Anda di halaman 1dari 4

Menyebut-nyebut Kekayaan Ekonomi

Bismillaahi aktubu,

Banyak orang hanya semata berkata “Si anu punya uang milyaran.”

Padahal, mereka itu bukanlah bagian dari golongan tsb. Golongan itu,
bukanlah dari golongan yang suka mengungkit-ungkit pemberian.
Ia hanyalah semata dari golongan yang suka mengajak orang Shalat,
mengingkari kesalahan seseorang yang mengajak orang kepada kemunkaran
dan mengajak orang untuk melakukan hal yang baik daripada dari
melakukan hal yang Mubah.

Jadi, Ia bukanlah dari golongan yang suka membegal untuk diberi kepada
orang lain, walaupun karena terpaksa.

Bahkan pemberian Allahu Tabaraka Ta’ala terhadap kaum yang bershadaqah


lebih pantas untuknya daripada pujian, kepopuleran, dan keridhaan manusia
serta Ujub (membangga-banggakan amal), karena karunia dan rahmat-Nya
lebih banyak jumlahnya dan lebih kekal.

Jadi, Ia bukanlah dari golongan yang berteman dengan masyarakat kelas


bawah yang cenderung santai, yang tidaklah mereka itu menjadi miskin dan
pailit, kecuali karena kesalahan mereka sendiri, yang mau maunya menjadi
Sekuler. Bila kita melupakan Allahu Subhaanahu wa Ta’ala, maka Allahu
Jalla Jalaaluhu juga akan melupakan kita.

Apabila kita enggan berjumpa dengan Allahu Ta’ala, maka Dia akan kita
jumpai, sebagaimana yang Dia kehendaki.

Jadi, bila Ia merasa sebagai kaum Modern, yang kemudian menjadi Kafir
atau Munafik, maka tidak ada bagian lagi dari ilmu ‘Ulama Salafiyyah yang
bisa bermanfaat untuk mereka amalkan, dan ilmu ‘Ulama Salafiyyah itu
berguna untuk untuk diri mereka sendiri, sebelum itu dan sejak mereka
menuliskannya.

Apabila, tidak ada karunia dan rahmat dari-Nya, maka kaum Muslim sudah
dilanda kerugian demi kerugian dalam kehidupannya sebagai kaum Muslim.
Kesimpulannya, orang itu berasal dari golongan yang ingin berbuat baik ke
kaum Muslimin di Afrika daripada kaum Muslimin di negaranya sendiri
yang tidak antusias dalam mempraktekkan agama Allahu Jalla Jalaaluhu,
malah cenderung malas-malasan dalam mempelajari Islam dan beramal
Shalih.

Bagi saya, janganlah jadi kaum yang sudah mempunyai “mata curiga,”
terlebih dulu. Karena perjuangan kaum Muslimin selama 300 tahun
menentang penjajah Kaafirun itu, kemudian memang didikte harus
bagaimana sesuai kemauan kaum yang melanjutkan perjuangan negara
Indonesia hanya selama 50 tahun saja.

Jadi, hendaklah senantiasa dijauhkan dari keadaan berprofesi duniawi


belaka, akan tetapi hendaknya demikian juga dalam aspek menjadi kaum
Muslim sebagai kaum yang memiliki produktivitas.

Jadi bukan menyatakan bahwa kaum ini adalah kaum yang telah
bertanggung jawab kepada perjuangan kaum yang telah memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia sebenarnya.
Dan tidaklah orang tsb dari golongan yang suka berkeyakinan bahwa hanya
karena Allahu Jalla Jalaaluhu memberinya kemuliaan dan kekayaan, berarti
bahwa Allahu ‘Azza wa Jalla pasti menyayanginya.
Melainkan bahwa kemuliaan dan kekayaan ini digunakan untuk
menauhidkan (Tauhid) Allahu Subhaanahu.

Jadi, bukan menjadi kaum yang senantiasa “Meminta kepada kaum manusia,
dan melupakan memohon dan berharap kepada Allahu Subhaanahu.”

Kemiskinan itu tidaklah berkurang karena seseorang bersifat menjauh dari


Masjid, bersifat mengasihani diri dengan menonton Tv daripada Shalat di
Masjid. Atau hanya karena kecemburuan dan perasaan bahwa orang lain
tidak membutuhkannya, padahal faktanya adalah dia sendiri dicemburui oleh
Allahu Subhaanahu wa Ta’ala karena enggan Shalat di Masjid kecuali untuk
Jum’atan dan seperti memberitahukan bahwa Ia tidak membutuhkan Surga
(Jannah) yang seluas langit dan bumi.

Meskipun demikian, faktanya Ia selalu memohon Zakat dari Masjid atau


memakan makanan Masjid untuk buka puasa.
Lalu apakah antum menolong agama Allahu Subhaanahu wa Ta’ala?. Jikalau
tidak, mengapa Allahu Subhaanahu wa Ta’ala menurunkan agama untuk
seluruh manusia dan Jin dari-Nya?.

Jadi, apakah antum merasa tidak Kufur ni’mat terhadap karunia Allahu
Subhaanahu wa Ta’ala?.

Memang, bahwa di seluruh belahan dunia, masalahnya masih soal Kufur


ni’mat, Riya’, Sum’ah dan Syirik serta merasa agama Islam terlalu berat
untuk dipraktekkan.

Yang mereka lakukan “Dia membuat ilustrasi-ilustrasi tentang Allahu Ta’ala


dan melupakan kejadian dirinya sendiri. Dan menyesuaikan dengan
masyarakat, jadi jangan melakukan dosa, akan tetapi bila orang lain berbuat
dosa, itu tidak apa-apa. Tidak usah mengubah kemunkaran.”

Pertamanya dia tidak ada, kemudian dia menjadi manusia yang sempurna,
maka hendaklah dia sendiri yang melakukan usaha pengubahan nasibnya itu,
bukanlah dengan hanya mengerjakan sesuatu yang orang lain mintakan atau
perintahkan kepadanya, akan tetapi juga dengan mengerjakan yang Allahu
Ta’ala lain mintakan dan perintahkan kepadanya.

Bahkan kaum seperti itu adalah dari kaum yang menganggap harga dirinya
lebih penting daripada beribadah kepada Allahu Jalla Jalaaluhu, akan tetapi
hendaklah Ia jangan menolak kebenaran Islam dan dengan merendahkan
kaum kaya. Padahal, kaum kaya itu juga melaksanakan kewajiban
terhadapnya seperti memberinya Zakat, Infak dan Shadaqah.

Bahkan kaum begini suka berbohong ketika disuruh Shalat. Pertamanya


merendah secara hubungan pertemanan dan menghormati pekerjaan
kawannya.
Lama kelamaan membuktikan Al Hadits “Agama seseorang sesuai dengan
agama Sahabatnya.”

Misalnya: Lelaki yang malas Shalat berJama’ah di Masjid. Lelaki yang suka
Shalat berJama’ah di Masjid, tidak perlu bersahabat dengan yang semacam
itu.

Kebanyakan manusia merasa cukup dengan dunia, namun merasa bahwa


sesuatu itu belum diberikan kepadanya.
Sedangkan Mukmin merasa dunia tidak akan mencukupinya, jadi tidak akan
berambisi terhadapnya. Jadi, dia tahu bahwa dunia tidak akan diberikan
kepadanya kecuali melalui Islam.

Malah yang terburuk, seringkali mengindikasikan bahwa dari perintah Shalat


itu bisa sembari meminta uang, jika dilakukan setelah ada individu yang
mengajaknya. Bukanlah dari keikhlasan hatinya, jadi dosa Syirik kecilnya
ada, akan tetapi pahalanya tidak diterima oleh Allahu Jalla.

Assalaamu manit taba’al huda (Semoga kedamaian, kesejahteraan dan


keselamatan dari segala aib bagi manusia bagi yang mengikuti petunjuk).

Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh (Semoga kedamaian,


kesejahteraan dan keselamatan dari segala aib bagi manusia, dan kasih
sayang dari Allah dan keberkahan dari-Nya agar dicurahkan kepada kalian).

Anda mungkin juga menyukai