Anda di halaman 1dari 35

Health Technology Assessment Indonesia

Pencegahan Thalassemia
[Hasil kajian HTA tahun 2009]
Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010

Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

PANEL AHLI 1. DR. Dr. Tubagus Djumhana Atmakusumah, SpPD KHOM Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Subbagian Hematologi Onkologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM Jakarta 2. DR. Dr. Pustika Amalia Wahidiyat, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Hematologi Onkologi, Departemen IKA, FKUI/RSCM, Jakarta 3. Prof. Abdul Salam Sofro UTDC-PMI Yogyakarta Fakultas Kedokteran & Pusat Studi Bioteknologi UGM, Yogyakarta 4. Prof. Riadi Wirawan, SpPK (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PATKLIN) Departemen Patologi Klinik, FKUI/RSCM, Jakarta 5. Dr. Teny Tjitrasari, SpA Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Hematologi Onkologi, Departemen IKA, FKUI/RSCM, Jakarta 6. Dr. Iswari Setyaningsih, SpA, PhD Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Lembaga Eikjman, FKUI/RSCM, Jakarta 7. DR. Dr. Aria Wibawa, SpOG (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Subbagian Fetomaternal, Departemen Obstetri dan Ginekologi, FKUI/RSCM, Jakarta UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN INDONESIA 1. 2. 3. 4. 5. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II Dr. K Mohammad Akib, SpRad, MARS Anggota Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota
2

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

6. 7. 8. 9.

Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota Dr. Ady Thomas Anggota Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota Dr. Titiek Resmisari Anggota

10. Dr. Sad Widyanti Soekadi Anggota 11. Dr. Maria Gita Dwi Wahyuni Anggota

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Kajian HTA PENCEGAHAN THALASSEMIA

A. Latar Belakang Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal (single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia.1,2 Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia, dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%.3 World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot).4 Dari jumlah tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia pembawa sifat thalassemia ini.5 Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia- adalah 3-5%, bahkan di beberapa daerah mencapai 10%,6 sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-36%.7 Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak. Sementara itu, biaya pengobatan suportif seperti transfusi darah dan kelasi besi seumur hidup pada seorang pasien thalassemia sangat besar, yakni berkisar 200-300 juta rupiah/anak/tahun, diluar biaya pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain itu, beban psikologis juga menjadi hal yang harus ditanggung oleh pasien dan keluarganya. Sampai saat ini, thalassemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-satunya bagi pasien adalah dengan melakukan transfusi darah rata-rata sebulan sekali seumur hidupnya, di samping terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi darah rutin. Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul pada dekade kedua, tetapi dengan tatalaksana yang baik usia pasien dapat diperpanjang. Data Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUIRSCM, mencatat usia tertua pasien mencapai 40 tahun dan bisa berkeluarga serta memiliki keturunan. Jumlah pasien yang terdaftar di Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan
4

dan sisanya adalah

, jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS,

HbO, dan lain-lain. Saat ini sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan bulan Agustus 2009 mencapai 1.494 pasien dengan rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat setiap tahunnya mencapai 100 orang/tahun. Banyak studi menunjukkan bahwa program pencegahan thalassemia akan lebih menguntungkan daripada mengobati penderita yang terus bertambah.8,9 Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka program pengelolaan penyakit thalassemia seharusnya lebih ditujukan kepada pencegahan lahirnya pasien thalassemia mayor. Salah satu caranya ialah melalui skrining thalassemia terutama pada pasangan usia subur yang dilanjutkan dengan diagnosis pranatal. Biaya pemeriksaan skrining thalassemia sekitar 350-400 ribu rupiah/orang. Jumlah ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan satu orang pasien selama setahun. Jika penanganan seorang pasien sekitar 300 juta rupiah maka biaya tersebut setara dengan biaya pemeriksaan skrining thalassemia untuk sekitar 750 orang. Lebih lanjut WHO menyatakan besarnya biaya tahunan program nasional pencegahan thalassemia sama dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk penanganan medis 1 orang pasien selama 1 tahun.10 Biaya program pencegahan thalassemia ini relatif konstan, sementara biaya penanganan medis cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Sayangnya, meskipun dampak ekonomi dan psikososial yang diakibatkannya cukup berat, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional dalam hal pencegahan thalassemia di Indonesia. Bagaimana bentuk program pencegahan, metode skrining yang tepat guna dan mampu laksana, serta implikasi sosio-etiko-legalnya di Indonesia memerlukan kajian ilmiah yang berbasis bukti dari pengalaman berbagai negara di dunia. B. Tujuan Pengkajian Pengkajian ini bertujuan untuk : a. Tersusunnya rekomendasi teknik dan metode skrining thalassemia homozigot dan -HbE yang tepat guna dan mampu laksana di Indonesia b. Tersusunnya rekomendasi kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pencegahan thalassemia homozigot dan -HbE di Indonesia c. Tersusunnya rekomendasi solusi implikasi sosio-ekonomi-etiko-legal, asuransi dan agama skrining thalassemia homozigot dan -HbE di Indonesia C. Metode Pengkajian 1. Metode Pencarian Literatur Penelusuran artikel dilakukan melalui kepustakaan elektronik dengan mengambil database PUBMED dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan adalah : thalassemia
5

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

prevention, thalassemia screening, thalassemia pranatal diagnosis, antenatal diagnosis. 2. Penggolongan Literatur Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian ditentukan

tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research. a. Tingkat Pembuktian (Level of Evidence) Ia. Ib. Meta-analisis randomized controlled trials. Minimal satu randomized controlled trials.

IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials. IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol. IIIa. Studi cross-sectional. IIIb. Seri kasus dan laporan kasus. IV. Konsensus dan pendapat ahli.

b. Tingkat rekomendasi A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib. B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb. C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV. D. Tinjauan Pustaka Pencegahan Thalassemia 1. Definisi dan Klasifikasi Thalassemia diartikan sebagai sekumpulan gangguan genetik yang mengakibatkan berkurang atau tidak ada sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin.11 Klasifikasi thalassemia didasarkan atas jenis subunit globin yang mengalami defek, yaitu thalassemia , thalassemia , thalassemia , dan thalassemia . Sejauh ini, jenis thalassemia dan dianggap yang cukup penting. Pada populasi, yang banyak ditemukan adalah thalassemia , juga sering dijumpai varian gen hemoglobin seperti Hb S, C, dan E. Penyakit yang penting pada golongan ini adalah sickle cell thalassemia dan Hb E thalassemia.12

2. Patogenesis Penyakit ini diturunkan mengikuti kaidah Mendel dan merupakan kelainan mutasi gen tunggal (single gen mutation) terbanyak di dunia. Menurut defek yang terjadi, ditemukan
6

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

beberapa jenis thalassemia, namun tipe yang paling sering, dengan tanda klinis yang umumnya berat adalah thalassemia a. Thalassemia Thalassemia adalah hasil lebih dari 150 mutasi dari rantai globin , baik berupa hilangnya rantai (thalassemia 0) atau berkurangnya rantai (thalassemia +). Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang mengakibatkan berlebihnya rantai sehingga terjadi presipitasi prekursor eritrosit, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan sel darah merah di sumsum tulang dan perifer. Keseluruhan proses tersebut mengakibatkan terjadinya anemia yang parah, yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan produksi eritropoetin dan ekspansi sumsum tulang yang tidak efektif, deformitas tulang, pembesaran limpa dan hati, serta hambatan pertumbuhan.12 Perjalanan penyakit selanjutnya tergantung apakah pasien mendapat transfusi yang memadai atau tidak. Bila diberikan transfusi yang adekuat, pasien dapat tumbuh dan kembang dengan normal tanpa kelainan klinis. Komplikasi dapat muncul pada akhir dekade pertama sebagai akibat dari penumpukan zat besi akibat transfusi berulang. Penumpukan zat besi ini dapat diatasi dengan pemberian kelasi besi. 1 Di akhir dekade ke-2 kehidupan, komplikasi pada jantung mulai muncul dan kematian dapat terjadi akibat timbunan zat besi pada jantung (cardiac siderosis). Selain itu pasien juga rawan terkena infeksi yang ditularkan melalui darah yang ditransfusi seperti infeksi hepatitis dan HIV. 1 Thalassemia mayor adalah thalassemia dengan gejala klinis yang paling berat. Bentuk yang lebih ringan, dimana gejala klinis baru muncul pada usia yang lebih tua dan pasien tidak memerlukan transfusi atau jarang memerlukan transfusi disebut thalassemia Sementara individu yang merupakan karier disebut thalassemia anemia hipokrom mikrositer dan peningkatan kadar Hb A2.1,12 b. Thalassemia Karena rantai juga terdapat pada Hb F (fetal haemoglobin) dan Hb A (adult haemoglobin), maka penyakit ini dapat terjadi pada masa janin dan usia dewasa. Lebih lanjut, kelebihan rantai dan tidak langsung mengalami presipitasi di sumsum tulang seperti rantai , namun memproduksi tetramer yang tidak stabil 4 (Hb Barts) dan 4 (Hb H). Komponen genetik thalassemia lebih kompleks dari thalassemia , dimana komposisinya bisa berupa / , -/ (hilangnya kedua gen pada kromosom, disebut thalassemia 0), - / (hilangnya salah satu gen , disebut thalassemia +). Biasanya hilangnya gen ini terjadi karena delesi, walaupun dapat juga akibat mutasi seperti pada thalassemia .13
7

(kelainan pada rantai ) dan thalassemia

(kelainan pada rantai ).

intermedia.

minor, dimana pasien tidak

menunjukkan gejala klinis dan kelainan baru diketahui melalui pemeriksaan hematologi berupa

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Bentuk homozigot dari thalassaemia menyebabkan kematian intrauterin dimana janin mengalami anemia yang hebat dan hidropik, sering disebut dengan sindroma hidrop fetal hemoglobin Bart. Ibu hamil dengan bayi sindroma hidrop fetal biasanya mengalami toksemia gravidarum dan perdarahan postpartum. Sementara bentuk heterozigot thalassemia (0 thalassemia dan +) menunjukkan gejala yang lebih ringan berupa anemia dan splenomegali. Bentuk terakhir (--/- ) disebut juga dengan penyakit Hb H. Karier thalassaemia (/ homozigot thalassemia karier thalassaemia
+

) dan

(- /- ) memiliki gambaran klinis anemia hipokrom ringan. Sementara tidak menunjukkan kelainan haematologis.12

3. Diagnosis Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. 4. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis thalassemia meliputi

pemeriksaan darah tepi lengkap (complete blood count/CBC), khususnya nilai eritrosit rerata seperti MCV (mean corpuscular volume), MCH (mean corpuscular haemoglobin), MCHC (mean corpuscular haemoglobin concentration) dan RDW (red blood cell distribution width). Selain itu perlu dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan cadangan besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding capacity (TIBC). Komite International untuk Standardisasi Panel Ahli Thalassemia dan abnormal Hemoglobin pada tahun 1975 merekomendasikan uji preliminari meliputi pemeriksaan darah lengkap yang diikuti dengan elektroforesis pada pH 9.2, uji solubilitas dan sikling serta uji kuantitatif HbA2 dan HbF. Bila ditemukan hemoglobin yang abnormal, uji lanjutan untuk menentukan Hb varian dengan elektroforesis pada pH 6,0-6,2; pemisahan rantai globin dan isoelectric focusing (IEF).14 5. Penatalaksanaan Tatalaksana thalassemia mayor adalah transfusi sel darah merah secara reguler untuk menjaga kadar Hb tetap > 9 g/dl, diiringi dengan terapi kelasi besi intensif parenteral menggunakan deferoxamine. Splenektomi dipertimbangkan bila kebutuhan transfusi meningkat melewati batas yang diharapkan. Pasien thalassemia juga memerlukan suplemen asam folat yang dibutuhkan untuk eritropoesis, imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan Hemophilus

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

influenzae B, pemberian penisilin untuk profilaksis dan vaksinasi hepatitis B. Intervensi terhadap defisiensi endokrin akibat penumpukan zat besi dan komplikasi lainnya diintervensi tergantung kasus.3 6. Pencegahan Thalassemia Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif.1,7 Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.7 a. Edukasi Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.7 Program pencegahan thalassemia harus melibatkan banyak pihak terkait. Sekitar 10% dari total anggaran program harus dialokasikan untuk penyediaan materi edukasi dan pelatihan tenaga kesehatan. 15

b. Skrining Karier Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara dramatis.3 Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk
9

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

menghindarinya. Target utama skrining adalah penemuan - dan o thalassemia, serta Hb S, C, D, E. 15 Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak. Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi perkawinan antar kerabat dekat. 15 Algoritma skrining identifikasi karier rekomendasi the Thalassemia International Federation (2003) mengikuti alur pada gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Algoritma skrining thalassemia

16

10

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi pemeriksaan kualitatif HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis DNA untuk mengetahui mutasi spesifik. Namun, semua pemeriksaan ini mahal. Pasien thalassemia selalu mengalami anemia hipokrom (MCH < 26 pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl), karenanya kedua kelainan ini tepat digunakan untuk pemeriksaan awal karier thalassemia. Kemungkinan anemia mikrositik akibat defisiensi besi harus disingkirkan melalui pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar besi serum, dengan total iron-binding capacity.3 c. Konseling genetika Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu atau pasangan memiliki hak otonomi untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapat informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus tersedia, dan catatan medis untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi pada pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada pilihan setelah dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda -beda. Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing. 15 d. Diagnosis Pranatal Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program ini hanya ditujukan pada thalassemia + dan O yang tergantung transfusi dan sindroma Hb Barts hydrops.1 Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.1,3 Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
11

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga ahli, pengambilan sampel dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih dini,3 yaitu pada usia gestasi 9 minggu.1 Namun WHO menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh prosedur pengambilan sampel janin harus dilakukan oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli.15 Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam jumlah cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun mempunyai kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar. Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah perifer ibu.3 DNA janin dianalisis dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction fragmen length polymorphism (RFLP) analysis. Seiring dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil dengan janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang dikembangkan diagnosis pranatal untuk thalassemia sebelum terjadinya implantasi janin dengan polar body analysis.1 Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari usia gestasi. Pada umumnya dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai, kedua metode ini, baik operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan seringkali mendasarkan pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar pengakhiran kehamilan adalah suction method . Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan induksi prostaglandin.15 Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah kombinasi antara medisinalis dan cara operatif. E. Hasil Pengkajian 1. Teknik dan Metode Skrining a. Skrining Karier 1) Pemeriksaan nilai eritrosit rerata (NER) Hasil skrining terhadap 795 orang menunjukkan bahwa pengidap thalassemia , thalassemia dan Hb lepore semuanya menunjukkan nilai MCV < 76 fL, dan MCH < 25 pg, yang mengindikasikan bahwa kedua nilai tersebut dapat digunakan untuk uji saring awal

12

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

thalassemia.17,18 Pada skrining massal terhadap 289.763 pelajar yang dilakukan Silvestroni dan Bianco (1983) menunjukkan bahwa uji saring 2 tahap dengan melihat morfologi darah tepi dan uji fragilitas osmotik sel darah merah 1 tabung yang diikuti dengan pemeriksaan indeks eritrosit dan analisis hemoglobin dapat mendeteksi thalassemia non- sampai 99,65%.19 Penelitian Maheswari (1999) terhadap 1.286 wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal menyatakan bahwa angka sensitivitas dan spesivisitas dari nilai MCV dan MCH dalam identifikasi karier thalassemia berturut-turut adalah 98 % dan 92%. MCV dan MCH harus dipakai bersamaan karena bila hanya salah satu yang digunakan hasil sensitivitas dan spesifisitasnya rendah.20 Demikian juga penelitian Rathod dkk (2007) menunjukkan penggunaan MCV dan MCH dengan cell counter dapat digunakan dalam deteksi karier thalassemia.21 Galanello dkk (1979) menganjurkan nilai MCV < 79 fL dan MCH < 27 pg sebagai nilai ambang (cut-off) untuk uji saring awal thalassemia (lihat tabel 1).22
Tabel 1. Nilai MCV dan MCH pada uji saring awal thalassemia
22

Sementara penelitian Rogers dkk (1995) menyebutkan nilai cut off untuk skrining antenatal thalassemia pada wanita hamil adalah MCH < 27 pg dan MCV < 85 fl, dimana nilai MCH lebih superior daripada MCV.23 2) Elektroforesis Hemoglobin Peningkatan kadar HbA2 merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis karier thalassemia.20 Subyek skrining yang positif dalam skrining awal dengan nilai eritrosit rerata dikonfirmasi dengan penilaian kadar HbA2. Beberapa metode dapat digunakan, seperti kromatografi HbA2 > 3,5%.20 mikrokolum (microcolum chromatography), High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan capillary iso-electrofocusing.20,24,25 Diagnosis ditegakkan bila kadar

13

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

3) Analisis DNA Saxena dkk (1998) melaporkan hasil analisis mutasi DNA dengan menggunakan metode Amplification Refractory Mutation System (ARMS) pada diagnosis pranatal terhadap 415 kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa ARMS dapat mengkonfirmasi diagnosis pada 98,3% kasus. Pemeriksaan ini relatif murah dan dapat digunakan untuk diagnosis pranatal.17 b. Diagnosis Pranatal Sumber sampel DNA diambil dengan beberapa cara yaitu dengan metode amniosentesis pada usia gestasi setelah 15 minggu atau dengan pengambilan biopsi vili khorialis (chorionic villus samples/ CVS) pada usia gestasi setelah 10-12 minggu.20 Saat ini, biopsi vili khorialis masih merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk pengambilan sampel analisis DNA pada trimester pertama kehamilan.16, 20 Penelitian Rosatelli dkk pada populasi di Italia menunjukkan, diseksi yang hati-hati dan pemisahan jaringan desidua ibu dengan bantuan mikroskop fase kontras memperlihatkan tidak ada misdiagnosis untuk thalassemia dengan metode pengambilan sampel biopsi vili khorialis ini.26 Penelitian Jackson dkk (1992) yang membandingkan metode transervikal dan transabdominal dalam biopsi vili khorialis pada 3.999 wanita hamil usia gestasi 7 sampai 12 minggu menunjukkan bahwa kedua cara memiliki tingkat keamanan yang sama untuk diagnosis prenatal pada trimester pertama kehamilan.18 Sementara penelitian Lau dkk di Cina yang melakukan biopsi vili khorialis terhadap 1.355 kehamilan melaporkan bahwa bila dilakukan oleh tenaga ahli, biopsi vili khorialis transabdominal adalah prosedur invasif yang aman dan akurat. 27 The Cochrane Library melakukan kajian sistematik terhadap 16 studi RCT menyimpulkan bahwa amniosentesis dini pada usia gestasi 9 14 minggu (early amniocentesis) bukan merupakan pilihan yang aman dibandingkan amniosentesis pada trimester kedua (usia gestasi 17 minggu) sebab meningkatkan keguguran (7.6% vs 5.9%; RR 1.29; 95% IK 1.03 - 1.61) dan terdapat insidens talipes yang lebih tinggi dibandingkan CVS (RR 4.61; 95% IK 1.82 - 11.66). Tabor (1986) melakukan studi terhadap 4.606 wanita pada populasi risiko rendah mendapatkan bahwa amniosentesis pada trimester kedua meningkatkan keguguran spontan sebesar 2.1%, sementara tanpa intervensi persentase keguguran sebesar 1.3%.28 Kelemahan utama dari amniosentesis trimester kedua adalah bahwa hasil akhir biasanya hanya dapat diketahui setelah usia gestasi 17 minggu. Lamanya masa tunggu untuk mendapatkan diagnosis merupakan hal yang sangat berat bagi pasangan, terutama karena kebanyakan dokter kandungan enggan untuk menawarkan terminasi bedah pada usia

14

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

kehamilan lanjut. Pilihan untuk diagnosis pada usia gestasi sebelum 17 minggu yaitu CVS dan amniosentesis dini.28 Rueangchainkhom W, et al (2008) menemukan bahwa CVS dapat menjadi alternatif untuk diagnosis pranatal dari berbagai kelainan sitogenetik dan skrining thalassemia di Thailand. Meskipun tingkat kegagalan kultur jaringan dan kontaminasi oleh sel ibu lebih besar daripada amniosentesis, namun CVS dapat dikerjakan lebih awal daripada amniosentesis dan hal ini menguntungkan untuk deteksi kelainan genetik tertentu. Transabdominal CVS yang dikerjakan oleh tenaga medis berpengalaman merupakan prosedur alternatif untuk diagnosis pranatal thalassemia pada usia gestasi awal.29 2. Strategi Skrining Thalassemia Program pengendalian hemoglobinopati yang didasarkan pada rekomendasi WHO telah dilakukan di negara-negara di 6 wilayah kerja WHO dan menunjukkan keberhasilan. Beberapa negara telah sukses menekan angka kelahiran bayi thalassemia mayor, seperti di Cyprus dan Italia.12 Sementara di kelompok negara berkembang, program pencegahan di Iran demikian pula di Thailand dapat dijadikan model.14,16,30,31,32 Pengalaman Cyprus (data demografi 1984 : populasi 653.400 jiwa, angka kelahiran bayi 20,7 /00, GNP US $3.339, dan angka bebas buta huruf 93,1%), dimana 1 dari 7 penduduknya adalah karier thalassemia dan 1 dari 158 bayi baru lahir diperkirakan adalah thalassemia homozigot, program pengendalian thalassemia dapat menekan angka kelahiran bayi dengan thalassemia mayor hingga tinggal 2 kasus pada tahun 1984.8 Program ini dimasukkan dalam program pembangunan 5-tahunan pemerintah setempat sejak tahun 1969. Program pengendalian thalassemia meliputi kampanye edukasi masyarakat, skrining populasi, konseling genetik dan diagnosis pranatal (lihat tabel 2). Pasangan yang sebelumnya telah memiliki anak dengan thalassemia mayor dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi, sementara pasangan karier yang berisiko memiliki anak dengan thalassemia mayor cenderung untuk tidak memiliki anak atau melakukan aborsi.8
0

15

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia


8

Tabel 2. Tahapan program pengendalian thalassemia di Cyprus

Di Cyprus, edukasi masyarakat dilakukan melalui media massa, sekolah dan lembaga swadaya masyarakat. Pelajaran tentang thalassemia diajarkan di sekolah dan Departemen Pendidikan memasukkannya dalam kurikulum sekolah menengah. Pihak Gereja berpartisipasi dengan mensyaratkan adanya sertifikat pranikah yang menandai bahwa pasangan yang akan menikah telah melakukan skrining dan telah mendapat cukup informasi tentang thalassemia. 8 Partisipasi masyarakat telah menjadi bagian yang integral dalam program ini. Organisasi perkumpulan pasien dan orangtua pasien dibentuk dan berperan serta dalam implementasi program, pengumpulan dana, membantu promosi dan edukasi diantaranya dengan menyelenggarakan pekan thalassemia, serta saling memberi dukungan moral diantara keluarga pasien.8 Di negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas, salah satu kunci keberhasilan program pencegahan thalassemia adalah pelaksanaan program yang melibatkan sarana pelayanan primer untuk skrining dan konseling dengan pendekatan holistik melalui edukasi masyarakat, surveilans, dan perkembangan bentuk layanan untuk mengakomodasi kebutuhan populasi yang berisiko thalassemia dengan memperhatikan nilai sosio-etiko-legal setempat seperti yang dilakukan di Iran.33 Sejak tahun 1991, pencegahan penyakit tidak menular telah dimasukkan dalam program kesehatan primer, dan departemen pengendalian penyakit tidak menulartermasuk penyakit genetiktelah dibentuk di bawah Kementrian Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran.34 Lima tahun sejak program pencegahan dicanangkan tahun 1996, skrining yang disertai dengan konseling genetik telah dilakukan atas 2,7 juta pasangan dan mampu menjaring lebih dari 10.000 pasangan yang berisiko memiliki anak dengan thalassemia mayor. Pelaksanaan program ini mampu menurunkan kelahiran bayi dengan thalassemia mayor.32
16

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Dengan jumlah pasien thalassemia mayor sekitar 20.000 orang, 3,75 juta karier,35 dan frekuensi karier yang bervariasi di berbagai wilayah (dapat mencapai 10% di beberapa provinsi), pemerintah Iran mewajibkan skrining thalassemia dalam pemeriksaan kesehatan pranikah (premarital blood test). Skrining dan konseling dilakukan di layanan kesehatan primer yang menyediakan layanan diagnostik genetik, konseling genetik dan surveilans. Tim konseling genetik di layanan primer terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan tersedia di tiap kota. Sarana laboratorium milik swasta dan pemerintah diperlengkap untuk dapat mendeteksi dini thalassemia dengan protokol standar dan akreditasi nasional. Edukasi pada masyarakat dilakukan melalui pemberian informasi tentang thalassemia di sekolah menengah dan instansi militer.16,35 Di Iran, tiap pasangan yang akan menikah harus menjalani skrining pranikah di laboratorium setempat. Nilai eritrosit rerata (NER) calon mempelai pria diperiksa terlebih dahulu, bila hasilnya mencurigakan, barulah calon mempelai wanita diperiksa. Bila keduanya mencurigakan, dilakukan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin, dan bila positif karier maka dilakukan konseling genetik. Setelah mendapatkan konseling genetik, pasangan diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Bila pasangan yang berisiko memilih untuk melanjutkan pernikahan, diagnosis pranatal menjadi opsi yang dapat dipilih selanjutnya sebelum memiliki anak. Apabila hasil konsepsi terdiagnosis thalassemia mayor, maka aborsi terapeutik boleh dilakukan sebelum usia janin 16 minggu.16,35 Algoritma skrining thalassemia yang dikerjakan di Iran dapat dilihat pada gambar 2.35

17

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Gambar 2. Algoritma skrining thalassemia di Iran

35

Hasil dari program skrining meningkatkan deteksi prevalens pasangan karier dari 3,0/1.000 menjadi 4,5/1.000 dan sampai tahun 2000, angka kelahiran bayi dengan thalassemia mayor telah turun sampai 30%.32 Dengan menerapkan program skrining, prevalensi kelahiran bayi dengan thalassemia homozigot menurun dari 0,253 untuk setiap 100 kelahiran di tahun 1.995 menjadi 0,082 untuk setiap 100 kelahiran pada tahun 2004.35 Di Thailand, dengan hampir 40% populasi potensial mengalami mutasi dan kelainan hemoglobin, program pencegahan thalassemia ditujukan untuk mengendalikan 3 kasus utama thalassemia berat yaitu Hb Barts hydrops fetalis, thalassemia mayor dan thalassemia -HbE, dengan melakukan skrining karier, menawarkan diagnosis pranatal pada janin yang berisiko dan memberikan pilihan aborsi terapeutik bagi janin yang terdiagnosis thalassemia mayor.36

18

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Program pencegahan dan pengendalian thalassemia telah dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan Masyarakat bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan dan Thalassemia Foundation. Kementrian Kesehatan Masyarakat telah membuat beberapa standar laboratorium, sesuai dengan tingkat layanan kesehatan sebagai berikut : Tingkat RS Komunitas : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, dan dichlorophenol indophenols (DCIP) precipitation test (untuk skrining Hb E dan unstable Hb) Tingkat RS Provinsi : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, DCIP precipitation test, dan Hb typing dengan elektroforesis Tingkat RS Regional : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, DCIP precipitation test, dan Hb typing dengan elektroforesis otomatis atau HPLC a. Target populasi Target populasi yang akan di skrining : 1) Anggota keluarga dari pasien thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan karier thalassemia (skrining retrospektif). Penelitian Ahmed dkk (Pakistan, 2002) melibatkan 15 keluarga besar (extended family) dengan total 988 orang, dimana 10 keluarga (591 orang) memiliki riwayat anggota keluarga dengan thalassemia dan kelainan hemoglobin, sementara 5 keluarga (397 orang, sebagai kontrol) tidak memiliki riwayat thalassemia. Dilaporkan bahwa 31% dari anggota keluarga yang diskrining pada kelompok studi ternyata terbukti karier thalassemia dan kelainan hemoglobin lainnya dan 8% dari 214 pasangan suami istri kelompok ini merupakan karier ganda (kedua suami-istri karier). Skrining retrospektif ini terutama akan bermakna pada populasi yang biasa melakukan pernikahan dengan orang yang memiliki pertalian darah (consanguineous marriage).34 2) Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining antenatal). Penelitian Ridolfi dkk (Turki, 2002) terhadap skrining thalassemia pada 504 ibu hamil dengan usia gestasi kurang dari 14 minggu berhasil menjaring 10 orang ibu hamil sebagai karier thalassemia . Setelah dilakukan skrining yang sama terhadap suami dari ibu hamil tersebut kemudian ditemukan bahwa 1 orang karier, dan janin dari pasangan tersebut terdiagnosis thalassemia mayor.37 3) Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi). 4) Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital). 5) Skrining massal untuk identifikasi karier.

19

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

b. Analisis Biaya Angastiniotis dkk (1984) melaporkan biaya pencegahan thalassemia di Cyprus selama tahun 1984 yang melibatkan skrining terhadap 14.430 orang, dan 183 kasus diagnosis pranatal berjumlah kira-kira sebesar US $ 66.000. Sementara total biaya yang dibutuhkan untuk terapi pasien thalassemia mayor pada tahun yang sama adalah US $ 420.300.8 Penelitian Ginsberg dkk (1998) di Israel menyebutkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk terapi pasien thalassemia mayor selama hidupnya (asumsi usia harapan hidup 30 tahun) adalah sebesar US $ 284.154 /orang. Biaya tersebut terdiri dari biaya transfusi (33,1%), biaya terapi kelasi besi (22,1%), dan sisanya (44,8%) adalah biaya untuk perawatan di rumah sakit, biaya rawat jalan, biaya operasi, biaya laboratorium, biaya jasa konsultasi dan biaya lainnya yang diperlukan, sesuai dengan standar prosedur dari rumah sakit setempat (Sharai Zedek Medical Center dan Hadassah-Ein Kerem Universitas Hospital, Yerusalem). Sementara itu program skrining nasional diperkirakan sebesar US$ 900.197 dan diharapkan dapat mencegah kelahiran bayi thalassemia mayor sebanyak 13,4 orang, atau sekitar $ 67.369/kelahiran. Rasio biaya yang dibutuhkan antara pengobatan dan pencegahan adalah 4.22:1, dimana pencegahan thalassemia lebih cost-effective dibanding pengobatan.9

3. Implikasi Skrining Thalassemia terhadap Psiko-Sosial, Etiko-Legal dan Agama a. Implikasi Psiko-Sosial Implikasi skrining thalassemia terhadap kondisi psikososial dapat berakibat negatif bila tidak disertai edukasi yang baik. Karenanya edukasi masyarakat merupakan langkah awal dalam program pencegahan thalassemia.8 Tanpa diawali edukasi masyarakat yang optimal, skrining thalassemia akan menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan stigmatisasi terhadap karier atau pasien dan berlanjut pada adanya diskriminasi dalam mendapat pekerjaan serta asuransi kesehatan, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat dengan mewajibkan skrining terhadap penyakit sickle cell.16 Konseling pada individu/pasangan yang mengidap thalassemia (karier, intermedia atau mayor) sangat penting karena adanya implikasi moral dan psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada beberapa opsi reproduksi. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda-beda. 11 Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat dan komprehensif sehingga memungkinkan pasangan karier menentukan pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing seperti tabel 3 berikut ini :

20

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia


16

Tabel 3 Beberapa pilihan bagi karier

Saat diketahui karier Sebelum menikah (jarang terjadi)

Pilihan yang mungkin diambil 1. Tidak menikah (jarang dipilih) 2. Menghindari pernikahan dengan pasangan yang karier (sangat jarang) 3. Memilih pasangan seperti biasa (paling sering dipilih) 4. Memutuskan untuk tidak mempunyai anak (sering dipilih pada kasus berat dimana diagnosis pranatal mustahil dilakukan) 5. Mengambil risiko tetap memiliki anak (paling sering dipilih) 6. Melakukan diagnosis pranatal (paling sering dipilih) 7. Melakukan inseminasi buatan dengan bantuan donor ( AID : Artificial Insemination by Donor; sangat jarang dipilih) atau bentuk prosedur reproduksi bantuan lainnya. 8. Memilih berpisah dan mengganti pasangan (sangat jarang dipilih) Sama dengan pilihan 1-8 diatas, disertai dengan kondisi : 9. Menerima keadaan dan merawat anak dengan thalassemia (sering terjadi) 10. Menerima keadaan anak namun menolak penatalaksanaan selanjutnya (kadang terjadi) 11. Menolak keadaan anak (dapat terjadi)

Sesudah menikah (lebih sering terjadi)

Sesudah kelahiran anak dengan thalassemia

b. Implikasi terhadap Jasa Asuransi Di Iran, pemerintah membiayai perencanaan program, edukasi, konseling dan surveilans. Sementara biaya skrining (sekitar $5), ditanggung oleh pasangan yang akan menikah. Asuransi kesehatan milik pemerintah menanggung biaya pemeriksaan DNA dan diagnosis pranatal. Sekitar 90% populasi memiliki asuransi dan yang tidak memiliki asuransi dibantu oleh pemerintah. Swadana untuk skrining dimungkinkan karena pasangan yang akan menikah menginginkan keluarga yang sehat dan telah dipersiapkan untuk berbagai pendanaan terkait pernikahan, sementara pihak asuransi bersedia menanggung biaya pemeriksaan karena dengan begitu mereka dapat terbebas dari pembiayaan yang lebih besar.32 c. Implikasi Etiko-Legal dan Agama Pengetahuan atas status karier bagi individu atau pasangan yang akan /telah menikah dan ingin mempunyai anak bisa jadi menjadi begitu penting. Lebih lanjut, informasi atas status karier seseorang /pasangan ini memungkinkan tenaga kesehatan /ahli hematologi untuk menginformasikan beberapa opsi reproduksi seperti menjalani diagnosis pranatal, mengakhiri kehamilan pada janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor atau mungkin melakukan bayi tabung dengan kombinasi diagnosis genetik praimplantasi.38 Masalah etiko-legal dan agama di beberapa negara terkait dengan program pencegahan thalassemia, terutama berhubungan dengan diagnosis pranatal dan tindak lanjutnya. Di
21

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Pakistan, tindakan diagnosis pranatal untuk skrining thalassemia pertama kali diperkenalkan pada bulan Mei 1994. Ulama setempat memfatwakan bahwa pengakhiran kehamilan pada janin yang terdiagnosis mengidap thalassemia mayor diizinkan sebelum usia 120 hari (usia gestasi 17 minggu).39 Pengalaman program pencegahan di Iran menunjukkan efektivitas program skrining yang didukung oleh penyesuaian kebijakan yang memerhatikan aspirasi populasi yang diskrining. Ketika skrining pasangan pranikah digulirkan pada tahun 1997, pengakhiran kehamilan dilarang, sehingga pasangan yang akan menikah hanya mempunyai pilihan yang terbatas yaitu tetap melanjutkan kehamilan, menunda pernikahan atau menunda memiliki anak, atau memutuskan hubungan /bercerai dan mencari pasangan lain. Hal tersebut menimbulkan dilema dan akhirnya mendorong adanya diskusi di kalangan ulama yang kemudian memfatwakan izin untuk melakukan pengakhiran kehamilan sebelum usia gestasi 15-16 minggu dihitung dari waktu haid terakhir, bila janin yang dikandung terdiagnosis mengidap thalassemia mayor.16,40

F. Diskusi Informasi dasar tentang frekuensi dan heterogenitas gen thalassemia pada populasi target adalah persyaratan utama sebelum menentukan strategi, teknik dan metode skrining dalam mengidentifikasi karier. Selain itu, fasilitas teknis, infrastruktur dan ketersediaan biaya juga harus menjadi pertimbangan.18 Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas, berikut beberapa hal yang dapat diterapkan dalam program pencegahan thalassemia di Indonesia : 1. Teknik dan Metode Skrining Thalassemia Homozigot dan -HbE a. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia Alur diagnostik dapat dimulai dengan pemeriksaan nilai MCV dan MCH yang diikuti dengan elektroforesis hemoglobin secara otomatis yang menghasilkan kadar HbA2, HbF dan Hb varian. Pada pasien defisiensi besi dengan mikrositik hipokrom disertai kadar feritin < 12,0 g/dL atau saturasi transferin < 5% perlu diberikan terapi suplementasi besi. Bila pada pemeriksaan kadar hemoglobin setelah 2 minggu menunjukkan peningkatan, terapi besi diteruskan dan elektroforesis hemoglobin perlu diulang kembali setelah 3 bulan. Alur diagnostik skrining thalassemia dapat dilihat pada gambar 3.

22

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

NILAI ERITROSIT RERATA (NER) MCV < 80 fL, MCH < 27 pg

Elektroforesis Hb Otomatik Hb varian Kadar Hb F Normal

Kadar Hb A2

Normal, ragu atau

Hb A2 meningkat

Hb S, C, E D Punjab O Arab Lepore dll Meningkat Normal

Ferritin

Defisiensi besi Koreksi defisiensi besi

Thal HPFH

Interaksi Hb varian dengan Thal , HPFH

Thal homozigot Thal trait DNA

Thal trait Hb A2 normal thal

Gambar 3. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia

41

Bila menggunakan alat elektroforesis otomatis, diagnosis dapat ditegakkan langsung tanpa memeriksa nilai MCV dan MCH atau melalui pemeriksaan kedua parameter tersebut seperti terlihat pada alur di bawah ini (gambar 4).

23

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Gambar 4. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia

b. Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia homozigot dan -HbE Mengingat ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya di Indonesia, maka teknik dan metode skrining yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah sebagai berikut :

24

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Tabel 4 Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia homozigot dan -HbE di Indonesia Level skrining Level I (RS Kabupaten/Kota) Tujuan Pemeriksaan Skrining anemia mikrositik hipokromik Jenis/ Teknik Pemeriksaan Hematologi Lengkap (Hb, MCV, MCH, MCHC, RDW,morfologi darah tepi) Hematologi Lengkap Alat Electronic blood cell counter (Sysmex, Cell Dyn) SDM Terkait Analis kesehatan Spesialis Anak Spesialis Obsgin Spesialis Penyakit Dalam Spesialis Patologi Klinik Spesialis Anak Spesialis Penyakit Dalam Spesialis Obsgin Spesialis Patologi Klinik Spesialis Anak Spesialis Penyakit Dalam Spesialis Obgin yg telah mendapat pelatihan dan sertifikat kompetensi Ahli Genetika Supervisor/ Quality Control Sarana dan prasarana : Balai Besar Laboratorium Kesehatan Kompetensi SDM: Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Lembaga Eijkman Lembaga Eijkman, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Makassar, Bandung

Level II (RS Provinsi/ RS pendidikan/ Laboratorium swasta yang memadai) Level III (RS Rujukan Nasional)

Skrining anemia mikrositik hipokromik Skrining thalassemia Skrining anemia mikrositik hipokromik Skrining thalassemia Diagnosis pranatal

Feritin Hb typing Hematologi Lengkap

Feritin Hb typing

Electronic blood cell counter (Sysmex, Cell Dyn) ELISA Elektroforesis otomatis Electronic blood cell counter (Sysmex, Cell Dyn) ELISA Elektroforesis otomatis

Level IV (Laboratorium Rujukan Nasional)

Analisis DNA (common mutation) Skrining anemia mikrositik hipokromik Skrining thalassemia Analisis DNA (uncommon mutation)

Analisis DNA

Hematologi Lengkap

Feritin Hb typing Analisis DNA

Electronic blood cell counter (Sysmex, Cell Dyn) ELISA Elektroforesis otomatis Ahli Genetika

Lembaga Eijkman

25

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Gambar 5 Algoritma skrining thalassemia di Indonesia dengan sistem rujukan berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana

26

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Komponen uji saring pertama diagnosis laboratorium thalassemia adalah nilai MCV kurang dari 80 fL dan MCH kurang dari 27 pg. Individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg dengan Hb normal dicurigai sebagai thalassemia, pemeriksaan Hb typing dilakukan untuk menegakkan diagnosis jenis thalassemia. Pada individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg, dengan Hb rendah tanpa adanya tanda infeksi/radang dan tampilan klinis baik, harus dipastikan bukan suatu anemia defisiensi besi. Penyingkiran diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan dengan pemberian suplementasi zat besi selama 2 minggu. Bila kadar Hb meningkat kurang lebih 1 g/dL maka dianggap anemia defisiensi besi dan diterapi sesuai protokol terapi anemia defisiensi besi. Bila anemia defisiensi besi dapat disingkirkan, namun Hb tetap rendah, maka dilakukan pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis untuk diagnosis thalassemia. Bila pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis tidak konklusif, maka dilakukan analisis DNA. 2. Kebijakan, Strategi, dan Pelaksanaan Program Pencegahan Thalassemia Homozigot dan Thalassemia -HbE di Indonesia a. Edukasi Masyarakat Edukasi
8

masyarakat

merupakan

langkah

awal

dalam

program

pencegahan

thalassemia. Tanpa diawali edukasi masyarakat yang optimal, skrining thalassemia akan menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan stigmatisasi terhadap karier atau pasien dan berlanjut pada adanya diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan serta asuransi kesehatan, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat di mana skrining terhadap penyakit sickle cell diwajibkan oleh pemerintah.16 Untuk jangka pendek, edukasi berupa konseling dan pemberian informasi pada populasi yang menjadi sasaran skrining. Sementara rencana jangka panjangnya, edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan (awareness) masyarakat terhadap penyakit thalassemia dengan memasukkan materi tentang thalassemia kedalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui media massa, jaringan internet, brosur dan pamflet, serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari thalassemia sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. b. Target populasi

27

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

Target populasi yang akan di skrining : a. Anggota keluarga dari pasien thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan karier thalassemia (skrining retrospektif). b. Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining antenatal). c. Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi). d. Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital). Pada kehamilan, skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan. Jika ibu merupakan pengidap atau karier thalassemia, maka skrining kemudian dilanjutkan pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin normal maka skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah janin merupakan pengidap atau karier thalassemia maka disarankan melakukan konseling genetik dan jika diperlukan skrining pada janin (pranatal diagnosis).42 c. Konseling Konseling terdiri dari informasi medis, informasi masalah genetika, dan langkah atau tindak lanjut hasil skrining. Konseling tersedia mulai skrining level II dan level diatasnya, yaitu setelah diagnosis thalassemia dapat ditegakkan. 1) Informed Consent Informed consent berisi penjelasan tentang thalassemia, manfaat dan implikasi skrining serta tanda persetujuan dari calon yang akan dilakukan skrining. 2) Konselor Konselor adalah orang yang sudah mendapatkan pelatihan serta mendapatkan sertifikat melakukan konseling, bisa dokter/tenaga kesehatan lain, sesuai dengan kompetensi dirinya. d. Registrasi Nasional Thalassemia Hasil skrining tiap individu, berupa data laboratorium dan keadaan klinisnya yang sudah divalidasi dan diverifikasi, diregistrasi oleh badan registrasi nasional melalui Rumah Sakit Pendidikan setempat. Individu yang mengidap gen thalassemia kemudian dipantau

perkembangan kesehatan, status marital dan reproduksinya. e. Tempat Pelaksanaan Program Pencegahan Thalassemia Pelaksanaan program pencegahan thalassemia dipilih berdasarkan beberapa hal sebagai berikut : a. Besarnya prevalensi kasus thalassemia mayor b. Ketersediaan sumber daya manusia dan alat
28

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

c. Pemantapan kualitas (quality control) d. Tempat-tempat yang telah menjadi pilot project penelitian thalassemia. 3. Implikasi Skrining Thalassemia terhadap Psiko-Sosial, Ekonomi, Etiko-Legal dan Agama di Indonesia Skrining thalassemia memiliki berbagai implikasi terhadap psikososial, etiko-legal dan agama di Indonesia. Strategi dan kebijakan pencegahan yang dibuat harus memerhatikan berbagai aspek tersebut. Dalam hal ekonomi dan pembiayaan, berbagai studi menunjukkan bahwa skrining thalassemia lebih menguntungkan daripada tidak dilakukan skrining sama sekali.8,9,43 Biaya pemeriksaan skrining thalassemia sekitar 300-450 ribu rupiah/orang. Jumlah ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan satu orang pasien selama setahun. Jika penanganan seorang pasien sekitar 300 juta rupiah maka biaya tersebut setara dengan biaya pemeriksaan skrining thalassemia untuk sekitar 750 1,000 orang. Dalam implikasi hasil skrining thalassemia terhadap jasa asuransi, pengalaman di Iran menunjukkan bahwa pihak asuransi justru bersedia menanggung biaya skrining, karena dengan begitu mereka justru terhindar dari pembiayaan yang lebih besar.32 Informasi dan pemahaman yang baik dan benar tentang thalassemia pada pihak asuransi tentunya harus diberikan dalam program pencegahan ini, sehingga individu yang terdeteksi mengidap thalassemia (terutama karier thalassemia), tidak ditolak untuk memiliki jaminan asuransi. Dalam hal etiko-legal dan agama, masalah tindak lanjut hasil diagnosis pranatal janin yang terdiagnosis mengidap thalassemia mayor memerlukan diskusi yang intensif dengan pakar hukum, pakar etik dan rohaniawan dari berbagai agama. Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 pasal 75 memperbolehkan pengakhiran kehamilan (aborsi) berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang terdeteksi sejak usia dini kehamilan baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.44 Pengakhiran tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling pascatindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Namun undang-undang mensyaratkan tindakan pengakhiran tersebut hanya boleh dilakukan pada usia kurang dari 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan serta memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri dengan seizin ibu hamil dan suami yang bersangkutan. Batas penentuan usia kehamilan kurang dari 6 minggu tentunya cukup menyulitkan karena diagnosis pranatal thalassemia baru bisa dilakukan setelah usia gestasi 10
29

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

minggu.15 Meskipun begitu, bila kehamilan dengan bayi thalassemia mayor dipertahankan, diagnosis pranatal bermanfaat bagi pasangan suami istri sebagai bahan pertimbangan pilihan reproduksi berikutnya. G. Rekomendasi Kajian HTA Pencegahan Thalassemia 1. Program pencegahan thalassemia harus dilakukan untuk mengurangi jumlah pasien thalassemia mayor dan thalassemia -HbE di Indonesia, karena dari sisi biaya, pencegahan thalassemia membutuhkan lebih sedikit biaya daripada terapi pasien thalassemia mayor dan thalassemia -HbE (Sementara dari sisi pasien, thalassemia akan menyebabkan tumbuh kembang tidak optimal). (Rekomendasi B) 2. Rekomendasi Teknik dan Metode Laboratorium Diagnosis Thalassemia dan thalassemia -HbE. a. Teknik dan metode diagnosis laboratorium Pemeriksaan MCV dan MCH digunakan untuk uji saring awal dengan nilai batas (cut-off) yang digunakan untuk uji saring awal adalah MCV < 80 fL dan MCH < 27 pg. (Rekomendasi B) Pemeriksaan feritin digunakan untuk menyingkirkan diagnosis anemia defisiensi besi yang memberikan hasil positif palsu pada diagnosis thalassemia. (Rekomendasi B) Pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis memberikan nilai diagnostik yang akurat dengan angka spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Skrining inisial terhadap kasus hemoglobinopati dengan alat high-performance liquid chromatography (HPLC) atau isoelectric focusing (IEF) menggunakan metode otomatis atau manual kuantitatif. Idealnya, sampel darah diperiksa dalam 72 jam setelah pengambilan untuk mencegah degradasi hemoglobin. Bila tidak ada metode otomatis, maka dapat digunakan metode manual kuantitatif antara lain mengukur kadar Hb A2 dengan mikrokolom kromatografi, Hb F dengan metode Betke denaturasi 2 menit, serta penentuan fraksi Hb varian dengan elektroforesis cara manual. (Rekomendasi B) Pemeriksaan analisis DNA digunakan untuk diagnosis pranatal, teknik pengambilan sampel janin yang paling aman dan efektif adalah metode chorionic villi sampling yang dilakukan antara usia gestasi 10-12 minggu dan mengkonfirmasi diagnosis thalassemia pada kasus-kasus yang belum konklusif dengan pemeriksaan hematologi lengkap dan Hb typing. (Rekomendasi B)
30

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

b. Teknik dan metode uji saring thalassemia dan thalassemia -HbE di Indonesia disesuaikan dengan ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya manusia. (Rekomendasi C). Algoritma alur diagnosis laboratorium thalassemia terlampir. 3. Rekomendasi Program Pencegahan Thalassemia Mayor dan Thalassemia -HbE dalam Hal Kebijakan, Strategi dan Pelaksanaannya a. Kebijakan, strategi dan pelaksanaan program pencegahan thalassemia di Indonesia harus meliputi kegiatan edukasi, skrining, konseling, dan registrasi dengan

memerhatikan faktor sosio-etiko-legal. (Rekomendasi C) b. Edukasi masyarakat Edukasi masyarakat adalah titik penting awal keberhasilan program pencegahan thalassemia dan thalassemia -HbE dan dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat. Untuk jangka pendek edukasi berupa konseling dan pemberian informasi pada populasi yang menjadi sasaran skrining. Untuk jangka panjang edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan (awareness) masyarakat terhadap thalassemia dengan memasukkan materi tentang thalassemia ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah menengah, serta menggunakan berbagai sarana media penyebaran informasi. (Rekomendasi C) c. Target populasi skrining thalassemia dan thalassemia -HbE yang direkomendasikan adalah : (Rekomendasi C) Skrining dilakukan terhadap anggota keluarga pengidap thalassemia dan thalassemia -HbE (retrospektif). Skrining pranatal dilakukan terhadap ibu hamil pada saat kunjungan pertama. Jika ibu hamil merupakan pengidap thalassemia atau -HbE atau thalassemia -HbE, maka skrining kemudian dilanjutkan pada ayah janin. Jika ayah janin bukan pengidap thalassemia atau thalassemia -HbE maka skrining janin (diagnosis pranatal) tidak perlu dilakukan. Jika ayah janin merupakan pengidap thalassemia maka disarankan melakukan konseling genetik dan dianjurkan untuk melakukan skrining janin (diagnosis pranatal). Skrining prakonsepsi dilakukan terhadap pasangan yang sudah menikah dan berencana mempunyai anak. Skrining pranikah dilakukan terhadap individu/pasangan yang akan menikah. d. Individu yang teridentifikasi thalassemia (karier/intermedia/mayor) selanjutnya dirujuk ke spesialis penyakit dalam (usia > 18 tahun), spesialis anak (usia 18 tahun), atau
31

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

spesialis obstetri ginekologi (pada ibu hamil). (Rekomendasi C) e. Konseling Konseling terdiri dari informasi medis, informasi masalah genetika, informed consent praskrining diperlukan untuk langkah atau tindak lanjut hasil skrining. (Rekomendasi C) Dalam konseling harus dijelaskan beberapa opsi yang dapat diambil oleh pengidap thalassemia untuk mencegah lahirnya bayi dengan thalassemia mayor yaitu : (Rekomendasi C) Menikah dengan pasangan yang bukan karier Bila suami/istri juga karier, dapat menghindari memiliki anak kandung dan melakukan adopsi Bila pasangan suami/istri karier ingin memiliki anak, dapat melakukan diagnosis pranatal terhadap janin yang dikandung atau melakukan proses bayi tabung (diagnosis genetik pra implantasi) Konseling dilakukan mulai skrining level II dan level diatasnya, yaitu setelah diagnosis thalassemia dapat ditegakkan. (Rekomendasi C) Konseling dilakukan oleh konselor yang sudah mendapatkan pelatihan serta sertifikat.(Rekomendasi C) f. Registrasi nasional Hasil skrining tiap individu, berupa data laboratorium dan keadaan klinisnya yang sudah divalidasi dan diverifikasi, diregistrasi oleh badan registrasi nasional melalui Rumah Sakit Pendidikan setempat. Registrasi nasional ini dapat digunakan untuk pengembangan program, pengelolaan, pendidikan, dan penelitian.(Rekomendasi C) g. Pemantapan kualitas Pemantapan kualitas (quality control) hematologi dilaksanakan melalui Program Nasional Pemantapan Kualitas Laboratorium Klinik bidang Hematologi (PNPKLK-H) DepKes RI dan Lembaga Eijkman untuk laboratorium diagnostik molekuler. Pemantapan kualitas ini dilaksanakan dengan kerjasama Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik (PDS-Patklin). (Rekomendasi C) h. Tempat pelaksanaan program skrining thalassemia Penentuan tempat berdasarkan tingkat prevalensi thalassemia atau -HbE mayor, ketersediaan sarana, pra sarana dan sumber daya manusia. (Rekomendasi C) 4. Rekomendasi solusi implikasi psiko-sosial, ekonomi dan etiko-legal terhadap hasil skrining
32

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

thalassemia dan thalassemia -HbE : a. Psiko-sosial : Untuk mencegah dampak psikologi atas hasil skrining yang positif yang tidak diharapkan, maka konsultasi sebelum dan sesudah skrining harus dilakukan. (Rekomendasi C) b. Ekonomi (termasuk asuransi) : Untuk menghindari kesulitan dalam memperoleh jaminan asuransi, harus ada sosialisasi yang baik dikalangan penyelenggara jasa asuransi bahwa individu karier thalassemia atau -HbE, mempunyai risiko yang sama dengan individu lain normal (bukan karier). (Rekomendasi C) c. Etiko-legal (termasuk agama) : Untuk legalitas pengakhiran kehamilan bila janin yang dikandung terdiagnosis thalassemia mayor, diperlukan diskusi yang intensif dengan pakar hukum, pakar etik dan rohaniawan dari berbagai agama dengan memperhatikan pengalaman berbagai negara di dunia. (Rekomendasi C)

33

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

DAFTAR PUSTAKA

1 2

Weatherall, DJ. The Thalassemias. Williams Hematology. 6 edition. Mc-Graw Hill, November 2000. Langlois S, Ford JC, Chitayat D. Carrier Screening for Thalassemia and Hemoglobinopathies in Canada. Joint SOGCCCMG Clinical Practice Guideline 2008; 218: 950-959. 3 rd Forget, BG. Thalassemia Syndromes in : Hoffman Hematology, basic principles and practice. 3 edition. Churchill Livingstone 2000. 4 World Health Organization/Thalassaemia International Federation. Prosiding dari: Joint meeting on the prevention and control of haemoglobinopathies. Nicosia-Cyprus: World Health Organization/Thalassaemia International Federation, 1994:20.
5

th

Weatherall DJ, Clegg JB. Inherited haemoglobin disorders: an increasing global health problem. Bull World Hlth Org. 2001;79:704-12. Sofro ASM. Molecular pathology of beta-thalassemia in Indonesia. South East Asian J Trop Med Public Health 1995;26:221-2214. Lanni F, Gani RA, Widuri, Rochdiyat W, Verawaty B, Sukmawati, dkk. -thalassemia and hemoglobin-E traits in Yogyakarta population. Dipresentasikan pada 11th International Conference on Thalassaemia and Haemoglobinophaties & 13rd International TIF Conference for Thalassaemia patients and parents. Singapore; 8-11 Oktober 2008. Angastiniotis M, Kyriakidou S, Hadjiminas M. How thalassaemia was controlled in Cyprus. World Health Forum 1986, 7: 291-297

Ginsberg G, Tulchinsky T, Filon D, Goldfarb A, Abramov L, Rachmilevitz EA. Cost-benefit analysis of a national thalassemia prevention programme in Israel. J Med Screen 1998;5: 120-126. 10 Eleftheriou A. About Thalassemia. Thalassemia International Federation Publication (4). Nicosia-Cyprus; 2003. 11 Weatheral DJ and Clegg JB, 1981. The Thalassemia Syndromes (3th ed). Blackwell Scientific Publ. Oxford. 12 Weatherall DJ.Fortnightly Review : Thalassemia. BMJ 1997; 314:1675. 13 Marengo-Rowe AJ, MD. He thalassemias and related disorders. Baylor University Medical Center. 2007;20:27-31 14 Clarke GM, Higgins TN. Laboratory Investigation of Hemoglobinopathies and Thalassemias: Review and Update. Clinical Chemistry 46:8(B) 12841290 (2000) 15 WHO. Guidelines for the control of haemoglobin disorder. Geneva 1994. 16 Renzo Galanello (co-ordinating editor). Prevention of Thalassaemias and other haemoglobin disorders. Nicosia: Thalassemia International Federation; 2003. 17 Health Technology Assessment Unit Ministry of Health Malaysia. Maternal Screening for Foetal Abnormality.2003. 18 Jackson LG, Zachary JM, Fowler SE, Desnick RJ, Golbus MS, Ledbetter DH, Mahoney MJ, Pergament E, Simpson JL, Black S, et al. A randomized comparison of transcervical and transabdominal chorionic-villus sampling. The U.S. National Institute of Child Health and Human Development Chorionic-Villus Sampling and Amniocentesis Study Group. N Engl J Med. 1992 Aug 27;327(9):636-8. 19 Silvestroni E., Bianco I et al. A highly cost effective method of mass screening for Thalassemia. Br Med J (Clin Res Ed) 1983 Mar 26;286(6370):1007-9. 20 Maheshwari M, Menon PSN. et al. Carrier screening and pre-natal diagnosis of beta-Thalassemia. Indian Pediatrics 1999;36: 1119-1125 21 Rathod DA, Kaur A, Patel V, Patel K, Kabrawala R,Viral Patel,et al. Usefulness of Cell Counter Based Parameters and Formulas in Detection of -Thalassemia Trait in Areas of High Prevalence. Am J Clin Pathol 2007;128:585-589 22 Galanello R, Melis MA, Ruggeri R, Addis M, Scalas MT, Maccioni L, Furbetta M, Angius A, Tuveri T, Cao A. Beta 0 thalassemia trait in Sardinia. Hemoglobin. 1979; 3: 33 46. 23 Rogers M, Phelan L, Bain L. Screening criteria for thalassaemia trait in pregnant women. J Clin Pathol 1995;48:1054-1056. 24 Giordano PC. Carrier diagnostics and prevention of hemoglobinopathies using High-Performance Liquid st Chromatography. 1 ed. USA : Bio-Rad Laboratories; 2006.

34

HTA Indonesia_2010_Pencegahan Thalassemia

25

Giordano PC. Carrier diagnostics and prevention of hemoglobinopathies using capillary electrophoresis. 1 ed. France : Laboratories Sebia; 2007. 26 Rosatelli M.C., Tuveri T., Scalas M.T., et al: "Molecular screening and foetal diagnosis of thalassaemia in the Italian population". Human Genetics 1992, 89:585-9 27 Lau KT, Leung YT, Fung YT, Chan LW, Sahota DS, Leung NT. Outcome of 1,355 consecutive transabdominal chorionic villus samplings in 1,351 patients. Chin Med J (Engl). 2005 Oct 20;118(20):1675-81. 28 Alfirevic Z, Mujezinovic F, Sundberg K. Amniocentesis and chorionic villus sampling for prenatal diagnosis (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2003, Issue 3. Art. No.: CD003252. DOI: 10.1002/14651858.CD003252. 29 Rueangchainikhom W, Sarapak S and Orungrote N. Chorionic Villus Sampling for Early Prenatal Diagnosis at Bhumibol Adulyadej Hospital. J Med Asoc Thai 2008; 91 (1): 1-6. 30 Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S. Diagnosis and management of thalassemia : Thailand as a model. In : Major hematologic disease in the developing world New aspect of diagnosis and management of thalassemia, malaria, anemia and acute leukemia. Hematology 2001. p.483-488 31 Arnold C, Allison S. Darr A. Lesson from thalassemia screening in Iran. BMJ 2004:329 : 1115-1117 32 Samavat A, Modell B. Iranian national thalassaemia screening programme. BMJ 2004:329 : 1134-1137 33 Christianson A, Streetly A, Darr A. Lessons from thalassaemia screening in Iran Screening programmes must consider societal values. BMJ 2004;329:11157. 34 Ahmed S , Saleem M, Modell B, Petrou M. Screening extended families for genetic hemoglobin disorders in pakistan. N Engl J Med Oktober 2002; 347(15):1162-1168. 35 Karimi M, Jamalian N, Yarmohammadi H, Askarnejad A, Afrasiabi A, Hashemi A. Premarital screening for bthalassaemia in Southern Iran: options for improving the programme. J Med Screen 2007;14:62 66. 36 Ratanasiri T, Charoenthong R, Komwilaisak Y, Fucharoen S, Wongkham J, et al. Prenatal Prevention for Severe Thalassemia Disease at Srinagarind Hospital. J Med Assoc Thai 2006; 89 (Suppl 4): S87-93. 37 Ridolfi F, Ermis H, Has R, Kokrek A, Gedikoglu G. Prevention of homozygous beta thalassemia by carrier screening in pregnancy. Haema 2002;5(3): 242-245. 38 Wagner, JE. Practical and Ethical Issues with Genetic Screening. Hematology 2005;498-502. 39 Ahmed S, Saleem M, Sultana N, Raashid Y, Waqar A, Anwar M, Modell B, Karamat KA, Petrou M. Pranatal diagnosis of beta-thalassaemia in Pakistan: experience in a Muslim country. Prenat Diagn. 2000 May;20(5):378383. 40 Haddow, JE. Couple screening to avoid thalassemia: successful in Iran and instructive for us all. J Med Screen 2005;12:5556. 41 Lafferty JD, Crowther MA, Ali MA, Levine M. The evaluation of various mathematical RBC indices and their efficacy in discriminating between thalassemic and non-thalassemic microcytosis. Am J Clin Pathol. 1996 Aug;106(2):201-5. 42 Rogers M, Phelan L, Bain B. Screening criteria for thalassemia trait in pregnant women. J Clin Pathol 1995; 48:1054-1056. 43 Zeuner D, Ades AE, Karnon J, Brown J, Dezateux C, Anionwu AE. Antenatal and neonatal haemoglobinopathy screening in the UK: review and economic analysis. Health Technol Assess 1999;3(11). 44 Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009. Pasal 75-76.

st

35

Anda mungkin juga menyukai