Anda di halaman 1dari 7

Manifestasi Orofasial Beta Thalasemia Mayor

Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia. Dari 250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta (Iskandar, 2010). Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin. Kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk thalasemia khususnya di Indonesia (Ruswandi, 2009).

Pola genetik thalasemia beta mayor (Riyanti, 2008)

Thalasemia beta mayor merupakan kelainan beta thalasemia yang bersifat homozigot, sering pula disebut dengan anemia Cooley. Kelainan ini merupakan bentuk terparah dari thalasemia karena manifestasi klinis yang umum muncul setelah 4-6 bulan pertama kehidupan. Penderita akan mengalami anemia berat dengan hematokrit kurang dari 20% sehingga bergantung pada pemberian transfusi darah (Isselbacher et al., 1995). Selain transfusi darah rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi (iron chelating agent) yang harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan ini tidak dilakukan maka besi akan menumpuk pada berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung, otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi kematian dini (Hassan & Alatas, 2002).

Gejala klinis penyakit thalasemia pada anak-anak (Oswari, 2009) Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dengan proses eritropoiesis. Bila penderita thalassemia beta mayor tidak diberikan transfusi maka akan ditemukan abnormalitas tulang, disertai dengan peningkatan eritropoiesis yang ekstrim serta ekspansi sumsum tulang mencapai 15-30 kali dari normal. Kondisi lebih lanjut akan dijumpai osteopenia, resorpsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan penurunan pembentukan tulang (Riyanti & Maskoen, 2005). Perubahan tulang yang terjadi disebabkan oleh hiperaktivitas dari sumsum tulang sehingga mengakibatkan pertumbuhan berlebih pada tulang frontal, parietal, zigomatikus serta protrusif maksila. Perubahan bentuk ini menghasilkan wajah yang khas yaitu facies thalassemia.

Pertumbuhan gigi penderita thalasemia beta mayor biasanya buruk disertai rarefraksi tulang rahang (Kosasih, 2001). Manifestasi orofasial pada penderita thalasemia beta mayor terjadi karena terjadi gangguan produksi hemoglobin. Pada thalassemia beta mayor, hanya 15-30% eritrosit berinti yang tidak mengalami destruksi. Eritropoiesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi perifer dan timbul anemia (McDonagh & Nienhuis, 1993). Proses eritropoiesis yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang sehingga timbul deformitas pada tulang. Pada sumsum tulang, akibat eritropoiesis yang masif, sel-sel eritroid akan memenuhi rongga sumsum tulang atau terjadi hiperplasia sumsum tulang yang menyebabkan desakan sehingga terjadi deformitas tulang terutama pada tulang wajah. Pada tulang tulang frontal, parietal, zigomatikus dan maksila menonjol hingga gigi-gigi atas nampak dan pangkal hidung depresi yang memberikan penampakan sebagai facies Cooley (Cao et al., 2002).

Foto Rontgen menunjukan penipisan tulang korteks, dan gambaran hair on end menyerupai rambut berdiri potongan pendek (Riyanti & Maskoen, 2005)

Penderita thalasemia beta mayor mengalami perubahan pada tulang-tulang. Perubahan ini merupakan konsekuensi ekspansi dan distorsi tulang dari dalam. Perubahan yang dapat dilihat pada rongent foto adalah penipisan korteks tulang. Pada tengkorak menunjukkan gambaran hair on end berupa permukaan berbentuk seperti jarum yang disebakan oleh pengikisan pada korteks.

Perubahan ini dapat dilihat pada anak usia 4 tahun yang tidak pernah menerima transfusi darah (Raz, 2009). Karakteristik jaringan lunak rongga mulut pada penderita thalasemia beta mayor

Perubahan jaringan lunak rongga mulut terdiri atas bibir yang inkompeten, mukosa dan gingiva yang pucat atau kuning (jaundice), sore tongue (sakit atau luka pada lidah) dan jumlah saliva yang berkurang. Perubahan ini dipengaruhi oleh anemia yang berat, defisiensi asam fosfat dan menurunnya jumlah IgA (Raz, 2009). Bibir yang inkompeten pada penderita thalasemia berhubungan dengan maksila yang besar. Penderita memerlukan kontraksi otot untuk mencapai kontak bibir atas dan bawah pada saat mandibula dalam keadaan istirahat. Keadaan ini terjadi karena pada umunya penderita thalasemia memiliki hubungan skletal Klas II dengan prognati maksila dan overjet yang besar (Riyanti, 2008; Raz, 2009). Jumlah sel darah merah yang kurang karena anemia berat mengakibatkan warna gingiva dan mukosa menjadi pucat, serta perdarahan pada gingiva. Perdarahan ini dipengaruhi oleh adanya splenomegali yang menyebabkan trombositopenia (jumlah trombosit menurun). Pada penderita thalasemia dengan jaundice kronik menyebabkan gingiva berwarna kuning lemon. Perubahan warna ini terlihat jelas pada regio posterior palatum durum dan dasar mulut (Raz, 2009). Sore tongue dipengaruhi oleh defisiensi asam folat. Defisiensi asam folat menyebabkan gangguan metabolisme DNA. Hal ini mengakibatkan perubahan morfologi inti sel seperti eritrosit sehingga terjadi penurunan hemoglobin. Tanda-tanda klinis defisiensi asam folat biasanya terlihat letih, lemah, sakit kepala, kulit pucat, mudah pngsan maupun kehilangan berat badan (Riyanti, 2008; Raz, 2009). Karakteristik struktur wajah pada penderita thalasemia beta mayor

Penderita thalasemia mengalami overgrowth maksila dalam 3 dataran yang dipengaruhi oleh pelebaran sumsum tulang di daerah zygoma. Komposisi tulang di daerah zygoma lebih

dominan disusun tulang konselus yang banyak mengandung sumsum tulang sehingga mudah mengalami pembesaran (hiperplasi). Pembesaran sumsum tulang lebih sering di maksila daripada mandibula. Pembesaran maksila berhubungan dengan kadar hemoglobin penderita, semakin rendah kadar hemoglobin maka pembesaran maksila akan semakin parah (Raz, 2009).

Gambaran penderita thalasemia dengan wajah facies coley (Riyanti, 2008)

Fenomena facies Cooley (Gambar 5) menunjukkan tingkat hiperaktif eritropoiesis. Eritropoietin juga merangsang jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul hepatosplenomegali. Akibat lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar 2-5 gram pertahun (Cao et al., 2002). Hiperplasi zygoma menghasilkan karakteristik wajah yang disebut chipmunk facies disertai pembesaran maksila, tulang pipi menonjol ke depan, pangkal hidung terlihat masuk dan jarak antar kedua mata terlihat lebar sehingga menghasilkan penampilan wajah mongoloid. Pembesaran maksila ini mengakibatkan ukuran rahang tidak seimbang dengan ukuran gigi, sehingga terjadi diastema antar gigi (Beumaputra & Suparwitri, 2008; Riyanti, 2008; Raz, 2009). Sedangkan pada mandibula juga mengalami pembesaran sumsum tulang pada daerah posterior dan menimbulkan diastema di daerah tersebut. Pembesaran dan penipisan tulang kortikal berhubungan dengan kadar hemoglobin penderita. Semakin rendah kadar hemoglobin maka

penipisan tulang akan semakin parah. Ada juga penderita thalasemia beta mayor memiliki rotasi mandibula yang normal atau rotasi ke belakang dan ke bawah (Riyanti, 2008). Penderita thalasemia beta mayor dapat memiliki mandibula yang atropi. Perubahan ini dipengaruhi oleh fusi yang terlalu dini pada sutura occipital. Kondilus mandibula yang merupakan pusat pertumbuhan dapat terlibat dalam fusi yang terlalu dini pada

suturaoccipital yang dapat menghambat pertumbuhan mandibula terhadap struktur anterior maksilofasial (Raz, 2009). Karakteristik susunan gigi-geligi pada penderita thalasemia beta mayor

Pada penderita thalasemia dapat dijumpai kelainan susunan gigi. Gigi-geligi penderita thalasemia beta mayor menunjukkan protusi, flaring dan spacing pada gigi insisivus rahang atas. Kelainan susunan ini disebabkan oleh kehilangan prematur gigi sulung atau persistensi gigi sulung. Kehilangan prematur gigi sulung dapat menyebabkan maloklusi (Beumaputra & Suparwitri, 2008; Raz, 2009). Pada penderita thalasemia rentan terhadap karies karena jumlah IgA pada saliva sedikit. Hal ini mengakibatkan fungsi barier saliva berkurang dan dijumpai Streptococcus mutansdalam jumlah yang banyak yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya karies. Selain itu, oral hygiene yang buruk dan diet juga mempengaruhi timbulnya kaies, sehingga dibutuhkan perawatan preventif dan motivasi untuk menjaga oral hygiene. Penderita thalasemia beta mayor memiliki maksila yang overgrowth sehingga

menyebabkan gigi anterior maksila mengalami maloklusi berat dan gigi insisif rahang atas yang tumbuh protrusi (Riyanti & Maskoen, 2005). Selain itu, penderita thalasemia beta mayor juga mengalami hypoxemia (oksigen dalam darah menurun) kronik. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, penderita lebih sering menggunakan pernafasan melalui mulut. Kebiasaan bernafat melalui mulut mengakibatkan rotasi mandibula ke bawah dan ke belakangan sehingga terjadi openbite anterior (Raz, 2009).

Anda mungkin juga menyukai