Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN THALASEMIA

PADA NY.D DI RUANG SAKURA


RSUD dr.DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Disusun Oleh :
APRIANTO UNTUNG
2021-01-14901-009

YAYASAN EKAHARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI PROFESI NERS ANGKATAN IX
TAHUN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :


Nama : Aprianto Untung
NIM : 2021-01-14901-009
Program Studi : Profesi Ners
Judul : Laporan Pendahuluan Thalasemia Pada Ny.D di Ruang
Sakura RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya

Telah melakukan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan Program Profesi Ners Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :


Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Hermanto, Ners., M.Kep. Aster, S.Kep., Ners.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Asuhan
Keperawatan di Ruang Sakura RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Praktik Praklinik Keperawatan Program Studi Profesi Ners. Selain itu, Asuhan
Keperawatan ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca maupun
kami sebagai penulis. Sehingga pada waktu yang akan datang materi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan Asuhan
Keperawatan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Aster, S.Kep.,Ners Selaku Pembimbing Lahan yang telah banyak
memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian Asuhan
Keperawatan ini.
4. Bapak Hermanto, Ners., M.Kep. Selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian
Asuhan Keperawatan ini.
5. Semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis
menyelesaikan LaporanAsuhan Keperawatan ini, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk perbaikan
dimasa yang akan mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terima
kasih.

Palangka Raya, Oktober 2021

Penulis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit
2.1.1 Definisi Thalasemia
Thalasemia merupakan penyakit keturunan (kelainan genetic) akibat
kelainan sel darah merah dimana rantai globin-α atau β pembentuk hemoglobin
utama tidak terbentuk sebagian atau tidak sama sekali. Hemoglobinopati : adanya
hemoglobin abnormal yang muncul selain ketiga buah Hb normal (HbF,HbA dan
HbA2), yang mengakibatkan sel darah merah mudah pecah sehingga
membutuhkan transfusi darah rutin (P2PTM KemKes, 2017).
Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipopkromik dengan
berbagai derajat keparahan. Efek genetik yang mendasari meliputi delesi total atau
parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi atau insersi nukloetida (Behrman,
2012)
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel
darah merah mudah rusak atau umumnya lebih pendek dari sel darah normal (120
hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya
pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang dan
infeksi berulang (Hidayat, 2017).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
a. Pengertian Hemoglobin Hemoglobin merupakan pigmen yang
mengandung zat besi terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi
terutama dalam 13 pengangkutan oksigen dari paru- paru ke semua sel
jaringan tubuh.
b. Tahap Pembentukan Hb Tahap pembentukan Hb dimulai dalam
eritroblast dan terus berlangsung sampai tingkat normoblast dan
retikulosit. Dari penyelidikan dengan isotop diketahui bahwa bagian
hem dari hemoglobin terutama disintesis dari asam asetat dan glisin.
Sebagian besar sintesis ini terjadi didalam mitokondria. Langkah awal
sintesis adalah pembentukan senyawa pirol, selanjutnya 4 senyawa
pirol bersatu membentuk senyawa protoporfirin yang kemudian
berikatan dengan besi membentuk molekul hem, akhirnya keempat
molekul hem berikatan dengan satu molekul globin. Satu globin yang
disintesis dalam ribosom retikulom endoplasma membentuk Hb
( Azhar, 2011). Sintesis Hb dimulai dari suksinil koA yang dibentuk
dalam siklus krebs berikatan dengan glisin yang dipengaruhi oleh
enzim asam aminolevolinat (ALA) molekul pirol. Koenzim pada reaksi
tersebut yaitu piridoksal fosfat (vitamin B6) yang dirangsang oleh
eritropoetin, kemudian empat pirol bergabung untuk membentuk
protoporfirin IX yang kemudian bergabung dengan rantai polipeptida
panjang yang disebut globin yang disintesis di ribosom membentuk sub
unit yang disebut rantai Hb (Azhar, 2011). Pembentukan Hb dalam
sitoplasma terjadi bersamaan dengan proses pembentukan DNA dalam
inti sel. Hb merupakan unsur
terpenting dalam plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari globin,
protoporfirin dan besi. Globin dibentuk disekitar ribosom sedangkan
protoporfirin dibentuk disekitar mitokondria, besi didapat dari
transferin. Pada permulaan sel, eritrosit berinti terhadap reseptor
transferin. Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan
mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil dan
kurang mengandung Hb. Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit
berinti mengikat fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh
rendahnya kadar fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh
rendahnya kadar fe dalam darah ( Azhar, 2011).
c. Metabolisme zat besi Zat besi merupakan unsur yang penting dalam
tubuh dan hampir selalu berikatan dengan protein tertetu seperti
hemoglobin, mioglobin. Kompartemen zat besi yag terbesar dalam
tubuh adalah hemogolbin yang dalam keadaan normal mengandung
kira-kira 2 gram zat besi. Hemoglobin mengandung 0,34% berat zat
besi, dimana 1 mL eritrosit setara 1 mg zat besi. Feritin merupakan
tempat peyimpana terbesar zat besi dalam tubuh. Fungsi ferritin adalah
sebagai peyimpana zat besi terutama dalam hati, limpa, da sumsum
tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan
dapat dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat peyimpanan ferritin
terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi ferriti serum.
Pada penyakit hati akut
maupu kronis, kadar ferritin meningkat, ini disebabkan pengambilan
ferritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan ferittin dari sel
hati yang rusak. Pada penyakit keganasan, sel darah kadar ferritin
serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis ferritin oleh sel
leukemia pada keadaan infeksi dan inflamasi, terjadi gangguan
pelepasan zat besi dari sel retikuloedotelial yang mekaismenya belum
jelas, akibatya kadar ferritin intrasel dan serum meningkat. Ferritin
disintesis dalam sel retikuloedotelial dan di sekresikan ke dalam
plasma. Sintesis ferritin di pengaruhi kosentrasi cadangan besi intrasel
dan berkaitan pula dengan cadangan besi intra sel (hemosiderin). Zat
besi dalam plasma sebagian diberikan dengan transferrin, yang berfunsi
sebagai transport zat besi. Tranferrin merupakan suatu glikoprotein,
setiap molekul transferrin mengandung 2 atom fe. Zat besi yang
berikatan dengan transferrin akan terukur sebagai kadar besi serum
yang dalam keadaan normal hanya 20-45% transferrin yang jenuh
dengan zat besi, sedangkan kapasitas daya ikut transferrin seluruhnya
disebut daya ikat besi total (total iron binding capacity, TIBC) (Kiswari,
2014)
2.1.3 Etiologi
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. ditandai oleh defisiensi produksi globin pada
hemoglobin. Dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah
sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). kerusakan tersebut
karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia). Sebagian besar
penderita thalassemia terjadi karena factor turunan genetic pada sintesis
hemoglobin yang diturunkan oleh orang. Sementara Penyebab kerusakan tersebut
karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan
hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh
gangguan structural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya
pada HbS, HbF, HbD dan sebagainya, selain itu gangguan jumlah (salah
satu/beberapa) rantai globin seperti pada thalassemia. Ketidakseimbangan dalam
rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan
hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita
penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya
1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak
menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
2.1.4 Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit.
Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabilbadan Heinz,
merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang
konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar
kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. Penyebab
anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena
defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial
dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA
pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,
peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis serta proses hemolysis.
Penyebab Primer : Penyebab Sekunder :
- Sintesis Hb A< - Defisiensi asam folat
- Eritropoisis tidak efektif - Hemodelusi
- Destruksi eritrosit intramedular Mutasi DNA - Destruksi eritrosit

Produksi rantai alfa dan beta Hb berkurang

Kelainan pada eritrosit

Pengikatan O2 berkurang

Hemolisis

Thalasemia

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Suplai oksigen ke jaringan O2 dalam sel darah O2 ke ginjal menurun Perubahan pembentuk
merah menurun Tranfusi darah Tranfusi darah
berkurang ATP menurun

Ketidak seimbangan antara Fe dalam darah


Aliran darah ke organ vital Tekanan ginjal terganggu Energi yang dihasilkan
suplai O2 kejaringan dan meningkat
dan jaringan menurun Fe dalam darah meningkat menurun
kebutuhan tubuh

Pola nafas tidak Susah BAK


O2 dan nutrisi tidak Hemokromotosis Kelemahan, keletihan
efektif Hemokromotosis
ditransport secara adekuat

Hepatomegali
Splenomegali Intoleransi aktivitas
Perfusi Perifer Gangguan eliminasi urine
Tidak Efektif

Anoreksia
Resiko infeksi

Defisit Nutrisi
2.1.5 Manisfestasi Klinis
Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-gejala seperti:
badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah, denyut jantung
meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat serta permukaan
perut yang membuncit dengan pembesaran hati dan limpa Pasien Thalassemia
mayor umumnya menunjukkan gejalagejala fisik berupa hambatan pertumbuhan,
anak menjadi kurus, perut membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah
yang khas, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik,
dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang yang terlalu aktif
bekerja untuk menghasilkan sel darah merah, pada Thalassemia bisa
menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang kepala dan
wajah, selain itu anak akan mengalami pertumbuhan yang terhambat. Akibat dari
anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien akan mengalami kelebihan zat
besi yang kemudian akan tertimbun di setiap organ, terutama otot jantung, hati,
kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang dikemudian hari
akan menimbulkan komplikasi. Perubahan tulang yang paling sering terlihat
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Kepala pasien Thalassemia mayor
menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal dan pelebaran diploe (spons
tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih besar dari orang normal.

2.1.6 Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
a. Komplikasi Jantung Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat
menyebabkan penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau
detak jantung yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan
jantung. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita
thalasemia beta mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk
memeriksa fungsi jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh untuk
memeriksa konduksi aliran listrik jantung menggunakan electrocardiogram
oleh dokter spesialis jantung. Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung
dapat dilakukan dengan terapi khelasi yang lebih menyeluruh dan
mengonsumsi obat penghambat enzim konversi angiotensin.
b. Komplikasi pada Tulang Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi
tulang akibat tubuh kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi
tulang yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1) Nyeri persendian dan tulang
2) Osteoporosis
3) Kelainan bentuk tulang
4) Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah
c. Pembesaran Limpa (Splenomegali) Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit
untuk mendaur ulang sel darah yang memiliki bentuk tidak normal dan
berakibat kepada meningkatnya jumlah darah yang ada di dalam limpa,
membuat limpa tumbuh lebih besar. Transfusi darah yang bertujuan
meningkatkan sel darah yang sehat akan menjadi tidak efektif jika limpa telah
membesar dan menjadi terlalu aktif, serta mulai menghancurkan sel darah yang
sehat. Splenectomy atau operasi pengangkatan limpa merupakan satusatunya
cara untuk mengatasi masalah ini.Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi
yang serius, seperti flu dan meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak
Anda telah melakukan operasi pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa
berperan dalam melawan infeksi. Segera temui dokter jika anak Anda memiliki
gejala infeksi, seperti nyeri otot dan demam, karena bisa berakibat fatal.
d. Komplikasi pada Hati Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat
menyebabkan terjadinya beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati,
sirosis hati atau penyakit degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal
menjadi rusak, lalu digantikan oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena
itu, penderita thalassemia dianjurkan untuk memeriksa fungsi hati tiap tiga
bulan sekali. Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi
obat antivirus, sedangkan mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat
dilakukan terapi khelasi.
e. Komplikasi pada Kelenjar Hormon Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari
yang sangat sensitif terhadap zat besi. Para penderita thalassemia beta mayor,
walaupun telah melakukan terapi khelasi, dapat mengalami gangguan sistem
hormon.Perawatan dengan terapi pergantian hormon mungkin diperlukan untuk
mengatasi pertumbuhan dan masa pubertas yang terhambat akibat kelenjar
pituitari yang rusak. Ada beberapa komplikasi pada kelenjar hormon yang
dapat terjadi usai pubertas seperti berikut ini:
1) Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
2) Pankreas – diabetes
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan anak-
anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para remaja
yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu tahun sekali.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test. Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagai gangguan Thalassemia :
a. Screening test
1) Interpretasi apusan darah Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat
dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia
tetapi kurang berguna untuk skrining.
2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF) Pemeriksaan ini digunakan untuk
menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui
probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut
order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan
satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60,
false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%
3) Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik.
Maka metode matematika dibangunkan.
4) Model matematika Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah
dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis
tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin
adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan
kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai 20 abnormal
bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor
Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb dan Thalassemia mayor
Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga
mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
2) Kromatografi hemoglobin Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak
terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance
liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2
meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk
diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan
variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb
A2
3) Molecular diagnosis Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku.

2.1.8 Penatalaksaan Medis


Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta Thalasemia
cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa
pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum untuk Thalasemia tingkat
menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan chelation, serta
menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah
dengan transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan
HLA (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2012).
a. Transfusi darah Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah.
Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita
Thalasemia sedang atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui
pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin
normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus
dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan
mati. Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah
hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
Thalasemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan secara teratur
(Children's Hospital & Research Center Oakland, 2012). Terapi diberikan
secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl (Arnis,
2016)
b. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein.
Apabila melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan
penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, 22
jantung, dan organ-organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi
khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh.
Terdapat dua obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi besi
menurut National Hearth Lung and Blood Institute (2011) yaitu:
1) Deferoxamine Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui
bawah kulit secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa
kecil yang digunakan dalam kurun waktu semalam. Terapi ini memakan
waktu lama dan sedikit memberikan rasa sakit. Efek samping dari
pengobatan ini dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan
pendengaran.
2) Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya
adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, dan kelelahan.
c. Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap
diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi
besi.
1) Transplantasi sum-sum tulang belakang Bone Marrow Transplantation
(BMT) sejak tahun 1900 telah dilakukan. Darah dan sumsum
transplantasi sel induk normal akan menggantikan selsel induk yang
rusak. Sel-sel induk adalah sel- sel di dalam sumsum tulang yang
membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah satu-
satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun,
memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil orang yang dapat
menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya.
2) Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood) Cord Cord blood adalah
darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta. Seperti tulang sumsum,
itu adalah sumber kaya sel induk, bangunan blok dari sistem kekebalan
tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran sumsum tulang,
darah tali pusat non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan relatif
sederhana.
d. HLA (Human Leukocyte Antigens) Human Leukocyte Antigens (HLA)
adalah protein yang terdapat pada sel dipermukaan tubuh. Sistem
kekebalan tubuh kita mengenali sel kita sendiri sebagai 'diri' dan sel „asing'
sebagai lawan didasarkan pada protein HLA ditampilkan pada permukaan
sel kita. Pada transplantasi sumsum tulang, HLA ini dapat mencegah
terjadinya penolakan dari tubuh serta Graft versus Host Disease (GVHD).
HLA yang terbaik untuk mencegah penolakan adalah melakukan donor
secara genetik berhubungan dengan penerima.
2.2 Manajamen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, nomor
register, diagnosa medis, dan tanggal MRS.
2. Keluhan utama
Saat MRS ibu pasien mengatakan bahwa anaknya pucat dan klian tampak
lelah dan mengalami sesak nafas.
2. Riwayat penyakit sekarang
Ibu pasien mengatakan anaknya pucat, pada tanggal 8 Maret 2021 jam 80.00
wi, ibu pasien mambawa anaknya ke poli anak, kemudian dianjurkan untuk
laboraturium dan hasilnya Hb kurang (7,6 g/dl), pada jam 12.00wib pasien di
antar keruangan untuk rawat inap dan tranfusi darah
4.      Riwayat penyakit dahulu
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport
5.      Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi susunan keluarga penyakit keturunan atau menular yang pernah di
derita anggota keluarga.
6.      Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola Eliminasi urin.
Biasanya pada diare ringan fliminasnya normal, sedang (oliguri), berat
(anuria).
2) Pola Eliminasi Alvi.
Pada klien dengan thalesemia biasanya cair lebih banyak atau sering dari
kebiasaan sebelumnya.
3) Pola Nutrisi dan Metabolisme.
Pada klien terjadi peningkatan bising usus dan peristaltik usus yang
menyebabkan terganggunya absorbsi makanan akibat adanya gangguan
mobilitas usus. Sehingga menimbulkan gejala seperti rasa kram pada
perut, perut terasa mual atau tidak enak dan malas makan, maka
kebutuhan nutrisi menjadi terganggunya karena asupan yang kurang.
4) Pola istirahat tidur.
Pada umumnya pola istirahat menjadi terganggu akibat gejala yang
ditimbulkan seperti : mendadak cepat lelah, sesak nafas, nyeri perut,
sehingga Kx sering terjaga.
7.    Pemeriksaan fisik.
1) Keadaan umum
Kesadaran (baik, gelisah, Apatis/koma), GCS, Vital sign, BB dan TB.
2) Kulit, rambut, kuku
Turgor kulit (biasa – buruk), rambut tidak ada gangguan, kuku bisa sampai
pucat.
3) Kepala dan leher
4) Mata
Biasanya mulai agak cowong sampai cowong sekali.
5) Telinga, hidung, tenggorokan dan mulut
THT tidak ada gangguan tapi mulutnya (biasa – kering).
6) Thorak dan abdomen
Tidak didapatkan adanya sesak, abdomen biasanya nyeri, dan bila di
Auskulkasi akan ada bising usus dan peristaltik usus sehingga meningkat.
7) Sistem respirasi
Biasanya fungsi pernafasan lebih cepat dan dalam (pernafasan kusmaul).
8) Sistem kordovaskuler
Pada kasus ini bila terjadi renjatan hipovolemik berat denyut nadi cepat
(lebih dari 120x/menit).
9) Sistem genitourinaria
Pada kasus ini bisa terjadi kekurangan kalium menyebabkan perfusi ginjal
dapat menurun sehingga timbul anuria.
10) Sistem gastro intestinal
Yang dikaji adalah keadaan bising usus, peristaltik ususnya terjadi mual
dan muntah atau tidak, perut kembung atau tidak.
11) Sistem muskuloskeletal
Tidak ada gangguan.
12) Sistem persarafan
Pada kasus ini biasanya kesadaran gelisah, apatis / koma.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pols nafas abnormal (D.0005)
2. Perfusi perifer tidak efektif dibuktikan dengan Pengisian kapiler > 3 detik
(D.0009)
3. Intoleransi aktivitas ditandai dengan mudah lelah (D.0056)
4. Resiko gangguan integritas kulit /jaringan ditandai dengan mengalami
peningkatan terserang organisme patogenik (D.0139)
5. Defisit nutrisi ditandai dengan kebutuhan metabolisme (D.0019)
6. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan (D.0077)
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervesni Keperawatan berdasarkan Referensi SIKI:
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Menejemen Nyeri SIKI ( I.08238 Hal 201 )
berhubungan dengan keperawatan1x7jam diharapkan Diare 1. Observasi TTV
penekanan ruang klien dapat berkurang dengan kriteria 2. Kaji nyeri secara komperhensif lokasi, durasi
abdomend dibuktikan hasil SLKI (L08066) Hal.145 3. Mengatur pola tidur.
dengan pasien 1. klien tampak nyaman. 4. Ajarkan teknik relaksasi distraksi dan sentuhan
mengatakan nyeri 2. Rasa nyeri berkurang 5. Terapeutik.
dibagian perut TTV : 3. Skala nyeri normal 6. Berikan posisi yang nyaman buat pasien
TD:120/70 mmHg, . 2-3 7. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat
N : 120x/menit, S : 4. menyatakanrasa nyaman 8. Pemberian obat injeksi 1 kali 24 jam, dan berkoloburasi
36,5 C dan RR: dengan dokter/perawat
26x/menit

SDKI (D0077)Hal.172

Setelah dilakukan asuhan keperawatan


1x8 jam diharapkan masalah defisit Menejemen Nutrisi ( I.03119 Hal 200 )
2. Defisit Nutrisi nutrisi dapat teratasi, dengan kriteria 1. Indikasi makanan yang di sukai
berhubungan dengan hasil SLKI (L.03030) Hal.121 2. Monitor asupan makanan
peningkatan
1. Porsi makanan yang di habiskan 3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
kebutuhan
metabolisme di tandai meingkat 4. Berikan suplemen makan
dengan saat dilakukan 2. Perasaan cepat kenyang menurun 5. Anjurkan posisi duduk saat makan
pengkajian, ibu pasien
3. Berat badan membaik Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
mengatakan bahwa
4. IMT membaik jenis nutrient jika yang di butuhkan
nafsu makannya
berkurang, berat 5. Frekuensi makan membaik
badan menurun 6. TTV normal
minimal 10% dari 30
TD : 120/70 mmHg
kg menjadi 25 kg,
porsi makan klien N : 120 x/menit
berkurang, IMT S : 36,5 0C
klien : 13,5
RR : 26x/menit
(abnormal/ berat
badan kurang), dan
TTV : TD : 120/70
mmHg, N :
120x/menit, S :
36,50C, dan RR : 26 Setelah dilakukan tindakan
x/menit keperawatan selama 2x 24 jam
SDKI(D.0019) Hal.59 diharapkan klien dapat berinteraksi Terapi aktivitas SIKI ( I.05186 Hal 451 )
dengan baik SLKI (L.05047) Hal.107
1. Indetifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
3. Intoleransi aktivitas
Kriteria hasil kelelahan
berhubungan dengan 2. Memantau kelelahan fisik dan emisional
1. Diharapkan klien dapat bebas
gangguan kelemahan 3. Mengawasi lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
bergerak
aktivitas
ditandai dengan 2. Keadaan klien tampak baik
4. fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
dan mulai tidak terlihat lemah berpindah atau berjalan
ketidak cukupan
5. Anjurkan aktivitas secara bertahap seperti berjalan, bangun
energi untuk
dan mandi
melakukan aktivitas
sehari- hari.dan TTV :
TD : 120/70 mmHg,
N : 120x/menit, S :
36,50C, dan RR : 26
x/menit.
SDKI (D.0077)
Hal.172
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan
rencana. Hal ini terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini
perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil
atau gagal.Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang
telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana
keperawatan dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang mendukung
suatu evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah A, Dahlan A. Talasemia. Dalam: Hasan R (ed). Buku Kuliah Ilmu


Kesehatan Anak. Edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. H.
444-6.

Sumantri AG, Permono B. Talasemia. Dalam: Windiastuti E(ed). Buku Ajar


Hematologi Onkologi Anak. Edisi ke 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2011. H.65-85.

Taher A, Vichinsky E. Epidemiology of NTDT. Dalam: Capellini DM (ed). Buku


Guidlines for the management of non transfusion dependent
thalassemia. Siprus: Thalassaemia International Federation; 2013. H.2.

Viprakasit V, Origa R. Thalassaemia. Dalam: Porter J (ed). Buku Guidlines for


Management of Transfusion Dependent. Thalassaemia. Siprus:
Thalassaemia International Federation ; 2014.H.14-97.

Malakar R, Kour M, Malviya S.A. review on B-Thalassemia. Journal of


Pharmaceutical Research.2016 March 28; 5(6): 432-41.

Arimbawa M, Ariawati K. Profil Pertumbuhan, Hemoglobin Pre-transfusi, Kadar


Feritin, dan Usia Tulang Anak pada Thalassemia Mayor. Sari Pediatri.
2011; 13(4): 299-300.

Sularyo, Titi S. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Dalam: Narendra(ed).


Buku Ajar I Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi ke 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2012.H.1-3

Kyriakou A, Skordis N. Thalassemia and aberrations of growth and Puberty.


Journal of Hematology and Infectious Diseases.2011 June 7;1(1):2.

Putri DM. Gambaran Status Gizi Anak Thalassemia β Mayor di RSUP M.Djamil
[Skripsi]. Padang: Universitas Andalas; 2013.

Alfalah C, Wisnumurti AD. Pengaruh Kadar Hemoglobin Pre-tranfusi dan feritin


serum terhadap pertumbuhan fisik pasien Thalasemia β mayor.Sari
Pediatri. 2018; 19 (6) : 350.

Hay W, Levin JM. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics. 22 ed. New York:
Mc Graw Hill ; 2010.

Anda mungkin juga menyukai