Anda di halaman 1dari 4

Memburu Panah Arjuna

Oleh Chatrina Darul Rosikah

Dia memandang seorang pirang berumur dua puluh tiga tahun, tinggi 164 sentimeter di depan pintu apartemennya sore itu. Mengenakan celana Levis dan kaus bertuliskan IMAGINE REALITY. Ada sesuatu yang elastis dalam gerak kecilnya yang membuat otak Joe berpikir keras, pelukis muda di Hungry U, Marlyn Nelson. Saya Gangga, kata si Pirang. Gangga adalah nama sungai suci di India, ucap Joe. Senyum Gangga melebar, Aku mengetahui itu. Apa Kau keturunan India? Bukan, sebenarnya itu adalah nama julukanku. Aku seorang seniman. Aku sudah pernah melihat dan mendengarmu, kata Joe, yang masih tekun memperhatikan tato aneh di leher Gangga, berpilin dan membentuk busur dan terselip panah naga ditengahnya. Unik sekali perempuan ini, pikirnya. Aku tahu, kata Gangga. Aku pernah menihatmu, tempo hari Kau datang ke pameranku dan pergi begitu saja. Aku mendadak ada tugas saat itu. Senyumnya pirang lebar, meloncat-loncat. Ohw, bagus sekali.Joe mundur dan Gangga masuk. Seolah sudah terbiasa, Gangga langsung duduk dan menekan tombol remote. NY1 masih memberitakan temperature pagi kota New York. Joe masih berdiri, barharap Gangga menjelaskan sesuatu. Ayolah Joe, santailah sejenak. Kau selalu tampak tegang. Diraihnya lembaran kertas di meja, matanya berputar-putar menyusuri huruf demi huruf dan kembali ke arah Joe. Kau memang penulis handal, Joe. Ada sedikit kelegaan melintas di hati Joe. Perempuan itu memujinya, si Pirang yang baru dikenalnya beberapa hari itu, dan Joe masih tetap biasa.

Kau tahu, susah payah aku mencari alamatmu, katanya. Aku melihat tulisanmu di Blog. Apa Kau juga akan menggugatku seperti yang lain? Tidak, aku rasa semuanya benar. Kau akan lebih terkenal dengan itu, tulisantulisanmu tentang New York dan gagasanmu yang begitu berbobot, Gangga meraih tangan Joe dan mendorongnya ke sofa. Kau tidak sedang membuat catatan harian, bukan? Menurutmu? Gangga memutar bola matanya, Hanya pengembaraan yang belum tahu di mana harus berhenti, mencari dan terus mencari. Aku rasa begitu, jawab Joe, walau sebenarnya dia tak mengerti apa yang dimaksud si Pirang. Gangga menatap ke arah Joe. Lalu bagaimana dengan negaramu? Joe terdiam. Dihelanya nafas panjang. Pertanyaan yang sudah diduganya, pertanyaan mengerikan dan menakutkan. Apa-apa tentang negaranya, yang hampir mirip dengan New York, tak mungkin dimuntahkannya di sini. Negaraku baik-baik saja. Di sana ada Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi, Apa itu? Aturan negara melarang warganya melakukan aksi pornografi. Ada hukuman bagi yang melanggar. Keren! Lalu? Lalu? Maksudmu.? Lalu apakah orang-orang di negaramu menjalankannya dengan baik? Ya tentu. Sudah kuduga. Dia tersenyum. Senyumnya mengisyaratkan kelegaan. Aku suka negaramu. Dia tetap tersenyum. Matanya mengikuti irama hatinya, berceloteh ba-bi-bu,

Aku pernah ke Bali. Aku menyukai Bali dan aku menyukai budaya Bali. Aku juga menyukai tarian Bali, aku juga menyukai cerita Mahabarata. Lalu matanya sampailah lagi ke mata Joe, Aku juga menyukai Arjuna yang tampan dan sakti. Waw! Tak diduganya, Gangga begitu hafal dan lancar mengucapkan fon yang sulit sekalipun tentang Mahabarata, Tari Pendet, Kecak, Sanur, dan Arjuna. Joe mencoba menerka kembali apa yang dikatakan Gangga. Arjuna? Apa itu alasan dia datang menemuiku, batin Joe, tapi untuk apa? Dia pandai memanah dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Dia juga tampan, tak ada yang berani melawan birahinya. Betulkah itu? Gangga yang santun mencoba mengeja kata-demi-katanya agar Joe tidak salah menafsirkan. Oh, aku begitu menyukai Arjuna! Andaikan sosok Arjuna itu nyata dan ada di dunia, aku pasti akan mengejarnya. Dia lebih mendekatkan wajahnya. Kau kah itu? Apa maksudmu? Ayolah Joe. Belajarlah untuk tidak seperti anak kecil, Aku bukan Arjuna dalam cerita itu, Gangga. Joe menekan suaranya. Itu hanya sebuah nama, yang bisa saja diadopsi orang tuaku dari cerita. Atau orang tuaku iseng memberiku nama itu, bisa juga, kan! Yang jelas aku bukan Arjuna dalam cerita itu. Dilepasnya jeratan tangan Gangga dari pergelangan tangannya, seharusnya Kau yang belajar berpikir dewasa Bukankah nama adalah doa bagi orang-orang di negaramu? Pengharapan, dan keinginan orang tua terhadap anaknya? Perkataan Gangga langsung mengusik dirinya. Berani-beraninya si Pirang menyudutkan dirinya dalam hal ini. Joe seolah melayang, perputar-putar, melewati loronglorong panjang dan gelap dan sampai di tempat di mana dia pertama kali belajar menggunakan udeng dan kampuh bersama teman-temannya berlari menuju Pura. Membentangkan kasih Brahman yang merengkuh dalam kemuning bimasakti. Mbah Jamsir yang renta mengibas-ibaskan air bunga pada bocah-bocah yang belajar Dharma. Disebutnya nama satu persatu, termasuk namanya, Arjuna, menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Agar tercapailah semua cita-cita anak Brahman. Om SantiSantiOm Betapa dia ingat saatsaat itu.

Dan Gangga benar, tidak ada yang salah dengan perkataannya. Tapi kenapa ucapannya begitu menyakitkan. Apa yang hendak aku bela dan ku pertahankan? batin Joe. Apa? apakah masih ada? Joe mencoba mencari, terus mencari dan tak menemukan apaapa. Apakah ada yang salah? Tidak, tentu saja tidak. Aku merasa kagum padamu. Padahal Kau bukanlah orang negaraku, tapi Kau memahaminya, Sekali lagi Gangga tersenyum. Aku menyukai Dewi Gangga, ucap perempuan itu kemudian. Aku setuju pendapatmu bahwa Gangga adalah sungai Suci. Aku berharap bisa menjadi Gangga yang sesungguhnya. Joe tersentak, Maksudmu? Kau mulai lagi. Dia mencubit lengan Joe. Ini New York, dan tidak mungkin memiliki peraturan seperti negaramu. Banyak yang harus dipertimbangkan bila itu terjadi. Aku meminjam Gangga dalam diriku. Meskipun panah para Arjuna menghunjamku berkalikali, aku masih Gangga yang suci. Gangga yang suci? Tidak ada dalam cerita seperti itu. Joe tersenyum kecut, betapa Joe ingin segera enyah dari hadapan Raksasa Gangga itu. Bagaimana dia bisa perpikir konyol seperti itu? Perempuan gila! Aku harap begitu, kata Joe lemah, Ini New York dengan kebebasannya, dan bukan salah satu cerita di Mahabarata. Dia mencoba menenangkan diri. Untuk kesekian kalinya Gangga tersenyum. Senyumnya bertambah hingga Joe tak mampu mengartikan maksud senyum itu. Mata Gangga menatap dalam, menerobos ke ulu hati, membentur pintu alam bawah sadar, membumbung tinggi hingga sanubari. Hingga melayang jiwanya. Hingga jerit dan desahan yang tersisa di balik kerasnya dinding apartemen reporter asal Pulau Seribu Pura, I Gusti Ngurah Arjuna Jaya Diningrat. Inikah yang diinginkan pelukis muda itu, mendapatkan panah Arjuna? Dan jantung serasa berdetak cepat, seirama tepuk tangan penonton sirkus. Apa-apaan ini!

Anda mungkin juga menyukai