Anda di halaman 1dari 50

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. SYOK Syok adalah gangguan metabolik dan hemodinamik yang besar yang ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital. Keadaan ini dapat disebabkan oleh volume darah yang tidak adekuat (syok hipovolemik), fungsi jantung tidak adekuat (syok kardiogenik) atau tonus vasomotor tidak adekuat (syok neurogenik dan syok septic).1 Berdasarkan penyebab syok dibagi menjadi:2 1. Syok hipovolemik 2. Syok kardiogenik 3. Syok septik 4. Syok anafilaksis 5. Syok neurogenik Selain itu ada yang membagi syok menjadi:3,4 1. Syok hipovolemik 2. Syok kardiogenik 3. Syok distributif. Contohnya: syok septik, syok anafilaksis dan syok neurogenik. 4. Syok obstruktif. Contohnya: Tension pneumothorax dan tamponade jantung.

B. SYOK HIPOVOLEMIK 1) Definisi Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.1,2,5
3

2) Etiologi Penyebab syok hipovolemi adalah:2,3,4,5


a.

Perdarahan 1) Hematom subkapsular hati 2) Aneurisme aorta pecah 3) Perdarahan gastrointestinal 4) Perlukaan berganda

b.

Kehilangan plasma 1) Luka bakar luas 2) Pankreatitis 3) Deskuamasi kulit

c.

Kehilangan cairan ekstraseluler 1) Muntah 2) Dehidrasi 3) Diare 4) Terapi diuretic yang sangat agresif 5) Diabetes insipidus 6) Insufisiensi adrenal

3) Patogenesis dan Patofisiologi

Gambar 1. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemi5

4) Manifestasi Klinik
a.

Anamnesis2,3,5,6 1) Riwayat penyakit/trauma Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. 2) Gejala-gejala syok berupa: a) Kulit menjadi pucat b) Ekstremitas dingin c) Diuresis berkurang d) Kelemahan e) Penglihatan kabur f) Perubahan status mental g) Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul. Pemeriksaan Fisis2,3,5,6 Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan dan pendarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Berdasarkan jumlah volume darah yang hilang, syok hipovolemi dibagi menjadi 3, yaitu:5

b.

Tabel 1. Pembagian Syok Hipovolemi5 Ringan (<20% darah) Ekstremitas dingin Waktu Sedang volume (20-40% darah) Sama seperti syok Sama seperti syok sedang Berat volume (>40% volume darah)

pengisian hipovolemi ringan hipovolemi ditambah dengan: Takikardi Takipnea Oliguria Hipotensi ortostatik

kapiler meningkat Diaporesis Vena Kolaps Cemas

ditambah dengan: Hemodinamika stabil Takikardia bergejala Hipotensi Perubahan kesadaran tak

Selain itu, terdapat klasifikasi lain yang membagi menjadi 4 kelas dan berguna untuk memastikan tanda-tanda dini syok. Perdarahan kelas I adalah ibarat seseorang yang menyumbang satu unit darah. Kelas II adalah perdarahan tanpa komplikasi, namun resusitasi cairan kristaloid diperlukan. Kelas III adalah keadaan perdarahan dengan komplikasi dimana harus diberikan infuse kristaloid dan mungkin penggantian darah. Perdarahan kelas IV harus dianggap sebagai kejadian preterminal, dan kalau tidak diambil tindakan yang sangat agresif, penderita akan meninggal dalam beberapa menit.6 (Lihat Tabel, Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah).

Tabel 2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita Semula6 KELAS I KELAS II KELAS III Kehilangan darah (mL) Kehilangan darah (% darah) Denyut nadi Tekanan darah Tekanan nadi <100 Normal Normal atau naik Frekuensi pernafasan Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti CNS/status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu (lethargic) Penggantian cairan (hukum 3:1) Pemeriksaan Laboratorium7 1) Hemoglobin dan hematokrit. Setelah perdarahan biasanya Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah Kristaloid dan darah 14-20 20-30 30-40 >35 >100 Normal Menurun >120 Menurun Menurun >140 Menurun Menurun volume Sampai 750 Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40% 750-1500 1500-2000 KELAS IV >2000

c.

hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadinya gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit diawal tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan.
8

2) Hemokonsentrasi. Syok hipovolomi akibat kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi. 3) Hiponatremia. Hiponatremia menandakan terjadinya kehilangan cairan bebas. 5. Penatalaksanaan2,3,7 Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dab diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara lain yang memungkinkan CVP ( central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan seimbang Ringer Laktat (RL) dengan jarum infuse yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemi. Pemberian 2-4 Liter dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan hemodinamik. Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin <10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfuse bergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan Packed Red Cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif. Pada keadaan yang berat atau hipovolemi berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamine, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapat kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak member manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg

dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP. Selain resusitasi cairan, saluran pernafasan harus dijaga.

Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.

6. Prognosis Prognosis syok bervariasi tergantung penyebab dan lamanya syok. Dengan demikian, 80-90% pasien yang masih muda dan sehat dengan syok hipovolemi akan bertahan hidup jika dilaksanakan manajemen syok yang tepat.8

7. Komplikasi Komplikasi dari syok hipovolemi adalah:8


a.

Kerusakan organ yang dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal

b. c. d.

Gagal ginjal Gejala sisa neurologis Kematian

C. SYOK KARDIOGENIK 1. Definisi Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel yang berat tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri cukup baik.2,7 Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama > 1 jam dimana:9
a.

Tak responsive dengan pemberian cairan saja

10

b. c.

Sekunder terhadap disfungsi jantung Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 L/menit per m2 dan tekanan baji kapiler > 18 mmHg. Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah:9

a.

Pasien dengan tekanan sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1 jam setelah pemberian inotropik

b.

Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi tetapi memenuhi criteria lain dari syok kardiogenik.

2. Epidemiologi Syok kardiogenik terjadi pada 2,9% pasien angina pectoris tak stabil dan 2,1% pasien IMA non elevasi ST. Median waktu perkembangan menjadi syok pada pasien ini adalah 76 jam sampai dengan 94 jam, dimana yang tersering setelah 48 jam. Syok lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA dengan elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner akut. Pada studi besar di negara maju, pasien IMA yang mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan kejadian syok kardiogenik yang berkisar antara 4,2% sampai 7,2%. Tingkat mortalitas masih tetap tinggi berkisar 70-100%.9

3. Etiologi Penyebab dari syok kardiogenik antara lain:2,3,9 a. Dsiritmia: 1) Bradidisritmia 2) Takidisritmia b. Faktor mekanis jantung: 1) Lesi regurgitasi a) Insufisiensi aorta atau mitralis akut b) Rupture septum interventrikularis c) Aneurisme ventrikel kiri massif 2) Lesi obstruktif
11

a) Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta congenital atau didapat dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif b) Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis, miksoma atrium kiri dan thrombus atrium. c. Miopati 1) Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium akut atau mikardium kongestif. 2) Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark ventrikel kanan. 3) Gangguan relaksasi dan kelenturan ventrikel kiri, seperti pada kardiomiopati restriktif atau hipertrofik.

4. Patogenesis dan Patofisiologi

Gambar 2. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik9

5. Manifestasi Klinik Kriteria diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial Infarction Research Units of The National Heart, Lung and Blood Institute (Unit Penelitian Infark Miokardium pada Instititut Jantung,

12

Paru dan Darah Nasional). Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal berikut ini:7 a. Tekanan arteri sistolik kurang dari 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg dibawah batas sebelumnya. b. Adanya bukti penurunan aliran darah ke system organ-organ utama: 1) Keluaran urin <20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam urine. 2) Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin dan lembab 3) Gangguan fungsi mental c. Indeks jantung <2,1 L/menit/m2. Indeks Jantung adalah curah jantung dalam liter per menit per meter persegi luas permukaan tubuh (BSA). Nilai normal rata-rata saat istirahat adalah 2,8 L/menit/m2. d. Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.

Pada anamnesis dari pasien yang dicurigai menderita syok kardiogenik dapat diperoleh keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut. Misalnya:9
a.

Infark miokard akut: nyeri dada yang akut dan kemungkinan mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.

b.

Syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung.

c.

Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke system saraf pusat.

13

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis syok kardiogenik sekaligus menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lainnya:9
a.

Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang menurun < 90 mmHg bahkan dapat turun sampai < 80 mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan yang adekuat.

b.

Denyut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi simpatis.

c.

Frekuensi pernafasan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti di paru.

d. e.

Pemeriksaan thorax akan ditemukan adanya ronki. Pada sistem kardiovaskular dapat dievaluasi: 1) Vena-vena dileher seringkali meningkat distensinya 2) Letak impuls apical dapat bergeser pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi. 3) Intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi pericardial ataupun tamponade. 4) Irama gallop dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. 5) Regurgitasi mitral atau defek septal ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbul akan sangat membantu untuk menentukan kelainan atau komplikasi mekanik yang ada. 6) Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan beberapa tanda antara lain: a) Pembesaran hati b) Pulsasi di liver akibat regurgitasi tricuspid c) Asites d) Edema perifer e) Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun

f.

Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkan terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.

14

Selanjutnya,

beberapa

pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan dalan kasus syok kardiogenik diantaranya:9


a.

Elektrokardiografi (EKG) Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk menentukan etiologi dari syok kardiogenik. Misalnya pada infark miokard akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut. Demikian pula bila lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan maka akan terlihat proses di sandapan jantung sebelah kanan (misalnya elevasi ST di sandapan V4R). begitu pula gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadi syok kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut.

b.

Foto rontgen dada Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tandatanda kongestif paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil

kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia.
c.

Ekokardiografi Modalitas pemeriksaan yang non-onvasif ini sangat banyak membantu dalam diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relative cepat, aman dan dapat dilakukan langsung di tempat tidur pasien (bedside). Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katup jantung (stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi pericardial atau tamponade.

15

d.

Pemantauan hemodinamik Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khusunya untuk memastikan diagnosis dan etiologi. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan tekanan baji paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut akan menunjukkan bahwa volume intravascular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan

menghasilkan penurunan curah jantung.


e.

Saturasi oksigen Penilaian saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yang juga dapat mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.

6. Penatalaksanaan9 a. Langkah 1. Tindakan resusitasi segera Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamine atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hiptensi, harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang

16

dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamine dan dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata. Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi mekanik jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus menerus dan peralatan defibrillator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus tersedia (33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK trial menjalani resusitasi

kardiopulmoner, takikardia ventrikuler menetap atau fibrilasi ventrikel sebelum randomisasi). Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg yang mendapatkan trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p<0,001). Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark miokard non elvasi ST yang menunggu kateterisasi, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan. b. Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang predominan. Pasien di Rumah Sakit komunitas harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi segera dengan IABP. Syok mempunyai cirri penyakit 2 pembuluh darah yang tinggi, penyakit left main dan penurunan fungsi ventrikel. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas

17

hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi circumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaan tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati. c. Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG emergensi pada pasien left main atau penyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas di Rumah Sakit dengan CABG pada penelitian SHOCK dan registry adalah sama dengan outcome dengan PCI, walaupun lebih banyak penyakit arteri koroner berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang menjalani CABG.

18

Gambar 3. Skema penatalaksanaan Syok Kardiogenik9

19

Gambar 4. Rekomendasi terapi perfusi dini pada syok kardiogenik karena komplikasi infark miokard akut9

7. Prognosis Angka kematian syok kardiogenik sangat tinggi yaitu 70-90%. Angka kematian dapat diturunkan menjadi 40-60% jika pasien dapat didiagnosis, diterapi dan revaskularisasi arteri koroner dengan cepat.10

8. Komplikasi Komplikasi dari syok hipovolemi adalah kerusakan organ yang dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal, acute tubular nekrosis, gagal ginjal, dan kematian.10

20

D. SYOK SEPTIK 1. Definisi Pada tahun 1914, Schotmueller menuliskan, Septikemia adalah suatu keadaan invasi mikroba dari tempat masuk menuju aliran darah yang menyebabkan tanda-tanda sakit. Definisi ini tidak berubah banyak selama bertahun-tahun karena istilah sepsis dan septikemia mengacu kepada kondisi klinis sakit parah pada pasien bakteremia.11 Pada kelanjutannya, tidak seluruh pasien bakterimia memiliki tanda sepsis. Oleh karena itu, sepsis dan septikemia tidak disamakan. Pada dekade terakhir, penemuan mediator endogen dari respon tubuh telah mengarahkan sindroma sepsis sebagai hasil dari aktivasi berlebih dari mekanisme pertahanan
11

tubuh,

dibandingkan

efek

langsung

dari

mikroorganisme.

Konsensus American College of Chest Physicians (ACCP)/Society of Critical Care Medicine (SCCM) mendefiniskan masing-masing sepsis, sepsis berat, dan syok septik dengan batasan-batasannya. Systemic Inflammatory Response Syndrime (SIRS) adalah respon inflamasi sistemik atas tanda klinis yang dimanifestasikan dalam lebih dari dua kriteria berikut ini:11
a. b. c.

Suhu diatas 38C or less than 36C Denyut nadi diatas 90 kali per menit Frekuensi pernapasan diatas 20 kali per menit atau PaCO2 less than 32 mm Hg Leukosit lebih dari 12,000/L, kurang dari 4000/L, atau 10% berbetuk imatur (batang) Sepsis adalah respon inflamasi sistemik terhadap suatu infeksi.

d.

Manifestasinya serupa dengan yang dijelaskan dalam SIRS. Tanda klinis berikut ini harus sedikitnya dua positif ditemukan pada pasien untuk menegakkan sepsis:11
a. b.

Suhu rektal lebih dari 38 C atau kurang dari 36C Takikardia (>90 kali/menit)

21

c.

Takipneu (>20 kali/menit) Selain itu, salah satu dari tanda kurangnya perfusi atau fungsi

organ juga harus ada:11


a. b. c. d.

Perubahan status mental Hipoksemia (PaO2 <72 mm Hg) Peningkatan level laktat plasma Oliguria (urine output <30 mL atau 0.5 mL/kg setidaknya selama satu jam) Sepsis berat didefiniskan sebagai sepsis dan SIRS dengan disfungsi

organ, hipoperfusi, atau hipotensi. Tanda klinis ini sedikitnya harus positif dua pada pasien:11
a. b. c.

Suhu lebih dari 38C atau kurang dari 36C Nadi lebih dari 90 Frekuensi pernapasan lebih besar dari 20 kali/menit atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg Leukosit lebih dari 12,000/L, kurang dari 4000/L, atau 10% imatur (batang) Syok septik adalah pasien dengan sepsis berat yang hipotensi

d.

walaupun resusitasi cairan telah adekuat, dengan adanya abnormalitas perfusi yang dapat megarah pada asidosis laktat, oliguria, atau perubahan status mental pasien.11 Multpile organ dysfunction (MODS) adalah adanya fungsi organ yang terganggu pada pasien yang benar kesakitan dan pada pasien dengan hemostatis yang tidak bisa diintervensi.11

2. Etiologi Selain mengetahui etiologi mikroorganisme yang menyebabkan sepsis, sumber dari infeksinya harus diketahui terlebih dahulu, walau kadang terdapat keadaan dimana sumber jelas dari infeksi tidak ditemukan seperti pada pasien imunitas rendah dengan neutropenia. Infeksi saluran pernapasan dan infeksi saluran kemih merupakan sebab tersering dari

22

sepsis, diikuti oleh infeksi abdominal dan jaringan lunak. Perlu dipikirkan juga apakah infeksi tersebut bersifat nosokomial. Sumber infeksi multipel dapat pula ditemukan pada sekitar 6-15% pasien.12 Sebelum antibiotika marah digunakan, bakteri gram-positif merupakan sumber utama sepsis. Namun, kini bakteri gram negatif telah menjadi sumber kunci yang menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang mebyebabkan sepsis:12
a.

Infeksi saluran nafas bawah adalah penyabab syok septik pada 25% pasien. Patogen yang umum diantaranya Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Legionella species, Haemophilus species, dan fungi

b.

Infeksi saluran kemih merupakan penyebab syok septik pada 25% pasien. Patogennya diantaranya E coli, Proteus species, Klebsiella species, Pseudomonas species, Enterobacter species, dan Serratia species.

c.

Infeksi jaringan lunak menyumbang 15% dari penyebab syok septik. Patogen penyebabnya antara lain S aureus, Staphylococcus

epidermidis, Streptococci, Clostridia, Gram-negative bacteria, dan Anaerobes


d.

Infeksi saluran pencernaan juga menyebabkan 15% syok septik akibat patogen seperti E coli, Streptococcus faecalis, Bacteroides fragilis, Acinetobacter species, Pseudomonas species, Enterobacter species, dan Salmonella species

e.

Infeksi saluran reproduksi menyebabkan 10% syok septik akibat Neisseria gonorrhoeae, Gram-negative bacteria, Gram-negative bacteria, Streptococci, dan Anaerobes

f.

Benda asing menyebabkan 5% syok septik akibat S aureus, S epidermidis, and fungi (Candida albicans)

g.

Infeksi lain-lain menyebabkan 5% syok septik dengan Neisseria meningitidis sebagai penyebab utamanya.

23

h.

Etiologi lain hanya sedikit menyebabkan terjadinya sepsis dan syok septik seperti Patogen anaerob dan jamur (0,8-10.2%)

i.

Sebanyak 5,6%-18,4% syok septik diakibatkan infeksi polimikrobial, terutama pasien imunitas rendah dengan neutropenia.

3. Faktor Risiko Beberapa faktor risiko yang telah diidentifikasi sebagai penyebab sepsis dan syok septik antara lain:12
a. b.

Usia ekstrim (< 10 tahun dan >70 tahun) Penyakit primer seperti sirosis hepatis, alkoholisme, diabetes mellitus, penyakit kardiopulmoner, keganasan solid, dan keganasan hematologi

c.

Imunosupresi seperti

neutropenia, terapi imunosupresif, terapi

kortikosteroid, dan lain-lain


d. e.

Operasi besar, trauma, dan luka bakar Prosedur invasif seperti kateter, alat prostetik, hemodialisis dan kateter dialisis peritoneal, dan ETT

f. g.

Lama dirawat di rumah sakit Lain-lain seperti melahirkan anak, aborsi, dan malnutrisi.

4. Patogenesis dan Patofisiologi Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator infalamasi yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostasis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses

24

inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat seluler pada berbagai organ.13 Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain yang juga berperan adalah disfungsi miokard akibat pengaruh berbagai mediator sehingga terjadi penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan syok pada sepsis.13 Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif akan menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal dengan disfungsi/gagal organ multipel (MOD/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi, malnutrisi kaloriprotein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari terapi yang diberikan.13

5. Manifestasi Klinik Hampir seluruh pasien dengan sepsis dan syok septik megalami demam. Demam disebabkan pengaturan hipotalamus sehingga produksi dan pengeluaran panas seimbang. Menggigil berhubungan dengan demam sebagai peningkatan aktivitas otot yang memproduksi panas dan meningkatkan suhu tubuh. Perubahan fungsi mental kadang terjadi dalam bentuk disorientasi ringan atau kebingungan, terutama pada individu usia lanjut.12 Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital harus diperiksa untuk menegakkan diagnosis sepsis dan syok septik sesuai dengan definisinya. Observasi pasien untuk menilai perfusi jaringannya. Pada masa awal sepsis, cardiac output masih dapat dipertahankan atau sedikit meningkat. Vasodilatasi dapat tampak sebagai kulit hangat, ekstrimitas hangat, dan

25

waktu isian kapiler normal (warm shock). Ketika sepsis berlanjut, stroke volume dan cardiac output jatuh sehingga pasien mulai menunjukkan tanda perfusi buruk seperti kulit dingin, ekstrimitas dingin, dan isian kapiler terlambat (cold shock).12

6. Penatalaksanaan Rivers membandingkan tatalaksana standar dengan tatalaksana aerly goal directed. Inti dari tatalaksana tersebut adalah terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung preload, afterload, dan

kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand. Protokol ini mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid bolus 500 ml per 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopresor hingga >65 mmHg dan bila MAP >90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi oksigen vena sentral, bila nilainya < 70% dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30%. Setelah CVP, MAP, dan Hematokrit optimal tetapi ScvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP <65 mmHg atau frekuensi jantung >120 kali per menit.13 Hasil penelitian pada 120 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penurunan mortalitas pada kelompok early goal directed theraphy 30,5% dibandingkan kontrol 46,5% dengan perbaikan ScvO2, kadar laktat darah, defisit basa lebih rendah, dan pH lebih tinggi.13 Tatalaksana yang dilakukan pada pasien dengan syok septik antara lain:13
a.

Identifikasi sumber sepsis merupakan salah satu hal terpenting yang harus dievaluasi dalam tatalaksana pasien.

b.

Terapi suportif rutin 1) Berikan suplementasi oksigen kepada semua pasien sepsis yang juga memiliki hipoksemia dan distres pernapasan

26

2) Jika jalan nafas pasien tidak aman, pertukaran udara dan keseimbangan asam-basa terganggu, dan jika adanya bukti

kelelahan otot-otot pernapasan, lakukanlah intubasi trakea 3) Pasien dengan syok septik secara umum membutuhkan intubasi dan ventilasi karena gagal nafas yang telah timbul ataupun yang akan timbul seiring perjalanan penyakit
c.

Terapi cairan Hipovolemia dapat terjadi akibat peningkatan kapasitas vaskuler (penurunan lairan darah balik vena), dehidrasi (asupan kurang, kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), terjadinya perdarahan, dan kebocoran kapiler. Atasi hipovolemia dengan pemberian cairan, baik kristaloid maupun koloid. Kritaloid biasanya dipilih sebagai terapi awal yang diberikan dalam volume yang besar. Albumin merupakan protein plasma yang juga berfungsi mempertahankan tekanan onkotik plasma. Albumin diberikan pada kadar < 2 g/dl.

d.

Vasopressor dan Inotropik Vasopresor sebaiknya diberikan bila setelah keadaan

hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan, pasien masih mengalami hipotensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi atau akibat disfungsi miokard sehingga curah jantung menurun. Dapat digunakan dopamin 8 mikrogram/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenilefirn 0,5-8 mcg/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Untuk inotropik dapat digunakan dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, ataupun epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit.
e.

Bikarbonat Bikarbonat digunakan untuk mengoreksi asidemia pada sepsis. Namun, terapi bikarbonat dengan tujuan tersebut kini diragukan manfaatnya karena bikarbonat sebagai buffer bermanfaat pada tingkat seluler sedangkan sepsis terjadi hipoperfusi jaringan dengan

konsekuensi terjadinya gangguan transpor karbondioksida dari

27

jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin rendah. Secara empirik, bikarbonat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya memperbaiki hemodinamik.
f.

Kortikosteroid Kortikosteroid dosis tinggi diberikan dengan indikasi

insufisiensi adrenal. Hidrokortison dapat digunakan dengan odsis 50 mg bolus intravena, 4 kali sehari selama 7 hari.

7. Prognosis Beberapa uji klinis mencatat angka mortalitas hingga 40-75% pada pasien dengan syok septik. Faktor prognosis buruk adalah usia lanjut, infeksi yang disebabkan organisme resisten, status imunitas yang terganggu, dan status fungsional yang buruk. Perkembangan berkelanjutan dari kegagalan organ, dengan mengesampingkan terapi suportif dan terapi antimikrobial, adalah faktor terpenting dari buruknya prognosis. Angka kematian SIRS adalah 7%, sepsis 16%, sepsis berat 20%, dan syok septik 46%. 14 Pada 1995, sebuah studi oleh Brun-Buisson (1995) melaporkan angka kematian 56% selama rawat ICU dan 59% selama rawat rumah sakit. 27% dari seluruh kematian terjadi dalam 2 hari onset sepsis berat, dan 77% dari seluruh kematian terjadi pada 14 hari pertama. Faktor utama pada studi ini adalah adanya lebih dari dua gagal organ, syok, dan pH darah yang rendah (<7,3).12

8. Komplikasi Komplikasi utama pada sepsis berat dan syok septik adalah kerusakan paru yang mengarah pada ARDS. Insiden ARDS kira-kira 18% pada pasien dengan syok septik. Gagal ginjal akut terjadi pada 40-50% pasien syok septik. Kematian akibat syok septik adalah sebesar 40-50%.12

28

E. SYOK ANAFILAKTIK 1. Definisi Syok anafilaktif merupakan suatu resiko pemberian obat, baik melalui suntikan secara atau cara lain. Reaksi dapat berkembang menjadi suatu kegawatan berupa syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.15 Anafilaksis merupakan bentuk reaksi terberat dari reaksi alergi obat. Meskipun terdapat berbagai defenisi mengenai anafilaksis, tetapi umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibody disebut sebagai reaksi anafilaktif. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan manakala lanjutan.16 Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba0tiba, tidak tergduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi keadaan tersebut sangat diperlukan. Tulisan ini akan membahas beberapa pengertian yang berkaitan dengan anafilaksis, diagnosis, terapi, pencegahan.16 mencari penyebab dan merencanakan penatalaksanaan

2. Epidemiologi Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak

dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic golongan beta laktam, khususnya penisilin. Penisilin

menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002 % pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologis. Media kontras

29

menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar. Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai tahun 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi selama periode 1985 sampai 1989.

3. Etiologi Banyak bahan yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis dan bahanbahan tersebut terutama masuk ke dalam tubuh melalui parenteral, walaupun ada pula bahan-bahan yang masuk melalui enteral yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis. Bahan-bahan yang terlibat antara lain:
a.

Antibiotika : penicillin dan derivatnya, sefalosporin, tetrasiklin, eritromisin, streptomisin.

b. c. d. e. f.

NSAID : salisilat, aminopirin. Narkotik analgetik : morfin, kodein, meprobamat Anestesi local : prokain, lidokain, kokain Anestesi umum : thiopental, propofol Produk darah dan antisera : eritrosit, lekosit, trombosit, gama globulin, antitoksin, anti difteri, anti rabies, anti tetanus, anti bias ular dan laba-laba.

g. h.

Bahan diagnostic : radiokontras yodium Obat obat lain : protamin, klorpropamid, besi, yodium, tiasid, suksinilkolin.

i. j. k. l.

Bisa hewan : lebah , lalat kerbau , ular , laba-laba, ubur-ubur. Hormon : insulin, ACTH, ekstrak pituitaria. Enzim dan biologis lain : asetil sistein , tambahan enzim pan- kreas. Ekstra allergen potensial yang dipakai pada desensitisasi : tepung sari, makanan, bisa hewan.

30

4. Patogenesis dan Patofisiologi Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yauitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan. Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikatbantigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi. Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin,

serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas. Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dank arena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin. Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan

31

dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis. Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi yaitu:
a. b.

Aktivasi anafilaksis nonimunologik. Aktivasi komplemen 1) Protamin 2) Plasmin 3) Bahan radiokontras 4) Dekstran 5) Obat-obatan 6) Endotoksin 7) Eksotoksin

c.

Aktivasi penguat humoral


1) 2) 3)

Koagulasi Fibrinolisis Aktivasi kinin

d.

Pelepasn histamine secara langsung


1) 2) 3) 4) 5)

Narkotika Obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium Bahan radiokontras Antibiotika : vankomisin, polimiksin B Dekstran

32

Aktivasi imunologis pada sel plasma menyebabkan perubahan kadar c-AMP dalam sel, mula-mula kadarnya meningkat kemudian menurun tajam karena mengalami hidrolisis. Penurunan ini ternyata disertai dengan pelepasan mediator-mediator. Bila penurunan kadar cAMP dapat dicegah maka pelepasan mediator ternyata tidak terjadi. Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa: a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative. b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare. c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring. d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium. e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat

dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF. Pengaruh fisiologis dari masing-masing mediator endogen terhadap permeabilitas kapiler, vasodilatasi, bronkus, arteri koronaria dan miokardium dapat dilihat pada table berikut:

33

Tabel 3. Efek fisiologis mediator anafilaksis

Prostaglandin

Leukotrienes

Histamine

Kinins
+ + + hanya lebih

Increased capillary + permeability Vasodilatation Bronchospasm Coronary spasm Myocardial depression + + + +

+ + +

+ + +

5. Manifestasi Klinik a. Reaksi local: biasanya urtikaria dan edema setempat, tidak fatal. b. Reaksi sistemik: biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, sistem kardiovaskular, gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut timbul segera atau 30 menit setelah terpapar antigen. 1) Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal di kulit dan mukosa, bersin-bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar allergen. 2) Sedang: gejalanya lebih berat selain gejala di atas didapatkan bronkospasme, edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi 2 jam setelah terpapar antigen. 3) Berat terjadi langsung setelah terpapar dengan allergen, gejala seperti reaksi tersebut di atas berat yaitu

bronkospasme, edema laring, stridor, nafas sesak, sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring dan aritmia jantung.

PAF

34

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenai tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktif ayau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda- tanda awal. Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran: a. Sistem umum Prodromal : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum. b. Sistem pernafasan 1) Hidung : Hidung gatal, bersin dan tersumbat 2) Laring : Rasa tercekik, suara serak, sesak nafas, stridor, edema, spasme. 3) Lidah : Edema 4) Bronkus : Batuk, sesak, mengi, spasme c. Sistem kardiovaskuler : Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia, kelainan EKG d. Gastrointestinal : Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadangkadang disertai darah, peristaltic usus meninggi. e. Kulit : Urtika, angioedema, di bibir, muka atau ekstremitas. f. Mata : Gatal, lakrimasi. g. Susunan saraf pusat : Gelisah, kejang. Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula muncul gejala pada beberapa organ secara serentak atau hamper serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai gangguan pernapasan baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskuler seperti syok yang beratsampai terjadi penurunan kesadaran.

35

Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, pernapasan atau kulit juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang berdarah. Kejang uterus atah perdarahan vagina.

6. Penatalaksanaan a. Tergantung tingkat keparahan, namun yang terpenting harus segerra dilakukan evaluasi jalan nafas, jantung, dan respirasi.Bila ada henti jantung paru, lakukan resusitasi jantung paru. Terapi awal diberikan setelah diagnosis ditegakkan. b. Untuk terapi awal, ebrikan adrenalin 1:1.000, 0,3 ml sampai maksimal 0,5 ml, subkutan atau im, dapat diulang 2-3 kali dengan jarak 15 menit. Pasang turniket pada proksimal dari tempat sun tikan inflamasi dengan 0,1-0,2 ml adrenalin 1:1.000. Lepaskan turniket setiap 10-15 menit. Tempatkan pasien pada posisi terlentang dengan elevasi ekstremitas bawah (kecuali kalau pasien sesak). Awasi jalan nafas pasien, periksa tanda-tanda vital setiap 15 menit. Bila efek terhadap adrenalin kurang, berikan difenhidramin hidroklorida, 1 mg/kg BB sampai maksimal 50 mg im atau iv perlahan-lahan. c. Bila terjadi hipertensi (tekanan sistolik , 90 mm Hg), segera berikan cairan iv yang cukup. Bila tidak ada respons, berikan dopamine 400g (2 ampul) dalamcairan infuse glukosa 5% atau Ringer laktat atau nacl 0,9% atai dekstran, untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 90100 mmhg. d. Bila terjadi bronkospasme persisten, berikan oksigen 4-6 liter/menit. Bila tidak terjadi hipotensi , berikan aminofilin 6 mg/kg iv selama 15 20 menit, selanjutnya berikan aminofilin dosis 0,5-0,9 mg/ kg BB/jam. Berikan aerosol -2 agonis tiap 2-4 jam, misalnya 0,3 ml metaproterenol dalam larutan 2,5 ml larutan garam melalui nebulasi atau adrenalin 0,1-0,3 ml setiap 2-4 jam.

36

e. Untuk mencegah relaps (reaksi fase lambat), berikan hidrokortison 710 mg/kg BB iv lalu lanjutkan hidrokortison suntikan 5 mg/kg BB iv tiap 6 jam sampai 48-72 jam. f. Awasi adanya edema laring, jika perlu dilakukan trakeostomi. Bila kondisi pasien stabil, berikan terapi supportif dengan cairan selama beberapa hari, pasien harus diawasi karena kemungkinan gejala berkurang minimal selama 12-24 jam. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam pertama.

7. Pencegahan Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain: a. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. b. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. c. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif. d. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.

37

F. SYOK NEUROGENIK 1. Definisi Syok neurogenik adalah syok yang disebabkan hilangnya kontrol simpatis dari tahanan pembuluh darah, yang berujung kepada dilatasi masif arteriol dan venul.19 Syok neurogenik didefinisikan sebagai disfungsi otonom, sekunder terhadap cedera tulang belakang, yang berakibat pada hipotensi dan bradikardi.20

2. Etiologi Syok neurogenik dapat disebabkan beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan sistem saraf simpatis. Beberapa etiologi dari syok neurogenik antara lain:21 a. Disfungsi saraf simpatis yang disebabkan oleh trauma tulang belakang dan syok spinal (trauma medulla spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia) b. Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misalnya nyeri hebat c. Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan obat anastesi d. Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini terjadi pada orang yang pingsan mendadak akibat gangguan emosional.

3. Patogenesis dan Patofisiologi Sistem saraf simpatis mengatur denyut nadi, kontraktilitas, dan diameter pembuluh darah dengan melepas katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam aliran darah. Katekolamin ini dalam kondisi normal menjaga vaskuler dalam keadaan konstriksi sedang untuk menjaga perfusi yang adekuat. Ketika tekanan darah arterial turun, baroreseptor, yang berlokasi di sinus karotid dan aortic arch, mengirim pesan ke otak melalui sistem saraf. Otak kemudian mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke medula adrenal yang menyebabkan peningkatan produksi

38

katekolamin. Norepinefrin,

yang menstimulasi

reseptor alpha 1,

menyebabkan vasokontriksi dan shunting darah menuju organ-organ vital tubuh. Epinefrin menstimulasi reseptor beta 1 dan beta 2 yang menyebabkan peningkatan heart rate, peningkatan kontraktilitas miokard, dan bronkodilatasi.22 Respon fisiologis dari sistem saraf simpatis memungkinkan tubuh untuk mengkompensasi keadaan cardiac ouput rendah, seperti keadaan syok. Pada syok neurogenik, fungsi sistem saraf simpatis terganggu. Karenanya, respon kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak dapat terjadi. Cedera terhadap sumsum tulang menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang disuplai saraf spinal, yang berujung kepada penurunan tahanan vaskuler sistemik, hipotensi, dan hilangnya kontrol suhu tubuh.22 Walaupun pasien dengan syok neurogenik tidak kehilangan darah dalam jumlah yang berarti, volume darah normal (5-6 liter) tak dapat mengisi ruang vaskular yang besar, sehingga pasien akan mengalami suatu kondisi yang dinamakan relative hypovolemia. Karena ruang vaskuler membesar, systemic venous pooling terjadi yang berujung kepada penurunan cardiac preload. Karena cardiac preload menurun, isian atrium tidak adekuat dan kontraksinya tidak cukup untuk meregangkan dinding ventrikuler (efek Frank-Starling). Saat dinding ventrikuler meregang secara tidak adekuat, stroke volume dan cardiac ouput menurun.22

Gambar 5. Patofisiologi Syok Neurogenik


39

Pada syok neurogenik, kapasitas sistem sirkulasi jauh lebih besar dibandingkan volume darah yang tersedia untuk mengisi sistem tersebut. Sebagai akibatnya, ukuran wadah meningkat saat volume darah yang seharusnya mengisi pembuluh tetap sama, dengan penurunan tekanan darah pada akhirnya. Penyebab syok neurogenik termasuk gangguan pengaturan sistem saraf pusat pada diameter pembuluh darah.23 Ukuran pembuluh darah dan denyut jantung diatur otomatis oleh tubuh sebagai usaha untuk menjaga tekanan darah dalam rentang yang normal. Rentang ini akan berubah secara otomatis tergantung kepada aktivitas tubuh, tekanan, dan kebutuhan individu akan oksigen. Sebagai contohnya, tekanan darah dan nadi seseorang akan meningkat selama seseorang berolahraga untuk menyediakan oksigen tambahan untuk otot dan otak orang tersebut. Setelah selesai, tekanan darah dan nadinya akan kembali ke level yang normal lagi. Bagian dari sistem saraf pusat yang bertanggung jawab untuk pengaturan ini adalah sistem saraf otonom yang dimediasi baik pada tingkat otak maupun sumsum tulang.23 Cedera sumsum tulang merupakan suatu contoh klasik yang biasa digunakan untuk menjelaskan syok neurogenik. Pada cedera sumsum tulang komplit, sel saraf yang menyusun sistem saraf otonom mengalami kerusakan. Sistem saraf otonom bekerja untuk menurunkan diameter pembuluh darah sehingga ketika pengaturan itu hilang, pembuluh darah di tubuh yang diatur oleh sel saraf yang terganggu akan berdilatasi. Ketika ini terjadi pada pada bagian-bagian tubuh yang yang penting seperti pada cedera tulang belakang, ukuran dari sistem sirkulasi akan meningkat secara cepat. Penurunan tekanan darah terjadi atas dua alasan. Pertama, jumlah darah di sistem tidak adekuat untuk mengisi sistem dan menjaga tekanan darah. Yang kedua karena darah juga cenderung berkumpul di sistem sirkulasi dibawah cedera sehingga aliran balik darah turun sehingga menurunkan cardiac output dan tekanan darah.23

40

Syok neurogenik juga dapat timbul akibat trauma kepala. Pusat di otak yang mentransmisikan informasi dari pusat ke sumsum tulang dapat rusak akibat trauma.23

4. Diagnosis Syok neurogenik harus dicurigai pada setiap pasien dengan trauma tulang belakang dan kolaps cardiovascular. Banyak faktor, seperti mekanisme trauma, riwayat medis, dan pemeriksaan fisik termasuk tanda vital membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis syok neurogenik. Syok hemoragik, penyebab lebih umum dari hipotensi pada pasien trauma harus disingkirkan. Pada pasien dengan cidera tulang belakang, syok dapat disebabkan karena kehilangan darah, disfungsi otonom, atau keduanya. Pemeriksaan fisik meliputi hipotensi, bradikardi (90%), dan kulit kering dan hangat.20

5. Diagnosis Banding Diagnosis banding utama dari syok neurogenik adalah syok hipovolemik karena keduanya menyebabkan kompensasi terhadap hemodinamik. Namun, manifestasi klinis keduanya ternyata cukup dapat dibedakan. Syok neurogenik memblok aksi dari sistem saraf simpatis sehingga katekolamin tidak dilepaskan kedalam aliran darah. Karenanya, tanda-tanda klasik dari syok (takikardia, diaporesis) tidak tampak.21 Vasodilatasi menyebabkan kulit tetap berwarna merah muda dan kering dibawah tingkat cedera spinal. Namun, proximal dari tempat cedera, dimana saraf simpatis tetap utuh, kulit cenderung lebih dingin, pucat, dan lembab.21 Denyut nadi, yang meningkat pada syok hipovolemik, rendah dan lemah pada pasien dengan syok neurogenik. Hal ini disebabkan penurunan aliran epinefrin yang berlanjut kepada efek-efek sistem saraf parasimpatis yang timbul.21

41

Karena katekolamin berada di aliran darah sebelum cedera terjadi, tekanan darah dapat dijaga. Namun, pasien akan cepat menjadi hipotensi karena katekolamin tersebut secara cepat turun kadarnya.21 Kecuali cedera batang otak telah terjadi, saraf frenikus masih dapat mengirim pesan kepada otot pernapasan dan diafragma untuk

meningkatkan aktivitas sehingga pasien dengan syok neurogenik cenderung memiliki frekuensi pernapasan yang meningkat. Jika cedera terjadi pada kolumna spinalis di regio servikal, paralisis dari diafragma, otot intercostal, ataupun keduanya, dapat terjadi.21

Tabel 4. Perbandingan syok hipovolemik dengan syok neurogenik Penilaian Denyut nadi Tekanan darah Kulit Hipovolemik Meningkat Rendah Dingin, diaforetik Respirasi Meningkat pucat, dan Neurogenik Menurun Rendah Merah muda, hangat, dan kering Meningkat

Pasien syok hipovolemik seringkali datang dengan diaforetik dan gelisah sehingga lebih sering tampak oleh paramedis. Namun, pasien dengan syok neurogenik biasanya tidak diaforetik, dan kerusakan sumsum tulang dengan paralisis dapat mencegah pasien terlihat gelisah sehingga sering tidak terlalu tampak.21

6. Penatalaksanaan Menjaga jalan nafas pasien dan menjaga tulang belakang servikal adalah prioritas pertama dalam menangani masalah syok neurogenik. Berikan pasien suplementasi oksigen dengan sungkup dengan kecepatan 15 liter/menit. Jika pasien tidak bernafas, lakukan ventilasi tekanan positif hingga endotracheal tube dapat dimasukkan.24

42

Cairan intravena harus diberikan kepada pasien untuk menjaga tekanan arterial rata-rata sekitar 70 torr. Untuk mencegah pemberian berlebih dari cairan, sebuah kateter arteri pulmoner dapat diberikan untuk memonitor respon hemodinamik. Jika resusitasi cairan tidak adekuat untuk menjamin perfusi organ, agen inotropik semacam dopamine 2,5 hingga 20,0 g/kg per menit dan dobutamin 2,0 hingga 20,0 g/kg per menit dapat ditambahkan untuk memperbaiki cardiac output dan tekanan perfusi. Dosis harus dititrasi untuk respon klinis yang baik.24 Jika dibutuhkan, bradikardia berat harus diterapi dengan atropin 0,5 hingga 1,0 mg intravena (setiap 5 menit untuk total dosis 3,0 mg) atau dengan pacemaker. Jika didapatkan defisit neurologis, metilprednisolon dosis tinggi harus diberikan dalam 8 jam cedera. Bolus 30 mg/kg harus diberikan selama 15 menit diikuti dengan infus lanjutan 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam selanjutnya.24 Kaki pasien sebaiknya dielevasikan 6 hingga 12 inci sehingga posisi kepala lebih rendah daripada kaki, kecuali pada kasus-kasus cedera kepala. Jika terdapat darah atau muntahan pasien disekitar mulut, tempatkan pasien dalam satu sisi dengan kepala menghadap ke satu sisi, kecuali terdapat cedera kepala. Jika terdapat atau dicuragai adanya cedera kepala, posisi pasien harus berada tetap dalam posisi datar. Suhu pasien harus dijaga untuk mencegah hipotermia karena keadaan hipotermia dapat memperburuk kondisi syok pasien. Penilaian berkala harus diperhatikan mulai dari kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan respon kulit pasien.24

G. SYOK OBSTRUKTIF 1. Definisi Istilah syok obstruktif biasa digunakan untuk mendeskripsikan syok sirkulasi yang terjadi karena obstruksi mekanis dari aliran darah melalui sirkulasi sentral (vena besar, jantung, atau paru-paru). Akibat fisiologis utama dari syok obstruktif adalah peningkatan tekanan jantung

43

kanan dan gangguan aliran balik vena ke jantung. Tanda-tanda gagal jantung kanan diantaranya peningkatan tekanan vena sentral dan distensi vena jugularis25.

2. Etiologi Penyebab umum dari syok obstruktif adalah penumotoraks tension, tamponade jantung, dan emboli paru masif. Pada dua penyebab yang pertama tersebut, penurunan preload ventrikel kanan diakibatkan baik peningkatan tekanan intrapleura (pneumotoraks tension) ataupun

peningkatan tekanan perikardial (tamponade). Pada kasus emboli paru masif, penurunan pengisian ventrikel kiri dan dilatasi ventrikel kanan terjadi, mengakibatkan penurunan cardiac output dan hipotensi.26 Etiologi paling umum dari pneumothorax adalah iatrogenik dan trauma. Etiologi-etiologi tersebut antara lain:28 a. Trauma (trauma tumpul atau penetrasi), termasuk kekacauan pleura viseral atau parietal dan sering dikaitkan dengan fraktur iga b. Barotrauma sekunder akibat ventilasi tekanan positif, terutama ketika menggunakan tekanan akhir ekspirasi dalam jumlah besar c. Penempatan kateter vena sentral, biasanya pada vena jugularis internal atau subklavia d. Perubahan dari pneumotoraks idiopatik, spontan, menjadi tension pneumothorax e. Kompresi dada selama resusitasi jantung paru f. Penumoperitonium g. Bronkoskopi fiberoptik dengan biopsi paru tertutup h. Tindakan akupuntur i. Kolonoskopi dan gastroskopi Pada hampir seluruh pasien, penyebab paling umum dari tamponade perikardial adalah penyakit ganas atau parah. Dari seluruh etiologi-etiologi tamponade, penyakit ganas merupakan 30-60% penyebab, uremia sebanyak 10-15%, idiopatik sebesar 5-15%, penyakit infeksi 5-

44

10%, penyakit jaringan ikat 2-6%, dan sindroma postpericardiotomy pada 1-2%. Tamponade dapat timbul dari tipe apapun perikarditis.27,29

3. Patogenesis dan Patofisiologi a. Tension Pneumothorax28 Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveoli atau ruang udara intraplumoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh

sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveoli ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme diatas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan ringga pleura melalui dinding dada, udara akan masuk sampai perbedaan tekanan menghilang atau hubungan menutup. b. Tamponade jantung27,29 Perikardium, membran yang menyelimuti jantung, terdiri dari dua lapisan. Lapisan perikardium yang lebih tebal merupakan lapisan fibrosa bagian luar sedangkan lapisan perikardium viseral merupakan lapisan bagian dalam. Ruang perikardium normalnya mengandung 20-50 mL cairan. Terdapat tiga fase perubahan hemodinamik pada tamponade 27 Fase I: akumulasi cairan perikard menyebabkan kekakuan ventrikel, yang membutuhkan tekanan pengisian yang meningkat. Selama fase ini, tekanan pengisian ventrikel kanan dan kiri lebih tinggi dibanding tekanan intraperikard. Fase II: Dengan akumulasi cairan yang berlanjut, tekanan perikard meningkat diatas tekanan pengisian ventrikuler, menyebabkan penurunan cardiac output Fase III: Penurunan cardiac output berlanjut, yang disebabkan equilibrium antara tekanan pengisian perikardium dan ventrikel kiri.

45

Proses patofisiologi mendasar untuk adanya tamponade adalah pengisian diastolik yang menurun karena tekanan distending transmural tidak mencukupi untuk mengimbangi peningkatan tekanan intraperikard. Takikardia merupakan respon jantung utama karena perubahan ini yang bertujuan menjaga cardiac output. Aliran balik vena sistemik juga terganggu selama tamponade. Karena jantung terkompresi selama siklus jantung karena peningkatan tekanan intraperikard, aliranbalik vena sistemik terganggu dan atrium kanan dan ventrikel kanan kolaps. Karena pulmonary vascular bed luas dan complian circuit, darah lebih berakumulasi di sirkulasi vena, dengan mengorbankan isian ventrikel kiri. Hal ini berakibat pada penurunan cardiac output dan aliran balik vena. Jumlah cairan perikard yang dapat menyebabkan gangguan isian jantung terganutng kepada kecepatan akumulasi cairan dan komplians dari perikard. Akumulasi cepat sebesar 150 mL dapat meningaktkan tekanan perikard dan menganggu cardiac output. 4. Manifestasi Klinik a. Tension Pneumothorax28 Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital biasanya masih normal tergantung pada jumlah udara dalam rongga pleura. Sisi yang sakit mencembung dibandingkan sisi yang sehat, pergerakannya berkurang pada pernapasan, fremitus melemah atau menghilang, perkusi menjadi hipersonor dan suara napas vesikuler melemah atau menghilang atau dapat pula bronkial bila ada fistula bronkopleural dengan suara nafas tambahan amforik bila ada giant bulla atau giant cavity. Pada pneumotoraks yang luas penderita mengalami distres pernapasan yang nyata, nafas cepat dan dalam, sianosis, kulit dingin dan lembab, nadi cepat dan dalam, tekanan darah menurun sampai syok.

46

Penegakan diagnosis dari pneumotoraks adalah pemeriksaan radiologis. Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat, foto konvensional (dalam keadaan inspirasi) dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya. Namun, pada pneumotoraks yang minimal, foto konvensional kadang tidak spesifik sehingga dibutuhkan foto dalam ekspirasi maksimal atau lateral dekubitus.

b. Tamponade Jantung 1) Anamnesis29 Gejala bervariasi tergantung pada penyebab yang

mendasarinya dan keakutan tamponade. Pasien dengan tamponade akut mungkin mengeluh dispnea, takikardia dan takipnea. Extremitas pucat dan dingin merupakan tanda hipoperfusi. Riwayat pasien biasanya membantu mengidentifikasi kemungkinan etiologi dari efusi pericardium yang akan menjadi tamponade jantung, misalnya: a) Penurunan berat badan, kelemahan dan anoreksia pada pasien dengan penyakit sistemik atau keganasan b) Nyeri dada pada pasien infark miokard atau perikarditis c) Nyeri otot, tulang atau demam pada pasien connective tissue disorder. d) Riwayat gagal ginjal dan uremia e) Lupus terkait pengobatan f) Bedah kardiovaskular, intervensi koroner atau trauma dapat menyebabkan tamponade. g) Inplantasi pacu jantung dan kateter vena sentral h) Riwayat penyalahgunaan obat intravena dan infeksi akumulasi cepat cairan pericardium dan

oportunistik pada pasien HIV terkait efusi perikardium dan tamponade.

47

i) Keringat malam, demam dan kehilangan berat badan pada pasien tuberkulosis. 2) Pemeriksaan Fisik29 Pada pemeriksaan fisik ditemukan: a) Pada vital sign ditemukan: Takipnea, hipotensi dan takikardia b) Trias beck: peningkatan JVP, hipotensi dan suara jantung menjauh. c) Pada pemeriksaan thorax ditemukan: Dispnea, Palpitasi, Pericardial friction rub d) Pulsus paradoksus e) Tanda kussmaul f) Tanda ewart atau tanda pins terjadi pada efusi pericardium luas. Terdapat area dullness dengan suara nafas bronchial dan bronchopony dibawah scapula kiri. g) Y descent disebabkan peningkatan tekan intraperikardium, mencegah pengisian diastolic ventrikel. h) Hepatomegali i) Kulit pucat dan dingin 3) Pemeriksaan laboratorium29 a) Creatinin kinase dan isoenzim: meningkat pada pasien dengan infark miokard dan trauma jantung. b) Fungsi ginjal dan hitung jenis leukosit: diagnosis uremia dan penyakit infeksi terkait dengan perikarditis. c) Faktor koagulasi berupa prothrombin time dan activated partial thromboplastin time digunakan untuk menentukan risiko perdarahan selama operasi d) Antinuclear antibody assay, LED dan rheumatoid factor: predisposisi penyakit jaringan ikat terhadap perkembangan efusi pericardium. e) Tes Hiv karena 24% dari efusi pericardium dilaporkan memiliki hubungan dengan infeksi HIV.

48

f) Tes tuberculin digunakan untuk mendiagnosa tuberculosis yang dapat mentebabkan efusi pericardium dan tamponade. 4) Pemeriksaan penunjang29 a) Pemeriksaan rontgen thorax ditemukan kardiomegali, water bottleshaped heart, kalsifikasi pericardium dan bukti adanya trauma dinding dada.

Gambar 6. Foto Rontgen Thorax Tamponade Jantung29

b) Echocardiography. Pada echocardiography dapat ditemukan: 1) Efusi pleura kiri yang luas 2) Massa disekitar jantung 3) Kalsifikasi annulus mitral 4) Penurunan aorta thoracic 5) Kateter di ventrikel kanan 6) Pembesaran atrium kiri 7) Aneurisma annular subvalvular LV 8) Kista bronkogenik

49

c) EKG dapat ditemukan: 1) Sinus takikardia 2) Low-voltage QRS complexes 3) Electrical alternans: perubahan rasio QRS kompleks yang disebabkan pergerakan jantung di ruang pericardia dan dapat ditemukan pada pasien dengan iskemik miokardium, emboli pulmonal akut dan takiaritmia. 4) Depresi segmen PR

5. Penatalaksanaan a. Tension Pneumothorax28 Penatalaksanaan dari syok obstruktif yang disebabkan akibat penumotoraks adalah dengan menghilangkan penyebab obstruksi itu sendiri sehingga aliran darah dapat normal kembali sehingga syok akan teratasi. Penatalaksanaan dari penumotoraks bertujuan menghilangkan udara dalam rongga pleura dan menurunkan/mencegah kemungkinan terjadinya pneumotoraks berulang. Penatalaksanaan. Segera berikan oksigen 100% pada pasien. Setelahnya lakukan needle decompression pada pasien lalu siapkanlah untuk memasukkan thoracostomy tube. Setelah selesai, nilai kembali pasien, perhatikan penuh terhadap keadaan ABC pasien. Lakukan pemeriksaan radiologis pada pasien, memposisilan thoracostomy tube, dan koreksilah adanya deviasi mediastinum. Sebagai tambahan, analisis gas darah dapat dilakukan. b. Tamponade Jantung29 Semua pasien harus mendapatkan oksigen, ekspansi cairan dengan darah, plasma, dextran atau larutan NaCl isotonus yang diperlukan untuk menjaga volume intracascular yang adekuat.

50

Tidur dengan kaki ditinggikan. Hal ini akan meningkatkan venous return. Obat inotropic dapat digunakan karena tidak meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik yang akan meningkatkan cardiac ouput. Ventilasi mekanik tekanan positif tidak diberikan karena akan menurunkan venous return dan agregasi tanda dan gejala tamponade. Pericardiocentesis dilakukan untuk membuang cairan

pericardium yang merupakan terapi definitif pada tamponade.

51

BAB III KESIMPULAN

Syok didefinisikan sebagai gangguan metabolik dan hemodinamik yang besar yang ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital. Klasifikasi yang digunakan hingga saat ini adalah klasifikasi berdasarkan mekanisme yang dibuat oleh Hinshaw dan Cox (1972) yakni syok dibagi kedalam empat kelompok: syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif, dan syok distributif. Syok hipovolemik diakibatkan kurangnya volume di intravaskuler yang dapat disebabkan karena kehilangan darah (blood lost)atau kehilangan cairan (fluid loss). Syok kardiogenik disebabkan defek intrinsik pada fungsi jantung. Penyebabnya antara lain kegagalan pompa jantung, trauma kardiak,

kardiomiopati, penyakit jantung kongestif, dan disritmia. Syok distributif akibat dari dilatasi vaskular perifer yang menyebabkan jatuhnya SVR. Tipe syok ini lebih jauh lagi dikalsifikasikan menjadi syok anafilaktik, syok septik, dan syok neurogenik. Syok obstruktif yang disebabkan obstruksi mekanis dari aliran darah melalui sirkulasi sentral. Syok ini dapat disebabkan emboli paru, penumotoraks tension, ataupun tamponade jantung. Masing-masing dari tipe syok tersebut memiliki penatalaksanaan yang berbeda. Namun, penanganan umum dari seluruh jenis syok tersebut adalah penganganan ABC, pemberian O2 100%, bantuan ventilasi bila dibutuhkan, posisikan pasien agar perfusi baik, menjaga pasien tetap hangat, monitor O2, akses intravena, monitor jantung dan oksimetri, dan lain-lain. Penanganan pada kasus syok harus dilakukan secara cepat karena dapat menyebabkan kegagalan organ (organ failure) bahkan kematian.
52

Anda mungkin juga menyukai