Anda di halaman 1dari 6

REKAYASA IDE

” Perlindungan Satwa Untuk Meminimalisir Perdagangan Ilegal”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

dalam Mata Kuliah Biologi Umum

Dosen Pengampu:

Drs. Mhd. Yusuf Nasution, M.Si.

Widia Ningsih, M.Pd.

Oleh :

EVA ROLITA HARIANJA (4193321020)

FISIKA DIK A 2019

PROGRAM STUDI (S1) PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
1. Latar Belakang
Perdagangan satwa liar di Indonesia masih berlangsung hingga saat
ini, hal tersebut tentu merupakan ancaman kepunahan yang sangat serius
terhadap berbagai spesies satwa terutama yang terdapat di Indonesia.
Keuntungan tinggi yang dapat diperoleh berbanding terbalik dengan
kecilnya risiko hukuman yang harus dihadapi membuat perdagangan
satwa liar menjadi daya tarik bagi para pelaku untuk melakukan tindak
kejahatan tersebut.
Diperkirakan 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia
terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas
daratan dunia, Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515
jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1539 jenis burung. Sebanyak 45%
ikan di dunia hidup di perairan Indonesia. Daftar spesies baru yang
ditemukan di Indonesia itu akan terus bertambah, seiring dengan
intensifnya penelitianatau eksplorasi alam.
Namun Indonesia juga dikenal sebagai Negara pemilik daftar panjang
tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah satwa liar yang
terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis
reptil, 91 jenis ikan dan 28 jenis invertebrata. Faktor utama yang
mengancam punahnya satwa liar tersebut adalah berkurang atau rusaknya
habitat mereka dan perburuan untuk diperdagangkan. Tujuan
dilakukannya perdagangan satwa liar di Indonesia antara lain adalah
dijadikan satwa peliharaan, diawetkan untuk dijadikan hiasan, koleksi, dan
yang terparah adalah memelihara satwa liar hanya untuk kebanggaan
(prestise).
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa,
setelah ancaman kerusakan habitat. Perdagangan satwa liar menjadi
ancaman karena sebagian besar satwa yang diperdagangkan adalah hasil
tangkapan dari alam. Jenis primata yang diperdagangkan di Indonesia
dapat dipastikan 100 persen adalah bukan hasil penangkaran, melainkan
tangkapan dari alam. Perdagangan satwa liar menunjukkan bahwa adanya
kegiatan yang cukup kompleks dan dikontrol oleh sindikat kejahatan yang
terorganisir dengan baik. Beberapa kegiatan ilegal yang terjadi bahkan
melibatkan perdagangan secara utuh atau bagian-bagian dari spesies yang
benar-benar dilarang, seperti gajah, harimau, badak, beruang dan burung
enggang.
Perdagangan satwa liar sendiri memiliki kecenderungan meningkat
baik jumlah maupun jenis yang diperdagangkan karena tingginya
permintaan dari para kolektor dan penikmat yang mencari berbagai spesies
langka untuk dijadikan koleksi. Nilai kelangkaan suatu spesies akan
memberikan kebanggaan tersendiri bagi pemilik, sehingga para kolektor
akan terus giat mencari satwa jenis tertentu dengan cara membeli pada
pemburu atau pengepul, hingga dengan cara berburu langsung ke habitat
satwa yang diinginkan.
Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih
diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Sebanyak 40% satwa liar yang
diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang tidak sesuai dengan
aturan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan satwa.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memiliki sebuah ide untuk
melakukan kegiatan perlindungan satwa dengan judul “Upaya
Perlindungan Satwa Di Sekitar Hutan Untuk Meminimalisir Perdagangan
Ilegal”.
2. Masalah

Adapun masalah yang dapat kita lihat adalah di dirikannya sebuah


instansi yang dipergunakan menjadi transaksi penjualan berbagai satwa
seperti burung dan juga ada beberapa hewan lain yang diperjual belikan
secara ilegal tanpa adanya surat resmi dari pemerintah. Burung-burung
dan hewan-hewan yang diperjual belikan tergolong satwa langka yang
semestinya dilindungi tetapi malah diperjual belikan.

Sebagaimana kita tahu berbagai jenis burung di Indonesia (termasuk


biogeografi Sumatera) memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, antara
lain, berdasarkan potensi morfologis, suara, tingkah laku dan sebagai
sumber protein hewani. Potensi ekonomis tersebut lah yang menyebabkan
tingginya perburuan burung sehingga dapat menurunkan populasi di alam.
Selain itu, habitat burung juga semakin berkurang, baik kualitas maupun
kuantitasnya, akibat eksploitasi hutan dan konversi lahan. Permasalahan
tersebut menyebabkan gangguan kelestarian satwa burung yang pada
akhirnya mengakibatkan kelangkaan.

3. Tujuan
1. Untuk memenuhu Tugas Mata Kuliah Biologi Umum
2. Untuk mengetahui apakah masyarakat sudah tau cara melindungi
satwa
3. Untuk mengetahui apakah masyarakat mau ikut berpartisipasi untuk
melindungi satwa
4. Untuk mengetahui apakah ide ini berhasil jika dilakukan

4. Pembahasan
Satwa adalah bagian dan sumber daya alam yang tidak ternilai
harganya sehingga kelestarianya perlu dijaga baik di dalam habitat
alaminya, melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi,
maupun di luar habitat alaminya, salah satunya melalui penangkaran.
Cukup banyak fakta mengenai satwa yang dilindungi terekspos di
media massa cetak, elektronik, maupun media sosial, antara lain, nasib
tragis harimau sumatera yang mati terjerat perangkap yang dipasang oleh
mereka yang tidak bertanggung jawab. Begitu pun elang, musang,
siamang, beruang madu, kakatua raja, kucing hutan, jalak bali, dan
lainnya, di jalur tataniaga perdagangan hewan ilegal. Sementara itu di
habitatnya, mereka makin terjepit, akibat pembabatan kawasan hutan
untuk perkebunan, pertambangan, maupun alih fungsi lain
Kegiatan penangkaran dan perlindungan pada satwa seperti burung
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan konservasi jenis, peningkatan
populasi, sarana pendidikan dan penelitian, serta pengembangan
ekowisata. Hasil penangkaran dapat dilepasliarkan ke habitat alam (sesuai
dengan syarat-syarat dan peraturan yang berlaku), serta sebagian dapat
dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai dari hasil keturunan
kedua (F2).
Pencegahan perdagangan ilegal dapat dilakukan dengan melakukan
monitoring perburuan dan perdagangan ilegal satwa, melakukan
peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, khususnya yang terkait
dengan peraturan perlidungan spesies dan pemahaman tentang ekologi
satwa, peningkatan kerja sama antara Kementrian Kehutanan dengan
aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya, peningkatan kerja
sama di tingkat regional dan global, serta pemberdayaan masyarakat di
sekitar hutan.
Untuk pencegahan dan monitoring perburuan dan perdagangan ilegal,
diperlukan unit patrol misalnya “Tiger Patrol Unit”, “Rhino Patrol Unit”,
“Orangutan Patrol and Monitoring Unit”, dan lain sebagainya. Namun,
dukungan serta sanksi yang tegas dari pemerintah sangat diperlukan
untuk setiap aksi perdagangan ilegal.
Dukungan kesadaran dari masyarakat luas dalam membantu
melindungi berbagai satwa liar, termasuk dengan tidak adanya keinginan
untuk membeli dan memelihara satwa liar, maka langkah apa pun tak
akan berjalan dengan baik.
Maraknya perdagangan ilegal satwa liar dipicu oleh adanya permintaan
pasar. Maka, jika masyarakat menghentikan permintaan tersebut,
perdagangan ilegal satwa liar akan berkurang. Memelihara satwa liar,
terutama yang dilindungi, termasuk menyimpan bagian-bagian tubuhnya,
bukanlah sebuah kebanggaan atau prestise. Hal itu sesungguhnya
merupakan suatu kejahatan karena melanggar undang-undang.

5. Kajian Pustaka
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web
&cd=10&ved=2ahUKEwjimJmliu7lAhWVyDgGHfAmCK4QFjAJegQIB
BAC&url=http%3A%2F%2Fetd.repository.ugm.ac.id%2Fdownloadfile%
2F110978%2Fpotongan%2FS1-2017-329917-
Introduction.pdf&usg=AOvVaw0HTzhVVSd_eADZjPn61kdZ

Anda mungkin juga menyukai