Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK 12

INVENTARISASI PEMANTAUAN SATWA LIAR

OLEH :

MUH.AMINUDDIN ISKANDAR (M1A116220

MUH. SALMAN AL F

ILANG RAMADHANI JASMIN (M1A116157

RIZKI TAUFIK HIDAYAT FRANS (M1A120116)

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Satwa adalah bagian dan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya sehingga
kelestarianya perlu dijaga melalui upaya meminimalisir pergadangan hewan ilegal dan
pemburuan satwa langka. Berdasarkan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan
Undangundang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang perdagangan jenis
tumbuhan dan satwa dengan peraturan pemerintah. Selain Undang-undang Nomor 5 tahun
1990 diatur juga dalam PP no 7 tahun 1999.

Berbagai jenis burung di Indonesia (termasuk biogeografi Sumatera) memiliki nilai ekonomi
yang cukup tinggi, antara lain, berdasarkan potensi morfologis, suara, tingkah laku dan
sebagai sumber protein hewani. Potensi ekonomis tersebut menyebabkan tingginya
perburuan burung sehingga dapat menurunkan populasi di alam. Selain itu, habitat burung
juga semakin berkurang, baik kualitas maupun kuantitasnya, akibat eksploitasi hutan dan
konversi lahan. Permasalahan tersebut menyebabkan gangguan kelestarian satwa burung
yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan. Berdasarkan hal tersebut, tindakan
konservasi perlu dilakukan, baik secara di dalam habitat alaminya, seperti melalui
perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi, maupun secarac di luar habitat
alaminya, salah satunya melalui penangkaran. Kegiatan penangkaran burung dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan konservasi jenis, peningkatan populasi, sarana pendidikan
dan penelitian, serta pengembangan ekowisata. Hasil penangkaran dapat dilepasliarkan ke
habitat alam (sesuai dengan syarat-syarat dan peraturan yang berlaku), serta sebagian
dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai dari hasil keturunan kedua
(F2). Dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi exsitu, antara lain,
adalah Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya hayati dan
ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah
(PP) No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dan PP No. 8 Tahun
1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi, baik pemerintah maupun
swasta. Penangkaran burung harus mempertimbangkan jenis burung dan status
kelangkaannya, serta kesiapan lingkungan penangkaran, baik lingkungan biologi (habitat
hidup burung) maupun lingkungan fisik (seperti kandang/sangkar). Lingkungan dan sistem
pemeliharaan mengacu kepada perilaku dan habitat alaminya. Kegiatan teknis yang dapat
dilakukan adalah: penyiapan tumbuhan pelindung dan sumber pakan, pemilihan bentuk dan
ukuran kandang, pengelolaan penangkaran (pakan, kesehatan, sex rasio, dan reproduksi),
dan sistem pencatatan. Pengelolaan penangkaran yang baik diharapkan mampu
meningkatkan populasi dan memberikan nilai tambah untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun terdapat sebuah pasar
burung disana menjual berbagai burung dan juga ada beberapa hewan yang diperjual
belikan secara ilegal tanpa adanya surat resmi dari pemerintah. Burung-burung dan hewan-
hewan yang diperjual belikan disana ada beberapa yang tergolong satwa langka yang
semestinya dilindungi tetapi malah diperjual belikan di pasar burung Saradan tersebut.
Badan pengawasan dari kegiatan yang ada dipasar burung ini yaitu pihak KPH Kecamatan
saradan. KPH saradan merupakan pengawas serta pemantau dari semua kegiatan
perdagangan yang ada di pasar burung sardan. Tanah yang mereka gunakan oleh pasar
burung Sardan tersebut adalah tanah milik perhutani Kecamatan saradan sehinnga setiap
bulanya para pedagang membayar pajak kepada perhutani Kecamatan Saradan melalui
pihak KPH Saradan.dengan surat resmi dari pemerintah. Kegiatan ini berlangsung sudah
sangat lama, pihak pemerintah serta pihak KPH Saradan yang merupakan penaggung jawab
serta pemantau pasar burung Saradan tidak memberikan ketegasan ataupun sanksi-sanksi
bagi para pedagang burung dan hewan langka yang tidak mempunyai surat ijin yang resmi.
Para pedagang dipasar burung Saradan mendapatkan hewan-hewan tersebut dari supplier-
supllier dari berbagai daerah bahkan Propinsi, pengirimanyapun juga tidak disertai dengan
surat resmi dari pemerintah. Burung-burung serta hewan yang diperjual belikan sebagian
besar hewan-hewan yang sudah mulai langka dan bisa dikatakan sudah punah, tetapi justru
hewan-hewan dan burung langka ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung,
meskipun harganya yang sangat tinggi tidak menyurutkan para pengunjung dan pembeli di
pasar burung Saradan, hal ini yang membut para pedagang di pasar burung Saradan yang
tetap memperjualbelikan hewan dan burung langka meskipun cara perdagangannya
dilakukan secara ilegal yang pasti bertentang dengan hukum. Bahklan sekarang burung dan
hewan langka sudah diperjualbelikan secara online, melalui sosial media yang sangat mudah
untuk diakses oleh masyarakat, cara ini yang sekarang banyak diminati oleh para konsumen,
pembaran serta pendapatan barangnyapun sangatlah mudah dan bisa diakses kapan saja
dan dimana saja. Pemerintah seharusnya bertindak tegas dengan kegiatan seperti ini karena
sangat berpengaruh terhadap ekosistem yang ada dinegara Indonesia. Pemerintah
seharusnya menyediakan tempat untuk perlindungan hewan-hewan dan burung langka
sepeti yang ada di pasar burung Saradan ini dan memberikan sanksi terhadap para
pedagang hewan dan burung langka.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan.

2. Mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberlanjutan kawasan


menurut ciri burang yang dapat di lihat masyarakat di kawasan

1.3 Manfaat
1.Memberikan kontribusi pemikiran peningkatan peran untuk melindungi hewan
pengambilan kebijakan dalam pengelolaan Kawasan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Inventarisasi

Permasalahan mendasar dari upaya konservasi jenis terletak pada data yang
menyangkut parameter demografi. Parameter ini (tingkat kelahiran, kematian, sex
ratio, dan ukuran populasi) merupakan komponen penting dalam mempelajari
perkembangan populasi satwa liar. Di samping sebagai suatu indikator kuantitatif dari
pertumbuhan populasi (Dajoz 1971; Barbault 1981; Gaillard 1988), dari segi teknis,
pengetahuan tentang hal ini merupakan data-data dasar dalam perencanaan dan
penentuan kuota pemanenan, pengambilan keputusan tentang jenis pengelolaan yang
diperlukan serta penentuan status populasi (status kelangkaan, oprtimum viable
population, dan lain-lain) (CEMAGREF 1984; Santosa 1990). Mengingat betapa
pentingnya data dan informasi tentang demografi, sejak tahun 1930, penelitian-
penelitian tentang demografi satwa liar berkembang pesat (Lincoln 1930; Leopold
1933 dalam Gaillard 1988). Namun dari sekian banyak metode yang dikembangkan
(lihat Seber 1973; Caughley 1977: Northon-Griffith 1978), tidak ada satupun yang
bersifat universal dalam arti dapat diterapkan untuk seluruh jenis satwa liar.
Di antara beberapa metode yang telah dikembangkan untuk menduga secara
langsung beberapa parameter kuantitatif populasi satwa liar, metode pengamatan
langsung merupakan suatu teknik yang paling banyak digunakan (Bourliere 1963;
Puncek 1975; Gaillard 1988). Berdasarkan ruang lingkupnya, metode tersebut terbagi
atas dua macam: pengamatan menyeluruh (sensus) dan pengamatan sebagian
(sampling). Ada empat cara melakukan sensus satwa, yakni: pengamat yang bergerak
(Boisau bert et al. 1979); sirkuit yang dilakukan secara simultan (Daburon 1973),
penggiringan total ke tempat penghitungan (Hofman 1975; Doucet1980) dan kombinasi
antara pengamat yang bergerak dengan pengamat yang menunggu (de Crombrugghe
1969). Berdasarkan jenis alat yang digunakannya, dikenal sensus di daratan dan
sensus di udara (Caughley 1974).
Konservasi merupakan sebuah perlindungan terhadap sumberdaya alam agar
dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Kawasan konservasi perairanmerupakan
sebuah wilayah perairan yang terlindungi dengan tujuan meningkatkan kualitas
kawasan perairan Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dala (Anjani,
2014), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi,
dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman
Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Kawasan konservasi perairan (KKP) atau Marine Protected Area (MPA) memilikI
manfaat langsung secara ekologi dan ekonomi. Menurut (Claudet et al.,2006) dalam
(Anjani, 2014), kawasan konservasi dapat memberikan pengaruh positif terhadap
keadaan ekosistem yang ditunjukkan dengan besarnya kelimpahan ikan dan
keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Di Kabupaten Tegal terdapat sebuah kawasan
konservasi perairan yaitu kawasan konservasi daerah Karang Jeruk.

Secara geografis di sebelah utara Kabupaten Tegal merupakan daerahpesisir.


Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tegal Nomor 523/448/2010 yaitu tentang
Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Karang Jeruk di Kabupaten
Tegal ditetapkan bahwa Karang Jeruk dicadangkan untuk menjadi Kawasan
Konservasi Perairan Daerah Karang Jeruk yang termasuk dalam wilayah
administrasi Desa Munjungagung Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal. Kondisi
geografis Karang Jeruk yang berada di perairan Utara Jawa dengan posisi yang
terbuka terhadap pengaruh gelombang memberikan efek degradasi yang besar
bagi daerah tersebut. Disamping itu, Karang Jeruk merupakan lokasi penangkapan
ikan (Fishing ground) untuk wilayah sekitar Tegal (Mulatsih, 2004).
Kawasan konservasi perairan daerah Karang Jeruk dengan luas ± 53,460
ha mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan khususnya terumbu
karang yang memiliki prospek perekonomian yang mampu mendorong
pertumbuhan kegiatan ekonomi serta sosial disekitar kawasan. Berdasarkan hasil
penelitian tahun 2010 diketahui bahwa tutupan karang hidup di Karang Jeruk
adalah sebesar 11,2%, sedangkan pada tahun 2014 ini diketahui bahwa tutupan
karang hidupnya sebesar 9,69%. Penurunan tutupan karang hidup sebesar 1,51%
dari tahun 2010 ke tahun 2014. Dapat dikatakan bahwa pada daerah Karang Jeruk
memiliki kondisi persentase penutupan karang hidup yang kritis atau
mengkhawatirkan, hal ini menunjukan telah terjadi tekanan terhadap keberadaan
terumbu karang di KKPD karang jeruk yang di sebabkan oleh berbagai faktor
yaitu tingkat aktivitas penangkapan ikan yang berlebih, pemakaian alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan (Analisis Kondisi Perairan 2014, DKPP Kabupaten
Tegal). Padahal Karang Jeruk merupakan kawasan suaka perikanan (fish
sanctuary) yang keberadaanya diharapkan dapat memberikan perlindungan

Semua metode pendugaan menuntut suatu kondisi di mana setiap objek yang
diamati atau diukur menyebar secara acak dan mempunyai peluang yang sama untuk
dihitung. Dalam kasus di mana objeknya adalah satwa liar dalam ruang dan waktu,
masalah-masalah yang tidak sederhana. Masalah pertama menyangkut tentang yang
bergerak metode-metode tersebut dihadapkan pada penerapan masalah-masalah
yang tidak sederhana. Masalah pertama menyangkut tentang strategi satwa dalam
memanfaatkan ruang dan waktu yang biasanya ditunjukkan oleh penyebaran satwa
dalam ruang (space) dan waktu (time). Hal ini sangat penting dalam hal penentuan
lokasi, waktu, dan lamanya pengamatan. Di samping itu hubungan sosial antara
individu yang satu dengan yang lainnya juga merupakan masalah yang perlu
diperhatikan. Karena hal tersebut menyangkut jenis individu- individu yang harus
mempunyai peluang yang sama untuk dihitung. Sangat disayangkan bahwasanya
metode-metode tersebut di atas masih mempunyai beberapa kekurangan. Hal
pertama adalah yang menyangkut syarat- syarat pokok penerapannya. Semua metode
itu menuntut suatu keadaan di mana setiap objek mempunyai peluang yang sama
untuk dapat dihitung dan menyebar secara acak (Seber 1973; Davis dan Winstead
1980).

Dengan perkataan lain setiap individu satwa dianggap sama. Padahal banyak
penelitian terhadap populasi satwa liar menunjukkan adanya suatu variasi inter-
individu yang besar. Setiap individu mempunyai status, kedudukan dan fungsi yang
berlainan (dominan, tidak dominan, reproduktur, dan lain-lain) dalam kelompok atau
populasinya (Bouissou dan Signoret 1970; Geist 1971; Eccles dan Shackleton 1986).
Variasi inter-individu ini tentunya akan menyebabkan peluang yang berbeda dari
setiap satwa untuk dapat dihitung. Itulah mengapa dugaan yang diperoleh akan selalu
disertai dengan bias yang besar.
2.2 Parameter demografi

demografi pertama kali digunakan oleh Achille Guilard pada tahun 1885,
dalam bukunya yang berjudul Elements de Statistique Humaine, ou Demographie
Comparee. Demografi berasal dari kata demos yang berarti penduduk dan
grafein yang berarti gambaran. Jadi demografi adalah ilmu yang mempelajari
penduduk atau manusia terutama tentang kelahiran, kematian dan perpindahan
penduduk yang terjadi. Demografi sendiri sebenarnya melibatkan studi ilmiah
tentang ukuran, penyebaran penduduk secara geografi maupun spasial,
komposisi penduduk, dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Pada
tahun tersebut Achille Guilard mengatakan bahwa demografi merupakan ilmu
yang mempelajari segala sesuatu dari keadaan dan sikap manusia yang dapat
diukur yaitumeliputi perubahan.
Pressat (1985) mengatakan bahwa demografi adalah studi tentang populasi
manusia dalam hubungannya dengan perubahan yang terjadi akibat kelahiran,
kematian, dan migrasi. Istilah ini juga digunakan untuk mengacu kepada
fenomena yang diamati. Sedangkan PBB (1958) mendefinisikan bahwa demografi
adalah studi ilmiah terhadap populasi manusia, terutama terhadap jumlah,
struktur, dan perkembangannya. Masalah demografi lebih ditekankan pada
perubahan dinamika kependudukan karena pengaruh perubahan fertilitas,
mortalitas dan migrasi. David V. Glass mengatakan bahwa demografi terbatas
pada studi penduduk sebagai akibat pengaruh dari proses demografi yaitu
fertilitas, mortalitas danmigrasi

Sementara itu Donald J.Bogue (1973) mengatakan bahwa demografi adalah


ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematik tentang besaran,
komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan-perubahannya sepanjang
masa melalui bekerjanya lima komponen demografi yaitu kelahiran, kematian,
perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial. Walaupun demografi mempertahankan
analisis deskriptif dan komparatif berkesinambungan terhadap tren yang ada,
pada setiap proses yang terjadi dan hasil yang ditimbulkan, tujuan utamanya
adalah untuk mengembangkan bagian dari teori untuk menjelaskan peristiwa
yang dibandingkandan direncanakannya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa demografi
adalah studi tentang penduduk yang dilihat dari ukuran (jumlah),
struktur/komposisi, persebaran ke ruangan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah, struktur dan persebaran penduduk yaitu fertilitas,
mortalitas dan migrasi disuatu wilayah tertentu. Dalam demografi terdapat aspek
kependudukan yang statis dan dinamis sifatnya. Aspek statis ditunjukkan oleh
komposisi penduduk misalnya. Komposisi penduduk merupakan gambaran
kondisi penduduk pada suatu titik tertentu, yaitu pada saat dilaksanakan sensus
atau survei. Sesudah tanggal atau hari tersebut, komposisi penduduk akan
berubah. Perubahan komposisi ini terjadi karena perubahan kelahiran, kematian
dan migrasi. Jadi dalam demografi juga dipelajari aspek statis dan aspek dinamis,
yang keduanya saling mempengaruhi.
Informasi tentang kondisi aktual dan kondisi ideal suatu populasi satwa liar
mutlak diperlukan dalam manajemen populasi suatu jenis satwa liar. Selisih
antara kedua kondisi tersebut akan menentukan jenis rencana pengelolaan/
pengusahaan terhadap populasi sarwa liar tersebut. Kondisi aktual dapat
diketahui dengan menggunakan ilmu inventarisasi satwa, sedangkan kondisi
idealnya dapat diketahui dengan menerapkan ilmu dinamika populasi. Data yang
diperoleh dalam kegiatan inventarisasi sarwa liar digunakan/ diolah dengan
tujuan untuk menduga populasi suatu jenis satwa liar beserta karakteristiknya
yang biasa dikenal sebagai parameterdemografi.

Kusmardiastuti (2010) menyatakan bahwa pengetahuan tentang data-data dan


informasi yang memadai tentang kondisi satwa liar sangat dibutuhkan dalam
melakukan pengelolaan terhadap populasi satwa liar tersebut. Secara umum
pengelolaan satwa liar berkepentingan dalam mengatur jumlah individu,
peningkatan atau penurunan angka kelahiran, peningkatan atau penurunan
angka kematian. atau mengatur habitatnya untuk mengubah kepadatan dan
penyebaran spesies (Alikodra 2010). Parameter demografi (tingkat kelahiran,
kematian, seks rasio, dan ukuran populasi, dll) merupakan komponen penting
dalam perkembangan populasi satwa liar, selain itu dalam penentuan kuota
pemanenan ditentukan oleh tersedianya data parameter demografi (Santosa
1996). Bailey (1984) menyatakan bahwa pengelolaan terhadap populasi satwa
liar baik terdiri atas mengatur jumlah, distribusi, kualitas serta hal-hal lain yang
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberadaannya seperti
memanipulasi habirat.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Satwa adalah bagian dan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya sehingga
kelestarianya perlu dijaga melalui upaya meminimalisir pergadangan hewan ilegal
dan pemburuan satwa langka. Berdasarkan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan
Undangundang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang
perdagangan jenis tumbuhan dan satwa dengan peraturan pemerintah. Selain
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 diatur juga dalam PP no 7 tahun 1999.

Informasi tentang kondisi aktual dan kondisi ideal suatu populasi satwa liar
mutlak diperlukan dalam manajemen populasi suatu jenis satwa liar. Selisih
antara kedua kondisi tersebut akan menentukan jenis rencana pengelolaan/
pengusahaan terhadap populasi sarwa liar tersebut. Kondisi aktual dapat
diketahui dengan menggunakan ilmu inventarisasi satwa, sedangkan kondisi
idealnya dapat diketahui dengan menerapkan ilmu dinamika populasi. Data yang
diperoleh dalam kegiatan inventarisasi sarwa liar digunakan/ diolah dengan
tujuan untuk menduga populasi suatu jenis satwa liar beserta karakteristiknya
yang biasa dikenal sebagai parameterdemografi.

Kusmardiastuti (2010) menyatakan bahwa pengetahuan tentang data-data dan


informasi yang memadai tentang kondisi satwa liar sangat dibutuhkan dalam
melakukan pengelolaan terhadap populasi satwa liar tersebut. Secara umum
pengelolaan satwa liar berkepentingan dalam mengatur jumlah individu,
peningkatan atau penurunan angka kelahiran, peningkatan atau penurunan angka
kematian. atau mengatur habitatnya untuk mengubah kepadatan dan penyebaran
spesies (Alikodra 2010). Parameter demograf

Anda mungkin juga menyukai