Disusun Oleh :
PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia merupakan penyakit kronis yang terjadi pada anak-anak dengan rentang
usia 0 bulan sampai dengan 18 tahun. Penyakit Thalasemia merupakan salah satu penyakit
genetik tersering di dunia, Penyakit genetik ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum
tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts &
Mandleco dalam Safitri, 2015). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada
di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong dalam Safitri, 2015), kelainan hemoglobin ini
yang menyebabkan kehancuran sel darah merah yang membuat seseorang masuk kedalam
keadaan anemia. Talasemia sampai saat ini belum bisa disembuhkan dimana pasien
memerlukan perawatan seumur hidupnya. Penderita talasemia tergantung pada transfusi
darah serta desferal seumur hidup. Kondisi inilah yang mengharuskan pasien thalasemia
masuk rumah sakit untuk menjalani transfuse dan perawatan dalam frekuwensi yang
sering.
WHO ( World Heart Organization ) menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%)
membawa genetic Thalasemia. Talasemia merupakan salah satu penyakit akibat kelainan
genetik. Berdasarkan data terdapat sekitar 7 % populasi dunia sebagai pembawa sifat
Talassemia dengan kematian sekitar 50.000 sampai 100.000 anak dimana 80% terjadi di
negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang berada dalam sabuk talasemia
dengan prevalensi karier talasemia mencapai sekitar 3,8 % dari seluruh populasi.
Berdasarkan data dari yayasan talasemia Indonesia, terjadi peningkatan kasus talasemia
yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga tahun 2018 (8761) (P2PTM Kemenkes
RI, tahun 2019)
Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada anaknya.
Anak yang mewarisi gen talasemia dari salah satu orang tua dan gen normal orang tua lain
adalah seorang pembawa (carriers). Anak yang mewarisi gen talasemia dari kedua orang
tuanya akan menderita talasemia sedang sampai berat ( Muncie & Camphell,2009).
Belum ada obat untuk menyembuhkan pasien thalasemia. Menurut Wong 2009,
terapi supportif bertujuan mempertahankan kadar Hb yang cukup untuk mencegah
ekspansi sumsum tulang dan deformitas tulang yang diakibatkannya, serta menyediakan
eritrosit dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas fisik yang
normal. Transfusi darah diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 gr% atau bila anak terlihat
lemah dan tidak nafsu makan (Ngastiyah,2005). Perawatan pasien thalasemia di rumah
sakit tidak hanya melalui tindakan kuratif atau pengobatan tetapi juga carative care atau
tindakan keperawatan. Perawat memiliki peran dalam proses pemberian asuhan
keperawatan selama pasien dirawat di rumah sakit.
Sesuai dengan penjelasan dan pernyataan diatas, kelompok berminat untuk
membuat laporan kasus seminar untuk tugas akhir siklus keperawatan anak yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Thalassemia di Ruang HCU Instalasi anak
Rumah Sakit Umum Pusat DR. M. Djamil Padang tahun 2020”.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit thalasemia ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit thalasemia ?
3. Bagaimana penatalaksanaan penyakit thalasemia ?
C. Tujuan masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui konsep tentang penyakit thalasemia
2. Mengetahui asuhan keperawatan tentang thalasemia
2. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi penyakit thalasemia
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. dimana
terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Kerusakan tersebut karena hemoglobin yang
tidak normal (hemoglobinopatia)
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara
resesif, ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin, dimana terjadi
kerusakan sel darah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi kurang
dari 120 hari ( Yuwono, 2012).
Thalasemia merupak kelompok heterogen anemia hemolitik yang ditandai oleh
penurunan kecepatan sintesis satu rantai polipeptida hemoglobin atau lebih yang
diklasifikasikan menurut rantai yang terkena (alfa, beta, gamma) dalam dua kategori
mayor adalah alfa-thalasemia dan beta-thalasemia pada penurunan kecepatan sintesis
rantai alfa hemoglobin (Dorlan, 2010)
B. ETIOLOGI
Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot). Ketidakseimbangan dalam rantai
protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin,
disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara resesif dari kedua orang
tua.
Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur eritrosit menjadi
lebih pendek (normal 100-120 hari). Umur eritrosit ada yang 6 minggu, 8 minggu
bahkan pada kasus yang berat umur eritosit bisa hanya 3 minggu. Pada talasemia,
letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar
dengan jenis asam amino lainnya.
C. PATOFISIOLOGI
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer
adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi
asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis
merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam
usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis
(Ngatiah, 2010).
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpa
dan dua rantai beta. Pada Beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai Beta
dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa
oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkatkan dalam rantai alpa, tetapi rantai
Beta memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektive.
Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal
ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis. Kelebihan pada rantai alpa pada thalasemia Beta dan Gama ditemukan
pada thalasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel
eritrosit. Globin intra-eritrositk yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak
sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis (Suriadi,2015)
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang
lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi
eritropoitik aktif. Kompensator produksi RBC terus menerus pada suatu dasar kronik,
dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan distruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
D. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya
gejala klinis : mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara
tingkatan tersebut sering tidak jelas (Abdoerahman, 2005)
1. Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak
dapat hidup tanpa ditransfusi. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena
penghancuran sel darah merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan
kelebihan beban besi. Limpa yang membesar meningkatkan kebutuhan darah
dengan menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling) dan
dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat
transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid,
dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta
maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak
sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering
mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat
penimbunan besi dalam jaringan kulit.
2. Thalasemia intermedia
Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia
mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl) Gejala deformitas tulang,
hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan gambaran
kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
3. Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia
mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
E. TERAPI
Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan
secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan
komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah,
splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen.
Pengobatan komplikasi meliputi mencegah kelebihan dan penimbunan besi,
pemberian kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari
untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja.
Vitamin E 200-400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi
harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap bulannya.
Terdapat tiga standar perawatan umum untuk Thalasemia tingkat menengah atau
berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan chelation, serta menggunakan suplemen
asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah dengan transplantasi sum-
sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Children's Hospital &
Research Center Oakland,2005).
2.1. Transfusi darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini
merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita Thalasemia sedang
atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan
sel darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan
tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120
hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta Thalasemia
intermedia, transfusi darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin.
Sedangkan untuk beta Thalasemia mayor (Cooley Anemia) harus dilakukan
secara teratur (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2005).
2.2. Terapi Khelasi Besi (IronChelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya
protein. Apabila melakukan transfusi darah secara teratur dapat
mengakibatkan penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini dapat merusak
hati, jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi
khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh.
Terdapat dua obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi besi menurut
National Hearth Lung and Blood Institute (2008) yaitu :
a. Deferoxamine
Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui
bawah kulit secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan
pompa kecil yang digunakan dalam kurun waktu semalam. Terapi
ini memakan waktu lama dan sedikit memberikan rasa sakit. Efek
samping dari pengobatan ini dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan dan pendengaran.
b. Deferasirox
Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek
sampingnya adalah sakit kepala, mual,muntah, diare, sakit sendi, dan
kelelahan.
2.3 Suplemen AsamFolat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel
darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping
melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
2.4 Transplantasi sum-sum tulang belakang
Bone Marrow Transplantation (BMT) sejak tahun 1900 telah dilakukan.
Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel-sel
induk yang rusak. Sel-sel induk adalah sel- sel di dalam sumsum tulang
yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah satu-
satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun, memiliki
kendala karena hanya sejumlah kecil orang yang dapat menemukan pasangan
yang baik antara donor dan resipiennya (Okam,2001).
2.5 Pendonoran darah tali pusat (CordBlood)
Cord blood adalah darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta.
Seperti tulang sumsum, itu adalah sumber kaya sel induk, bangunan blok dari
sistem kekebalan tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran sumsum
tulang, darah tali pusat non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan relatif
sederhana.
F. KLASIFIKASI THALASEMIA
1. Thalassemia minor
Pada talasemia β minor, terdapat sebuah gen globin β yang normal dan sebuah
gen abnormal. Elektroforesis hemoglobin (Hb) normal, tetapi hemoglobin A2
(hemoglobin radimeter yang tidak diketahui fungsinya) meningkat dari 2% menjadi
4-6%. Pada talasemia α minor, elektroforesis Hb dan kadar HbA2 normal. Dianosis
ditegakkan dengan menyingkirkan talasemia β minor dan defisiensi besi. Kedua
keadaan minor ini mengalami anemia ringan (Hb 10.0-12.0 g/dL dan MCV = 65- 70
fL). Pasangan dari orang-orang dengan talasemia minor harus diperiksa. Karena
kerier minor pada kedua pasangan dapat menghasilkan keturunan dengan talasemia
mayor.
2. Thalassemia mayor
Talasemia mayor adalah penyakit yang mengancam jiwa. Talasemia mayor β
disebabkan oleh mutasi titik (kadang-kadang delesi) pada kedua gen globin β,
menyebabkan terjadinya anemia simtomatik pada usia 6-12 bulan, seiring dengan
turunnya kadar hemoglobin fetal. Anak-anak yang tidak diterapi memiliki postur
tubuh yang kurus, mengalami penebalan tulang tengkorak, splenomegali, ulkus pada
kaki, dan gambaran patognomonik pada foto tengkorak.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia mikrositik berat, terdapat sel
terget dan sel darah merah berinti pada darah perifer, dan titik terdapat HbA.
Transfusi darah, untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal dan menekan
produksi sel darah merah Kadar hemoglobin normal dan menekan produksi sel darah
merah abnormal, akan menghasilkan perkembangan fisik yang normal. Kelebihan
besi karena seringnya transfusi menyebabkan kecacatan serius dan kematian pada
usia 25 tahun, kecuali bila dicegah dengan menggunakan desferioksamin.
Kebanyakan pasien talasemia yang diterapi dengan baik bertahan sampai usia 30 dan
40 tahun. Tranplantasi sumsum tulang depat dipertimbangkan jika ditemukan donor
saudara kandung yang cocok.
Talasemia α mayor hydrops fetalis) sering kali berakhir dengan kematian
intauterin dan disebabkan oleh delesi keempat gen globin α. Kadang-kadang,
diagnosis ditegakkan lebih awal, jika transfusi darah intrauterin dapat
menyelamatkan hidup. Transfusi seumur hidup penting seperti pada talasemia β
3. Talasemia intermedia
Tingkat keparahan dari talasemia berada diantara talasemia minor dan
talasemia mayor. Beberapa kelainan genetik yang berada mendasari keadaan ini.
Yang paling sering adalah talasemia β homozigot di mana satu atau kedua gen masih
memproduksi sejumlah kecil HbA. Delesi pada tiga dari empat gen globin α
(penyakit HbH) menyebabkan gambaran serupa, dengan anemia yang agak berat
sekitar 7-9 s/dL dan splenomegali. Secara definisi, penderita talasemia intermedia
tidak tergantung kepada transfusi. Splenektomi dapat dilakukan untuk mengurangi
anemia (Patrick, 2005)
H. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita thalassemia :
1) Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak jantung yang
tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita thalasemia
beta mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa fungsi
jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh untuk memeriksa konduksi
aliran listrik jantung menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis
jantung. Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat dilakukan dengan
terapi khelasi yang lebih menyeluruh dan mengonsumsi obat penghambat enzim
konversi angiotensin.
2) Komplikasi pada Tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat tubuh
kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri persendian dan tulang
b. Osteoporosis
c. Kelainan bentuk tulang
d. Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah.
3) Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel darah
yang memiliki bentuk tidak normal dan berakibat kepada meningkatnya jumlah
darah yang ada di dalam limpa, membuat limpa tumbuh lebih besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat akan
menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi terlalu aktif, serta
mulai menghancurkan sel darah yang sehat. Splenectomy atau operasi pengangkatan
limpa merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini.
Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang serius, seperti flu dan
meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak Anda telah melakukan operasi
pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa berperan dalam melawan infeksi.
Segera temui dokter jika anak Anda memiliki gejala infeksi, seperti nyeri otot dan
demam, karena bisa berakibat fatal.
4) Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan terjadinya
beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis hati atau penyakit
degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal menjadi rusak, lalu digantikan oleh
jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena itu, penderita thalassemia dianjurkan
untuk memeriksa fungsi hati tiap tiga bulan sekali.
Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat antivirus,
sedangkan mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat dilakukan terapi
khelasi.
5) Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif terhadap zat
besi. Para penderita thalassemia beta mayor, walaupun telah melakukan terapi
khelasi, dapat mengalami gangguan sistem hormon.Perawatan dengan terapi
pergantian hormon mungkin diperlukan untuk mengatasi pertumbuhan dan masa
pubertas yang terhambat akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa
komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat terjadi usai pubertas seperti berikut
ini:
6. Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
7. Pankreas – diabetes
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan anak-
anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para remaja yang
sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu tahun sekali.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan
apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang
berguna untuk skrining
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-
pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia <
kontrol < spherositosis (Maureen,1999). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai
alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan
false negative rate 8.53% (Maureen,1999).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Maureen, 1999).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti
0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan
MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan Thalassemia β .
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh
sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke
Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit
meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi
pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut.
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%,
Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis
Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%,
Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S
dan Hb J.
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb
C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi
dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dengan masalah thaasemia pada anak ( Wilkinson, 2007)
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurangnya
suplai oksigen dengan kebutuhan
b. Resiko perdarahan berhungan dengan rendahnya imunitas internal (nilai
trombosit rendah)
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai O2 ke
jaringan yang ditandai dengan klien mengeluh lemas dan mudah lelah
ketika beraktifitas.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan
neurologis (anemia) yang ditandai dengan kulit bersisik kehitaman
padabeberapa tempat.
e. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hemokromatesis.
f. Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan hipoksia jaringan.
g. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan menurunnya imunitas.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.A
I. IDENTITAS DATA
Nama Anak : An.A Nama Ibu : Ny.V
BB/TB : 15,5 Kg / 107 cm Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Tanggal Lahir/Usia : 14.03.2015 / 4 Th Pendidikan : Sarjana
Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam
Pendidikan Anak : Belum sekolah Alamat : Pasaman Barat
Anak ke : 1 (Pertama) Diagnosa Medis : Thalassemia B Mayor +
Susp.DBD
X X
Perempuan
Laki - Laki
14. Kulit
Tugor kulit jelek atau kembali lambat, membran mukosa kering, kulit kering, kulit
terlihat pucat
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 20 Januari 2020 pukul 09.06
Nilai Rujukan
Pemeriksaan Hasil Satuan Interpretasi
Pria Wanita
Hb 6,1 g/dL 10,2-15,2 menurun
3
Leukosit 2.350 /mm 5.000-17.000 menurun
3
Trombosit 72.000 /mm 150.000-400.000 menurun
Ht 18 % 34-48 menurun
4.000.000-5.200.000
Eritrosit 2.390.000 /uL menurun
Nilai Rujukan
Pemeriksaan Hasil Satuan Interpretasi
Pria Wanita
Hb 10,0 g/dL 10,2-15,2 menurun
Leukosit 3.020 /mm3 5.000-17.000 menurun
3
Trombosit 67.000 /mm 150.000-400.000 menurun
Ht 29 % 34-48 menurun
Nilai Rujukan
Pemeriksaan Hasil Satuan Interpretasi
Pria Wanita
Dalam batas
Hb 12,2 g/dL 10,2-15,2
normal
3
Leukosit 3.190 /mm 5.000-17.000 menurun
Trombosit 114.000 /mm3 150.000-400.000 menurun
Dalam batas
Ht 36 % 34-48
normal
DO :
Terdapat bintik merah
Pasien terlihat pucat
Konjungtiva anemis
Suhu : 37,8C
Nadi : 80x/menit
Trombosit : 72.000/mm3
Hb : 6,1 g/dl
Ht : 18 %
2. DS : Kegagalan mekanisme Defisit volume cairan
Pasien mengeluh badan terasa pengaturan dengan
lemas batasan karakteristik :
Pasien mengeluh haus penurunan tugor kulit,
membran mukosa
DO : kering, temperature
Kulit terlihat pucat tubuh meningkat,
Mukosa terlihat kering, kehilangan berat badan
Tugor kulit jelek atau kembali seketika
sedikit lambat
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 37,8C
Hb : 6,1 gr/dL
Trombosit : 72.000/mm3
Ht : 18 %
3. DS : Ketidakseimbangan Intoleransi aktivitas
Keluarga mengatakan jika antara suplai oksigen
pasien merasa badan tidak enak dengan kebutuhan,
dan merasa lemas Anemia
DO :
Pasien terlihat tirah baring di
tempat tidur dan tidak
melakukan aktivitas
Hb : 6,1 gr/dL
Trombosit : 72.000/mm3
Ht : 18 %
Suhu : 37,8C
Nadi 80x/menit
KU : lemah
Kebutuhan pasien dibantu oleh
keluarga.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Hari/
No. Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
Tanggal
1. Senin, 20 Resiko perdarahan Pencegahan perdarahan S: Dzikra
januari 2020 berhubungan dengan Memonitor terjadinya risiko perdarahan Keluarga mengatakan ada bintik merah dan Dara
Sore Koagulopati inheren pada pasien di lengan kiri, dan keluarga pasien
(trombositopenia) Mencatat nilai hemoglobin dan mengatakan jika tidak ada riwayat gusi
hematokrit berdarah, pasien terlihat pucat sudah 2
Hb :6,1 g/dL
Ht : 18% hari SMRS, dan sudah demam sejak 3
Monitor tanda dan gejala pendarahan hari SMRS
Terdapat petekie di lengan kiri,
Monitor tanda-tanda vital ortostatik,
termasuk tekanan darah O:
Nadi : 80x/menit pasien terlihat pucat
Suhu : 37,8C
Kolaborasi pemberian PRC 50 cc Konjungtiva anemis
Menganjurkan orang tua untuk gunakan Hb :6,1 g/dL
sikat gigi yang berbulu lembut untuk Ht : 18%
A:
Resiko pendarahan
P:
Intervensi dilanjutkan
Monitor TTV
Monitor cairan
Kolaborasi pemberian PRC bila perlu
Selasa/21 Defisit volume cairan Manajemen hipovolemia S: Latifa
Menimbang berat badan
Januari 2020 berhubungan dengan Ibu mengatakan jika pasien masih dan
BB sekarang 15,5kg
Pagi Kegagalan mekanisme BB sebelum 16,5 kg demam, ibu mengatakan tidak ada gusi Winda
pengaturan dengan Memonitor TTV berdarah, pasien mengeluh lemas
TD : 90/65mmHg
batasan karakteristik : Nadi :90 x/menit
penurunan tugor kulit, RR : 25 x/menit O:
Suhu : 37,7C
membran mukosa kering, Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi Pasien terlihat pucat
temperature tubuh pasien mengatakan haus, tugor kulit Konjungtiva anemis
meningkat, kehilangan kembali lambat Tugor kulit jelek
Memonitor asupan dan pengeluaran
berat badan seketika Ht : 18%
Kebutuhan cairan Hb : 6,1 g/dL
100cc/kgBB/hari = 1550
Kenaikan suhu IWL 200 x (37,7-36,8) Trombosit : 75.000/mm3
= 180 Suhu : 38C
Jadi kebutuhan cairan = 1550+ 180 = Membran mukoca pucat dan kering
1730 / 3 =577 / 8 jam Pasien terpasang infus KA-EN 1B
Input :
KAEN 1B 1 : 500 cc/8 jam Pasien tranfusi PRC
PRC : 50 cc
Minum air putih 100 cc
Output : A:
BAK 400 cc Defisit volume cairan
IWL : (30-4 tahun)x15,5kg = 403/3 =
134/ 8 jam
Balance = 600 – 534 = + 66 P:
Monitor adanya bukti laboraturium Intervensi dilanjutkan
terkait dengan kehilangan darah Monitor TTV
Ht : 18%
Hb : 6,1 g/dL Monitor intake output
Trombosit : 75.000/mm3 Monitor hasil labor
Menginstruksikan keluarga pasien
Kolaborasi pemberian PRC bila perlu
untuk memenuhi asupan cairan oral
dengan minum air putih setiap 2 jam
Menjaga kepatenan akses IV
Kolaborasi pemberian KA-EN 1B
makro 20 tts/menit
Memberi instruksi pada keluarga/pasien
untuk mencatat intake dan output
dengan tepat
Kolaborasi pemberian PRC 100 cc
Selasa/21 Intoleransi Aktifitas Manajemen Energi S: Dzikra
mengkaji status fisiologis pasien
Januari 2020 berhubungan dengan Ibu mengatakan jika pasien masih dan dara
ibu pasien mengatakan jika pasien
Sore Ketidakseimbangan demam, ibu mengatakan pasien
mengeluh lemas dan sakit kepala,
antara suplai oksigen Memonitor intake/asupan nutrisi untuk mengeluh lemas
dengan kebutuhan, dan mengetahui sumber energi yang
Anemia adekuat O:
Infus : 500cc/8jam Pasien terlihat pucat
Air putih : 200 cc
Makanan biasa = 1300kkal Konjungtiva anemis
Tugor kulit jelek
Monitor/catat waktu dan lama
Ht : 18%
istirahat/tidur pasien Hb : 6,1 g/dL
Pasien tidur siang 3 jam, dimalam hari
Trombosit : 75.000/mm3
pasien sering terjaga karena demam,
Suhu : 37,5C
Memonitor lokasi dan sumber Membran mukoca pucat dan kering
ketidaknyamanan/nyeri yang dialami Pasien terpasang infus KA-EN 1B
pasien selama aktivitas Post tranfusi PRC
A:
Defisit volume cairan
P:
Intervensi dilanjutkan
Monitor TTV
Monitor intake output
Monitor hasil labor
Kolaborasi pemberian PRC bila perlu
Selasa/21 Defisit volume cairan Manajemen hipovolemia S:
Menimbang berat badan
Januari 2020 berhubungan dengan Ibu mengatakan jika pasien masih
BB sekarang 15,5kg
Sore Kegagalan mekanisme BB sebelum 16,5 kg demam dan mengeluh haus terus, ibu
pengaturan dengan Memonitor TTV pasien mengatakan pasien mengeluh
TD : 86/60mmHg
batasan karakteristik : Nadi :87 x/menit lemas
penurunan tugor kulit, RR : 27 x/menit
Suhu : 37,5C
membran mukosa kering, Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi O:
temperature tubuh pasien mengatakan haus, tugor kulit Pasien terlihat pucat
meningkat, kehilangan kembali lambat Konjungtiva anemis
Memonitor asupan dan pengeluaran
berat badan seketika Kebutuhan cairan Tugor kulit jelek
100cc/kgBB/hari = 1550 Ht : 18%
Kenaikan suhu IWL 200 x (37,7-36,8) Hb : 6,1 g/dL
= 180 Trombosit : 75.000/mm3
Jadi kebutuhan cairan = 1550+ 180 =
Suhu : 37,5C
1730 / 3 =577 / 8 jam
Membran mukoca pucat dan kering
Input :
KAEN 1B 1 : 500 cc/8 jam Pasien terpasang infus KA-EN 1B
Minum air putih 200 cc
Output :
BAK 400 cc A:
IWL : (30-4 tahun)x15,5kg = 403/3 =
Defisit volume cairan
134/ 8 jam
Balance = 700 – 534 = + 166
Monitor adanya bukti laboraturium P:
terkait dengan kehilangan darah Intervensi dilanjutkan
Ht : 18% Monitor TTV
Hb : 6,1 g/dL
Trombosit : 75.000/mm3 Monitor intake output
Menginstruksikan keluarga pasien Monitor hasil labor
untuk memenuhi asupan cairan oral Kolaborasi pemberian PRC bila perlu
dengan minum air putih setiap 2 jam
Menjaga kepatenan akses IV
Kolaborasi pemberian KA-EN 1B
makro 20 tts/menit
Memberi instruksi pada keluarga/pasien
untuk mencatat intake dan output
dengan tepat
3. Rabu/22 Resiko perdarahan Pencegahan perdarahan S: Dzikra
Januari 2020 berhubungan dengan Memonitor terjadinya risiko perdarahan Ibu mengatakan jika pasien masih dan
Pagi Koagulopati inheren pada pasien demam, ibu mengatakan tidak ada gusi Winda
Ibu pasien mengatakan jika tidak ada
(trombositopenia) berdarah, pasien mengeluh lemas
pendarahan pada gusi anaknya,
Mencatat nilai hemoglobin dan
O:
hematokrit
Hb :10 g/dL Pasien terlihat pucat
Ht : 29% Konjungtiva anemis
Trombosit : 67.000/mm3
Monitor TTV Tugor kulit jelek
Nadi : 97x/menit Ht : 29%
Suhu : 37,80C
Kolaborasi pemberian PRC 50 cc Hb :10 g/dL
Menganjurkan orang tua untuk gunakan Trombosit : 67.000/mm3
A:
Resiko pendarahan
P:
Intervensi dilanjutkan
Monitor TTV
Monitor cairan
Kolaborasi pemberian PRC bila perlu
4.. Kamis/23 Resiko perdarahan Pencegahan perdarahan S: Dara dan
januari 2020 berhubungan dengan Memonitor terjadinya risiko perdarahan Ibu mengatakan jika pasien masih Winda
pagi Koagulopati inheren pada pasien demam, ibu mengatakan tidak ada gusi
Ibu pasien mengatakan jika tidak ada
(trombositopenia) berdarah, pasien mengeluh lemas
pendarahan pada gusi anaknya, peteki
tidak tampak O:
Mencatat nilai hemoglobin dan
Pasien terlihat pucat
hematokrit
Hb :12,2 g/dL Konjungtiva anemis
Ht : 36% Tugor kulit jelek
Trombosit : 114.000/mm3
Monitor TTV Ht : 36%
Nadi : 95x/menit Hb :12,2 g/dL
Suhu : 370C Trombosit : 114.000/mm3
Menganjurkan orang tua untuk gunakan
Suhu : 37C
sikat gigi yang berbulu lembut untuk
Membran mukoca pucat dan kering
perawatan rongga mulut
Pasien terpasang infus KA-EN 1B
A:
Resiko pendarahan
P:
Masalah teratasi
Monitor TTV
Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada An.A dengan
diagnosa medis thalasemia mayor dan susp DBD di ruang rawat kelas 1D Instalasi Anak
RSUP Dr.M.Djamil Padang, maka dalam bab ini penulis akan membahas kesenjangan
antara teori dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus. Penulis
juga akan membahas kesulitan yang ditemukan dalam memberikan asuhan keperawatan
terhadap An.A dengan thalasemia dan susp DBD dalam penyusunan asuhan keperawatan
kami merencanakan keperawatan yang meliputi pengkajian perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi dengan uraian sebagai berikut :
A. Diagnosa Keperawatan
Tanda-tanda yang dikenali pada awal proses diagnostik dapat dipahami
hanya jika ada penjelasan yang masuk akal untuk tanda-tanda tersebut dengan
konteks suatu situasi, ini adalah proses berfikir aktif ketika perawat mengeksplorasi
pengetahuan dalam memorinya untuk mendapatkan kemungkinan penjelasan data
(Nanda,Nic &NOC,2007).
1. Diagnosa keperawatan yang muncul
a. Resiko perdarahan
Resiko perdarahan adalah berisiko mengalami kehilangan darah baik
internal (terjadi didalam tubuh) maupun eksternal (terjadi didalam tubuh).
Diagnosa tersebut ditegakkan bila ada faktor resiko yang mendukung yaitu
koagulopati inheren (trombositopenia), proses keganasan. Alasan diagnosa
tersebut diangkat karena saat pengkajian didapatkan data subjektif yaitu
keluarga mengatakan terdapat bintik merah dilengan kiri, pasien terlihat pusat
sudah dua hari dan saat pengkajian pasien masih terlihat pucat, dan data
objektif yaitu hasil labor bahwa Hb : 6,1 g/dL, Ht : 18%, Trombosit :
72.000/mm3, terdapat bintik merah, pasien terlihat pucat.
Diagnosa tersebut penulis prioritaskan karena keluhan yang dirasakan
pasien saat itu dan apabila masalah itu tidak segera ditangani akan
menimbulkan komplikasi lain dan ketidaknyamanan pada pasien dan bisa
mengganggu aktifitas pasien.
b. Defisit volume cairan
Kekurangan volume cairan adalah penurunan cairan
intravaskulr,interstitial dan atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi,
kehilangan cairan saja tanpa perubahan pada natrium. Diagnosa tersebut dapat
ditegakkan jika ada data batasan karakteristik yaitu penurunan tugor kulit,
membran mukosa kering, temperature tubuh meningkat, kehilangan berat
badan seketika. Alasan diagnosa tersebut diangkat karena ditemukan tanda-
tanda yang mendukung yaitu secara subjektif yaitu, pasien mengeluh haus,
pasien, ibu pasien mengatakan jika badan anaknya terasa demam, dan data
objektif yaitu : pasien terlihat gelisah, tugor kulit kembali lambat, membran
mukosa kering, suhu tubuh meningkat. Penulis tidak memprioritaskan masalah
tersebut karena tidak mengancam kehidupan pasien. Tetapi jika tidak
ditegakkan pasien bisa mengalami dehidrasi.
c. Intolerasi aktifitas
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau
fisiologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktivitas diminta atau sehari-
hari. Diagnosa tersebut dapat ditegakkan jika ada data batasan karakteristik
yaitu respon abnormal dan tekanan atau nadi terhadap aktivitas, adanya
ketidaknyamanan saat beraktivitas.
Alasan diagnosa tersebut ditegakkan karena ditemukan tanda-tanda
yang mendukung secara subjektif yaitu keluarga mengatakan jika pasien
merasa badannya lemas, tidak nyaman saat beraktifitas, badan terasa
tidaknyaman dan data objektif yaitu pasien terlihat tirah baring ditempat tidur,
aktifitas dibantu keluarga, terpasang IVFD KA-EN 1B 20 tts/i. Penulis tidak
memprioritaskan karena tidak mengancam kehidupan pasien. Tetapi jika tidak
ditegakkan pasien tidak dapat mandiri dalam beraktifitas.
2. Diagnose keperawatan yang tidak mucul namun ada dalam tinjuan teori.
a. pola nafas tidak efektif
Pola napas tidak efektif merupakan inspirasi dan atau/ ekspirasi yang tidak
memberikan ventilasi yang adekuat. Diagnosa tersebut dapat di tegakan apabila
terdapat data satu atau lebih yang antara pola napas abnormal, penggunaan otot
bantu napas, bradipnea, penurunan fase ekspirasi dan inspirasi, dispnea,
pernapasan cuping hidung. Pada pengkajian penulis tidak menemukan data-
data pendukung seperti diatas sehingga diagnose tersebut tidak di tegakkan.
b. Resiko gangguan tumbuh kembang
Resiko gangguan tumbuh kembang adalah berisiko terlambat 25% atau
lebih pada satu biidang atau lebih seperti sosial atau perilaku mengontrol diri
atau dalam hal kognisi, bahasa, atau kemampuan motorik kasar atau halus.
Diagnosa tersebut dapat di tegakan apabila terdapat data satu atau lebih yang
antara tidak mampu melakukan keterampilan atau perilaku khas sesuai usia,
pertumbuhan fisik terganggu, respon sosial terlambat, nafsu makan menurun,
lesu dan mudah marah. Pada pengkajian penulis tidak menemukan data-data
pendukung seperti diatas sehingga diagnose tersebut tidak di tegakkan.
B. Implementasi
1. Resiko perdarahan
Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah mengkaji keadaan
umum, monitor hasil laboratorium, mengevaluasi tanda-tanda vital, monitor intake
dan output, kalaborasi pemberian cairan IV, kolaborasi pemberian produk-produk
pengganti darah. Kekuatan dari tindakan ini adalah dilakukan dengan baik, karena
adanya keterlibatan keluarga. Kelemahannya adalah terkadang melakukan
pemberian produk darah suhu tubuh pasien meningkat.
2. Deficit volume cairan
Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah mengkaji status
mental, tugor kulit, mengevaluasi tanda-tanda vital, monitor intake dan output,
kalaborasi pemberian cairan IV. Kekutan dari tindakan ini adalah bekerja sama
dalam keseimbangan cairan . Kelemahannya adalah terkadang klien hanya sedikit
menghabiskan asupan cairan baik itu minum maupun makannya.
3. Intoleransi aktifitas
Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah menentukan
penyebab intoleransi aktivitan ( fisik,psikologis), monitor dan catat kemampuan
untuk mentoleransi aktivitas, monitor intake nutrisi untuk memastikan kecukupan
sumber energi (Nanda Nic & Noc, 2007). Kekuatan dari tindakan ini adalah
dilakukan dengan baik, karena adanya keterlibatan keluarga. Kelemahannya adalah
tidak semua anjuran yang diberikan dapat dilakukan oleh pasien.
C. Evaluasi
1. Resiko perdarahan
Kriteria hasil untuk diagnosa diatas adalah hasil laboratorium pasien dalam batas
normal, tanda-tanda vital pasien dalam batas normal, tidak ada tanda gejala
pendarahan eksternal.Setelah dilakukan tindakan keperawatan diperoleh hasil
sobyektif: kelurga pasien mengatakan jika pasien sudah tidak pucat lagi obyektif:
Pasien tampak lebih baik. Hal tersebut menandakan diagnosa pertama teratasi
,sehingga tindakan tidak perlu dilanjutkan.
2. Defisit volume cairan
Kriteria hasil untuk diagnosa diatas adalah klien tidak memiliki tanda dan gejala
dari dehidrasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diperoleh hasil sobyektif:
keluarga pasien mengatakan jika pasien sudah tidak demam lagi, sudah tidak pucat
lagi dan tidak merasa haus lagi, obyektif: Pasien tampak lebih baik. Hal tersebut
menandakan diagnosa kedua teratasi sebagian ,sehingga tindakan perlu dilanjutkan
sampai keseimbagan cairan intake dan output pasien dalam batas normal
3. Intoleransi Aktifitas
Kriteria hasil untuk diagnosa diatas adalah klien dapat beraktivitas mandiri tanpa
bantuan keluarga Setelah dilakukan tindakan keperawatan diperoleh hasil
sobyektif: Pasien mengatakan sedikit demi sedikit sudah bisa dilakukan dengan
mandiri, obyektif: Pasien tampak lebih baik. Hal tersebut menandakan diagnosa
ketiga teratasi sebagian ,sihingga tindakan perlu dilanjutkan sampai pasien dapat
beraktivitas secara mandiritanpa bantuan keluarga.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan terhadap An. a1 tahun dengan diagnosa
medis tumor caput pankreas dapat disimpulkan bahwa hasil
1. Hasil pengkajian didapatkan wajah pasien tampak pucat sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, sakit kepala sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, keluarga mengatakan jika pasien mengeluh tidak enak badan, badan
terasa lemas dan ada bintik merah dilengan kiri, tidak ada gusi berdarah.
BAB dalam batas normal, BAK dalam batas normal, Pemeriksaan Lab
tanggal 20 januari 2020 Hb : 6,19 g/dl, Ht : 18 %, Trombosit : 72.000 mm 3,
Leukosit : 23.500 mm3, MCU : 74 ft, MCH : 26 pg. MCHC : 35 %.
2. Keluhan yang disampaikan pasien dan menurut hasil pemeriksaan fisik
yang dilakukan maka didapatkan tiga diagnosa yaitu Resiko perdarahan
berhubungan dengan Koagulopati inheren (trombositopenia), Defisit
volume cairan berhubungan dengan Kegagalan mekanisme pengaturan
dengan batasan karakteristik : penurunan tugor kulit, membran mukosa
kering, temperature tubuh meningkat, kehilangan berat badan seketika dan
Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan, dan Anemia
3. Evaluasi dari hasil implementasi tindakan keperawatan yang diberikan
masalah untuk diagnonsa Resiko perdarahan berhubungan dengan
Koagulopati inheren (trombositopenia) teratasi, Defisit volume cairan
berhubungan dengan Kegagalan mekanisme pengaturan dengan batasan
karakteristik : penurunan tugor kulit, membran mukosa kering, temperature
tubuh meningkat, kehilangan berat badan seketika teratasi sebagian dan
Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan, dan Anemia teratasi sebagian.
B. Saran
1. Bagi pelayanan keperawatan
Hasil dari penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan cara menjadikan tugas akhir ini sebagai
implementasi tindakan keperawatan pendukung dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan thalassemia
2. Bagi institusi rumah sakit
Hasil yang diperoleh dari penulisan laporan tugas akhir ini diharapkan dapat
menjadi panduan asuhan keperawatan pada pasien thalassemia
3. Bagi institusi pendidikan
Laporan tugas akhir ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi tambahan
dalam memberikan asukah keperawatan pada pasien yang terdiagnosis
thalassemia
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman M. H, dkk (2005), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
Brooker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta
Insley, Jack. 2003. Vade-mecum Pediatri. Jakarta : EGC
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
Mitcheel, Kumar dkk. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC
Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Ngastiyah, (2010), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Pudjilestari, Indrijati. 2003. Merawat Balita Sampai Lima Tahun. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.
Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
Sullivan, Amanda. 2009. Panduan Pemeriksaan Antenatal. Jakarta : EGC
Suriadi, Rita Yuliani, (2015), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung Solo,
Jakarta.
Suryanah. 1996. Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan