: tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen dan
membentuk sebuah lapisan yang mempunya ciri-ciri sendiri.

Keterangan : (a). Tipe orthograde; (b). Tipe clinograde; (c). Tipe heterograde
positif dan negatif; (d). Tipe anomali.

Gambar 2. Tipe distribusi vertikal oksigen (Goldman dan Horn 1983)

2.2. Parameter Pendukung Keberadaan DO


Keberadaan oksigen terlarut di perairan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisika, kimia dan biologi yang di antaranya adalah suhu, kecerahan, pH dan
fitoplankton yang terkait dengan kelimpahan dan klorofil-a. Faktor fisika, kimia,
8

dan biologi tersebut merupakan faktor yang sangat mendukung keberadaan DO di


perairan dan keberadaannya sangat berfluktuasi.

2.2.1. Suhu
Suhu suatu perairan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang
jatuh ke permukaan perairan, sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan
sebagian masuk ke perairan yang disimpan dalam bentuk energi (Welch 1952).
Suhu suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta
kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia,
biologi badan air. Suhu juga berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem
perairan. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan viskositas dan juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4,
dan sebagainya (Haslam 1995). Suhu air yang selalu meningkat menyebabkan
oksigen semakin berkurang karena laju konsumsi oleh organisme perairan semakin
meningkat seperti yang terlihat pada Tabel 1 (Fang dan Stefan 1997).

Tabel 1. Hubungan antar konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan
udara 760 mmHg (Cole 1983).
Suhu Konsentrasi O2 Suhu Konsentrasi O2 Suhu Konsentrasi O2
(oC) terlarut (mg/l) (oC) terlarut (mg/l) (oC) terlarut (mg/l)
0 14,62 12 10,78 24 8,42
1 14,22 13 10,54 25 8,26
2 13,38 14 10,31 26 8,11
3 13,46 15 10,08 27 7,97
4 13,11 16 9,87 28 7,83
5 12,77 17 9,66 29 7,69
6 12,45 18 9,47 30 7,56
7 12,14 19 9,28 31 7,43
8 11,84 20 9,09 32 7,3
9 11,56 21 8,91 33 7,18
10 11,29 22 8,74 34 7,06
11 11,03 23 8,58 35 6,95

2.2.2. Kecerahan
Kecerahan suatu perairan sangat tergantung pada warna dan kekeruhan.
Kecerahan merupakan suatu ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan Secchi disk (Cole 1983). Nilai kecerahan dapat
9

dinyatakan dalam satuan meter. Kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca,
waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Pengukuran kecerahan
dilakukan pada saat cuaca cerah, melangsungkan proses fotosintesa. Menurut Odum
(1993) penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air
sehingga membatasi zona fotosintesis. Apabila kecerahan pada suatu perairan
rendah, berarti perairan itu keruh. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh
bahan-bahan yang terdapat di dalam air (Wetzel dan Likens 1991). Kekeruhan
disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut,
maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme
lain (APHA 2005).
Menurut Sumawidjaja (1974) kecerahan air mempengaruhi jumlah dan
kualitas sinar matahari dalam perairan. Jumlah dan kualitas sinar matahari ini
mempengaruhi kualitas plankton melalui penyediaan energi untuk melangsungkan
proses fotosintesis. Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan, memerlukan
cahaya matahari untuk berfotosintesis. Peningkatan kepadatan fitoplankton akan
meningkatkan suplai oksigen yang berasal dari fotosintesis, sehingga penetrasi
cahaya matahari ke dalam perairan akan menentukan produktivitas primer suatu
perairan (Boyd 1982).

2.2.3. pH
Nilai pH merupakan salah satu komponen terpenting dan sering digunakan
sebagai penentu dalam pengukuran parameter kimia perairan (APHA 2005). Nilai
pH air menunjukkan apakah reaksi basa atau asam relatif terhadap titik netral pH
7,0. Nilai pH perairan secara normal berfluktuasi pada siklus siang hari atau diurnal
secara primer dipengaruhi oleh kadar-kadar CO2, kepadatan fitoplankton dan
alkalinitas total serta tingkat kesadahan (Schmittou 1991).
Nilai pH pada suatu ekosistem sangat penting, karena berhubungan dengan
produktivitas biologis. Meskipun toleransi organisme terhadap pH bervariasi, nilai
pH antara 6,5-8,5 biasanya menunjukkan kualitas air yang baik (UNEP-GEMS
2006). Nilai pH dalam suatu perairan dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat
dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara serta
toksisitas dari unsur-unsur renik. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam
10

maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena


menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus 2002).

2.2.4. Fitoplankton
Plankton adalah mikroorganisme yang ditemui hidup melayang dan hidup
bebas di perairan dengan kemampuan pergerakan yang rendah. Organisme ini
merupakan salah satu parameter biologi yang memberikan informasi mengenai
kondisi perairan baik kualitas perairan maupun tingkat kesuburannya (Schmittou
1991 in Astuti dan Satria 2009). Fitoplankton memiliki klorofil untuk dapat
berfotosintesis, menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat dan oksigen.
Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan merupakan sumber
kehidupan bagi seluruh organisme akuatik lainnya. Di samping sebagai penghasil
oksigen, fitoplankton merupakan makanan bagi konsumer primer yaitu zooplankton.
Fitoplankton tergolong sebagai organisme autotrof, yang membangun tubuhnya
dengan mengubah unsur-unsur anorganik menjadi zat organik dengan
memanfaatkan energi karbon dari CO2 dan bantuan sinar matahari melalui proses
fotosintesis (Basmi 1999).
Dalam suatu perairan fitoplankton berfungsi sebagai pemasok oksigen terbesar
melalui proses fotosintesis, sehingga kelimpahannya dapat menggambarkan
seberapa besar kemampuan suatu perairan dalam mensuplai oksigen ke dalam
perairan. Selain itu, fitoplankton merupakan bagian dari tumbuhan fotosintetik yang
memiliki klorofil-a yang sangat penting, sebagai katalis dan berperan langsung
dalam proses fotosintesis. Klorofil-a dapat digunakan sebagai penduga besarnya
produksi dan produktivitas primer yang dihasilkan oleh populasi fitoplankton.
Dengan melakukan pengukuran klorofil-a, akan diketahui produksi primer bersih
dari fitoplankton (Basmi 1999).

Anda mungkin juga menyukai