Anda di halaman 1dari 31

KONSERVASI SUMBER DAYA DAN LINGKUNGAN LAUT

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah konservasi sumbedaya dan lingkungan laut

Disusun oleh: Sherly Intan Amalia Eka Septiyawati Erin Yusrina Ajeng Yuniar Ikhsani Sri Setyawati Rani Handayani (230210100010) (230210100034) (230210100040) (230210100049) (230210100057) (230210100058)

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JATINANGOR

2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Laut menyimpan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam

hayati maupun nonhayati terdapat di laut. Sumber daya alam yang ada di laut dapat mengalami kerusakan. Beberapa faktor kerusakan sumber daya alam di laut sebagian besar disebabkan oleh tindakan manusia. Perairan nasional mengandung kekayaan hayati dengan berjuta organisme yang membutuhkan penanganan dan perlindungan berkesinambungan, sehingga konservasi dan pengembangan potensi sumber daya ikan tetap terjaga dan terkontrol. Tahun 2004, IUCN melansir bahwa spesies akuatik yang terancam punah di dunia mencakup 2.265 jenis, termasuk ikan air laut (163 spesies) dan ikan air tawar (627 spesies), diantaranya 29 jenis ikan air tawar berasal dari Indonesia. Upaya perlindungan telah dilakukan pemerintah, diantaranya adalah dengan menerbitkan berbagai aturan yang membatasi pemanfaatan organisme yang ada dan hidup di perairan Indonesia. Berbagai aturan yang diterbitkan diantaranya adalan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang: Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Melalui Keputusan Presiden RI No. 43 Tahun 1978, Indonesia telah meratifikasi CITES dan sebagai konsekuensinya perdagangan tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan oleh Indonesia harus tunduk pada ketentuan CITES. Berkaitan dengan terjadinya kerusakan alam dan hilangnya beberapa keanekaragaman hayati, dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai ketidaktahuan mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya terhadap biota-biota laut yang perlu dilindungi sehingga tumbuh kepedulian terhadap pelestarian biota-biota tersebut.

1.2

Tujuan Tujuan penyusunan makalah ini adalah :

1. Mengetahui definisi mengenai penangkaran biota laut. 2. Mengetahui beberapa biota laut yang dilindungi. 3. Mengetahui dan memahami cara penangkaran beberapa biota laut terutama kima, kuda laut, dan Banggai Cardinal Fish. 4. Mengetahui teknik penangkaran in-situ dan ex-situ kima, kuda laut, dan Banggai Cardinal Fish.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Umum Penangkaran

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran benih/bibit atau anakan dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik yang dilakukan di habitatnya maupun di luar habitatnya, dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan kemurnian jenis dan genetik. Penangkaran tumbuhan dan satwa berbentuk : 1. Pengembangbiakan satwa, 2. Pembesaran satwa, yang merupakan pembesaran anakan dari telur yang diambil dari habitat alam yang ditetaskan di dalam lingkungan terkontrol dan atau dari anakan yang diambil dari alam (ranching/rearing), 3. Perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol (artificial propagation).

Pengembangbiakan

satwa

adalah

kegiatan

penangkaran

berupa

perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun tidak kawin (asexual) dalam lingkungan buatan dan atau semi alami serta terkontrol dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Pembesaran satwa adalah kegiatan penangkaran yang dilakukan dengan pemeliharaan dan pembesaran anakan atau penetasan telur satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Perbanyakan tumbuhan (artificial propagation) adalah kegiatan penangkaran yang dilakukan dengan cara memperbanyak dan menumbuhkan tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol dari material seperti biji, potongan (stek), pemencaran rumput, kultur jaringan, dan spora dengan tetap

mempertahankan kemurnian jenisnya. Tujuan penangkaran adalah untuk mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung

terhadap populasi alam dan mendapatkan kepastian secara administratif maupun secara fisik bahwa pemanfaatan spesimen tumbuhan atau satwa yang dinyatakan berasal dari kegiatan penangkaran adalah benar-benar berasal dari kegiatan penangkaran. Induk satwa untuk keperluan penangkaran, dapat diperoleh dari penangkapan satwa dari alam dan sumber-sumber lain yang sah meliputi : hasil penangkaran, Luar Negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan dan dari Lembaga Konservasi. Pengadaan induk dari hasil penangkaran generasi pertama (F1) untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES dilakukan dengan izin dari Menteri Kehutanan. Generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES, dilakukan dengan izin dari Direktur Jenderal PHKA. Jenis yang tidak dilindungi dan atau termasuk Appendix II, III dan atau Non Appendix CITES, dilakukan dengan izin Kepala Balai KSDA. Pengadaan induk penangkaran dari luar negeri wajib dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN Impor) dan bagi jenis yang termasuk dalam Appendix CITES, SATS-LN Ekspor dari negara pengekspor. Induk penangkaran yang berasal dari luar negeri dan yang termasuk dalam Appendix I CITES harus berasal dari unit usaha penangkaran di luar negeri yang telah terdaftar pada Skretariat CITES sebagai penangkar jenis Appendix I CITES untuk kepentingan komersial. Pengadaan induk penangkaran yang berasal dari hasil rampasan, penyerahan dari masyarakat atau temuan, hanya dapat dilakukan bagi spesimen yang telah ditempatkan dan diseleksi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) dan atau di tempat penampungan Balai KSDA. Induk penangkaran tumbuhan dan satwa yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik negara dan merupakan titipan negara. Induk penangkaran satwa liar generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa yang dilindungi dinyatakan sebagai milik negara dan merupakan titipan negara. Spesimen induk satwa yang dilindungi yang berasal dari habitat alam, dan atau hasil penangkaran generasi

pertama (F1) satwa yang dilindungi, tidak dapat diperjualbelikan dan wajib diserahkan kepada negara apabila sewaktu-waktu diperlukan. Kontrol hasil penangkaran dilakukan dalam rangka menjamin kemudahan, sehingga setiap anakan harus dipisahkan dari induk-induknya. Pemisahan anakan dari induk harus dapat dilakukan untuk membedakan antar generasi dimana generasi pertama (F1) harus dapat dibedakan dengan generasi-generasi berikutnya. Unit penangkaran dilarang melakukan pengembangbiakan silang (hibrida) baik antar jenis maupun antar anak jenis, bagi jenis-jenis yang dilindungi yang bersasal dari habitat alam. Hal ini dikecualikan untuk mendukung pengembangan budidaya peternakan atau perikanan. Keanekaragaman genetik jenis satwa dapat dijaga dengan cara, penangkaran satwa dilakukan dengan jumlah paling sedikit dua pasang atau bagi jenis-jenis satwa yang poligamous minimal dua ekor jantan dan dilakukan dengan menghindari penggunaan induk-induk satwa yang mempunyai hubungan kerabat atau pasangan yang berasal dari satu garius keturunan. Pelaksana penangkaran wajib melakukan penandaan dan sertifikasi terhadap indukan maupun hasil penangkarannya. Penandaan pada hasil penangkaran merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian tumbuhan maupun satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Penandaan bertujuan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Untuk memudahkan penelusuran aiansal usul (tracking) spesimen tumbuhan atau satwa, penandaan dilengkapi dengan sertifikat. Bagi jenis-jenis yang karena sifat fisiknya tidak memungkinkan untuk diberi tanda hanya dilakukan pemberian sertifikat. Dalam rangka perdagangan luar negeri, unit penangkaran jenis-jenis Appendix I CITES, yang dilakukan melalui kegiatan pengembangbiakan satwa di dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi terkontrol (artificial propagation), wajib diregister pada

sekretariat CITES. Registrasi hanya dapat diajukan oleh unit penangkaran yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran. Berikut beberapa bahasan mengenai spesies biota laut yang dilindungi:

2.2

Kima

Gambar 1. Kima kecil (Tridacna maxima) Sumber: Wikipedia dan http://www.nmr-pics.nl/Tridacnidae/ Saat ini tercatat 10 jenis kima yang tersebar di perairan tropis di Samudera India dan Pasifik. Marga Tridacna meliputi 8 jenis dan marga Hippopus hanya terdiri dari 2 jenis. Indonesia merupakan daerah pusat penyebaran kima di dunia. Sebanyak 7 spesies kima dapat ditemukan di perairan nusantara. Tiga jenis lainnya termasuk jenis kima endemik yang tidak umum dan tersebar di luar Indonesia, yaitu: Kima Laut Merah, Kima Mauritius dan Kima Iblis/Tevoro dari Kepulauan Fiji dan Tonga. Sepuluh spesies kima yang ada di dunia, adalah: a. Subgenus Tridacna (Chametrachea)

Tridacna costata Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius, 2008

Tridacna crocea Lamarck, 1819 Tridacna maxima Rding, 1798 (=Tridacna elongata) Tridacna rosewateri Sirenho & Scarlato, 1991 Tridacna squamosa Lamarck, 1819

b. Subgenus Tridacna (Tridacna)


Tridacna derasa Rding, 1798 Tridacna gigas Linnaeus, 1758

Tridacna tevoroa Lucas, Ledua & Braley, 1990 (=Tridacna mbalavuana)

c. Genus Hippopus

Hippopus hippopus (Linnaeus, 1758) Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)

Fungsi Kima pada kehidupan ekosistim dilautan sangat luar biasa. Sistem filter yang dimilikinya, maka setiap ekor Kima mampu membersihkan puluhan ton air laut setiap hari. Hasil pembersihannya tersebut kemudian menjadi penolong untuk pertumbuhan dan pewarnaan terumbu karang, ikan dan aneka biota laut lainnya. Selain itu, sel telur Kima yang jumlahnya jutaan ekor sekali bertelur, menjadi makanan bagi ikan. Kelebihan lainnya, daging Kima dikenal berprotein tinggi, sehingga menjadi menu khusus dan mahal pada restoran terkenal di dunia. Warna daging Kima hidup pun sangat mempesona, sehingga menjadi buruan untuk menghuni aquarium pribadi dan menjadi koleksi andalan pada wahana di jaringan usaha Underwater Seaworld. Oleh karena kelebihan yang dimilikinya, Kima diburu dan diekploitasi berlebihan. Akibatnya, Kima diambang kepunahan, bahkan disebagian besar negara tropis, beberapa species Kima, utamanya Tridacna gigas dan T. Derasa, telah menghilang dari lautannya begitupun di Indonesia. Masa pertumbuhan Kima sangat lamban. Belum lagi, untuk dapat hidup, sejak dari sel telur hingga memiliki cangkang (Kima muda), Kima sangat rentan terhadap predator. Dari jutaan sel telur yang dihasilkan Kima dewasa, yang dapat hidup hingga memiliki cangkang hanya puluhan ekor saja. Sebagian besar sel telur tersebut menjadi santapan ikan dan setelah memiliki cangkang, Kima masih menjadi makanan empuk bagi kepiting, ikan karang dan gurita. Persebaran Kima yaitu hanya ditemukan di Samudera Hindia dan Pasifik Selatan (indo-pacific), namun tidak semua wilayah berlaut hangat tersebut memiliki Kima, atau telah hilang dari lautannya. Di daerah Asia, Kima hanya ditemukan di Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea, India, China bagian timur dan pantai utara Australia serta Papua New Guinea.

2.2.1

Pelestarian Kima Beberapa tempat pelestarian Kima yaitu diantaranya Konservasi Kima di

Taman Laut Kima Toli-Toli. Toli-Toli Giant Clam Ocean Park terletak di Desa Toli-Toli Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya tempat konservasi kima di Indonesia. Didirikan pada tahun 2010 dan dilakukan secara mandiri atas dasar kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan penyelamatan konservasi alam khususnya lingkungan laut dan isinya. Melihat beberapa organisme yang terancam punah akibat eksploitasi berlebihan serta tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh nelayan dan beberapa perusahaan perikanan untuk berbagai tujuan tertentu. Beberapa masyarakat sekitar di desa tersebut membentuk kelompok konservasi yang saat ini mampu menjadi lembaga swadaya untuk pelestarian kima (Tridacna sp.). Di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara kondisi biota laut tersebut sangat mengkhawatirkan seperti keberadaan tanaman dan terumbu karang serta Kima itu sendiri. Jika eksplotasi tersebut terus menerus dibiarkan, maka dapat dipastikan biota laut seperti Kima terancam punah. Hal ini karena ekploitasi tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga merusak ekosistem laut akibat penggunaan bahan peledak, potassium sianida dan alat tangkap yang merusak biota laut. Giant Clam atau Kima menjadi langka akibat beberapa faktor diantaranya ekploitasi berlebihan dikarenakan meningkatnya konsumsi

masyarakat akan daging Kima yang memiliki cita rasa dan komposisi protein yang tinggi, selain itu cangkang Kima yang menarik menjadi salah satu bahan keramik dan hiasan. Penyebab lain adalah lambatnya pertumbuhan kima, untuk mencapai 100 cm saja kima memerlukan waktu ratusan tahun, dari jutaan sel telur hanya sekitar 5-10 ekor saja yang mampu hidup dan menjadi kerang dewasa. Oleh karena itu, tidak semua tempat di Indonesia bahkan dunia memiliki spesies Kima terlebih jenis-jenis yang sangat langka. Konservasi Kima di Toli-Toli mampu membuktikan, bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan spesies kima terlengkap. Di mana terdapat jenis Tridacna gigas, Tridacna derasa, Tridacna squamosa, Tridacna maxima, Tridacna crocea, Tridacna Tevoroa, Tridacna Rosewate, Hippopus-hippopus, dan

Hippopus porcellanus. Di dunia, spesies ini tersebar luas dan hanya terdapat di beberapa tempat saja seperti di Samudra Pasifik, Hindia, China, Australia Utara, Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika dan Amerika Selatan. Baru-baru ini, pada tanhun 2011 tim konservasi di Toli-Toli menemukan 2 spesies baru yakni T. tevoroa yang hanya ditemukan di Kepulauan Fiji dan Tonga Samudra Pasifik dan T. rosewateri yang hanya dapat ditemukan di Mauritius dan Madagaskar. Hal ini tentu menjadi kabanggaan bagi kepulauan Indonesia. Konservasi Kima di Desa Toli-Toli dilestarikan melalui metode pengumpulan jenis-jenis Kima yang mereka peroleh dari berbagai tempat, baik di perairan Sulawesi Tenggara hingga di perairan Sulawesi Tengah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pengontrolan dan penelitian lebih lanjut. Kima yang dikumpulkan tadi kemudian diletakkan di tempat tertentu yang sampai saat ini luas areal untuk menempatkan Kima di dasar perairan telah mencapai 30 hektar dengan jumlah seluruh Kima 8000 ekor. Penempatan jenis kima di dasar berbeda-beda, tergantung dari jenis dan ukuran Kima itu sendiri. Tim konservasi sampai saat ini telah banyak memberikan kemajuan untuk kehidupan biota laut dan perbaikan ekosistem. Terbukti dengan hadirnya pelestarian Kima di dasar laut tersebut, terumbu karang yang telah mati kembali pulih, selain itu warna karang semakin cerah dan jumlah ikan meningkat di area konservasi. Hal ini dikarenakan fungsi Kima sebagai Filter Feeder yang mampu menyaring berton-ton air dalam sehari. Selain itu, mantel kima menjadi substrat yang baik bagi Zooxanthellae untuk tumbuh yang nantinya dapat menyuplai oksigen untuk pertumbuhan karang dan ikan. Beberapa hambatan yang sering ditemukan adalah besarnya jumlah hama yakni bertambahnya populasi ikan di laut untuk memangsa sel telur Kima yang disemprotkan dua kali dalam satu bulan. Selain itu, peluang kerusakan ekosistem yang nantinya akan terjadi bila Perusahaan di sekitar daerah pesisir tersebut membuang limbah ke dasar perairan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian seluruh pihak, terutama pemerintah dan masyarakat serta perusahaanperusahaan swasta yang ikut andil dalam melestarikan biota laut.

Hasil kunjungan ilmiah Amphiprion Scientific Club (ASC) FPIK UNHALU menemukan minimnya jumlah peralatan yang dimiliki tim konservasi untuk melakukan pengontrolan dan pengangkutan Kima. Terkadang saat melakukan pengangkutan beberapa Kima tidak mampu bertahan hidup di kapal akibat kekurangan suplai air. Belum lagi wilayah yang dikunjungi tim konservasi untuk mengumpulkan Kima sangat jauh sehingga harus memerlukan waktu yang lama dan bahan bakar yang banyak. Di sisi lain, tim konservasi harus melakukan pengontrolan terhadap pertumbuhan Kima di dasar perairan baik dari hama maupun eksploitasi nelayan yang tentu membutuhkan kapal. Oleh karenanya, sangat diharapkan nantinya pemerintah mampu memberikan support serta bantuan berupa peralatan konservasi yang memang saat ini dibutuhkan oleh tim konservasi di Desa Toli-Toli yakni berupa kapal yang digunakan untuk mengangkut dan mengontrol wilayah konservasi serta beberapa alat selam. Selain itu, masyarakat pula harus ikut menjaga kelestraian biota laut ini, selain karena terancam punah, Kima juga memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat itu sendiri. Saat ini nelayan di desa tersebut tidak lagi susah untuk mencari ikan dikarenakan jumlah ikan di pesisir dekat bibir pantai semakin meningkat. Hal ini karena berfungsinya kembali terumbu karang yang telah lama mati akibat pengrusakan nelayan pesisir serta berfungsinya Kima sebagai pabrik makanan untuk ikan disekitar pantai. Publikasi yang optimal dan sosialisai terus menerus dilakukan untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian biota laut untuk generasi mendatang.

2.2.2

Teknologi Penangkaran Kima secara Ex Situ dan In Situ Teknologi penangkaran kima cukup sederhana. Pakan hanya diberikan

selama pemeliharaan burayak kima, sedangkan kima muda dapat "berswasembada pangan" karena kima bersimbiosis dengan ganggang bersel satu yang bersifat fototrofik (PANGGABEAN 1991a). Yang diperlukan dalam usaha penangkaran kima hanyalah air laut yang "bersih dan cahaya matahari yang cukup. Penangkaran kima terdiri dari 4 tahapan yaitu :

1. Pembibitan : pemijahan dan pemeliharaan burayak kima secara terkontrol di hatchery. 2. Tahap asuhan (nursery) : pemeliharaan spat kima dari pasca metamorfosis hingga ukuran cangkang lebih dari 2 cm di kolam-kolam pemeliharaan di hatchery. 3. Tahap asuhan di laut (ocean nursery) : pemeliharaan kima kecil didalam kurungan di laut sehingga terhindar dari ancaman predator. 4. Tahap pembesaran : pemeliharaan kima dewasa tanpa perlindungan di laut.

Dari tahapan-tahapan di atas, dijelaskan sebagai berikut: 1. Pembibitan kima Pembibitan terdiri dari pemijahan telur dan sperma, pembuahan dan pemeliharaan burayak hingga menjadi spat. Kemudian spat akan dibesarkan pada tahap berikutnya (tahap asuhan). a. Pemijahan Keberhasilan pembibitan kima ditentukan oleh keberhasilan pemijahan. Dengan kata lain, untuk menghasilkan burayak yang sehat dengan kemampuan hidup yang tinggi, pemijahan kima harus menghasilkan telur dan sperma dalam keadaan matang, artinya sperma yang sangat aktif dan mampu melakukan pembuahan dan telur-telur yang sudah berkembang dengan sempurna, dengan persediaan kuning telur yang cukup untuk kebutuhan energi selama

perkembangan embrional kima. Disamping kematangan telur, ukuran telur juga menentukan kelulushidupan burayak kima. Telur yang besar dengan persediaan kuning telur yang cukup banyak menghasilkan burayak dengan kelulus hidupan yang tinggi (FITT et al. 1984). Pemijahan kima dapat dilakukan secara spontan maupun induksi. Pemijahan spontan terjadi apabila beberapa induk matang telur dipelihara di dalam bak air mengalir (HESLINGA et al 1984). Sedangkan pemijahan induksi dapat terjadi dengan rangsangan suspensi dari jaringan kelamin kima yang sejenis (GWYTHER dan MUNRO 1981); atau serotonin (BRALEY 1985 dan CRAWFORD et al. 1986).

Telah diketahui bahwa kima bersifat hemafrodit (WADA 1954) dan memijah sepanjang tahun (HESLINGA et al. 1984). Namun pemijahan kima tidak selalu menghasilkan telur dan sperma pada waktu yang sama. Beberapa induk lebih banyak memijahkan sperma dari pada telur. Oleh karena itu perlu disediakan beberapa induk kima yang benar-benar mengandung telur-telur dan sperma yang sudah matang kelamin. Kima yang tua baik dijadikan induk karena lebih banyak mengandung telur dan cenderung menjadi betina (CRAWFORD et al. 1986). Sedangkan tingkat kematangan kelamin dari induk kima dapat diperiksa dengan teknik biopsi, yaitu pemeriksaan sampel jaringan kelamin kima yang diambil dengan jarum biopsi (BRALEY 1984, SHELEY dan REID 1988). Dengan teknik ini, induk yang benar-benar matang kelamin dapat diseleksi dan dirangsang untuk memijah dengan ekstrak jaringan kelamin atau sero-tonin (5-hydroxytriptamin ne creatinine sulfate complex). Induksi dengan ekstrak jaringan kelamin dilakukan penyemprotan suspensi tersebut kedalam sifon inhalent kima, sedang induksi dengan serotonin dilakukan dengan penyuntikan 1 mM serotonin dalam air laut saring sebanyak 1-2 mL ke dalam jaringan kelamin kima. Pemijahan akan terjadi beberapa menit kemudian. Telur-telur yang dipijahkan dapat ditampung langsung ke dalam kantung plastik atau ke dalam ember melalui tabung pemijahan. Tabung pemijahan adalah tabung PVC berbentuk L yang ditempatkan diatas sifon ekshelent kima pada waktu memijah sede-mikian rupa sehingga telur-telur kima dapat disalurkan melalui tabung tersebut dan ditampung dalam ember.

b. Pembuahan dan pemeliharaan larva/burayak kima Pembuahan dilakukan dengan mencampurkan sedikit sperma ke dalam telur-telur yang sudah dipilah dari beberapa ekor induk. Zigote (telur yang sudah dibuahi) kemudian disiram keatas saringan untuk membersihakan sisa-sisa sperma, lalu diin-kubasi dalam air laut saring dengan aerasi kecil. Sesudah inkubasi selama 40-48 jam, zigote akan berkembang menjadi veliger yang dilengkapi dengan cangkang transparan berbentuk huruf D.

Sebelum pemeliharaan veliger selanjutnya, BRALEY at al. (1988) menganjurkan untuk memilah D-veliger. Hanya burayak yang berenang dipermukaan yang diciduk dengan saringan dan dipindahkan kedalam air saring yang bersih. Cara ini dapat menghindari kematian burayak karena kontaminasi oleh bakteri yang berkembang dengan baik. Burayak kima mempunyai persediaan lipid yang tinggi untuk

perkembangannya (SOUTHGATE 1988). HESLINGA (1989) berpendapat bahwa burayak kima bersifat lecitotroph dan tidak perlu diberi makan. Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian makan sejak dini dapat meningkatkan

kelulushidupan hingga 80 % sesudah metamorfosa menjadi spat (BRALEY et al 1988). Walaupun 6 bulan kemudian kelulus hidupannya turun menjadi 2,44 %, namun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh HESLINGA et al. (1984) dengan perlakuan tanpa makanan yaitu 0,1 %. Jadi pemberian pakan dapat meningkatkan kelulus hidupan kima. Pakan dapat berupa ganggang satu sel yang mem-punyai kandungan lipid tinggi yang termasuk kelompok Diatomae; dapat pula berupa pakan buatan "micro-encapsulated diet" yang banyak dijual dipasaran. Pemberian pakan dapat dihentikan sesudah mencapai pediveliger pada umur 7-1 hari. Pediveliger adalah masa peralihan dari kehidupan planktonik menuju kehidupan bentik menjadi spat. Spat kima mempunyai cara hidup menempel di dasar dan bersim-biose dengan zooxanthella. Metamorfosis dari pediveliger menjadi spat adalah masa krisis dalam perkembangan burayak kima. Sesuai dengan tingkat perkem-bangannya, pemberian pakan dihentikan pada fase pediveliger, digantikan dengan pemberian zooxanthella sebanyak kirakira 26 sel/ml. Bersama-sama dengan pemberian zooxanthella, disediakan pula kepingan-kepingan dengan permukaan kasar seperti batu karang atau ampelas ke dalam kolam pemeliharaan (BRALEY et al 1988. Hasil penelitian BRALEY et al 1988) menyatakan bahwa permukaan yang kasar baik dijadikan substrat penempel bagi spat kima.

2.

Asuhan dalam akuarium Biasanya persentase burayak yang berhasil melewati metamorfosis sangat

rendah. Hanya spat kima yang berhasil memperoleh substrat yang sesuai, menangkap zooxanthella dan memperoleh kebutuhan energi untuk metamorfosis (dari hasil fotosintesa zooxanthella) yang dapat melanjutkan kehidupannya. Sesudah pasca metamorfosis, spat kima yang "sehat" dapat dipindahkan kedalam air mengalir di bawah sinar matahari. Spat kima dapat ditebar di dalam kolam lam tersebut dengan kepadatan 1000 - 2000 spat/m2 (HESLINGA et al. 1984). Debit air diatur sedemikian rupa sehingga air dalam kolam asuhan dapat berganti seluruhnya dalam waktu 36 jam. Kelebihan dari kolam tersebut adalah : Besaran arus lebih merata di semua titik. Kotoran dapat terpusat di tengah dan terbuang sendiri. Cahaya yang diperlukan untuk fotosintesa lebih merata.

3. Asuhan di Laut (Ocean Ranching) Menurut perkembangan terakhir, asuhan tidak perlu dilakukan dalam kolam air mengalir selama 2,5 tahun, melainkan sebagian waktu asuhan dilakukan di laut. Kima muda berumur sekitar 9 bulan (panjang cangkang sekitar 2 cm) dipindahkan dari kolam air mengalir dan ditempatkan dalam kurungan supaya kima muda terhindar dari gangguan predator. Kima dipelihara dalam kurungan hingga mencapai ukuran lebih dari 15 cm. Untuk kemudahan kerja dan efisiensi biaya, maka konstruksi kurungan dan lokasi asuhan harus dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga kima tumbuh optimal dengan angka kematian yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah intertidal (CRAWFORD et al 1988) atau substidal (HESLINGA et al 1986) cukup ideal sebagai tempat asuhan kima. Kurungan dapat dibuat dari plastik anyaman memanjang (30 x 1,1 m) dan diberi sekat setiap 2 m. Untuk sisi dan dasar kurungan menggunakan mata jaring selebar 12 mm, sedangkan tutup yang dapat dibuka menggunakan mata jaring 26 mm. Untuk kima berumur 2 tahun dapat dipelihara dengan kurungan lebih sederhana dengan mata jaring lebih besar, misalnya 40 x 60 mm.

4. Pembesaran kima Kima berumur 2,5 tahun cangkangnya sudah cukup tebal dan kebal terhadap predator. Kima selanjutnya dibesarkan tanpa kurungan di tempat yang sama sampai panen atau sebagian ditebar kembali di beberapa terumbu karang untuk tujuan peremajaan dan pelestarian kima.

2.3

Kuda Laut

Gambar 3. Kuda Laut Sumber : Wikipedia Salah satu sumber daya laut yang banyak dieksploitasi akhir-akhir ini adalah kuda laut (Hyppocampus kuda). Kuda laut diperdagangkan sebagai ikan hias dan juga sebagai bahan obat. Menurut Vincent (1996) dalam Syafiuddin (2004) yang meneliti tentang perdagangan kuda laut di dunia, bahwa konsumsi kuda laut di Asia mencapai 45 ton per tahun ( 16 juta ekor), dimana konsumen utamanya adalah China 20 ton, Taiwan 11,2 ton dan Hongkong 10 ton. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa harga impor kuda laut di Cina mencapai US$ 1200 per kg (Al Qodri dkk., 1998 dalam Syafiuddin, 2004). Beberapa sifat (karakteristik) kuda laut yang menjadikan hewan ini rentan terhadap eksploitasi yang berlebih antara lain adalah penyebarannya sedikit, jarak habitat sempit, fekunditas rendah, dan kesetiaan pada pasangan. Penyebaran yang sempit ini juga terjadi di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan hewan ini hanya

ditemukan banyak pada daerah tertentu seperti di Pulau Tana Keke, Kabupaten Takalar (Syafiuddin, 2004). Upaya peningkatan produksi perikanan laut hasil budidaya sesuai dengan kecenderungan global, karena permintaan pasar terhadap produk-produk perikanan laut terus meningkat, disertai dengan harga yang relatif tinggi. Diantara komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomi tinggi adalah kuda laut (Hyppocampus kuda), baik sebagai ikan hias maupun sebagai bahan baku obatobatan. Di China, sekali produksi dibutuhkan kira-kira 500 kg kuda laut kering sebagai bahan baku untuk pabrik obat-obatan. Di Filipina telah ada budidaya kuda laut secara besar-besaran dengan rantai pemasaran produknya ke Kalimantan, Singapura, dan Hongkong yang dijual dalam bentuk kering. Nilai kuda laut kering sangat ditentukan oleh keutuhan kedua belah matanya. Konsumen kuda laut kering terbanyak adalah dari etnik China, baik yang berasal dari Singapura maupun dari Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2005). Meningkatnya permintaan kuda laut semakin dengan pesat terutama untuk pasaran ekspor menyebabkan produksi kuda laut hasil tangkapan di alam semakin terbatas dan jauh dari jumlah kebutuhan pasar. Gejala eksploitasi yang berlebihan ini dapat mengakibatkan turunnya populasi kuda laut di alam, sedangkan upaya budidaya dan restocking serta sea-ranching tidak/belum dilakukan. Kegiatan budidaya secara terpadu yang terdiri dari kegiatan pembenihan sampai dengan pembesaran berikut kegiatan lainnya seperti restocking dan sea ranching, merupakan jawaban yang tepat untuk menghindari penangkapan yang berlebihan dengan demikian dapat meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang secara optimal. Teknologi pembenihan untuk jenis ikan hias ini masih sangat minim, sehingga produksinya masih mengandalkan hasil penangkapan di laut. Bahkan untuk mendapatkan hasil yang banyak dan cepat, mendorong usaha penangkapan dilakukan dengan menggunakan jalan pintas, yaitu dengan cara pembiusan. Dari segi ekologis, cara ini tentunya akan sangat merugikan dan membahayakan, bukan

hanya terhadap ikan tangkapan tetapi juga terhadap kehidupan organisme lainnya dan lingkungan sekitarnya.

2.3.1

Pelestarian secara Insitu dan Eksitu Pelestarian keanekaragaman kuda laut di Indonesia dilakukan baik secara

insitu maupun eksitu. Pelestarian eksitu berarti memindahkan jenis dari habitatnya untuk dilestarikan dan diamankan. Konservasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah membuat cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman hutan buruan, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan upaya pelestarian eksitu yang tidak perlu mengganggu populasi alaminya. Kuda laut termasuk dalam fauna yang dilindungi dan masuk dalam CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sejak tahun 2004. Hippocampus kuda dan H. histrix adalah dua jenis kuda laut yang dibudidayakan. Saat ini keberadaan kuda laut rentan akibat kerusakan alam. Untuk membantu menjaga dan melestarikan populasi kuda laut, upaya yang dilakukan dengan melepaskan kuda laut hasil budidaya ke habitat aslinya (insitu). Sementara itu, pelestarian secara eksitu yaitu membangun taman laut. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk melestarikan atau menjaga keseimbangan lingkungan hidup adalah dengan cara membangun taman laut. Taman laut dapat difungsikan sebagai objek wisata laut/bahari dan tempat penelitian biota laut. Selain itu juga, pelestarian kuda laut dapat dilakukan dengan menggunakan tiruan bagian tubuh tumbuhan atau hewan. Bahan tiruan dapat digunakan untuk mengganti pemanfaatan bagian tubuh hewan atau tumbuhan. Cara ini ditempuh untuk menggalakkan pelestarian hewan dan tumbuhan.

2.3.2

Penangkaran Kuda Laut Agar kelestarian dan populasi kuda laut dapat berlanjut maka langkah

yang dapat diambil adalah melakukan kegiatan penangkaran dan restocking kembali di alam. Untuk melakukan kegiatan tersebut maka benih harus diperoleh

melalui kegiatan pembenihan di dalam sistem budidaya. Kegiatan penangkaran kuda laut meliputi : 1. Pembenihan Kegiatan pembenihan kuda laut seperti umumnya kegiatan di pembenihan terdiri atas serangkaian kegiatan yang saling berhubungan. Mata rantai pertama adalah pemeliharaan calon induk guna mendapatkan induk matang gonad. Selanjutnya merupakan kegiatan pemijahan, pemeliharaan juwana dan

penggelondongan atau pendederan serta pengadaan pakan alami. a. Pemeliharaan Induk Calon induk hasil tangkapan dari alam harus dikarantina dan diaklimatisasi terlebih dahulu. Karantina bertujuan untuk membebaskan organisme pathogen yang mungkin terbawa dari alam agar tidak menyebar ke induk yang sudah ada di pembenihan. Disamping itu kegiatan aklimatisasi juga untuk menyesuaikan calon induk dengan lingkungan yang baru serta pakan yang biasa digunakan di pembenihan. Induk dipelihara di dalam wadah pemeliharaan dengan perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1, dengan kepadatan 20 30 ekor/ton dengan tidak memelihara lebih dari 4 ekor/100 liter air. Induk diberi pakan 2-3 kali sehari secara adlibitum, yaitu pada pagi, siang dan sore hari, berupa udang rebon dan udang jambret. Induk betina dewasa dengan panjang tubuh antara 10 14 cm dapat memproduksi telur 300 600 butir. b. Pemijahan dan Pengeraman Kuda laut dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol, telur hasil pemijahan akan dierami oleh induk jantan. Setelah terjadi pemijahan, induk jantan dipisahkan atau tetap bersama dengan induk lain. Lama pengeraman lebih kurang 10 hari. Sebaiknya induk dihindarkan dari hal-hal yang menyebabkan stress yang mengakibatkan juwana lahir prematur, sehingga tak dapat bertahan hidup lama. c. Kelahiran Juwana Induk jantan yang sudah menerami telur pada hari kesembilan dipindahkan ke bak lain yang telah disiapkan sebelumnya. Pada hari ke sepuluh, juwana akan dikeluarkan dari kantung jantan. Pengeluaran juwana umumnya pada

malam hari. Setelah seluruh juwana dikeluarkan, induk jantan dipindahkan kembali ke bak pemeliharaan induk.

2.

Penggelondongan Penggelondongan dalam hal ini dimaksudkan untuk mengintensifkan

pemeliharaan terhadap benih-benih kuda laut sampai ke tahap pembesaran dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan kualitas yang baik. Penggelondongan kuda laut dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode pemeliharaan di bak, di keramba jaring apung atau dikurungan tancap. Benih yang digunakan untuk penggelondongan dapat berasal dari hasil tangkapan di alam ataupun berasal dari hasil pembenihan dengan ukuran 3 3,5 cm/ekor. Hal yang perlu diperhatikan saat penebaran adalah apabila terdapat perbedaan yang menyolok antara media pemeliharaan dengan dan media asal benih (khususnya salinitas dan suhu). Keadaan ini biasanya terjadi bila lokasi penggelondongan terpisah dengan sumber benih, sehingga perlu diadaptasikan terlebih dahulu sebelum ditebar. Padat tebar untuk penggelondongan selama 2 bulan pemeliharaan adalah berkisar antara 300 400 ekor/ton. Selama pemeliharaan, pemberian pakan dapat dilakukan 3 4 kali sehari. Makanan yang diberikan sebaiknya makanan hidup seperti jentik-jentik nyamuk, artemia, udang jembret, dapnia dan sebainya. Kebisaan kuda laut yang tergolong kurang aktif dalam mencari dan hanya memanfaakan makanan disekitar/didekatnya,

menyebabkan pakan yang diberikan harus berlimpah dan sebaiknya hidup. Hal ini agar peluang makan benih lebih besar dan apabila terdapat jasad pakan yang belum termanfaatkan akan tetap hidup sehingga pengaruhnya relatif kecil terhadap penurunan kualitas air. Ukuran benih 3 3,5 cm setelah pemeliharaan 2 bulan akan mencapai panjang 6 7 cm/ekor. Pada ukuran ini, kuda laut dapat dipanen dan dipasarkan sebagai ikan hias atau untuk kegiatan pembesaran.

3.

Pembesaran Kegiatan selama pembesaran kuda laut tidak jauh berbeda dengan

pengglodongan. Pembesaran ini bertujuan untuk menghasilkan kuda laut yang

yang berukuran lebih besar (diatas 10 cm) atau untuk memproduksi induk kuda laut. Kuda laut yang akan dibesarkan dapat diperoleh dari alam maupun dari hasil penggelondongan. Kuda laut sebaiknya dipilih yang sehat dan lengkap organ tubuhnya, jika kuda laut yang akan dibesarkan warnanya berbeda maka kuda laut yang sama warnanya seperti hitam disatukan dengan yang hitam, sebab jika ada kuda laut yang berwarna kuning dan disatukan dengan yang hitam akan berubah menjadi hitam. Padat penebaran untuk kegiatan pemebesaran adalah 50 100 ekor/ton. Selama kegiatan pemeliharaan pembesaran kuda laut, tidak lagi diberikan berupa artemia dewasa karena tidak diperlukan lagi, cukup diberikan rebon segar atau jembret. Pemberian pakan berupa rebon segar diberikan sebanyak 5 10% dari bobot tubuh perhari dengan frekuensi pemberian 2 3 kali. Jika pakan rebon segar kurang tersedia maka pakan alternatif lain yang bisa diberikan adalah jentik-jentik nyamuk. Setelah tiga bulan pemeliharaan kuda laut dapat mencapai ukuran panjang di atas 10 cm selanjutnya kuda laut dapat dipanen dan dipasarkan.

2.4

Banggai Cardinalfish

Gambar 4. Banggai Cardinalfish Sumber: Wikipedia Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni, sangat populer dalam perdagangan ikan laut hias (Michael1996). Kenaikan yang luar biasa dalam

popularitas spesies ini sejak tahun 1995 sudah mulai meningkatkan kekhawatiran diantara berbagai pihak di industri akuarium, saat ini antara 50.000 hingga 118.000 ekor per bulan dikumpulkan dari alam liar dan dipasarkan ke luar negeri (Vagelli dan Edmann 2002, Lunn dan Moreau 2004). Spesies ini endemik di Kepulauan Banggai di Indonesia dengan jangkauan geografis yang diperkirakan sekitar 5.500 km2.Total ukuran populasi kecil, diperkirakan 2,4 juta (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora 2007). Ikan ini terdiri dari populasi terisolasi terpusat sekitar perairan dangkal 17 pulau besar dan 10 pulau kecil dalam Kepulauan Banggai. Sebuah populasi kecil juga terdapat di Sulawesi Tengah, dalam pelabuhan Luwuk. Satu populasi tambahan menjadi tetap di Selat Lembeh (Sulawesi Utara).

Gambar 5. DistribusiBanggaiCardinalfish (Sumber :http://seagrant.soest.hawaii.edu/sites/seagrant.soest.hawaii.edu/files/publications/ Banggai_Cardinalfish-Final.pdf) Lembaga konservasi dunia (IUCN) yang menyusun kategori dan kriteria daftar merah (Red List) cukup mudah untuk dimengerti yang memberikan klasifikasi terhadap suatu spesies yang memiliki risiko tinggi terhadap kepunahan. Status ikan hias jenis Pterapogon kauderni di IUCN saat ini telah masuk dalam daftar merah (Red list) dengan kategori spesies yang terancam punah (endangered

species) dan telah memenuhi kriteria pada butir Bab (ii, iii, iv, v) yaitu cakupan daerah keberadaannya kurang dari 500 km, yang meliputi: a. Keberadaannya tidak lebih dari 5 lokasi. b. Penurunan terus berlangsung, berdasarkan cakupan keberadaan, kualitas habitat, jumlah lokasi atau sub populasi dan jumlah individu dewasa.

Menurut Vagelli (2005) berdasarkan hasil survei tahun 2004 total populasi alam ikan hias P.kauderni diduga 2,4 juta ekor, dimana 90% berada di 29 pulau di Kepulauan Banggai. Berdasarkan survei di tujuh lokasi, sebagian besar lokasi memiliki densitas ikan hias Pterapogon kauderni 200-700 ekor/ha dengan rata-rata 0,07 ekor/m2 (Vagelli 2005). Sedangkan di kawasan lindung (teluk kecil di sebelah barat daya Kepulauan Banggai) mempunyai densitas 0,25-1,22 ekor/m2 dengan rata-rata 0,63 0,39 ekor/m2 (Lunn & Moreau 2004).

2.4.1

Pola Pemanfaatan Secara Lestari Menurut Marini (1996) Untuk menjaga kestabilan populasi ikan capungan

banggai di alam agar tetap lestari, maka pemanfaatan yang dilakukan harus menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Harus diketahui stok alami ikan capungan Banggai di alam. 2) Pengambilan harus disesuaikan dengan kemampuan rekruitmen populasi ikan (pemberlakuan kuota). 3) Pengambilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan atau habitat mereka. 4) Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan yang boleh di perdagangkan, agar memberi kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi. 5) Apabila dalam pengambilan ditemukan ikan dengan dengan kondisi gonad yang sudah matang (TKG III dan IV) serta ikan jantan yang sedang mengerami telur di mulut, maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut harus dikembalikan kea lam. 6) Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi.

7) Pemantauan di lapangan perlu dilakukan secara periodic untuk mengetahui stok alami untuk mendukukung informasi dalam penentuan kuota.

Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias antara lain adalah program sertifikasi ikan hias laut (Hodgson & Ochavillo 2005) dan evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catches) (Hodson & Ochavillo 2006). Pendugaan laju eksploitasi dan pembatasan melalui pendugaan stok ikan adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup komponen keseimbangan reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan mortalitas alami (PetSoede et al. 2000; Hodgson & Ochavillo 2006). Hasil penelitian umumnya menunjuk bahwa tingkat dan pola pemanfaatan tidak sustainable, dan mendorong gerakan internasional untuk pelestarian P.kauderni. Salah satu upaya potensial adalah pengembangan budidaya P.kauderni in-situ, yaitu pada lingkungan alaminya. Secara teknis, dengan mengetahui aspek biologis dan ekologis dari ikan tersebut, maka kegiatan budidaya dapat dilakukan baik secara alami dengan memanfaatkan kawasan pesisir sebagai habitat mereka (in-situ), maupun dilakukan di laboratorium dengan membuat kondisi habitat yang menyerupai kondisi alaminya (ex-situ). Diharapkan dari kegiatan budidaya tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Capungan Banggai. Pelestaria in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi dimana ikan ini berasal. Pada tahun 2007 di canangkan daerah konservasi kepulauan banggai melalui SK bupati kepulauan banggai. Daerah konservasi terdiri dari 10 pulau dengan 2 pulau utama sebagai pusat in situ. Selain tiu adanya metode MARXAN dengan data base menggunakan SIG dihasilka daerah zonasizonai yang sesuai sebagai daerah habitat.

Tabel 1. Daftar Pulau konservasi di Kepulauan Banggai

Gambar 6. Lokasi Pengambilan Sampel yang Diusulkan untuk Analisis Genetik Populasi P. Kaurdeni, Kepulauan Banggai Kabupaten MPA Selain itu untuk pelestarian Ex-situ dilakukan di selat lembeh dengan menggunakan metode jaring apung. Selain itu telah banyak dilakukan pengakaran dan budidaya banggai dalam skala laboratorium dengan modifikasi kondisi dan habitat sesuai dengan daerah asli dari banggai. Untuk jalur ekpor ikan ini juga

dilakukan melalui pengakaran sehingga diharapkan tidak trjadinya degradasi atau kepunahan berlanjut dari ikan ini di daerah asilnya.

2.4.2

Penangkaran dengan Budidaya Salah satu cara untuk mengurangi tekanan terhadap populasi alami akibat

pengambilan ikan hias Banggai Cardinal fish dari alam adalah melalui upaya budidaya. Oleh karena itu, pengusaha diarahkan untuk mengupayakan kegiatan budidaya bagi kepentingan perdagangannya. Diharapkan dari kegiatan budidaya tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Banggai Cardinalfish. Banggai Cardinalfish (BCF) adalah ikan endemik dan beresiko terancam punah akibat ekploitasi yang berada di kepulauan Banggai, propinsi Sulawesi Tengah. Keberadaan ikan ini di perairan dapat dengan mudah dikenali, karena berada dalam populasi yang kecil. Pola reproduksi BCF tidak seperti ikan pada umumnya, di mana jantan mengerami telur yang sudah dibuahi dalam mulutnya (mouth-brooder). Dalam upaya pelestarian BCF ini, beberapa pihak mencoba untuk memasukkan BCF ke dalam daftar The Convention on International Trade of Endangered Spesies of Fauna and Flora (CITES) Appendix II. Yang artinya jika BCF masuk ke dalam daftar CITES, maka perdagangannya harus dikendalikan untuk menghindari pemanfaatan yang mengancam tingkat survivalnya. Menyikapi kondisi seperti tersebut serta meningkatnya permintaan akan BCF, untuk itu perlu dilakukan usaha pembenihannya agar keberlangsungan hidup ikan tersebut di alam tetap terjaga tanpa harus mengurangi volume produksinya sebagai komoditas ikan hias air laut. Proses domestikasi dimulai dengan aklimatisasi calon induk yang baru dating menggunakan wadah yang diisi dengan air wadah packing dan air lokasi pemeliharaan dengan perbandingan 3:1. Penambahan air dari lokasi pemeliharaan dilakukan setiap 1 jam sebanyak 25 %. Setelah 6 jam proses aklimatisasi calon induk sebanyak 100 ekor ditempatkan dalam bak beton kapasitas 7 ton atau akuarium yang diisi air laut selama 2 minggu sebelumnya dan diberi aerasi serta duri babi (diadema.sp) atau karang mati. Untuk memicu terjadinya pemijahan induk BFC, maka dilakukan teknik manipulasi lingkungan. Teknik tersebut

dilakukan dengan mengurangi ketinggian air sampai dengan 30 cm dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian ketinggian air dikembalikan ke ketinggian awal dan didiamkan kembali selama 24 jam. Perlakuan ini dilakukan 3 kali berturut-turut. Pada saat ketinggian air dinaikkan, Pemeliharaan pada bak beton merupakan salah satu cara penjodohan massal, dimana induk jantan dan betina yang berjodoh akan menguasai 1 koloni diadema sp atau karang mati. Hal ini akan terlihat setelah 20 30 hari masa penjodohan massal. Pemeliharaan calon induk dilakukan di bak terkontrol dengan ketinggian air 100 cm dan dilakukan pula pergantian air sebanyak 25% per hari. Pakan yang diberikan berupa copepoda dan artemia dewasa dengan penambahan multivitamin, vitamin C dan E. Setelah pemijahan, maka induk jantan akan mengerami telur yang telah terbuahi di dalam mulutnya. Induk jantan tersebut di karantina dalam wadah akuarium 50 liter. Setelah mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva dapat dikeluarkan dengan cara induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya. Jumlah larva yang dimuntahkan berkisar 70 80 ekor. Pemeliharaan larva dilakukan di akuarium dengan pemberian pakan berupa rotifer dan naupli artemia. Dari pemeliharan larva yang dilakukan diperoleh SR sebesar 90 %. Setelah mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva dapat dikeluarkan dengan cara induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya. Pemeliharaan larva dilakukan di akuarium dengan pemberian pakan berupa Rotifera dan Nauplii artemia. Setelah larva mencapai ukuran > 1,5 cm maka pemeliharaan dilakukan di bak fiber dengan kapasitas 2 ton. Pada tahapan pemeliharaan ini dilakukan pemberian pakan berupa artemia dewasa dan ikan rucah.

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran benih/bibit atau anakan dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik yang dilakukan di habitatnya maupun di luar habitatnya, dengan tetap

memperhatikan dan mempertahankan kemurnian jenis dan genetik. 2. Biota laut yang dilindungi diantaranya adalah kima, kuda laut, dan Banggai Cardinal Fish (BCF).
3.

Penangkaran kima terdiri dari 4 tahap yaitu tahap pembibitan, tahap asuhan, tahap asuhan di laut, dan tahap pembesaran. Penangkaran ex-situ adalah saat tahap pembibitan dan tahap asuhan sedangkan in-situ tahap tahap asuhan di laut dan pembesaran.

4.

Penangkaran

kuda

laut

terdiri

dari

tahap

yaitu

pembenihan,

penggelondongan, dan pembesaran. Penangkaran exsitu dilakukan pada tahap pembenihan dan penggelondongan sedangkan in-situ pada tahap pembesaran. 5. Penangkaran BCF ini dapat dilakukan dengan cara budidaya yaitu dengan tahap aklimatisasi, pemijahan, pemeliharaan larva, dan pembesaran. Pelestarian BCF in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi dimana ikan ini berasal sedangkan ex-situ dilakukan secara budidaya di lokasi yang habitatnya sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://dkp.sulteng.go.id/index.php?option =com_content&task=view&id=473&Itemid=78. Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 06.22 WIB. Allen, G.R. dan R.C. Steene. 1995. Notes on the behavior of the Indonesian Cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon Kauderni Koumans. Revue Francaise d Aquariologie 22:7-9. Allen, G.R. 2000. Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderniKoumans 1933 (Apogonidae). Environ. Biol. Fish 57:142. BKSDA Bali. 2012. Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. http://www.ksdabali.go.id/?page_id=33. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul 10.47 WIB Bowo. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://mzbowoaquaculture.blogspot.com/. Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 07.52 WIB. Balai Konsevasi sumber daya alam bali. Penangkaran tumbuhan dan satwa liar. 2009. http://www.ksda-bali.go.id/?page_id=33. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 18.50 WIB Cikal aufa . Kuda Laut. 2011. http://cikalaufanayotama. blogspot.com/2011 /12/kuda-laut.html. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 20.10 WIB Fauzi. Klasifikasi dan Morfologi Kuda Laut. 2010. Http://fauzimsp .wordpress.com/2010/10/04/klasifikasi-dan-morfologi-kuda-lauthippocampus-sp/. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 19.00 WIB

Graber, Shane. 2012. How To Determine The Sex Of Banggai Cardinal. Fish. http://www.advancedaquarist.com/blog/how-to-determine-the-sex-ofbanggai-cardinalfish. Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 06.52 WIB. Green, E. 2003. International trade in marine aquarium species: Using the global marine aquarium database. In: J.C. Cato and C. L. Brown. Marine Ornamental Species: Collection culture and conservation. Iowa State Press 31- 47. Hemdahl, J. 1984. In defense of current marine fish prices. Freshwater and Marine Aquarium 7(9):56-58.

Hodgson G, Ochavillo D. 2005. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef monitoring protocol: field manual. Reef Check Foundation. 17575 Pacific Coast Highway. USA Hodgson G, Ochavillo D. 2006. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef monitoring protocol: data analysis & interpretation manual. Reef Check Foundation. 17575 Pacific Coast Highway. USA Hopkins S, H. Ako, and C.S. Tamaru. 2005. Manual for the Production of the Banggai Cardinalfish.Pterapogon kauderni. in Hawaii Jeni, N.S. 2013. Kima Pahlawan Lautan yang Terancam Punah. http://nabiljeni.blogspot.com/2013/05/pahlawan-lautan-yang-terancampunah.html. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul 10.49 WIB

Kolm, N. and A. Berglund. 2003. Wild populations of a reef fish suffer from the Nondestructive aquarium trade fishery. Conservation Biology 17(5):910914. Lunn K, Moreau M. 2004. Unmonitored Trade in Marine Ornamental Fishes: the Case of Indonesias Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral Reefs. 23: 344351. Lunn, K.E. and M.-A. Moreau. 2004. Unmonitored trade in marine ornamental fishes: the case of Indonesias Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral Reefs23:344-351. Michael, S. 1996. The Banggai Cardinalfish: A newly available species that may become to popular for its own good. Aquarium Fish Magazine 8(8):86-87. Makatipu, Petrus. 2007. Mengenai Ikan Hias Capungan Banggai Pterapogon kauderni.Jurnal Oseana volume XXXII no. 3 tahun 2007. Halaman 1-7 Marini FC. 1996. My notes and observations on Raising and Breeding the Banggai Cardinalfish. The Journal of MaquaCulture. Vol. 4 Issue 4 pp. 1 5. Ndobe S dan Moore A. 2005. Potensi dan Pentingnya Pengembangan Budidaya Pterapogon kauderni (Banggai Cardinal Fish). Info MAI. Vol. 4-2. 2005, hal. 9-14 Ndobe S dan Moore A. 2005. Pterapogon kauderni, Banggai Cardinal Fish: Beberapa Aspek Biologi, Ekologi dan Pemanfaatan Spesies endemik di Sulawesi Tengah yang Potensial untuk Dibudidayakan. Prosiding Seminar Perbenihan nasional (National Seminar on Breeding), Palu, Indonesia, hal 389-404.

Ndobe S dan Moore A. 2007. Pengembangan Budidaya In-situ Banggai Cardinal Fish (Pterapogon kauderni). Prosiding Konferensi Aquaculture Indonesia, 2007. Hal 253-262. Olivier, K. 2003. World trade in ornamental species. In: J.C. Cato and C. L. Brown (Editors). Marine Ornamental Species: Collection culture and conservation. Iowa State Press 49-63. Panggabean, Lily M.G. 1992. Penangkaran Kima. Oseana, Volume XVII No. 3, 1992. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Pemerintah RI. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta. 39 hlm. Vagelli AA. 1999. The reproductive biology and early ontogeny of the mouthbrooding Banggaai cardinalfish, Petrapogon kauderni (Perciformes, Apogonidae). Environmental Biology of Fishes. 56:79-92. Vagelli AA. 2002. Notes on the Biology, Geographic Distribution, and Conservation Status of the Banggai Cardinalfish Pterapogon kauderni Koumans 1933, with Comments on Captive Breeding Techniques. Trop. Fish Hobb. 51: 8488. Vagelli AA, Erdmann MV. 2002. First Comprehensive Ecological Survey of the Banggai Cardinalfish, Pterapogon kauderni. Env. Biol. Fish. 63: 18. Vagelli AA. 2005. The Banggai Conservation Project. Working for the creation of a network of small marine sanctuaries in the Banggai Archipelago, Indonesia. Communiqu. Am. Zoo & Aquarium Assoc. July 2005: 4748. Tullock, J. 1999. Banggai cardinalfish alert. Aquarium Frontiers. http://www.aquariumfrontiers.net/Environmental Aquarist//html.

Anda mungkin juga menyukai