Anda di halaman 1dari 34

I.

PENDAHULUAN

Sebagaimana Pemerintah telah menetapkan sistem pendidikan yang baru, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Kemudian dijabarkan dalam Standar Nasional Pendidikan, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Ada delapan item yang standarisasi dalam Standar Nasional Pendidikan, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam Standar Isi di MI, materi fiqih adalah salah satu bagian dari mata pelajaran (pendidikan agama Islam) yang distandarisasi. Di dalamnya dapat ditemukan, yaknii standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara kronolgis, sebagai acuan awal standar isi materi fiqih itu sendiri pada dasarnya terdapat dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut mengungkapkan bahwa setiap satuan pendidikan, madrasah ibtidaiyah salah satunya, berkwajiban dan berhak untuk mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. Karena standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Pengembangan SK dan KD materi Fiqih untuk madrasah ibtidaiyah pada dasarnya adalah sebuah tuntutan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh karenanya, telaah secara mendalam menjadi sebuah keharusan terhadap SK dan KD mata pelajaran Fiqih MI agar pembelajaran Fiqih di madrasah ibtidaiyah dapat optimal. Jika pembelajaran dapat optimal maka asumsinya adalah pendidikan akan dapat maksimal sesuai tujuan yang telah ditentukan di madrasah ibtidaiyah.. Berdasarkan beberapa pemikiran dan asumsi tersebut, kiranya ada tiga persoalan pokok yang perlu ditelaah lebih lanjut mengenai SK dan KD Mata Pelajaran Fiqih MI, yakni meliputi: bagaimanakah realitas redaksisional SK dan KD Fiqih MI dalam Standar Isi yang telah dimodifikasi dan dikembangkan oleh Depag RI dan yang masih orisinil dari Depdiknas RI? Dan terakhir, bagaimanakah pengembangan SK dan KD Fiqih MI yang lebih baik? Namun, sebelumnya agar kedua persoalan tersebut dapat dikaji secara lebih mendalam, ada sebuah persoalan penting yang akan mengawali kedua kajian di atas, yakni berkenaan dengan pembelajaran fiqih untuk anak. Berangkat dari ketiga rumusan masalah di atas, diharapkan jawaban-jawaban berikut sebagaimana tertuang dalam uraian makalah ini dapat untuk lebih memberikan pemahaman mengenai substansi SK dan KD Fiqih MI selama ini beserta kurang lebihnya, dengan memahami kerangka teoritik maupun kerangka praksis pengembangannya.

I.

PEMBAHASAN 1. Materi Fiqih dan Pembelajarannya untuk Anak 1. SK dan KD Fiqih MI yang Dikembangkan

Isi dari standar kompetensi dan kompetensi dasar fiqih MI dikembangkan oleh Departemen Agama dengan mempertimbangkan dan me-review Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam aspek Fiqih untuk SD/MI, serta memperhatikan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006, tanggal 1 Agustus 2006, tentang Pelaksanaan Standar Isi. Isi dari redaksi SK dan KD fiqih MI yang telah dikembangkan oleh Depag RI berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008, untuk kelas I sampai dengan kelas VI, yakni sebagai berikut ini.5 Kelas I, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengenal lima rukun Islam KOMPETENSI DASAR 1.1 Menyebutkan lima rukun Islam 1.2 Menghafalkan syahadatain dan artinya 2.1 Menjelaskan pengertian bersuci dari najis 2. Mengenal tata cara bersuci dari najis 2.2 Menjelaskan tata cara bersuci dari najis 2.3 Menirukan tata cara menyucikan najis. 2.4 Membiasakan hidup suci dan bersih dalam kehidupan sehari-hari

Kelas I, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 3. Mengenal tata cara wudu KOMPETENSI DASAR 1. 1. Menjelaskan tata cara wudu 2. Mempraktikkan tata cara wudu 3. Menghafal doa sesudah wudu

4.1 Menyebutkan macam-macam salat Fardu 4. Mengenal tata cara salat fardu 4.2 Menirukan gerakan salat fardu 4.3 Menghafal bacaan salat fardu

Kelas II, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mempraktikkan salat fardu KOMPETENSI DASAR 1.1 Menyebutkan ketentuan tata cara salat fardu 1.2 Mempraktikkan keserasian gerakan dan bacaan salat fardu 2. Mengenal azan dan iqamah 2.1 Menyebutkan ketentuan azan dan iqamah 2.2 Melafalkan azan dan iqamah 2.3 Mempraktikkan azan dan iqamah Kelas II, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 3. Mengenal tata cara salat berjamaah KOMPETENSI DASAR 3.1 Menjelaskan ketentuan tata cara salat berjamaah 3.2 Menirukan salat berjamaah 4. Melakukan zikir dan doa 4.1 Melafalkan zikir setelah salat fardu 4.2 Melafalkan doa setelah salat fardu

Kelas III, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengenal salat sunah rawatib KOMPETENSI DASAR 1.1 Menjelaskan ketentuan salat sunah rawatib 1.2 Mempratikkan tata cara salat rawatib

2. Mengenal salat Jumat 2.1 Mengenal ketentuan salat Jumat 3.1 Menjelaskan tata cara salat bagi orang 3. Mengenal tata cara salat bagi orang yang sakit yang sakit 3.2 Mendemonstrasikan cara salat dalam keadaan sakit

Kelas III, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengenal puasa Ramadan KOMPETENSI DASAR 1.1 Menjelaskan ketentuan puasa Ramadan 1.2 Menyebutkan hikmah puasa Ramadan 2. Mengenal amalan-amalan di bulan Ramadan 2.1 Menjelaskan ketentuan salat tarawih 2.2 Menjelaskan ketentuan salat witir 2.3 Menjelaskan keutamaan-keutamaan yang ada dalam bulan Ramadan

Kelas IV, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengetahui ketentuan zakat KOMPETENSI DASAR 1.1 Menjelaskan macam-macam zakat 1.2 Menjelaskan ketentuan zakat fitrah 1.3 Mempraktekkan tata cara zakat fitrah 2.1 Menjelaskan ketentuan infak dan sedekah 2. Mengenal ketentuan infak dan sedekah 2.2 Mempraktikkan tata cara infak dan sedekah

Kelas IV, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 3. Mengenal ketentuan salat Id KOMPETENSI DASAR 3.1 Menjelaskan macam-macam salat Id

3.2 Menjelaskan ketentuan salat Id 3.3 Mendemonstrasikan tata cara salat Id

Kelas V, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengenal ketentuan makanan dan minuman yang halal dan haram. 1.2 Menjelaskan binatang yang halal dan haram dagingnya 1.3 Menjelaskan manfaat makanan dan minuman halal 1.4 Menjelaskan akibat makanan dan minuman haram KOMPETENSI DASAR 1.1 Menjelaskan ketentuan makanan dan minuman yang halal dan haram

Kelas V, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 2. Mengenal ketentuan kurban KOMPETENSI DASAR 2.1 Menjelaskan ketentuan kurban 2.2 Mendemonstrasikan tata cara kurban 3.1 Menjelaskan tata cara haji 3. Mengenal tata cara ibadah haji 3.2 Mendemonstrasikan tata cara haji

Kelas VI, Semester 1 STANDAR KOMPETENSI 1. Mengenal tata cara mandi Wajib 1.1 Menjelaskan ketentuan mandi wajib setelah haid KOMPETENSI DASAR

2. Mengenal ketentuan khitan

2.1 Menjelaskan ketentuan khitan 2.2 Menjelaskan hikmah khitan

Kelas VI, Semester 2 STANDAR KOMPETENSI 3. Mengenal ketentuan jual beli dan pinjam meminjam. KOMPETENSI DASAR 3.1 Menjelaskan tata cara jual beli dan pinjam meminjam 3.2 Mempraktikkan tata cara jual beli dan pinjam meminjam

1.

Analisis Materi SK dan KD Fiqih MI 2006 dalam Konteks Pendidikan Islam untuk Anak

Berdasarkan kajian secara mendalam berkaitan dengan isi maupun pengembangan SK dan KD Mata Pelajaran Fiqih untuk madrasah ibtidaiyah (MI) maka dapat ditemukan sedikitnya empat persoalan utama, yakni: pertama; ruang lingkup kajian atau pembatasan kajian fiqih MI; kedua, kedalaman materi fiqih MI; ketiga, sebaran mata pelajaran fiqih MI; dan keempat, yakni strategi implementasi SK-KD mata pelajaran fiqih MI dalam konteks pembelajaran 1. Ruang Lingkup Kajian Fiqih MI

Dalam buku Pengantar Ilmu Fiqih, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menerangkan bahwa secara garis besar tema pembahasan fiqih meliputi tiga hal, yakni ibadat, muamalah, dan uqubat.6 Sementara itu, kalau dicermati SK dan KD fiqih MI hanya mencakup dua fokus perhatian, yakni ruang lingkup fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Fiqih ibadah yakni permasalahan fiqih yang mencakup pengenalan dan pemahaman tentang cara pelaksanaan rukun Islam yang benar dan baik, seperti tata cara bersuci, wudhu dan tata caranya, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Fiqih muamalah yakni permasalahan fiqih yang menyangkut pengenalan dan pemahaman ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, qurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam-meminjam. Jadi, ruang lingkup kajian fiqih di MI adalah baru mencakup dua dari tiga pokok pembahasan dalam materi kajian keilmuan fiqih 1. Kedalaman Materi Fiqih MI

Berdasarkan 22 Standar Kompetensi (SK) dan 50 Kompetensi Dasar (KD) di dalam Standar Isi di atas dapat dianalisis bahwa dari SK sejumlah itu secara kuantitatif dapat dilihat bahwa mayoritas, 82 % diantaranya, adalah tergolong fiqih praktis. Maksudnya adalah materi fiqih yang diajarkan memprioritaskan fiqih yang

dekat terhadap pengalaman nyata siswa dan siap diamalkan dalam keseharian (direct learning) mereka. Namun, pembahasan tentang ibadah, semisal shalat, seharusnya tidak hanya terbatas pada syarat, rukun, sunnah, dan batalnya saja melainkan juga menyinggung adab dan hikmah yg relevan agar siswa mampu mengenali bahkan mengapresiasi dimensi akhlak (pembinaan moral) & makna fungsional (manfaat) dari ibadah. Kemudian, materi fiqih juga tidak hanya mencakup hal-hal yang primer, melainkan seharusnya mencakup juga hal-hal sekunder semisal shalat sunnah dan puasa sunnah. Namun ada hal primer dalam lingkup rukhshah yg belum tercakup seperti tayammum, padahal shalat bagi orang yg sakit (yg masuk kedalam lingkup rukhshah) sudah tercakup dalam pembahasan tersebut. Sementara itu, dalam perspektif psikologis, jika melihat substansi standar kompetensi dan kompetensi dasar dari SK dan KD untuk kelas III semester 2 dan kelas V semester 2, bisa diamati bahwa substansi materinya nampak tidak tepat untuk anak seusia mereka. Seperti materi puasa yang diberikan kepada anak kelas III semester 2. Dalam standar kompetensi disebutkan yakni: Mengenal Puasa, kemudian kompetensi dasarnya adalah pertama, Menjelaskan ketentuan puasa Ramadhan, dan kedua, Menyebutkan hikmah puasa Ramadhan. Kemudian, SK dan KD kelas V semester 2 juga, yakni Mengenal tatacara ibadah haji, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, Menjelaskan tata cara ibadah haji, dan kedua, Mendemonstrasikan tata cara ibadah haji. Ketidaktepatan pemberian materi puasa untuk kelas III semester 2 didasari karena adanya kontradiksi antara materi itu dengan realitas karakter perkembangan anak kelas III MI yang rata-rata baru berusia 9 tahun. Perlu diketahui bahwa untuk usia tersebut, karakter perkembangan agama mereka masih bersifat imitative . Anak juga baru mampu memahami sebatas dari apa yang bisa dilakukannya. Sebagaimana dikemukakan oleh F.J. Monks, dkk., bahwa anak belum memiliki orientasi mengenai pemisahan subjek-objek, perasaan dan pandangan masih berpusat pada diri sendiri. Sehingga ketika puasa pada usia itu belum menjadi kwajiban bagi diri mereka maka sebaiknya puasa akan lebih tepat diberikan pada kelas-kelas yang lebih tinggi, di mana anak sudah akil balig, seperti kelas V atau kelas VI. Pada tingkatan anak bisa merasakan berkwajiban puasa. Kemudian dalam SK dan KD fiqih MI kelas V semester 2 disebutkan bahwa standar kompetensi kedua, yakni: Mengenal tatacara ibadah haji, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, Menjelaskan tata cara ibadah haji, dan kedua, Mendemonstrasikan tata cara ibadah haji. Kompetensi dasar di atas, nampak adanya overlapping yang hampir mirip dengan argumen untuk kritik terhadap materi yang kelas II semester 2 di atas. Pada substansi materi fiqih kelas V semester 2 ini justru nampak sekali bahwa ada upaya untuk menanamkan kognitif dan motorik semata tanpa ada perhatian pembentukan sikap pada sisi afektif. Hal ini dikarenakan, materi Haji ialah ibadah yang sebenarnya dilakukan bagi mereka yang sudah mampu. Dalam konteks di sini anak dibawa memahami suatu materi yang jauh dari konteks konkrit ibadah sebenarnya. Proses direct learning tidak terjadi pada hal ini. F.J. Monks, dkk., mengungkapkan bahwa anak dalam stadium kognitif operasional konkrit (mulai 11 tahun) dapat berpikir operasional dengan catatan bahwa materi berpikirnya ada secara

konkrit. Dengan demikian, fiqih MI sebaiknya menyajikan materi-materi yang secara realitas itu konkrit dapat dirasakan secara inderawi dan dapat dialami oleh peserta didik. Mel Silberman bahkan mengatakan kalau belajar yang sesungguhnya tiadak akan terjadi, tanpa ada kesempatan untuk berdiskusi , membuat pertanyaan, mempraktikkan bahkan mengajarkan pada orang lain. 10 Sehingga kunci keberhasilan pembelajaran fiqih MI juga sangat ditentutakan oleh materi yang dipilihnya. Sedangkan standar kompetensi untuk fiqih MI kelas III semester 2 yang nomor dua yakni Mengenal amalan-amalan di bulan Ramadhan. Substansi materi pada standar kompetensi maupun di kompetensi dasar sebagai penjabarannya tersebut, sudah bisa dinilai tepat untuk usia anak kelas III. Kemudian juga untuk fiqih MI kelas V smester 2 standar kompentensi pertama, yakni, Mengenal ketentuan ibadah Qurban, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, Menjelaskan ketentuan Qurban, dan kedua, Mendemonstrasikan tata cara Qurban. Opini ini didasarkan pada sebuah argumen bahwa amalan-amalan bulan Ramadhan, begitu pula perayaan Qurban, pada dasarnya merupakan amalan umum, semua anak pasti dan pernah mengikutinya, baik karena ajakan orang tua, tetangga, saudara, atau niat pribadi. Sebuah amalan yang sepertinya pada masa kekinian telah menjadi seperti tradisi. Maka materi ini tepat bagi anak MI kelas V berkaitan juga dengan salah satu sifat yang penting dari perkembangan berpikir operasional konkrit, yakni sifat deduktifhipotetis. F.J. Monks menjelaskannya; Suatu kecenderungan anak yang berpikir operasional konkrit jika harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki wilayahnya. Anak mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usah-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.. 11 Jadi meng-exsplore pengetahuan anak dengan menstimuli melalui materi yang relevan dengan konteks realitas yang ada pada dasarnya akan mengefektifkan proses pembelajaran fiqih itu sendiri. Sementara beberapa contoh dari kompetensi dasar di atas, yakni seperti, (12.1) Menjelaskan ketentuan puasa, (12.2) Menyebutkan hikmah puasa, (13.1) Menjelaskan ketentuan shalat tarawih dan witir, (13.2) Melaksanakan tadarus, (18.1) Menjelaskan ketentuan Qurban, (18.2) Mendemonstrasikan tata cara Qurban, (19.1) Menjelaskan tatacara haji, (19.2) Mendemonstrasikan tatacara haji. Penyusunan urutan kompetensi dasar per standar kompetensi dasar di atas yang dimulai dari penjelasan secara verbal, kemudian baru ranah praktisnya adalah selaras dengan karakter dasar dari perkembangan agama anak yang masih bersifat, verbalized and ritualistic. Suatu karakter keagamaan yang ditunjukkan pada anak yang mula-mula tumbuh secara verbal atau ucapan. Kemudian, anak menghafal bacaan-bacaan tersebut, kemudian melakukannya dan membiasakannya. Jadi, dari segi sequence tujuan pembelajarannya, SK dan KD fiqih MI dalam sampel di atas adalah relevan dan tepat. 1. Sebaran SK dan KD Fiqih MI

Sebaran kompetensi mata pelajaran fiqih nampak belum begitu sekuensial, misalnya untuk kompetensi kelas IV semester 2 (antara zakat fitrah dan sadaqah/infaq bisa disatukan), kompetensi memahami makanan-minuman dan daging hewan yang

halal dan haram untuk kelas V semester 1, khitan dan mandi wajib untuk kelas V semester 2, sedangkan kelas VI bisa difokuskan pada muamalah. Kompetensi mata pelajaran fiqih nampak hanya berkaitan dengan ranah kognisi dan psikomotor, sedang ranah afeksi masih kurang tersentuh. Jika dalam mata pelajaran akidah-akhlak terdapat kompetensi semisal: menghayati, terbiasa/membiasakan, mencintai yg termasuk ranah afeksi, maka sangatlah mungkin dalam mata pelajaran fiqih dimasukkan kompetensi afektif. 1. Pengembangan SK dan KD Fiqih MI

Pengembangan SK dan KD fiqih MI adalah merupakan kwajiban bagi para pengelola madrasah ibtidaiyah, khususnya para guru di MI. Karena, guru-lah pihak yang paling berperan dalam proses pembelajaran di kelas. Maka berhasil dan tidaknya suatu proses pembelajaran fiqih memang lebih dominant tergantung dari kompetensi dan profesionalisme guru dalam mengembangkan SK dan KD fiqih MI yang telah disusun oleh Pemerintah. Harapan ini juga merupakan kelonggaran yang diberikan Pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada Satuan Pendidikan untuk mengembangkan pendidikan semaksimal mungkin sesuai dengan karakter dan ciri khas masing-masing. Upaya pengembangan SK dan KD Fiqih MI pada dasarnya juga harus melihat substansi dari mata pelajaran fiqih itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan di muka, pokok pembahasan fiqih MI adalah meliputi dua hal yakni fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Materi fiqih memiliki karakter pelajaran yang mengandung tiga ranah tujuan pembelajaran yakni; kognitif, afektif, dan psiko-motorik. Kawasan kognitif yakni kawasan yang membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi. Kawasan afektif yakni satu domain yang berkaitan dengfan sikap, nilai-nilai interes, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan social. Dan kawasan psikomotorik, yakni; domain yang mencakup tujuan yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) yang bersifat manual atau motorik.13 Dalam pengembangan SK dan KD fiqih MI, ada beberapa persoalan penting yang perlu dikembangkan, yakni materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, media pembelajaran, dan evaluasi pembelajarannya. Pertama, materi fiqih yang relevan untuk dikembangkan bagi level madrasah ibtidaiyah, yakni seharusnya berkaitan dengan level-level dasar-dasar dari pembahasan fiqih, baik yang ibadah maupun muamalah. Adapun persoalan puasa, shalat, tadarus, Qurban, dan haji adalah termasuk dalam kajian ibadah. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqie, sekumpulan hokum-hukum yang dinamai ibadah yakni thaharah, shalat, janazah, shiyam, zakat, zakat fitrah, hajji, jihad, nadzar, qurban, dzabihah, shaid, aqiqah, dan makanan serta minuman. Materi-materi fiqih MI pada dasarnya adalah merupakan pesan yang ingin disampaikan kepada peserta didik yang masih level anak-anak. Pesan menurut Dr. Hamzah B. Uno, M. Pd, merupakan informasi yang akan disampaikan oleh komponen lain; dapat berupa ide, fakta, makna, dan data. Unsur-unsur pesan meliputi, origin, mode, phisycal character, organization, dan novelty. Namun dalam program

pendidikan yang bersifat pembelajaran (instruktional) tidak semua unsure dapat digunakan, dan apabila akan memasukkan unsure-unsur tersebut kemasannya harus indah untuk didengar dan tidak vulgar. Materi sebaiknya dipilih yang konkrit dan bisa menimbulkan direct learning pada peserta didik. Karena anak-anak madrasah ibtidaiyah masih dalam level operasional konkrit. Maka penjelasan-penjelasan mengenai puasa, amalan bulan Ramadhan, qurban, dan haji, semaksimal mungkin ditampilkan secara riil dihadapan peserta didik. Di era kemajuan dan perkembangan iptek yang begitu pesat, hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Kedua, yakni pengembangan SK dan KD materi fiqih MI pada wilayah kegiatan pembelajarannya. Strategi pembelajaran fiqih untuk anak madrasah ibtidaiyah harus memperhatikan berbagai faktor yang terkait, terutaman materi dan karakteristik perkembangan peserta didik. Di mana desain pembelajaran juga merupakan faktor lain yang penting di dalamnya. Desain pembelajaran merupakan tata cara yang dipakai untuk melaksanakan proses pembelajaran. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam desain pembelajaran meliputi siswa, tujuan, metode dan evaluasi. Penerapan Paikem (Pembelajaran Aktif, Islam, Kreatif, Entertaint, dan Menarik) dalam pembelajaran fiqih di MI. Misal, mengajak atau menugasi siswa ke pusat perbelanjaan atau pasar untuk mengenali atau mengidentifikasi secara induktif realitas jual-beli yang ada: tata caranya, jenis yang halal dan haram, sehingga tidak sekedar based on text. Ini sangat sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi siswa yg memang berada dalam tingkat operasional konkret.17 Metode pembelajaran fiqih untuk anak madrasah ibtidaiyah ditentukan berdasarkan karakteristik pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaan anak MI serta perkembangan karakteristik keberagamaannya. Ketika pendidik telah mampu memahami pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak, pendidik dapat berkreasi untuk menciptakan metode sesuai dengan kebutuhan, mitvasi dan kondisi anak. 1. Bermain Bermain merupakan metode alamiah yang memberikan suatu kepraktisan kepada anak dalam berbagai kegiatan yang akan menjadi kenyataan dalam kehidupan berikutnya. Melalui bermain anak belajar bagaimana menggunakan alat-alat, bagaimana cara melakukan suatu ritual haji, ritual qurban, dan sebagainya, serta bagaimana cara bekerjasama dengan anak lainnya. Bahkan, Johann Amos Comenius mengungkapkan pendapatnya mengenai permainan pada anak-anak yakni bahwa permainan dan hiburan akan menumbuhkan semangat bagi diri anak yang keikutsertaannya merupakan media untuk perkembangan akal, sopan-santun dan kebiasaan anak. Tipologi permainan yang dapat digunakan dalam pembelajaran fiqih MI yakni seperti permainan fungsi atau gerak, permainan ilusi dan permainan menerima atau reseptif. Permainan fungsi atau gerak ini adalah permainan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan seperti untuk ritual haji, sedangkan permainan ilusi adalah permainan yang berbuat seolah-olah sungguhan dalam fantasi anak seperti untuk haji

dan puasa, dan permainan menerima yakni permainan yang bersifat menerima, bagi anak mereka hanya diam saja tanpa melakukan gerak. Contohnya yakni mendengarkan cerita. 1. Bercerita Daya fantasi pada diri anak bersumber dari keinginan akan keberanian akan kebebasan, juga merupakan kelanjutan anak dari keinginan dan kebutuhan. Daya fantasi anak luas, kuat, aktif dan tanpa batas. Dantasi seperti itu menjadi jalan atau ekspresi dalam permainan, dalam dongeng dan menggambar. Dasar pertimbangan untuk menggunakan metode bercerita dalam kegiatan pembelajaran fiqih di MI yakni anak memiliki sifat anthromorph, egocentris, imitative, wondering dalam perkembangan rasa agamanya. 1. Pembiasaan Metode pembiasaan ini mengindikasikan adanya keharusan meberikan arahan perilaku tertentu yang dipelajari oleh anak agar dapat berperilaku dengan tepat. Oleh karenanya, metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kedisiplinan. Pembiasaan dalam perilaku sehari-hari akan mempengaruhi sifat imitative anak, sehingga dapat berpengaruh bagi perkembangan moral dan kemampuan kognitif. Pembiasaan melalui kedisiplinan atau belajar di bawah bimbingan akan merangsang anak untuk berekreasi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitakn emosi yang menyenangkan dan dicegah untuk tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan, yaitu dengan cara mengendalikan lingkungan. Ketiga, yakni pengembangan SK dan KD fiqih MI dalam konteks penggunaan media pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat bantu untuk melaksanakan proses pembelajaran. Tujuan penggunaannya yakni untuk mempertinggi kualitas proses pembelajaran fiqih yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas hasil belajar siswa. Adapun untuk pengembangan SK dan KD fiqih MI di atas untuk kawasan penilaian, maka berdasarkan materi yang ada dari SK dan KD tersebut penilaian yang cukup relevan untuk anak-anak MI yakni pertanyaan lisan, kuis, tugas individu, ulangan harian, ulangan semester, ulangan kenaikan kelas, praktik, dan penugasan. Dalam hal ini, penilaian dilakukan berdasarkan pada indikator yang dikembangkan dari kemampuan dasar sesuai materi pembelajaran yang telah diajarkan. Adapun indikator dikembangkan dari SK dan KD fiqih MI itu sendiri. I. PENUTUP

Demikianlah uraian mengenai telaah kritis terhadap SK dan KD fiqih MI, tibalah pada kesempatan terakhir, yakni kesimpulan. Pada bagian ini tentu saja ada beberapa point yang menjadi kunci jawaban dari tiga persoalan di depan, yakni:

1.

2.

3.

Pada dasarnya isi SK dan KD materi fiqih di madrasah ibtidaiyah adalah seperti acuan yang telah ditetapkan oleh Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 dan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 namun telah di-review dan dikembanagkan oleh Departemen Agama. Namun secara substansial isinya tidak ada perbedaan. Beberapa bagian dari SK dan KD fiqih MI berdasarkan beberapa analisis menurut perspektif psikologis maupun pedagogis ada nuansa tidak pada tempatnya. Maksudnya adalah SK dan KD menganung materi yang bertentangan dengan realitas kebutuhan dan karakteristik perkembangan kejiawaan peserta didik. Pengembangan SK dan KD fiqih MI pada dasarnya dikembangkan kepada indicator pencapaian hasil belajar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, media pembelajaran sampai kepada evaluasi pembelajaran yang didasarkan kepada pertimbangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis peserta didik di Madrasah IBtidaiyah yang masih taraf anak-anak.

Kami tentu saja menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik dari semua pihak sangat kami tunggu demi kesempurnaannya. Terimakasih. DAFTAR PUSTAKA Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 1, Terjemahan: Med. Meitasari Tjandrasa, Muslichah Zarkasih, Jakarta: Erlangga, 1978. E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. F.J. Monks, dkk., Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998. ., Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004, Cet. XV.

Telaah Kritis Atas SKKD Untuk Madrasah


Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (tugas makul Pengembangan Kurikulum Dan Program Pengajaran)
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) A. Latar Belakang Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi muda, yang bahkan kadang-kadang perubahan itu sangat kompleks. Kehidupan keluarga, termasuk anak-anak sekarang memberikan banyak kebebasan dan banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar. Dunia menjadi semakin kosmopolitan dan kita semua mempengaruhi satu sama lain. Demikian ujar desainer Paloma Picasso, seperti dikutip oleh John Naisbitt (1990:106) Di lain pihak dengan kemajuan di bidang komunikasi (termasuk telekomunikasi tentunya), melalui film, TV, radio, surat kabar, telepon, komputer, internet, dan lain lain. anak-anak sekarang sudah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Dalam tulisan berikutnya, John Naisbitt menggambarkan: Dahulu biaya untak memulai sebuah surat kabar sama dengan biaya untuk memulai sebuah pabrik baja. Akan tetapi, dengan desktop edition sekarang ini, sebuah surat kabar dapat dimulai dalam semalam dengan sedikit sekali biaya. Daily Planet Telluride sepenuhnya didigitalkan, termasuk pemakaian kamera digital yang citranya diumpankan langsung ke dalam komputer. (John Naisbitt, 1994:28-29). Jadi sekarang ini kehidupan kita senantiasa dibayangi oleh perkembangan IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa, yang menyebabkan terjadinya ledakan informasi. Pertumbuhan pengetahuan pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam dash kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi kadaluwarsa hanya dalam dash kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo). Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. B. Kajian Teori a. Pengertian Kurikulum Dalam banyak literatur kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen

merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman. Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau joke sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Olivia (1997:12) mengatakan Curriculum itself is a erect or concept, a verbalization of an intensely formidable suspicion or set of ideas. Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini: filosofi kurikulum ruang lingkup komponen kurikulum polarisasi kurikulum kegiatan belajar posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undangundang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbununyi: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan.

b. Proses Kurikulum dalam Pendidikan Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan (Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan complicated dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua section pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis. Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah construct yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah amicable yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan. Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warga negara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa. Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau module Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau joke dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau joke dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2). Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari complement pemerintahan sentralistis ke complement pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan grave seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum. Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang penting. Alokasi waktu ini adalah construct para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan grave seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam indication kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau joke kehidupan global. pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) UndangUndang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah

mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs. Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan indication penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai indication penjurusan untuk kurikulum SMA. Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau joke harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini. c. Macam-macam Kurikulum Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek: Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut: 1) Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum 2) Kurikulum aktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar. 3) Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu itu bisa berupa pengaruh guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai

contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik. Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan: 1) Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. 2) Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. 3) Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain. Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi: 1) Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional. 2) Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat. 3) Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum. C. Sejarah Kurikulum Indonesia Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. 1. Rencana Pelajaran 1947 Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah smirk plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih renouned ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950.

Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, and garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. 2. Rencana Pelajaran Terurai 1952 Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran, kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung epoch Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan dignified (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. 3. Kurikulum 1968 Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada module Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani. Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji

coba terhadap indication desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975. 4. Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu, kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajarmengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Kurikulum 1975 joke dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognisi, afektif, dan psikomotor, maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). 5. Kurikulum 1984 Kurikulum 1984 mengusung routine ability approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri Jakarta periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar indication berceramah. Penolakan CBSA bermunculan. Seiring dengan perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan joke sering terjadi sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini. Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia. 6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses, kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-

kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambah sejumlah materi. Dengan demikian, perubahan kurikulum terus berubah dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin terpuruk hingga berada pada turn ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan hanya dengan perubahan kurikulumlah sehingga keterpurukan itu dapat didongkrat ke arah yang lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi. 7. Kurikulum 2004 Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila aim kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guruguru joke tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. 8. KTSP 2006 Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian aim kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang pale menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR) 9. Perkembangan Kurikulum di Indonesia Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia Tahun Kurikulum Keterangan 1947 Rencana Pelajaran 1947 Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan. Istilah kurikulum masih belum digunakan. Sementara istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran

1954 Rencana Pelajaran 1954 Kurikulum ini masih sama dengan kurikulum sebelumnya, yaitu Rencana Pelajaran 1947 1968 Kurikulum 1968 Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi pertama di Indonesia. Beberapa masa pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies). Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering disebut Sains. 1975 Kurikulum 1975 Kurikulum ini disusun dengan kolom-kolom yang sangat rinci. 1984 Kurikulum 1984 Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 1994 Kurikulum 1994 Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1984 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Kurikulum ini belum diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah telah dijadikan uji coba dalam rangka proses pengembangan kurikulum ini 2008 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK. Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). D. Pendidikan Berbasis Kompetensi Pembaharuan pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah berhenti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi. Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu. E. Pengembangan Kurikulum Kurikulum dapat dimaknai sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai

kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kuahtas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut aspek lain dari makna kurikulum adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar di sini dimaksudkan adalah pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik seperti yang direncanakan dalam dokumen tertuhs. Pengalaman belajar peserta didik tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/instruktur/pendidik. Dokumen tertulis yang dikembangkan dosen ini dinamakan Rencana Perkuliahan/Satuan Pembelajaran. Pengalaman belajar ini memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh peserta didik tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum. Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi yaitu pengembangan ide dasar untuk kurikulum, pengembangan program, rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, pengalaman belajar, penilaian dan hasil. Keenam dimensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu Perencanaan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan Evaluasi Kurikulum. Perencanaan Kurikulum berkenaan dengan pengernbangan Pokok Pikiran/Ide kurikulum dimana wewenang menentukan ada pada pengambil kebijakan urtuk suatu lembaga pendidikan. Sedangkan Implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas) dimana yang menjadi pengembang dan penentu adaIah dosen/tenaga kependidikan. Evaluasi KurikuIum merupakan kategori ketiga dimana kurikulum dinilai apakah kurikulum memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik berkenaan dengan salah satu dimensi ataukah keseluruhannya. Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya. F. Kompetensi Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Association K.U. Leuven mendefinisikan bahwa kompetensi adalah peingintegrasian dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan untuk melaksanakan satu cara efektif. G. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi mulai diterapkan di Indonesia pada tahun pelajaran 2001/2002 dibeberapa sekolah SD, SMP, dan SMA yang ditunjuk oleh pemerintah dan atau atas inisiatif sekolah sendiri yang disebut mini piloting KBK di bawah koordinasi direktorat SMP/SMA dan pusat kurikulum. Legalitas grave pelaksanaan KBK pada tingkat pendidikan dasar dan menengah belum ada karena tidak ada Permendiknas yang mengatur tentang hal itu. Meskipun demikian landasan hukum untuk penyelenggaraan KBK bisa mengacu pada: Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah bidang pendidikan dan kebudayaan yaitu : pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar

serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok. Undang-undang No. 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional dan kemudian diganti dengan UU RI No. 20 tahun 2003 pada Bab X pasal 36 ayat: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) Kurikulum pada semua enjag dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasii sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pada pasal 38 ayat 91) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebut maka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional mata pelajaran adalah seperti tampak pada standar kompetensi. Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan module pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugastugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian. Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented) 2. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 3. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan 4. Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdifferensiasi 5. Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta 6. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).(Aal, Mb). Eve Krakow (2005) mengemukakan bahwa pengajaran berbasis kompetensi adalah keseluruhan tentang pembelajaran aktif (active learning) dimana guru membantu siswa untuk belajar bagaimana belajar dari pada hanya mempelajari isi (learn how to learn rather than only cover content). Kurikulum berbasis kompetensi memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran. Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai

dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masingmasing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar. Dari definisi-definisi di atas kurikulum berbasis kompetensi menekankan pada mengeksplorasi kemampuan/potensi peserta didik secara optimal, mengkonstruksi apa yang dipelajari dan mengupayakan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kurikulum berbasis kompetensi berupaya mengkondisikan setiap peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga proses penyampaiannya harus bersifat kontekstual dengan mempertimbangkan faktor kemampuan, lingkungan, sumber daya, norma, integrasi dan aplikasi berbagai kecakapan kinerja, dengan kata lain KBK berorientasi pada pendekatan konstruktivisme, hal ini terlihat dari ciri-ciri KBK, yaitu: a) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara particular maupun klasikal b) Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman c) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi d) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar yang lain yang memenuhi unsur edukasi e) Penilaian menekankan pada proses dan hasil dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Dengan kurikulum yang demikian dapat memudahkan guru dalam penyajian pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu: belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar hidup dalam kebersamaan. H. Perbandingan KBK dengan Kurikulum 1994 Perbedaan mendasar antara Kurikulum 1994 dengan KBK seperti tertera dalam buku Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah (Anonim, Depdiknas 2003) terletak pada penguasaan kompetensi, yakni merupakan gabungan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten. Sedangkan kurikulum 1994 meskipun telah menggabungkan ketiga ranah tersebut, tetapi ketiganya belum nampak dilakukan secara bersama-sama dan menjadi kebiasaan berpikir dan bertindak, apalagi kebiasaan yang dilakukan secara konsisten. Jadi perbedaan utama keduanya adalah penekanan pada kompetensi dan latihan kompetensi yang dilakukan secara terus menerus, serta pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini beberapa persamaan dan perbedaan KBK dan kurikulum 1994 berdasarkan kajian pustaka dan pengalaman di lapangan:. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Kurikulum 1994 1. PERSAMAAN 1) Pendidikan dasar 9 tahun 2) Penekanan pada kemampuan Membaca, Menulis, dan Berhitung 3) Konsep-konsep dan materi pokok (esensial) pada setiap mata pelajaran untuk mencapai kompetensi 4) Adanya muatan lokal 5) Alokasi waktu setiap jam pelajaran tetap 45 menit untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. 2. PERBEDAAN KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) 1) Pemberdayaan sekolah dan daerah 2) Memuat Standar Kompetensi 3) Kegiatan pembiasaan perilaku terintegrasi dan terprogram 4) Pengenalan mata pelajaran TIK 5) Penilaian Berbasis Kelas (PBK) 6) Pendekatan tematik di kelas we dan II SD/MI untuk memperhatikan kelompok usia 7) Kesinambungan pemeringkatan kompetensi bahan kajian dari kelas we sampai kelas XI. Silabus disusun oleh daerah dan atau sekolah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kurikulum1994 1) Sentralistik 2) Tidak memuat standar kompetensi 3) Tidak ada kegiatan pembiasaan perilaku terintegrasi dan terprogram 4) belum ada mata pelajaran TIK 5) Meskipun sudah disarankan untuk melakukan PBK, kenyataannya masih didominasi penilaian pilihan ganda 6) Pendekatan tematik di kelas we dan II SD/MI hanya disarankan 7) Tidak ada kesinambungan pemeringkatan kompetensi bahan kajian dari kelas we sampai kelas XII Memberikan peluang pada guru/sekolah/daerah untuk mengembangkan potensinya I. Prinsip Prinsip KBK Dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip implementasi meliputi (1) kegiatan belajar mengajar, (2) penilaian berbasis kelas, dan (3) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. 1. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Ada dua hal yang perlu ditegaskan sebagai prinsip dasar KBM. Pertama, mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Kedua, kegiatan belajar mengajar yang berorintasi pada pemberdayaan peserta didik seperti mengembangkan kreativitas, menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menciptakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui

berbuat (DEPDIKNAS, 2003). Istilah mengembangkan dan memperdayakan merujuk kepada adanya pengetahuan dasar yang dibawa oleh masing-masing peserta didik untuk dikembangkan dalam lingkungan kelas. Dalam pengertian lain, tidak ada seorang anak joke yang datang ke sekolah tanpa membawa pengetahuan yang terkait dengan mata pelajaran yang hendak dipelajari. Berbeda dengan Indonesia, negara-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya hampir tidak memiliki kendala yang berarti dalam mengimplementasikan indication pembelajaran konstruktivisme (agak mirip dengan KBK di Indonesia) karena ditunjang oleh sarana teknologi yang sangat memadai. Setiap peserta didik memiliki peralatan komputer dan fasilitas Internet yang serba gratis di rumah. Jumlah mata pelajaran setiap hari yang hanya berkisar antara tiga sampai empat mata pelajaran dengan alokasi waktu yang cukup panjang (jam 8.30 sampai dengan jam 4 sore) serta jumlah peserta didik yang hanya 15-20 yang ditangani oleh 1 orang guru inti dan 2-3 orang guru bantu ditambah dengan sarana komputer lengkap dengan fasilitas Internetnya di setiap kelas menyebabkan efektifitas dan efisiensi kerja guru terasa lebih nyaman. Apa lagi atmosphere conditioning, AC, yang dilengkapi di setiap sudut-sudut ruangan kelas. Jika rancangan KBM yang diadopsi dari indication pembelajaran konstruktivisme seperti yang dikembangkan di beberapa negara maju saat ini akan diterapkan di suatu negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia tanpa mengadaptasi dengan ketersediaan sarana dan prasarana serta adat-istiadat, budaya, dan tradisi yang dianut secara menyeluruh oleh bangsa Indonesia bukan tidak mungkin produk pendidikan yang diselenggarakan akan menuai kegagalan yang lebih parah dari keterpurukan mutu pendidikan sebelumnya. 2. Penilaian Berbasis Kelas Ketika kita berbicara masalah penilaian, indication standarisasi yang menjadi patokan dasar penilaian terhadap pencapaian prestasi belajar peserta didik harus diestimasi berdasarkan tingkat kesulitan isi materi dan proses pembelajaran. Aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian mencakup kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk kerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil test). Oleh sebab itu, indication penilaian bukan berdasarkan pada hasil, melainkan berorientasi pada proses. Selanjutnya, prinsip dasar penilaian berbasis kelas dapat diamati melalui keikutsertaan peserta didik dalam memberikan penilaian terhadap teman dalam satu kelompok (peer evaluation). Mereka akan dimintai penilaian terhadap kontribusi, kerja sama, serta tanggungjawab yang diberikan oleh masing-masing peserta didik dalam suatu kelompok. Hasil penilaian itu akan dibagi dengan hasil penilaian dari aspek lain oleh baik guru kelas maupun guru bantu (jika ada). Peserta didik joke berhak untuk memberikan penilaian terhadap cara kerja, pengetahuan, dan sikap guru selama berlangsungnya proses belajar mengajar. Penilaian tersebut dapat dijadikan dasar oleh kepala sekolah untuk membina kinerja guru dalam melakasanakan tugas fungsional mereka sebagai pendidik. Objektivitas penilaian peserta didik baik terhadap teman sekelompok mereka maupun terhadap guru mata pelajaran dapat dipastikan masih sangat sulit diwujudkan mengingat tradisi kasih-mengasihani masih sangat kental dalam prilaku keseharian

kita. Akibatnya, rekayasa penilaian sangat mungkin terjadi apalagi antara sesama peserta didik dan bahkan mungkin antara pendidik dan peserta didik.

3. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah Prinsip dasar pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) dapat diterjemahkan dari istilah yang lebih populer digunakan seperti kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan. Perangkat dan dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah DEPDIKNAS dapat digunakan oleh seluruh sekolah pada seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia menunjukkan adanya kesatuan dalam kebijaksanaan. Sedangkan keberagaman dalam pelaksanaan dapat menjangkau keberagaman silabus, modul, training episode, rubrik, bulletin pemebelajaran, dan bahkan berbagai pendekatan dalam menyampaikan materi pembelajaran. KBK, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya telah mengangkat peranan sekolah lebih besar dengan memberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengembangkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki peserta didik sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan sekolah tersebut. Kewenangan ini boleh jadi akan memupuk dan memberi peluang kepada sekolah baik pendidik (guru), administrator, dan kepala sekolah untuk merancang dan mengembangankan indication pembelajaran yang inovatif dan reformatif. Hal ini dapat terwujud jika sumber daya manusia yang mengelola sekolah itu lebih kompeten dalam bidang mereka masingmasing. Jika tidak, sekolah itu joke akan tertinggal jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka Toharuddin (Oktober 2005). J. Komponen Komponen Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen dasar yaitu: Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Kegiatan Belajar Mengajar, dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, secara skematis dapat dilihat dari gambar di bawah ini: 1) Kurikulum Hasil Belajar (KHB) Memuat perencanaan pengembangan peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai dengan usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar, dan indikator dari Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal (TK & RA) sampai dengan kelas XII. KHB membrikan suatu rentang kompetensi dan hasil belajar siswa yang bermanfaat bagi guru pendidikan pradasar (TK & RA) sampai kelas XII SMA untuk menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa, bagaimana seharusnya mereka dievaluasi, dan bagaimana pembelajaran disusun. KHB dibagi menjadi satu (1) rumpun pengembangan TK dan RA dan 11(sebelas) rumpun pelajaran yang terdiri dari Pendidikan Asgama, Kewarganegaraan, Bahasa Indoenesia, Matematika, sains, Ilmu Sosial, Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, Kesenian, dan Pendidikan Jasmani. Keterampilan, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi. 2) Penilaian Berbasis Kelas (PBK)

Memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui penilaian terpadu dengan kegiatan belajar mengajar di kelas (berbasis kelas) dengan mengumpulkan kerja siswa (fortofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis. Penilaian ini mengidentifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, dan memuat pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. 3) Kegiatan Belajar Mengajar Memuat gagasan-gagasan pokoktentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. 4) Pengelolaan Kurikulum Berbasis sekolah Memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum, pengembangan perangkat kurikulum (antara lain silabus), pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem infoermasi kurikulum. K. Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk Pendidikan Tinggi 1. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232 Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum. berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) training to do, (3) training to live together, dan (4) training to be. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9 berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai berikut: Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232 tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis kompetensi walau. joke secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian. 2. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No.045/U/2002 Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinankemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-elemen kompetensi. Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah pengembangan module yang dinamakan dengan kurikulum inti dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan nomor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas nomor 045: Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat: a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan b. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan module studi c. berlaku secara. nasional dan internasional d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, clan e. kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. 3. Implementasi Kurikulum Dalam rangka implementasi KBK di perguruan tinggi, maka hendaknya kita memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi. Dengan demikian maka setiap mata kuliah harus menjabarkan, kompetensi yang dikembangkan mata kuliah tersebut sehingga setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap mata kuliah terhadap kelima, kategori kompetensi. 4. Penilaian Dengan kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut: a) Penilaian hasil belajar b) Penilaian proses belajar mengajar c) Penilaian kompetensi mengajar dosen d) Penilaian relevansi kurikulum e) Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas f) Penilaian module (akreditasi) Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah: a) Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi. b) Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran c) Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka d) Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar.

Perubahan yang mendasar juga terjadi pada kriteria lulus dan tidak lulus (menguasai kompetensi atau tidak). Dalam konteks ini tidak setiap kompetensi memiliki rentangan 0 4 atau E, D, C. B, dan A, melainkan pendekatan penilaian yang bersifat poise (Mastery-based Evaluation) untuk menggantikan pendekatan skala yang digunakan pada saat ini. 5. Komponen Yang Terlibat Serta Peranannya Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KBK ini dengan baik sejumlah komponen perlu terlibat secara inten dan memberikan perannya masingmasing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain: a) Visi dan Misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar. b) Partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, naahasiswa) dalam bentuk shared vision dan mutual commitment untuk optimasi kegiatan pembelajaran. c) Iklim dan kultur akademik yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan. d) Keterlibatan kelompok masyarakat pemrakarsa (stakeholders) serta. Masyarakat pengguna lulusan itu sendiri. L. Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dikembangkan dengan tujuan memperbaiki kelemahan pada Kurikulum 1994. KBK menitikberatkan pada kompetensi yang harus dicapai siswa. Misalnya, standar kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar bahasa pada hakikatnya belajar berkomunikasi dan belajar menghargai manusia serta nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan pada peningkatan kemampuan berkomunikasi dan menghargai nilai-nilai, bukan pada kemampuan menguasai ilmu kebahasaan. Akan tetapi, ilmu bahasa dipelajari untuk mendukung keterampilan berkomunikasi. Kegiatan belajar joke dikembalikan pada konsep bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuainya. Pembelajaran yang berorientasi aim penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan nyata untuk jangka panjang. Berdasarkan kajian teoretik dan pengalaman lapangan, sebenarnya KBK merupakan salah satu kurikulum yang memberikan konstribusi besar terhadap pengembangan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme asal implementasinya benar. Beberapa kelebihan KBK antara lain: 1. Mengembangkan kompetensi-kompetensi siswa pada setiap aspek mata pelajaran dan bukan pada penekanan penguasaan konten mata pelajaran itu sendiri. 2. Mengembangakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented). Siswa dapat bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indra seoptimal mungkin dan membuat seluruh tubuh serta pikiran terlibat dalam proses belajar. Dengan demikian, siswa dapat belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan berbicara dan mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, serta belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir. Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh melalui kegiatan mengindra, mengingat, berpikir, merasa, berimajinasi, menyimpulkan, dan menguraikan sesuatu. Kegiatan tersebut dijabarkan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Guru diberi kewenangan untuk menyusun silabus yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah/daerah masing-masing 4. Bentuk pelaporan hasil belajar yang memaparkan setiap aspek dari suatu mata pelajaran memudahkan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan peserta didik. 5. Penilaian yang menekankan pada proses memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, dibandingkan dengan penilaian yang terfokus pada konten. Di samping kelebihan, kurikulum berbasis kompetensi juga terdapat kelemahan. Kelemahan yang ada lebih banyak pada penerapan KBK di setiap jenjang pendidikan, hal ini disebabkan beberapa permasalahan antara lain: 1. Paradigma guru dalam pembelajaran KBK masih seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih pada clergyman oriented. 2. Kualitas guru, hal ini didasarkan pada statistik, 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masingmasing. Selain itu 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Kualitas SDM kita adalah urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index. 3. Sarana dan pra sarana pendukung pembelajaran yang belum merata di setiap sekolah, sehingga KBK tidak bisa diimplementasikan secara komprehensif. 4. Kebijakan pemerintah yang setengah hati, karena KBK dilaksanakan dengan uji coba di beberapa sekolah mulai tahun pelajaran 2001/2002 tetapi tidak ada payung hukum tentang pelaksanaan tersebut. Di samping kelemahan dalam kebijakan dan implementasi KBK juga memiliki kelemahan dari sisi isi kurikulum, antara lain: 1. Dalam kurikulum dan hasil belajar indikator sudah disusun, padahal indikator sebaiknya disusun oleh guru, karena guru yang pale mengetahui tentang kondisi peserta didik dan lingkungan 2. Konsep KBK sering mengalami perubahan termasuk pada urutan standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga menyulitkan guru untuk merancang pembelajaran secara berkelanjutan. M. Kesimpulan Perlunya mengadaptasi dan bukan mengadopsi kegiatan belajar mengajar dari barat. Rumusan kegiatan belajar mengajar yang dirancang melalui KBK adalah penjelmaan dari indication constructivist yang sekarang mendapat pengaruh yang sangat besar dari pemerintah sovereign America Serikat untuk menerapkan konsep No Child Left Behind. Konsep ini juga sedang diuji coba di Singapore yang diawali dengan modifikasi yang berarti sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di negara tersebut. Perlunya koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga terkait. Jika dilihat dari hasil rumusan DEPDIKNAS dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, keterlibatan seluruh unsur stakeholder pendidikan seperti institusi pendidikan, institusi pembinaan guru, pusat kurikulum dan perbukuan, sekolah, orang tua, masyarakat, LSM, dewan pendidikan komite sekolah, dan perguruan tinggi kelompok asosiasi sangat diperlukan. Hanya saja, terkesan stakeholder yang disebutkan di atas hanyalah sebatas nama tanpa peran. Seharusnya gambaran wilayah kerja dan bulletin kegiatan seluruh unsur yang terkait betul-betul diwujudkan agar tidak terjadi overlapping yang mengganggu pelaksanaan kurikulum itu sendiri. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa perguruan tinggi (IKIP, dan Fakultas

Pendidikan yang ada di berbagai universitas) sebagai pencetak tenaga pengajar jangankan dilibatkan dalam merumuskan berbagai langkah yang diambil sedangkan sosialisasi kurikulum joke tidak sampai ke tangan mereka. Ada joke keterlibatan pihak perguruan tinggi hanya diwakili secara personal oleh pakar-pakar tertentu dan tidak melembangga secara substantif. Akibatnya, kepincangan joke terjadi. Sekolah jalan sendiri, pemerintah melakukan tambal sulam, dan perguruan tinggi merancang pembelajaran yang tidak berorientasi kepada kebutuhan sesuai kurikulum yang berlaku. Jangan heran, jika alumni sebuah fakultas pendidikan dari perguruan tinggi mengenal kurikulum setelah berkecimpung dengan sekolah di mana mereka berada. Oleh karena itu, agen KBK diharapkan beroperasi di seluruh stakeholder dengan pembagian kerja sesuai dengan kewenangan mereka. Jumlah mata pelajaran di sekolah perlu ditinjau kembali Banyaknya beban peserta didik untuk menguasai sejumlah ilmu pada sekolah dasar dan menengah serta alokasi waktu yang dipersiapkan untuk satu mata pelajaran yang sangat terbatas mengakibatkan sulitnya menerapkan indication pembelajaran yang berorientasi pada kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project), dan unjuk kerja (performance). Akibatnya, banyak aspek-aspek elemental dari KBK yang terpaksa tidak dapat diaplikasikan dan guru sebagai pelaksana akan menjalankan tugas yang penting memenuhi pesanan kurikulm tanpa mengindahkan esensi dari kurikulum itu sendiri. Sistem perekrutan dan pemberdayaan guru hendaknya dilakukan secara merata dan berkesimbungan Hasil survei dari Human Development Index (HDI) yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka menjadi alasan kuat untuk melakukan sistem pemberdayaan. Sistem pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui module sertifikasi atau module magister teenager yang fokus pembinaannya hanya pada bidang studi keahlian baru yang yang mereka ajarkan di sekolah. Di sini lah salah satu pentinngnya peranan agen KBK yang beroperasi di perguruan tinggi. Jika semuanya ini dapat diwujudkan, maka harapan KBK untuk mendongkrat mutu pendidikan nasional akan menjadi kenyataan dan jurang pemisah antara preferred standing dan tangible standing akan dapat diminimize setahap demi setahap. Dengan demikian, negara kita akan semakin bermartabat dan diperhitungkan dalam kompetisi global. Perubahan kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya bertujuan perbaikan mutu pendidikan di Indoensia, mengingat dalam KBK berorientasi pada pemberian keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kesulitan dalam kehidupan dengan kata lain bagaimana aplikasi materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Penekanan pembelajaran yang berpusat pada siswa memungkinkan dapat mengeksplorasi potensi siswa secara optimal sehingga tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang Sisdiknas dapat terelaisasi. Namun demikian dalam implementasi KBK di lapangan masih banyak kendala/kelemahan sehingga KBK yang dimulai tahun 2001 dan diterapkan secara meluas tahun 2004 (sehingga dikenal dengan kurikulum 2004) berhenti di tengah jalan dan diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum KBK mengandung empat komponen dasar yaitu Kurikulum Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Kegiatan Belajar Mengajar, dan Pengelolaan

Kurikulum Berbasis Sekolah mempunyai dimensi yang sangat strategis dalam proses pembelajar yang berorientasi pada konstruktivisme. Add criticism March 11, 2011

Anda mungkin juga menyukai