Spesies prioritas didefinisikan sebagai spesies yang dinilai penting untuk dilakukan upaya
konservasi jika dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya. Berdasarkan arahan strategis
konservasi nasional tahun 2008-2018 yang disusun oleh Prof. Dr. Ani Mardiastuti dkk,
Penentuan spesies prioritas dipilih dengan memperhatikan 2 (dua) macam kriteria yaitu:
1.Kriteria Generik
kriteria generik adalah kriteria yang diterapkan secara umum kepada semua kelompok taksa
flora dan fauna diantaranya:
a.Endemisitas, indikatornya adalah cakupan penyebarannya yaitu lokal, regional, nasional dan
non endemik.
b.Status Populasi, indikatornya adalah ukuran dan kecenderungannya yaitu populasi alami
kecil, populasi global terbesar di Indonesia, jarang, sedang menurun drastis dan rentan.
c.Kondisi habitat, indikatornya adalah luas, mutu dan ketersediaannya yaitu habitat yang
sesuai tinggal sedikit, habitat yang sesuai mengalami penurunan, habitat yang sesuai cukup
tersedia dan stabil.
d.Keterancaman, indikatornya adalah jenis dan tingkat ancaman yaitu spesies mengalami
gangguan serius akibat perburuan, spesies mengalami gangguan serius akibat penangkapan
untuk perdagangan, spesies mengalami gangguan serius akibat penangkapan untuk budaya,
spesies mengalami gangguan serius akibat praktek pertanian/perkebunan yang tidak ramah
lingkungan, kebakaran, konversi lahan dan spesies tidak mengalami gangguan serius di alam.
e.Status Pengelolaan Spesies,pengelolaan adalah ada tidaknya pengelolaan atau rencana
pengelolaan spesies.
2.Kriteria Khusus
Kriteria khusus adalah kriteria yang hanya diterapkan pada taksa tertentu sesuai dengan
karakteristik khas taksa tersebut. Penentuan spesies prioritas untuk suatu taksa umumnya
dilakukan dengan mengikuti 5 kriteria genetik yang ditetapkan seperti di atas, tetapi dengan
modifikasi nilai pembobotan untuk setiap indikator. Pengujian atas kriteria tersebut juga dapat
dilakukan terhadap beberapa spesies yang terancam punah menurut IUCN serta spesies yang
termasuk dalam Appendiks CITES.
Berdasarkan hasil rapat koordinasi konservasi keanekaragaman hayati (Rakor KKH) tanggal 19-
21 Juni 2011 di Bandung yang berpedoman pada Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional
2008-2018 (Permenhut Nomor P.57/Menhut-II/2008), Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Jenis, ketersediaan data dan informasi mengenai penyebaran dan populasi, intensitas
pelaksanaan inventarisasi maka pada RAKOR KKH memilih 14 spesies terancam punah yang
akan ditetapkan sebagai spesies prioritas utama yang terancam punah, yakni :
1.Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
2.Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
3.Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)
4.Banteng (Bos javanicus)
5.Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
6.Orang Utan Kalimantan (Pongo Pygmaeus)
7.Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
8.Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea)
9.Anoa (Bubalus quarfesi)
10.Babi Rusa (Babyrousa babirussa)
11.Komodo (Varanus komodoensis)
12.Maleo (Macrocephalon maleo)
13.Owa Jawa (Hylobates moloch)
14.Bekantan (Nasalis larvatus)
Fokus Kegiatan
Fokus kegiatan utama dalam pencapaian target peningkatan populasi spesies prioritas utama
terancam punah dilakukan melalui 5 (lima) tahapan utama yaitu :
1.Inventarisasi dan Monitoring
Inventarisasi satwa dilakukan jika belum tersedia data populasi satwa di alam, inventarisasi
satwa dilakukan dengan berbagai macam metode (Jalur, concentration count, jejak, focal
animal, animal survey, dll) yang disesuaikan dengan jenis satwa yang akan di
inventarisasi. Monitoring dilakukan untuk mengetahui perkembangan satwa setelah
dilakukan inventarisasi.
2.Pembinaan Habitat
Bentuk pembinaan habitat antara lain pengembangan feeding ground, manajemen habitat,
pemusnahan tanaman pengganggu, pemberantasan penyakit, pengkayaan habitat dll.
Status konservasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim bahwa jumlah populasi
satwa liar prioritas di Indonesia pada periode 2015-2019 mengalami peningkatan sebesar
57,16%.
Adapun, menurut data dari berbagai sumber monitoring satwa liar prioritas jumlah populasi
satwa liar prioritas Indonesia pada 2015 ada sebanyak 1.522 ekor yang terdiri atas Jalak Bali di
Taman Nasional Bali Barat (31 ekor); Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (63 ekor).
Kemudian, Owa Jawa (546 ekor); Gajah Sumatra (611 ekor);dan Elang Jawa (91 ekor).
Pada 2019, terjadi peningkatan populasi sebanyak 870 ekor menjadi 2.392 ekor yang terdiri atas
Jalak Bali (191 ekor); Badak Jawa (68 ekor); Owa Jawa (1.107 ekor); Gajah Sumatera (693
ekor); Harimau Sumatera (220 ekor); dan Elang Jawa (113 ekor).
Kawasan konservasi di Indonesia saat ini mencapai 27,14 juta ha. Ada sekitar 6.000 desa
mengelilingi kawasan. Wiratno mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga dan
mengelola alam dengan benar, agar mendatangkan keberkahan dan kesejahteraan masyarakat
sekitar kawasan.
"Pertumbuhan satwa liar prioritas ini tersebar di berbagai kawasan konservasi dan juga kawasan
hutan serta di luarnya," kata Wiratno, Dirjen Konservasi, Sumber Daya Alam dan Ekosistem
(KSDAE) KLHK dalam keterangan resminya, Jumat (31/5/2019).
Adapun menurut data KLHK, kawasan konservasi di Indonesia saat ini mencapai 27,14 juta
hektare.
Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan sub spesies terakhir dari
jenis harimau yang pernah ada di Indonesia. Dua kerabatnya, Harimau Bali ( P. t.
balica) dan Harimau Jawa (P.t. sondaica) sudah lama hilang jejaknya dari alam
tempat mereka hidup. Harimau Bali telah dinyatakan punah sejak tahun 1940 -an
sedangkan saudaranya yaitu Harimau Jawa dinyatakan sudah tak terlihat lagi sejak
tahun 1980-an. Pada akhir tahun 1970an, diyakini populasi Harimau Sumatra
berkisar sekitar 1.000 inidividu, kemudian m enurun menjadi sekitar 400-500an
individu pada awal 1990an. Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (2007), saat ini estimasi populasi harimau di delapan kawasan yang
telah diidentifikasi dari 18 kawasan yang ada hanya tersisa sekitar 250a n individu
saja, sementara di 10 kawasan lainnya belum diestimasi. Namun para ahli harimau
yakin populasinya di Sumatra tidak lebih dari estimasi tahun 1990an tersebut.
Kini dunia kembali mengingatkan pentingnya peran si Raja Hutan ini dengan
peringatan Hari Harimau Internasional yang jatuh setiap tanggal 29 Juli.Tahun ini
adalah tahun kelima perayaan Hari Harimau Internasional sejak ditetapkan pada 23
November 2010 lalu di St. Petersburg, Rusia. Dalam The St. Petersburg
Declaration on Tiger Conservation, d ibuat kesepakatan bersama bahwa dunia akan
berupaya untuk meningkatkan populasi yang ada sekarang hingga dua kali lipat di
tahun 2022. Peran penting harimau dalam ekosistem disebutkan jelas dalam
deklarasi tersebut, bahwa predator ini adalah salah satu ind ikator penting
ekosistem yang sehat. Rusaknya ekosistem tidak hanya berdampak pada kepunahan
harimau, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati. Indonesia termasuk
sebagai salah satu negara yang menandatangani Deklarasi Konservasi Harimau di
St. Petersburg, Rusia pada 2010. Bahkan Kementerian Kehutanan pada 2007 lalu
sudah membuat Rencana Aksi Konservasi yang masih berlaku hingga 2017.
Meski sudah ada rencana aksi dan kesepakatan antar negara, laporan kematian
Harimau Sumatra terus membanjiri media. Terma suk konflik dengan petani di
Jambi selama dua tahun terakhir yang mengorbankan 46 ekor harimau, maupun
“salah urus” di Kebun Binatang Surabaya yang akhirnya juga membuat satu ekor
harimau di sana mati. Mengutip judul di atas, “Penyelamatan Harimau Sumatra
harus mulai dari mana?” Jawabannya tidak sederhana. Untuk menentukan apa yang
harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan Harimau Sumatra dari kepunahan,
terlebih dahulu pemutakhiran data dan informasi harus dilakukan. Bagaimana
status dan sebaran Harimau S umatra terkini ? Berapa jumlah populasi terkini? Apa
dan bagaimana tingkatan ancaman saat ini? Apa yang telah dan dapat dilakukan
para pemangku kepentingan untuk menyelamatkan Si Belang? Pertanyaan -
pertanyaan tersebut harus bisa dijawab untuk membuat suatu tindakan yang tepat
bagi penyelamatan harimau Sumatra.
Memastikan populasi Harimau Sumatra memang bukan hal yang mudah karena
memerlukan cara dan peralatan tertentu, termasuk menggunakan camera trap.
Untuk mengamati Harimau, camera trap dipasang di tempat yang diperkirakan
menjadi kantong populasi harimau secara sistematis. Sejak 1996, dengan perkiraan
populasi yang hanya 400-500 ekor IUCN (International Union for Conservation of
Nature) telah memasukkan Harimau Sumatra dalam Daftar Merah satwa terancam
punah dengan status Kritis (Critically Endangered). Hanya tinggal selangkah lagi
sebelum statusnya dinyatakan punah di alam.
Harimau hidup di kawasasan hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan gambut,
akan tetapi habitat harimau semakin menghilang seiring dengan berkurangnya
tutupan hutan hampir di seluruh Pulau Sumatra akibat konversi hutan untuk
kepentingan perkebunan sawit, pembangunan Hutan Tanaman Industri,
pemukiman, pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan maupun untuk
kepentingan lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan menyempitnya dan
fragmentasi wilayah sehingga habitat harimau terpisah dalam blok -blok hutan.
“Selain hilangnya habitat, perburuan dan perdagangan secara illegal serta konflk
dengan manusia menjadi penyebab utama berkurangnya popul asi Harimau
Sumatra. Bahkan diyakini perburuan dan konflik saat ini menjadi faktor pembunuh
Harimau yang paling tinggi”, demikian menurut M.S. Sembiring, Direktur
Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) yang menyoroti kondisi
Harimau Sumatra. Indikasi itu tercermin dari data yang dirilis jejaring
perdagangan satwa langka internasional, TRAFFIC, bahwa hanya dalam waktu
empat tahun sepanjang 1998-2002, sudah ada 50 harimau Sumatra yang tewas
diburu. Hal ini diakui oleh Konvensi pengendalian perdagang an spesies hidupan
liar internasional (Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora/CITES) yang memasukkan program khusus konservasi
kucing besar melalui resolusi CITES, sehingga seluruh 181 negara anggota CITES
akan ikut mengontrol dan mengamankannya.
Kinerja TFCA-Sumatra yang dinilai baik oleh Pemerintah Republik Indonesia dan
Amerika Serikat dalam upaya penyelamatan Harimau Sumatra dan
keanekaragaman hayati Hutan Tropis Sumatra menjadi dasar Program ini mendapat
dukungan dana tambahan sebesar USD 12,6 juta. Anggaran dana tersebut
didedikasikan untuk konservasi harimau dan badak dan satwa lainnya seperti gajah
dan orangutan hingga satu dasawarsa mendatang. Diharapkan adanya alokasi dana
tersebut Indonesia mampu meningkatkan populasi Hari mau Sumatra dan jenis
satwa langka lain yang ada di Sumatra sehingga terhindar dari kepunahan.
Ada beberapa hal yang sangat mempengaruhi populasi sehingga dinamika populasi sering
berubah ubah, secara sederhana dinamika populasi dipengaruhi oleh :
1.Jumlah individu dalam populasi yang telah ada
-Lag-phase potensi berkembang biak kearah menaik
-Log-phase proses pertambahan individu yang sangat tinggi
-Stationary phase perkembangan populais stagnan
2.Imbangan kelamin karena unsur
-Jumlah pasti jantan: betina potensi dasar pertambahan individu
-Umur produktif ke dua kelamin potensi utama pertambahan individu
3.Sifat Reproduksi
-Banyak/sedikit anak per kelahiran umur hidup indukan panjang vs. banyak/sedikit anak
perkelahiran, umur hidup indukan pendek
-Lama kebuntingan lebih dari 6 bulan bunting satu tahun TIDAK akan 2 kali kelahiran
-Lama perawatan/penyusuan lebih dari 3 bulan perawatan, kebuntingan akan per 15 bulan
interval kelahiran 6 thn pada Orangutan
4.Daya tampung area Terasa padat populasi, tidak akan melakukan reproduksi
5.Proses keluar masuk individu karena migrasi.
Aktivitas atau langkah langkah yang harus dilakukan untuk pencapaian peningkatan populasi per
jenis satwa prioritas yaitu: pembinaan populasi dalam rangka tercapainya target peningkatan
populasi atau setidaknya stabilitas populasi, penanggulangan konflik untuk upaya terkendalinya
konflik yang berhubungan dengan pencapaian target peningkatan populasi, perlindungan dan
pengamanan sebagai langkah terkendalinya kawasan dari berbagai bentuk gangguan dalam
rangka penyediaan habitat sebagai kawasan peningkatan populasi.
Sebagai akhir sebuah perjalanan panjang peningkatan populasi 25 satwa prioritas tentu
harapannya yaitu kenaikan suatu populasi sehingga satwa tersebut keberadaannya selalu ada dan
terjaga dengan baik disuatu kawasan yang memang terlindungi dan aman serta nyaman sebagai
tempat berkembang biak dan berinteraksi sesuai hukum alam. Ada suatu perhitungan tentang
kenaikan populasi yang diharapkan diakhir tahun ke 5 pada tahun 2019 yaitu peresentase
perubahan secara relatif tentang penambahan individu saat monitoring dilakukan (anak, lepas
sapih dan dewasa) sesuai dengan species satwa.