Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL ASLI

Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 20032005
(Superficial Mycosis in Mycology Division - Out Patient Clinic of Dermatovenereology Dr. Soetomo General Hospital Surabaya in 20032005)
Afif Nurul Hidayati, Sunarso Suyoso, Desy Hinda P Emilian Sandra ,
Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Latar belakang: telah dilakukan penelitian retrospektif mikosis superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan (URJ) Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 20032005. Tujuan: untuk mengetahui gambaran penderita serta penegakan diagnosis mikosis superfisialis yang meliputi: jumlah kasus baru, distribusi menurut jenis kelamin, umur, jenis penyakit, pemeriksaan laboratorium dengan KOH + tinta Parker, serta pemeriksaan kultur. Hasil: Dalam kurun waktu antara 20032005 didapatkan kasus baru mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003 sebesar 12,7%, tahun 2004 sebesar 14,4%, dan tahun 2005 sebesar 13,3%. Kesimpulan: Kasus mikosis superfisialis masih cukup banyak diderita oleh penduduk Indonesia yang merupakan negara tropis. Kata kunci: mikosis superfisialis, pitiriasis versikolor, kandidiasis superfisialis, KOH, tinta Parker ABSTRACT Background: A retrospective study of superficial mycosis had been done at Dermato-Venereology Out Patient Clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya from January 2003 to December 2005. The aim: the aim of study is to know the morbidity of superficial mycosis and distribution patterns of age, sex, disease, KOH + Parker's ink, and culture examinations. Result: the incidence of superficial mycosis is 12.7% in 2003, 14.4% in 2004, and 13.3% in 2005. Conclusion: this result shows that superficial mycosis is still a problem in Indonesia as a tropical country. Key words: superficial mycosis, pityriasis versicolor, superficial candidiasis, KOH, Parker ink Korespondensi: Afif Nurul Hidayati, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo No. 68 Surabaya 60286 Indonesia. Telp. +6231 5501609

PENDAHULUAN Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh kolonisasi jamur atau ragi.1 Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis, pitiriasis versikolor, dan kandidiasis superfisialis.14 Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum epidermis, rambut, dan kuku. Penyebab dermatofitosis adalah spesies dari Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.14 Pitiriasis versikolor merupakan penyakit infeksi jamur superfisial kronis pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare.3,4
Pengarang Utama 5 SKP Pengarang Pembantu 1 SKP . (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)

Kandidiasis superfisialis merupakan infeksi primer dan sekunder pada kulit dan mukosa dari genus Candida, terutama karena spesies Candida albicans. Kandidiasis superfisialis yang sering dijumpai yaitu mengenai lipatan-lipatan kulit seperti inguinal, aksila, lipatan di bawah dada (kandidiasis intertriginosa), daerah popok/diaper, paronikia, onikomikosis, dan mengenai mukosa (kandidiasis oral, vaginitis, balanitis).35 Mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.4,5

Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

Vol. 21 No. 1 April 2009


UrJ Peny. Kulit & Kelam in
2005 7160
667 (9,32%)

Di Indonesia angka yang tepat teratasi, insidensi mikosis superfisialis belum ada.5 Insidensi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia tahun 1998 bervariasi.5 Penelitian retrospektif ini kami buat untuk mengetahui gambaran mikosis superfisialis di URJ (Unit Rawat Jalan) Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo tahun 2003 sampai dengan 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran umum mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 20032005 (3 tahun), yang meliputi: kasus baru, distribusi jenis penyakit, distribusi umur penderita, distribusi kelamin penderita, distribusi waktu, distribusi geografis, gambaran penegakan diagnosis. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan melihat catatan medik kasus mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1 Januari 200331 Desember 2005. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Jumlah kasus baru mikosis superfisialis menempati urutan ke-3 setelah dermatitis dan akne dalam daftar 10 penyakit terbanyak di URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 20032005. Kasus baru mikosis superfisialis dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 semakin menurun, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup yang bersih dan sehat dan semakin

Mikosis superfisialis

2004

19092
941 (4,93%) 982 (5,36%)
0 2000 4000 6000 8000

2003

18308

10000 12000 14000 16000 18000 20000

Grafik 2.

Perbandingan Kasus Baru Mikosis Superfisialis Divisi Mikologi dengan Kasus Baru dan Lama URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

1474

1390

1059

Divisi Mikologi Mikosis superfisialis

982 ( 6 6 , 6 %)

941 ( 6 7 , 7 %)

667 ( 6 3 , 0 %)

2003

2004

2005

Grafik 3.

Perbandingan Kasus Baru Mikosis Superfisialis dengan Kasus Baru dan Lama Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

Bukan Mikosis superfisialis Mikosis superfisialis


1400 1200 1000
64 (6,1%) 72 (7,1%) 75 (10,1%)

Mikosis superfisialis
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2003 2004 2005
982 (12,7% ) 941 (14,9% ) 667 (13,3% ) 6.299 4.998 7.739

800 600 400 200 0 2003 2004 982 (93,9%) 941 (92%)

URJ Peny. Kulit & Kelam in

667 (89,9%)

2005

Grafik 4.

Grafik 1.

Perbandingan Kasus Baru Mikosis Superfisialis Divisi Mikologi dengan Kasus Baru URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

Perbandingan Kasus Baru Mikosis Superfisialis dengan Kasus Baru Bukan Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

banyaknya tempat pelayanan kesehatan sehingga kasus yang datang ke Divisi Mikologi URJ Kulit dan Kelamin semakin menurun.

Artikel Asli

Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 20032005

Kasus baru mikosis superfisialis dibandingkan kasus baru URJ Kulit Kelamin pada tahun 2003 sebesar 12,7%, tahun 2004 sebesar 14,9%, dan tahun 2005 sebesar 13,3%. Insidensi dermatomikosis terhadap seluruh kasus dermatosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia menunjukkan angka yang bervariasi, dari yang terendah 2,3% (Yogyakarta) tahun 1996 hingga yang tertinggi 39,2% (Denpasar) tahun 1997.5 Hal tersebut mungkin disebabkan karena sistem pencatatan yang kurang akurat atau pasien enggan berobat ke rumah sakit besar, dan cenderung memilih berobat ke fasilitas pengobatan lainnya.6,7

pada daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. Faktor lingkungan (kelembaban kulit) dan faktor suseptibilitas individual (kecenderungan genetik, penyakit lain yang mendasari, malnutrisi) berperan pada patogenesis pitiriasis versikolor. 10 Faktorfaktor tersebut banyak didapatkan di Indonesia yang merupakan daerah tropis sehingga insidensi pitiriasis versikolor masih tinggi. Selain hal itu, banyaknya kasus yang ditemukan dapat terjadi karena penyakit tersebut memberikan keluhan yang tidak berarti sehingga jarang yang datang berobat pada saat penyakit masih dini. Alasan malu atau kosmetik juga bisa merupakan penyebab keterlambatan penderita untuk mencari pengobatan, pada umumnya penderita P versikolor Dermatofitosis baru akan berobat ke pusat kesehatan saat penyakitnya 53,2% Kandidiasis superfisialis sudah meluas. Onikomikosis P versikolor Di National Skin Centre Singapura pada tahun inkognito T incognito Dermatofitosis 19992003 didapatkan 12 903 kasus mikosis 53,2% Kandidiasis superfisialis Kasus yang paling banyak adalah superfisialis. Onikomikosis tinea pedis (27,3%), kemudian pitiriasis versikolor T incognito (25,2%), dan tinea kruris (13,5%). Kandidiasis juga sering didapatkan dengan kasus terbanyak adalah Grafik 5. Distribusi Jenis Penyakit Mikosis kandidiasis intertriginosa. Tinea kapitis jarang Superfisialis. didapatkan. Kasus onikomikosis mulai meningkat.11 Di Bangkok, Thailand pada tahun 1986, dari penderita Penelitian ini menunjukkan insidensi terbanyak perempuan kasus yang banyak didapatkan adalah adalah dermatofitosis. Menurut Budimulja8 mikosis tinea korporis (29%), tinea kruris (23%), dan tinea superfisialis yang banyak dijumpai adalah pitiriasis pedis (16%). Sedangkan pada penderita laki-laki versikolor, kandidosis, dan dermatofitosis.Di adalah tinea kruris (39%), tinea korporis (28%), dan beberapa rumah sakit insidensi kandidiasis kutis tinea pedis (14%).12 Di Kimitsu Chuo Hospital, Tokyo, dapat melampaui insidensi pitiriasis versikolor Jepang, kasus dermatofitosis yang terbanyak adalah (Ujungpandang, Medan, Denpasar). Berbeda tinea pedis (64,2%), diikuti tinea unguium (14,6%) dengan laporan Budimulja Jakarta tahun 1989 dan dan tinea korporis (11,9%).13 Banyaknya kasus tinea Dhiana dkk tahun 1994 di Semarang yakni pitiriasis pedis di beberapa negara Asia tersebut mungkin versikolor menempati urutan pertama disusul dengan disebabkan karena kebiasaan pemakaian sepatu dermatofotosis dan kandidiasis kutis.5 tertutup dalam aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, Ditinjau dari masing-masing kasus, pitiriasis hal tersebut berkaitan dengan banyaknya industri di versikolor merupakan kasus yang paling banyak negara-negara tersebut. dijumpai dari seluruh kasus mikosis superfisialis. Kelompok umur yang terbanyak menderita Pitiriasis versikolor merupakan penyakit infeksi jamur mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit superfisial pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya furfur yang tersebar di seluruh dunia, terutama banyak tahun 20032005 adalah kelompok umur 2544 ditemukan pada daerah tropis dan subtropis dengan tahun, merupakan kelompok usia produktif yang temperatur dan kelembaban relatif tinggi.2 Penyakit banyak mempunyai faktor predisposisi, misalnya tersebut banyak ditemukan pada penderita dengan pekerjaan basah, trauma, dan banyak berkeringat, sosial ekonomi rendah dan berhubungan dengan sehingga risiko untuk menderita mikosis superfisialis buruknya higiene perorangan. Faktor predisposisi lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur sangat berperan pada terjadinya pitiriasis versikolor,2 lainnya. Sedangkan kelompok usia yang paling antara lain genetik, pemakaian kortikosteroid atau jarang menderita mikosis superfisialis di Divisi antibiotika jangka panjang, gizi kurang, dan banyak Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD keringat.9 Prevalensi pitiriasis versikolor sekitar 50% Dr. Soetomo Surabaya adalah kelompok usia 

Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

Vol. 21 No. 1 April 2009

14 tahun yang merupakan golongan balita yang sedikit mempunyai faktor risiko.
Luar Surabaya 349 (13,5% )
0-<1 thn 1-4 thn >65 thn 86 (3,3% ) 80 (3,1% ) 123 (4,7% ) 5-14 thn 196 (7,6% )

45-64 thn 624(24,1% )

15-24 thn 532 (20,5% )

Surabaya 2241 (86,5% )

Grafik 8.

25-44 949 (36,3% )

Distribusi Geografis Penderita Baru Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

Grafik 6.

Distribusi Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kasus Baru Mikosis Superfisialis Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 20032005.

Blastospora/arthrokonidia+Pseudohifa/hifa

636 (24,6%)

Ps eudohifa/Hifa

1123 (43,4%)

Kasus baru mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya, secara umum jumlah penderita perempuan lebih banyak dibandingkan penderita laki-laki. Distribusi waktu kasus mikosis superfisialis tahun 2003, 2004, dan 2005 menunjukkan gambaran yang kurang khas. Hal tersebut bisa didapatkan karena pada tahun-tahun tersebut pergantian musim di Indonesia sering tidak berjalan dengan normal selain disebabkan penderita mencari pengobatan saat penyakitnya sudah diderita agak lama tidak pada saat baru menderita.

Blas tospora/arthrok onidia

356 (13,7%)

Negatip

475 (18,3%)

200

400

600

800

1000

1200

Grafik 9.

Hasil Pemeriksan Laboratorium KOH 20% + tinta Parker Kasus Baru Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSU D r. S o e t o m o S u r a b a y a Pe r i o d e 20032005.

160 140 120 100 80 60 40 20 0


91 46 70 67 68 54 36 357 6 91 81 99 83 142 109 103 104 109 104 138

73

97

82

76
39 41

57

58

54

56 36

59

54

54

Jan Mar Peb Mei Apr Juli Juni Sep Ags 2002 2003 Okt 2004 Des Nop

30

36

Grafik 7.

Distribusi Waktu Kasus Baru Mikosis Superfisialis Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya periode 20032005.

Dari seluruh kasus mikosis superfisialis yang datang ke Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003 2005 86,5% berasal dari Surabaya. Penderita yang berasal dari luar Surabaya meliputi daerah pesisir pantai seperti Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Tulung Agung, P. Madura (Kamal, Bangkalan, Sumenep, Sampang, Pamekasan), serta daerah dataran yang lebih tinggi seperti Malang, Kediri, Nganjuk, Magetan, Ponorogo, Mojokerto. Pada tahun 2003 pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker kasus pitiriasis versikolor yang menunjukkan elemen jamur berbentuk hifa dan spora (spaghetti and meat balls) menunjukkan hasil positif yang paling besar (87,1%), diikuti dermatofitosis (86,0%), kemudian kandidiasis (77,0%). Sedangkan pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker pada satu kasus onikomikosis menunjukkan hasil yang negatif.

Artikel Asli

Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 20032005

Pada tahun 2004 pemeriksaan KOH 20% dan tinta Parker pada kasus pitiriasis versikolor juga menunjukkan hasil positif yang paling besar (91,7%), diikuti oleh dermatofitosis (83,4%), kemudian kandidiasis (73,6%). Dua kasus onikomikosis pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker menunjukkan hasil negatif. Hasil yang sama juga terjadi pada tahun 2005, pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker kasus pitiriasis versikolor menunjukkan hasil positif yang paling tinggi (87,1%), diikuti dermatofitosis (86,0%), kemudian kandidiasis (77,0%). Sedangkan pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker pada satu kasus onikomikosis menunjukkan hasil yang positif berupa blastospora. Seharusnya diagnosis onikomikosis disesuaikan pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan KOH + tinta Parker yang ditemukan. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan KOH 20% + tinta Parker pada kasus baru pitiriasis versikolor di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 20032005 didapatkan hasil negatif yaitu tidak ditemukannya elemen jamur yaitu sebesar 11,6% (2003), 8,3% (2004), dan 12,9% (2005). Jika pada pemeriksaan dengan KOH 20% hanya dijumpai blastospora saja, maka dikatakan kasus tersebut tidak dapat didiagnosis sebagai pitiriasis versikolor, oleh karena spora yang ada merupakan golongan flora yang sering ditemukan pada kulit dan hidup sebagai saprofit di permukaan kulit manusia.14 Sedangkan bentuk filamen hifa (miselial) merupakan fase patogen yang tidak dapat ditemukan pada kulit normal atau pada kultur.10,15 Namun apabila dijumpai blastospora saja pada pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker pada kasus baru tetap didiagnosis sebagai pitiriasis versikolor. Jika secara klinis menunjukkan gambaran pitiriasis versikolor tetapi pengobatannya belum adekuat yang diketahui dari anamnesis bahwa penderita telah berobat atau mengobati sendiri penyakitnya di mana pengobatannya belum memenuhi syarat untuk dikatakan sembuh. Pada penelitian ini, hasil yang negatif pada pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker untuk kasus baru dermatofitosis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan sebesar 21,9% (2003), 16,3% (2004), dan 16,0% (2005). Tingginya hasil pemeriksaan yang negatif tersebut kemungkinan disebabkan karena penderita sudah mengobati sendiri dengan obatobatan topikal seperti antijamur topikal maupun kortikosteroid topikal atau kemungkinan lain

pengambilan bahan pemeriksaan yang tidak pada daerah yang mengandung elemen jamur atau mungkin karena pada satu penderita bisa terdapat lebih dari satu diagnosis mikosis superfisialis, namun pada pemeriksaan elemen jamurnya dilakukan hanya pada salah satu diagnosis saja. Sedangkan pada penelitian ini ditemukan hasil pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker yang negatif pada kasus baru kandidiasis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya yaitu 27,7% (2003), 26,4% (2004), dan 23,0% (2005). Elemen jamur terbanyak yang dijumpai pada pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker untuk kasus baru dermatofitosis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah bentuk hifa sebesar 39,9% (2003), 48,7% (2004), dan 40,9% (2005). Elemen jamur dermatofita yang dijumpai pada pemeriksaan langsung dengan KOH berupa filamen yang panjang, bercabang, dan bersepta dengan diameter 38 atau filamen yang lebih pendek dan lebih bundar.1618 Filamen tersebut tampak sebagai garis sejajar yang memiliki indeks bias yang berbeda dengan sekitarnya dan pada jarak tertentu dipisahkan oleh sekat (septa).19 Elemen jamur dermatofit lain yang umum dijumpai yaitu berupa deretan spora di ujung hifa/chains of rectanguler spores (arthrospora).1619 Elemen jamur terbanyak yang dijumpai pada pemeriksaan KOH 20% + tinta Parker untuk kasus baru kandidiasis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah blastospora yaitu sebesar 52,2% (2003), 53,8% (2004), 58,0% (2005). Jamur Candida merupakan jamur dimorfik, yang bentuknya tergantung lingkungannya. Bentuk "mould" atau bentuk pseudohifa/hifa ditemukan pada penyakit, karenanya bentuk ini dianggap sebagai bentuk patogen. Sedangkan bentuk ragi atau blastospora merupakan bentuk istirahat yaitu sebagai saprofit.2,20,21 Pada pemeriksaan mikroskopik akan tampak jamur Candida dalam bentuk sel ragi (yeast form), berupa sel-sel tunas berbentuk lonjong (blastospora), pseudohifa sebagai sel-sel memanjang seperti sosis yang tersusun bersambung-sambung dan hifa yang bersepta.22 Diagnosis tinea kapitis dan pitiriasis versikolor dengan pemeriksaan lampu Wood juga dilakukan di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya, namun tidak tercatat secara teratur pada rekam mediknya sehingga tidak dapat dilaporkan.

Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

Vol. 21 No. 1 April 2009

Positif 19 (37,3%)

Negatif 52 (67,3%)

Grafik 10. Jumlah Pemeriksaan Kultur Diagnosis mikosis superfisialis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan mikologi langsung (KOH + tinta Parker). Pemeriksaan kultur/biakan tidak selalu dikerjakan, hanya dilakukan pada kasus-kasus dermatofitosis dan kandidosis tertentu atau pada penelitian. Idealnya penegakan diagnosis mikosis superfisialis berdasarkan klinis, pemeriksaan KOH, kultur dan bila perlu pemeriksaan histopatologis.5 Kasus-kasus mikosis superfisialis yang dikultur selama tahun 20032005 di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah sebanyak 51 kasus atau sekitar 2% dari seluruh kasus baru mikosis superfisialis. Dari jumlah yang diperiksa tersebut, hasil kultur yang positif sebesar 37,3%, hasil negatif sebanyak 62,7%. Pemeriksaan kultur jamur ini dilakukan bila hasil pemeriksaan dengan sediaan langsung KOH + tinta Parker negatif, sedangkan secara klinis masih meragukan. Dari hasil kultur yang tumbuh didapatkan spesies yang terbanyak ditemukan adalah T. mentagrophytes sebanyak delapan kasus (15,7%) yang terdiri dari empat kasus tinea kruris, dua kasus tinea korporis, dan dua kasus tinea unguium.

Tak ada pertumbuhan C.albicans T.rubrum T.mentagrophyt es 0


4 ( 7 , 8 %)

3 2 ( 6 2 , 7 %)

7 ( 13 , 7 %) 8 ( 15 , 7 %)

10

20

30

40

Grafik 11. Hasil Pemeriksaan Kultur 

T. rubrum sebanyak tujuh kasus (13,7%) pada tiga kasus tinea korporis, tiga kasus tinea kruris, dan satu kasus tinea kruris et korporis. C. albicans sebanyak empat kasus (7,8%) yang terdiri atas tiga kasus kandida onikia dan satu kasus kandidiasis kutis. Menurut Rippon penyebab tinea korporis yang sering dijumpai adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, M. audounii, dan M. canis. Penyebab tinea kruris yaitu T. mentagrophytes, T. rubrum, serta E. floccosum.2 Penelitian ini menunjukkan bahwa spesies yang terbanyak ditemukan dari pemeriksaan kultur adalah T. mentagrophytes, kemudian T. rubrum, selanjutnya C. albicans. Hal ini sesuai dengan penggolongan ekologi dari spesies T. mentagrophytes var. mentagrophytes termasuk zoofilik, spesies T. mentagrophytes var. interdigitale, T. rubrum, dan E. floccosum termasuk antropofilik, sedangkan spesies M. gypseum termasuk geofilik,2 di mana penularan dermatofitosis pada manusia secara berurutan mulai dari yang paling banyak terjadi dari hewan (zoofilik) ke manusia, dari manusia lainnya (antropofilik), serta dari tanah (geofilik) ke manusia.5 Namun hasil kultur yang didapatkan dari penelitian ini belum mencerminkan jumlah yang sebenarnya dari masing-masing spesies tersebut, karena pemeriksaan kultur bukan pemeriksaan rutin di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan pemeriksaan kultur dilaksanakan apabila dijumpai kasus yang gambaran klinisnya meragukan dan hasil pemeriksaan dengan KOH 20% + tinta Parker negatif. Pembuktian dengan biakan dari M. furfur pada pitiriasis versikolor tidak dilakukan karena pemeriksaan dengan KOH merupakan gold standard selain dapat juga dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan Lampu Wood.10 Di Singapura spesies yang tersering menyebabkan mikosis superfisialis adalah T. rubrum, kecuali tinea pedis banyak disebabkan oleh T. interdigitale dan onikomikosis pada jari kaki adalah spesies Candida.11 Di Malaysia pada tahun 19932000 dari 576 dermatofitosis yang dilakukan pemeriksaan kultur didapatkan 10 spesies yang teridentifikasi yaitu E. floccosum (0,7%), M. audouinii (1,1%), M. gypseum (0,3%), T. concentricum (3,5%), T. equinum (0,2%), T. mentagrophytes (36,1%), T. rubrum (53,8%), T. verrucosum (0,2%), T. violaceum (1,0%).22 Di Bangkok (Thailand) tahun 1986 berhasil mengisolasi 4 spesies penyebab dermatofitosis yaitu T. rubrum (66%), T. mentagrophytes (15%), E. floccosum (13%), dan M. gypseum (6%). 12 Di Kimitsu Chuo Hospital, Tokyo, Jepang pada tahun 19941999 dari 1 610

Artikel Asli

Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 20032005

spesies yang diisolasi didapatkan T. rubrum (57,7%), T. mentagrophytes (40,4%), M. gypseum (0,6%), M. canis (0,5%), E. floccosum (0,5%), T. vioalecum (0,3%).13 KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2003 sampai dengan 2005, ternyata kasus mikosis superfisialis masih cukup asus banyak, dengan kasus terbanyak yang dijumpai adalah pitiriasis versikolor, disusul dengan tinea kruris, kemudian tinea korporis. Tinea imbrikata tidak pernah ditemukan pada tahun 20032005. Perbandingan angka kesakitan mikosis superfisialis pada perempuan lebih besar daripada laki-laki. Kelompok umur terbanyak yang menderita mikosis superfisialis ialah kelompok usia produktif yaitu 2544 tahun. Sedangkan kelompok usia yang paling sedikit menderita mikosis superfisialis adalah kelompok balita yaitu usia 14 tahun. Penderita mikosis superfisialis yang berasal dari Surabaya sebanyak 86,5%, sedangkan sisanya 14,5% berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur yang meliputi daerah pesisir pantai hingga daerah pegunungan. Pada pemeriksaan KOH + tinta Parker, elemen jamur yang terbanyak ditemukan pada pitiriasis versikolor adalah spora dan hifa (spaghetti and meat balls), pada dermatofitosis ditemukan elemen jamur berupa hifa dan arthrospora, sedangkan pada kandidiasis ditemukan elemen jamur berupa blastospora. Pemeriksaan kultur dilakukan pada semua kasus yang gambaran klinisnya meragukan dan pemeriksaan dengan KOH 20% + tinta Parker menunjukkan hasil yang negatif, yaitu sebanyak 51 kasus (atau 1,96% dari seluruh kasus baru mikosis superfisialis selama tahun 20032005), dengan hasil kultur positif (ada pertumbuhan jamur) sebanyak 19 kasus (37,3%), sedangkan sisanya sebanyak 31 kasus (62,7%) tidak menunjukkan adanya pertumbuhan jamur. Spesies yang ditemukan pada pemeriksaan kultur yang positif ada pertumbuhan jamur adalah T. mentagrophytes (15,7%), T. rubrum (13,7%), dan C. albicans (7,8%). SARAN Dari penelitian retrospektif yang telah dilakukan, beberapa saran yang bisa dipertimbangkan untuk pelayanan di Divisi Mikologi URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut:

sistem pencatatan penderita di Divisi Mikologi istem URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo tahun 20032004 dilakukan tidak pada kartu rekam medik penderita melainkan pada buku kunjungan yang memberikan informasi terbatas tentang penderita, sedangkan pada tahun 2005 pencatatan penderita memakai sistem komputerisasi yang bisa memberikan data lebih lengkap tentang penderita. Hal tersebut menyebabkan kesulitan pengambilan dan evaluasi data dari masing-masing sistem dengan kelengkapan data yang berbeda, data tentang Pemeriksaan Lampu Wood yang dilakukan pada pitiriasis versikolor dan tinea kapitis sebaiknya dilengkapi sehingga bisa dievaluasi hasilnya. Karena berbagai keterbatasan pemeriksaan kultur hanya dilakukan pada sedikit kasus (1,92%). Untuk keperluan pengobatan dan penelitian, sebaiknya pemeriksaan kultur lebih sering dilakukan pada supaya bisa dievaluasi atau diperoleh informasi yang lebih mencerminkan spesies dari kasus mikosis superfisialis di Divisi Mikologi URJ Kulit Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sebaiknya diagnosis onikomikosis disesuaikan setelah diketahui jamur penyebabnya. Apabila dari pemeriksaan KOH + Tinta Parker atau kultur telah ditemukan maka didiagnosis disesuaikan dengan hasil yang didapatkan tidak hanya sebagai onikomikosis. KEPUSTAKAAN
1. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP Superficial . fungal infection: Dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2003. p. 1989 2005. 2. Rippon JW. Rippon Medical Mycology. The pathogenic fungi and the pathogenic actinomycetes. 3 rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1988. p. 1549, 16985. 3. Hay RJ, Moore M. Mycology. In: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling. Textbook of dermatology. 6th ed. Oxford: Blackwell Scientific Publication; 1998. p. 1277376. 4. Zuber TJ, Baddam K. Superficial fungal infection of the skin. Postgraduate Medicine 2001 Jan; 109(1). Available from: URL: http://www.postgraduated. com/issues/2001/01_01/zuber.htm 5. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S. editor. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Pustaka FKUI; 2001. h. 16.

Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

Vol. 21 No. 1 April 2009

6. Kapantow MG. Suyoso S. Mikosis superfisialis pada penderita rawat jalan di UPF Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 19911993. BIPKK 1994; 6(3): 199217. 7. Hamzah MS. Insiden Dermatomikosis di RSU Dr. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Dalam: Program dan Abstrak Kongres dan Temu ilmiah Nasional II mu PMKI; 2000; Jakarta, Indonesia. 2000. h. 103. 8. Budimulja U. Epidemiologi penyakit jamur. Dalam: Budimulja U, Sunoto, Tjokronegoro A, editor. Penyakit Jamur, Klinis, Epidemiologi, Diagnosis, dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1983. h. 115. 9. Klenk AS, Martin GA, Heffernan MP Yeast infections: . candidiasis, pityriasis (tinea) versicolor. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Stephen IK, editors. Fitzpatrick's Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2003. p. 20017. 10. Radiono S. Pitiriasis versikolor. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P Widaty S, editor. Dermatomikosis Superfisialis, , Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 1720. 11. Tan HH. Superficial fungi infection seen at the National Skin Centre, Singapore. Jpn J Med Mycol 2005; 46: 7780. 12. Imwidthaya S, Thianprasit M. A study of dermatophytoses in Bangkok (Thailand). Mycopathologia 1988; 102(1): 136. 13. Takahashi Y, Nishimura K. Dermatophyte flora at the dermatology clinic of Kimitsu Chuo Hospital from 1994 through 1999. Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi 2002; 43(1): 217. 14. Partosuwiryo S, Danukusumo HAJ. Pitiriasis versikolor. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Basuki S, Menaldi SL, Suriadireja A, Dwihastuti P editor. Diagnosis , dan Penatalaksanaan Dermatomikosis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. h. 6568.

15. Richardson DM, Warnock DW. Dermatophytosis. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed. London: Blackwell Scientific Publication; 2003. 16. Goedadi M, Suwito H. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P Widaty S, editor. Dermatomikosis , Superfisialis, Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 2932. 17. Clayton YM. Superficial Mycoses. Milano: Farmitalia Carlo Erba; 1983. 18. Jacobs PH. Medical mycology notes. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Basuki S, Menaldi SL, Suriadireja A, Dwihastuti P editor. Diagnosis dan Penatalaksanaan , Dermatomikosis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. h. 2531. 19. Cholis M. Tinea korporis dan kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Basuki S, Menaldi SL, Suriadireja A, Dwihastuti P editor. Diagnosis dan Penatalaksanaan , Dermatomikosis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. h. 4752. 20. Ramali LM, Werdani S. Kandidiasis kutan dan mukokutan. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editor. Dermatomikosis Superfisialis, Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 5565. 21. Redjeki TMS, Subakir, Buditjahjono S. Tinea pedis et manum. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 3845. 22. Nugroho SA, Siregar RS. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Basuki S, Menaldi SL, Suriadireja A, Dwihastuti P editor. Diagnosis dan , Penatalaksanaan Dermatomikosis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. h. 918.

Anda mungkin juga menyukai