Anda di halaman 1dari 357

ICWRMIP-CWMBC | INTEGRATED CITARUM WATER RESOURCES

MANAGEMENT INVESTMENT PROGRAM


CITARUM WATERSHED MANAGEMENT AND BIODIVERSITY
CONSERVATION | KOMPONEN 1

ADB Grant.0216-INO

DOC: 1.3.1-TR-2013

LAPORAN KAJIAN FLORA DAN FAUNA


PADA TUJUH KAWASAN KONSERVASI
DI WILAYAH KERJA BBKSDA JAWA BARAT

Bandung, Desember 2013

LAPORAN KAJIAN FLORA DAN FAUNA


PADA 7 KAWASAN KONSERVASI
DI WILAYAH KERJA BALAI BESAR KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM JAWA BARAT
Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta
Propinsi Jawa Barat

Disusun Oleh :
ICWRMIP-CWMBC

INTEGRATED CITARUM WATER RESOURCES MANAGEMENT INVESTMENT PROGRAM

CITARUM WATERSHED MANAGEMENT AND BIODIVERSITY CONSERVATION

Lembar Pengesahan

Disusun Oleh,
Direktur Consultant Firm
Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC)

Ir. Amir Sartono

Dinilai,
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat

Dr. Ir. Joko Prihatno, MM.


NIP. 19600525 198903 1 005

Disahkan Oleh,
Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung

Ir. Bambang Dahono Adji, MM, MSi.


NIP. 19580519 198603 1 001

CWMBC-ICWRMIP merupakan bagian dari proyek yang


lebih luas dan dalam lingkup pengelolaan DAS Citarum
yang terpadu yaitu Integrated Citarum Water Resource
Management Investment Program (ICWMRIP). Dengan
dukungan dana hibah (Grant) dari Global Environment
Facility (GEF) yang dikelola oleh Asian Decvelopment
Bank (ADB) kepada pemerintah Indonesia cq. Kementerian
Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina
Alamat: Kompleks Istana Kawaluyaan, Jl. Kawaluyaan
Indah VI No. 17, Bandung
Telp./Fax. 022-7332036
Email: management@cwmbc.org
http//:www.cwmbc.org

Ringkasan Eksekutif
Kajian flora dan fauna dipahami sebagai proses mengidentifikasi spesies pada tujuh
kawasan konservasi yang ada di areal DAS Citarum pada wilayah kerja BBKSDA
Jawa Barat. Tahapan pelaksanaan kajian terdiri atas empat tahap, yaitu (i)
persiapan, (ii) perancangan, (iii) identifikasi target area survey, (iv) pelaporan.
Proses pelaksanaan kegiatan dilakukan menyeluruh, mencakup seluruh tahapan,
dengan produk akhir berupa laporan hasil survey yang mencakup hingga kekayaan
spesies, sebaran spesies, keragaman spesies, kelimpahan spesies, sttaus
perlindungan spesies dan kajian spesies yang perlu perhatian dan terancam
kepunahan.
Laporan kajian ini memuat hasil identifikasi spesies pada kelompok tumbuhan,
(mencakup Magnoliophyta, Orchidaceae, Nepenthaceae,, tanaman obat,
pteridophyta danm gungi), Mamalia (mencakup mamalia besar dan kecil), burung,
herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil), insekta (mencakup ordo Lepidoptera,
Odonata dan Coleoptera), dan biota akuatik (mencakup benthos, plankton dan
nekton). Cakupan data dan informasi mengenai keberadaan spesies, peta sebaran
spesies, konteks lansekap, status terkini dari beberapa spesies yang perlu perhatian
dan terancam kepunahan, tekanan atau ancaman kelestariannya, dan rekomendasi
untuk perlindungan, pengelolaan, dan pemantauannya. Laporan ini tidak mencakup
pengelolaan dan pemantauan spesies.
Maksud pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh kawasan konservasi
di wilayah kerja BBSKDA Jawa Barat adalah terbaharukannya data dasar spesies
dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil),
insekta dan biota akuatik yang akurat dan berdaya guna untuk upaya pengelolaan
kawasan konservasi. Adapun Tujuan tersebut akan dicapai melalui upaya identifikasi
spesies dan kekayaan spesies dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung,
herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota akuatik pada 7 kawasan
konservasi yang berada di DAS Citarum serta melakukan kajian khusus pada
beberapa spesies sebaran terbatas dan terancam kepunahan (diusahakan hingga
tingkat populasi) di setiap kawasan konservasi.
Kegiatan kajian Kajian flora dan fauna ini mencakup tujuh kawasan konservasi yang
berada di DAS Citarum pada wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat yaitu Cagar Alam
Gunung Tilu, Cagar Alam Kawah Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang , Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Cagar Alam Gunung
Burangrang, Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu dan Taman Wisata Gunung
Tangkuban Peahu. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan Juni dan September
2013.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Kekayaan spesies untuk kelompok taksa mamalia yang dijumpai selama survey
adalah 38 spesies dari 19 famili dan 8 ordo. Sebanyak 13 spesies mamalia dilindungi
oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Dari catatan status keterancaman menurut IUCN,
dijumpai 2 spesies mamalia berstatus kritis (Critically Endangered - CR), 3 spesies
mamalia berstatus genting (Endangered - EN) dan 3 spesies mamalia berstatus rentan
(Vulnerable -VU). Spesies mamalia yang terdaftar dalam CITES terdiri dari 3 spesies
mamalia berkategori Appendix I dan 9 spesies mamalia berkategori Appendix II.
Sebanyak 6 spesies mamalia merupakan spesies endemik Jawa dan dua spesies
diantaranya termasuk endemik Jawa Barat. Berdasarkan status perlindungan, spesies
mamalia yang memiliki tingkat keterancaman tertinggi adalah Macan tutul, Kukang
jawa, dan Owa jawa.
Kekayaan spesies burung yang dijumpai selama survey adalah 173 spesies yang
tercakup ke dalam 47 Family. Dari seluruh spesies yang dijumpai tersebut, 23 spesies
diantaranya adalah spesies Endemik Indonesia dan/atau endemik Pulau Jawa
termasuk Elang jawa. Tercatat 38 spesies dilindungi oleh peraturan pemerintah
melalui PP no 7&8 tahun 1999, dan 12 spesies yang dilindungi peraturan
international melalui konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam
punah (CITES/ Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species) Terdapat
11 spesies yang termasuk ke dalam daftar merah IUCN (International Union for
Conservation of Nature). Dua diantaranya masuk daftar katagori Genting
(Endangered) yaitu Elang Jawa dan Lutur Jawa. Dari 7 lokasi survey di wilayah
kerja BBKSDA JABAR apabila diurut berdasarkan kekayaan jenis burung yang
dijumpai di lokasi kajian, keragaman species burung d CA Gunung Tilu termasuk
tinggi (125 spesies dari 38 famili, 18 spesies endemik dan 25 spesies yang dilindungi
atau 72% dari total spesies), kemudian TB Masigit-Kareumbi (114 spesies dari (39
famili, 17 spesies endemik, 27 spesies yang dilindungi) dan CA. Gunung Burangrang
(114 spesies dari 35 famili, 18 spesies endemik, 25 spesies yang dilindungi), CA
Kamojang (102 spesies dari 33 famili, 13 spesies endemik dan 15 spesies yang
dilindungi), CA Gn. Tangkuban Perahu (94 spesies dari 32 famili, 18 spesies
endemik dan 25 spesies yang dilindungi), TWA Kamojang (74 spesies dari 29 famili,
11 spesies endemik dan 13 spesies dilindungi) dan TWA Tangkuban Perahu (34
spesies dari 17 famili, 4 spesies endemik dan 9 spesies yang dilindungi).
Spesies Elang jawa dijumpai di lima lokasi kajian yakni CA Gunung Tilu, CA
Kawah Kamojang, TB Masigit Kareumbi, CA Gunung Burangrang, CA Gunung
Tangkuban Perahu. Spesies Julang mas hanya dijumpai di dua lokasi yakni TB
Masigit Kareumbi dan CA Gunung Burangrang. Spesies Ayam-hutan hijau hanya
dijumpai di TB Masigit Kareumbi. Berdasarkan informasi catatan anektodal yang
diperoleh selama survey ini berlangsung tingkat perburuan species ayam ini cukup
tinggi.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

ii

Kekayaan spesies untuk kelompok taksa herpetofauna yang dijumpai selama survey
adalah 44 spesies, yang meliputi 23 spesies dari kelas amfibi dan 21 spesies dari
kelas reptil. Sebanyak 4 spesies dari amfibi sebagai spesies endemik Pulau Jawa,
yaitu Huia masonii, Microhyla achatina, Rhacophorus margaritifer dan Nyctixalus
margaritifer. Dari catatan status keterancaman menurut IUCN, dijumpai 3 spesies
amfibi yang berstatus rentan (Vulnerable -VU) yaitu Huia masonii dan Nyctixalus
margaritifer dan yang berstatus serta Near Threatened yaitu Rhacophorus
reinwardtii. Selain itu, 2 spesies reptil dikategorikan ke dalam appendiks II CITES.
Kelompok taksa insekta yang dijumpai selama survey di antaranya 2 spesies dari
ordo Leucoptera (Kupu-kupu dan Ngengat) yang dikategorikan ke dalam Appendiks
II CITES dan dilindungi berdasarkan PP 7 tahun 1999 yaitu Troides Helena dan
Troides amphrysus.
Kelompok taksa biota akuataik dijumpai spesies endemik Pulau Jawa, yaitu Ketam
Ungu (Geocessarma sp.).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

iii

Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Istilah

|i
| iv
|v
|x
| xv
| xxiii
1|1
1|1
1|5
1|6
1|7
1|7
1|8

1.

Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Tahapan dan Cakupan Kajian
1.4. Tim Pelaksana
1.5. Waktu dan Lokasi Survey
1.6. Sistematika Laporan

2.

Kondisi Umum Lokasi Kajian


2.1. Cagar Alam Gunung Tilu
2.2. .Cagar Alam Kawah Kamojang
2.3. Taman Wisata Alam Kawah Kamojang
2.4. Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi
2.5. Cagar Alam Burangrang
2.6. Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu
2.7. Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu

2|1
2|1
2|3
2|5
2|7
2|9
2 | 10
2 | 12

3.

Metodologi
3.1. Jenis Data
3.2. Metode Pengambilan Data
3.2.1. Metode Pengambilan Data Flora
3.2.2. Metode Pengambilan Data Mamalia
3.2.3. Metode Pengambilan Data Burung
3.2.4. Metode Pengambilan Data Herpetofauna
3.2.5. Metode Pengambilan Data Insekta
3.2.6. Metode Pengambilan Data Biota Akuatik
3.3. Analisis Data
3.3.1. Kelimpahan Jenis Relatif
3.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies
3.3.3. Indeks Kemeraatan Spesies
3.3.4. Pendugaan Kepadatan Populasi
3.3.5. Analisis Vegetasi
3.3.6. Status Perlindungan

3|1
3|1

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|2
3|2
3|3
3|4
3|4
3|5
3|6
3|6
3|6
3|7
3|7
3|7
3|8

4.

Hasil dan Pembahasan


4.1. Kajian Biodiversitas di Cagar Alam Gunung Tilu
4.1.1. Flora
4.1.1.1. Kekayaan Spesies
4.1.1.2. Indeks Keragaman Spesies
4.1.1.3. Status Konservas
4.1.1.4. Deskripsi Spesies Penting
4.1.2. Mamalia
4.1.2.1. Kekayaan Spesies
4.1.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.1.2.3. Status Konservasi
4.1.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting
4.1.3. Burung
4.1.3.1. Kekayaan Spesies
4.1.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.1.3.3. Status Konservasi
4.1.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting
4.1.4.Herpetofauna
4.1.4.1. Kekayaan Spesies
4.1.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.1.4.3. Status Konservasi
4.1.4.4. Deskripsi Spesies Penting
4.1.5.Insekta
4.1.5.1.Kekayaan Spesies
4.1.5.2.Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.1.6.Biota Akuatik
4.1.6.1. Keragaman Hayati

4|1
4|1
4|1
4|1
4 | 17
4 | 22
4 | 23
4 | 26
4 | 26
4 | 28
4 | 30
4 | 32
4 | 36
4 | 36
4 | 38
4 | 39
4 | 41
4 | 43
4 | 43
4 | 47
4 | 48
4 | 49
4 | 52
4 | 52
4 | 54
4 | 55
4 | 55

4.2. Kajian Biodiversitas di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi


4.2.1. Flora
4.2.1.1. Kekayaan Spesies
4.2.1.2. Indeks Keragaman Spesies
4.2.1.3. Status Konservasi
4.2.1.4. Deskripsi Spesies Penting
4.2.2. Mamalia
4.2.2.1. Kekayaan Spesies
4.2.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.2.2.3. Status Konservasi
4.2.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting
4.2.3. Burung
4.2.3.1. Kekayaan Spesies
4.2.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.2.3.3. Status Konservasi
4.2.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting

4 | 57
4 | 57
4 | 57
4 | 67
4 | 71
4 | 23
4 | 73
4 | 73
4 | 75
4 | 77
4 | 80
4 | 84
4 | 84
4 | 85
4 | 87
4 | 88

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

vi

4.2.4.Herpetofauna
4.2.4.1. Kekayaan Spesies
4.2.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.2.4.3. Status Konservasi
4.2.4.4. Deskripsi Spesies Penting
4.2.5. Insekta
4.2.5.1. Kekayaan Spesies
4.2.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.2.6. Biota Akuatik
4.2.6.1. Keragaman Hayati

4 | 91
4 | 91
4 | 94
4 | 96
4 | 97
4 | 100
4 | 100
4 | 102
4 | 503
4 | 103

4.3. Kajian Biodiversitas di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam


Kawah Kamojang
4 | 105
4.3.1. Flora
4 | 105
4.3.1.1. Kekayaan Spesies
4 | 105
4.3.1.2. Indeks Keragaman Spesies
4 | 113
4.3.1.3. Status Konservasi
4 | 117
4.3.1.4. Deskripsi Spesies Penting
4 | 118
4.3.2. Mamalia
4 | 118
4.3.2.1. Kekayaan Spesies
4 | 118
4.3.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4 | 121
4.3.2.3. Status Konservasi
4 | 122
4.3.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting 4 | 125
4.3.3. Burung
4 | 128
4.3.3.1. Kekayaan Spesies
4 | 128
4.3.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4 | 130
4.3.3.3. Status Konservasi
4 | 131
4.3.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies
Penting
4 | 133
4.3.4. Herpetofauna
4 | 134
4.3.4.1. Kekayaan Spesies
4 | 134
4.3.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4 | 137
4.3.4.3. Status Konservasi
4 | 138
4.3.4.4. Deskripsi Spesies Penting
4 | 139
4.3.5. Insekta
4 | 142
4.3.5.1. Kekayaan Spesies
4 | 142
4.3.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4 | 143
4.3.6. Biota Akuatik
4 | 144
4.3.6.1. Kekayaan Spesies dan Keragaman Hayati
4 | 144
4.4. Kajian Biodiversitas di Cagar Alam Gunung Burangrang
4 | 146
4.4.1. Flora
4 | 146
4.4.1.1. Kekayaan Spesies
4 | 146
4.4.1.2. Indeks Nilai Penting
4 | 146
4.4.1.3. Indek Keragaman Spesies
4 | 151

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

vii

4.4.2. Mamalia
4.4.2.1. Kekayaan Spesies
4.4.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.4.2.3. Status Konservasi
4.4.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies
Penting
4.4.3. Burung
4.4.3.1. Kekayaan Spesies
4.4.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.4.3.3. Status Konservasi
4.4.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies
Penting
4.4.4. Herpetofauna
4.4.4.1. Kekayaan Spesies
4.4.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.4.4.3. Status Konservasi
4.4.4.4. Deskripsi Spesies Penting
4.4.5. Insekta
4.4.5.1. Kekayaan Spesies
4.4.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.4.5.3. Status Konservasi
4.4.5.4. Deskripsi Spesies Penting
4.4.6. Biota Akuatik
4.4.6.1. Keragaman Hayati
4.5. Kajian Biodiversitas di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam
Gunung Tangkuban Perahu
4.5.1. Flora
4.5.1.1. Kekayaan Spesies
4.5.1.2. Indeks Nilai Penting
4.5.1.3. Indek Keragaman Spesies
4.5.2. Mamalia
4.5.2.1. Kekayaan Spesies
4.5.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.5.2.3. Status Konservasi
4.5.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies
Penting
4.5.3. Burung
4.5.3.1. Kekayaan Spesies
4.5.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.5.3.3. Status Konservasi
4.5.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies
Penting
4.5.4. Herpetofauna
4.5.4.1. Kekayaan Spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 152
4 | 152
4 | 155
4 | 157
4 | 160
4 | 165
4 | 165
4 | 166
4 | 168
4 | 169
4 | 171
4 | 171
4 | 174
4 | 175
4 | 176
4 | 179
4 | 179
4 | 180
4 | 181
4 | 181
4 | 182
4 | 182
4 | 184
4 | 184
4 | 184
4 | 185
4 | 189
4 | 192
4 | 192
4 | 193
4 | 195
4 | 198
4 | 202
4 | 202
4 | 204
4 | 205
4 | 206
4 | 208
4 | 208

viii

4.5.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


4.5.4.3. Status Konservasi
4.5.4.4. Deskripsi Spesies Penting
4.5.5. Insekta
4.5.5.1. Kekayaan Spesies
4.5.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies
4.5.6. Biota Akuatik
4.5.6.1. Keragaman Hayati
5.

Kesimpulan dan Rekomendasi


5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi

Daftar Pustaka
Lampiran

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 210
4 | 211
4 | 213
4 | 215
4 | 215
4 | 217
4 | 217
4 | 217
5|1
5|1
5|4
D-1
L-1

ix

Daftar Tabel
Tabel 1.1.
Tabel 1.2.
Tabel 3.1.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 4.7.
Tabel 4.8.
Tabel 4.9.
Tabel 4.10.
Tabel 4.11.
Tabel 4.12.
Tabel 4.13.
Tabel 4.14.
Tabel 4.15.
Tabel 4.16.
Tabel 4.17.
Tabel 4.18.
Tabel 4.19.
Tabel 4.20.

Jadwal pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh


kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
Jadwal pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh
kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
Nilai dan kategori keanekaragaman jenis Shanon-Wieners

1|7
1|8
3|6

Sebaran flora berdasarkan sistematiknya pada tiap kawasan


konservasi di wilayah pengelolaan BKSDA Jawa Barat.
4|1
Kekayaan flora berdasarkan sistematik paku dan pakis-pakisan
4|3
Kekayaan jenis flora berdasarkan sistematika tumbuhan berbiji
(Spermatophyta).
4|4
Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAGT Pada Ketinggian
1500 - 1800 m dpl
4|5
Indeks Nilai Penting tingkat Tiang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500 1800 m dpl.
4|6
Lima Spesies tingkat tiang paling Dominan di Kawasan CAGT Pada
Ketinggian 1500 - 1800 m dpl
4|7
Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500 1800 m dpl
4|8
Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500 1800 m dpl
4|9
Lima Spesies Semai/ Anakan Dominan di Kawasan CAGT Pada
Ketinggian 1500 - 1800 m dpl (%)
4 | 10
Indeks Nilai Penting tingkat Semai/ Anakan di Kawasan CAGT
Pada Ketinggian > 1800 m dpl (%)
4 | 11
Lima Spesies Pohon Dominan di Kawasan CAGT Pada
Ketinggian > 1800 m dpl (%).
4 | 12
Indeks Nilai Penting tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian
>1800 m dpl.
4 | 13
Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m dpl.
4 | 15
Status konservasi spesies yang dijumpai di Kawasan CAGT
4 | 22
Keragaman pemanfaatan setiap spesies pohon di CAGT pada
ketinggian 1200-1500 mdpl
4 | 24
Kategori Pemanfaatan Spesies Flora di CAGT pada Ketinggian
1500Sebaran spesies mamalia di kawasan CAGT.
4 | 26
Status konservasi mamalia di kawasan CAGT
4 | 30
Ringkasan kekayaan spesies burung di CAGT
4 | 37
Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAGT
4 | 37

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Tabel 4.21. analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan


menggunakan Indeks Shannon-Wiener
4 | 38
Tabel 4.22. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP
No 7/1999.
4 | 40
Tabel 4.23. Pendugaan populasi Elang Jawa di kawasan CAGT
4 | 42
Tabel 4.24. Sebaran herpetofauna di CAGT
4 | 43
Tabel 4.25. Nilai keragaman dan kemerataan spesies di masing-masing jalur 4 | 47
Tabel 4.26. Status konservasi masing-masing spesies
4 | 48
Tabel 4.27. Sebaran Lepidoptera di CAGT
4 | 53
Tabel 4.28. Tabel Sebaran dan nilai keragaman hayati benthos di CAGT
4 | 55
Tabel 4.29. INP tingkat Pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400
m dpl.
4 | 58
Tabel 4.30. INP tingkat Tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400 m
dpl.
4 | 59
Tabel 4.31. INP tingkat Pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200
1400 m dpl.
4 | 60
Tabel 4.32. INP tingkat Semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400
m dpl
4 | 61
Tabel 4.33. INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian >
1400 m dpl.
4 | 62
Tabel 4.34. INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian >
1400 m dpl
4 |64
Tabel 4.35. INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian > 1400 m
dpl.
4 | 65
Tabel 4.36. INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian
> 1400 m dpl.
4 | 66
Tabel 4.37. Status Konservasi Spesies Flora di kawasan TBGMK
4 | 72
Tabel 4.38. Sebaran spesies mamalia di kawasan TBGMK
4 | 73
Tabel 4.39. Status konservasi mamalia di kawasan TBGMK
4 | 77
Tabel 4.40. Ringkasan kekayaan spesies burung di TBGMK
4 | 84
Tabel 4.41. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di TBGMK
4 | 85
Tabel 4.42. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
4 | 86
Tabel 4.43. Daftar Spesies Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP
No 7/1999.
4 | 87
Tabel 4.44. Perkiraan populasi Elang Jawa di TBGMK
4 | 89
Tabel 4.45. Sebaran herpetofauna di kawasan TBGMK
4 | 92
Tabel 4.46. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
Lokasi
4 | 95
Tabel 4.47. Status konservasi masing-masing spesies
4 | 96
Tabel 4.48. Sebaran Lepidoptera di TBGMK
4 | 100
Tabel 4.49. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xi

Tabel 4.50.
Tabel 4.51.
Tabel 4.52.
Tabel 4.53.
Tabel 4.54.
Tabel 4.55.
Tabel 4.56.
Tabel 4.57.
Tabel 4.58.
Tabel 4.59.
Tabel 4.60.
Tabel 4.61.
Tabel 4.62.
Tabel 4.63.
Tabel 4.64.
Tabel 4.65.
Tabel 4.66.
Tabel 4.67.
Tabel 4.68.
Tabel 4.69.

Tabel 4.70.
Tabel 4.71.
Tabel 4.72.
Tabel 4.73.
Tabel 4.74.
Tabel 4.75.
Tabel 4.76.

jalur
4 | 103
Daftar spesies ikan, ketam dan udang di TBGMK
4 | 103
Sebaran benthos di TBGMK
4 | 104
Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada
ketinggian 1500 1600 m dpl.
4 | 106
Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian
1600 - 1800 m dpl (%)
4 | 107
Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada
ketinggian 1600 1800 m dpl.
4 | 107
Lima Jenis Tiang Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian
1600 - 1800 m dpl (%).
4 | 108
Nilai INP tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada Ketinggian >
1800 m dpl (%).
4 | 109
Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian >
1800 m dpl (%)
4 | 110
Tabel. Indeks Nilai Penting untuk tingkat Pohon di TWAKK pada
ketinggian 1600 mdpl
4 | 111
Tabel. Indeks Nilai Penting untuk tingkat Tiang di TWAKK pada
ketinggian 1600 mdpl
4 | 112
Indeks Nilai Penting untuk tingkat Pancang di TWAKK pada
ketinggian 1600 mdpl
4 | 113
Keragaman Spesies Flora di kawasan CAKK pada ketinggian
1500 1600 m dpl
4 | 114
Keragaman Jenis di CAKK pada ketinggian 1500 1600 m dpl 4 | 114
Tabel Status Perlindungan di CAKK dan TWAKK
4 | 117
Sebaran spesies mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK
4 | 119
Status konservasi mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK.
4 | 123
Ringkasan kekayaan spesies burung di CAK dan TWAKK
4 | 129
Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAK dan
TWAKK
4 | 129
Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
4 | 130
Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP
No 7/1999.
4 | 132
Perkiraan populasi Elang Jawa di CAKK dan TWAKK
4 | 133
Sebaran herpetofauna di kawasan CAGB
4 | 135
Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
lokasi
4 | 137
Status konservasi masing-masing spesies
4 | 138
Sebaran Lepidoptera di CAK dan TWAKK
4 | 142
Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
jalur
4 | 144
Daftar spesies ikan, ketam dan udang di CAK dn TWAKK
4 | 144

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xii

Sebaran benthos di CAK dan TWAKK


4 | 145
Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAGB
4 | 146
Indeks Nilai Penting tingkat Tiang di Kawasan CAGB
4 | 148
Indeks Nilai Penting tingkat pancang di Kawasan CAGB
4 | 149
Indeks Nilai Penting tingkat semai di Kawasan CAGB
4 | 150
Sebaran spesies mamalia di kawasan Cagar Alam Burangrang 4 | 153
Status konservasi mamalia di kawasan CAGB
4 | 158
Ringkasan kekayaan spesies burung di Cagar Alam Burangrang 4 | 165
Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di Cagar Alam
Burangrang
4 | 166
Tabel 4.86. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
4 | 167
Tabel 4.87. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP
No 7/1999.
4 | 168
Tabel 4.88. Perkiraan populasi Elang Jawa di CAGB
4 | 170
Tabel 4.89. Sebaran herpetofauna di kawasan CAGB
4 | 171
Tabel 4.90. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
Lokasi
4 | 174
Tabel 4.91. Status konservasi masing-masing spesies
4 | 175
Tabel 4.92. Sebaran Lepidoptera di CAGB
4 | 179
Tabel 4.93. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
jalur
4 | 181
Tabel 4.94. Status konservasi spesies dari ordo Lepidoptera
4 | 181
Tabel 4.95. Sebaran plankton pada masing-masing jalur pengamatan
di CAGB
4 | 182
Tabel 4.96. Indeks Nilai Penting Spesies tingkat pohon di Kawasan CAGTP 4 | 185
Tabel 4.97. Indeks Nilai Penting Spesies tingkat tiang di Kawasan CAGTP 4 | 186
Tabel 4.98. Indeks Nilai Penting Spesies tingkat pancang di Kawasan
CAGTP
4 | 187
Tabel 4.99. Indeks Nilai Penting Spesies tingkat semai di Kawasan CAGTP 4 | 188
Tabel 4.100. Sebaran spesies mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu
4 | 192
Tabel 4.101. Status konservasi mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu
4 | 196
Tabel 4.102. Ringkasan kekayaan spesies burung di CAGTP dan TWAGTP 4 | 202
Tabel 4.103. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAGTP dan
TWAGTP
4 | 203
Tabel 4.104. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
4 | 204
Tabel 4.105. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP
No 7/1999.
4 | 205
Tabel 4.106. Sebaran herpetofauna di kawasan CATP dan TWATP
4 | 208
Tabel 4.77.
Tabel 4.78.
Tabel 4.79.
Tabel 4.80.
Tabel 4.81.
Tabel 4.82.
Tabel 4.83.
Tabel 4.84.
Tabel 4.85.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xiii

Tabel 4.107. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing


lokasi
Tabel 4.108. Status konservasi masing-masing spesies
Tabel 4.109. Sebaran Lepidoptera di CATP dan TWATP
Tabel 4.110. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing
jalur
Tabel 4.111. Tabel sebaran plankton di kawasan CATP dan TWATP

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 211
4 | 212
4 | 215
4 | 217
4 | 218

xiv

Daftar Gambar
Gambar 1.1. Peta tujuh kawasan konservasi yang masuk ke dalam area DAS
Citarum
Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam Gunung
Tilu
Gambar 1.3. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam
Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang
Gambar 1.4. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Taman Buru
Gunung Masigit Kareumbi
Gambar 1.5. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Al;am
Burangrang
Gambar 1.6. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam dan
Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu
Gambar 2.1. Peta kawasan CAGT
Gambar 2.2. Peta kawasan CAKKK
Gambar 2.3. Peta kawasan TWAKK
Gambar 2.4. Peta kawasan TBMGK
Gambar 2.5. Peta kawasan CAGB
Gambar 2.6. Peta kawasan CAGTP
Gambar 2.7. Peta kawasan TWAGTP
Gambar 3.1. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur.
Gambar 4.1. Grafik Kekayaan spesies flora pada setiap kawasan konservasi
Gambar 4.2. Grafik Kekayaan family flora pada setiap kawasan ko nservasi
Gambar 4.3. Grafik Kekayaan ordo flora pada setiap kawasan konservasi
Gambar 4.4. Grafik Kekayaan kelas flora pada setiap kawasan konservasi
Gambar 4.5. Grafik Kekayaan division flora pada setiap kawasan konservasi
Gambar 4.6. Grafik persentase dan jumlah kekayaan paku dan pakis-pakisan
di ke 7 (tujuh) lokasi Kawasan Konservasi Wilayah pengelolaan
BBKSDA Jawa Barat.
Gambar 4.7. Grafik jumlah kekayaan dan persentase tumbuhan berbiji
(Spermatophyta) di ke 7 (tujuh) lokasi Kawasan Konservasi
Wilayah pengelolaan BBKSDA Jawa Barat.
Gambar 4.8. Grafik 5 (lima) spesies pohon paling dominan di Kawasan
CAGT pada ketinggian 1500-1800 mdpl
Gambar 4.9. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian
1500-1800 mdpl
Gambar 4.10. Grafik Lima spesies tingkat pohon dominan di Kawasan CAGT
pada ketinggian 1200-1500 m dpl
Gambar 4.11. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian
1500-1800 m dpl
Gambar 4.12. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian

1|3

Gambar 1.2.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|9
1 | 10
1 | 11
1 | 12
1 | 13
2|1
2|3
2|5
2|8
2|9
2 | 11
2 | 12
2|2
4|1
4|2
4|2
4|2
4|3

4|4

4|5
4|6
4|7
4|8
4|9

xv

Gambar 4.13.
Gambar 4.14.
Gambar 4.15.
Gambar 4.16.
Gambar 4.17.
Gambar 4.18.
Gambar 4.19.
Gambar 4.20.
Gambar 4.21.
Gambar 4.22.
Gambar 4.23.
Gambar 4.24.
Gambar 4.25.
Gambar 4.26.
Gambar 4.27.
Gambar 4.28.
Gambar 4.29.
Gambar 4.30.
Gambar 4.31.
Gambar 4.32.
Gambar 4.33.

1500-1800 mdpl
4 | 10
Grafik spesies paling dominan untuk tingkat semai/ anakan di
Kawasan CAGT pada ketinggian 1500-1800 mdpl
4 | 11
Grafik INP tingkat semai/ anakan di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1200-1500 m dpl.
4 | 12
Lima species pohon paling dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m
4 | 13
Grafik INP tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian
>1800 m
4 | 14
Lima species pohon paling dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m
4 | 15
Grafik INP tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian
>1800 m
4 | 16
Grafik Indeks Keragaman Tingkat Pohon di Kawasan CAGT
pada ketinggian 1200-1500 m dpl.
4 | 17
Grafik Indeks Keragaman Tingkat Tiang di Kawasan CAGT
pada ketinggian 1200-1500 m dpl
4 | 17
Grafik Indeks Keragaman Tingkat Pancang di Kawasan CAGT
pada ketinggian 1200-1500 m dpl
4 | 18
Grafik Indeks Keragaman Tingkat Semai/ Anakan di Kawasan
CAGT pada ketinggian 1200-1500 m dpl
4 | 18
Grafik Keragaman tingkat pohon di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500-1800 mdpl.
4 | 19
Grafik Keragaman tingkat tiang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500-1800 mdpl.
4 | 19
Grafik Keragaman tingkat pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500-1800 mdpl.
4 | 20
Grafik Keragaman tingkat pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500-1800 mdpl.
4 | 20
Grafik Keragaman spesies tingkat Pohon di Kawasan CAGT
pada ketinggian >1800 m
4 | 21
Grafik Keragaman spesies tingkat Tiang di Kawasan CAGT
pada ketinggian >1800 m
4 | 21
Grafik Keragaman spesies tingkat Pancang di Kawasan CAGT
pada ketinggian >1800 m
4 | 22
Grafik pemanfaatan spesies floradi Kawasan CAGT pada
ketinggian 1200-1500 m dpl.
4 | 24
Grafik pemanfaatan spesies floradi Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500 1.800 m dpl.
4 | 25
Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili) di
masing-masing jalur pengamatan di kawasan CAGT
4 | 28
Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAGT
4 | 29

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xvi

Gambar 4.34. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAGT
4 | 30
Gambar 4.35. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan
PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta spesies
endemik jawa.
4 | 32
Gambar 4.36. Macan tutul (Panthera pardus melas)-berwarna terang di CAGT 4 | 33
Gambar 4.37. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan CAGT
4 | 36
Gambar 4.38. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener
4 | 39
Gambar 4.39. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan CAGT
4 | 43
Gambar 4.40. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing jalur
4 | 45
Gambar 4.41. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna
4 | 46
Gambar 4.42. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies
pada masing-masing jalur pengamatan
4 | 48
Gambar 4.43. Perbandingan jumlah status keterancaman berdasarkan IUCN 4 | 49
Gambar 4.44. Katak-pohon mutiara - Nyctixalus margaritifer
4 | 50
Gambar 4.45. Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer
4 | 51
Gambar 4.46. Kongkang jeram - Huia masonii
4 | 51
Gambar 4.47. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa herpetofauna
di kawasan CAGT
4 | 52
Gambar 4.48. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAGT
4 | 54
Gambar 4.49. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masingmasing jalur
4 | 55
Gambar 4.50. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai
ketinggian
4 | 57
Gambar 4.51. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 58
Gambar 4.52. Grafik lima spesies tingkat pohon dominan di Kawasan
TBGMK pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 59
Gambar 4.53. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 59
Gambar 4.54. Grafik lima spesies dominan tingkat tiang di Kawasan
TBGMK pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 60
Gambar 4.55. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 61
Gambar 4.56. Grafik lima spesies dominan tingkat pancang di Kawasan
TBGMK pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 61
Gambar 4.57. Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 62
Gambar 4.58. Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
4 | 62
Gambar 4.59. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xvii

Gambar 4.60.
Gambar 4.61.
Gambar 4.62.
Gambar 4.63.
Gambar 4.64.
Gambar 4.65.
Gambar 4.66.
Gambar 4.67.
Gambar 4.68.
Gambar 4.69.
Gambar 4.70.
Gambar 4.71.
Gambar 4.72.
Gambar 4.73.
Gambar 4.74.
Gambar 4.75.
Gambar 4.76.
Gambar 4.77.
Gambar 4.78.

Gambar 4.79.
Gambar 4.80.

ketinggian >1400 m dpl.


Grafik lima spesies dominan tingkat pohon di Kawasan
TBGMK pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian
>1400 m dpl.
Grafik lima spesies dominan tingkat tiang di Kawasan
TBGMK pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.
Grafik lima spesies paling dominan tingkat pancang di
Kawasan TBGMK pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian
>1400 m dpl.
Grafik lima spesies terdominan tingkat semai di Kawasan
TBGMK pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat pohon di Kawasan TBGMK
pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat tiang di Kawasan TBGMK
pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat pancang di Kawasan TBGMK
pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat semai di Kawasan TBGMK
pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat pohon di Kawasan TBGMK
pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat tiang di Kawasan TBGMK
pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat pancang di Kawasan TBGMK
pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik keragaman spesies tingkat semai di Kawasan TBGMK
pada ketinggian >1400 m dpl.
Grafik kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur
pengamatan di kawasan TBGMK.
Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
TBGMK
Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan TBGMK
Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status
perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II)
serta spesies endemik jawa.
Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan TBGMK
Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 63
4 | 63
4 | 64
4 | 65
4 | 66
4 | 66
4 | 67
4 | 67
4 | 68
4 | 68
4 | 69
4 | 69
4 | 70
4 | 70
4 | 71
4 | 71
4 | 75
4 | 76
4 | 77

4 | 79
4 | 83
4 | 86

xviii

Gambar 4.81. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan TBGMK
Gambar 4.82. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing lokasi
pengamatan
Gambar 4.83. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna
Gambar 4.84. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies
Gambar 4.85. Status konservasi berdasarkan IUCN
Gambar 4.86. Status konservasi berdasarkan CITES
Gambar 4.87. Katak-pohon Jawa - Rhacophorus margaritifer
Gambar 4.88. Kongkang jeram - Huia masonii
Gambar 4.89. Percil jawa - Microhylla achatina
Gambar 4.90. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa
Herpetofauna di kawasan TBGMK
Gambar 4.91. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di TBGMK
Gambar 4.92. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai
ketinggian
Gambar 4.93. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan CAKK pada ketinggian
1500-1600 m dpl.
Gambar 4.94. Lima Jenis Tiang Dominan di Kawasan CAKK Pada
Ketinggian 1500 - 1600 m dpl (%)
Gambar 4.95. Grafik INP tingkat pohon di CAKK pada ketinggian 16001800 m dpl.
Gambar 4.96. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada
ketinggian 1600-1800 m dpl.
Gambar 4.97. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada
ketinggian 1600-1800 m dpl.
Gambar 4.98. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada
ketinggian 1600-1800 m dpl.
Gambar 4.99. Grafik INP tingkat pohon di TWAKK pada ketinggian
1600-m dpl.
Gambar 4.100. Grafik INP tingkat tiang di TWAKK pada ketinggian
1600-m dpl.
Gambar 4.101. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di CAKK pada
ketinggian 1600-1800 m dpl.
Gambar 4.102. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di CAKK pada
ketinggian >1800 m dpl.
Gambar 4.103. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di TWAKK
pada ketinggian 1600 m dpl.
Gambar 4.104. Grafik keragaman spesies flora tingkat tiang di TWAKK
pada ketinggian 1600 m dpl.
Gambar 4.105. Grafik keragaman spesies flora tingkat pancang di TWAKK
pada ketinggian 1600 m dpl.
Gambar 4.106. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di TWAKK
pada ketinggian 1500 - 1600 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 91
4 | 93
4 | 94
4 | 95
4 | 97
4 | 97
4 | 98
4 | 98
4 | 99
4 | 100
4 | 102
4 | 105
4 | 106
4 | 107
4 | 108
4 | 109
4 | 110
4 | 111
4 | 112
4 | 113
4 | 114
4 | 115
4 | 115
4 | 116
4 | 116
4 | 117

xix

Gambar 4.107. Grafik kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur


pengamatan di kawasan CAKK dan TWAKK.
4 | 120
Gambar 4.108. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan
di CAKK dan TWAKK
4 | 121
Gambar 4.109. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan
di kawasan CAKK dan TWAKK
4 | 122
Gambar 4.110. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status
perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II)
serta spesies endemik jawa.
4 | 124
Gambar 4.111. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam
Kawah Kamojang
4 | 128
Gambar 4.112. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener
4 | 131
Gambar 4.113. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan CAKK dan TWAKK
4 | 134
Gambar 4.114. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing lokasi
pengamatan
4 | 136
Gambar 4.115. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna
4 | 137
Gambar 4.116. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies 4 | 138
Gambar 4.117. Status konservasi berdasarkan IUCN
4 | 139
Gambar 4.118. Katakpohon Jawa - Rhacophorus margaritifer
4 | 140
Gambar 4.119. Kongkang jeram - Huia masonii
4 | 140
Gambar 4.120. Percil jawa - Microhylla achatina
4 | 141
Gambar 4.121. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa
herpetofauna di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Taman
Wisata Alam Kawah Kamojang
4 | 142
Gambar 4.122. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAK dan TWAKK 4 | 143
Gambar 4.123. Grafik kekayaan spesies flora di CAGB pada berbagai
ketinggian
4 | 146
Gambar 4.124. Grafik INP tingkat pohon di kawasan CAGB
4 | 147
Gambar 4.125. Grafik INP tingkat tiang di kawasan CAGB
4 | 148
Gambar 4.126. Grafik INP tingkat pancang di kawasan CAGB
4 | 149
Gambar 4.127. Grafik INP tingkat semai di kawasan CAGB
4 | 150
Gambar 4.128. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pohon di
kawasan CAGB
4 | 151
Gambar 4.129. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat tiang di
kawasan CAGB
4 | 151
Gambar 4.130. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pancang di
kawasan CAGB
4 | 152
Gambar 4.131. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat semai di
kawasan CAGB
4 | 152
Gambar 4.132. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili)
di masing-masing jalur pengamatan di kawasan CAGB
4 | 155

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xx

Gambar 4.133. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan
di Cagar Alam Burangrang
4 | 156
Gambar 4.134. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan
di kawasan Cagar Alam Burangrang
4 | 157
Gambar 4.135. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status
perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II)
serta mamalia endemik jawa.
4 | 159
Gambar 4.136. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan Cagar Alam Burangrang
4 | 164
Gambar 4.137. Grafrik Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener
4 | 167
Gambar 4.138. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan Cagar Alam Burangrang
4 | 171
Gambar 4.139. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing lokasi
pengamatan
4 | 173
Gambar 4.140. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna
4 | 173
Gambar 4.141. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies 4 | 174
Gambar 4.142. Status konservasi berdasarkan IUCN
4 | 176
Gambar 4.143. Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer
4 | 176
Gambar 4.144. Kongkang jeram - Huia masonii
4 | 177
Gambar 4.145. Percil jawa - Microhylla achatina
4 | 178
Gambar 4.146. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa
herpetofauna di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Alam Gunung Tangkupan Perahu
4 | 178
Gambar 4.147. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di
4 | 180
Gambar 4.148. Perbandingan nilai keragaman hayati masing-masing jalur
4 | 183
Gambar 4.149. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai
ketinggian
4 | 184
Gambar 4.150. Grafik INP spesies pada tingkat pohon di kawasan CAGTP
4 | 186
Gambar 4.151. Grafik INP spesies pada tingkat pohon di kawasan CAGTP
4 | 187
Gambar 4.152. Grafik INP spesies pada tingkat pancang di kawasan CAGTP 4 | 188
Gambar 4.153. Grafik INP spesies pada tingkat semai di kawasan CAGTP
4 | 189
Gambar 4.154. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pohon di
kawasan CAGTP
4 | 190
Gambar 4.155. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat tiang di
kawasan CAGTP
4 | 190
Gambar 4.156. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pancang di
kawasan CAGTP
4 | 191
Gambar 4.157. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat semai di
kawasan CAGTP
4 | 191
Gambar 4.158. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili)
di masing-masing jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam
dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu.
4 | 193
Gambar 4.159. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxi

di Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu 4 | 194


Gambar 4.160. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban
Perahu
4 | 195
Gambar 4.161. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status
perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II)
serta mamalia endemik jawa.
4 | 197
Gambar 4.162. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung
Tangkuban Perahu
4 | 201
Gambar 4.163. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung
dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener
4 | 205
Gambar 4.164. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan CAGTP dan TWAGTP
4 | 207
Gambar 4.165. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing lokasi
pengamatan
4 | 209
Gambar 4.166. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna
4 | 210
Gambar 4.167. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies 4 | 211
Gambar 4.168. Status konservasi berdasarkan IUCN
4 | 212
Gambar 4.169. Katakpohon Jawa - Rhacophorus margaritifer
4 | 213
Gambar 4.170. Kongkang jeram - Huia masonii
4 | 214
Gambar 4.171. Percil jawa - Microhylla achatina
4 | 214
Gambar 4.172. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa
herpetofauna di kawasan CAGB
4 | 215
Gambar 4.173. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAGB
4 | 216
Gambar 4.174. Perbandingan nilai keragaman hayati masing-masing jalur
4 | 219

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxii

Daftar Istilah
CITES

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild


Fauna and Flora (Konvensi perdagangan internasional flora dan
fauna liar):
Appendix I:
Daftar spesies hidupan liar yang tidak boleh
diperdagangkan secara komersial.
Appendix II:
Daftar spesies hidupan liar yang dapat
diperdagangkan secara internasional dengan pembatasan kuota
tertentu yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi
dan kecenderungannya di alam

Desa

adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas


wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).

DAS

Daerah Aliran Sungai: merupakan suatu unit hidrologi yang


dibatasi oleh batas topografi dengan puncak tertinggi dari suatu
wilayah aliran sungai, di mana air hujan yang jatuh di wilayah
tersebut mengalir ke sungai-sungai kecil menuju sungai besar,
hingga ke sungai utama yang kemudian mengalir ke danau atau
laut. Tergantung dari topografi wilayahnya, sebuah DAS dapat
dibagi ke dalam beberapa puluh atau ratus sub-DAS dan sub-subDAS dsb.

Ekosistem

adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik
hayati (flora dan fauna serta jasad renik) maupun non hayati (tanah
dan bebatuan, air, udara, iklim) yang saling tergantung dan pengaruh
mempengraruhi dalam suatu persekutuan hidup.

Ekosistem alam adalah ekosistem yang keadaan unsur-unsur biotik dan fisiknya
relatif masih utuh dan asli, serta interaksinya masih mampu
memberikan fungsi ekologis secara alamiah.
Erosi

Gejala pengikisan atas tanah yang terjadi akibat sesuatu


kekuatan/aksi yang menyebabkan terangkat/terkikis lapisan
permukaan tanah. Erosi tanah biasanya terjadi pada daerah dengan
kemiringan tanah lebih dari 2%.

Habitat

adalah lingkungan tempat hidup dan berkembang biak secara alami


tumbuhan dan/atau satwa.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxiii

Hutan

adalah kesatuan ekosistem berupa haparan lahan berisi sumberdaya


alam hayati yang disominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
(UU RI No. 41 tahun 1999).

Hutan Lindung (HL): kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Primer

adalah hutan yang sama sekali belum pernah dijamah manusia atau
belum ada pemanfaatan sebelumnya. Dalam laporan ini, istilah
Hutan Primer mengacu pada konteks lokal dan konteks
pengusahaan hutan. Dalam konteks lokal, yang disebut hutan
primer adalah kawasan hutan yang belum dibuka untuk
perladangan/kebun. Dalam konteks pengusahaan hutan, hutan
primer adalah hutan yang belum terkena penebangan legal
perusahaan kayu.

Hutan Produksi (HP): kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari hutan produksi tetap (HP),
hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
Hutan Produksi Terbatas (HPT): Hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu
dengan intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya
berada di wilayah pegunungan di mana lereng-lereng yang curam
mempersulit kegiatan pembalakan.
Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK): Hutan yang dapat ditebang sehingga
lahannya dapat dipakai untuk tujuan lain, biasanya untuk hutan
tanaman tetapi bisa juga untuk keperluan pembangunan proyek
transmigrasi, perkebunan, atau pertambangan.
Indigenous People
adalah kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan
identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang
dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak
diuntungkan dalam proses pembangunan (World Bank).
IUCN

International Union for Conservation of Nature and Natural


Resources, kini disebut World Conservation Union (Badan
Konservasi Dunia).

Jasa lingkungan atau jasa ekosistem adalah hasil atau implikasi dari dinamika
bentang alam berupa jasa (yang memberikan keuntungan bagi
kehidupan manusia) yang dapat dikategorikan sebagai keindahan
dan fenomena bentang alam, keanekaragaman hayati dan
ekosistem, fungsi hidrologi, penyerapan dan penyimpanan karbon,
dan berbagai jasa lainnya.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxiv

Kabupaten

adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah


provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati.

Kawasan

adalah wilayah tertentu yang berupa hutan, yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap (UU No. 41 tahun 1999).

Kawasan Konservasi adalah istilah untuk penamaan Kawasan Suaka Alam (KSA)
dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. KPA
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun
di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Kecamatan

adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah


kabupaten atau kota dengan kedudukan perangkat daerah
kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang
mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat (PP. 19
tahun 2008).

Lansekap

atau bentang alam adalah bagian permukaan bumi yang merupakan


kumpulan dari berbagai habitat/ekosistem yang diperlukan bagi
kelangsungan dan keberadaan sistem penyangga kehidupan serta
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Masyarakat lokal

adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam


dan di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi
kelangsungan hidupnya (Sistem Sertifikasi Kehutanan Indonesia).
Dalam kajian ini, pengertian masyarakat lokal merupakan
kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di
sekitar kawasan HGU dan berpotensi memiliki ketergantungan
terhadap HGU.

Mata

Salah satu sumber air yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai
spring yang menunjukkan mata air yang kontinyuitas debitnya
tidak dipengaruhi musim/tidak pernah kering. Jenis sumber air lain
yang sering disalah artikan sebagai mata air adalah rembesan
(seepage) yang kontinyuitas debitnya dipengaruhi oleh musim
hujan dan kemarau.

Penduduk

Penduduk asli, adalah warga setempat yang asal-muasalnya dapat


dijejak sebagai warga asli yang pertama mendiami suatu tempat,
dengan melewati kurun waktu yang lama atau secara turuntemurun, biasanya merupakan suku asli setempat.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxv

Penduduk pendatang, adalah warga penduduk yang berasal dari


luar daerah setempat, temasuk dalam hal ini adalah seluruh staf
dan karyawan kebun.
Penduduk lokal, adalah warga asli dan pendatang yang menetap
dan menjadi penduduk dsuatu wilayah administrasi (RT, RW,
desa).
Populasi

(dalam biologi) adalah seluruh anggota spesies tunggal yang


terdapat atau menempati suatu daerah tertentu pada waktu tertentu.

Provinsi

adalah nama sebuah pembagian wilayah administratif di bawah


wilayah nasional.

Rencana pengelolaan adalah rencana pengelolaan yang memuat tujuan pengelolaan,


strategi dan tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Satwa

adalah semua jenis sumberdaya alam hewani yang hidup di darat


dan/atau di air dan/atau di udara. Satwa liar adalah satwa yang
masih mempunyai sifat liar, kemurnian jenis dan genetik baik,
yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Sempadan sungai
Area yang terletak di kanan kiri sungai yang terdiri atas
bantaran banjir, bantaran longsor, bantaran ekologi dan bantaran
keamanan.
Spesies

adalah suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk


suatu kelompok organisme yang dapat melakukan perkawinan
antar sesamanya untuk menghasilkan keturunan yang fertile
(subur).

Sungai

Sistem pengairan air mulai darai mata air sampai muara dengan
dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh
garis sempadan.

Tumbuhan

adalah semua jenis sumberdaya alam nabati, baik yang hidup di


darat maupun di air. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang masih
mempunyai sifat-sifat liar dan kemurnian jenis dan genetik baik
yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

xxvi

Kata Pengantar
Laporan ini merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan berbagai hasil kajian
keanekaragaman hayati (biodiversitas) khususnya flora dan fauna dalam komponen
Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) pada
prorgam investasi pengelolaan DAS Citarum secara terpadu (Integrated Citarum
Water Resources Management Investment Program ICWRMIP). Laporan ini
disusun berdasarkan hasil seluruh proses pelaksanaan survey kajian flora dan fauna yang
dilaksanakan pada bulan Juni dan September 2013 pada tujuh kawasan konservasi yang
termasuk DAS Citarum di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat (Cagar Alam Gunung

Tilu, Cagar Alam Kamojang, Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, Taman Buru
Gunung Masigit Kareumbi, Cagar Alam Burangrang, Cagar Alam Gunung
Tangkuban Perahu dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu). Dalam
laporan ini disajikan keberadaan spesies flora dan fauna di lokasi kajian serta memuat
rekomendasi-rekomendasi yang perlu dilakukan pengelola kawasan konservasi pada
tingkat manajemen BBKSDA dalam konteks konservasi flora dan fauna.

Di sisi lain kajian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu informasi
penting untuk rangkaian kegiatan pendidikan dan dapat memperkenalkan kekayaan
flora fan fauna khususnya dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung,
herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota akuatik kepada masyarakat luas
agar tercipta kesadaran untuk tetap mempertahankan keberadaan tumbuhan dan
satwa tersebut dalam hutan alam di kawasan yang berada di jantung Jawa Barat ini.
Tim penyusun merasa perlu untuk menyampaikan terima kasih Pimpinan Tim
Proyek, Koordinator Tim dan Project Managemet Support dari konsorsium
pelaksana ICRWMIP_CWMBC yang telah mempercayakan dan memfasilitasi
seluruh pelaksanaan kegiatan, survey. Kami sampaikan juga terima kasih kepada
pimpinan BBKSDA Jawa Barat beserta staf teknis di tingkat balai, seksi wilayah dan
resort; serta pemandu lapangan yang mendukung secara administrasi dan terlibat
dalam pelaksanaan teknis survey di lapangan. Tak lupa juga rasa terima kasih kepada
rekan-rekan asisten tenaga ahli yang menjadi kolega dan mitra kami bekerja bersama di
lapangan dan semua pihak yang terlibat dalam survey atas dukungan dan kerjasamanya
sehingga kegiatan lapangan dan penyusunan laporan ini dapat dilaksanakan dengan baik.

Semoga laporan ini bermanfaat.


Bandung, Desember 2013
Tim Penyusun

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

iv

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS yang berada di wilayah
Provinsi Jawa Barat dengan sekitar 13,000 km2. Tak kurang sekitar 9 juta penduduk
menempati DAS Citarum, dengan tingkat kemiskinan di atas 25% pada tahun 2000
pada 8 dari 11 kabupaten yang berada di DAS Citarum. Sepanjang DAS Citarum
terdapat terdapat banyak pusat-pusat industri, termasuk di dalamnya Kota Bandung.
DAS Citarum juga memasok sekitar 80% air baku ke Jakarta yang ditunjang tiga
bendungan besar yang penting untuk penyediaan listrik, irigasi dan air baku.
Pada sisi lain, kondisi DAS Citarum telah mengalami perubahan yang drastis
terutama perubahan tataguna lahan yang tidak terencana, menyisakan sedikit
ekosistem hutan hujan alam di Jawa dan terpencar di kawasan hulu, serta terhimpit
gerak pembangunan. Kondisi kawasan hutan dataran rendah menerima dampak
negatif dari kegiatan manusia, termasuk pemanenan hasil hutan non-kayu dan pohon
untuk bahan bangunan dan kayu bakar, kerusakan kualitas air dan tanah karena
polusi domestik, industri dan pertanian pada DAS Citarum. Kondisi ini dikareakana
belum ada mekanisme yang tepat yang secara efektif dilaksanakan untuk mengatur
tataguna lahan untuk memantau kegiatan pembangunan di dalam DAS Citarum.
Dari hasil gap analisis ditemukan bahwa Unit Pelaksana Teknis Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat diperoleh gambaran bahwa
pada bagian hulu Daerah Tangkapan Air Sungai Citarum terdapat beberpa kawasan
konservasi yang memiliki peran sangat penting dalam menunjang keberlangsungan
suplai air Sungai Citarum. Ada tujuh kawasan konservasi di Daerah Tangkapan Air
Sungai Citarum yang menjadi perhatian, yaitu Cagar Alam (CA) Gunung Tilu, CA
Kawah Kamojang, Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Kamojang, Taman Buru
Gunung Masigit Karumbi, CA Gunung Tangkuban Perahu, TWA Gunung
Tangkuban Perahu, dan CA Burangrang (Gambar 1.1). Namun demikian, kawasankawasan konservasi tersebut masih memerlukan pengelolaan yang lebih optimal
supaya peran dan fungsi kawasan sebagai penunjang kehidupan dapat berjalan
dengan baik.
Kawasan konservasi yang dalam PP No. 28 Tahun 2011 dikelompokkan sebagai
kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam. Kawasan konservasi dinilai
memiliki peranan yang strategis sebagai benteng terakhir bagi kelestarian hidupan
liar baik flora dan fauna. Karenanya, Pemerintah Indonesia merasa berkepentingan
untuk mempertahankan keberadaan dan kelestarian flora dan fauna dengan
menetapkan kawasan konservasi. Di sisi lain, keberadaan kawasan konservasi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|1

mengemban fungsi perlindungan penyangga kehidupan, serta pemanfaatan sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|2

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.1. Peta tujuh kawasan konservasi yang masuk ke dalam area DAS Citarum
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|3

Jumlah dan persebaran spesies satwa liar dapat menjadi ukuran kealamian hidupan
liar. Satwa liar menjadi refleksi kondisi ekologi dan perubahan-perubahan yang
terjadi sepanjang waktu (Wiratno et al. 2001), Hidupan tumbuhan dan satwa liar)
telah digunakan sebagai indikator suatu ekosistem dari waktu ke waktu, dikarenakan
kelompok satwa ini menempati possisi penting dalam ekosistem, baik sebagai
pemangsa maupun mangsa (Howell, 2002). Pengetahuan mengenai keragaman hayati
dan organisasi komunitas tumbuhan dan satwa liar merupakan unsur yang penting
dalam pengembangan kebijakan konservasi dan sistem pengelolaan yang
berkelanjutan. Dalam pengidentifikasian kawasan konservasi sebagai sumber
konservasi yang terbatas dan ancaman yang perlu diantisipasi, dibutuhkan
pengetahuan yang komplit dan sistematika, distribusi taksa dan asosiasi habitatnya
(Gillespie et al. 2005). Informasi yang diperoleh akan sangat berharga dalam
pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Hal ini senada dengan yang
diuangkapkan DAS (1997) bahwa kelengkapan informasi merupakan faktor penting
dalam menyusun rencana konservasi dan strategi pengelolaan keanekaragaman
hayati yang ada di kawasan konservasi. Selanjutnya, dokumentasi keanekaragaman
hayati daerah ini akan memungkinkan pemahaman yang lebih baik masyarakat
umum dan dampak proses gangguan. Selama ini data dan informasi mengenai
tumbuhan dan satwa pada beberapa kelompok taksa di kawasan tersebut belum
pernah dilakukan survey, terutama untuk herpetofauna (Helen Kurniati pers. comm)
Di Jawa dan Bali tercatat sekitar 6.000 7.000 spesies dari kelompok tumbuhan
tingkat tinggi (Backer & Backhuizen, 1963-1968), 211 spesies dari kelompok
mamalia (Don & DeeAnn 2005). 550 spesies kelompok burung dengan 34 spesies di
antaranya endemik Pulau Jawa dan Bali dan 26 spesies yang terancam kepunahan
(MacKinnon & Balen. 2000, Wisnu dkk, 2006, Dennis 2013), 142 spesies reptil dan
42 spesies amfibi dengan 8 spesies amfibi endemik (Whitten, dkk., 1996, Iskandar
1998) dan 132 spesies ikan air tawar (Kottelat et al 1993, Whitten et al, 1996).
Kawasan hutan hujan tropis pegunungan di Jawa Barat dimasukkan ke dalam daftar
WWF Global 200 Ecoregion (Olson, 2000). Status konservasi hutan hujan tropis
pegunungan Jawa Barat dikategorikan kritis atau terancam. Luasnya kini masih
tersisa 20% yang tersebar di seluruh gunung yang ada diantaranya terdapar pada 25
kawasan konservasi yang mencakup 3.410 km2 atau sekitar 13% dari luas ecoregion
ini (Morrison. 2001).
Kajian hutan pegunungan tropis sangat penting, khususnya di timur jauh karena
region ini sangat bergunung-gunung dibadningkan region hutan hujan tropis lain di
Afrika dan Amazon (Whitmore, 1975)/ Berdasarkan standar, hutan pegunungan di
Indonesia sangat beragam. Kompisisi floristiknya tidak hanya beragam berdasakran
ketinggiannya, namun berbeda pula antar region dengan region lainnya (Smith dalam
Whitten & Whitten, 1996). Menurut Aldrich (1997), formasi hutan hujan tropis
pegunungan merupakan habitat bagi sejumlah besar spesies endemik dan
kemungkinan masih banyak yang belum diketahui secara ilmiah.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|4

Pada kelompok satwa liar, keberadaannya di dalam sebuah kawasan berfungsi


sebagai penyeimbang ekosistem dan penanda indikator perubahannya, dengan
peranannya di alam antara lain, pengendali hama (spesies-spesies pemakan tikus dan
juga serangga) dan tentunya sebagai sumber flasma nutfah. Pada beberapa satwa liar
dapat menarik perhatian (atraktif), sehingga memiliki potensi untuk dijadikan
sebagai ikon penyadartahuan (awareness).
Pada beberapa kawasan konservasi tercatat beberapa spesies endemik dan terancam
kepunahan dengan status kritis (Critically Endangered) yaitu.Macan tutul (Panthera
pardus melas), Babi kutil (Sus verrucosus), Kukang jawa (Nycticebus javanicus),
Jalak putih (Sturnus melanopterus melanopterus), Ekek geleng (Cissa thalasina),
Poksai kuda (Garrulax rufifrons), dan Kodok merah (Leptophryne cruentata) (IUCN
redlist, 2013).
Dari hasil FGD dengan pihak BBKSDA Jawa Barat diperoleh beberapa hal penting
terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis yang berbasis pengelolan
satwa liar, sebagai berikut:
1. Pengelola kawasan konservasi dengan status cagar alam (CA), taman wisata alam
(TWA) dan taman buru (TB) memandang bahwa data dasar mengenai
herpetofauna masih belum tersedia dengan kualitas yang memadai. Data-data
yang ada sangat terbatas yang dikarenakan sangat jarang dilakukan kegiatan
kajian herpetofauna. Walaupun data ada masih berupa data lama yang belum
diperbaharui (update). Di sisi lain, ada beberapa kegiatan penelitian herpetofauna
yang dilakukan oleh pihak lain, baik oleh pihak universitas maupun LSM
kebanyakan dilakukan pada beberapa kawasan konservasi dengan status taman
nasional seperti TNGGP, TNGHS dan TNGC dan beberapa spot lokasi di luar 7
areal kajian. Para pengelola kawasan konservasi memandang bahwa masih perlu
ada data dasar herpetofauna yang terbarukan dan juga dapat dengan tepat
menunjang pengelolaan kawasan secara menyeluruh.
2. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, ada hal-hal mendasar yang menjadi
kendala, yaitu ketersediaan data dasar yang dirasa masih terbatas, sumber daya
manusia yang belum ditingkatkan, dan belum tersedianya perangkat atau sistem
monitoring herpetofauna yang user friendly.
3. Pengelola kawasan konservasi (BBKSDA Jawa Barat) belum menetapkan spesies
kunci dari kelompok herpetofauna sebagai spesies dijadikan sebagai high profile
species dan dapat dilakukan monitoring.

1.2.

Maksud, Tujuan dan Keluaran

Maksud pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh kawasan konservasi
di wilayah kerja BBSKDA Jawa Barat adalah terbaharukannya data dasar spesies
dari kelompok taksa tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil),

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|5

insekta dan biota akuatik yang akurat dan berdaya guna untuk upaya pengelolaan
kawasan konservasi.
Tujuan tersebut akan dicapai melalui upaya:
1. Mengkaji dan mengidentifikasi spesies dan kekayaan spesies dari kelompok taksa
tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil), insekta dan biota
akuatik pada 7 kawasan konservasi yang berada di DAS Citarum;
2. Mengkaji beberapa spesies sebaran terbatas dan terancam kepunahan (diusahakan
hingga tingkat populasi) di setiap kawasan konservasi.
Keluaran dari pelaksanaan kegiatan ini, diantaranya:
1. Daftar spesies flora dan fauna pada setiap kawasan konservasi beserta
penjelasannya.
2. Untuk setiap spesies yang perlu perhatian, endemic dan terancam kepunahan
dibuat statusnya di setiap kawasan konservasi, dugaan populasinya dan sedapat
mungkin dipetakan sebarannya (bekerjasama dengan Tim GIS).

1.3.

Tahapan dan Cakupan Kajian

Kajian kajian flora dan fauna dipahami sebagai proses mengidentifikasi spesies
pada tujuh kawasan konservasi yang ada di areal DAS Citarum pada wilayah kerja
BBKSDA Jawa Barat. Tahapan pelaksanaan kajian terdiri atas empat tahap, yaitu
(i) persiapan, (ii) perancangan, (iii) identifikasi target area survey, (iv) pelaporan.
Proses pelaksanaan kegiatan dilakukan menyeluruh, mencakup seluruh tahapan,
dengan produk akhir berupa laporan hasil survey yang mencakup hingga kekayaan
spesies, sebaran spesies, keragaman spesies, kelimpahan spesies, sttaus
perlindungan spesies dan kajian spesies yang perlu perhatian dan terancam
kepunahan.
Laporan kajian ini memuat hasil identifikasi spesies pada kelompok tumbuhan,
(mencakup Magnoliophyta, Orchidaceae, Nepenthaceae,, tanaman obat,
pteridophyta danm gungi), Mamalia (mencakup mamalia besar dan kecil), burung,
herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil), insekta (mencakup ordo Lepidoptera,
Odonata dan Coleoptera), dan biota akuatik (mencakup benthos, plankton dan
nekton). Cakupan data dan informasi mengenai keberadaan spesies, peta sebaran
spesies, konteks lansekap, status terkini dari beberapa spesies yang perlu perhatian
dan terancam kepunahan, tekanan atau ancaman kelestariannya, dan rekomendasi
untuk perlindungan, pengelolaan, dan pemantauannya. Laporan ini tidak mencakup
pengelolaan dan pemantauan spesies.
Kegiatan pertemuan pembuka dan pemetaan partisipatif (opening meeting &
partisipative mapping). Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 3, 18, 23 Juni 2013
dan 17 serta 23 September 2013 yang melibatkan secara aktif staf, pengendali
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|6

ekosistem hutan (PEH) dan petugas polisi kehutanan (polhut) dari BBKSDA Jawa
Barat yang memiliki pengetahuan lapangan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi di atas peta, area-area pada tujuh kawasan konservasi wilayah kerja
BBKSDA Jawa Barat yang berpontensi tinggi keberadaan herpetofauna berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman staf teknis polhut.
Kegiatan survey lapangan (field survey). Kegiatan ini dilaksanakan sejak tanggal 4
29 Juni dan 18 26 September 2013. Tim survey didampingi staf teknis PEH dan
polhut, masyarakat mitra polhut (MMP) serta pemandu lokal dari masyarakat.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendata spesies dari 6 kelompok taksa.

1.4.

Tim Pelaksana

Kajian flora dan fauna pada tujuh kawsan konservasi di wilayah kerja BBKSDA
Jawa Barat, dilaksanakan oleh sebuah tim terdiri atas enam tenaga ahli yang terdiri
dari Edi Suwandi (taksa biota akuatik). Indra Arinal (taksa mamalia), Iwan Setiawan
(taksa herpetofauna), Pupung Firman Nurwatha (taksa burung), Ade Rahmat (taksa
Insekta) dan Wishal Miggy Dasanova (taksa tumbuhan).
Pada pelaksanaan survey ini juga melibatkan beberapa asisten tenaga ahli, yaitu: Dini
Andari Asni Ibrahim, Siska Susilawati, Candra Arifin (tim vegetasi tumbuhan),
Erwin Wilianto, Rachel Archie Carissa, Agung Kusumanto, Dadieh Kurniadi (tim
mamalia), Agung Hasan Lukman, Gema Ikrar Muhammad (tim burung), Pramitama
Bayu Saputro, Catur Sotoradu Radja (tim herpetofauna), Farhan Nugraha Fahcrudin,
Adlan Fadlan Bakti, Robi Ramdani (tim insekta), Adri Pratama, Surya Nianto (tim
biota akuatik),

1.5.

Waktu dan Lokasi Survey

Kegiatan kajian Kajian flora dan fauna pada tujuh kawsan konservasi di wilayah
kerja BBKSDA Jawa Barat dilaksanakan pada bulan Juni dan September 2013,
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.1. Jadwal pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh kawasan
konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
Kegiatan

Waktu

Tempat

Persiapan dan
kajian awal

1 2 Juni 2013

Bandung,

Pertemuan
pembukaan,
rancangan teknis
survey, pemetaan
partisipatif

3 Juni 2013

Cagar Alam Gunung TIlu

18 Juni 2013

Cagar Alam Kamojang

18 Juni 2013

Taman Wisata Alam Kamojang

23 Juni 2013

Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|7

Kegiatan

Survey Lapangan

Waktu

Tempat

17 September 2013

Cagar Alam Burangrang

22 September 2013

Cagar Alam dan Taman Wisata Alam


Tangkuban Perahu

4 10 Juni 2013

Cagar Alam Gunung TIlu

19 21 Juni 2013

Cagar Alam Kamojang

19 23 Juni 2013

Taman Wisata Alam Kamojang

24 29 Juni 2013

Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi

18 21 September 2013

Cagar Alam Burangrang

23 26 September 2013

Cagar Alam dan Taman Wisata Alam


Tangkuban Perahu

Lokasi pelaksanaan kajian flora dan fauna ini mencakup tujuh kawasan konservasi
yang berada di DAS Citarum pada wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat. Pada setiap
lokasi kajian dilakukan penandaan jalur dan titik pengamatan menggunakan GPS.
Panjang dan jumlah titik pengamatan ditunjukkan pada Tabel 1.2 dan Gambar
Gambar 1.2 hingga Gambar 1.6.
Tabel 1.2. Jadwal pelaksanaan kegiatan kajian flora dan fauna pada tujuh kawasan
konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
No

1.6.

Kawasan Konservasi

Tanggal
Pengamatan

Jalur dan Titik


Pengamatan

1.

Cagar Alam Gunung Tilu

4 10 Juni 2013

227 titik, 121 km

2.

Cagar Alam Kamojang


dan Taman Wisata Alam
Kawah Kamojang

19 21 Juni 2013

160 titik, 133 km

3.

Taman Buru Gunung


Masigit Kareumbi

19 23 Juni 2013

178 titik,157 km

4.

Cagar Alam Burangrang

24 29 Juni 2013

105 titik, 156 km

5.

Cagar Alam dan Taman


Wisata Alam Tangkuban
Perahu

18 21 September
2013

311 titik, 173 km

Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri atas lima bagian, yaitu: (1) Pendahuluan, (2) Kondisi Umum
Lokasi Survey, (3) Metodologi, (4) Hasil dan Pembahasan, (5) Kesimpulan dan
Rekomendasi.
Pada tahap ini, laporan ditargetkan pada kekayaan dan sebaranya spesies, status
perlindungan (menurut peraturan perundangan, IUCN, dan CITES) serta deksripsi
beberapa spesies yang perlu perhatian dan terancam kepunahan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|8

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.2. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1|9

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.3. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1 | 10

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.4. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1 | 11

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.5. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Al;am Burangrang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1 | 12

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:25.000,

Gambar 1.6. Peta jalur dan titik pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

1 | 13

2. Kondisi Umum Lokasi Survey


2.1.

Cagar Alam Gunung TIlu

Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu (CAGT) merupakan kawasan pelestarian alam
yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 68/kpts/Um/2/78,
tanggal 7 Pebruari 1978 dengan luas 7,478,56 hektar. Peta kawasan CAGT
ditunjukkan Gambar 2.1.

Sumber: Peta Kawsan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.1.

Peta kawasan CAGT

Pengelolaan kawasan CAGT di bawah tanggung jawab dan kewenangan Unit


Pelaksana Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi
Jawa Barat dan Banten, Seksi Wilayah II Soreang dan Resort Gunung Tilu. Areal
kajian berada di bagian utara kawasan CAGT berada di Kecamatan Panggalengan
dan Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung.
Kawasan CAGT terdiri dari puncak gunung berapi yang terancam di Gunung Tilu,
Gunung Waringin (2.140 m), Gunung Gureuh (2.015 m) dan Puncak Walang yang
merupakan bagian dari kompleks gunung yang jauh lebih besar yang membentang
hampir 200 km dari Gunung Halimun di barat ke Teluk Penanjung di bagian timur.
Secara geologis, batuan induknya terbangun dari batuan vulkanik Kuarter
undifferential di utara, sementara bagian selatan terdiri dari Miosen fasies sedimen.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|1

Jenis tanah terdiri dari latosol, andosol, podzols kuning-merah dan regosols berasal
dari tuf vulkanik (LEUP, 1980; Rosanto dan Priatna, 1982).
Tipe iklim termasuk dalam zona iklim 'B' dengan curah hujan tahunan rata-rata
antara 2.131 mm (di Ciwidey) dan 4.300 mm (di Rancabalong) (Schmidt dan
Ferguson, 1951). Kelembaban hariannya sekitar 80% dengan bulan terbasah sekitar
bulan November (LEUP, 1980).
Kawasan CGAT didominasi ekosistem hutan hujan pegunungan (1390 2100 m dpl)
yang mencakup ke dalam tipe sungai ordo 3 (sungai Cisondari, Cikakapa) dan Ordo
II (sungai Cilaku dan Cikembang).
Keragaman pembentuk tipe vegetasi berupa ekosistem hutan hujan tropis primer.
Semakin rendah kelerangan ditutupi dengan ekosistem hutan pegunungan rendah
yang didominasi oleh kanopi bertajuk lebar seperti Altingia excelsa, Podocarpus
imbricatus, P. amarus, P. neriifolius dan Quercus sp.. Kanopi utamanya sendiri
ditandai dengan Acer laurinum, Castanopsis spp., Engelhardtia spicata dan
Lithocarpus pseudomoluceus. Kanopi strata kedua dengan ketinggian 15-20 m di
antaranya Antidesma tetrandrum, Glochidion spp., Sauria sp. dan Symplocos
javanica. Kanopi stara ketiga dengan ketinggian 5-10m terdiri dari Ardisia laengata,
Dichroa febrifuga dan Polygala spp. Pada daerah yang lebih tinggi di zona
pegunungan, hutan menjadi lebih rendah di ketinggian dan ditandai dengan
pertumbuhan lumut dan epifit yang luas. Tercatat spesies tumbuhan Rhizanthes
zippellii yang sebelumnya hanya dikenal terdapat di Gunung Salak (LEUP, 1980).
Jenis tumbuhan penting lainnya untuk perekonomian masyarakat di antaranya
Castanopsis javanica, Schima wallichii, Manglietia glauca, Podocarpus neriifolius,
P. imbricatus, Cinnamomum partenoxylon, Lithocarpus spp., Quercus spp. dan
Acacia spp. (Rosanto dan Priatna, 1982).
Berbagai spesies kelompok fauna dari taksa mamalia yang terkenal di antaranya dari
ordo primata yaitu Owa jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata) sebagai
spesies endemik di Jawa yang membutuhkan perhatian dari sisi konservasinya.
Spesies penting lainnya seperti Macan tutul (Panthera pardus melas), Lutung
(Trachypithecus auratus), ajag (Cuon alpinus javanicus). Dari kelompok unggulata
di antaranya Babi kutil (Sus verrucosus), Kijang (Muntiacus muntjak), Monyet abuabu ekor pajang (Macacca fascicularis), Musang (Paradoxurus hermaphroditus),
Sigung (Mydaus javanensis), Landak (Hystrix javanica), Tupai (Callosciurus
nigrovittatus), Trenggiling (Manis javanica), Bajing terbang (Cynocephalus
variegatus), Kukang (Nycticebus coucang) dan Musang kecil (Herpestes javanicus)
(Rosanto dan Priatna, 1980).
Lebih dari 76 spesies avifauna telah tercatat, termasuk Rangkong badak (Buceros
rhinoceros), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang ular bido (Spilornis cheela),
Alap-alap maluku (Falco moluccensis), Cekakah (Halcyon chloris), beberapa spesies
burung madu seperti Aethopyga eximia, Arachnothera longirostra dan Nectarinia
jugularis. Dari klas reptilia tercatat ular sanca batik (Python reticulatus) (LEUP,
1980; Rosanto dan Priatna, 1982).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|2

2.2.

Cagar Alam Kawah Kamojang

Kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang (CAKK) merupakan kawasan pelestarian


alam yang awal penunjukkannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
110/Kpts-II/90 tanggal 14 Maret 1990 dengan luas 7.805 hektar. Pembaharuan luas
kawasan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 433/Kpts-II/94,
sehingga luas total kawasan CAKK menjadi 7817,196 hektar. Pada tahun 2004
terjadi penambahan fungsi cagar alam di Blok Guntur sehingga terjadi pengurangan
luas CAKK sekitar 500 Ha untuk hutan lindung sehingga luas total kawasan menjadi
7067,196 Ha. Penetapan kawasan cagar alam didasarkan pada gejala alam yang unik
berupa peristiwa vulkanologi dengan munculnya kawah kecil di daerah kaldera
Kamojang (Anonim 2005). Peta kawasan CAKK ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Sumber: Peta Kawsan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.2.

Peta kawasan CAKKK

Pengelolaan kawasan CAKK di bawah tanggung jawab dan kewenangan Unit


Pelaksana Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi
Jawa Barat dan Banten, Seksi Wilayah KSDA Garut. Menurut administrasi
pemerintahan, kawasan CAKK berada di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.
Batasan kawasan CAKK di sebelah Utara dengan Kecamatan Paseh dan Ibun,
Kabupaten Bandung, d sebelah Barat dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung,
di sebelah Timur dengan Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut, dan di
sebelah Selatan dengan Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|3

Kawasan CAKK berada pada ketinggian antara 1.650 2.610 mdpl. Topografi
kawasan pada umumnya berbukit landai dengan kelerengan lapang yang terjal,
miring dan bergelombang. Sudut kemiringan bervariasi diantara 20% - 40%. Hasil
peta tanah eksploitasi Balai Penyelidikan tahun 1960 menyatakan jenis batuan
pembentuk tanah Cagar Alam Kamojang adalah aluvial dari endapan sungai. Jenis
tanah yang terdapat di kawasan ini terdiri dari andosol umbrik dan andosol vitrik
dengan struktur gumpal bersudut, pH masam sampai agak masam (3-6), kejenuhan
basa rendah dan berkembang dari tufa volkan.
Wilayah CAKK memiliki suhu udara maksimum sebesar 26,8C pada bulan
September sedangkan kondisi terendah terjadi pada bulan Desember. Suhu udara
minimum terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 5,4C dan tertinggi pada bulan
Desember sebesar 10,7C. Kelembaban relatif (RH) wilayah Kamojang termasuk
tinggi yaitu sebesar 82-94%, sehingga lama penyinaran hanya 33 - 64% dalam
sehari. Sepertiga hingga dua per tiga hari sering terjadi kabut atau hujan teutama
pada bulan November dan Januari (Anonim 2005).
Cagar Alam Kamojang secara hidrologis terletak di daerah hulu dari daerah aliran
sungai (DAS) besar di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum di bagian baratutara dan
Sungai Cimanuk di bagian selatan. Masing-masing hulu DAS tersebut membentuk
sub DAS dan yang terletak di Cagar Alam Kamojang diantaranya sungai Cikaro,
Ciharus dan Ciwelirang.
Ekosistem CAKK dapat dibedakan menjadi ekosistem terestrial dan ekosistem
akuatik. Ekosistem terestrial terdiri dari ekosistem hutan cagar alam dan ekosistem
hutan lindung, sedangkan ekosistem akuatik terdiri dari ekosistem danau Ciharus dan
danau Cibeureum. Secara umum kondisi vegetasi yang terdapat di Cagar Alam
Kamojang didominasi oleh famili Juglandaceae, Theaceae, Lauraceae dan Fagaceae.
Komposisi vegetasi yang terdapat di dalam kawasan berupa kihujan (Engelhardia
spicata), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), pasang
(Quercus lutea), Lauratus nobilis dan Litsea cubeba.
Spesies satwa liar yang terdapat di CAKK antara lain walik, kadanca, walet, saeran
Gunung, ayam hutan, lutung, musang, babi hutan, kijang, landak, monyet ekor
panjang, surili, kancil, kucing hutan, bajing, macan tutul, ular sanca, trenggiling,
londok
Masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Kamojang meliputi desa-desa di wilayah
Kecamatan Ibun, Kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet yang berada di Kabupaten
Bandung dan Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Pasir Wangi serta Kecamatan
Leles yang berada di Kabupaten Garut. Anonim (2005) menyatakan jumlah
penduduk yang berada di sekitar kawasan cagar alam sekitar 168.548 jiwa dan
tersebar di wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut sebagai petani dan
buruh tani. Mata pencaharian warga di sekitar kawasan cagar alam berupa pedagang,
buruh bangunan dan pegawai negeri sipil. Penggunaan lahan yang berada di sekitar
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|4

kawasan cagar alam sebagian besar masih berupa hutan lindung. Lahan di sekitar
kawasan pun digunakan untuk hutan produksi terbatas, hutan dapat dikonversi,
sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, perkebunan dan pemukiman. Keberadaan
lahan hutan yang telah ada sejak dahulu mulai terganggu akibat konversi lahan
menjadi lahan pertanian.

2.3.

Taman Wisata Alam Kawah Kamojang

Kawasan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang (TWAKK) merupakan kawasan


pelestarian alam yang awal penunjukkannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 170/Kpts/Um/3/1979 tanggal 13 Maret 1979 seluas 500 Ha.
Penetapan kawasan TWAKK berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
110/Kpts-II/1990 tanggal 14 Maret 1990 dengan luas 481 Ha).
Menurut wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TWAKK terletak dalam dua
wilayah, yaitu Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung dan Desa
Randukurung, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Batas kawasan TWAKK di
sebelah Utara dengan Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung, di sebelah
Barat dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung di sebelah Timur dengan
Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut dan di sebelah Selatan dengan
Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Peta kawasan TWAKK ditunjukkan pada
Gambar 2.3.

Sumber: Peta Kawsan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.3.

Peta kawasan TWAKK

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|5

Pengelolaan kawasan TWAKK di bawah tanggung jawab dan kewenangan Unit


Pelaksana Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi
Jawa Barat dan Banten
Kawasan TWAKK memiliki topografi lapang sebagaian besar berbukit dengan
lereng lapang terjal, pada beberapa tempat terdapat areal dengan kelerengan lapangan
datar, landai sampai bergelombang. Daerah yang memiliki topografi yang datar
terletak di blok pangkalan yang merupakan areal pemukiman dan pusat pengelolaan
TWAKK. Kawasan TWAKK berada pada ketinggian antara 1.400 1.800 meter di
atas permukaan laut (mdpl). Jenis tanah di kawasan TWAKK seluruhnya terdiri dari
jenis tanah andosol yang berasal dari bahan batuan induk, basis dan intermedia
dengan fisiografi gunung berapi.
Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, daerah TWAKK termasuk ke
dalam tipe iklim D dengan curah hujan rata-rata 2.400 mm per tahun atau rata-rata
curah hujan harian 213 mm per hari. Musim hujan berlangsung antara bulan
September sampai bulan Maret dan musim kemarau antara bulan April sampai bulan
Agustus. Temperatur udara sepanjang tahun cukup rendah yaitu antara 8,40C
24,90C dan temperatur udara rata-rata 16,70C dengan kelembaban udara rata-rata
tahunan relatif tinggi yaitu 87 %
Ekosistem TWAKK termasuk formasi hutan hujan tropis dengan tipe hutan
pegunungan. Terdapat dua kelompok tipe vegetasi, yaitu vegetasi hutan alam dan
vegetasi hutan tanaman. Jenis flora di vegetasi hutan alam kawasan TWAKK
didominasi oleh jenis Pasang (Quercus javanica), Saninten (Castanopsis argentea),
Jamuju (Podocarpus imbricatus), Kihujan (Engelhardtia spicata), Kitebe (Sloanea
sigun) dan Kitambaga (Eugenia cumini), Kiara (Ficus glabela), Kibeureum
(Viburnum sambucinum), Cangkuang (Pandanus sp.) dan Paku-pakuan (Dyplazzium
sp.) (BKSDA Jawa Barat II, 2003). Adapun vegetasi hutan tanaman seluas 10,5 Ha
terdiri dari jenis Rasamala (Altingia excelsa) yang ditanam tahun 1942 dan hutan
tanaman Pinus (Pinus merkusii) yang ditanam tahun 1969 (Perum Perhutani, 2004).
Spesies satwa liar yang terdapat di TWAKK antara lain Jenis satwa yang ada di
TWA Kawah Kamojang, meliputi Macan tutul (Panthera pardus), Musang
(Paradoxurus hermaproditus), Trenggiling (Manis javanica), Surili (Presbytis
comata), Lutung (Trachypithecus auratus) dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster)
(BKSDA Jawa Barat II, 2003).
Masyarakat di sekitar kawasan TWAKK meliputi desa-desa di wilayah Kecamatan
Ibun, Kabupaten Bandung dan Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Pada
umumnya, kehidupan budaya masyarakat di sekitar TWAKK serupa dengan
masyarakat Suku Sunda lainnya di Jawa Barat. Di Kamojang tidak ada kesenian,
upacara adat dan kerajinan yang khas. Hubungan antara masyarakat desa pada
umumnya sangat erat. Hal ini ditunjukkan masih hidupnya kelembagaan gotong
royong, terutama dalam pekerjaan kerja bakti dalam pembangunan sarana ibadah
(mesjid dan langgar), membangun rumah penduduk, kantor desa, membuat saluran
air serta jalan desa. Pola hidup seharihari mereka juga masih kuat dipengaruhi oleh
norma agama Islam karena mayoritas beragama Islam.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|6

Mata pencaharian utama masyarakat di sekitar TWAKK sebagai petani, sisanya


berprofesi sebagai buruh swasta, pedagang, buruh tani dan Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Sifat dari mata pekerjaan mereka ada yang sepanjang tahun dan musiman.
Pekerjaan sepanjang tahun seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang, dokter dan
TNI/POLRI. Sedangkan untuk pekerjaan musiman, seperti petani, buruh tani dan
buruh swasta. Khusus untuk masyarakat Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten
Bandung banyak pekerja musiman dengan system kontrak. Hal ini disebabkan karena
adanya Pertamina Area Panas Bumi EP Kamojang dan PT. Indonesia Power yang
merekrut tenaga kerja masyarakat sekitar untuk kegiatan musiman seperti
pembersihan mesin-mesin, supir untuk kegiatan pemboran panas bumi dan tenaga
pemboran panas bumi.

2.4.

Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi

Kawasan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi (TBGMK) merupakan kawasan


pelestarian alam dengan status Taman Buru yang ditunjuk berdasarkan surat
Keputusan Menteri Pertanian nomor: 297/Kpts/Um/5/1976 tanggal 15 Mei 1976 dan
diperkuat dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 298/Kpts-II/1998
tanggal 27 Pebruari 1998 dengan luas 12.420,70 Ha. Secara administrasi
pemerintahan, kawasan TBGMK sebagian besar termasuk kedalam wilayah
Kabupaten Sumedang dan sisanya masuk wilayah Kabupaten Garut dan Bandung.
Secara geografis kawasan TBGMK terletak antara 6 51 31 sampai 7 00 12
Lintang Selatan dan 107 50 30 sampai 108 1 30 Bujur Timur.
Pengelolaan kawasan TBGMK di bawah tanggung jawab dan kewenangan Unit
Pelaksana Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi
Jawa Barat dan Banten, Bidang II, Seksi KSDA Wilayah III - Soreang yang
mencakup Resort Kareumbi Barat dan Kareumbi Timur. Areal kajian berada di
bagian resort Kareumbi Timur kawasan DAS Citarum yang berada di tiga kecamatan
yaitu Cicalengka, Cimanggung dan Sumedang Selatan. Penamaan Masigit diambil
dari Pasir Masigit yang terletak di sebelah timur kawasan. Adapun penamaan
Kareumbi berasal dari Gunung Kareumbi di sebelah barat kawasan. Nama Kareumbi
juga nampaknya diambil dari nama sebuah pohon, yaitu pohon Kareumbi
(Homalanthus populneus) yang semestinya dahulu banyak terdapat di gunung
tersebut. Peta kawasan TBGMK ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Kawasan TBGMK merupakan daerah pegunungan yang dicirikan oleh kondisi iklim
khas pegunungan. Topografi kawasan umumnya berbukit sampai bergunung-gunung
dengan puncak tertinggi Gunung Karenceng 1.763 m dpl.
Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, kawasan ini termasuk tipe iklim C
dengan curah hujan rata-rata per tahun 1900 mm, kelembaban udara berkisar antara
60 90 % dan temperatur rata-rata 23 C.
Secara hidrologis, kawasan TBGMK merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk yang juga menjadi penyangga bagi sungai Citarum, sungai terbesar di Jawa
Barat. Dalam kawasan ini terdapat pula beberapa sumber air berupa sungai
diantaranya adalah Sungai Cigunung, Cikantap, Cimanggu, Cihanyawar, Citarik
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|7

Cideres, Cileunca, Cianten, Cikayap, Cibayawak, Cibangau, Cisereh dan Cimacan.


Dapat ditambahkan juga Sungai Cideres, Citarik dan Cimulu

Sumber: Peta Kawsan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.4.

Peta kawasan TBMGK

Hutan alami di kawasan TBGMK didominasi oleh jenis Pasang (Quercus sp.),
Saninten (Castanea argentea), Puspa (Schima walichii), Rasamala (Altingia excelsa).
Sedangkan tumbuhan bawahnya terdiri dari tepus (Zingiberaceae), Congok (Palmae),
Cangkuang (Pandanaceae) dan lain-lain. Dari spesies liana dan epiphyt yang terdapat
di kawasan ini adalah Seuseureuhan (Piper aduncum), Angbulu (Cironmera
anbalqualis), Anggrek Merpati (Phalaenopsis sp), Anggrek Bulan (Phalaenopsis
amabilis), Kadaka (Drynaria sp), dan lain-lain. Hutan tanaman 40 % didominasi
oleh spesies pinus (Pinus merkusii), Bambu (Bambusa sp), dan Kuren (Acasia
decurens).
Spesies satwa liar yang terdapat di kawasan TBGMK antara lain: Babi hutan (Sus
scrofa), Rusa Tutul (Axis axis), Kijang (Muntiacus muntjak), Anjing hutan (Cuon
javanica), Macan tutul (Panthera pardus), Kucing hutan (Felis bengalensis), Ayam
hutan merah (Gallus gallus), Kukang (Nycticebus coucang), Kera (Macaca
fascicularis), Lutung (Tracypithecus auratus) dan Punai Tanag (Chalcophals indica).
Kawasan TNGMK berada dalam 3 wilayah administratif Kabupaten yaitu
Sumedang, Garut dan Bandung. Terdapat 11 (sebelas) kecamatan yang berbatasan
langsung yaitu 8 Kecamatan di Kabupaten Sumedang(Cimanggung, Tanjungsari,
Rancak Kalong, Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Situraja, Darmaraja dan
Cibugel), dua Kecamatan di Kabupaten Garut (Selaawi dan Balubur Limbangan),

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|8

dan satu Kecamatan di Kabupaten Bandung (Cicalengka). Terdapat dua desa


enclave, yaitu Desa Cimulu yang tennasuk wilayah Garut dan Desa Cigumentong
yang termasuk wilayah Sumedang. Mata pencaharian masyarakat di sekitar TBGMK
masih menitikberatkan pada sektor pertanian berupa pesawahan, perkebunan,
peternakan, perikanan dan perkebunan rakyat.

2.5.

Cagar Alam Burangrang

Kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang (CAGB) merupakan kawasan pelestarian


alam yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No:
479/Kpts/Um/1979, tanggal 2-8-1979, seluas 2.700 Ha. Secara geografis kawasan
CAGB terletak pada 1070 317-1070 3156 BT dan 60 4145 - 604318 LS. Secara
administrasi pemerintahan berada pada 4 wilayah Kecamatan dalam 2 Kabupaten,
yaitu Kecamatan Sagala Herang Kabupaten Subang (187 ha) serta Kecamatan
Wanayasa Kecamatan Bojong dan Kecamatan Darang dan Kabupaten Purwakarta
(2.613 ha). Peta kawasan CAGB ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.5.

Peta kawasan CAGB

Batas kawasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten


Purwakarta, di sebelah selatan Timur dengan kawasan CA Gn Tangkuban Perahu, di
sebelah Selatan dengan Hutan Lindung Burangrang, Kec Parongpong dan
Kecamatan Cisarua Kab Bandung Barat, di sebelah barat dengan Sungai Cisomang,
Hutan Lindung dan Hutan Produksi Burangrang, RPH Cipada, BKPH Padalarang.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2|9

Kawasan ini merupakan daerah berbukit dengan variasi kelerengan mulai 15%,
bergelombang 50% dan bentuk curam berbatu 35%. Ketinggian 1000 -1500 meter di
atas permukaan laut. Terdapat 10 gugusan gunung, diantaranya : Gunung Sunda
(1854), Gunung Leumeungan (1843), Gunung Gedogan I (1822), Gunung Masigit
(1884), Gunung Pangukusan (1861), Gunung Burangrang (2064), Gunung Gedogan
II (1926), Gunung Batu (1625), Gunung Pangukusan (1576), dan Gunung Gedogan
III (1870).
Secara hidrologis, kawasan CAGB berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Citarum sub DAS Cilamaya, merupakan daerah tangkapan air bagi 41 mata air dari
23 aliran sungai. Dalam kawasan ini terdapat pula beberapa sumber air berupa sungai
diantaranya adalah Sungai Cigunung, Cikantap, Cimanggu, Cihanyawar, Citarik
Cideres, Cileunca, Cianten, Cikayap, Cibayawak, Cibangau, Cisereh dan Cimacan.
Dapat ditambahkan juga Sungai Cideres, Citarik dan Cimulu.
Berdasarkan data lima tahun terakhir (1992-1996) yang diperoleh dari Stasiun
Pengamatan Curah Hujang Wanayasa, curah hujan di kawasan dan sekitarnya
tercatat 4000 - 6000 mm per tahun, yang jika dikonversi pada klasifikasi iklim
menurut Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe iklim A. Bulan basah terjadi pada
bulan Oktober sampai dengan bulan Juni dan Bulan Juli sampai September.
Vegetasi kawasan Cagar Alam Burangrang merupakan hutan hujan tropik dimana
sebagian besar tersusun oleh tumbuh-tumbuhan berkayu, juga dilengkapi dengan
berbagai jenis liana dan ephipyt. Jenis-jenis pohon yang ada diantaranya : Puspa
(Scima walichii), Pasang (Quercus sp), Huru (Litsea angulata), Taritih (Parinarium
corymbosa), Gelam (Melaleuca leucadendron), Saninten (Castanopsis argantea),
Jamuju (Podoarpus imbricatus), Rasamala (Altingia excelse). Penyebaran jenis
vegetasi ini pada umumnya terdapat pada ketinggian 1000 - 1400 meter di atas
permukaan laut, khususnya pada formasi hutan primer. Sedang pada hutan sekunder
hanya terdapat beberapa jenis dari vegetasi pionir, antara lain Hamerang, Mara,
Kibanen, Dadap dan lain-lain.
Jenis fauna di kawasan ini adalah : Macan Tutul (Panthera pardus), Babi Hutan (Sus
Vitatus), Kucing Hutan (Felis Bengalensis), Kijang (Muntiacus muntjak),
Trenggiling (Manis javanica), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Lutung
(Tracypithecus auratus), Owa (Hylobates moloch), Surili (Hylobates comata),
Biawak (Varanus salvator), Ular welang (Bungarus candidu), Ayam Hutan Merah
(Gallus gallus), Elang Hitam (Ichnaetus malayensis), Raja Udang Meninting (Alcedo
meninting), dan Raja Udang (Halycon chlors).

2.6.

Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu

Kawasan Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu (CAGTP) merupakan kawasan


pelestarian alam yang ditetapkan berdasarkanSurat Keputusan Menteri Pertanian No.
528/Kpts/Um/9/74 tanggal 3 September 1974 dengan luas.290 hektar. Secara
astronomis kawasan CAGTP terletak antara 1070 317-1070 3156 BT dan 60
4145 - 604318 LS. Secara administrasi pemerintahan berada Menurut administrasi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2 | 10

pemerintahan, masuk ke dalam wilayah Kecamatan SagalaherangKabupaten Subang


dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Peta kawasan CAGTP ditunjukkan
pada Gambar 2.6.

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.6.

Peta kawasan CAGTP

Topografi kawasan ini bergelombang dengan lerengyang terjal Ketinggian tempat


mencapai 1.150 - 2.684 meter di atas permukaan laut. Gunung Tangkuban perahu
mempunyai bentuk seperti perahu terbalik,sehingga nama tersebut sesuai dengan
bentuk yang menurut bahasa setempatdisebut tangkuban perahu yang berarti perahu
terbalik.
Berdasarkan klasifikasi dari Schmidt dan Ferguson, iklimnya termasuk tipe iklim B
dengan curah hujan sekitar2.000- 3.000 mm per tahun. Temperatur berkisar antara
150C - 290C dan kelembaban udara rata-rata 45%-97%.
Ekosistem kawasan CAGTP merupakan perwakilan dari tipe ekosistem hutan hujan
pegunungan, dengan jenis tumbuhanyang ada adalah : Puspa (Schima walichii),
Pasang (Quercus sp), Kihiur(Castonopsis javanica), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Rengas (Glutta rengas),Saninten (Castanopsis argentea) dan lainnya.
Tumbuhan yang tumbuh dekat kawah hampir semuanya terdiriatas jenis tumbuhan
yang sama, yaitu: Manarasa (Vaccinium sp), dan Jambu alas (Zizigium
densifora). Dari jenis tumbuhan bawah didominasi oleh jenis paku-pakuan (200
jenis).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2 | 11

Satwa liar yang ada dalam kawasan hutan, antara lain : Macan tutul (Panthera
pardus), Surili (Presbytis comate), Lutung (Trachypitechus auratus), Babi hutan (Sus
scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Trenggiling (Manis javanica), Jelarang (Ratufa
bicolor), Tando (Petaurista elegans) dan lain-lain. Selain itu juga terdapat berbagai
jenis burung (Aves).

2.7.

Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu

Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu (TWAGTP) merupakan


kawasan pelestarian alam yang ditetapkan berdasarkanSurat Keputusan Menteri
Pertanian No. 528/Kpts/Um/9/74 tanggal 3 September 1974 dengan luas.370 hektar.
Secara astronomis kawasan TWAGTP terletak antara 1070 317-1070 3156 BT
dan 60 4145 - 604318 LS. Secara administrasi pemerintahan berada Menurut
administrasi pemerintahan, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sagalaherang,
Kabupaten Subang dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Peta kawasan
TWAGTP ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Sumber: Peta Kawasan , BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, Peta RBI skala 1:250.000

Gambar 2.7.

Peta kawasan TWAGTP

Secara umum topografi kawasan ini bergelombang dengan lereng yang terjal
Ketinggian tempat mencapai 1.150 - 2.684 meter di atas permukaanlaut. Gunung
Tangkuban perahu mempunyai bentuk seperti perahu terbalik,sehingga nama tersebut
sesuai dengan bentuk yang menurut bahasa setempatdisebut tangkuban perahu yang
berarti perahu terbalik.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2 | 12

Berdasarkan klasifikasi dari Schmidt dan Ferguson, iklimnya termasuk tipe iklim B
dengan curah hujan sekitar2.000- 3.000 mm per tahun. Temperatur berkisar antara
150C - 290C dan kelembaban udara rata-rata 45%-97%.
Ekosistem kawasan TWAGTP merupakan perwakilan dari tipe ekosistem hutan
hujan pegunungan, dengan berbagai tumbuhan di antaranya Puspa (Schima walichii),
Pasang (Quercus sp), Kihiur(Castonopsis javanica), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Rengas (Glutta rengas),Saninten (Castanopsis argentea) dan lainnya.
Tumbuhan yang tumbuh dekat kawah hampir semuanya terdiriatas jenis tumbuhan
yang sama, yaitu Manarasa (Vaccinium sp), dan Jambu alas (Zizigium densifora).
Dari jenistumbuhan bawah di dominasi oleh jenis paku-pakuan (200 jenis).
Satwa liar yang ada dalam kawasan hutan, antara lain Macan tutul (Panthera
pardus), Surili (Presbytis comate), Lutung (Trachypitechus auratus), Babi hutan (Sus
scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Trenggiling (Manis javanica), Jelarang (Ratufa
bicolor), Tando (Petaurista elegans) dan lain-lain. Selain itu juga terdapat berbagai
spesies burung.
Daya tarik obyek wisata yang utama di kawasan TWAGTP adalah Kawah Ratu,
Kawah Domus, dan Kawah Upas, Kawah Domas saat ini masih aktif. Selain itu
terdapat lipatan dan patahan geologis yang sangat indah.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2 | 13

3. Metodologi
3.1. Jenis Data
Jenis-jenis data yang dikumpulkan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a. Jenis Data Flora (mencakup Magnoliophyta, Orchidaceae, Nepenthaceae,
tanaman obat, Pteridophyta dan fungi),; potensi tumbuhan yang mencakup
spesies, kelimpahan, keragaman, kekayaan dan dominansi. Data lain yang
diambil adalah habitus, habitat dan pemanfaatan flora termasuk potensi spesies
flora serta kajian etnobotani (pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan bangunan,
obat, pangan dan lainnya oleh masyarakat lokal). Data habitat yang diambil
meliputi struktur vegetasi hutan (semai, pancang, tiang dan pohon), komposisi
spesiesnya, fungsi dan manfaat vegetasi.
b. Jenis Data Mamalia; Data mamalia yang diambil meliputi spesies, jumlah
individu spesies, jenis kelamin (jika diketahui), kelas umur (jika diketahui; terdiri
atas dewasa, remaja, dan anak-anak), waktu perjumpaan, aktivitas, jenis, jumlah
individu jenis, jejak, bekas pakan, aktivitas pada saat ditemukan. Data habitat
yang diambil meliputi struktur habitat, komposisi vegetasi, fungsi dan manfaat
vegetasi.
c. Jenis Data Burung; Data yang diambil meliputi data burung dan habitatnya. Data
burung yang diambil meliputi waktu penemuan, data spesies (nama lokal, nama
inggris dan nama ilmiah), jumlah individu, aktivitas burung saat ditemukan
(terbang, bertengger, makan, istirahat dan sebagainya), bentuk perjumpaan
(langsung atau tidak langsung, misalnya melalui suara dan sarang). Data habitat
yang diambil melalui kondisi habitat secara umum, baik fisik maupun
vegetasinya serta jenis pakan alami burung.
d. Jenis Data Herpetofauna (mencakup amfibi dan reptil); Data herpetofauna
meliputi reptil dan amfibi yang diambil adalah jenis, jumlah individu jenis, jenis
kelamin (jika diketahui), waktu perjumpaan, aktivitas, substrat, jenis, jumlah
individu jenis, SVL (panjang dari moncong sampai anus). Data habitat yang
diambil adalah suhu awal, kelembaban, vegetasi.
e. Jenis Data Insekta (mencakup ordo Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera). Data
Insekta yang diambil meliputi spesies, jumlah individu spesies, jenis kelamin
(jika diketahui), waktu pemasangan perangkap, penangkapan, pengambilan
sampel dan perjumpaan, aktivitas, penggunaan habitat, ukuran sampel tiap
spesies, aktivitas pada saat ditemukan dan posisi penemuan spesies di lingkungan
habitatnya. Data habitat yang diambil meliputi struktur habitat, komposisi
vegetasi, fungsi dan manfaat vegetasi.

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|1

f. Jenis Data Biota Akuatik (mencakup benthos, plankton dan nekton). Data biota
akuatik yang dicatat meliputi lokasi dan kondisi pengambilan sampel, spesies,
jumlah individu spesies, ukuran sampel tiap spesies,.

3.2.

Metode Pengambilan Data

3.2.1. Metode Pengambilan Data Flora


Untuk analisis vegetasi digunakan metode jalur berpetak. Selanjutnya akan dibuat
petak contoh yang ukuran minimalnya 20m x 100m atau minimal 5 petak contoh.
Selanjutnya petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi petak ukur sesuai tingkat
pertumbuhan vegetasinya (Gambar 3.1), yaitu :
a. Petak ukur semai (2m x2m), yaitu anakan dengan tinggi < 1,5m dan
tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya liana, epifit, pandan
dan palem.
b. Petak ukur pancang (5m x 5m), yaitu anakan dengan tinggi > 1,5m dan
diameter batangnya < 10cm.
c. Petak ukur tiang (10m x10m), yaitu diameter batang antara 10cm 19,9cm.
d. Petak ukur pohon (20m x 20m), yaitu pohon yang diameter batangnya
20cm.

Gambar 3.1. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur.

3.2.2. Metode Pengambilan Data Mamalia


Adapun metode yang digunakan dalam pengambilan data mamalia adalah:
a) Metode Transek Jalur (Strip Transect)
Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam
pengumpulan data jenis dan jumlah individu satwaliar. Panjang jalur yang
digunakan 1,5 s.d. 2,5 km. Data yang dikumpulkan berdasarkan pada perjumpaan
langsung dengan satwa mamalia yang berada pada lebar jalur pengamatan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|2

Gambar 3.1. Inventarisasi mamalia dengan metode jalur.

Keterangan: To = titik awal jalur pengamatan, T = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, r = jarak antara
pengamat dengan tempat terdeteksinya satwa liar, S = posisi satwa liar.

b) Trapping
Metode ini digunakan untuk mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus.
Perangkap dipasang secara purposive pada habitat yang sesuai. Hal ini
dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar. Tiap lokasi pengamatan
dipasang sekitar 7 buah perangkap.Total perangkap yang digunakan sebanyak 25
buah.
c) Concentration count (Fokus area)
Pengamatan dilakukan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai tempat
dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersediaanya pakan,
air untuk minum dan sebagainya. Pencatatan data melalui kontak langsung
ataupun tidak langsung antara lain meliputi pencatatan perjumpaan jejak kaki,
tempat untuk bersarang, maupun kotoran/feses. Pengamatan dilakukan pada pagi,
sore serta malam hari.
d) Pengamatan tidak langsung
Metode ini diterapkan untuk jenis-jenis mamalia yang sulit dijumpai secara
langsung. Data yang diambil dapat berupa jejak seperti jejak kaki, rambut, feses,
sarang dan jejakjejak lainnya yang dapat dijadikan data.

3.2.3. Metode Pengambilan Data Burung


Metode yang digunakan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi spesies
burung adalah Metode Jalur (transect). Metode jalur (transect) dan metode titik.
Metode jalur dengan lebar 50 meter. Metode titik yang digunakan yaitu IPA (Index
Point of Abundance). Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan diam pada titik
tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam rentang waktu
tertentu dan luas area tertentu. Radius pengamatan untuk setiap titik pengamatan
sejauh 50 meter dengan jarak antar titik 200 meter dan rentang waktu pengamatan
selama 20 menit. Selain itu digunakan juga daftar jenis Mackinnon (MacKinnon
1993). Untuk satu daftar list berisi 10 jenis burung berbeda.

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|3

3.2.4. Metode Pengambilan Data Herpetofauna


Beberapa metode pengambilan data untuk herpetofauna yang digunakan: Heyer et al.
(1994), yaitu dengan mencari satwa herpetofauna pada habitatnya yaitu habitat
terrestrial (darat) dan habitat akuatik (perairan). Jalur yang digunakan sepanjang
1000 meter, dengan perincian 400 meter digunakan untuk amfibi dan reptil,
sedangkan 600 meter selanjutnya hanya digunakan untuk reptil saja. Pengambilan
data dilakukan pada siang (pukul 07.00 11.00 WIB) dan malam hari (pukul 18.0021.30). Metode VES (Visual Encounter Sutvey), Time Search, mencari herpetofauna
dengan menjelajahi wilayah pengamatan ke segala arah selama waktu yang
ditentukan (umumnya selama 2-3 jam).

3.2.5. Metode Pengambilan Data Insekta


Pengambilan data insektsa dilakukan menggunakan metode meliputi (i) perangkap
jatuh (pit fall trap), (ii) hand collecting, (iii) sweep netting, dan (iv) light trapping.
a. Pit Fall Trap (Perangkap Jatuh)
Pemasangan perangkap jatuh yang diadaptasikan pada masing-masing jalur akses
mewakili kelas ketinggian, serta pada lokasi dengan ekosistem lokal yang
khusus. Setiap perangkap diletakan pada jarak 35 meter dan atau proporsional
terhadap kelas ketinggian.
Pada setiap perangkap diletakan atraktan untuk coleoptera dan campuran bahan
cairan untuk menurunkan tegangan permukaan dan mengawetkan serangga yang
terjebak. Setiap perangkap jatuh diberikan penutup untuk menghindari jatuhan
material lain dan mengurangi air hujan yang masuk ke perangkap. Pada penutup
perangkap kemudian ditulis koordinat lokasi masing-masing perangkap, kode
lokasi dan informasi lingkungan lainnya.
b. Hand collecting
Teknik penangkapan beberapa spesies insekta dengan menggunakan tangan,
terutama spesies yang ukurannya cukup besar dan mudah untuk dilakukan
penangkapannya.
c. Sweep Net
Sweeping untuk mengoleksi insekta kelompok lepidoptera dan odonata juga
dilakukan dengan menggunakan jaring serangga. Lokasi yang dipilih untuk
sweep adalah pada jalur transek dan lokasi-lokasi terpilih lainnya yang diduga
banyak terdapat kelompok lepidoptera dan odonata (purposive sampling).
Serangga yang didapat diidentifikasi di lapangan dilepaskan kembali, sedangkan
yang belum teridentifikasi dikoleksi dengan kertas papilot untuk diidentifikasi
lebih lanjut di basecamp dan untuk spesimen contoh ke laboratorium.

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|4

d. Light-Trap
Light trap dilakukan sebagai metode tambahan untuk melihat keragaman
serangga malam hari, terutama jenis-jenis coleoptera yang mungkin tidak
terkoleksi dalam perangkap jatuh. selain jenis coleoptera, serangga dominan
malam hari yang dikoleksi adalah ngengat (moth). Spesimen yang diperoleh pada
saat light traping kemudian dikoleksi untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut.
Pencatatan lainnya yang dilakukan adalah mendeskripsikan habitat sekitar lokasi
pengamatan serta ancaman yang ada bagi kelestarian hidupan insekta.

3.2.6. Metode Pengambilan Data Biota Akuatik


Pengambilan data biota akuatik khususnya untuk plaknton dan benthos dilakukan
menggunakan metode (i) penentuan titik sampling, (ii) pengamatan habitat, (iii)
penanganan sample dan (iv) identifikasi dan analisis sampel. Penentuan titik
sampling untuk plankton dan benthos dilakukan pada area anak-anak Sungai Citarum
yang berada di wilayah kawasan konservasi. Anak sungai yang dipilih adalah yang
termasuk golongan orde-3 yang lokasinya mewakili target area. Penentuan titik
sampling dilakukan diatas peta kerja secara purposive sampling. Posisi geografis titik
sampling ditera dengan GPS dan dicatat dengan field data sheet.
Pengamatan habitat mencakup penganatan parameter material dasar sungai, tataguna
lahan sepadan sungai, penutupan (kanopi sungai oleh pepohonan) dilakukan secara
visual. Sedangkan untuk parameter lingkungan seperti pH diukur dengan pH meter
atau pH paper, kecepatan arus dengan current meter atau pelampung dan stopwatch,
kedalaman sungan dengan tongkat berskala, lebar sungai dengan meteran gulung.
Teknik pengambilan sampling plankton menggunakan saringan/jaring plankton
(plankton net). Tipe, ukuran dan lebar mata jaring (mesh size) plankton net dibingkai
lingkarn logam (ring). Plankton net Kitahara mempunyai mulut berdiameter 30 cm
dengan panjang 100 cm dan mesh size 0,08mm. Bagian bawah dipasang botol
pengumpul plankton dengan volume 100 mL.Sampling plankton dengan cara
menyaring sejumlah massa air dengan jaring plankton. Sampling plankton dapat
dilakukan secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Teknik Sampling benthos menggunakan alat Eckman Grab dan Petterson Dredges,
Ponan dan Petit Ponardredges dan Surber Net. Metoda sampling yang digunakan
adalah prosedur komposit dari anak sungai yang ditargetkan/Targeted Riffle
Composite Procedure (TRC). Metoda ini merupakan metoda yang paling tepat
untuk digunakan di habitat tipe Riffles, yaitu bagian sungai yang dangkal dengan arus
kuat, air mengalir melalui bebatuan yang menimbulkan turbulensi tingkat sedang.
Penanganan sampel plankton dimasukan kedalam botol kaca atu botol polyethylin
volume 100 mL, diberi label kode stasiun dan ditambah pengawet lugol. Adapun

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|5

untuk penanganan sampel benthos dimasukkan kedalam botol kaca atau botol poly
ethylin bermulut besar yang volumenya 250 mL, diberi label kode stasiun, ditambah
dengan pengawet formalin 5-10%.
Identifikasi dan analisis sampel plankton dan benthos yang diperoleh selama survey,
dikirim ke Laboratorium perguruan tinggi atau lembaga penelitian untuk
diidentifikasi jenis dan dianalisa parameter kelimpahan, indeks keanekaragaman,
indeks keseragaman, indeks dominansinya.

3.3.

Analisis Data

3.3.1. Kelimpahan Jenis Relatif


Untuk kelimpahan jenis, digunakan nilai kelimpahan relatif. Persamaan yang dipakai
adalah persentase kelimpahan relatif (Brower dan Zar 1977), sebagai berikut:
n
Psi = i 100%
N
Keterangan :
= Nilai persen kelimpahan untuk spesies ke-i
Psi
= Jumlah individu spesies ke-i
ni
N

= Jumlah total individu

3.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies


Kekayaan jenis fauna ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman
shannon-wiener dengan rumus :
n
H I = Pi ln Pi dimana Pi = i
N
Keterangan :
= Indeks keanekaragaman jenis
HI
= Proporsi nilai penting
Pi
Ln

= Logaritma natural

Untuk menentukan keanekaragaman jenis mamalia, maka digunakan klasifikasi nilai


indeks keanekaragaman Shanon-Wieners seperti Tabel 4.1 berikut :
Tabel 3.1. Nilai dan kategori keanekaragaman jenis Shanon-Wieners
Nilai Indeks
Shannon-Wiener
>3
13

Kategori
Keanekaragaman tinggi, sebaran jumlah individu masing-masing spesies
merata dan kestabilan komunitas tinggi
Keanekaragaman sedang, sebaran jumlah individu masing-masing spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|6

Nilai Indeks
Shannon-Wiener
<1

Kategori
sedang dan kestabilan komunitas sedang
Keanekaragaman rendah, sebaran jumlah individu masing-masing spesies
tidak merata dan kestabilan komunitas rendah

3.3.3. Indeks Kemeraatan Spesies


Untuk kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara
setiap jenis dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai
Evennes adalah:
HI
E=
Ln S
Keterangan :
E
= Indeks kemerataan Jenis
I
= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
H
S
= Jumlah spesies

3.3.4. Pendugaan Kepadatan Populasi


Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan kepadatan populasi adalah data
yang diperoleh dari perjumpaan langsung dengan satwa. Berikut adalah persamaan
atau rumus yang digunakan dalam menghitung pendugaan kepadatan populasi:
-

Intensitas sampling (%) =

Kepadatan (ind/ha) =

total luas jalur yang diamati


100%
luas kawasan

total individu yang terdeteksi di dalam jalur


luas jalur yang diamati

3.3.5. Analisis Vegetasi


Analisis vegetasi untuk mendeskripsikan habitat dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut:
Jumlah individu suatu jenis
- Kerapatan suatu jenis (K) =
Luas unit contoh
Kerapatan suatu jenis (K)
- Kerapatan Relatif (KR) =
100%
Kerapatan total jenis
Jumlah plot ditemukan suatu jenis
- Frekuensi suatu jenis (F) =
100%
Jumlah total plot

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|7

Frekuensi suatu jenis (F)


100%
Total frekuensi
Luas bidang dasar suatu jenis
Dominansi suatu jenis (D) =
100%
Luas unit contoh
Dominansi suatu jenis (DR)
Dominansi Relatif (DR) =
100%
Dominansi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR
Indeks Nilai Penting (Semai) = KR + FR
Frekuensi Relatif (FR) =

Parameter yang diperlukan dalam menghitung ketiga nilai tersebut adalah jumlah
individu setiap plot, jumlah individu seluruh plot, luasan area plot, dan basal area
(BA) tiap individu dar suatu jenis tumbuhan. Nilai basal area dihitung berdasarkan
diameter (d) dari setiap individu yang diukur. Selanjutnya nilai (d) dikonversi
menjadi nilai jari-jari pohon (r), dimana nilai r = 1/2 d. Nilai r ini masih dalam
satuan cm2 dan harus dikonversikan menjadi satuan m2, karena satuan plot yang
digunakan adalah m2. Untuk mendapatkan nilai BA dihitung menggunakan rumus
luas lingkaran, yaitu A = BA = r2, adalah konstanta yang memiliki nilai setara
dengan 22/7 atau 3,14, r adalah jari-jari pohon setiap individu dari suatu jenis. Nilai
BA setiap individu dari satu jenis dijumlahkan, lalu setiap jenis dihitung rata-rata BA
nya. Nilai parameter BA ini digunakan untuk menghitung nilai dominansi suatu
spesies pohon.
Analisa lainnya adalah jenis-jenis dominan di dalam plot, yang menggunakan rumus
rangking pada setiap jenis dan pengurutan secara otomatis akan berlangsung.
Penghitungan dominansi jenis pohon dalam luasan hektar (Ha) adalah didapatkan
dengan mengalikan nilai dominansi mutlak setiap jenis dengan 5. Angka ini di dapat
dengan menghitung luasan seluruh plot kuadrat yang diteliti dan didapat luasan 2000
m2. Sementara satuan luas Ha adalah sama dengan 10.000 m2. Jadi untuk
mendapatkan nilai dominansi spesies pohon per hektar harus mengalikannya dengan
5.

3.3.6. Status Perlindungan


Untuk mengetahui status perlindungan tumbuhan dan satwa dengan menggunakan
kategori yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN), Convention of International Trade in Endangered
Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1999.
a) IUCN
IUCN merupakan suatu organisasi profesi tingkat dunia yang memantau keadaan
populasi suatu spesies hidupan liar (flora dan fauna) dan banyak memberikan
rekomendasi dalam hal penanganan terhadap suatu spesies hidupan liar yang
terancam kepunahan. Seluruh hidupan liar yang berada dalam kategori

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|8

membahayakan untuk punah dituangkan dalam daftar yang disebut IUCN Red
List Data Book, dengan mengklasifikasikan berdasarkan tingkat ancaman
kepunahannya masing-masing. Kategori dan kriteria kelangkaan menurut IUCN
pada kajian ini hanya didasarkan pada tiga saja yaitu:

Kritis (Critically Endangered = ER). Diterapkan pada takson yang


keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam
dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada usaha penyelamatan yang
berarti untuk melindungi populasinya dan segera dimasukkan ke dalam
kategori EW.

Genting (Endangered = EN). Diterapkan pada takson yang tidak termasuk


dalam kategori CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di
alam dan dimasukkan kedalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan
perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan.

Rawan (Vulnerable = VU). Diterapkan pada takson yang tidak termasuk


dalam kategori CR atau EN namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi
di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW.

b) CITES
CITES adalah suatu kesepakatan bersama tingkat internasional yang dicanangkan
pada tahun 1973 dan mulai diaktifkan peraturan konvensinya pada tanggal 1 Juli
1975 dalam hal perdagangan internasional hidupan liar (flora dan fauna).
Perjanjian ini dibentuk setelah adanya kerisauan akan semakin menurunnya
populasi hidupan liar akibat adanya perdagangan internasional.
Dalam kegiatannya, CITES mengeluarkan daftar hidupan liar yang termasuk
dalam kategori kelangkaan yang disebut dengan Appendix, yang juga telah
diadopsi oleh Indonesia.
Kategori kelangkaan akibat perdagangan menurut CITES adalah:

Appendix I adalah semua spesies hidupan liar yang terancam (threatened)


dari kepunahan (extinction) yang dapat atau kemungkinan dapat disebabkan
oleh adanya tindakan perdagangan internasional. Penjualan dari jenis
kehidupan liar dalam kategori ini hanya dapat dilakukan setelah melalui
proses pengaturan atau kajian yang sangat ketat dengan maksud tidak
menambah tingkat tekanan terhadap kemampuan hidupnya (survival) dan
hanya bisa dilakukan dengan alasan yang sangat kuat.

Appendix II adalah (a) semua spesies hidupan liar walaupun tidak dalam
kondisi terancam dari kepunahan, tetapi dapat menjadi terancam, terkecuali
perdagangan terhadap kehidupan liar tersebut dikenai suatu peraturan yang
ketat dalam rangka menghindari pemanfaatan yang tidak sepadan dengan
daya kemampuan hidupnya, (b) hidupan liar lainnya yang perlu dikenai
pengaturan dengan maksud bahwa perdagangan hidupan liar tersebut

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3|9

menghindari pemanfatan yang tidak sepadan dengan adanya kemampuan


hidupnya, dan (c) dapat dilakukan pengontrolan secara efektif.

Appendix III adalah semua spesies hidupan liar dimana semua pihak telah
mengidentifikasinya sebagai bahan perdagangan yang dapat diterapkan sesuai
dengan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah, dengan maksud
mencegah atau membatasi eksploitasi lewat kerjasama dengan semua pihak
terkait dalam pengawasan perdagangan.

c) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999


Peraturan ini berisi tentang pengawetan spesies tumbuhan dan satwa karena
dipandang bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumberdaya alam yang
tidak ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga. Peraturan
pemerintah ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Analisa vegetasi untuk Taksa Flora di Cagar Alam Gunung Tilu (CAGT), adalah
berdasarkan plot kuadrat dan transek sabuk/ jalur pada ketinggian 1200-1500 m dpl,
1500-1800 m dpl, dan > 1800 m dpl. Data analisa yang didapatkan berupa frekuensi
mutlak dan relative, kerapatan mutlak dan relative, dan dominansi mutlak dan
relative. Dari ke tiga data tersebut, diperoleh indeks nilai penting (INP) dari lokasi.
Parameter yang diperlukan dalam menghitung ketiga nilai tersebut adalah jumlah
individu setiap plot, jumlah individu seluruh plot, luasan area plot, dan basal area
(BA) tiap individu dar suatu jenis tumbuhan. Nilai basal area dihitung berdasarkan
diameter (d) dari setiap individu yang diukur. Selanjutnya nilai (d) dikonversi
menjadi nilai jari-jari pohon (r), dimana nilai r = 1/2 d. Nilai r ini masih dalam
satuan cm2 dan harus dikonversikan menjadi satuan m2, karena satuan plot yang
digunakan adalah m2. Untuk mendapatkan nilai BA dihitung menggunakan rumus
luas lingkaran, yaitu A = BA = r2, adalah konstanta yang memiliki nilai setara
dengan 22/7 atau 3,14, r adalah jari-jari pohon setiap individu dari suatu jenis. Nilai
BA setiap individu dari satu jenis dijumlahkan, lalu setiap jenis dihitung rata-rata BA
nya. Nilai parameter BA ini digunakan untuk menghitung nilai dominansi suatu
spesies pohon.

Analisa lainnya adalah jenis-jenis dominan di dalam plot, yang menggunakan rumus
rangking pada setiap jenis dan pengurutan secara otomatis akan berlangsung.
Penghitungan dominansi jenis pohon dalam luasan hektar (Ha) adalah didapatkan
dengan mengalikan nilai dominansi mutlak setiap jenis dengan 5. Angka ini di dapat
dengan menghitung luasan seluruh plot kuadrat yang diteliti dan didapat luasan 2000
m2. Sementara satuan luas Ha adalah sama dengan 10.000 m2. Jadi untuk
mendapatkan nilai dominansi spesies pohon per hektar harus mengalikannya dengan
5.

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3 | 10

Nilai keragaman komunitas atau habitat didapat dengan menggunakan rumus seperti
pada Bab 3.1.2.5. Metode Analisis Vegetasi Kuadrat, poin F. Indeks Keragaman
flora, yaitu Nilai H dari Shannon-Wiener dari satu lokasi atau area. H diperoleh
dari nilai INP setiap jenis (ni) yang dibagi dengan nilai total INP (N). Hasil
pembagian nilai tersebut dikonversi menjadi nilai logaritma (Ln). Karena seluruh
hasil nilai logaritma adalah negative (-), maka nilai jumlah total () ditambahkan
tanda negative (-) di depannya, menjadi - , agar nilai akhirnya menjadi positif (+).

Laporan Kajian Flora dan Fauna vBBKSDA Jawa Barat (12.2013)

3 | 11

4. Hasil dan Pembahasan


4.1.

Kajian Biodiversitas di Cagar Alam Gunung Tilu

4.1.1.

Flora

4.1.1.1. Kekayaan Spesies


Hasil observasi, survey, dan penelitian pada ke 7 (tujuh) lokasi Kawasan Konservasi
Wilayah pengelolaan BBKSDA Jawa Barat terhadap kekayaan jenis flora pada
masing-masing lokasi ditampilkan pada table 4.1 berikut :
Tabel 4.1. Sebaran flora berdasarkan sistematiknya pada tiap kawasan konservasi
di wilayah pengelolaan BKSDA Jawa Barat.
Kawasan Konservasi

Divisio

Kelas

Ordo

Famili

Spesies

CAGT

46

81

323

CAKK

48

85

300

CAGB

39

64

224

CAGTP

35

54

127

TWAKK

32

59

145

TWA-GTP

22

TBGMK

10

20

79

Berdasarakn table tersebut, maka dapat dilihat kekayaan jumlah flora berdasarkan
kategori sistematiknya dalah sebagai berikut :

Sumber : Data Primer 2013 (Survey Biodiversity Flora)

Gambar 4.1. Grafik Kekayaan spesies flora pada setiap kawasan konservasi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|1

Kekayaan Famili per lokasi

Sumber : Data Primer 2013 (Survey Biodiversity Flora)

Gambar 4.2. Grafik Kekayaan family flora pada setiap kawasan ko nservasi

Sumber : Data Primer 2013 (Survey Biodiversity Flora)

Gambar 4.3. Grafik Kekayaan ordo flora pada setiap kawasan konservasi

Sumber : Data Primer 2013 (Survey Biodiversity Flora)

Gambar 4.4. Grafik Kekayaan kelas flora pada setiap kawasan konservasi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|2

Sumber : Data Primer 2013 (Survey Biodiversity Flora)

Gambar 4.5. Grafik Kekayaan division flora pada setiap kawasan konservasi
Hasil secara lengkap daftar spesies flora untuk tiap lokasi Kawasan Konservasi
Wilayah BBKSDA Jawa Barat di lampirkan pada lampiran 1.
Dari 142 jenis pakis dan paku-pakuan yang telah teridentifikasi tersebut, berdasarkan
system Smith, Alan R.; Kathleen M. Pryer, Eric Schuettpelz, Petra Korall, Harald
Schneider, & Paul G. Wolf (2006) dapat digolongkan menjadi 4 (empat) kelas yaitu
Psilotopsida, Equisetopsida, Marattiopsida dan Polypodiopsida nya menjadi 2 (dua)
kelas saja yaitu Lycopodiopsida dan Polydiopsida.
Pada salah satu kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Kawah Kamojang (CAKK)
masih ditemukan jenis paku (fern) yang termasuk dalam Kelas Equisetopsida,
dimana jenis ini telah ada sejak 100 juta tahun lalu (Zaman Hutan Paleozoic). Jenis
ini lebih dikenal dengan nama Paku ekor-kuda karena kemiripannya dengan ekor
kuda.
Kelompok Paku dan pakis-pakisan ini menurut Sistem Klasifikasi Smith (2006),
diklasifikasikan menjadi :
Tabel 4.2. Kekayaan flora berdasarkan sistematik paku dan pakis-pakisan
Taksonomi
Divisio
Kelas
Ordo
Famili
Jenis

Jumlah
2
5

Keterangan
1 Kelas Equisetopsida termasuk species
purba dan 1 Kelas Marattiopsida hanya
memiliki 1 genus.

8
23
142

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|3

Gambar 4.6. Grafik persentase dan jumlah kekayaan paku dan pakis-pakisan di ke 7
(tujuh) lokasi Kawasan Konservasi Wilayah pengelolaan BBKSDA Jawa
Barat.
Sementara itu, species flora dari Divisio Pinophyta dan Divisio Magnoliophyta yang
berhasil ditemukan (lampiran 1) adalah sebanyak 1 spesies dari kelas Pinopsida, 627
spesies dari Kelas Liliopsida 214 species terdiri dari keluarga talas-talasan, palempaleman, canar-canaran, rumput-rumputan, jahe-jahen dan anggrek dan sebanyak
413 species termasuk dalam Kelas Magnoliopsida, yang terdiri dari berbagai
keluarga herba, semak, dan pepohonan, termasuk anggrek-angrekan. Kekayaan
spesies per lokasi dapat dilihat pada table 4.1.1.1.
Lain halnya dengan system klasifikasi tumbuhan berbiji (spermatophyta), sistem
klasifikasi tumbuhan berbiji (kelompok conifer, herba, semak, liana dan pepohonan
termasuk anggrek), mengacu pada Sistem Cronquist (1988). Sistem taksonominya
dapat dilihat pada table 4.3 berikut :
Tabel 4.3. Kekayaan jenis flora berdasarkan sistematika tumbuhan berbiji
(Spermatophyta).
Taksonomi
Divisio
Kelas
Ordo
Famili
Sesies

Jumlah

Keterangan

2 Pinophyta dan Magnolio[hyta


3 Pinopsida,
Liliopsida
dan
Magnoliopsida
55 Sebanyak 27 ordo hanya memiliki 1
Famili
102
628

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|4

Gambar 4.7. Grafik jumlah kekayaan dan persentase tumbuhan berbiji (Spermatophyta) di
ke 7 (tujuh) lokasi Kawasan Konservasi Wilayah pengelolaan BBKSDA Jawa
Barat.

Hasil penghitungan rangking terhadap nilai dominansi tingkat pohon di Kawasan


CAGT pada ketinggian 1500 1800 m dpl menghasilkan 5 (lima) jenis paling
mendominasi yaitu Manggong (Macaranga rhizinoides), Pingku (Dysoxylum
exelsum), Jarah Anak (Castanopsis acuminatissima), Tunggeureuk (Castanopsis
tungurrut), dan Ki Kuray (Trema orientalis), seperti terlihat pada Tabel 4.6. dan
Gambar 4.8.
Tabel 4.4. Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAGT Pada Ketinggian 1500 1800 m dpl
Kode
Mr
De
Ca
Ct
To

Nama Daerah
Manggong
Pingku
Jarah Anak
Tunggeureuk
Ki Kuray

Nama Latin
Macaranga rhizinoides
Dysoxylum exelsum
Castanopsis acuminatissima
Castanopsis tungurrut
Trema orientalis

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

0,000259
0,000251
0,000158
0,000106
0,000083

14,330924
13,905081
8,768892
5,866206
4,597368

0,001294
0,001256
0,000792
0,000530
0,000415

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|5

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.8. . Grafik 5 (lima) spesies pohon paling dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500-1800 mdpl
Penghitungan analisis INP tingkat tiang yang dilakukan di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1500 1800 m dpl dapat dilihat pada Tabel 4.7. Hasil penghitungan
berupa grafik INP tersaji pada Gambar 4.9.
Tabel 4.5. Indeks Nilai Penting tingkat Tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500
1800 m dpl.
Kode

Nama
Daerah

Heas
Vr
Cj
Ltsp

Heas
Nangsi
Saninten
Pasang

Nama Latin
Villebrunea rubescens
Castanopsis javanica
Lithocarpus sp.

Famili
Urticaceae
Fagaceae
Fagaceae

Jumlah

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

25,00
25,00
25,00
25,00

12,50
12,50
25,00
50,00

21,86
15,91
23,27
38,96

100,00

100,00 100,00

INP (%)
59,36
53,41
73,27
113,9
6
300,00

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|6

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.9. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500-1800
mdpl
Hasil penghitungan rangking terhadap nilai dominansi tingkat tiang di Kawasan
CAGT pada ketinggian 1500 1800 m dpl menghasilkan hanya 4 (empat) jenis
paling mendominasi yaitu Pasang (Lithocarpus sp.), Saninten (Castanopsis
javanica), Heas, dan Nangsi (Villebrunea rubescens), seperti terlihat pada Tabel 4.8.
dan Gambar 4.10.
Tabel 4.6. Lima Spesies tingkat tiang paling Dominan di Kawasan CAGT Pada Ketinggian
1500 - 1800 m dpl
Kode

Nama
Daerah

Ltsp
Cj
Heas
Vr

Pasang
Saninten
Heas
Nangsi

Nama Latin
Lithocarpus sp.
Castanopsis javanica
Villebrunea rubescens

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(%)

(m2/ ha)

(m )
0,000060
0,000036
0,000034
0,000025

38,956178
23,271861
21,858490
15,913471

0,000300
0,000179
0,000168
0,000123
0,000168

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|7

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.10. .Grafik Lima spesies tingkat pohon dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1200-1500 m dpl

Hasil penghitungan terhadap Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang di Kawasan
CAGT pada ketinggian 1500 1800 m dpl juga disajikan pada Tabel 4.9. Grafik
hasil analisa dapat dilihat pada Gambar 4.11./
Tabel 4.7. Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500
1800 m dpl
Kode
Ea
Eusp
Cr
Vr
Ca
Ltsp
Sw
Fisp
Lf
Mr
Mb
Fr

Nama
Daerah
Kayu Putih
Kayu Putih
(beureum)
Kopi
Nangsi
Ki Hiur
Pasang
Puspa
Hamerang
Alit
Huru Batu
Manggong
Manglid
Walen

Nama Latin
Eucalyptus alba
Eucalyptus sp.
Caffea robusta
Villebrunea rubescens
Castanopsis argantea
Lithocarpus sp.
Schima wallichii
Ficus sp.
Litsea fulva
Macaranga rhizinoides
Magnolia blumei
Ficus ribes
Jumlah

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP (%)

Myrtaceae

8,33
8,33

7,41
3,70

9,64
4,77

25,38
16,81

8,33
8,33
8,33
8,33
8,33
8,33

22,22
14,81
7,41
14,81
3,70
3,70

2,18
31,90
1,44
31,10
1,41
3,79

32,74
55,04
17,18
54,25
13,45
15,83

8,33
8,33
8,33
8,33

3,70
3,70
11,11
3,70

3,79
2,63
5,07
2,29

15,83
14,67
24,51
14,33

100,00 100,00 100,00

300,00

Myrtaceae
Rubiaceae
Urticaceae
Fagaceae
Fagaceae
Theaceae
Moraceae
Lauraceae
Euphorbiaceae
Magnoliaceae
Moraceae

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|8

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.11. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500-1800 m
dpl

Hasil penghitungan INP tingkat semai/ anakan di Kawasan CAGT pada ketinggian
1500-1800 m dpl dapat dilihat pada Tabel 4.10. dan Gambar 4.12.
Tabel 4.8.

Kode
Rc
Vr
Ltsp
Sw
At

Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500
1800 m dpl

Nama
Daerah
Ki Beusi
Nangsi
Pasang
Puspa
Ki Jeruk

Nama Latin
Rhodamnia cinerea
Villebrunea
rubescens
Lithocarpus sp.
Schima wallichii
Antiaris toxicaria
Jumlah

Famili
Myrtaceae
Urticaceae
Fagaceae
Theaceae
Moraceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP (%)

20,00
20,00

20,00
20,00

20,00
20,00

60,00
60,00

20,00
20,00
20,00

20,00
20,00
20,00

20,00
20,00
20,00

60,00
60,00
60,00

100,00 100,00 100,00

300,00

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4|9

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.12. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 1500-1800
mdpl

Selain itu, dihitung pula spesies paling mendominasi area untuk lima spesies tingkat
semai/ anakan di CAGT pada ketinggian 1500 1800 m dpl. Hasil tersebut disajikan
pada Tabel 4.11. dan Gambar 4.13.
Tabel 4.9.

Kode
Rc
Vr
Ltsp
Sw
At

Lima Spesies Semai/ Anakan Dominan di Kawasan CAGT Pada


Ketinggian 1500 - 1800 m dpl (%)

Nama Daerah
Ki Beusi
Nangsi
Pasang
Puspa
Ki Jeruk

Nama Latin
Rhodamnia cinerea
Villebrunea rubescens
Lithocarpus sp.
Schima wallichii
Antiaris toxicaria

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

0,000004
0,000004
0,000004
0,000004
0,000004

20,00
20,00
20,00
20,00
20,00

0,000020
0,000020
0,000020
0,000020
0,000020

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 10

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.13. Grafik spesies paling dominan untuk tingkat semai/ anakan di
Kawasan CAGT pada ketinggian 1500-1800 mdpl
Sama halnya dengan lokasi-lokasi sebelumnya, kajian flora berupa analisa
parameter-parameter lapangan juga dilakukan pada ketinggian > 1800 m dpl. Hal ini
menambah kesempurnaan data flora pegunungan. Berikut hasil analisa penghitungan
Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.12. dan
Gambar 4.14.
Tabel 4.10. Indeks Nilai Penting tingkat Semai/ Anakan di Kawasan CAGT Pada
Ketinggian > 1800 m dpl (%)
Kode

Nama
Daerah

Hades
Ltsp
Sw

Hades
Pasang
Puspa

Ca

Jarah Anak

Es
Pij
De
Ss

Ki Hujan
Pijigan
Pingku
Ki Tebe
Pasang
Taritih

Ltsp
Cj

Saninten

Nama Latin

Famili

Lithocarpus sp.
Schima wallichi
Castanopsis
acuminatissima
Engelhardia serata

Fagaceae
Theaceae

Dysoxylum exelsum
Sloanea sigun

Meliaceae
Elaeocarpaceae

Lithocarpus sp.

Fagaceae

Castanopsis
javanica

Fagaceae

Fagaceae
Juglandaceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

3,84615 3,84615
7,69231 7,69231
23,0769 23,0769

2,13
4,26
23,40

8,10
16,20
69,89

23,0769
11,5385
3,84615
3,84615
3,84615

44,68 112,44
8,51 28,56
2,13
8,10
2,13
8,10
2,13
8,10

23,0769
11,5385
3,84615
3,84615
3,84615

3,84615 3,84615

2,13

8,10

3,84615 3,84615

2,13

8,10

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 11

Kode

Nama
Daerah

Lf

Huru Batu

Md

Cerem

Ec

Ki Tambaga

Nama Latin

Famili

Litsea fulva
Macropanax
dispermum
Euginea cuprea
Jumlah

Lauraceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

3,84615 3,84615

Araliaceae
Myrtaceae

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Drelatif
(%)

INP
(%)

2,13

8,10

3,84615 3,84615
2,13
8,10
3,84615 3,84615
2,13
8,10
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.14. Grafik INP tingkat semai/ anakan di Kawasan CAGT pada ketinggian
1200-1500 m dpl.
Dari ke tiga belas jenis yang terdata dalam plot, tercatat lima jenis paling dominan
seperti pada Tabel 4.13dan Gambar 4.15
Tabel 4.11. Lima Spesies Pohon Dominan di Kawasan CAGT Pada Ketinggian > 1800
m dpl (%).
Kode
Ca
Sw
Es
Ltsp

Nama Daerah
Jarah Anak
Puspa
Ki Hujan
Pasang

Nama Latin
Castanopsis
acuminatissima
Schima wallichi
Engelhardia serata
Lithocarpus sp.

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

0,003516 44,680851

0,017582

0,000844 23,404255
0,000710 8,510638
0,000157 4,255319

0,004219
0,003548
0,000785

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 12

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.15. Lima species pohon paling dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m
Tabel 4.12. Indeks Nilai Penting tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian
>1800 m dpl.
Kode
Lisp
Ltsp
Sw
Ca
Hrbuah
Mt
Car
Va
Lf
Ki batu
Md
Rc
Es
Gm

Nama
Daerah
Huru
Pasang
Puspa
Jarah
Anak
Huru
Buah
Huru
Hiris
Ki Hiur

Nama Latin

Famili

Litsea sp.
Lithocarpus sp.
Schima wallichii
Castanopsis
acuminatissima

Lauraceae
Fagaceae
Theaceae
Fagaceae

Mastixia trichotoma

Cornaceae

Castanopsis
argantea
Hamirung Vernonea arborea
Huru
Litsea fulva
Batu
Ki Batu
Cerem
Macropanax
dispermum
Ki Beusi
Rhodamnia cinerea
Ki Hujan Engelhardia serata
Ki Hu'ut
Glochidion molle
Jumlah

Fagaceae
Asteraceae
Lauraceae
Araliaceae
Myrtaceae
Juglandaceae
Phyllanthaceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

4,54545
9,09091
18,1818

3,85
11,54
15,38

3,85
11,54
15,38

12,24
32,17
48,95

13,6364

11,54

11,54

36,71

4,54545

3,85

3,85

12,24

4,54545

3,85

3,85

12,24

4,54545
9,09091

3,85
11,54

3,85
11,54

12,24
32,17

9,09091
4,54545

11,54
3,85

11,54
3,85

32,17
12,24

4,54545
4,54545
4,54545
4,54545
100

3,85
3,85
3,85
7,69
100

3,85
3,85
3,85
7,69
100

12,24
12,24
12,24
19,93
300

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 13

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.16. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian >1800 m
Hasil analisa terhadap flora tingkat tiang di CAGT pada ketinggian >1800 mdpl
menunjukkan keunikan tersendiri, yaitu seperti ditunjukkan pada Gambar 4.16,
grafik lima spesies dominan di kawasan CAGT pada ketinggian >1800 mdpl.
Dominansi spesies hanya ditunjukkan oleh satu jenis saja, yaitu spesies Puspa,
Schima walichii, dengan nilai dominasi 15,38%. Spesies-spesies lainnya berbagi
persentase yang sama dalam mendominasi kawasan, yaitu seperti spesies Pasang
(Lithocarpus sp.), Jarah Anak (Castanopsis acuminatissima), Hamirung (Vernonia
arborea), dan Huru Batu (Litsea fulva). Pada dominansi level ke ketiga, hanya satu
spesies, Ki Huut (Glochidion molle) dengan 7,69 %. Level keempat, lebih banyak
lagi spesies berbagi nilai dominansinya dengan spesies lainnya, yaitu sebanyak 8
(delapan) spesies, yaitu Huru (Litsea sp.), Huru Buah, Huru Hiris (Mastixia
trichotoma), Ki Hiur (Castanopsis argentea), Ki Batu, Cerem (Macropanax
dispermum), Ki Beusi (Rhodamnia cinerea) dan Ki Hujan (Engelhardia serata)
dengan nilai dominansi 3,85%. Grafik lima spesies yang mendominasi ditunjukkan
pada Gambar 4.17.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 14

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.17. Lima species pohon paling dominan di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m
Tabel 4.13. Indeks Nilai Penting tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian
>1800 m dpl.
Kode
Lisp
Ca
Pn
Am
Ltsp
Sw
Cj
Lf
Ap
Kcong
De
Ob
Fr
Ff
Md
Pr

Nama
Daerah
Huru
Jarah Anak
Ki putri
Ki
Harendong
Pasang
Puspa
Saninten
Huru Batu
Jeruk
Leuweung
Ki
Congcorang
Pingku
Sauheun
Walen
Beunying
Cerem
Huru

Nama Latin

Famili

Litsea sp.
Castanopsis
acuminatissima
Podocarpus
neriifolius
Astronia
macrophylla
Lithocarpus sp.
Schima wallichii
Castanopsis
javanica
Litsea fulva
Acronychia
pedunculata

Lauraceae
Fagaceae

Dysoxylum exelcum
Orophea bexandra
Ficus ribes
Ficus fistulosa
Macropanax
dispermum
Persea rimosa

Meliaceae
Annonaceae
Moraceae
Moraceae
Aralliaceae

Podocarpaceae
Melastomaceae
Fagaceae
Theaceae
Fagaceae
Lauraceae
Rutaceae

Lauraceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

2,63158

1,92

1,92

6,48

2,63158

1,92

1,92

6,48

2,63158

3,85

3,85

10,32

2,63158
10,5263
7,89474

1,92
9,62
5,77

1,92
9,62
5,77

6,48
29,76
19,43

2,63158
7,89474

5,77
13,46

5,77
13,46

14,17
34,82

7,89474

15,38

15,38

38,66

2,63158
2,63158
2,63158
2,63158
2,63158

1,92
1,92
1,92
3,85
1,92

1,92
1,92
1,92
3,85
1,92

6,48
6,48
6,48
10,32
6,48

5,26316
2,63158

3,85
1,92

3,85
1,92

12,96
6,48

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 15

Kode
Apct
Es
Masp
Rc
Car
At
La
Va
Di
Kibatu
Sb

Nama
Daerah
Leu'eur
Ki Cengek
Ki Hujan
Mara
Ki Beusi
Ki Hiur
Ki Jeruk
Huru
Koneng
Hamirung
Jamuju
Ki Batu
Ki Leho

Nama Latin

Famili

Frelatif
(%)

Acrondia puncata
Engelhardia serata
Macaranga sp.
Rhodamnia cinerea
Castanopsis
argantea
Antiaris toxicaria
Litsea angulata

Elaeocarpaceae
Juglandaceae
Euphorbiaceae
Myrtaceae
Fagaceae

2,63158
2,63158
2,63158
5,26316

1,92
1,92
1,92
3,85

1,92
1,92
1,92
3,85

6,48
6,48
6,48
12,96

2,63158
2,63158

1,92
1,92

1,92
1,92

6,48
6,48

Vernonia arborea
Dacrycarpus
imbricatus

Asteraceae
Podocarpaceae

2,63158
2,63158

1,92
1,92

1,92
1,92

6,48
6,48

Saurauia bracteosa

Actinidiaceae

2,63158
2,63158
2,63158
100

1,92
1,92
1,92
100

1,92
1,92
1,92
100

6,48
6,48
6,48
300

Moraceae
Lauraceae

Jumlah

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.18. Grafik INP tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian >1800
m

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 16

4.1.1.2. Indeks Keragaman Spesies


Hasil penghitungan nilai indeks keragaman spesies flora untuk tingkat pohon, tiang,
pancang, dan semak pada ketinggian 1.200 1.500 mdpl di kawasan CAGT
ditunjukkan pada Gambar 4.19 hingga Gambar 4.22.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.19. Grafik Indeks Keragaman Tingkat Pohon di Kawasan CAGT pada ketinggian
1200-1500 m dpl.

Keterangan: Fd = Ficus diversifolia; Lisp1 = Litsea sp.; Ca = Castanopsis acuminatissima; Pa = Prunus arborea; Lc =
Leucosyke capitellata; Es = Engelhardia serata; Ss = Sloanea sigun; Pp = Pometia pinnata; Mb = Magnolia
blumei; Vr = Villebrunea rubescens; Ltsp = Lithocarpus sp.; De = Dysoxylum exelsum; Ds = Dendrocnide sinuate;
Ae = Altingia excels; Cj = Castanopsis javanica

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.20. Grafik Indeks Keragaman Tingkat Tiang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1200-1500 m dpl

Keterangan: Lisp1 = Litsea sp1 (Huru); Es = Engelhardia serata (Ki Hujan); Lisp2 =Litsea sp2 (Mangprang);
LtspLithocarpus sp. (Pasang); Pa = Prunus arborea (Kawuyang); Ds = Dendrocnide sinuata *) (Pulus); Cj =
Castanopsis javanica (Saninten)[ Ca = Castanopsis acuminatissima (Jarah Anak); Ap = Acronychia pedunculata**)
(Jeruk Leuweung); De = Dysoxylum exelsum (Pingku)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 17

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.21. Grafik Indeks Keragaman Tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian 1200-1500 m dpl

Keterangan: Mcsp = Macaranga sp. (Mara); Ltsp = Lithocarpus sp. (Pasang); Ob = Orophea hexandra (Sauheun);
Sr = Sterrculia rubignosa (Hantap Leuweung); Ss = Sloanea sigun (Ki Tebe); Fm = Ficus magnoliafolia (Kopeng); Vr
= Villebrunea rubescens (Nangsi); Ds = Dendrocnide sinuata *) (Pulus); Fr = Ficus ribes (Walen); To-= Trema
orientalis (Ki Kurai); Mb = Magnolia blumei (Baros);; Ff = Ficus fistulosa (Beunying); Absp = Abutuilon sp.
(Bintinu); Lisp = Litsea sp1 (Huru); Sp1 = Ki hampelas; De = Dysoxylum exelcum (Pingku); Hm = Hibiscus
macrophyllus (Tisuk); Fd = Ficus difersifolia (Hamerang); As = Actinodaphne sphaerocarpa Huru( Hiris); La =
Litsea angulata (Huru Koneng); Ca = Castanopsis acuminatissima (Jarah Anak); Ap = Acronychia pedunculata
(Jeruk Leuweung); At = Antiaris toxicaria (Ki Jeruk); Gr = Glochidion rubrum (Ki Pare)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.22. Grafik Indeks Keragaman Tingkat Semai/ Anakan di Kawasan CAGT
pada ketinggian 1200-1500 m dpl

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 18

Hasil kajian terhadap keragaman spesies di CAGT pada ketinggian 1500 1800 m
dpl menghasilkan grafik keragaman berbagai spesies flora tingkat pohon seperti pada
Gambar 4.23. Penghitungan juga dilakukan untuk tingkat tiang, pancang dan semai/
anakan pada lokasi tersebut. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.24 hingga
Gambar 4.26.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.23. Grafik Keragaman tingkat pohon di Kawasan CAGT pada ketinggian
1500-1800 mdpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.24. Grafik Keragaman tingkat tiang di Kawasan CAGT pada ketinggian 15001800 mdpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 19

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.25. Grafik Keragaman tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 15001800 mdpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.26. Grafik Keragaman tingkat pancang di Kawasan CAGT pada ketinggian 15001800 mdpl.

Hasil kajian terhadap keragaman spesies di CAGT pada ketinggian di atas 1800 m
dpl menghasilkan grafik keragaman berbagai spesies flora tingkat pohon seperti pada
Gambar 4.27. Penghitungan juga dilakukan untuk tingkat tiang dan pancang pada
lokasi tersebut. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.28 dan Gambar 4.29.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 20

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.27. Grafik Keragaman spesies tingkat Pohon di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.28. Grafik Keragaman spesies tingkat Tiang di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 21

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.29. Grafik Keragaman spesies tingkat Pancang di Kawasan CAGT pada
ketinggian >1800 m

4.1.1.3. Status Konservasi


Berdasarkan status keterancaman menurut ICUN, dijumpai satu spesies yang
termasuk kategori rentan (Vulnerable/VU), yaitu Pinus merkusii. Satu spesies
lainnya yaitu Paphiopedilum javanicum termasuk dalam kategori Appendix I CITES,
artinya spesies yang tidak boleh diperdagangkan sama sekali. Dari 34 spesies
dimasukkan ke dalam kategori Appendix II CITES dan dua spesies, yaitu
Ascocentrum miniatum (Anggrek kebutan) dan Macodes petolai (Anggrek ki aksara)
termasuk dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 tentang Jenis-jenis Fauna dan
Flora yang Dilindungi di Indonesia. Secara lengkap status konservasi spesies yang
dijumpai di kawsan CAGT ditunjukkan pada Tabel 4.16.
Tabel 4.14. Status konservasi spesies yang dijumpai di Kawasan CAGT
No

Spesies

IUCN
VU

CITES
I

II

Agrostophyllum bicuspidatum

Appendicula angustifolia

Appendicula elegans

Arundina graminiflora

Calanthe triplicata

Coelgyne miniata

Coelgyne speciosa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

UU RI

4 | 22

No

Spesies

IUCN
VU

CITES
I

II

Corymborkis veratrifolia

Cymbidium bicolor

10

Cymbidium ensifolium

11

Cymbidium lancifolium

12

Cymbidium roseum

13

Dendrobium crumenatum

14

Dendrobium montanum

15

Dendrochillum simile

16

Epigeneium cymbioides

17

Eria javanica

18

Eria lamongensis

19

Flickengeria angustifolia

20

Goodyera rubicunda

21

Liparis latifolia

22

Liparis viridiflora

23

Macodes petola

24

Nephelaphyllum tenuifolium

25

Paphiodilum javanicum

26

Phaius flavus

27

Phaius tankervillae

28

Pholidota carnea

29

Schoenorchis juncifolia

30

Spathoglottis plicata

31

Vanda tricolor var. suavis

32

Pinus merkusii

33

Nepenthes ampullaria

34

Nepenthes gymnaphora

Jumlah

UU RI

23

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

4.1.1.4. Deskripsi Spesies Penting


Selama ini, masyarakat umum tidak cukup mengenal keberadaan status perlindungan
spesies flora seperti Pinus merkusii, yang sangat umum kita kenal. Namun, dalam
tataran status perlindungannya, IUCN Redlist species memasukkannya dalam
kategori Vulnerable (VU), yaitu mengacu pada daerah sebaran, endemisitas spesies,
sejarah keberadaannya, serta tingkat pemanfaatannya di pasaran termasuk tinggi.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 23

Beberapa spesies yang dijumpai memiliki kepentingan nilai etnobotani untuk


pemanfaatan bahan kontruksi, obat-obatan, makanan, kerajinan kayu bakar dan lainlain yang ditunjukkan pada Tabel 4.17 dan Tabel 4.18 dan Gambar 4.30 dan
Gambar 4.32.
Tabel 4.15. Keragaman pemanfaatan setiap spesies pohon di CAGT pada
ketinggian 1200-1500 mdpl
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Nama Daerah
Hamerang
Huru
Jarah Anak
Kawuyang
Ki Beunteur
Ki Hujan
Ki Tebe
Leungsar
Manglid
Nangsi
Pasang Taritih
Pingku
Pulus
Rasamala
Saninten

Nama Latin
Ficus diversifolia
Litsea sp.
Castanopsis acuminatissima
Prunus arborea
Leucosyke capitellata
Engelhardia serata
Sloanea sigun
Pometia pinnata
Magnolia blumei
Villebrunea rubescens
Lithocarpus sp.
Dysoxylum exelsum
Dendrocnide sinuata?
Altingia excelsa
Castanopsis javanica
Jumlah

1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
14

Kajian Etnobotani
Tingkat Pohon
2 3 4 5
0 1
1
1 0 1 1
1 0 0 1
0 0 0 0
1 0 0 1
0 0 0 0
0 0 0 1
0 0 0 1
0 0 0 0
0 0 0 1
0 0 0 0
0 0 1 0
1 0 0 0
0 0 0 0
0 1 0 0
6

12

6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6

Keterangan : 1 = Konstruksi; 2 = Obat-obatan; 3 = Makanan; 4 = Kerajinan tangan; 5 = Kayu bakar; 6 = Lain-lain

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.30. Grafik pemanfaatan spesies floradi Kawasan CAGT pada ketinggian
1200-1500 m dpl.
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 24

Tabel 4.16. Kategori Pemanfaatan Spesies Flora di CAGT pada Ketinggian 15001800 m dpl.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Nama Daerah

Nama Latin

Hamerang Alit
Ficus sp.
Heas
Huru Batu
Litsea fulva
Huru Batu
Litsea fulva
Jarah Anak
Castanopsis acuminatissima
Kawuyang
Prunus arborea
Kayu Putih
Eucalyptus sp.
Kayu Putih (beureum) Eucalyptus sp.
Ki Beusi
Rhodamnia cinerea
Ki Hiur
Castanopsis argantea
Ki Jeruk
Antiaris toxicaria
Ki Kuray
Trema orientalis
Ki Tebe
Sloanea sigun
Kopi
Caffea robusta
Manggong
Macaranga rhizinoides
Manglid
Magnolia blumei
Nangsi
Villebrunea rubescens
Pasang
Lithocarpus sp.
Pingku
Dysoxylum exelsum
Puspa
Schima wallichi
Saninten
Castanopsis javanica
Tunggeureuk
Castanopsis tungurrut
Walen
Ficus ribes
Jumla

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
23

Kajian Etnobotani
Tingkat Pohon
2 3 4 5
0 0 0 1
0 0 0 0
1 0 1 1
1 0 1 1
1 0 0 1
0 0 0 0
1 0 0 1
1 0 0 1
0 0 0 1
0 0 0 1
0 0 0 0
0 0 0 0
1 0 0 1
1 1 1 1
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 1
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 0 1
0 1 0 0
1 0 0 1
0 0 0 1
10 5 8 19

6
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.31. Grafik pemanfaatan spesies floradi Kawasan CAGT pada ketinggian
1500 1.800 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 25

4.1.2.

Mamalia

4.1.2.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan CAGT dijumpai 27 spesies dari 17
famili dan 8 ordo. Survei dilakukan pada dua lokasi yaitu di bagian utara (Ciwidey)
dengan waktu survei selama empat hari dan di bagian selatan (Pangalengan) dengan
waktu survei selama lima hari. Secara keseluruhan survei terbagi menjadi lima jalur
dengan menggunakan metode transek. Adapun guna mengetahui kekayaan spesies
dilakukan dengan metode di luar transek seperti kamera trap, live trap (perangkap
rodentia), dan mistnet (perangkap chiroptera). Spesies-spesies yang ditemukan
didasarkan pada perjumpaan langsung dan tidak langsung. Sebaran spesies mamalia
di kawasan CAGT dapat dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.17. Sebaran spesies mamalia di kawasan CAGT.
No.

Nama Species

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
I

II

III

IV

Nontransek

ARTIODACTYLA
Cervidae
1 Muntiacus muntjak

Kijang

Suidae
2 Sus scrofa

Babi hutan

Trangilidae
3 Tragulus javanicus

Kancil

CARNIVORA
Felidae
4 Panthera pardus melas

Macan tutul

5 Prionailurus bengalensis

Kucing hutan

v
v

Herpestidae
6 Herpestes javanicus

Garangan

Biul

Musang Luwak

Kelelawar

10 Rousettus sp (1)

Codot

11 Rousettus sp (2)

Codot

Mustelidae
7 Melogale orientalis
Viverridae
8 Paradoxurus hermaphroditus
CHIROPTERA
Pteropodidae
9 Macroglossus minimus

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 26

No.

Nama Species

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
I

II

III

IV

Nontransek

Vespertilionidae
12 Myotis sp

Kelelawar

Cecurut

Trenggiling

INSECTIVORA
Soricidae
13 Crocidura monticola
PHOLIDHOTA
Manidae
14 Manis javanica
PRIMATA
Cercopithicidae
15 Macaca fascicularis
16 Presbytis comata
Trachypithecus auratus
17
mauritius
Hylobatidae
18 Hylobates moloch

Monyet ekor
panjang
Surili

Lutung Jawa

Owa Jawa

RODENTIA
Hystricidae
19 Hystrix javanica

Landak Jawa

Muridae
20 Maxomys bartelsii

Tikus Duri

21 Mus sp.

Tikus

22 Niviventer sp.

Tikus Pohon

23 Rattus norvegicus

Tikus riul

Sciuridae
24 Callosciurus notatus

Bajing

25 Petaurista elegans

Bajing Terbang

26 Ratufa bicolor

Jelarang

v
v

SCANDENTIA
Tupaiidae
27 Tupaia sp.

Tupai

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Mamalia)


Keterangan : v = ditemukan, non-transek = perjumpaan luar kawasan/kamera trap/live trap/mistnet.

Pada Tabel 4.17 dapat dilihat bahwa terdapat tiga spesies mamalia yang memiliki
sebaran cukup luas dibandingkan spesies lainnya yaitu Kijang (Muntiacus muntjak),

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 27

babi hutan (Sus scrofa), dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis). Hal ini terlihat
dari ditemukannya spesies ini di tiga jalur dari lima jalur pengamatan. Kelima jalur
pengamatan tersebut memiliki ketinggian antara 1300 mdpl hingga 2000 mdpl. Jalur
pengamatan yang memiliki kekayaan spesies mamalia tertinggi yaitu di jalur V
dengan temuan 7 spesies mamalia dari 5 famili (25,9% dari total spesies mamalia
yang ditemukan). Pada jalur V ini ditemukan spesies mamalia penting yang
berfungsi sebagai top-predator yaitu macan tutul (Panthera pardus melas).
Sedangkan kekayaan spesies pada non-transek sangat tinggi dikarenakan survei
dilakukan di berbagai titik lokasi yang sangat berpotensi dalam penemuan spesies
dan titik lokasi tersebut berada di luar jalur pengamatan. Berikut adalah grafik
kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur pengamatan di kawasan CAGT
(Gambar 4.32).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.32. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili) di masingmasing jalur pengamatan di kawasan CAGT

4.1.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Keragaman Spesies
Tingkat keragaman spesies mamalia diperoleh dari hasil perhitungan nilai indeks
Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat keragaman
spesies pada jalur pengamatan yang berbeda. Perhitungan indeks ini didasari atas
data perjumpaan langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Menurut Fachrul
(2007), indeks keragaman spesies dapat dikatakan tinggi atau melimpah apabila
memiliki kisaran nilai lebih dari 3, sedang bila terdapat dalam kisaran nilai 1 3,
dan rendah bila terdapat dalam kisaran kurang dari 1. Berdasarkan hasil survei dari
lima jalur pengamatan di kawasan CAGT, hanya empat jalur saja yang dapat
dihitung tingkat keragaman spesies mamalia. Hal ini dikarenakan terdapat satu jalur
pengamatan (jalur III) yang perjumpaan seluruh spesiesnya tidak dijumpai secara
langsung. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di kawasan
CAGT dapat dilihat pada Gambar4.33.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 28

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.33. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAGT
Secara keseluruhan grafik diatas (Gambar 4.27) menunjukan bahwa tingkat
keragaman spesies pada kawasan CAGT tergolong rendah hingga sedang dengan
kisaran 0,69 hingga 1,01 dengan nilai indeks tertinggi terdapat di jalur II. Menurut
Sodhi (2004) dalam Gunawan et al. (2005), tingkat keragaman spesies di suatu areal
dipengaruhi oleh beberapa faktor, dua diantaranya adalah keragaman atau kualitas
habitat dan gangguan dari aktifitas manusia seperti perburuan liar. Pada kawasan
CAGT masih banyak aktifitas manusia yang dijumpai baik sebagai sumber
pencaharian maupun kegiatan hobi. Salah satu aktifitas yang dijumpai dan sangat
berpengaruh terhadap keberadaan spesies adalah adanya perburuan dengan
menggunakan jerat.
Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan spesies digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi
diantara tiap spesies dalam komunitas dengan menggunakan nilai indeks kemerataan.
Data yang digunakan dalam nilai indeks kemerataan merupakan data perjumpaan
langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Berdasarkan hasil survei, tingkat
kemerataan spesies mamalia di kawasan CAGT berkisar antara 0,92 sampai 1.
Menurut Husin (1988) dalam Lumme (1994), apabila nilai indeks kemerataan
mendekati satu maka sebaran individu-individu antar spesies relatif merata, tetapi
apabila nilai indeks mendekati 0 maka sebaran individu antar spesies sangat tidak
merata. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di kawasan
CAGT dapat dilihat pada Gambar 4.34.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 29

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.34. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAGT
Berdasarkan pada Gambar 4.31 terlihat bahwa terdapat tiga jalur yang memiliki
nilai indeks kemerataan satu sehingga dapat dikatakan sebaran individu-individu
antar spesies relatif merata. Hal ini dikarenakan pada ketiga jalur tersebut tidak
memiliki spesies dominan. Adapun hanya ditemukan dua spesies mamalia dengan
jumlah individu yang sama.

4.1.2.3. Status Konservasi


Demi menjaga keberlangsungan kehidupan satwaliar khususnya mamalia diperlukan
suatu upaya pelestarian seperti adanya peraturan yang melindungi dan menjaga
kelestarian mamalia tersebut seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Berdasarkan
27 spesies mamalia yang ditemukan di kawasan CAGT sebanyak 11 spesies mamalia
masuk dalam daftar status konservasi dan perlindungan nasional maupun
internasional seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Beberapa spesies merupakan
spesies endemik jawa. Status konservasi dan perlindungan mamalia di kawasan
CAGT dapat dilihat pada Tabel 4.20 dan secara lengkap terdapat di Lampiran 1.
Tabel 4.18. Status konservasi mamalia di kawasan CAGT
No.

Nama Species

1 Hylobates moloch
2 Hystrix javanica
3
Macaca fascicularis
4 Manis javanica
5 Muntiacus muntjak
6 Panthera pardus melas

Nama Lokal
Owa jawa
Landak jawa
Monyet ekor
panjang
Trenggiling
Kijang
Macan tutul

Status Perlindungan
PP7/99
IUCN
CITES
D
D

EN

Endemik
E

II
D
D
D

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

EN

II

CR

4 | 30

No.
7
8
9
10

Nama Species

Presbytis comata
Prionailurus bengalensis
Ratufa bicolor
Trachypithecus auratus
mauritius
11 Tragulus javanicus

Nama Lokal

Status Perlindungan
PP7/99
IUCN
CITES

Endemik

Surili
Kucing hutan
Jelarang

D
D
D

EN

II
II
II

Lutung jawa

VU

II

Kancil

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Mamalia)


Keterangan: D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN =
Endangered, VU = Vulnerable, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, E = endemik Jawa

Pada Tabel 4.20 dapat dilihat bahwa sebanyak 10 spesies mamalia dilindungi oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Jika dibandingkan dengan seluruh spesies mamalia yang
ditemukan di kawasan CAGT, spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan status
ini mencakup 37%. Sedangkan berdasarkan catatan merah IUCN sebanyak satu
spesies mamalia memiliki status critically endangered / sangat terancam (CR), tiga
spesies mamalia berstatus endangered / genting (EN), satu spesies mamalia
berstatus vulnerable / rawan (VU), dan sisanya berstatus near threatened /
mendekati terancam (NT), Least Concern / konsentrasi rendah (LC), dan Data
Deficient / data kurang (DD). Tiga status teratas seperti sangat terancam,
genting, dan rawan memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.
Namun yang membedakan ketiga status tersebut adalah kriteria-kriteria didalamnya,
salah satunya diantaranya adalah ukuran populasi (terutama adanya pengurangan
populasi) suatu satwa (IUCN 2001).
Berdasarkan konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah
yaitu Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species (CITES) terdapat
dua spesies mamalia yang terdaftar dalam kategori Appendix I, enam spesies
mamalia terdaftar dalam kategori Appendix II, dua spesies mamalia terdaftar dalam
kategori Appendix III dan sisanya tidak terdaftar dalam CITES. Menurut Soehartono
dan Mardiastuti (2003), kategori Appendix I yaitu spesies yang jumlah di alamnya
sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk
spesies-spesies yang termasuk dalam Appendix I sama sekali tidak diperbolehkan.
Sedangkan pada kategori Appendix II yaitu semua spesies kehidupan liar walau tidak
dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk
terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur. Pada kriteria dasar kategori
Appendix III relatif sama dengan Appendix II hanya berbeda pada spesies yang
termasuk Appendix III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Seperti halnya
pada dua spesies mamalia yang ditemukan, terdapat spesies yang tergolong Appendix
III (Lampiran 2), tetapi tidak diberlakukan di negara Indonesia melainkan di negara
India saja.
Terdapat empat spesies mamalia yang termasuk spesies endemik jawa, diantaranya
satu spesies dari ordo Carnivora yaitu macan tutul (Panthera pardus melas); tiga
spesies dari ordo primata yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis
comata), dan lutung jawa (Trachypithecus auratus mauritius). Pada dua spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 31

primata seperti surili dan lutung jawa merupakan primata endemik Jawa barat.
Berikut adalah grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP
7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta mamalia endemik jawa
(Gambar 4.35).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.35. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP


7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta spesies endemik jawa.
Pada Gambar 4.35 terlihat bahwa jalur V merupakan jalur yang paling banyak
memiliki spesies mamalia dilindungi khususnya berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Adapun pada jalur V juga terlihat terdapat tiga spesies mamalia endemik
jawa. Selain itu, berdasarkan appendix CITES I terdapat 2 spesies mamalia
ditemukan. Pada daftar merah IUCN yang berstatus CR seperti macan tutul
(Panthera pardus melas) ditemukan di jalur V ini. Jalur V berada di ketinggian 1700
mdpl hingga 2000 mdpl. Oleh karena itu, kawasan ini memerlukan perhatian yang
lebih terutama pada sektor pengamanan atau perlindungan spesies mamalia karena di
kawasan ini masih ditemukan aktifitas perburuan. Hal ini sangat mengancam
keberadaan spesies mamalia yang ada khususnya bagi spesies yang dilindungi.

4.1.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).
Macan tutul (Panthera pardus melas) termasuk ke dalam ordo karnivora dan famili
felidae. Spesies ini dicirikan dengan pola warna tutul pada bagian tubuhnya. Pada
umumnya bulu pada spesies ini berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik
berwarna hitam dan bintik hitam yang berukuran lebih kecil di kepalanya. Spesies ini

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 32

mempunyai dua variasi warna yaitu berwarna terang dan berwarna gelap yang biasa
disebut dengan macan kumbang. Meskipun memiliki warna berbeda, keduanya
merupakan subspesies yang sama. Macan tutul mengalami proses melanisme, yaitu
dengan adanya dominasi pigmen hitam dalam bulu, sehingga binatang
keseluruhannya menjadi lebih kehitam-hitaman. Bentuk ini disebut bentuk kumbang.
Walaupun demikian, kembangan tutul-tutul masih terlihat pada bentuk kumbang ini
(Lembaga Biologi Nasional LIPI 1982).
Macan tutul merupakan spesies yang penting bagi ekosistem disekitarnya. Hal ini
dikarenakan spesies ini memiliki fungsi ekologi sebagai top-predator dalam rantai
makanan. Namun, saat ini macan tutul mengalami keterancaman yang cukup serius
sehingga spesies ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Adapun spesies
ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status critically endangered / sangat
terancam dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori Appendix I yang
sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Macan tutul dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi (Ario 2010). Macan
tutul hanya tersebar di pulau Jawa sehingga termasuk spesies endemik Jawa.
Menurut Hoogerwerf (1970) dalam Gunawan (2010), di Jawa barat spesies ini
tersebar di TN Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Cianjur selatan dan
Cirebon. Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan DAS Citarum, terutama di
kawasan CAGT spesies ini tersebar cukup merata mulai dari blok gunung waringin,
ciduka, bendi, gunung honje, pasir honje, hingga gunung maud. Keberadaan macan
tutul mulai tercatat pada ketinggian 1680 m dpl lebih hingga mencapai 1900 mdpl.
Perjumpaan spesies di jalur pengamatan dijumpai secara tidak langsung melalui
cakaran pada batang pohon, feses, dan jejak. Sehingga perhitungan kepadatan spesies
ini tidak dapat dilakukan. Namun spesies ini berhasil terdokumentasi dalam kamera
trap yang terpasang (Gambar 4.36). Spesies tersebut ditemukan pada dua waktu
berbeda dengan masing-masing perjumpaan satu individu yaitu pada tanggal 10 dan
12 Juni 2013.

Foto: CWMBC - ICWRMIP

Gambar 4.36. Macan tutul (Panthera pardus melas)-berwarna terang di CAGT

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 33

Owa Jawa (Hylobates moloch)


Owa jawa (Hylobates moloch) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
hylobatidae. Owa jawa memiliki ciri-ciri seperti Tubuh seluruhnya ditutupi rambut
yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya
berwarna hitam. Muka seluruhya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu
yang meneyerupai warna keseluruhan tubuh. Owa jawa hidup di kawasan hutan
hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan dengan tinggi
1400 1600 mdpl (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini owa jawa mengalami
keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status
endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori
Appendix I yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Owa jawa hanya tersebar di pulau jawa saja sehingga spesies ini terbilang spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna dan Tilson (1994) dalam Ario et al. (2011),
penyebaran owa jawa di Jawa Barat, diantaranya seperti di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Ujung Kulon,
Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweng Sancang. Sedangkan berdasarkan survei
di kawasan DAS Citarum, terutama pada CAGT, spesies ini tercatat di blok mala
gambol bagian hulu sungai cikembang, di barisan gunung tilu dan gunung geulis,
serta di blok gunung waringin. Perjumpaan spesies ini tercatat diatas ketinggian 1700
mdpl. Secara keseluruhan spesies ini hanya dijumpai melalui perjumpaan tidak
langsung sehingga perhitungan kepadatan pada spesies ini tidak dapat dilakukan.
Surili (Presbytis comata)
Surili (Presbytis comata) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
Cercopithicidae. Secara umum tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung memiliki warna hitam atau coklat dan keabuan. Rambut pada jambul dan
kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut yang tumbuh dibawah dagu, dada dan
perut, bagian dalam lengan, kaki, dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan
telinga hitam pekat agak kemerahan (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini surili
mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN
dengan status endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan
kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Surili tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat sehingga spesies ini termasuk
spesies endemik jawa barat. Surili hidup di daerah hutan hujan atas di Gunung
Halimun, Gunung Tilu, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, Danau Ranca, dan
Ujung Kulon (Ditjen PPA 1978b; Sub BKSDA Jabar dan TSI 1994; Siahaan 2002).
Berdasarkan survei di kawasan DAS Citarum, terutama pada CAGT, spesies ini
merupakan spesies yang dapat dijumpai di beberapa lokasi dan keberadaan spesies
ini tercatat mulai dari ketinggian 1500 mdpl ke atas.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 34

Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan


kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,02 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,67 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan
mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan areal
contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini dapatdikarenakan
waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk kepadatan rata-rata
spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan pengkajian atau penelitian
lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara lebih detail
terutama dengan mempertimbangkan areal contoh dan waktu pelaksanaan.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus mauritius)
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) termasuk ke dalam ordo primate dan family
Cercopithicidae. Lutung Jawa yang terdapat di Indonesia memiliki dua subspecies
berdasarkan perbedaan warna yaitu : Trachypithecus auratus auratus dan
Trachypithecus auratus mauritius. Ciri pada spesies Trachypithecus auratus
mauritius diantaranya hitam mengkilap dengan sedikit warna kecoklat-coklatan pada
bagian atas ventrum, cambang, dan kaki (Brandon-Jones 1995; Groves 2001;
Febriyanti 2008). Saat ini surili mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam
catatan merah IUCN dengan status vulnerable / rawan dan juga termasuk ke dalam
CITES dengan kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Lutung jawa ini (T.a. mauritius) tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat
sehingga spesies ini termasuk spesies endemik jawa barat. Spesies ini memiliki
distribusi terbatas di Jawa Barat hingga utara dari Jakarta, dekat Bogor, Cisalak, and
Jasinga, barat daya Ujung Kulon, kemudian sepanjang pantai selatan Cikaso atau
Ciwangi (Groves 2001 dalam Febriyanti 2008). Berdasarkan survei di kawasan DAS
Citarum, terutama pada CAGT, keberadaan spesies ini mulai tercatat pada ketinggian
di atas 1700 mdpl.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,015 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,67 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 35

mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan areal
contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini dapatdikarenakan
waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk kepadatan rata-rata
spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan pengkajian atau penelitian
lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara lebih detail
dengan mempertimbangkan areal contoh dan waktu pelaksanaan.

Sumber: Peta k Peta kawasan konservasi BBKSDA BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.37. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan CAGT

4.1.3.

Burung

4.1.3.1. Kekayaan Spesies


Survey burung mencakup areal CAGT yang masuk ke dalam DAS Citarum. Arealareal disekitar wilayah kajian, seperti areal perkebunan teh, areal tanaman kayu pinus
dan rasamala serta areal pertanian lainnya menjadi areal tambahan dalam observasi
lapangan.
Sekitar 126 spesies burung dari 38 famili yang tercatat selama survey di kawasan
CAGT melalu perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara) pada saat survey
lapangan. 20 spesies diantaranya merupakan spesies endemik dan 27 spesies
Dilindungi oleh pemerintah melalui UU No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 7 spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 36

yang memliki status keterancaman termasuk 2 spesies Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
dan Luntur Jawa (Apalharpactes reinwardtii) dengan Status Genting/ Endangered
Red-IUCN, 1 spesies Ciung mungkal Jawa (Cochoa azurea) dengan Status Rentan/
Vulnerable dan 4 spesies mendekati terancam/ Near Threatened. (Table 21)
Tabel 4.19. Ringkasan kekayaan spesies burung di CAGT
Penjelasan
Spesies yang dijumpai

Jumlah
126
spesies

Keterangan
Perjumpaan langsung di lapangan (visual dan
suara) pada saat survey lapangan

Kelompok famili

38 famili

Spesies Endemik

20 spesies Daftar terlampir

Spesies Dilindungi

27 spesies

Status Genting/
Endangered Red-IUCN
Status Rentan/
Vulnerable Red-IUCN
Status Mendekati
terancam/ Near
Threatened Red List
IUCN
Jenis dalam daftar
Appendix II CITES

2 spesies

Dilindungi oleh pemerintah melalui UU No 5/


1990 dan PP no 7/ 1999
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi )dan Luntur Jawa
(Apalharpactes reinwardtii)

1 spesies

Ciung mungkal Jawa (Cochoa azurea)

4 spesies

Serindit Jawa (Loriculus pusillus) Walet Gunung


(Collocalia vulcanorum) Brinji Gunung (Ixos
virescens) Cica Matahari (Crocias albonotatus)

5 spesies

4 spesies dari famili Accipitridae dan 1 dari


famili Psittacidae (Serindit Jawa)

Sumber : Kompilasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Dari 126 spesies burung yang tercatat di lokasi kajian di CAGT, 20 spesies
diantaanya merupakan spesies endemik pulau Jawa dan/atau hanya memiliki
persebaran terbatas di regional atau kepulauan Indonesia. keberadaan spesies
endemik ini menunjukan dan menambah nilai kekayaan spesies di kawasan tersebut
(Tabel 4.22).
Tabel 4.20. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAGT
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Nama Ilmiah
Nisaetus bartelsi
Arborophila javanica
Loriculus pusillus
Collocalia vulcanorum
Apalharpactes reinwardtii
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pycnonotus bimaculatus
Ixos virescens

Nama Indonesia
Elang Jawa
Puyuh gonggong Jawa
Serindit Jawa
Walet Gunung
Luntur Jawa
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung
Brinji Gunung

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Nama Inggris
Javan Hawk-Eagle
Chestnut-bellied Partridge
Yellow-throated Hanging Parrot
Volcano Swiftlet
Blue-tailed Trogon
Javan Kingfisher
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet
Orange-spotted Bulbul
Sunda Bulbul

4 | 37

No.
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Nama Ilmiah
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Cochoa azurea
Orthotomus sepium
Tesia superciliaris
Rhipidura phoenicura
Rhipidura euryura
Aethopyga eximia
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Ciungmungkal Jawa
Cinenen Jawa
Tesia Jawa
Kipasan Ekor-merah
Kipasan Bukit
Burungmadu Gunung
Opior Jawa

Nama Inggris
Crescent-chested Babbler
Javan Fulvetta
Spotted Crocias
Javan Cochoa
Olive-backed Tailorbird
Javan Tesia
Rufous-tailed Fantail
White-bellied Fantail
White-flanked Sunbird
Grey-throated Ibon

Sumber : Kompilasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

4.1.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Sujatnika dkk. (1995) menyatakan bahwa hasil identifikasi keanekaragaman burung
dapat dipakai sebagai indikator keanekaragaman hayati, karena hal-hal berikut. (a).
Burung hidup tersebar di seluruh bagian dunia dan hidup di seluruh tipe habitat dan
berbagai ketinggian tempat. (b). Burung peka terhadap perubahan lingkungan. (c).
Taksonomi burung telah mantap sehingga tidak ada perubahan. (d). Informasi
mengenai penyebaran secara geografis setiap burung di dunia telah diketahui dan
terdokumentasi dengan baik. Miller (2010) menyatakan bahwa burung berfungsi
sebagai komponen integral dan sangat signifikan bagi ekosistem di seluruh dunia.
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah jenis dan jumlah individu burung pada tujuh
sample transek di sekitar kawasan CAGT yang secara tidak langsung telah mewakili
keberadaan beberapa tipe habitat yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Jalur transek blok Ciurug yang mewakili tipe habita yang berbeda diantaranya hutan
tanaman (termasuk hutan Pinus dan Rasamala), perkebunan kopi, bekal ladang
(bekas lahan garapan yang ditinggal) dan Hutan Alam memiliki indeks diversitas
jenis burung paling tinggi sebesar 3,009. Sedangkan jalur transek blok Gunung
Waringin yang hanga diwakili oleh tipe habitathutan alama dan reuma (bekas ladang
yang ditinggalkan) memiliki indeks diversitas dan jumlah jenis burung yang paling
rendah sebesar 1,132 dengan 22 jumlah jenis burung. (Tabel 4.23 dan Gambar
4.38).
Tabel 4.21. analisa Keragaman dan Kemerataan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener
No

Jalur Transek

Spesies

burung

H'

Ciurug

3.009

0.894

Cisorog

2.939

0.882

Mandala

2.177

0.694

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

dengan

4 | 38

No

Jalur Transek

H'

Gn. Wariringin

1.132

0.418

Kiara Manuk

1.441

0.509

Pasir Honje

1.539

0.532

Cikakapa

1.876

0.626

0.626

Cikakapa

Kiara Manuk

Gn. Wariringin

Mandala

Cisorog
Ciurug

1.876

0.532

Pasir Honje

Sumber : Kompilasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

1.539

0.509

1.441

0.418

1.132
0.694

2.177

0.882

2.939

0.894

0.000

0.500

1.000

3.009
1.500

H' (Keragaman spesies)

2.000

2.500

3.000

3.500

E(Kemerataan spesies)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Gambar 4.38. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener

Akan tetapi, secara umum ketujuh sample transek yang diambil untuk melihat
keragaman dan kemeratan spesies burung di kawasan CAGT berdada dalam katagori
menengah atau sedang meruiuk pada tolak ukur Indeks Keragaman spesies konsep
Indeks Shannon-Wiener (1,0 < H < 3,322), dimana nilai tersebut menunjukan bahwa
Keanekaragaman spesies burung dikawasan tersebut sedang (15-29 spesies),
produktivitas cukup (35-116 induvidu burung yang tercatat dalam jalur transek
dengan total 660 individu burung), kondisi ekosistem cukup seimbang (2-5 tipe
habitat yang dilalui jalur transek dari 7 tipe habitat yang ada di sekitar kawasan),
sementara tekanan ekologis terhadap keragaman spesies burung di kawasan tersebt
dapat dikatagorikan dalam tahap sedang dan tidak berpengaruh secara signifikan..

4.1.3.3. Status Konservasi


Hilangnya habitat, fragmentasi habitat dan kerusakan habitat merupakan faktor
utama penyebab kepunahan berbagai spesies satwa di muka bumi (Sala et.al., 2000).
Dalam survey ini dijumpai 31 spesies yang dijumpai di seluruh lokasi kajian
merupakan spesies dengan status konservasi dan perlindungan nasional maupun
international.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 39

Tabel 4.22. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No
7/1999.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Nama Ilmiah
Spilornis cheela
Ictinaetus malayensis
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Loriculus pusillus
Collocalia vulcanorum
Apalharpactes reinwardtii
Alcedo meninting
Ceyx erithaca
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Ixos virescens
Psaltria exilis
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Cochoa azurea
Rhipidura phoenicura
Rhipidura euryura
Rhipidura javanica
Anthreptes malacensis
Anthreptes singalensis
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Aethopyga temminckii
Arachnothera longirostra
Arachnothera robusta
Arachnothera affinis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elangular Bido
Elang Hitam
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Serindit Jawa
Walet Gunung
Luntur Jawa
Rajaudang Meninting
Udang Api
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Brinji Gunung
Cerecet Jawa
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Ciungmungkal Jawa
Kipasan Ekor-merah
Kipasan Bukit
Kipasan Belang
Burungmadu Kelapa
Burungmadu Belukar
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Ekor-merah
Pijantung Kecil
Pijantung Besar
Pijantung Gunung
Opior Jawa

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

IUCN CITES UU-RI


II
AB
II
AB
EN
II
AB
II
AB
NT
II
NT
EN
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
NT
AB
AB
AB
NT
AB
VU
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
B
AB
AB
B
AB

Keterangan EN : Endangered (Genting); VU : Vurneable (Rentan) ; NT : Near Threatened (Mendekati terancam); I


: Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international; II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan
pembatasan kuota perdagangan ; A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 40

4.1.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Elang Jawa
Deskripsi singkat
Elang Jawa dengan nama ilmiah Nisaetus bartelsi adalah salah satu spesies elang
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 60 cm yang habitatnya berada di pulau
Jawa, Indonesia. Elang Jawa adalah salah satu kelompok burung pemangsa di hutan
hujan tropis dalam kelompok genus Spizaetus di Asia Tenggara. Walaupun
kedudukan taksonomi telah dilakukan pada tahun 1924 (Stresemann, 1924) dan
karena masih jarangnya koleksi spesimen dan beragamnya bulu elang Spizaetus
dengan usia yang tidak terdata, maka baru pada tahun 1953 diangkat sebagai spesies
penuh endemik di Jawa (Amadon, 1953; lihat juga Finsch 1908, Nijman and Szer,
1998).
Elang Jawa merupakan burung jenis endemik pulau Jawa dengan daerah penyebaran
terbatas hanya di daerah hutan hujan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan.
Burung ini digolongkan sebagai satwa langka dan diketahui sebagai salah satu
burung pemangsa paling terancam punah di dunia (Meyburg, 1986). Menurut kriteria
IUCN, burung ini termasuk ke dalam Checklist of Threatened Bird Species dengan
kriteria genting (endangered) (Collar dkk, 1994) serta dimasukkan dalam daftar
Appendiks II CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang hanya boleh diperdagangkan dari hasil
penangkaran dan dalam jumlah terbatas.
Pendugaan Populasi
Kawasan CAGT merupakan salah satu gunung di kawasan pegunungan bagian
Selatan Bandung dengan tipe vegetasi hutan pegunungan bawah dan hutan
pegunungan atas. Adalah tidak mudah untuk menentukan populasi burung pemangsa
yang suka bersembunyi di kedalaman hutan tropis yang lebat. Apalagi dengan
adanya perbedaan tingkat kepadatan ini cukup menyulitkan dalam menentukan
populasi secara persis.
Penelitian baru-baru ini di Jawa Barat menunjukkan bahwa daerah jelajah jantan di
Gn. Gede Pangrango sekitar 12 km (Szer dan Nijman, 1995). Rov, dkk. (1997)
mencatat ada enam pasang dalam jarak 10 km di hutan dataran rendah Gn. Halimun,
sehingga ia memperkirakan tingkat kepadatan di hutan hujan dataran rendah sekitar 5
km perpasang.
Setadi, dkk. (2000) memperkirakan bahwa populasi Elang Jawa di kawasan Cagar
Alam Gn. Tilu adalah sekitar 5-6 pasang berdasarkan pada ekstrapolasi luas daya
jelajah sekitar 10,27 km/pasang. Luas daerah jelajah ini lebih kecil dibandingkan
dengan pasangan yang diteliti di Gn. Gede Pangrango (Szer dan Nijman, 1995)
tetapi lebih besar dari pasangan yang di Gn. Halimun (Rov, dkk., 1997). Syartinilia

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 41

dkk.(2008) meemperkitarakan popualsi elang jawa di kawasan ini antara 8-12 pasang
melalui pendekatan ekstrapolasi melalui pendekatan model logistic dan autologistic
regrasi kesesuaian tipe habitat yang ada di kawasan tersebut.
Dalam survey atau kajian spesies prioritas CWMBC di kawasan CAGT, pendugaan
populasi Elang Jawa dilakukan dengan menggunakan pendekatan ektrapolasi luas
daya jelajah elang tersebut terhadap seluruh kawasan lokasi kajian dengan
memperhatikan faktor-faktor peubah yang mempengaruhi keberaadaan spesies
tersebut seperti tipe habitat, ketinggian dan faktor lainnya.
Berdasarkan perhitungan populasi yang dilakukan oleh Setiadi dkk (2000) di
kawasan Jawa Barat bagian Selatan diperoleh rata-rata luas jelajah perpasang antara
9,41-7,6 km2/pasang. Sampai saat ini, luasan daya jelajah tersebut masih dianggap
paling mendekati dengan karakater habitat di kawasan jawa barat bagian selatan.
Tabel 4.23. Pendugaan populasi Elang Jawa di kawasan CAGT
Sumber
Setiadi dkk. 2000
Syartinilia dkk 2009
Kompilasi data CWMBC

Luas area
56 km2
80 km2
80 km2

Luas Daya
jelajah/pasang
10,27 km
10 6,6 km
9,41-7,6 km2

Populasi/
pasang
5-6
8-10
7,9-10,5

Keterangan
70% cover area
Pemodelan GIS

Sumber : Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Pendugaan populasi Elang Jawa di kawasan CAGT yakni antaraa 7,910,5 pasang.
Nilai pendugaan populasi ini tidak terlalu jauh berbeda atau mendekati nilai
pendugaan populasi spesies ini sebelumnya (syartinilia, 2009) melalui pendekatan
model persebaran Elang Jawa berdasarkan model regresi logistik dan auto-logistik.
Dengan nilai pendugaan populasi tersebut dapat menjadi indikasi bahwa keberadaan
dan pooulasi Elang Jawa di kawasan CAGT adalah stabil dam signifikan dengan
luasan dan keberadaan tipe habitat serta faktor peubah lainnya yang mendukung
keberadaan Elang Jawa di kawsan tersebut. Peta dan persebaran Elang Jawa di
CAGT ditunjukkan pada Gambar 4.39.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 42

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.39. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di kawasan
CAGT

4.1.4.

Herpetofauna

4.1.4.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survey yang dilaksanakan di CAGT (CAGT) dijumpai sebanyak 24
spesies dari kelompok herpetofauna yang terdiri dari 12 spesies amfibi dan 10
spesies reptilian. Survey dilaksanakan di 7 jalur yang terdiri dari 5 jalur akuatik dan 2
jalur terrestrial. Jalur akuatik terdiri dari Sungai Cilaki, Sungai Cisondari, Curug
Tujuh, Sungai Cikakapa dan Curug Rendeng. Sedangkan jalur terrestrial terdiri dari
Blok Mandala dan Batu Kikiping. Sebaran spesies pada masing-masing jalur
ditunjukkan pada Table 4.26.
Tabel 4.24. Sebaran herpetofauna di CAGT
No

Species
AMFIBI
Bufonidae
1 Phrynoidis aspera
Dicroglossidae
2 Limnonectes kuhlii

CLK CSDR MDL BKKP

C7

CKKP RDG END

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 43

No
Species
3 Limnonectes microdiscus
Megophrydae
4 Leptobrachium haseltii
5 Megophrys montana
Ranidae
6 Huia masonii
7 Hylarana chalconota
8 Odorrana hosii
Rhacophoridae
9 Nyctixalus margaritifer
10 Philautus aurifasciatus
11 Rhacophorus margaritifer
12 Rhacophorus reinwardtii
REPTILIA
Agamidae
13 Bronchocella cristatella
14 Gonochephalus kuhlii
15 Pseudocalotes tympanistigra
Colubridae
16 Cylindrophis ruffus
17 Oligodon octolinaetus
Elapidae
18 Maticora intestinalis
Gekkonidae
19 Cyrtodactylus marmoratus
Natricidae
20 Rhabdophis chrysarga
Scincidae
21 Eutropis multifasciata
22 Lygosoma quadrupes
Viperidae
23 Trimeresurus puniceus
Xenodermatidae
24 Xenodermus javanicus

CLK CSDR MDL BKKP

C7

CKKP RDG END


v

v
v
v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Herpetofauna)
Keterangan : CLK : Sungai Cilaki, CSDR : Sungai Cisondari, MDL : Blok Mandala, BKKP : Batu Kikiping, C7 : Curug Tujuh,
CKKP : Sungai Cikakapa, RDG : Curug Rendeng, END : Endemisitas

Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai di jalur Sungai Cisondari, dimana pada
jalur tersebut dijumpai sebanyak 11 spesies (Gambar 4.40). Dari seluruh spesies
yang dijumpai, spesies yang paling umum dijumpai pada masing-masing jalur
akuatik adalah Kongkang racun (Odorrana hosii). Spesies tersebut merupakan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 44

spesies yang umum dijumpai pada aliran sungai berarus deras yang berbatu. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa Kongkang racun tidak dijumpai pada jalur-jalur terrestrial.
Spesies lainnya yang umum dijumpai di habitat akuatik adalah Kongkang Jeram
(Huia masonii) dan Bangkong Tuli (Limnonectes kuhlii).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.40. Perbandingan jumlah spesies pada masing-masing jalur


Kondisi habitat pada masing-masing jalur berupa hutan sekunder (Sungai Cisondari,
Batu Kikiping, Sungai Cikakapa dan Curug Rendeng) dan semak belukar (Sungai
Cilaki, Blok Mandala dan Curug Tujuh). Secara umum, kondisi habitat pada masingmasing jalur telah terganggu oleh aktivitas manusia.
Seluruh spesies yang dijumpai terdiri dari 13 family yang terbagi dari 2 kelas (amfibi
dan reptilian). Kelas amfibi terdiri dari 5 family yaitu Bufonidae, Dicroglossidae,
Megophrydae, Ranidae dan Rhacophoridae. Family Rhacophoridae merupakan
family dengan anggota spesies yang terbanyak, yaitu 4 spesies.
Spesies-spesies dari family Rhacophoridae (Katak Pohon) merupakan spesies yang
membutuhkan vegetasi berupa pohon maupun semak-semak yang tinggi untuk
meletakkan telur-telurnya. Menurut Iskandar (1998) anggota genus Rhacophorus dan
Polypedates meletakkan telur yang diselubungi oleh busa dan mengalami
metamorphosis sedangkan anggota genus Philautus mempunyai strategi
perkembangbiakan secara langsung (berudu berupa katak kecil dengan empat kaki
dan sebuah ekor).
Pada jalur Batu Kikiping, jumlah spesies dari family Rhacophoridae merupakan yang
paling banyak jika dibandingkan dengan jalur lainnya. Batu Kikiping merupakan
jalur terrestrial dimana terdapat kubangan air pada beberapa lokasi. Anggota dari
family Rhacophoridae banyak dijumpai pada lokasi-lokasi yang terdapat genangan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 45

air dan bervegetasi hutan yang bagus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iskandar
(1998) bahwa Amfibi yang hidup pada tipe habitat terrestrial memerlukan tutupan
vegetasi berhutan yang dapat menciptakan kelembaban udara yang tinggi untuk
kehidupan amfibi yang berada di dalamnya.
Sedangkan pada kelas reptilian terdiri dari 8 family, yaitu Agamidae, Colubridae,
Elapidae, Gekkonidae, Natricidae, Scincidae, Viperidae dan Xenodermatidae. Family
yang memiliki jumlah spesies paling banyak adalah Agamidae dengan 3 spesies
(Gambar 4.41). Anggota dari family Agamidae juga sangat umum dijumpai pada
masing-masing jalur, meskipun tidak terdapat pada setiap jalur pengamatan.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.41. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna


Berdasarkan Iskandar (1998) terdapat 8 spesies amfibia endemik Pulau Jawa, yaitu
Philautus jacobsoni, Philautus pallidipes, Philautus vittiger, Rhacophorus javanus,
Nictyxalus margaritifer, Leptophryne cruentata, Microhylla achatina, Huia masonii.
Beberapa spesies diketahui memiliki daerah sebaran yang lebih sempit, yaitu
Philautus jacobsoni (Hanya dijumpai di Gunung Ungaran, Jawa Tengah) (Iskandar,
1998) dan Leptophryne cruentata yang hanya dijumpai di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Kurniati, 2006) dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(Kurniati, 2002). Spesies endemic yang dijumpai di CAGT adalah Kongkang jeram
(Huia masonii), Katak-pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) dan Katak-pohon
mutiara (Nyctixalus margaritifer). Kongkang jeram (Huia masonii) dan Katak-pohon
jawa (Rhacoporus margaritifer) merupakan spesies endemic yang hamper dapat

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 46

ditemui pada setiap jalur. Sedangkan Katak-pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer)


hanya dijumpai pada jalur Curug Rendeng.

4.1.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan menggunakan indeks ShannonWiener dapat diketahui bahwa nilai keragaman masing-masing jalur pengamatan
berkisar antara 0.89 hingga 2.21. Jalur yang tergolong ke dalam nilai keragaman
hayati rendah adalah jalur Sungai Cikakapa dengan nilai H = 0.89. Sedangkan 6
jalur lainnya tergolong ke dalam keragaman yang sedang (Table 4.27)
Tabel 4.25. Nilai keragaman dan kemerataan spesies di masing-masing jalur
No
1
2
3
4
5
6
7

Jalur
Sungai Cilaki
Sungai Cisondari
Mandala
Batu Kikiping
Curug 7
Sungai Cikakapa
Curug Rendeng

H'
1.32
2.21
1.39
1.87
1.14
0.89
1.64

E'
0.82
0.92
1
0.89
0.64
0.64
0.71

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Herpetofauna)
Keterangan : S : Jumlah Spesies, H : Nilai Keragaman, E : Nilai Kemerataan

Jalur Sungai Cisondari merupakan jalur dengan nilai keragaman yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan jalur lain, yaitu H = 2.21. Pada jalur Sungai Cisondari
dijumpai sebanyak 11 spesies dengan nilai kemerataan spesiesnya (E) adalah 0.92.
Sedangkan jalur yang memiliki nilai kemerataan spesies paling tinggi adalah jalur
Blok Mandala dengan nilai E = 1 dengan jumlah spesies yaitu 4 spesies. Hal ini
berarti jumlah individu masing-masing spesies yang dijumpai sama, yaitu 1 individu
untuk masing-masing spesies. Blok Mandala merupakan jalur terrestrial dengan
kondisi tutupan berupa semak-belukar. Jalur Sungai Cikakapa merupakan jalur
dengan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies yang paling rendah, yaitu H
= 0.89 dan E = 0.64.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 47

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.42. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies pada
masing-masing jalur pengamatan

4.1.4.3. Status Konservasi


Tabel 4.28 menunjukkan status konservasi untuk masing-masing spesies yang
dijumpai di CAGT. Berdasarkan IUCN, terdapat 2 spesies dengan status Vulnerable
yaitu Huia masonii dan Nyctixalus margaritifer. Serta terdapat 1 spesies dengan
status Near Threatened yaitu Rhacophorus reinwardtii. 21 spesies yang dijumpai
termasuk ke dalam kategori Least Concern. Tidak satupun dari kelompok
Herpetofauna yang termasuk dalam kategori CITES dan dilindungi berdasarkan UU
No 7 tahun 1999.
Tabel 4.26. Status konservasi masing-masing spesies
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Species
Phrynoidis aspera
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Nyctixalus margaritifer
Philautus aurifasciatus
Rhacophorus javanus

IUCN
LC
LC
LC
LC
LC
Vul
LC
LC
Vul
LC
LC

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

CITES
-

PP7
-

4 | 48

No
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Species
Rhacophorus reinwardtii
Bronchocella cristatella
Gonochephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Cylindrophis ruffus
Oligodon octolinaetus
Maticora intestinalis
Cyrtodactylus marmoratus
Rhabdophis chrysarga
Eutropis multifasciata
Lygosoma quadrupes
Trimeresurus puniceus
Xenodermus javanicus

IUCN
NT
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC

CITES
-

PP7
-

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Herpetofauna)
Keterangan : LC : Least Concern, NT : Near Threatened, Vul : Vulnerable

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.43. Perbandingan jumlah status keterancaman berdasarkan IUCN

4.1.4.4. Deskripsi Spesies Penting


Katak-pohon mutiara - Nyctixalus margaritifer Boulenger, 1882
Nyctixalus margaritifer atau Katak-pohon mutiara termasuk ke dalam family
Rhacophoridae (Katak Pohon). Ciri khas dari katak ini adalah warna orange yang
terang dan terdapat bintil-bintil kecil berwarna putih di seluruh tubuhnya. Terdapat
lipatan dorsolateral yang jelas serta kulit kepala yang menyatu dengan tengkorak.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 49

Ukuran jantan dewasa 30-33 mm dan betina dewasa 31-35 mm. Berdasarkan daftar
merah IUCN, Nyctixalus margaritifer dikategorikan ke dalam status Vulnerable.
Katak ini biasa dijumpai pada lubang-lubang kayu yang terisi air, tumbuhan bawah
dengan daun yang lebar. Betina biasa meletakkan telur di dalam lubang pohon dan
diselubungi oleh gelatin. Umumnya hidup pada hutan dataran rendah hingga
ketinggian 1200 mdpl.
Spesies ini merupakan katak endemik di Jawa Barat dengan daerah sebarannya
meliputi TN Gunung Gede Pangrango, Situ Gunung dan Gunung Wilis. Berdasarkan
hasil survey di kawasan konservasi yang masuk ke dalam DAS Citarum, Nyctixalus
margaritifer dijumpai di Sungai Cikakapa pada ketinggian 1.300 mdpl.

Gambar 4.44. Katak-pohon mutiara - Nyctixalus margaritifer


Foto : Bayu dan Iwan/CMMBC - ICWRMIP

Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer


Rhacophorus margaritifer atau Katak-pohon Jawa merupakan katak yang endemik di
Pulau Jawa dan sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak ini berukuran kecil
sampai sedang. Berwarna coklat kemerahan dengan bercak-bercak yang tidak
beraturan. Permukaan dorsum halus sedangkan permukaan perutnya dan bagian
bawah kaki berbintil-bintil. Selaput terdapat di seluruh jari tangan dan jari kaki
(kecuali jari keempat). Terdapat tonjolan pada tumit yang merupakan modifikasi dari
kulitnya (flap) serta lipatan kulit di sepanjang pinggir lengan hingga ke jari kaki
terluar. Ukuran tubuhnya 50-60 mm.
Rhacophorus margaritifer biasa terdapat di hutan primer pada ketinggian 250 1500
mdpl. Spesies ini biasa ditemukan pada ranting-ranting pohon di dekat sumber air.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 50

Gambar 4.45. Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer


Foto : Bayu dan Iwan/CMMBC - ICWRMIP

Kongkang jeram - Huia masonii

Gambar 4.46. Kongkang jeram - Huia masonii


Foto : Bayu dan Iwan/CMMBC - ICWRMIP

Huia masonii atau Kongkang Jeram merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Berukuran sedang, yaitu jantan 30 mm dan betina 50 mm. Tympanum terlihat
dengan jelas. Kaki sangat ramping dan panjang. Jari tangan dan kaki terdapat
piringan yang lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulit

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 51

halus dengan sedikit bintil serta lipatan dorsolateral tidak terlihat dengan jelas. Di
sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.
Spesies ini merupakan spesies yang sangat umum dijumpai pada aliran sungai
dengan aliran yang deras dan berbatu-batu. Biasanya dijumpai juga bersembunyi di
dalam semak-semak di pinggir sungai. Berdasarkan daftar merah IUCN, Huia
masonii dikategorikan ke dalam status Vulnerable.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.47. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa herpetofauna di
kawasan CAGT

4.1.5.

Insekta

4.1.5.1. Kekayaan Spesies


Pengambilan data kupu-kupu (Lepidoptera) dilakukan pada tempat-tempat yang
berpotensi sebagai habitatnya dan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan
metode sweep net. Hasil survey menunjukkan bahwa di CAGT dijumpai sebanyak 19
spesies Lepidoptera. Survey dilakukan di 4 jalu, yaitu Gunung Agung, Riung
Gunung, Gambung dan Batas Bendi (Tabel 4.29).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 52

Tabel 4.27. Sebaran Lepidoptera di CAGT


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Spesies
Nymphalidae
Euplea mulciber sp.
Faunis canens canens
Mycalesis mineus macromalayana
Mycalesis moorei
Neptis hylas matula
Parantica pseudomelaneus
Symbrenthia anna spp.
Symbrenthia hypselis redosilla
Yphtima baldus horsfieldi
Yphtima pandocus pandocus
Papilionidae
Graphium agamemnon
Graphium sarpedon
Papilio helenus
Papilio memnon
Pieridae
Delias belisama
Delias sp.
Eurema andersonii
Eurema blanda
Eurema heCAGBe
Eurema sari
Pieridae sp1.
Pieridae sp2.
Jumlah Spesies

GAG

RGG

GBG

BTB
v

v
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
v
v
v
v
v
19

v
v
2

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Insekta)


Ket : GAG : Gunung Agung, RGG : Riung Gunung, GBG : Gambung, BTB : Batas Bendi

Keberadaan kupu-kupu pada habitatnya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain ketinggian tempat, iklim, vegetasi dan waktu harian (Suantara 2000). Jumlah
spesies yang paling banyak dijumpai di Jalur Gunung Agung, yaitu 19 spesies. Hal
ini dikarenakan suhu pada jalur ini berkisar antara 20-28. Kupu-kupu merupakan
satwa poikiloterm, yaitu suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan di sekitarnya
(Bhuyan et al, 2005). Pada umumnya kupu-kupu memerlukan suhu tubuh 28-400 C
untuk melakukan aktivitasnya (Kingsolver, 1985). Selain itu, jalur ini merupakan
jalur dengan ketinggian yang paling rendah jika dibandingkan dengan jalur yang lain,
yaitu 1200 1500 mdpl. Joshi dan Arya (2007) menyatakan bahwa keragaman kupukupu tinggi pada habitat dengan ketinggian yang rendah.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 53

Sedangkan jumlah spesies yang paling sedikit terdapat pada jalur Batas Bendi, yaitu
2 spesies. Hal ini dikarenakan tutupan hutan pada jalur ini berupa hutan sekunder
dengan tutupan tajuk yang rapat, sehingga intensitas cahaya yang sampai ke
permukaan tanah lebih rendah. Tajuk pepohonan yang tidak terlalu rapat
menyebabkan cukupnya sinar matahari yang menyentuh lantai hutan sehingga
potensi menemukan kupu-kupu sangat tinggi, Menurut Smart (1975) dalam
Hardiyansyah (2001), komponen habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu
adalah faktor cahaya, udara yang bebas polusi, dan kelembaban lingkungan. Selain
itu, ketinggian tempat pada jalur ini merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan jalur yang lainnya, yaitu 1600 2100 mdpl. Semakin rendah ketinggian suatu
tempat, maka kelimpahan kupu-kupu akan semakin tinggi (Joshi, 2007).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.48. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAGT


Gambar 4.48 menunjukkan kekayaan spesies berdasarkan family. Jumlah spesies
yang paling banyak adalah pada family Nymphalidae. Menurut Smart (1991) dalam
Jurnal PHKA (2005), famili Nymphalidae termasuk famili dengan jumlah besar dan
populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di dunia. Famili tersebut terdiri dari
ribuan spesies. Cortbert dan Pendleburry (1956) menyatakan bahwa famili
Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang luas, menyukai tempat tempat
terang, daerah kebun dan hutan, dan beberapa menyukai tempat berbau busuk.

4.1.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Nilai keragaman hayati yang peling tinggi adalah pada jalur Gunung Agung, yaitu
H= 2,92 dengan nilai kemerataan spesies (E) adalah 0.97. Hal ini dikarenakan
kondisi habitat yang sesuai dengan kebutuhan Lepidoptera untuk bertahan hidup.
Sedangkan nilai keragaman hayati yang paling rendah adalah pada jalur Batas Bendi
dengan nilai H = 1.10 dan E = 1. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 54

individu masing-masing spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E
semakin mendekati 1.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.49. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing jalur

4.1.6.

Biota Akuatik

4.1.6.1. Keragaman Hayati


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di CAGT (CAGT) dijumpai sebanyak 20
spesies benthos. Survey dilakukan di 10 jalur pengamatan. Berdasarkan hasil analisis
data dengan menggunakan indeks keragaman hayati Simpson dapat diketahui bahwa
indeks keragaman yang paling tinggi adalah jalur GT-7 dengan nilai keragaman
sebesar 0.857 dan yang paling rendah adalah jalur GT-5 dengan nilai 0.5. Nilai
keragaman hayati seluruh jalur di CAGT dikategorikan ke dalam keragaman hayati
tingkat rendah.
Tabel 4.28. Tabel Sebaran dan nilai keragaman hayati benthos di CAGT
No
1
2
3
4
5

Spesies
Aphanocapsa pulchra
Bursarsaria truncatella
Closterium sp.
Cocconeis placentulla
Coelosphaerium sp.

GT-1 GT-2 GT-3 GT-4 GT-5 GT-6 GT-7 GT-8 GT-9 GT-10
33
33
33
33
33

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 55

No
Spesies
6 Echinosphaerella
limnetica
7 Fragilaria capucina
8 Hyalotheca mucosa
9 Merismopedia convulata
10 Nitzschia vermicularis
11 Oscillatoria formosa
12 Paramacium sp.
13 Plectonema sp.
14 Scenedesmus bijuga
15 Spirulina major
16 Surirella sp.
17 Synedra acus
18 Synedra sp.
19 Synedra ulna
20 Ulothrix zonata
TOTAL
I.D. SIMPSON

GT-1 GT-2 GT-3 GT-4 GT-5 GT-6 GT-7 GT-8 GT-9 GT-10
33
33
165

33

198

165
33

0
33

132

33

66

33

33

165

33

33

66
99

33
0

33
33

33
33

33
33

33

33
33

33

33
33
33

33

297 198 363 297


0.642 0.667 0.645 0.642

33

132

33

33
132
66 363 231 231 264
99
0.5 0.694 0.857 0.612 0.563 0.667

Sunmber: Tabulasi Data Primer 2013, Analisa Laboratorium Lembaga Ekologi UNPAD

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 56

4.2.

Kajian Biodiversitas di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi

4.2.1.

Flora

4.2.1.1. Kekayaan Spesies


Sebagai salah satu kawasan buru di Pulau Jawa, TBGMK memiliki catatan spesies
flora sebanyak 79 spesies. Terdiri dari 2 Divisi, 4 Kelas, 10 Ordo dan 20 Famili.
Namun demikian, diperkirakan terdapat satu jenis yang dikategorikan sebagai
Vulnerable, Rentan, yaitu Elaeocarpus submonoceras ssp. submonoceras.
Selengkapnya disajikan pada Lampiran 1 dari dokumen ini. Kekayaan spesies flora
di kawasan TBGMK ditunjukkan pada Gambar 4.50.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.50. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai ketinggian

4.2.1.2. Indeks Nilai Penting


Hasil analisa penghitungan Indeks Nilai Pentng (INP) tingkat pohon pada ketinggian
1200 1400 m dpl, ditunjukkan pada Tabel 4.31. dan Gambar 4.51. Untuk INP
tingkat Tiang (Pole) pada ketinggian 1200 1400 m dpl, ditunjukkan pada Tabel
4.32. dan Gambar 4.53. Untuk INP tingkat Pancang (Sapling) pada ketinggian 1200
1400 m dpl, ditunjukkan pada Tabel 4.33. dan Gambar 4.55. Untuk INP tingkat
Semai/ Anakan (Seedling) pada ketinggian 1200 1400 m dpl, ditunjukkan pada
Tabel 4.34. dan Gambar 4.57.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 57

Tabel 4.29. INP tingkat Pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400 m
dpl.
Nama
Daerah
Ae Rasamala
Bj
Gadog
Bt
Ki Kukuran
Dp Maranginan
Es
Ki Hujan
Masp Mara
Sw Puspa
Sp.1 sp. 1

Kode

Nama Latin

Famili

Altingia exelsa
Bischofia javanica
Blumeodendron tokbrai
Dysoxylum parasiticum
Engelhardia serata
Macaranga sp.
Schima wallichii
sp. 1
Jumlah

Hamamelidaceae
Phyllanthaceae
Caesalpiniaceae
Meliaceae
Juglandaceae
Euphorbiaceae
Theaceae
?

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Frelatif
(%)
9,09
9,09
9,09
9,09
18,18
9,09
27,27
9,09
100

Krelatif
(%)
5,00
5,00
5,00
5,00
10,00
5,00
60,00
5,00
100

Drelatif
(%)
4,07
2,36
3,86
13,15
26,93
2,52
44,51
2,60
100

INP (%)
18,16
16,45
17,95
27,24
55,11
16,61
131,78
16,69
300

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.51. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian 12001400 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 58

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.52. Grafik lima spesies tingkat pohon dominan di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
Tabel 4.30. INP tingkat Tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400 m
dpl.

Es
Sb

Nama
Daerah
Ki Hujan
Ki Leho

Ds

Pulus

Kode

Nama Latin

Famili

Engelhardia serata Juglandaceae


Saurauia bracteosa Actinidaceae
Dendrocnide
sinuata
Urticaceae
Jumlah

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Frelatif
(%)
33,33
33,33

Krelatif
(%)
33,33
33,33

33,33
100

33,33
100

Drelatif
INP (%)
(%)
44,19 110,86
22,02
88,68
33,79
100

100,46
300

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.53. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 12001400 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 59

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.54. Grafik lima spesies dominan tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
Tabel 4.31. INP tingkat Pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400 m
dpl.
Kode
Act sp
Bt
Ci
De
Eu sp
Fr
Pr
Sb

Nama
Daerah
Huru
Dapung
Ki Kukuran
Ki Teja
Pingku
Gelam
Ki Walen
Huru
Leu'eur
Ki Leho

Nama Latin

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP (%)

Actinodaphne sp
Blumeodendron
tokbrai
Cinnamomum iners
Dysoxylum exelsum
Eugenia sp.
Ficus ribes

Lauraceae

10

9,09

0,70

19,80

Caesalpiniaceae
Lauraceae
Meliaceae
Myrtaceae
Moraceae

10
10
10
10
10

18,18
9,09
9,09
9,09
9,09

1,48
16,24
2,82
9,14
12,44

29,66
35,33
21,91
28,23
31,53

Persea rimosa
Saurauia bracteosa

Lauraceae
Actinidiaceae

20
20

18,18
18,18

17,79
39,39

55,98
77,57

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 60

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.55. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian 12001400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.56. Grafik lima spesies dominan tingkat pancang di Kawasan TBGMK
pada ketinggian 1200-1400 m dpl.
Tabel 4.32. INP tingkat Semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian 1200 1400 m
dpl
Kode
Fg
Mt
Pr
Sb
Sy sp
Har

Nama Daerah
Pe'er
Mara beureum
Huru Leu'eur
Ki Leho
Ki Jambu
Haruman

Nama Latin
Ficus glabela
Macaranga triloba
Persea rimosa
Saurauia bracteosa
Syzygium sp.
Haruman
Jumlah

Famili
Moraceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Actinidiaceae
Myrtaceae

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Frelatif
(%)
16,67
16,67
16,67
16,67
16,67
16,67
100

Krelatif
(%)
16,67
16,67
16,67
16,67
16,67
16,67
100

INP (%)
33,33
33,33
33,33
33,33
33,33
33,33
200

4 | 61

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.57. Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian 12001400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.58. Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian 12001400 m dpl.
Tabel 4.33. INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian > 1400 m dpl.
Kode
Sw
Es
Fr
Ca
Masp
Sc-sp

Nama
Daerah
Puspa
Ki Hujan
Ki Walen
Jarah Anak
Mara
Puspa

Nama Latin
Schima wallichii
Engelhardia serata
Ficus ribes
Castanopsis
acuminatissima
Macaranga sp.
Schima sp.

Famili
Theaceae
Juglandaceae
Moracea
Fagaceae
Euphorbiaceae
Theaceae

Frelatif
(%)
33,33
8,33
8,33

Krelatif
(%)
45,83
4,17
4,17

Drelatif
(%)
32,13
22,48
21,60

111,2931
34,97526
34,09596

8,33
16,67
8,33

20,83
12,50
4,17

7,69
6,53
4,52

36,85912
35,69547
17,01749

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

INP (%)

4 | 62

Kode
Car
Mb

Nama
Daerah
pasung
Ki Hiur
Baros

Nama Latin

Famili

Castanopsis argantea Fagaceae


Magnolia blumei
Magnoliaceae
Jumlah

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Flora)

Frelatif
(%)
8,33
8,33
100

Krelatif
(%)
4,17
4,17
100

Drelatif
(%)
3,84
1,22
100

INP (%)
16,34053
13,72312
300

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.59. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada ketinggian >1400
m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.60. Grafik lima spesies dominan tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 63

Tabel 4.34. INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian > 1400 m dpl
Kode

Nama
Daerah

Ca

Jarah Anak

Sw
Sl
Car
Fr
Es
Ltsp
La

Puspa
Ki Sireum
Ki Hiur
Ki Walen
Ki Hujan
Pasang
Huru
Koneng

Nama Latin
Castanopsis
acuminatissima
Schima wallichii
Syzygium lineatum
Castanopsis argantea
Ficus ribes
Engelhardia serata
Lithocarpus sp.
Litsea angulata

Famili
Fagaceae
Theaceae
Myrtaceae
Fagaceae
Moraceae
Juglandaceae
Fagaceae
Lauraceae

Jumlah

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP (%)

18,18
27,27
9,09
9,09
9,09
9,09
9,09

39,13
34,78
4,35
4,35
4,35
4,35
4,35

42,70
31,48
6,13
4,91
3,21
2,92
4,48

100,01
93,54
19,56
18,35
16,65
16,36
17,92

9,09
100

4,35
100

4,17
100

17,61
300

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.61. Grafik INP tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada ketinggian >1400 m
dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 64

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.62. Grafik lima spesies dominan tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.
Tabel 4.35. INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian > 1400 m dpl.
Kode

Nama
Daerah

La
Ns

Ki Semat
Ki Sireum
Ki Hujan
Ki Walen
Huru
Koneng
Cangcaratan

Di

Jamuju

Ca
HrBuah

Jarah Anak

Lb
Sl
Es
Fr

Huru Buah

Nama Latin

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP (%)

Lindera bibacteata
Syzygium lineatum
Engelhardia serata
Ficus ribes

Lauraceae
Myrtaceae
Juglandaceae
Moraceae

11,11
11,11
11,11
11,11

16,67
8,33
8,33
8,33

1,86
0,84
3,34
1,49

29,63
20,28
22,79
20,93

Litsea angulata
Nauclea subdita
Dacrycarpus
imbricatus
Castanopsis
acuminatissima

Lauraceae
Rubiaceae

11,11
11,11

8,33
8,33

1,49
18,19

20,93
37,64

Podocarpaceae

11,11

8,33

53,46

72,91

Fagaceae

11,11

25,00

13,40

49,51

11,11
100,00

8,33
100,00

5,94
100,00

25,38
300,00

Huru Buah
Jumlah

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 65

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.63. Grafik INP tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada ketinggian
>1400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.64. Grafik lima spesies paling dominan tingkat pancang di Kawasan
TBGMK pada ketinggian >1400 m dpl.
Tabel 4.36. INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian > 1400 m dpl.

Ca

Nama
Daerah
Jarah Anak

Es
Ff
Fr

Ki Hujan
Beunying
Ki Walen

Kode

Nama Latin
Castanopsis
acuminatissima
Engelhardia serata
Ficus fistulosa
Ficus ribes

Famili
Fagaceae
Juglandaceae
Moraceae
Moraceae

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Frelatif
(%)
16,67
16,67
16,67
16,67

Krelatif
(%)
16,67
16,67
16,67
16,67

INP (%)
33,33
33,33
33,33
33,33

4 | 66

Kode
Sw
Sl

Nama
Daerah
Puspa
Ki sireum

Nama Latin
Schima wallichii
Syzygium lineatum
Jumlah

Famili
Theaceae
Myrtaceae

Frelatif
(%)
16,67
16,67
100

Krelatif
(%)
16,67
16,67
100

INP (%)
33,33
33,33
200

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boidiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.65. Grafik INP tingkat semai di Kawasan TBGMK pada ketinggian >1400
m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.66. Grafik lima spesies terdominan tingkat semai di Kawasan TBGMK
pada ketinggian >1400 m dpl.

4.2.1.3. Indeks Keragaman Spesies


Hasil penghitungan nilai indeks keragaman spesies flora untuk tingkat pohon, tiang,
pancang, dan semak pada ketinggian 1.200 1.400 mdpl di kawasan CAGT
ditunjukkan pada Gambar 4.67 hingga Gambar 4.70.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 67

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.67. Grafik keragaman spesies tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.68. Grafik keragaman spesies tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 68

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.69. Grafik keragaman spesies tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.70. Grafik keragaman spesies tingkat semai di Kawasan TBGMK pada
ketinggian 1200-1400 m dpl.
Kajian biodivsersitas di TBGMK tidak hanya dilakukan pada ketinggian di atas
1.400 mdpl saja, melainkan juga pada lokasi >1400 mdpl. Hasil anilisa analisanya
dapat dilihat pada Gambar 4.71 hingga Gambar 4.74.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 69

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.71. Grafik keragaman spesies tingkat pohon di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.72. Grafik keragaman spesies tingkat tiang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 70

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.73. Grafik keragaman spesies tingkat pancang di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.74. Grafik keragaman spesies tingkat semai di Kawasan TBGMK pada
ketinggian >1400 m dpl.

4.2.1.4. Status Konservasi


Kawasan TBGMK memiliki sedikitnya 23 jenis yang dilindungi baik secara nasional
melalui PP No. 7 Tahun 1999, ataupun IUCN dan CITES Rdlist Species. Spesiesspesies tersebut adalah :Elaeocarpus submonoceras ssp. submonoceras (VU),

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 71

Appendiks II CITES :Bulbophyllum angustifolium (Anggrek gewor) (App II),


Bulbophyllum binnendijikii ,(Anggrek gendog, A. centong), Bulbophyllum cernuum,
Bulbophyllum flavescens, Bulbophyllum ovalifolium, Bulbophyllum semp erflorens,
Coelgyne miniata, Corybas imperatorius, Cymbidium roseum, Cystorchis aphylla,
Dendrobium kuhlii, Dendrobium montanum , Dendrobium stuartii, Flickengeria
angustifolia, Liparis viridiflora, Macodes javanica, Macodes petola, Pholidota
articulate, Pholidota carnea, Thrixspernum amplexicaule, Trichostosia pauciflora;
CITES Appendix I : Paphiodilum javanicum,
Tabel 4.37. Status Konservasi Spesies Flora di kawasan TBGMK
Species

Author

Liparis viridiflora
Macodes javanica
Macodes petola
Paphiodilum javanicum
Pholidota articulata
Pholidota carnea
Thrixspernum amplexicaule
Trichostosia pauciflora
Elaeocarpaceae
Elaeocarpus
submonoceras

IUCN

Anggrek gewor
Anggrek gendog,
A. centong

Bulbophyllum angustifolium
Bulbophyllum binnendijikii
Bulbophyllum cernuum
Bulbophyllum flavescens
Bulbophyllum ovalifolium
Bulbophyllum
semperflorens
Coelgyne miniata
Corybas imperatorius
Cymbidium roseum
Cystorchis aphylla
Dendrobium kuhlii
Dendrobium montanum
Dendrobium stuartii
Flickengeria angustifolia

Nama Daerah

UU

Endemik

II
II
II
II
II
II

(BI.) Lindl.
(BI.) Lindl.
J.J. Sm.
(BI.) Lindl.
J.J.Sm.

CITES

II
II
II
II
II
II
II
II

Anggrek padi

(B.I) Lindl.
J.J.Sm
(BI.) A.D.
Hawkes.
(B.I) Lindl.

II
II
II
II

(BI.) Lindl.
(Reinw.ex
Lindl.) Pfitz.
Lindl.
(BI.) Lindl.

UU

II
II
II
II
Katulampa

VU

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 72

4.2.2.

Mamalia

4.2.2.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan TBGMK berhasil ditemukan 18
spesies dari 13 famili dan 7 ordo. Secara keseluruhan survei dilakukan selama hari
yang terbagi menjadi lima jalur dengan menggunakan metode transek. Adapun guna
mengetahui kekayaan spesies dilakukan dengan metode di luar transek seperti
kamera trap, live trap (perangkap rodentia), dan mistnet (perangkap chiroptera).
Spesies-spesies yang ditemukan didasarkan pada perjumpaan langsung dan tidak
langsung. Kawasan TBGMK yang di survei memiliki beberapa tipe habitat
diantaranya hutan tanaman pinus, hutan rasamala, dan hutan alam. Sebaran spesies
mamalia di kawasan TBGMK dapat dilihat pada Tabel 4.40.
Tabel 4.38. Sebaran spesies mamalia di kawasan TBGMK
No.

Nama Species

ARTIODACTYLA
Cervidae
1 Muntiacus muntjak
Suidae
2 Sus scrofa
CARNIVORA
Felidae
3 Prionailurus
bengalensis
Mustelidae
4
Martes flavigula
5 Melogale orientalis
Viverridae
6 Paradoxurus
hermaphroditus
CHIROPTERA
Pteropodidae
7 Rousettus sp (1)
INSECTIVORA
Soricidae
8 Crocidura monticola
PRIMATA
Cercopithicidae
9
Macaca fascicularis

Nama Lokal

Kijang
Babi hutan

Jalur Pengamatan
II III IV V VI

VII

Kucing hutan
Musang leher
kuning
Biul

Nontransek

v
v

Musang Luwak

Codot

Cecurut

Monyet ekor
panjang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 73

No.

Nama Species

10 Presbytis comata
11 Trachypithecus auratus
mauritius
Hylobatidae
12 Hylobates moloch
Lorisidae
13 Nycticebus javanicus
RODENTIA
Muridae
14 Rattus norvegicus
Sciuridae
15 Callosciurus notatus
16 Lariscus sp.
17 Ratufa bicolor
SCANDENTIA
Tupaiidae
18 Tupaia javanica

Nama Lokal
Surili

I
v

Lutung Jawa

Jalur Pengamatan
II III IV V VI
v

VII

Owa Jawa
Kukang Jawa

Nontransek

v
v

Tikus riul
Bajing
Bajing Tanah
Jelarang

v
v

celemes

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Mamalia)


Keterangan : v = ditemukan, non-transek = perjumpaan luar kawasan/kamera trap/live trap/mistnet.

Pada Tabel 4.42 dapat dilihat bahwa terdapat satu spesies mamalia yang memiliki
sebaran cukup luas dibandingkan spesies lainnya yaitu babi hutan (Sus scrofa). Hal
ini terlihat dari ditemukannya spesies ini di lima jalur dari tujuh jalur pengamatan
yang ada. Selaruh jalur pengamatan tersebut memiliki ketinggian antara 1200 mdpl
hingga 1600 mdpl. Jalur pengamatan yang memiliki kekayaan spesies mamalia
tertinggi yaitu di jalur II dan III dengan temuan 6 spesies mamalia dari 5 famili
(33,3% dari total spesies mamalia yang ditemukan). Sedangkan kekayaan spesies
pada non-transek sangat tinggi dikarenakan survei dilakukan di berbagai titik lokasi
yang sangat berpotensi dalam penemuan spesies dan titik lokasi tersebut berada di
luar jalur pengamatan. Berikut adalah grafik kekayaan spesies mamalia pada masingmasing jalur pengamatan di kawasan TBGMK (Gambar 75).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 74

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.75. Grafik kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur


pengamatan di kawasan TBGMK.

4.2.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Keragaman Spesies
Tingkat keragaman spesies mamalia diperoleh dari hasil perhitungan nilai indeks
Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat keragaman
spesies pada jalur pengamatan yang berbeda. Perhitungan indeks ini didasari atas
data perjumpaan langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Menurut Fachrul
(2007), indeks keragaman spesies dapat dikatakan tinggi atau melimpah apabila
memiliki kisaran nilai lebih dari 3, sedang bila terdapat dalam kisaran nilai 1 3,
dan rendah bila terdapat dalam kisaran kurang dari 1. Berdasarkan hasil survei dari
tujuh jalur pengamatan di kawasan TBGMK, hanya lima jalur saja yang dapat
dihitung tingkat keragaman spesies mamalia. Hal ini dikarenakan terdapat dua jalur
pengamatan (jalur V dan VI) yang perjumpaan seluruh spesiesnya tidak dijumpai
secara langsung. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan TBGMK dapat dilihat pada Gambar 76.
Secara keseluruhan grafik diatas (Gambar 4.76) menunjukan bahwa tingkat
keragaman spesies pada kawasan TBGMK tergolong rendah hingga sedang
dengan kisaran 0 hingga 1 dengan nilai indeks tertinggi terdapat di jalur III dan nilai
indeks terendah terdapat di jalur VI dan VII. Menurut Sodhi (2004) dalam Gunawan
et al. (2005), tingkat keragaman spesies di suatu areal dipengaruhi oleh beberapa
faktor, dua diantaranya adalah keragaman atau kualitas habitat dan gangguan dari
aktifitas manusia seperti perburuan liar. Nilai indeks yang lebih tinggi pada jalur III
dikarenakan jalur ini memiliki tipe habitat hutan alam dengan keragaman vegetasi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 75

tinggi dibandingkan jalur lainnya yang memiliki tipe habitat hutan tanaman.
Rendahnya keragaman vegetasi pada hutan tanaman menjadi salah satu faktor
pembatas bagi mamalia untuk bisa hidup dalam kawasan ini. Jenis tegakan yang ada
cenderung seragam sehingga hanya mendukung kehadiran jenis-jenis mamalia
tertentu saja. Selain itu, adanya penebangan kayu alam pada beberapa lokasi
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat. Perburuan liar sangat
memungkinkan untuk terjadi di kawasan ini karena mudahnya akses masuk ke dalam
kawasan.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.76. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
TBGMK

Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan spesies digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi
diantara tiap spesies dalam komunitas dengan menggunakan nilai indeks kemerataan.
Data yang digunakan dalam nilai indeks kemerataan merupakan data perjumpaan
langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Berdasarkan hasil survei, tingkat
kemerataan spesies mamalia di kawasan TBGMK berkisar antara 0,72 sampai 1.
Menurut Husin (1988) dalam Lumme (1994), apabila nilai indeks kemerataan
mendekati satu maka sebaran individu-individu antar spesies relatif merata, tetapi
apabila nilai indeks mendekati 0 maka sebaran individu antar spesies sangat tidak
merata. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di kawasan
TBGMK dapat dilihat pada Gambar 77.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 76

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.77. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan TBGMK
Berdasarkan pada Gambar 4.79 terlihat bahwa jalur I memiliki nilai indeks
kemerataan satu yang berarti sebaran individu-individu antar spesies relatif merata.
Hal ini dikarenakan pada jalur I tidak memiliki spesies dominan. Adapun hanya
ditemukan dua spesies mamalia dengan jumlah individu yang sama. Berbeda dengan
jalur II yang memiliki spesies dominan yaitu lutung (Trachypithecus auratus
mauritius) sehingga nilai indeks kemerataan pada jalur II memiliki nilai terkecil.
Adapun pada jalur VI da VII tidak dapat dihitung indeks kemerataan spesies
dikarenakan hanya satu spesies saja yang dijumpai di jalur ini.

4.2.2.3. Status Konservasi


Demi menjaga keberlangsungan kehidupan satwaliar khususnya mamalia diperlukan
suatu upaya pelestarian seperti adanya peraturan yang melindungi dan menjaga
kelestarian mamalia tersebut seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Berdasarkan
18 spesies mamalia yang ditemukan di kawasan TBGMK sebanyak 9 spesies
mamalia masuk dalam daftar status konservasi dan perlindungan nasional maupun
internasional seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Beberapa spesies merupakan
spesies endemik jawa. Status konservasi dan perlindungan mamalia di kawasan
TBGMK dapat dilihat pada Tabel 4.41 dan secara lengkap terdapat di Lampiran 3.
Tabel 4.39. Status konservasi mamalia di kawasan TBGMK
No.

Nama Species

1 Hylobates moloch
2 Macaca fascicularis

Nama Lokal
Owa jawa
Monyet ekor

Status Perlindungan
PP7/99 IUCN
CITES
D
EN
I
II

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Endemik
E

4 | 77

No.

Nama Species

3 Muntiacus muntjak
4
Nycticebus javanicus
5 Presbytis comata
6 Prionailurus bengalensis
7 Ratufa bicolor
8 Trachypithecus auratus
mauritius
9 Tupaia javanica

Nama Lokal

Status Perlindungan
PP7/99 IUCN
CITES

panjang
Kijang

Kukang jawa
Surili
Kucing hutan
Jelarang

D
D
D
D

CR
EN

I
II
II
II

Lutung jawa

VU

II

Celemes

Endemik

E
E

II

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Mamalia)


Keterangan: D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN =
Endangered, VU = Vulnerable, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, E = endemik Jawa

Pada Tabel 4.41 dapat dilihat bahwa sebanyak 7 spesies mamalia dilindungi oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Jika dibandingkan dengan seluruh spesies mamalia yang
ditemukan, spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan status ini mencakup 38,8%.
Sedangkan berdasarkan catatan merah IUCN sebanyak satu spesies mamalia
memiliki status critically endangered / sangat terancam (CR), dua spesies mamalia
berstatus endangered / genting (EN), satu spesies mamalia berstatus vulnerable /
rawan (VU), dan sisanya berstatus near threatened / mendekati terancam (NT),
Least Concern / konsentrasi rendah (LC), dan Data Deficient / data kurang (DD).
Tiga status teratas seperti sangat terancam, genting, dan rawan memiliki resiko
kepunahan yang sangat tinggi di alam. Namun yang membedakan ketiga status
tersebut adalah kriteria-kriteria didalamnya, salah satunya diantaranya adalah ukuran
populasi (terutama adanya pengurangan populasi) suatu satwa (IUCN 2001).
Berdasarkan konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah
yaitu Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species (CITES) terdapat
dua spesies mamalia yang terdaftar dalam kategori Appendix I, enam spesies
mamalia terdaftar dalam kategori Appendix II, dua spesies mamalia terdaftar dalam
kategori Appendix III dan sisanya tidak terdaftar dalam CITES. Menurut Soehartono
dan Mardiastuti (2003), kategori Appendix I yaitu spesies yang jumlah di alamnya
sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk
spesies-spesies yang termasuk dalam Appendix I sama sekali tidak diperbolehkan.
Sedangkan pada kategori Appendix II yaitu semua spesies kehidupan liar walau tidak
dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk
terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur. Pada kriteria dasar kategori
Appendix III relatif sama dengan Appendix II hanya berbeda pada spesies yang
termasuk Appendix III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Seperti halnya
pada dua spesies mamalia yang ditemukan, terdapat spesies yang tergolong Appendix

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 78

III (lampiran xx), tetapi tidak diberlakukan di negara Indonesia melainkan di negara
India saja.
Terdapat empat spesies mamalia yang termasuk spesies endemik jawa, diantaranya
keempat spesies tersebut berasal dari ordo primata yaitu kukang jawa (Nycticebus
javanicus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), dan lutung jawa
(Trachypithecus auratus mauritius). Pada dua spesies primata seperti surili dan
lutung jawa merupakan primata endemik Jawa barat. Berikut adalah Sebaran jumlah
spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan
CITES (I&II) serta spesies endemik jawa. Berikut adalah grafik sebaran spesies
mamalia berdasarkan status perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES
(I&II) serta mamalia endemik jawa (Gambar 4.78).
Pada Gambar 4.78 terlihat bahwa jalur III merupakan jalur yang paling banyak
memiliki spesies mamalia dilindungi khususnya berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Sedangkan pada jalur I terdapat satu spesies mamalia yang berstatus appendix
CITES I dan masuk daftar merah IUCN dengan status CR seperti kukang jawa
(Nycticebus javanicus). Adapun spesies endemik jawa lebih banyak ditemukan di
jalur I. Jalur I dan III berada di ketinggian 1200 1400 mdpl yang di dominasi hutan
alam pada jalur III dan hutan tanaman pada jalur I. Oleh karena itu, kawasan ini
(jalur I dan jalur III) memerlukan perhatian yang lebih terutama pada sektor
pengamanan atau perlindungan spesies mamalia guna menghindari aktifitas-aktifitas
yang mengancam keberadaan spesies seperti perburuan.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.78. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP


7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta spesies endemik jawa.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 79

4.2.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Kukang jawa (Nycticebus javanicus)
Kukang jawa (Nycticebus javanicus) termasuk kedalam ordo primata dan famili
lorisidae. Ciri-ciri pada kukang jawa yaitu warna rambut kelabu keputih-putihan,
pada punggung terdapat garis coklat melintang dari bagian belakang tubuh hingga
dahi, rambut sekitar telinga berwarna coklat serta di sekitar mata juga berwarna
coklat membentuk bulatan sehingga menyerupai kacamata. Habitat kukang jawa
meliputi hutan primer dan sekunder, hutan bambu, hutan bakau, dan terkadang di
daerah perkebunan (Supriatna & Wahyono 2000). Kukang jawa merupakan spesies
yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Saat ini spesies ini sedang mengalami
penurunan populasi sehingga terjadi peningkatan status pada catatan merah IUCN,
diketahui pada tahun 2008 spesies ini masih berstatus endangered / genting tetapi
pada tahun 2013 spesies ini telah berstatus critically endangered / sangat terancam.
Kukang jawa hanya ditemukan di pulau jawa sehingga spesies ini termasuk spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna & Wahyono (2000), kukang jawa tersebar di
hutan-hutan lindung, TN Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, dan Gunung
Halimun. Sedangkan berdasarkan survei di kawasan DAS Citarum, terutama di TB
Gunung Masigit Kareumbi, spesies ini hanya ditemukan satu individu saja di tegakan
pohon sekitar jalan utama pada jalur II yang didominasi hutan tanaman. Spesies ini
tercatat pada ketinggian 1200 mdpl. Oleh karena itu, spesies ini rentan terhadap
perburuan.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata kukang jawa sebesar 0,03 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini
hanya sebesar 2,25 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang
diamati mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi
beberapa berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya
dengan mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak
diduga (Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih
kekurangan pada luas areal contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh.
Hal ini dapat dikarenakan waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data
untuk kepadatan rata-rata spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata
spesies secara lebih detail terutama dengan mempertimbangkan luas areal contoh dan
waktu pelaksanaan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 80

Owa Jawa (Hylobates moloch)


Owa jawa (Hylobates moloch) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
hylobatidae. Owa jawa memiliki ciri-ciri seperti Tubuh seluruhnya ditutupi rambut
yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya
berwarna hitam. Muka seluruhya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu
yang meneyerupai warna keseluruhan tubuh. Owa jawa hidup di kawasan hutan
hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan dengan tinggi
1400 1600 mdpl (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini owa jawa mengalami
keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status
endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori
Appendix I yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Owa jawa hanya tersebar di pulau jawa saja sehingga spesies ini terbilang spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna dan Tilson (1994) dalam Ario et al. (2011),
penyebaran owa jawa di Jawa Barat, diantaranya seperti di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Ujung Kulon,
Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweng Sancang. Sedangkan berdasarkan survei
di kawasan DAS Citarum, terutama di TB Gunung Masigit Kareumbi, spesies ini
hanya berhasil diidentifikasi berdasarkan suaranya yang terdengar di blok kerenceng.
Berdasarkan pengakuan masyarakat sekitar, mereka sudah sangat jarang mendengar
suara owa jawa. Hal ini berarti populasi owa jawa di kawasan ini diduga sudah
sangat sedikit. Perhitungan kepadatan spesies dalam hal ini tidak dapat digunakan
karena perjumpaan spesies ini secara tidak langsung. Kajian lebih intensif perlu
dilakukan untuk memastikan keberadaan dan daya dukung habitat owa jawa di lokasi
sekitar blok kerenceng untuk mempertahankan populasi spesies ini agar selalu
terjaga.
Surili (Presbytis comata)
Surili (Presbytis comata) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
Cercopithicidae. Secara umum tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung memiliki warna hitam atau coklat dan keabuan. Rambut pada jambul dan
kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut yang tumbuh dibawah dagu, dada dan
perut, bagian dalam lengan, kaki, dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan
telinga hitam pekat agak kemerahan (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini surili
mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN
dengan status endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan
kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 81

Surili tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat sehingga spesies ini termasuk
spesies endemik jawa barat. Surili hidup di daerah hutan hujan atas di Gunung
Halimun, Gunung Tilu, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, Danau Ranca, dan
Ujung Kulon (Ditjen PPA 1978b; Sub BKSDA Jabar dan TSI 1994; Siahaan 2002).
Berdasarkan survei di kawasan DAS Citarum, terutama di TB Gunung Masigit
Kareumbi, spesies ini dapat dijumpai di jalur I dan III dengan tipe habitat hutan
tanaman dan hutan alam. Keberadaan spesies ini tercatat di atas ketinggian 1200
mdpl.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,014 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,25 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan
mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan
dalam luas areal contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini
dapat dikarenakan waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk
kepadatan rata-rata spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata
spesies secara lebih detail terutama dengan mempertimbangkan luas areal contoh dan
waktu pelaksanaan.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus mauritius)
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) termasuk ke dalam ordo primate dan family
Cercopithicidae. Lutung Jawa yang terdapat di Indonesia memiliki dua subspecies
berdasarkan perbedaan warna yaitu: Trachypithecus auratus auratus dan
Trachypithecus auratus mauritius. Ciri pada spesies Trachypithecus auratus
mauritius diantaranya hitam mengkilap dengan sedikit warna kecoklat-coklatan pada
bagian atas ventrum, cambang, dan kaki (Brandon-Jones 1995; Groves 2001;
Febriyanti 2008). Saat ini surili mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam
catatan merah IUCN dengan status vulnerable / rawan dan juga termasuk ke dalam
CITES dengan kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Lutung jawa ini (T.a. mauritius) tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat
sehingga spesies ini termasuk spesies endemik jawa barat. Spesies ini memiliki
distribusi terbatas di Jawa Barat hingga utara dari Jakarta, dekat Bogor, Cisalak, and
Jasinga, barat daya Ujung Kulon, kemudian sepanjang pantai selatan Cikaso atau

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 82

Ciwangi (Groves 2001 dalam Febriyanti 2008). Berdasarkan survei di kawasan DAS
Citarum, terutama di TB Gunung Masigit Kareumbi, spesies ini hanya dijumpai di
jalur II yang didominasi hutan alam. Keberadaan spesies ini tercatat pada ketinggian
1360 mdpl. Spesies ini dijumpai dalam satu kelompok yang terdiri dari lima
individu.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,017 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,25 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan
mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan
dalam hal luas areal contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini
dapat dikarenakan waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk
kepadatan rata-rata spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata
spesies secara lebih detail dengan mempertimbangkan luas areal contoh dan waktu
pelaksanaan.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.79. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan TBGMK

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 83

4.2.3.

Burung

4.2.3.1. Kekayaan Spesies


Sekitar 114 spesies burung dari 39 famili yang tercatat selama survey di TBGMK
melalu perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara) pada saat survey
lapangan. Survey burung mencakup areal TBGMK, terutama areal yang masuk ke
dalam DAS Citarum. Areal-areal disekitar wilayah utama kajian, seperti areal hutan
tanaman (rasamala dan pinus), dan hutan alam, serta areal di luar Kawasan TBGMK,
yaitu hilir Sungai Citarik dan lahan pertanian penduduk menjadi areal tambahan
dalam observasi lapangan.
Dari 114 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 20 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 27 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 2 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Luntur Jawa (Apalharpactes reinwardtii) dengan
Status Genting/ Endangered. 5 spesies dengan Status Mendekati terancam/ Near
Threatened dan 10 spesies termasuk dalam daftar CITES.
Tabel 4.40. Ringkasan kekayaan spesies burung di TBGMK
Penjelasan
Spesies yang dijumpai

Jumlah
114
spesies

Kelompok famili

39 famili

Spesies Endemik

20 spesies

Spesies Dilindungi

27 spesies

Status Genting/ Endangered


Red-IUCN

2 spesies

Status Mendekati terancam/


Near Threatened Red List
IUCN

5 spesies

Jenis dalam daftar Appendix


II CITES

10 spesies

Keterangan
Perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara)
pada saat survey lapangan

Daftar terlampir
Dilindungi oleh pemerintah melalui UU No 5/ 1990
dan PP no 7/ 1999
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi )dan Luntur Jawa
(Apalharpactes reinwardtii)
Serindit Jawa (Loriculus pusillus) Walet Gunung
(Collocalia vulcanorum) Brinji Gunung (Ixos
virescens) Cica Matahari (Crocias albonotatus)
Kepudang Hutan (Oriolus xanthonotus) Tepus Dadaputih (Stachyris grammiceps)

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Burung)

Selama survey dilakukan, tercatat 20 jenis Endemik Pulau Jawa yang tercakup ke
dalam 12 Family. Family dengan jumlah spesies endemik terbanyak adalah
Timaliidae dengan 5 spesies (Stachyris grammiceps, Stachyris thoracica Stachyris
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, dan Crocias albonotatus), kemudian Famili

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 84

dengan 2 jenis endemik adalah Capitonidae (Megalaima corvina dan Megalaima


armillaris), Pycnonotidae (Pycnonotus bimaculatus dan Ixos virescens)
Nectariniidae (Aethopyga eximia dan Aethopyga mystacalis), Zosteropidae
(Zosterops flavus dan Lophozosterops javanicus) dan Family dengan masing-masing
1 jenis endemik adalah Accipitridae, Phasianidae, Psittacidae, Trogonidae,
Alcedinidae, Sylviidae, Rhipiduridae.
Tabel 4.41. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di TBGMK
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Nama Ilmiah
Spizaetus bartelsi
Arborophila javanica
Loriculus pusillus
Apalharpactes reinwardtii
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pycnonotus bimaculatus
Ixos virescens
Stachyris grammiceps
Stachyris thoracica
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Tesia superciliaris
Rhipidura phoenicura
Aethopyga eximia
Aethopyga mystacalis
Zosterops flavus
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elang Jawa
Puyuh gonggong Jawa
Serindit Jawa
Luntur Jawa
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung
Brinji Gunung
Tepus Dada-putih
Tepus Leher-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Tesia Jawa
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Kacamata Jawa
Opior Jawa

Nama Inggris
Javan Hawk-Eagle
Chestnut-bellied Partridge
Yellow-throated Hanging Parrot
Blue-tailed Trogon
Javan Kingfisher
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet
Orange-spotted Bulbul
Sunda Bulbul
White-breasted Babbler
White-bibbed Babbler
Crescent-chested Babbler
Javan Fulvetta
Spotted Crocias
Javan Tesia
Rufous-tailed Fantail
White-flanked Sunbird
JavanSunbird
Javan White-eye
Grey-throated Ibon

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Burung)

4.2.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Jalur transek blok Gn kerenceng yang mewakili tipe habitat yang berbeda
diantaranya pesawahan, agroforest, semak, hutan tanaman (hutan Pinus), dan Hutan
Alam memiliki indeks diversitas jenis burung paling tinggi sebesar 3.315 (mendekati
indeks keragaman yang tinggi menurut indeks Shannon-Wiener) . Sedangkan jalur
transek blok Cimulu yang hanga diwakili oleh tipe habitat hutan alam hutan pinus
dan semak memiliki indeks diversitas dan jumlah jenis burung yang paling rendah
sebesar 1.714. (Tabel 4.44 dan Gambar 4.80).
Akan tetapi, Secara umum hasil analisa keragaman dan kemeratan spesies burung
dari sample transek di kawasan TBGMK berada dalam katagori sedang dengan nilai

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 85

H antara 1.714 - 3.315. Dimana jumlah spesies burung yang tercatat antara 13-32
spesies, produktivitas cukup (rata-rata 32-105 induvidu burung yang tercatat dalam
jalur transek dengan total 315 individu burung).
Tabel 4.42. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
No
1
2
3
4
5

Nama Jalur
Gn kerenceng
Gn Buyung
Cireundeu
Cimulu
Curug sabuk

H' (Keragaman spesies)


3.315
3.713
1.901
1.714
2.418

E (Kemerataan spesies)
0.956
1.154
0.686
0.593
0.943

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Burung)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.80. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener
Begitu pula dengan kondisi ekosistem yang dapat dikatakan cukup seimbang, 10 tipe
habitat yang dilalui jalur transek di sekitar kawasan. Terdapat dua habitat utama di
wilayah TBGMK, yakni hutan tanaman (pinus, rasamala, kayu afrika/sobsi) dan
hutan alam. Di wilayah TBGMK yang menjadi bagian DAS Citarum, hutan alam
hanya terdapat di beberapa puncak bukit dan di bagian punggungan bukit batas DAS.
Pada areal terluar kawasan TBGMK semuanya adalah hutan tanaman pinus dan
rasamala.
Di wilayah TBGMK yang masuk DAS Citarum terdapat dua enclave, yakni
Cigumentong (17 hektar) dan Cimulu (8 hektar). Wilayah enclave tersebut
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 86

merupakan areal pertanian sayuran (kol, tomat, terong, CAGBe). Di Cigumentong


terdapat 17 rumah (24 KK), sementara di Cimulu terdapat 7 rumah. Di sekeliling
areal enclave adalah hutan tanaman pinus. Di luar areal TBGMK umumnya
merupakan lahan pertanian dan pemukiman penduduk.

4.2.3.3. Status Konservasi


Dari 114 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 20 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 27 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 2 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Luntur Jawa (Apalharpactes reinwardtii) dengan
Status Genting/ Endangered. 5 spesies dengan Status Mendekati terancam/ Near
Threatened dan 10 spesies termasuk dalam daftar CITES.
Ancaman utama terhadap kelestarian burung di dalam kawasan Taman Buru Gunung
Masigit Kareumbi adalah perburuan yang menjadi faktor dominan yang dijumpai di
lapangan terhadap keberadaan spesies terutama spesies-spesies yang memiliki status
konservasi, baik itu spesies yang terancam punah atau spesies yang mendapat
perludungan nasional (UU no 5/1990 dan PP no 7&8/1995) maupun internasional.
(CITES).
Selama dilapangan banyak dijumpai secara langsung indikasi ancaman terhadap
keberadaan atau kelestarian burung di kawasan Taman Buru Masigit-Karembi seperi
banyaknya dijumpai jaring-jaring penangkap burung yang masih terpasang. tiangtiang kayu bekas pemburu memasang jaring bahkan di jalur Cimulu dijumpai 7 orang
membawa senapan berburu burung dan menginap di hutan.
Tabel 4.43. Daftar Spesies Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No
7/1999.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Nama Ilmiah
Spilornis cheela
Ictinaetus malayensis
Spizaetus cirrhatus
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Loriculus pusillus
Otus lempiji
Ketupa ketupu
Apalharpactes reinwardtii
Alcedo meninting
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris

Nama Indonesia
Elangular Bido
Elang Hitam
Elang Brontok
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Serindit Jawa
Celepuk Reban
Beluk Ketupa
Luntur Jawa
Rajaudang Meninting
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa

IUCN CITES
II
II
II
EN
II
II
NT
II
II
II
EN

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

UU-RI
AB
AB
AB
AB
AB

AB
AB
AB
AB

4 | 87

No.
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Nama Ilmiah
Rhyticeros undulatus
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pitta guajana
Ixos virescens
Oriolus xanthonotus
Psaltria exilis
Stachyris grammiceps
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Rhipidura phoenicura
Anthreptes singalensis
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Aethopyga mystacalis
Arachnothera longirostra
Arachnothera robusta
Arachnothera affinis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Julang Emas
Takur Bututut
Takur Tohtor
Paok Pancawarna
Brinji Gunung
Kepudang Hutan
Cerecet Jawa
Tepus Dada-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Belukar
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Pijantung Kecil
Pijantung Besar
Pijantung Gunung
Opior Jawa

IUCN CITES
II

UU-RI
AB
AB
AB

II
NT
NT
NT

NT

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
B
AB

Keterangan EN : Endangered (Genting); VU : Vurneable (Rentan) ; NT : Near Threatened (Mendekati terancam);:


Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international; II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan
pembatasan kuota perdagangan ; A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

4.2.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Elang Jawa
Kawasan hutan ini dengan luas 12420 ha secara umum memiliki tive vegetasi hutan
pengunungan bawah dan hutan pengunungan atas dengan topografi berbukit sampai
bergunung. Kawasan ini terletak di wilayah Kab. Sumedang dan Kab. Bandung dan
hampir sebagian besar kawasan ini merupakan hutan alami dan hutan tanaman.
Catatan keberadaan Elang Jawa di kawasan ini telah lama diketahui termasuk
penelitian terlahir yang dilakukan pleh Setiadi dkk (2000) yang menyebutkan bahwa
di kawasan Gn. Masigit-Kareumbi ditemukan 4 individu (2 pasang).
Setadi, dkk. (2000) memperkirakan bahwa populasi Elang Jawa di kawasan Cagar
Alam Gn. Tilu adalah sekitar 5-6 pasang berdasarkan pada ekstrapolasi luas daya
jelajah sekitar 18,22 km/pasang. Perhitungan populasi yang dilakukan oleh Setoadi

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 88

dkk (2000) di kawasan TBGMK ekstrapolasi luas area 99,36 km2 yang diasumsikan
mewakili atau memenuhi kebutuhan tipe habitat dari 124.2 km2 luas area
keseluruhan.
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). dijumpai langsung di lembah hutan alam Geger
Onday tanggal 26 Juni 2013, pukul 11.45. Lokasi potensial untuk Elang Jawa, yaitu
lembah hutan alam di antara Gn Kukus dengan Gn Kerenceng, dan lembah hutan
alam Sungai Cikahuripan (Baru Dekok)
Tabel 4.44. Perkiraan populasi Elang Jawa di TBGMK
Sumber

Luas area

Perkiraan
Populasi/
pasang

Luas Daya
jelajah/pasang

Setiadi dkk. 2000

99,36 km2

18,22 km

5-6

CWMBC

60 km2

9,41-7,6 km2

6.3 -7.9

Sumber : Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Keterangan
Habtat yang
memadai
Perkiraan luas cover
area kajian CWMBC

Tabel d iatas menunjukan pendugaan populasi di TBGMK antara 6.3 -7.9 pasang
atau dengan pembulatan menjadi antara 6-8 pasang di seluruh lokasi kajian. Estimasi
atau pendugaan populasi tersebut tentunya hanya diperoleh dari kajian singkat yang
dilakukan dalam survey ini dan diperlukan perhitungan untuk pendugaan populasi
dengan memperhatikan variable atau peubah yang dapat mempengaruhi keberadaan
spesies ini, diantaranya luasan area kanian, tutupan lahan, kesesuaian tipe habitat dan
keberadaan kompetitor dari spesies yang sama maupun spesies dari famili
Accipritidae lainnya di TBGMK.
Julang Emas
Julang emas (Rhyticeros undulatus) adalah spesies burung dari keluarga Bucerotidae,
dari genus Aceros. Burung ini merupakan jenis burung pemakan buah-buahan
dengan habitat utama di hutan dataran rendah, perbukitan. tersebar sampai ketinggian
2.000 m dpl.
Status keterancamannnya menurut IUCN adalah Resiko Rendah (LC) dan
dimasukkan ke dalam Appendix II menurut CITES dan telah dilindungi menurut
peraturan perundangan UU No. 5/1990, PP No. 7/1999
Deskripsi
Berukuran besar (100 cm), berekor putih. Kedua jenis kelamin: punggung, sayap,
dan perut hitam. Jantan: kepala krem, bulu halus kemerahan bergantung dari
tengkuk, kantung leher kuning tidak berbulu dengan setrip hitam khas. Betina: kepala

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 89

dan leher hitam, kantung leher biru. Iris merah, paruh kuning dengan tanduk kecul
kerenyut, kaki hitam
Penyebaran
Secara global tersebar di India timur, Cina barat daya, Asia tenggara, Semenanjung
Malaysia, Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali.
Di Kalimantan dan Sumatera, cukup umum di hutan dataran rendah dan perbukitan
sampai ketinggian 2000 m. Di Jawa dan Bali, hanya terdapat di beberapa tempat.
Terbang berpasangan atau dalam kelompok kecil 5-8 individu di atas hutan, dengan
kepakan sayap yang berat sambil mencari pohon buah-buahan. Sering berbaur
dengan rangkong lain di tajuk atas pohon yang berbuah.
Daya jelajah
Belum banyak studi dan referensi mengenai daya jelajah spesies ini di Indonesia.
studi mengenai daya jelajah spesies ini pernah dilakukan oleh Poonswad & Tsuji
pada tahun 1988-1991 di Khao Yai national park, Thailand dengan menggunakan
metoda telemetry yang dipasang pada dua individu jantan dewasa spesies ini.
Poonswad & Tsuji (1993) menyatakan bahwa daya jelajah spesies ini berkisar antara
10 km2 pada musim berbiak dan 28,0 km2 pada musim non-berbiak. Sampai saat ini
kedua luasan daya jelajah tersebut menjadi parameter dibagi peneliti lainnya untuk
menghitung pendugaan populasi kasar dan kepadatan populasi spesies ini di sebuah
kawasan.
Kinnaird dkk (1993) Rangkong Sulawawesi (Rhyticeros cassidix) dapat terbang
sejauh 13 km dalam sehari. Kepadatan populasi pada musim berbiak spesies ini dapat
mencapai 10km2/pasang.
Pendugaan populasi
Salah satu cara untuk mengtahui kepadatan populasi spesies dari genus Aceros
(Rangkong) adalah dengan memghitung tingkat kepadatan populasi pada musim
berbiak. (Poonswad & Tsuji.1993). akantetapi, pendugaan populasi dengan melalui
pendekatan ekstrapolasi dari daya jelajah saja akan menimbulkan bias yang cukup
tinggi sehingga validitas dan akurasi nilai populasi spesies tersebut akan
dipertanyakan. Diperlukan data pendukung atau variable (peubah) llainnya yang
mendukung atau mempengaruhi pada keberadaan spesies tersebut. salah satu
variable/peubah yang mempengaruhi luasaan daya jelajah spesies ini adalah
perbedaan musim berbiak dan diluar musim berbiak, perbedaan musim penghujan
dan musim kemarau, persebaran potensi pakan spesies ini di suatu kawasan.
Survey lapangan di kawasan TBGMK dilakukan pada rentang tanggal 24-30 Juni
2013. Waktu efektif survey lapangan mulai dari tanggal 25-29 Juni 2013.
Keterbatasan waktu survey dan juga tingkat pertemuan terhadap spesies ini yang
sangat jarang, menyulitkan untuk memperoleh data dan informasi lapangan untuk

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 90

dapat dianalisa sehingga menghasilkan gambaran mengenai pendugaan populasi


spesies ini di kawasan TBGMK.
Catatan perjumpaan terhadap spesies ini di TBGMK hanya tercatat di Cireundeu Baru Petak (2 individu), dan di Baru Dekok (1 individu). Jumlah terbanyak yang
pernah dijumpai oleh Dendih (penduduk Leuwiliang) ada 8 ekor.
Peta dan persebaran spesies burung penting di kawasan TBGMK ditunjukkan pada
Gambar 4.81.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.81. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di kawasan
TBGMK

4.2.4.

Herpetofauna

4.2.4.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survey yang dilaksanakan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi
(TBGMK) dijumpai sebanyak 23 spesies dari kelompok herpetofauna yang terdiri
dari 12 spesies amfibi dan 11 spesies reptilian. Survey dilaksanakan di 6 jalur yang
terdiri dari 4 jalur akuatik dan 2 jalur merupakan gabungan antara akuatik dan
terrestrial. Jalur akuatik terdiri dari Sungai Cimulu, Sungai Dawuan, Sungai Cipaku,
Curug Kencana, Curug Sabuk dan Sungai Cihanjawar. Sedangkan jalur terrestrial

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 91

terdiri dari Curug Sabuk dan Sungai Cihanjawar. Sebaran spesies pada masingmasing jalur ditunjukkan pada Tabel 4.47.
Tabel 4.45. Sebaran herpetofauna di kawasan TBGMK
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14
15
16
17
18
24
19
20
21

Species

AMFIBI
Bufonidae
Leptophryne barbounica
Phrynoidis aspera
Dicroglossidae
Limnonectes kuhlii
Megophrydae
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhylliadae
Microhylla achatina
Ranidae
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Rhacophoridae
Polypedates leuomystax
Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus reinwardtii
REPTILIA
Agamidae
Bronchocella jubata
Gonochephalus kuhlii
Colubridae
Ahaetulla prasina
Boiga drapezii
Rhabdophis chrysarga
Elapidae
Naja sputatrix
Colubridae
Elapoidis fuscus
Gekkonidae
Cyrtodactylus marmoratus
Lacertidae
Takydromus sexliniatus
Phytonidae
Python reticulatus
Scincidae

CML

DWN

CPK

KCN

v
v

SBK

CHW

v
v

v
v

v
v
v
v
v

END

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 92

No
22
23

Species
Eutropis multifasciata
Viperidae
Trimeresurus puniceus

CML

DWN

CPK

KCN
v

SBK

CHW

END

Keterangan : CML : Sungai Cimulu, DWN : Sungai Dawuan, CPK : Sungai Cipaku, KCN : Curug Kencana, SBK : Curug
Sabuk, CHW : Sungai Cihanjawar dan Curug Sindulang, END : Endemisitas

Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai di jalur Sungai Cipaku dan Sungai
Dawuan, dimana pada jalur tersebut dijumpai sebanyak 9 spesies (Gambar 4.82).
Dari seluruh spesies yang dijumpai, spesies yang paling umum dijumpai pada
masing-masing jalur adalah Kongkang racun (Odorrana hosii), Kongkang kolam
(Hylarana chalconota) dan Bangkong tuli (Limnonectes kuhlii). Spesies tersebut
merupakan spesies yang umum dijumpai pada aliran sungai berarus deras yang
berbatu.
Kondisi habitat pada masing-masing jalur berupa hutan sekunder (Sungai Dawuan,
Sungai Cipaku dan Curug Kencana dan Curug Sabuk), Tegakan Pinus (Sungai
Cimulu) dan semak belukar (Sungai Cihanjawar). Kondisi habitat yang masih bagus
hanya terdapat pada jalur Sungai Dawuan, Sungai Cipaku dan Curug Sabuk,
meskipun terdapat aktivitas manusia di dalamnya. Sedangkan pada jalur lainnya,
intensitas gangguan jauh lebuh tinggi, terutama pada tegakan pinus. Karena pada
jalur Sungai Cimulu (Tegakan Pinus) telah menjadi bumi perkemahan di sempadan
sungainya.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.82. Perbandingan


pengamatan

jumlah

spesies

pada

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

masing-masing

lokasi

4 | 93

Seluruh spesies yang dijumpai terdiri dari 14 family yang terbagi dari 2 kelas (amfibi
dan reptil). Kelas amfibi terdiri dari 6 family yaitu Bufonidae, Dicroglossidae,
Megophrydae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Family Rhacophoridae
dan Ranidae merupakan family dengan anggota spesies yang terbanyak, yaitu 3
spesies.
Sedangkan pada kelas reptilian terdiri dari 8 family, yaitu Agamidae, Colubridae,
Elapidae, Gekkonidae, Lacertidae, Phytonidae, Scincidae dan Viperidae. Family
yang memiliki jumlah spesies paling banyak adalah Colubridae dengan 4 spesies
(Gambar 4.83 ).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.83. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna


Spesies endemic yang dijumpai di TBGMK adalah Kongkang jeram (Huia masonii),
Katak-pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) dan Percil jawa (Microhyla
achatina).

4.2.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan menggunakan indeks ShannonWiener dapat diketahui bahwa nilai keragaman masing-masing jalur pengamatan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 94

berkisar antara 1.52 hingga 2.05 yang merupakan nilai keragaman hayati tingkat
sedang (Tabel 4.48).
Tabel 4.46. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing lokasi
No
1
2
3
4
5
6

Jalur
Sungai Cimulu
Sungai Dawuan
Sungai Cipaku
Curug Kencana
Curug Sabuk
Sungai Cihanjawar

H
1.53
1.89
2.05
1.54
1.52
1.85

E
0.74
0.86
0.93
0.78
0.69
0.89

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)


Keterangan : H : Nilai Keragaman Hayati, E : Kemerataan Spesies

Jalur Sungai Cipaku merupakan jalur dengan nilai keragaman yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan jalur lain, yaitu H = 2.05. Pada jalur Sungai Cipaku dijumpai
sebanyak 9 spesies dengan nilai kemerataan spesiesnya (E) adalah 0.93. Jalur Curug
Sabuk merupakan jalur dengan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies yang
paling rendah, yaitu H = 1.52 dan E = 0.69. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki
sebaran individu masing-masing spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki
nilai E semakin mendekati 1.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.84. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 95

4.2.4.3. Status Konservasi


Tabel 4.49 menunjukkan status konservasi untuk masing-masing spesies yang
dijumpai di CAGT. Berdasarkan IUCN, terdapat 1 spesies dengan status Vulnerable
yaitu Huia masonii. Serta terdapat 1 spesies dengan status Near Threatened yaitu
Rhacophorus reinwardtii. 22 spesies yang dijumpai termasuk ke dalam kategori
Least Concern. Berdasarkan CITES, terdapat 2 spesies yang termasuk ke dalam
Appendis II CITES, yaitu Ular Kobra (Naja sputatrix) dan Sanca Batik (Python
reticulatus).Tidak satupun dari kelompok Herpetofauna yang termasuk dalam
perlindungan berdasarkan UU No 7 tahun 1999.
Tabel 4.47. Status konservasi masing-masing spesies
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
24
19
20
21
22
23

Species
Leptophryne barbounica
Phrynoidis aspera
Limnonectes kuhlii
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhylla achatina
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Polypedates leuomystax
Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus reinwardtii
Bronchocella jubata
Gonochephalus kuhlii
Ahaetulla prasina
Boiga drapezii
Rhabdophis chrysarga
Naja sputatrix
Dryocalamus subannulatus
Cyrtodactylus marmoratus
Takydromus sexliniatus
Python reticulatus
Eutropis multifasciata
Trimeresurus puniceus

IUCN
LC
LC
LC
LC
LC
LC
Vul
LC
LC
LC
LC
NT
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC

CITES
II
II
-

PP7
-

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 96

Gambar 4.85. Status konservasi berdasarkan IUCN

Gambar 4.86. Status konservasi berdasarkan CITES

4.2.4.4. Deskripsi Spesies Penting


Katak-pohon Jawa - Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus margaritifer atau Katak-pohon Jawa merupakan katak yang endemik di
Pulau Jawa dan sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak ini berukuran kecil
sampai sedang. Berwarna coklat kemerahan dengan bercak-bercak yang tidak
beraturan. Permukaan dorsum halus sedangkan permukaan perutnya dan bagian
bawah kaki berbintil-bintil. Selaput terdapat di seluruh jari tangan dan jari kaki
(kecuali jari keempat). Terdapat tonjolan pada tumit yang merupakan modifikasi dari
kulitnya (flap) serta lipatan kulit di sepanjang pinggir lengan hingga ke jari kaki
terluar. Ukuran tubuhnya 50-60 mm.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 97

Gambar 4.87. Katak-pohon Jawa - Rhacophorus margaritifer


Rhacophorus margaritifer biasa terdapat di hutan primer pada ketinggian 250 1500
mdpl. Spesies ini biasa ditemukan pada ranting-ranting pohon di dekat sumber air.

Kongkang jeram - Huia masonii

Gambar 4.88. Kongkang jeram - Huia masonii


Huia masonii atau Kongkang Jeram merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Berukuran sedang, yaitu jantan 30 mm dan betina 50 mm. Tympanum terlihat
dengan jelas. Kaki sangat ramping dan panjang. Jari tangan dan kaki terdapat
piringan yang lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulit

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 98

halus dengan sedikit bintil serta lipatan dorsolateral tidak terlihat dengan jelas. Di
sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.
Spesies ini merupakan spesies yang sangat umum dijumpai pada aliran sungai
dengan aliran yang deras dan berbatu-batu. Biasanya dijumpai juga bersembunyi di
dalam semak-semak di pinggir sungai. Berdasarkan daftar merah IUCN, Huia
masonii dikategorikan ke dalam status Vulnerable.
Percil jawa - Microhylla achatina
Microhylla achatina atau Percil Jawa merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Merupakan katak berukuran kecil dengan kepala dan mulut sempit (narrow mouth
frog). Ukuran tubuhnya 20 mm untuk jantan dan 25 mm untuk dewasa. Tubuh
berwarna coklat kekuning-kuningan dengan sisi tubuhnya lebih gelap. Memiliki
tanda khas seperti anak panah pada punggungnya. Tidak memiliki selaput renang
pada kakinya. Microhyla achatina biasa dijumpai di hutan primer dan sekunder,
kadang dijumpai di areal-areal yang terganggu.

Gambar 4.89. Percil jawa - Microhylla achatina

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 99

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.90. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa Herpetofauna di
kawasan TBGMK

4.2.5.

Insekta

4.2.5.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di TBGMK dijumpai sebanyak 23 spesies
Lepidoptera. Survey dilakukan di 2 jalur yaitu Barurunga dan Kampung Wanadri.
Kondisi habitat di jalur Barurunga berupa Hutan Sekunder dengan tutupan tajuk yang
rapat sedangkan jalur Kampung Wanadri berupa Bumi Perkemahan dengan tutupan
tajuk berupa tegakan pinus.
Tabel 4.48. Sebaran Lepidoptera di TBGMK
No
1
2
3
4
5

Jenis
Hesperidae
Notocrypta paralysos
Nymphalidae
Cyrestis nivea nivea
Euplea mulciber sp.
Euplea radamanthus alcidice
Faunis canens canens

Barurunga

Kampung
Wanadri
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v
v

4 | 100

No

Jenis

6
7
8
9
10
11
12
13

Moduza procris neutra


Mycalesis moorei
Neptis nata nandina
Neptis sp1.
Nymphalidae sp1.
Nymphalidae sp2.
Polyura athamas attalus
Yphtima pandocus pandocus
Papilionidae
Graphium doson evemonides
Graphium sarpedon
Papilio helenus
Papilio memnon
Pieridae
Delias crithoe crithoe
Eurema andersonii
Eurema blanda
Eurema heCAGBe
Pieridae sp1.
Pieridae sp2.
Jumlah Spesies

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Barurunga

Kampung
Wanadri
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
v
v
v
22

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Insekta)

Tabel 4.50 menunjukkan sebaran spesies Lepidoptera pada masing-masing jalur.


Jalur Kampung Wanadri dijumpai 22 spesies, jauh lebih banyak jika dibandingkan
jalur Barurunga. Hal ini menunjukkan pengaruh tutupan vegetasi sangat
mempengaruhi jumlah spesies yang dijumpai. Tutupan vegetasi akan mempengaruhi
intensitas cahaya yang sampai ke permukaan tanah dan mempengaruhi suhu yang
ada di bawah tegakannya. Tajuk pepohonan yang tidak terlalu rapat menyebabkan
cukupnya sinar matahari yang menyentuh lantai hutan sehingga potensi menemukan
kupu-kupu sangat tinggi, Menurut Smart (1975) dalam Hardiyansyah (2001),
komponen habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah faktor cahaya,
udara yang bebas polusi, dan kelembaban lingkungan. Kupu-kupu merupakan satwa
poikiloterm, yaitu suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan di sekitarnya
(Bhuyan et al, 2005). Pada umumnya kupu-kupu memerlukan suhu tubuh 28-400 C
untuk melakukan aktivitasnya (Kingsolver, 1985).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 101

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.91. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di TBGMK


Gambar 4.91 menunjukkan kekayaan spesies berdasarkan family. Jumlah spesies
yang paling banyak adalah pada family Nymphalidae dengan jumlah 12 spesies.
Menurut Smart (1991) dalam Jurnal PHKA (2005), famili Nymphalidae termasuk
famili dengan jumlah besar dan populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di
dunia. Famili tersebut terdiri dari ribuan spesies. Cortbert dan Pendleburry (1956)
menyatakan bahwa famili Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang
luas, menyukai tempat tempat terang, daerah kebun dan hutan, dan beberapa
menyukai tempat berbau busuk.

4.2.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Kondisi masing-masing jalur pengamatan sangat mempengaruhi nilai keragaman
hayati pada masing-masing jalur. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.51 dimana jalur
Barurunga memiliki nilai keragaman hayati (H) sebesar 1.10 dan kemerataan spesies
(E) sebesar 1. Sedangkan jalur Kampung Wanadri memiliki nilai H sebesar 2.93 dan
E sebesar 0.95. Nilai H kedua jalur tersebut masih pada kategori keragaman hayati
tingkat sedang.
Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran individu masing-masing spesies yang
merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E semakin mendekati 1. Pada jalur
Barurungan (E=1) jumlah individu masing-masing spesies sangat merata (sama)
sedangkan pada jalur Kampung Wanadri (E=0.95) jumlah individu yang dijumpai
pada masing-masing spesies berbeda.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 102

Tabel 4.49. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing jalur
No
1
2

4.2.6.

Nama Jalur
Barurunga
KW

H'
1.10
2.93

E
1
0.95

Biota Akuatik

4.2.6.1. Keragaman Hayati


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di TBGMK (TBMK) dijumpai sebanyak 9
spesies yang terdiri dari 5 spesies ikan, 1 spesies ketam dan 3 spesies udang. Seluruh
spesies yang dijumpai merupakan spesies yang umum dijumpai di setiap kawasan
konservasi di wilayah kerja BKSDA Jawa Barat yang termasuk ke dalam DAS
Citarum.
Tabel 4.50. Daftar spesies ikan, ketam dan udang di TBGMK
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Nama Ilmiah
Glyptotorax cf platypogon
Monopterus albus
Nemachelius fasciatus
Poecilia reticulata
Puntius binotatus
Parathelpusa sp
Caridina cf. propinqua
Macrobrachium rosenbergii
Macrobrachium sintangense

Nama Lokal
Kekel
Jeler
Berenyit
Beunteur

Keterangan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ketam
Udang
Udang
Udang

Survey benthos di TBMK dilakukan di 8 jalur pengamatan yang berupa aliran sungai
dan danau. Berdasarkan hasil survey dijumpai sebanyak 17 spesies benthos yang
tersebar di 8 lokasi (Tabel 4.53). Data benthos yang dijumpai kemudian di analisis
dengan menggunakan indeks keragaman hayati simpson. Berdasarkan hasil analisis
kergaman hayati simpson, jalur dengan indeks terbesar adalah jalur MK-5 dengan
nilai 0.833. Pada jalur MK-5 dijumpai sebanyak 6 spesies dengan jumlah individu
adalah 198. Sedangkan jalur dengan nilai keragaman hayati yang paling kecil adalah
MK-3 dan MK-8 dengan nilai 0. Dimana pada kedua jalur tersebut hanya dijumpai
sebanyak 1 spesies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 103

Tabel 4.51. Sebaran benthos di TBGMK


NO

SPECIES

1 Aphanizomenon flos-aquae
2 Aphanocapsa pulchra
3 Asterionella formosa
4 Bursarsaria truncatella
5 Closterium sp.
6 Cocconeis placentulla
7 Coelosphaerium sp.
8 Cyclops sp.
9 Echinosphaerella limnetica
10 Euglypha sp.
11 Fragilaria capucina
12 Gonatozygon arculeatum
13 Hyalotheca mucosa
14 Merismopedia convulata
15 Nitzschia vermicularis
16 Oscillatoria formosa
17 Paramacium sp.
18 Plectonema sp.
19 Scenedesmus bijuga
20 Spirogyra azygospora
21 Spirogyra sp.
22 Spirulina major
23 Staurastrum sp.
24 Surirella sp.
25 Synedra acus
26 Synedra sp.
27 Synedra ulna
28 Tabellaria frocaulosa
29 Ulothrix zonata
30 Urostyla sp.
31 Zygnemopsis americana
TOTAL
I.D. SIMPSON

Jalur
MK-1 MK-2 MK-3 MK-4 MK-5 MK-6 MK-7 MK-8
33

99

33

99

33

33

33
33

33
66
132

33
33
66

33
33

33

33
33
33

33

33
33

33

33
33

66 198
0.5 0.667

33
33
33 198 198
99 396
0 0.611 0.833 0.667 0.819

33
0

Sunmber: Tabulasi Data Primer 2013, Analisa Laboratorium Lembaga Ekologi UNPAD

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 104

4.3.

Kajian Biodiversitas di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam


Kawah Kamojang

4.3.1.

Flora

4.3.1.1. Kekayaan Spesies


Hasil kajian terhadap Kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang (CAKK) dan Taman
Wisata Alam Kawah Kamojang (TWAKK) telah mencatat sebanyak 300 spesies
flora yang terdapat di CAKK, terdiri dari 3 Divisi (Divisio), Lycopodiophyta,
Ptaridophyta dan Magnoliophyta, 6 kelas (Class), 49 Suku (Ordo), 85 Keluatga
(Familia). Sementara itu, di TWAKK telah tercatat sebanyak 145 spesies flora, yang
terdiri dari 2 (dua) Divisi, 3 Kelas, 32 Ordo, dan 59 Familia. Hasil selengkapnya
tersaji pada Lampiran 1. Kekayaan spesies flora di Kawasan CAKK dan TWAKK
ditunjukkan pada Gambar 4.92.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.92. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai ketinggian

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 105

Diperkirakan Kawasan CAKK terbentuk sejak ratusan juta tahun lalu, mengingat di
dalam kawasan terdapat spesies paku purba seperti Equisetum sp. yang menurut
beberapa literature adalah jenis yang keberadaannya sudah ada sejak Zaman Hutan
Paleozoic (Paleozoic Forest), yang terbentuk sekitar 100 juta tahun lalu.
Tabel 4.52. Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada ketinggian 1500
1600 m dpl.

Kode
Es
Ss
Masp
Da
Ki salam
Md
Vr

Nama
Daerah
Ki Hujan
Ki Tebe
Mara
Ki Bawang
Ki Salam

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

Juglandaceae
Elaeocarpaceae
Euphorbiaceae
Meliaceae
Myrtaceae

28,57
28,57
7,14
7,14
7,14

23,53
58,82
2,94
2,94
2,94

36,68 88,78
54,95 142,34
2,79 12,87
0,45 10,54
0,30 10,38

Elaeocarpaceae

14,29

5,88

Nama Latin

Engelhardia serata
Sloanea sigun
Macaranga sp.
Dysoxylum alliaceum
Syzigium spp.
Macropanax
Cerem
dispermum
Villebrunea
Nangsi
rubescens
Jumlah

Aralliaceae
Urticaceae

4,50

24,67

7,14
2,94
0,34 10,42
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.93. Grafik INP tingkat pohon di Kawasan CAKK pada ketinggian 15001600 m dpl.
Dari seluruh plot yang dianalisa, terdapat lima jenis flora tingkat pohon yang
mendominasi yaitu seperti terlihat pada Tabel 4. 55. Dan Gambar 4.94.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

INP
(%)

4 | 106

Tabel 4.53. Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian 1600 1800 m dpl (%)
Kode

Nama
Daerah

Ss
Es

Ki Tebe
Ki Hujan

Md
Masp
Da

Cerem
Mara
Ki Bawang

Nama Latin
Sloanea sigun
Engelhardia serata
Macropanax
dispermum
Macaranga sp.
Dysoxylum alliaceum

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

0,008178
0,000415
0,000067

54,945776
2,789992
0,451264

0,051114
0,002595
0,000420

0,000044
0,000670

0,296667
4,498797

0,000276
0,004185

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.94. Lima Jenis Tiang Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian 1500 1600 m dpl (%)
Hasil analisa terhadap spesies flora tingkat pohon di CAKK pada Ketingian 16001800 m dpl tertera pada Tabel 4.56. dan Gambar 4.95.
Tabel 4.54. Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada ketinggian
1600 1800 m dpl.

Md

Nama
Daerah
Cerem

Lisp
Kl
kiangkin
Sb

Huru
Kali
Kimangkin
Ki Leho

Kode

Nama Latin

Famili

Frelatif
(%)
13,33

Krelatif
(%)
20,00

Drelatif
(%)
5,00

INP
(%)
38,33

Macropanax
dispermum
Litsea sp.

Aralliaceae
Lauraceae

6,67
6,67

5,00
5,00

1,85
1,93

13,51
13,60

Saurauia bracteosa

Actinidiaceae

6,67

5,00

2,46

14,13

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 107

Kode
Cj
Es
Ss
Masp
Schf
Ci

Nama
Daerah
Saninten
Ki Hujan
Ki Tebe
Mara
Areuy Pari
Talingkup

Nama Latin

Famili

Castanopsis javanica

Fagaceae

Engelhardia serata
Sloanea sigun
Macaranga sp.
Shefflera sp.
Claoxylum indicum
Jumlah

Juglandaceae
Elaeocarpaceae
Euphorbiaceae
Araliaceae
Euphorbiaceae

Frelatif Krelatif Drelatif


INP
(%)
(%)
(%)
(%)
6,67
5,00 17,61 29,28
13,33 15,00 41,50 69,84
13,33 15,00
9,23 37,57
13,33 10,00
2,30 25,63
6,67
5,00 15,64 27,31
13,33 15,00
2,47 30,81
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.95. Grafik INP tingkat pohon di CAKK pada ketinggian 1600-1800 m dpl.
Hasil analisa terhadap INP telah menunjukkan lima spesies flora tingkat pohon yang
paling dominan di dalam kawasan, yaitu seperti terlihat pada Tabel 4.57 dan
Gambar 4.97.
Tabel 4.55. Lima Jenis Tiang Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian 1600 - 1800
m dpl (%).
Kode
Es
Cj
Schf
Ss
Md

Nama Daerah

Nama Latin

Ki Hujan
Saninten

Engelhardia serata
Castanopsis javanica

Areuy Pari
Ki Tebe
Cerem

Shefflera sp.
Sloanea sigun
Macropanax dispermum

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

17,61
41,50
9,23
2,30
15,64

0,010528
0,024810
0,005520
0,001374
0,009351

0,001264
0,002978
0,000663
0,000165
0,001123

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 108

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.96. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada ketinggian
1600-1800 m dpl.
Hasil analisa terhadap spesies flora tingkat pohon di CAKK pada ketingian lebih dari
>1800 mdpl tertera pada Tabel 4.58. dan Gambar 4.97.
Tabel 4.56. Nilai INP tingkat Pohon di Kawasan CAKK pada Ketinggian >1800 m dpl
(%).

Md

Nama
Daerah
Cerem

Els

Katulampa

Es
Fr
Sw
Ltsp

Ki Hujan
Ki Walen
Puspa
Pasang

Kode

Aralliaceae

Frelatif
(%)
16,67

Krelatif
(%)
9,09

Drelatif
(%)
5,88

INP
(%)
31,64

Elaeocarpaceae

16,67

18,18

11,92

46,77

16,67 27,27 55,42


16,67
9,09
4,64
16,67
9,09
8,00
16,67 27,27 14,14
100,00 100,00 100,00

99,35
30,40
33,76
58,08
300,00

Nama Latin
Macropanax
dispermum
Elaeocarpus
submonoceras
Engelhardia serata
Ficus ribes
Schima wallichi
Lithocarpus sp.
Jumlah

Famili

Juglandaceae
Moraceae
Theaceae
Fagaceae

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 109

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.97. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada ketinggian
1600-1800 m dpl.
Hasil penghitungan terhadap spesies dominan di kawasan CAKK pda ketinggian
>1800 mdpl menunjukkan ada lima spesies paling dominan, yaitu seperti
ditunjukkan pada Tabel 4.59. dan Gambar 4.98.
Tabel 4.57. Lima Jenis Pohon Dominan di Kawasan CAKK Pada Ketinggian >1800 m
dpl (%)
Kode
Es
Cj
Schf
Ss
Md

Nama Daerah
Ki Hujan
Saninten
Areuy Pari
Ki Tebe
Cerem

Nama Latin
Engelhardia serata
Castanopsis javanica
Shefflera sp.
Sloanea sigun
Macropanax dispermum

Dmutlak

Drelatif

Dmutlak

(m2)

(%)

(m2/ ha)

5,88
11,92
55,42
4,64
8,00

0,002484
0,005035
0,023414
0,001963
0,003381

0,000199
0,000403
0,001873
0,000157
0,000270

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 110

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.98. Grafik Lima spesies pohon paling dominan di CAKK pada ketinggian
1600-1800 m dpl.
Kekayaan jenis di Kawasan TWAKK yang tercatat adalah sebanyak 22spesies flora.
Dari hasil penghitungan terhadap analisa vegetasi kekayaan jenis, tercatat 5 (lima)
spesies yang termasuk dalam plot penelitian, seperti terlihat pada Table 4.1. INP
tingkat Pohon di Kawasan TWAKK pada ketinggian 1600 mdpl.
Tabel 4.58. Tabel. Indeks Nilai Penting untuk tingkat Pohon di TWAKK pada
ketinggian 1600 mdpl
Kode

Nama
Daerah

Ec

Ki Beureum

Ss
Mb
Masp
Sw

Ki Tebe
Manglid
Mara
Puspa

Nama Latin
Erythroxylum
cuneatum
Sloanea sigun
Magnolia blumei
Macaranga sp.
Schima wallichii
Jumlah

Famili
Erythroxylaceae
Elaeocarpaceae
Magnoliaceae
Euphorbiaceae
Theaceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

14,29 10,00 20,88 45,17


28,57 30,00 29,00 87,57
28,57 30,00 17,89 76,46
14,29 10,00 15,34 39,63
14,29 20,00 16,89 51,17
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Hasil di atas menunjukkan tidak adanya spesies inferior di dalam kawasan. Nilai
dominansi yang dicapai oleh Ki Tebe (Sloanea sigun) menunjukkan spesies tersebut
cukup mendominasi , namun mendominasi area sebesar 29% saja. Nilai indeks
spesies lainnya tidak terlalu jauh berbeda, artinya daya dukung alam terhadap
spesies-spesies yang ada masih cukup baik.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

INP
(%)

4 | 111

Bila merujuk pada nilai nilai (H) Indeks Keragaman spesies, hanya (1,56). Ini
menunjukkan rendahnya tingkat keragaman spesies. Terbukti dengan hanya 22 jenis
spesies yang ditemukan di dalam area.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.99. Grafik INP tingkat pohon di TWAKK pada ketinggian 1600-m dpl.
Tabel 4.59. Tabel. Indeks Nilai Penting untuk tingkat Tiang di TWAKK pada
ketinggian 1600 mdpl
Kode

Nama
Daerah

Md

Cerem

Lisp
Hr-Piit
HrSalam
Ca
Es
Sb
Ss
Ltsp
Fr
Ag

Huru
Huru Pi'it
Huru Salam

Ql

Pasang
Beureum

Ki Hiur
Ki Hujan
Ki Leho
Ki Tebe
Pasang
Ki Walen
Huru Dapung

Nama Latin
Macropanax
dispermum
Litsea sp.

Castanopsis argantea
Engelhardia serata
Saurauia bracteosa
Sloanea sigun
Lithocarpus sp.
Ficus ribes
Actnodaphne
glomerata
Quercuc lineata

Famili
Araliaceae
Lauraceae

Fagaceae
Juglandaceae
Actinidiaceae
Elaeocarpaceae
Fagaceae
Moraceae
Meliaceae
Fagaceae

Jumlah

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

12,50
12,50
6,25

16,00
20,00
4,00

11,55
22,79
2,61

40,05
55,29
12,86

6,25
12,50
12,50
6,25
6,25
6,25
6,25

8,00
20,00
8,00
4,00
4,00
4,00
4,00

10,78
23,45
8,88
2,03
4,57
5,19
2,92

25,03
55,95
29,38
12,28
14,82
15,44
13,17

6,25

4,00

2,92

13,17

6,25
4,00
2,31 12,56
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 112

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.100. Grafik INP tingkat tiang di TWAKK pada ketinggian 1600-m dpl.
Tabel 4.60. Indeks Nilai Penting untuk tingkat Pancang di TWAKK pada ketinggian
1600 mdpl
Kode
Md
Lisp
Sw
Aa
Car
Es
Ltsp
Sd

Nama
Daerah
Cerem
Huru
Puspa
Huru Mentek
Ki Hiur
Ki Hujan
Pasang
Peutag

Nama Latin
Macropanax
dispermum
Litsea sp.
Schima wallichii
Actinodaphne
angustifolia
Castanopsis argantea
Engelhardia serata
Lithocarpus sp.
Syzygium
densiflorum
Jumlah

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

Araliaceae
Lauraceae
Theaceae

22,22
11,11
11,11

27,27
9,09
9,09

10,70
1,26
0,98

60,20
21,47
21,19

Lauraceae
Fagaceae
Juglandaceae
Fagaceae

11,11
11,11
11,11
11,11

9,09
18,18
9,09
9,09

7,00
19,75
17,64
24,17

27,20
49,04
37,84
44,37

11,11
100,00

9,09
100,00

18,49
100,00

38,69
300,00

Myrtaceae

4.3.1.2. Indeks Keragaman Spesies


Hasil penghitungan nilai indeks keragaman spesies flora untuk tingkat pohon, tiang,
pancang, dan semak pada ketinggian 1.500 1.600 mdpl di kawasan CAKK
ditunjukkan pada Tabel 4.63 dan Tabel 4.64 dan Gambar 4.99 hingga Gambar 101

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 113

Tabel 4.61. Keragaman Spesies Flora di kawasan CAKK pada ketinggian 1500 1600
m dpl
Kode

Nama
Daerah

Md

Cerem

Lisp
Kl
kiangkin
Sb
Cj
Es
Ss
Masp
Schf
Ci

Huru
Kali
Kimangkin
Ki Leho
Saninten
Ki Hujan
Ki Tebe
Mara
Areuy Pari
Talingkup

Nama Latin

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

Macropanax
dispermum
Litsea sp.

Aralliaceae

13,33

20,00

5,00

38,33

Lauraceae

6,67
6,67

5,00
5,00

1,85
1,93

13,51
13,60

Saurauia bracteosa
Castanopsis javanica

Actinidiaceae
Fagaceae

Engelhardia serata
Sloanea sigun
Macaranga sp.
Shefflera sp.
Claoxylum indicum
Jumlah

Juglandaceae
Elaeocarpaceae
Euphorbiaceae
Araliaceae
Euphorbiaceae

5,00
2,46
5,00 17,61
15,00 41,50
15,00
9,23
10,00
2,30
5,00 15,64
15,00
2,47
100,00 100,00

14,13
29,28
69,84
37,57
25,63
27,31
30,81
300,00

6,67
6,67
13,33
13,33
13,33
6,67
13,33
100,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.101. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di CAKK pada
ketinggian 1600-1800 m dpl.
Tabel 4.62. Keragaman Jenis di CAKK pada ketinggian 1500 1600 m dpl

Md

Nama
Daerah
Cerem

Els

Katulampa

Es

Ki Hujan

Kode

Nama Latin
Macropanax
dispermum
Elaeocarpus
submonoceras
Engelhardia serata

Aralliaceae

Frelatif
(%)
16,67

Krelatif
(%)
9,09

Drelatif
(%)
5,88

INP
(%)
31,64

Elaeocarpaceae

16,67

18,18

11,92

46,77

Juglandaceae

16,67

27,27

55,42

99,35

Famili

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 114

Kode
Fr
Sw
Ltsp

Nama
Daerah
Ki Walen
Puspa
Pasang

Nama Latin
Ficus ribes
Schima wallichi
Lithocarpus sp.

Famili
Moraceae
Theaceae
Fagaceae

Jumlah

Frelatif
(%)
16,67
16,67
16,67
100,00

Krelatif
(%)
9,09
9,09
27,27
100,00

Drelatif
(%)
4,64
8,00
14,14
100,00

INP
(%)
30,40
33,76
58,08
300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.102. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di CAKK pada
ketinggian >1800 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.103. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di TWAKK pada
ketinggian 1600 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 115

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.104. Grafik keragaman spesies flora tingkat tiang di TWAKK pada
ketinggian 1600 m dpl.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.105. Grafik keragaman spesies flora tingkat pancang di TWAKK pada
ketinggian 1600 m dpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 116

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.106. Grafik keragaman spesies flora tingkat pohon di TWAKK pada
ketinggian 1500 - 1600 m dpl.

4.3.1.3. Status Konservasi


Di konservasi CAKK dan TWAKK dijumpai sebanyak 24 spesies flora yang
dilindungi oleh undang-undang baik secara nasional dan internasional. Sebanyak 23
jenis adalah termasuk dalam spesies anggrek dan semuanya termasuk ke dalam
Appendik II. Data selengkapnya terlihat pada Tabel 4.65.
Tabel 4.63. Tabel Status Perlindungan di CAKK dan TWAKK
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

SPESIES
Acriopsis javanica
Appendicula ramosa
Bulbophyllum angustifolium
Bulbophyllum flavescens
Bulbophyllum ovalifolium
Bulbophyllum semperflorens
Coelgyne miniata
Dendrobium kuhlii
Dendrobium montanum
Dendrobium stuartii
Eria discolor
Eria flavescens
Eria retusa
Flickengeria angustifolia

IUCN

CITES

UU

KET.

II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 117

No
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

SPESIES

IUCN

Liparis crenulata
Liparis javanica
Liparis viridiflora
Macodes petola
Oberonia costreina
Pholidota articulata
Pholidota carnea
Schoenorchis juncifolia
Tropidia angulosa
Pinus merkusii

CITES
II
II
II
II
II
II
II
II
II

UU

KET.

UU

VU

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Flora)

4.3.1.4. Deskripsi Spesies Penting


Selama ini, masyarakat umum tidak cukup mengenal keberadaan status perlindungan
spesies flora seperti Pinus merkusii, yang sangat umum kita kenal. Namun, dalam
tataran status perlindungannya, IUCN Redlist species memasukkannya dalam
kategori Vulnerable (VU), yaitu mengacu pada daerah sebaran, endemisitas spesies,
sejarah keberadaannya, serta tingkat pemanfaatannya di pasaran termasuk tinggi.

4.3.2.

Mamalia

4.3.2.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan CAKK dan TWAKK berhasil
ditemukan 17 spesies dari 12 famili dan 8 ordo. Survei dilakukan pada dua lokasi
yaitu di bagian barat dan bagian timur dengan waktu survei selama enam hari. Secara
keseluruhan survei terbagi menjadi lima jalur dengan menggunakan metode transek.
Adapun guna mengetahui kekayaan spesies dilakukan dengan metode di luar transek
seperti kamera trap, live trap (perangkap rodentia), dan mistnet (perangkap
chiroptera). Spesies-spesies yang ditemukan didasarkan pada perjumpaan langsung
dan tidak langsung. Sebaran spesies mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK dapat
dilihat pada Tabel 4.66.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 118

Tabel 4.64. Sebaran spesies mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK


No.

Nama Species

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
I

II

III

IV

Nontransek

ARTIODACTYLA
Bovidae
1 Bubalus bubalis

Kerbau

Kijang

Cervidae
2 Muntiacus muntjak
Suidae
3 Sus scrofa

Babi hutan

CARNIVORA
Felidae
4 Panthera pardus melas

Macan tutul

5 Prionailurus bengalensis

Kucing hutan

v
v

Mustelidae
6 Martes flavigula
7 Melogale orientalis

Musang leher
kuning
Biul

v
v

Viverridae
8 Paradoxurus hermaphroditus

Musang Luwak

Kelelawar buah

Cecurut babi

CHIROPTERA
Pteropodidae
9 Cynopterus sp.
INSECTIVORA
Soricidae
10 Hylomis suillus
PHOLIDHOTA
Manidae
11 Manis javanica

Trenggiling

12 Presbytis comata

Surili

13 Trachypithecus auratus mauritius

Lutung Jawa

PRIMATA
Cercopithicidae
v

RODENTIA
Sciuridae
14 Callosciurus notatus

Bajing Kelapa

15 Callosciurus sp.

Bajing

16 Ratufa bicolor

Jelarang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v

4 | 119

No.

Nama Species

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
I

II

III

IV

Nontransek

SCANDENTIA
Tupaiidae
17 Tupaia javanica

celemes

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Mamalia)


Keterangan : v = ditemukan, non-transek = perjumpaan luar kawasan/kamera trap/live trap/mistnet.

Pada Tabel 4.66 dapat dilihat bahwa terdapat tiga spesies mamalia yang memiliki
sebaran cukup luas dibandingkan spesies lainnya yaitu surili (Presbytis comata). Hal
ini terlihat dari ditemukannya spesies ini di seluruh jalur pengamatan. Kelima jalur
pengamatan tersebut memiliki ketinggian antara 1500 mdpl hingga 1800 mdpl. Jalur
pengamatan yang memiliki kekayaan spesies mamalia tertinggi yaitu di jalur II
dengan temuan 5 spesies mamalia dari 4 famili (29,4% dari total spesies mamalia
yang ditemukan). Pada jalur II ini ditemukan spesies primata penting yang sudah
mengalami keterancaman yaitu surili (Presbytis comata) dan lutung jawa
(Trachypithecus auratus mauritius). Sedangkan kekayaan spesies pada non-transek
sangat tinggi dikarenakan survei dilakukan di berbagai titik lokasi yang sangat
berpotensi dalam penemuan spesies dan titik lokasi tersebut berada di luar jalur
pengamatan. Berikut adalah grafik kekayaan spesies mamalia pada masing-masing
jalur pengamatan di kawasan CAKK dan TWAKK (Gambar4.107).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.107. Grafik kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur


pengamatan di kawasan CAKK dan TWAKK.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 120

4.3.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Keragaman Spesies
Tingkat keragaman spesies mamalia diperoleh dari hasil perhitungan nilai indeks
Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat keragaman
spesies pada jalur pengamatan yang berbeda. Perhitungan indeks ini didasari atas
data perjumpaan langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Menurut Fachrul
(2007), indeks keragaman spesies dapat dikatakan tinggi atau melimpah apabila
memiliki kisaran nilai lebih dari 3, sedang bila terdapat dalam kisaran nilai 1 3,
dan rendah bila terdapat dalam kisaran kurang dari 1. Berdasarkan hasil survei dari
lima jalur pengamatan di kawasan CAKK dan TWAKK, hanya empat jalur saja yang
dapat dihitung tingkat keragaman spesies mamalia. Hal ini dikarenakan terdapat satu
jalur pengamatan (jalur I) yang perjumpaan seluruh spesiesnya tidak dijumpai secara
langsung. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di kawasan
CAKK dan TWAKK dapat dilihat pada Gambar 4.108.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.108. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
CAKK dan TWAKK
Secara keseluruhan grafik diatas (Gambar 4.108) menunjukan bahwa tingkat
keragaman spesies pada kawasan CAKK dan TWAKK tergolong rendah dengan
kisaran 0 hingga 0,83 dengan nilai indeks tertinggi terdapat di jalur II. Menurut
Sodhi (2004) dalam Gunawan et al. (2005), tingkat keragaman spesies di suatu areal
dipengaruhi oleh beberapa faktor, dua diantaranya adalah keragaman atau kualitas
habitat dan gangguan dari aktifitas manusia seperti perburuan liar. Pada kawasan
CAKK dan TWAKK masih banyak aktifitas manusia yang dijumpai baik sebagai
sumber pencaharian maupun kegiatan hobi. Adapun fragmentasi habitat menjadi
salah satu ancaman yang terdapat pada kawasan ini, terlihat dengan adanya aktifitas
manusia yang besar dalam pengelolaan panas bumi.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 121

Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan spesies digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi
diantara tiap spesies dalam komunitas dengan menggunakan nilai indeks kemerataan.
Data yang digunakan dalam nilai indeks kemerataan merupakan data perjumpaan
langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Berdasarkan hasil survei, tingkat
kemerataan spesies mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK berkisar antara 0,57
sampai 0,81. Menurut Husin (1988) dalam Lumme (1994), apabila nilai indeks
kemerataan mendekati satu maka sebaran individu-individu antar spesies relatif
merata, tetapi apabila nilai indeks mendekati 0 maka sebaran individu antar spesies
sangat tidak merata. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAKK dan TWAKK dapat dilihat pada Gambar 4.109.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.109. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan CAKK dan TWAKK
Berdasarkan pada Gambar 4.109 terlihat bahwa jalur III memiliki nilai indeks
kemerataan 0,81 yang berarti mempunyai nilai indeks mendekati satu sehingga
dapat dikatakan sebaran individu-individu antar spesies relatif merata. Hal ini
dikarenakan pada jalur III tidak memiliki spesies dominan. Berbeda dengan jalur IV
yang memiliki spesies dominan yaitu surili (Presbytis comata) sehingga nilai indeks
kemerataan pada jalur IV memiliki nilai terkecil. Adapun pada jalur V tidak dapat
dihitung indeks kemerataan spesies dikarenakan hanya satu spesies saja yang
dijumpai di jalur ini.

4.3.2.3. Status Konservasi


Demi menjaga keberlangsungan kehidupan satwaliar khususnya mamalia diperlukan
suatu upaya pelestarian seperti adanya peraturan yang melindungi dan menjaga
kelestarian mamalia tersebut seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Berdasarkan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 122

17 spesies mamalia yang ditemukan di kawasan CAKK dan TWAKK sebanyak 8


spesies mamalia masuk dalam daftar status konservasi dan perlindungan nasional
maupun internasional seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Beberapa spesies
merupakan spesies endemik jawa. Status konservasi dan perlindungan mamalia di
kawasan CAKK dan TWAKK dapat dilihat pada Tabel 4.67 dan secara lengkap
terdapat di Lampiran 2.
Tabel 4.65. Status konservasi mamalia di kawasan CAKK dan TWAKK.
No.
1
2
3
4
5
6
7

Nama Species

Manis javanica
Muntiacus muntjak
Panthera pardus melas
Presbytis comata
Prionailurus bengalensis
Ratufa bicolor
Trachypithecus auratus
mauritius
8 Tupaia javanica

Trenggiling
Kijang
Macan tutul
Surili
Kucing hutan
Jelarang

Status Perlindungan
PP7/99 IUCN CITES
D
EN
II
D
D
CR
I
D
EN
II
D
II
D
II

Lutung jawa

Nama Lokal

Celemes

VU

II

Endemik

E
E

II

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Mamalia)


Keterangan: D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN =
Endangered, VU = Vulnerable, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, E = endemik Jawa

Pada Tabel 4.67 dapat dilihat bahwa sebanyak 7 spesies mamalia dilindungi oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Jika dibandingkan dengan seluruh spesies mamalia yang
ditemukan di kawasan CAGT, spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan status
ini mencakup 41,2%. Sedangkan berdasarkan catatan merah IUCN sebanyak satu
spesies mamalia memiliki status critically endangered / sangat terancam (CR), dua
spesies mamalia berstatus endangered / genting (EN), satu spesies mamalia
berstatus vulnerable / rawan (VU), dan sisanya berstatus near threatened /
mendekati terancam (NT), Least Concern / konsentrasi rendah (LC), dan Data
Deficient / data kurang (DD). Tiga status teratas seperti sangat terancam,
genting, dan rawan memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.
Namun yang membedakan ketiga status tersebut adalah kriteria-kriteria didalamnya,
salah satunya diantaranya adalah ukuran populasi (terutama adanya pengurangan
populasi) suatu satwa (IUCN 2001).
Berdasarkan konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah
yaitu Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species (CITES) terdapat
satu spesies mamalia yang terdaftar dalam kategori Appendix I, enam spesies
mamalia terdaftar dalam kategori Appendix II, dua spesies mamalia terdaftar dalam
kategori Appendix III dan sisanya tidak terdaftar dalam CITES. Menurut Soehartono
dan Mardiastuti (2003), kategori Appendix I yaitu spesies yang jumlah di alamnya

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 123

sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk
spesies-spesies yang termasuk dalam Appendix I sama sekali tidak diperbolehkan.
Sedangkan pada kategori Appendix II yaitu semua spesies kehidupan liar walau tidak
dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk
terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur. Pada kriteria dasar kategori
Appendix III relatif sama dengan Appendix II hanya berbeda pada spesies yang
termasuk Appendix III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Seperti halnya
pada dua spesies mamalia yang ditemukan, terdapat spesies yang tergolong Appendix
III (Lampiran 2), tetapi tidak diberlakukan di negara Indonesia melainkan di negara
India saja.
Terdapat tiga spesies mamalia yang termasuk spesies endemik jawa, diantaranya satu
spesies dari ordo Carnivora yaitu macan tutul (Panthera pardus melas); dua spesies
dari ordo primata yaitu surili (Presbytis comata) dan lutung jawa (Trachypithecus
auratus mauritius). Pada dua spesies primata seperti surili dan lutung jawa
merupakan primata endemik Jawa barat. Berikut adalah grafik sebaran spesies
mamalia berdasarkan status perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES
(I&II) serta mamalia endemik jawa (Gambar 4.110).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.110. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan


PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta spesies endemik
jawa.
Pada Gambar 4.110 terlihat bahwa jalur II merupakan jalur yang paling banyak
memiliki spesies mamalia dilindungi khususnya berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 124

Satwa. Adapun pada jalur II juga terlihat terdapat dua spesies mamalia endemik
jawa. Sedangkan di luar jalur pengamatan (non-transek) ditemukan satu spesies
mamalia yang berstatus appendix CITES I dan masuk daftar merah IUCN dengan
status CR seperti macan tutul (Panthera pardus melas). Oleh karena itu, kawasan ini
memerlukan perhatian yang lebih terutama pada sektor pengamanan atau
perlindungan spesies mamalia guna menghindari aktifitas-aktifitas yang mengancam
keberadaan spesies seperti perburuan.

4.3.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).

Macan tutul (Panthera pardus melas) termasuk ke dalam ordo karnivora dan famili
felidae. Spesies ini dicirikan dengan pola warna tutul pada bagian tubuhnya. Pada
umumnya bulu pada spesies ini berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik
berwarna hitam dan bintik hitam yang berukuran lebih kecil di kepalanya. Spesies ini
mempunyai dua variasi warna yaitu berwarna terang dan berwarna gelap yang biasa
disebut dengan macan kumbang. Meskipun memiliki warna berbeda, keduanya
merupakan subspesies yang sama. Macan tutul mengalami proses melanisme, yaitu
dengan adanya dominasi pigmen hitam dalam bulu, sehingga binatang
keseluruhannya menjadi lebih kehitam-hitaman. Bentuk ini disebut bentuk kumbang.
Walaupun demikian, kembangan tutul-tutul masih terlihat pada bentuk kumbang ini
(Lembaga Biologi Nasional LIPI 1982).
Macan tutul merupakan spesies yang penting bagi ekosistem disekitarnya. Hal ini
dikarenakan spesies ini memiliki fungsi ekologi sebagai top predator dalam rantai
makanan. Namun, saat ini macan tutul mengalami keterancaman yang cukup serius
sehingga spesies ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Adapun spesies
ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status critically endangered / sangat
terancam dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori Appendix I yang
sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Macan tutul dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi (Ario 2010). Macan
tutul hanya tersebar di pulau jawa sehingga termasuk spesies endemik jawa. Menurut
Hoogerwerf (1970) dalam Gunawan (2010), di Jawa barat spesies ini tersebar di TN
Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Cianjur selatan dan Cirebon.
Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan DAS Citarum, terutama pada CA &
TWA Kawah Kamojang, keberadaan spesies ini teridentifikasi hanya di blok gunung
bongkok hingga gunung rakutak (di luar jalur pengamatan). Perjumpaan spesies di
luar jalur pengamatan dijumpai secara tidak langsung melalui cakaran pada batang
pohon, feses, dan jejak. Sehingga perhitungan kepadatan spesies ini tidak dapat
dilakukan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 125

Surili (Presbytis comata)


Surili (Presbytis comata) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
Cercopithicidae. Secara umum tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung memiliki warna hitam atau coklat dan keabuan. Rambut pada jambul dan
kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut yang tumbuh dibawah dagu, dada dan
perut, bagian dalam lengan, kaki, dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan
telinga hitam pekat agak kemerahan (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini surili
mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN
dengan status endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan
kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Surili tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat sehingga spesies ini termasuk
spesies endemik jawa barat. Surili hidup di daerah hutan hujan atas di Gunung
Halimun, Gunung Tilu, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, Danau Ranca, dan
Ujung Kulon (Ditjen PPA 1978b; Sub BKSDA Jabar dan TSI 1994; Siahaan 2002).
Berdasarkan survei di kawasan DAS Citarum, terutama pada CAKK dan TWAKK,
spesies ini merupakan spesies yang dapat dijumpai di seluruh jalur pengamatan.
Keberadaan spesies ini tercatat mulai dari ketinggian 1530 mdpl hingga 1750 mdpl.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,125 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,4 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan
mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan luas
areal contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini dapat
dikarenakan waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk
kepadatan rata-rata spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata
spesies secara lebih detail terutama dengan mempertimbangkan areal contoh dan
waktu pelaksanaan.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus mauritius)
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) termasuk ke dalam ordo primate dan family
Cercopithicidae. Lutung Jawa yang terdapat di Indonesia memiliki dua subspecies

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 126

berdasarkan perbedaan warna yaitu : Trachypithecus auratus auratus dan


Trachypithecus auratus mauritius. Ciri pada spesies Trachypithecus auratus
mauritius diantaranya hitam mengkilap dengan sedikit warna kecoklat-coklatan pada
bagian atas ventrum, cambang, dan kaki (Brandon-Jones 1995; Groves 2001;
Febriyanti 2008). Saat ini surili mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam
catatan merah IUCN dengan status vulnerable / rawan dan juga termasuk ke dalam
CITES dengan kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Lutung jawa ini (T.a. mauritius) tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat
sehingga spesies ini termasuk spesies endemik jawa barat. Spesies ini memiliki
distribusi terbatas di Jawa Barat hingga utara dari Jakarta, dekat Bogor, Cisalak, and
Jasinga, barat daya Ujung Kulon, kemudian sepanjang pantai selatan Cikaso atau
Ciwangi (Groves 2001 dalam Febriyanti 2008). Berdasarkan survei di kawasan DAS
Citarum, terutama pada CAKK dan TWAKK, keberadaan spesies ini dijumpai di
jalur II dengan ketinggian di atas 1500 mdpl.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Sehingga diperoleh kepadatan ratarata surili sebesar 0,055 ind/ha. Namun intensitas sampling pada areal ini hanya
sebesar 2,4 %. Beberapa sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati
mencapai 10 15 % dari luas total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa
berpendapat bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan
mengamati areal contoh seluas 5 % dari luas total kawasan yang hendak diduga
(Tobing 2008). Jadi, data kepadatan rata-rata spesies tersebut masih kekurangan luas
areal contoh agar dapat mewakili luas kawasan secara penuh. Hal ini dapat
dikarenakan waktu survei yang masih terbilang singkat sehingga data untuk
kepadatan rata-rata spesies masih kurang. Oleh karena itu, masih diperlukan
pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata
spesies secara lebih detail terutama dengan mempertimbangkan areal contoh dan
waktu pelaksanaan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 127

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.111. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang

4.3.3.

Burung

4.3.3.1. Kekayaan Spesies


Sekitar 104 spesies burung dari 33 famili yang tercatat selama survey di kawasan
Cagar Alam Kamojang (CAK) dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang (CAKK)
melalui perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara) pada saat survey
lapangan. Survey ini mencakup kawasan CAK dan TWAKK yang masuk ke dalam
DAS Citarum. Secara administratif, lokasi survey masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Bandung Kecamatan Ibun, dan sebagian masuk wilayah kabupaten Garut
Kecamatan Samarang
Dari 104 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 14 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 22 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 2 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Status Genting/ Endangered dan Serindit Jawa
(Loriculus pusillus) Status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 8 spesies
termasuk dalam daftar CITES.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 128

Tabel 4.66. Ringkasan kekayaan spesies burung di CAK dan TWAKK


Penjelasan

CAKK

TWAKK

TWA Keterangan

Jumlah spesies

102

73

Total 104 spesies yang tercatat di CA


dan TWAKK

Jumlah family

33

29

Spesies Endemik

13

11

Spesies Dilindungi

15

13

Status IUCN

Status CITES

Total 33 family yang tercatat di CA


dan TWAKK
Total 14 spesies endemik yang
tercatat di CA dan TWAKK
Total 22 spesies dilindungi yang
tercatat di CA dan TWAKK
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
Status Genting/ Endangered dan
Serindit Jawa (Loriculus pusillus)
Status Mendekati terancam/ Near
Threatened
Total 8 spesies daftar CITES yang
tercatat di CA dan TWAKK

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Burung)

Selama survey dilakukan CAK, tercatat 13 spesies Endemik Jawa (11 Family).
Family dengan jumlah spesies endemik terbanyak masing-masing dua spesies yaitu
Capitonidae (Megalaima corvina dan Megalaima javensis) dan Timaliidae (Stachyris
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera), kemudian masing-masing satu spesies dari
Accipitridae, Phasianidae, Psittacidae, Alcedinidae, Sylviidae, Rhipiduridae,
Aegithalidae, Nectariniidae, dan Zosteropidae.
Pada TWAKK tercatat 11 spesies Endemik Jawa (9 Family). Family dengan jumlah
spesies endemik terbanyak masing-masing dua jenis adalah Capitonidae (Megalaima
corvina dan Megalaima javensis) dan Timaliidae (Stachyris melanothorax, Alcippe
pyrrhoptera), kemudian masing-masing satu jenis dari Phasianidae, Psittacidae,
Alcedinidae, Sylviidae, Rhipiduridae, Aegithalidae dan Nectariniidae
Tabel 4.67. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAK dan TWAKK
No.
1
2
3
4
5
6
7

Nama Ilmiah
Nisaetus bartelsi
Arborophila javanica
Loriculus pusillus
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pycnonotus bimaculatus

Nama Indonesia
Elang Jawa
Puyuh gonggong Jawa
Serindit Jawa
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Nama Inggris
Javan Hawk-Eagle
Chestnut-bellied Partridge
Yellow-throated Hanging Parrot
Javan Kingfisher
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet
Orange-spotted Bulbul

4 | 129

No.
8
9
10
11
12
13
14

Nama Ilmiah
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Tesia superciliaris
Cettia vulcania
Rhipidura phoenicura
Aethopyga eximia
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Tesia Jawa
Ceret Gunung
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Gunung
Opior Jawa

Nama Inggris
Crescent-chested Babbler
Javan Fulvetta
Javan Tesia
Sunda Bush Warbler
Rufous-tailed Fantail
White-flanked Sunbird
Grey-throated Ibon

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Burung)

4.3.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil pengamatan jumlah jenis dan jumlah individu burung pada sample
transek di sekitar kawasan di CAK dan TWAKK yang secara tidak langsung telah
mewakili keberadaan beberapa tipe habitat yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Secara umum hasil analisa keragaman dan kemeratan spesies burung dari sample
transek di kawasan CAK dan TWAKK hampir merata dengan nilai H antara 2.518 2.940.
Konsep Indeks Shannon-Wiener membagi haasil nilai analisa kedalam tiga
katagori/kelompok nilai tolok ukur indeks keanekaragaman (H) yakni: (1).
keragaman rendah (H < 1,0 ) (2) Keanekaragaman sedang (1,0 < H < 3,322) dan
(3). Keanekaragaman tinggi (H > 3,322).
Meruiuk Indeks Keragaman spesies diatas, maka nilai kergaman spesies burung di
kawasan.CAK dan TWAKK termasuk dalam katagori keanekargaman sedang,
dimana jumlah spesies burung yang tercatat antara 22-34 spesies, produktivitas
cukup (rata-rata 42-66 induvidu burung yang tercatat dalam jalur transek dengan
total 267 individu burung). Begitu pula dengan kondisi ekosistem yang dapat
dikatakan cukup seimbang, 6 tipe habitat yang dilalui jalur transek di sekitar kawasan
lebih banyak didominasi oleh hutan alam.
Tabel 4.68. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
No
1
2
3
4
5

Nama Jalur
Cihejo
Ciharus
Beling
Pasir Kiara
TWAKK

H' (Keragaman spesies)


2.701
2.518
2.652
2.940
2.858

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Burung)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

E (Kemerataan
spesies)
0.850
0.792
0.752
0.913
0.925

4 | 130

Terdapat dua habitat utama di wilayah CAK, yakni belukar dan hutan alam. Belukar,
atau dalam bahasa setempat disebut reuma , yaitu bekas lahan yang di buka dan
dibersihkan beberapa tahun lalu kemudian berkembang secara alami tertutupi oleh
semak. Hamparan Reuma umumnya dapat dijumpai di tepi batas kawasan. Habitat
lain di sekitar kawasan adalah kebun Pinus dan kebun rasamala Perhutani yang
umumnya sudah disisipi tanamam kopi, juga terdapat lahan perkebunan teh serta atau
lahan pertanian masyarakat.
Sementara tekanan ekologis terhadap keragaman spesies burung di kawasan tersebt
dapat dikatagorikan dalam tahap sedang yang berasal dari pembukaan areal untuk
ladang dan fasilitas panas bumi oleh beberapa perusahaan. Hal tersebut diatas secara
tidak langsung juga berpengaruh pada keragaman dan kemerataan spesies burung di
kawasan CAK dan TWAKK.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.112. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener

4.3.3.3. Status Konservasi


Dalam survey ini dijumpai 25 spesies dengan status konservasi dan perlindungan
nasional maupun international. 22 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 2 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Status Genting/ Endangered dan Serindit Jawa
(Loriculus pusillus) Status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 8 spesies
dalam daftar CITES termasuk Serindit Jawa Loriculus pusillus; Celepuk Reban Otus
lempiji dan Beluk Ketupa Ketupa ketupu yang terdaftar dalam CITES akantetapi
belum dilindungin oleh peraturan pemerintah Indonesia.
Kendala atau faktor pembatas yang mungkin berpengaruh terhadap keberadaan
komunitas burung di kawasan CAKK dan TWAKK adalah pembukaan areal untuk

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 131

peruntukan lainnya seperti fasilitas pembangkit listrik tenaga panas bumi dan juga
perburuan satwa oleh masyarakat (walaupun dalam sekala kecil dan mungkin tidak
signifikan), akan tetapi kedua hal tersebut menjadi faktor dominan yang dijumpai di
lapangan terhadap keberadaan spesies terutama spesies-spesies yang memiliki status
konservasi, baik itu spesies yang terancam punah atau spesies yang mendapat
perludungan nasional (UU no 5/1990 dan PP no 7&8/1995) maupun internasional.
(CITES).
Tabel 4.69. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No
7/1999.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Nama Ilmiah
Spilornis cheela
Ictinaetus malayensis
Spizaetus bartelsi
Spizaetus cirrhatus
Falco moluccensis
Loriculus pusillus
Otus lempiji
Ketupa ketupu
Halcyon chloris
Alcedo meninting
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Psaltria exilis
Alcippe pyrrhoptera
Stachyris melanothorax
Rhipidura phoenicura
Anthreptes singalensis
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Anthreptes malacensis
Arachnothera longirostra
Arachnothera robusta
Arachnothera affinis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elangular Bido
Elang Hitam
Elang Jawa
Elang Brontok
Alapalap Sapi
Serindit Jawa
Celepuk Reban
Beluk Ketupa
Cekakak Sungai
Rajaudang Meninting
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cerecet Jawa
Wergan Jawa
Tepus Pipi-perak
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Belukar
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Kelapa
Pijantung Kecil
Pijantung Besar
Pijantung Gunung
Opior Jawa

IUCN CITES
II
II
EN
II
II
II
NT
II
II
II

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

UU-RI
AB
AB
AB
AB
AB

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
B
AB

Keterangan EN : Endangered (Genting); VU : Vurneable (Rentan) ; NT : Near Threatened (Mendekati terancam);:


Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international; II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan
pembatasan kuota perdagangan ; A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 132

4.3.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Elang Jawa
Kawasan CAKK terletak di wilayah Kab. Garut dan sebagian di Kab. Bandung.
Kawasan ini berada di ketinggian 800- 2249 m dpl dan memiliki keanekaragaman
flora dan fauna yang masih cukup baik. Selain itu juga merupakan kawasan wisata
dan memiliki beberapa sumber air yang mengalir membentuk sungai-sungai. Seperti
halnya kawasan-kawasn hutan lainnya, CAKK mengalami beberapa gangguan
diantaranya perambahan hutan, eksploitasi panas bumi untuk pertanian dengan
pembangunan fasilitas pendudungnya.
Kawasan CAKK dan TWAKK juga merupakan kawasan yang cukup penting untuk
keberadaan Elang Jawa. Catatan keberadaan Elang Jawa di kawasan ini telah lama
diketahui termasuk penelitian terlahir yang dilakukan pleh Setiadi dkk (2000) yang
menyebutkan perjumpaan langsung dengan 3 individu terdiri dari dua individu
dewasa yang dapat dibedakan terutama pada saat keduanya bertengger sedangkan
satu individu lainnya masih remaja.
Setadi, dkk. (2000) memperkirakan bahwa populasi Elang Jawa di kawasan CAGT
adalah sekitar 4-5 pasang berdasarkan pada ekstrapolasi luas daya jelajah sekitar
12,29 km/pasang. Perhitungan populasi yang dilakukan oleh Setoadi dkk (2000) di
kawasan CAKK dan TWAKK diperoleh rata-rata luas area 54.64 km2 dari 78,05
km2 luas area keseluruhan.
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Dijumpai langsung di hutan bukit di tepi Danau
Ciharus 21 Juni 2013, pukul 09.45 (terekam suaranya). Suara Elang Jawa juga
terdengar di sekitar puncak Pasir Kiara tanggal 23 Juni pukul 11.20. Kedua catatan
perjumpaan ini merupakan catatan perjumpaan baru di kawasan ini.
Tabel 4.70. Perkiraan populasi Elang Jawa di CAKK dan TWAKK
Sumber

Luas area

Perkiraan
Populasi/
pasang

Luas Daya
jelajah/pasang

Setiadi dkk. 2000

54.64 km2

12,29 km

4-5

CWMBC

60 km2

9,41-7,6 km2

5,8 (6) -7,1(7)

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Keterangan
Habtat yang
memadai
Perkiraan luas cover
area kajian CAKK
dan TWAKK

Tabel di atas menunjukan pendugaan populasi di CAKK dan TWAKK antara 5,8 7,1 pasang atau dengan pembulatan menjadi antara 6-7 pasang di seluruh lokasi
kajian. Estimasi atau pendugaan populasi tersebut tentunya hanya diperoleh dari
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 133

kajian singkat yang dilakukan dalam survey ini dan diperlukan perhitungan untuk
pendugaan populasi dengan memperhatikan variable atau peubah yang dapat
mempengaruhi keberadaan spesies ini, diantaranya luasan area kanian, tutupan lahan,
kesesuaian tipe habitat dan keberadaan kompetitor dari spesies yang sama maupun
spesies dari famili Accipritidae lainnya di kawasan CAKK dan TWAKK.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.113. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan CAKK dan TWAKK

4.3.4.

Herpetofauna

4.3.4.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survey yang dilaksanakan di Cagar Alam Burangrang (CAGB) dijumpai
sebanyak 21 spesies dari kelompok herpetofauna yang terdiri dari 14 spesies amfibi
dan 7 spesies reptilian. Survey dilaksanakan di 4 jalur akuatik yaitu Curug Ciseoh,
Sungai Cihanjawar, Sungai Ciherang dan Sungai Cisair. Sebaran spesies pada
masing-masing jalur ditunjukkan pada Tabel 4.73.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 134

Tabel 4.71. Sebaran herpetofauna di kawasan CAGB


No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

15
16
17
18
19
20
21

Spesies
AMFIBI
Dicroglossidae
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Occidozyga lima
Megophrydae
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhyllidae
Microhylla achatina
Ranidae
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Rhacophoridae
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus reinwardtii
REPTILIA
Agamidae
Broncochella jubata
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Colubridae
Dendrelaphis pictus
Rhabdophys chrysarga
Gekkonidae
Cyrtodactylus marmoratus
Scincidae
Eutropis multifasciata

LJ

CSH

CHW

CHR

CSR

v
v

v
v

v
v

END

v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

Keterangan : LJ : Luar Jalur, CSH : Curug Ciseoh, CHJ : Sungai Cihanjawar, CHR : Sungai Ciherang, CSR : Sungai Cisair,
END : Endemisitas

Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai di jalur Sungai Ciherang, dimana pada
jalur tersebut dijumpai sebanyak 10 spesies (Gambar 4.114). Kondisi habitat pada
masing-masing jalur berupa hutan sekunder (Sungai Cihanjawar, Sungai Ciherang
dan Sungai Cisair) dan semak belukar (Curug Ciseoh). Secara umum, kondisi habitat
pada masing-masing jalur telah terganggu oleh aktivitas manusia. Selain itu,

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 135

berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, kondisi aliran sungai di semua jalur
telah mengalami gangguan alami berupa banjir bandang.

Gambar 4.114. Perbandingan


pengamatan

jumlah

spesies

pada

masing-masing

lokasi

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Seluruh spesies yang dijumpai terdiri dari 9 family yang terbagi dari 2 kelas (amfibi
dan reptilian). Kelas amfibi terdiri dari 5 family yaitu Dicroglossidae, Megophrydae,
Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Family Dicroglosidae dan
Rhacophoridae merupakan family dengan anggota spesies yang terbanyak, yaitu 4
spesies.
Sedangkan pada kelas reptilian terdiri dari 4 family, yaitu Agamidae, Colubridae,
Gekkonidae dan Scincidae. Family yang memiliki jumlah spesies paling banyak
adalah Agamidae dengan 3 spesies (Gambar 4.115).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 136

Gambar 4.115. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Spesies endemik yang dijumpai di TBGMK adalah Kongkang jeram (Huia masonii),
Katak-pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) dan Percil jawa (Microhyla
achatina).

4.3.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan menggunakan indeks ShannonWiener dapat diketahui bahwa nilai keragaman masing-masing jalur pengamatan
berkisar antara 1.28 hingga 2.22 dan tergolong ke dalam nilai keragaman hayati
tingkat sedang (Table 4.74).
Tabel 4.72. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing lokasi
No
1
2
3
4

Jalur
Curug Ciseoh
Sungai Cihanjawar
Sungai Ciherang
Sungai Cisair

H
1.75
1.59
2.22
1.28

E
0.90
0.82
0.93
0.92

Keterangan : H : Nilai Keragaman Hayati, E : Kemerataan Spesies

Jalur Sungai Ciherang merupakan jalur dengan nilai keragaman yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan jalur lain, yaitu H = 2.22. Pada jalur Sungai Ciherang
dijumpai sebanyak 10 spesies dengan nilai kemerataan spesiesnya (E) adalah 0.93.
Jalur Sungai Cisair merupakan jalur dengan nilai keragaman hayati dan kemerataan
spesies yang paling rendah, yaitu H = 1.28. Akan tetapi nilai kemerataan spesies
pada jalur Sungai Cisair tergolong tinggi jika dibandingkan dengan jalur yang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 137

lainnya. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran individu masing-masing


spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E semakin mendekati 1.

Gambar 4.116. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

4.3.4.3. Status Konservasi


Tabel 4.75 menunjukkan status konservasi untuk masing-masing spesies yang
dijumpai di CAGT. Berdasarkan IUCN, terdapat 1 spesies dengan status Vulnerable
yaitu Huia masoni. Serta terdapat 1 spesies dengan status Near Threatened yaitu
Rhacophorus reinwardtii. 20 spesies yang dijumpai termasuk ke dalam kategori
Least Concern. Tidak satupun dari kelompok Herpetofauna yang termasuk dalam
kategori CITES dan dilindungi berdasarkan UU No 7 tahun 1999.
Tabel 4.73. Status konservasi masing-masing spesies
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Spesies
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Occidozyga lima
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhylla achatina
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer

IUCN
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
Vul
LC
LC
LC
LC
LC

CITES
-

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

PP7
-

4 | 138

No
14
15
16
17
18
19
20
21

Spesies
Rhacophorus reinwardtii
Broncochella jubata
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Dendrelaphis pictus
Rhabdophys chrysarga
Cyrtodactylus marmoratus
Eutropis multifasciata

IUCN
NT
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC

CITES
-

PP7
-

Gambar 4.117. Status konservasi berdasarkan IUCN

4.3.4.4. Deskripsi Spesies Penting


Katak-pohon Jawa - Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus margaritifer atau Katak-pohon Jawa merupakan katak yang endemik di
Pulau Jawa dan sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak ini berukuran kecil
sampai sedang. Berwarna coklat kemerahan dengan bercak-bercak yang tidak
beraturan. Permukaan dorsum halus sedangkan permukaan perutnya dan bagian
bawah kaki berbintil-bintil. Selaput terdapat di seluruh jari tangan dan jari kaki
(kecuali jari keempat). Terdapat tonjolan pada tumit yang merupakan modifikasi dari
kulitnya (flap) serta lipatan kulit di sepanjang pinggir lengan hingga ke jari kaki
terluar. Ukuran tubuhnya 50-60 mm.
Rhacophorus margaritifer biasa terdapat di hutan primer pada ketinggian 250 1500
mdpl. Spesies ini biasa ditemukan pada ranting-ranting pohon di dekat sumber air.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 139

Gambar 4.118. Katakpohon Jawa - Rhacophorus margaritifer

Kongkang jeram - Huia masonii

Gambar 4.119. Kongkang jeram - Huia masonii


Huia masonii atau Kongkang Jeram merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Berukuran sedang, yaitu jantan 30 mm dan betina 50 mm. Tympanum terlihat
dengan jelas. Kaki sangat ramping dan panjang. Jari tangan dan kaki terdapat
piringan yang lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulit
halus dengan sedikit bintil serta lipatan dorsolateral tidak terlihat dengan jelas. Di
sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 140

Spesies ini merupakan spesies yang sangat umum dijumpai pada aliran sungai
dengan aliran yang deras dan berbatu-batu. Biasanya dijumpai juga bersembunyi di
dalam semak-semak di pinggir sungai. Berdasarkan daftar merah IUCN, Huia
masonii dikategorikan ke dalam status Vulnerable.

Percil jawa - Microhylla achatina


Microhylla achatina atau Percil Jawa merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Merupakan katak berukuran kecil dengan kepala dan mulut sempit (narrow mouth
frog). Ukuran tubuhnya 20 mm untuk jantan dan 25 mm untuk dewasa. Tubuh
berwarna coklat kekuning-kuningan dengan sisi tubuhnya lebih gelap. Memiliki
tanda khas seperti anak panah pada punggungnya. Tidak memiliki selaput renang
pada kakinya. Microhyla achatina biasa dijumpai di hutan primer dan sekunder,
kadang dijumpai di areal-areal yang terganggu/

Gambar 4.120. Percil jawa - Microhylla achatina

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 141

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.121. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa herpetofauna di
kawasan Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang

4.3.5.

Insekta

4.3.5.1. Kekayaan Spesies


Hasil survey menunjukkan bahwa di Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata
Alam Kawah Kamojang dijumpai sebanyak 10 spesies. Survey dilakukan di 2 jalur,
yaitu jalur Ciharus dan Jalur Gunung Sangar.
Tabel 4.74. Sebaran Lepidoptera di CAK dan TWAKK
NO.
1
2
3
4
5
6
7
8

JENIS
Nymphalidae
Cyrestis lutea lutea
Euplea sp.
Lethe confusa godana
Mycalesis sudra sudra
Polyura athamas attalus
Symbrenthia hypatia
Papilionidae
Graphium sarpedon
Papilio helenus

Ciharus

G. Sangar

2
1
2
1
1
2
2
1

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 142

NO.
9
10

JENIS

Pieridae
Eurema brigitta drona
Pieridae sp2.
Jumlah Spesies

Ciharus

G. Sangar

1
1
9

Survey yang dilakukan di jalur Ciharus dijumpai lebih banyak spesies Lepidoptera,
yaitu 9 spesies. Hal ini dikarenakan kondisi habitat pada jalur ini berupa Sempadan
Danau dengan tutupan vegetasi berupa rumput dan semak belukar. Hal ini
menyebabkan intensites jahaya yang sampai ke permukaan tanah sangat tinggi. Hal
ini berbeda dengan kondisi habitat pada jalur gunung sangar dengan tutupan vegetasi
yang lebih rapat dan ketinggian tempat yang relative lebih tinggi yaitu 1600 1800
mdpl. Pada umumnya kupu-kupu memerlukan suhu tubuh 28-400 C untuk melakukan
aktivitasnya (Kingsolver, 1985). Joshi dan Arya (2007) menyatakan bahwa
keragaman kupu-kupu tinggi pada habitat dengan ketinggian yang rendah.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.122. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAK dan TWAKK
Gambar 4.122 menunjukkan kekayaan spesies berdasarkan family. Jumlah spesies
yang paling banyak adalah pada family Nymphalidae, yaitu 6 spesies. Menurut Smart
(1991) dalam Jurnal PHKA (2005), famili Nymphalidae termasuk famili dengan
jumlah besar dan populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di dunia. Famili
tersebut terdiri dari ribuan spesies.

4.3.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Nilai keragaman hayati pada jalur Ciharus jauh lebih tinggi daripada jalur Gunung
Sangar. Jalur Ciharus memiliki nilai keragaman hayati (H) sebesar 2.14 dan
tergolong ke dalam nilai kergaman hayati tingkat sedang. Jumlah individu masingLaporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 143

masing spesies yang dijumpai juga merata, hal ini ditunjukkan dengan nilai E yang
mendekati 1, yaitu 0.97. Hal ini sangat jauh berbeda dengan nilai keragaman hayati
di jelur Gunung Sangar. Nilai H di jalur Gunung Sangar adalah 0 dan tidak memiliki
nilai kemerataan. Hal ini dikarenakan di jalur Gunung Sangar hanya dijumpai satu
spesies saja.
Tabel 4.75. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing jalur
No
1
2

4.3.6.

Nama Jalur
Ciharus
Gunung Sangar

H'
2.14
0

E
0.97
-

Biota Akuatik

4.3.6.1. Kekayaan Spesies dan Keragaman Hayati


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Cagar Alam Kamojang (CAK) dan
Taman Wisata Alam Kawak Kamojang (TWAKK) dijumpai sebanyak 18 spesies
yang terdiri dari 12 spesies ikan, 3 spesies ketam dan 3 spesies udang (Tabel ).
Sedangkan untuk benthos dijumpai sebanyak 14 spesies yang tersebar di 7 jalur
(Tabel 4.78).
Tabel 4.76. Daftar spesies ikan, ketam dan udang di CAK dn TWAKK
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama Ilmiah
Aequidens rivulatus
Channa gachua
Glyptotorax cf platypogon
Nemachelius fasciatus
Oreochromis niloticus
Poecilia reticulata
Puntius binotatus
Rasbora laterstriata
Xiphoporus hellerii

Geocessarma sp
Parathelpusa convexa
Macrobrachium rosenbergii
Macrobrachium sintangense
Macrobrachium sp

Nama Lokal
Goldsom
Bogo
Kekel
Jeler
Nila
Berenyit
Beunteur
Paray
Green Swordtail
Impun (sp 1)
Ikan mas (sp 2)
Deleg (sp 3)
Ketam ungu
Ketam sawah
Ketam hitam (sp 5)

Udang sp 4

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Keterangan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ikan
Ketam
Ketam
Ketam
Udang
Udang
Udang

4 | 144

Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan Indeks Simpson diperoleh nilai
keragaman hayati pada masing-masing jalur berkisar antara 0 sampai 0.75 dan
dikategorikan ke dalam nilai keragaman hayati yang rendah. Jalur dengan nilai
keragaman hayati yang paling tinggi adalah jalur KM-5 dengan nilai 0.75 sedangkan
jalur dengan nilai keragaman hayati paling rendah adalah KM-2 dengan nilai 0. Pada
jalur KM-2 hanya dijumpai 1 spesies saja, sehingga nilai keragaman hayatinya
adalah 0.
Tabel 4.77. Sebaran benthos di CAK dan TWAKK
No
Spesies
KM-1 KM-2 KM-3 KM-4 KM-5 KM-6 KM-7
1 Asterionella formosa
66
2 Closterium sp.
33
99
33
33
33
3 Cyclops sp.
33
4 Fragilaria capucina
33
5 Gonatozygon arculeatum
66
6 Paramacium sp.
1419
7 Spirogyra azygospora
33
8 Spirogyra sp.
33 8547
33
33
9 Spirulina major
33
66
10 Staurastrum sp.
66
11 Surirella sp.
12 Synedra acus
33
13 Synedra sp.
14 Synedra ulna
297
33
33
TOTAL
495
66
66 10098 132 165
66
I.D. SIMPSON
0.596
0
0.5 0.26374 0.75 0.72
0.5
Sunmber: Tabulasi Data Primer 2013, Analisa Laboratorium Lembaga Ekologi UNPad

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 145

4.4.

Kajian Biodiversitas di Cagar Alam Gunung Burangrang

4.4.1.

Flora

4.4.1.1. Kekayaan Spesies


Secara geografi, kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang (CAGB) ini masih
berdekatan dengan kawasan CAGTP dan TWAGTP. Hasil kajian flora di kawasan
ini telah mencatat sebanyak 224 spesies flora ditemukan di Kawasan CAGB.
Termasuk dalam 1 Divisi, 2 Kelas, 39 Ordo dan 64 Keluarga. Data selengkapnya
tersaji pada table di Lampiran 1. Kekayaan spesies flora di Kawasan CAGB
ditunjukkan pada Gambar 4.124.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.123. Grafik kekayaan spesies flora di CAGB pada berbagai ketinggian

4.4.1.2. Indeks Nilai Penting


Hasil analisa penghitungan Indeks Nilai Pentng (INP) tingkat pohon di kawasan
CAGB ditunjukkan pada Tabel 4.80 hingga Tabe; 4.8 dan Gambar 4.124 hingga
Gambar 4.127. Untuk INP tingkat tiang ditunjukkan pada Tabel xx dan Gambar xx.
Tabel 4.78. Indeks Nilai Penting tingkat Pohon di Kawasan CAGB
Kode
Ds
Fisp
Sb
Sp
Cj

Nama
Daerah
Pulus
Kiara
beunyeur
Ki Leho
Salam
Saninten

Nama Latin

Famili

Dendrocnide sinuata

Urticaceae

Ficus sp.

Moraceae

Saurauia bracteosa
Syzigium polyanthum
Castanopsis javanica

Actinidiaceae
Myrtaceae
Fagaceae

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Frelatif
(%)
8,70

Krelatif
(%)
8,70

Drelatif
(%)
3,22

INP
(%)
20,61

8,70
13,04
4,35
4,35

8,70
13,04
4,35
4,35

8,04
7,44
1,64
6,03

25,43
33,53
10,34
14,73

4 | 146

Kode
Vr

Nama
Daerah
Nangsi

Bisoro Bisoro
Fp
Hamerang
Ct
Kalimorot
Lu
Ds
Bg
Eu-sp
Kihaj
Pp
Gf
Gc

Tigugula
Pulus
Kanyere
Ki beusi
Ki haji
Lengsar
Peuris
Taritih

Nama Latin
Villebrunea
rubescens
Ficus padana
Castanopsis
tunggurut
Litsea umbellata
Dendrocnide sinuata
Bridelia glauca
Eugenia sp
Pometia pinnata
Glochidion
fulvirameum
Gyroniera cuspidata
Jumlah

Famili

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

4,35
4,35
4,35

4,35
4,35
4,35

1,61
2,11
1,81

10,30
10,81
10,51

4,35
4,35
4,35
4,35
4,35
4,35
4,35

4,35
4,35
4,35
4,35
4,35
4,35
4,35

7,84
6,84
1,47
3,85
8,68
6,70
14,08

16,54
15,53
10,17
12,55
17,38
15,40
22,77

Urticaceae
5347-5366
Moraceae
Fagaceae
Lauraceae
Laportaceae
Euphorbiaceae
Myrtaceae
5481-5486
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Ulmaceae

INP
(%)

4,35
4,35
2,11 10,81
13,04 13,04 16,52 42,61
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.124. Grafik INP tingkat pohon di kawasan CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 147

Tabel 4.79. Indeks Nilai Penting tingkat Tiang di Kawasan CAGB


Kode
Vr

Nama
Daerah
Nangsi

Ds
Op

Lengsar
Gintung/
Gadog
Pulus
Kareumbi

Masp
Camun
Gf

Manggong
Camun
Peuris

Elaeosp
Lb
Sw
Lisp

Heucit

Pp
Bj

Huru Hiris
Puspa
Huru Leeur

Nama Latin

Famili

Villebrunea
rubescens
Pometia pinnata
Bisschoffia javanica

Urticaceae

Dendrocnide sinuata
Omalanthus
populneus
Macaranga sp.

Laportaceae
Euphorbiaceae

Glochidion
fulvirameum
Elaeocarpus sp.

Euphorbiaceae

Litsea brachystachia
Schima wallichii
Litsea sp.
Jumlah

Lauraceae
Theaceae
Lauraceae

Sapindaceae
Euphorbiaceae

Euphorbiaceae

Elaeocarpaceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

40,00
5,00

29,41
5,88

37,74 107,15
5,05 15,94

10,00
5,00

11,76
5,88

9,77
4,04

31,54
14,93

5,00
5,00
5,00

5,88
5,88
5,88

4,04
3,37
4,99

14,93
14,25
15,87

5,00

5,88

6,74

17,62

5,00
5,88
6,74 17,62
5,00
5,88
4,72 15,60
5,00
5,88
6,06 16,95
5,00
5,88
6,74 17,62
100,00 100,00 100,00 300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.125. Grafik INP tingkat tiang di kawasan CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 148

Tabel 4.80. Indeks Nilai Penting tingkat pancang di Kawasan CAGB


Nama Daerah
5098-5100
Ki sero
Pisitan Monyet
5114-5116
Maranginan
Ki jahe
Tigugula
Ki haji
Manggong
Kucubung
Nangsi

Nama Latin

Famili

Dysoxylum
alliaceum

Meliaceae

Litsea umbellata

Lauraceae

Macaranga sp.
Villebrunea
rubescens

Urticaceae

Ipis kulit
Hirung
Ki cabe
Pasang
Puspa
Ki mokla
Jumlah

Frelatif
(%)

Krelatif (%)

Drelatif (%)

INP (%)

3,59
6,96

3,57
7,14

2,27
9,27

9,43
23,37

6,96
3,59
3,59
3,59
6,96
3,59
11,60
21,10

7,14
3,57
3,57
3,57
7,14
3,57
10,71
21,43

6,74
3,37
1,68
4,21
9,69
4,21
10,53
11,79

20,84
10,53
8,84
11,37
23,79
11,37
32,85
54,32

3,59
3,59
3,59
3,59
6,96
3,59
3,59
100,00

3,57
3,57
3,57
3,57
7,14
3,57
3,57
100,00

6,32
5,90
4,21
1,68
9,27
2,95
5,90
100,00

13,48
13,06
11,37
8,84
23,37
10,11
13,06
300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.126. Grafik INP tingkat pancang di kawasan CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 149

Tabel 4.81. Indeks Nilai Penting tingkat semai di Kawasan CAGB


Nama
Daerah
Manggong
Peutag
Kalapa ciung
Cayur
Jajaway
Pulus
Kucubung
Kijahe
Kareumbi
Kihaji
Ki menet
Kanyere
Ki salam
Nangsi
Kiasahan
Lengsar
Kucubung

Nama Latin

Famili

Omalanthus populneus

Euphorbiaceae

Bridelia glauca

Euphorbiaceae

Villebrunea rubescens

Urticaceae

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

INP
(%)

5,88
0,84
6,72
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
8,40 14,29
5,88 16,81 22,69
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
4,20 10,08
5,88
8,40 14,29
5,88
8,40 14,29
5,88
0,84
6,72
5,88
0,84
6,72
5,88
0,84
6,72
5,88 21,01 26,89
100,00 100,00 200,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.127. Grafik INP tingkat semai di kawasan CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 150

4.4.1.3. Indek Keragaman Spesies


Hasil penghitungan nilai indeks keragaman spesies flora untuk tingkat pohon, tiang,
pancang, dan semak di kawasan CAGB ditunjukkan pada Gambar 4.127 hingga
Gambar 130.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.128. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pohon di kawasan
CAGB

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.129. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat tiang di kawasan
CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 151

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.130. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pancang di kawasan
CAGB

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.131. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat semai di kawasan
CAGB

4.4.2.

Mamalia

4.4.2.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan Cagar Alam Burangrang berhasil
ditemukan 27 spesies dari 16 famili dan 8 ordo. Pada umumnya habitat Cagar Alam
Burangrang adalah hutan alam dengan dominasi berbagai tipe vegetasi mulai dari

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 152

semak, hutan sekunder, hingga hutan klimaks. Secara keseluruhan survei terbagi
menjadi empat jalur yang dilakukan selama lima hari dengan menggunakan metode
transek. Adapun guna mengetahui kekayaan spesies dilakukan dengan metode di luar
transek seperti kamera trap, live trap (perangkap rodentia), dan mistnet (perangkap
chiroptera). Spesies-spesies yang ditemukan didasarkan pada perjumpaan langsung
dan tidak langsung. Sebaran spesies mamalia di kawasan Cagar Alam Burangrang
dapat dilihat pada Tabel 4.84.
Tabel 4.82. Sebaran spesies mamalia di kawasan Cagar Alam Burangrang
No.

1
2

3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13

14
15

16

Nama Species
ARTIODACTYLA
Cervidae
Muntiacus muntjak
Suidae
Sus scrofa
CARNIVORA
Felidae
Panthera pardus melas
Prionailurus bengalensis
Herpestidae
Herpestes javanicus
Mustelidae
Melogale orientalis
Aonyx cinerea
Prionodon linsang
Viverridae
Paradoxurus
hermaphroditus
Arctictis binturong
CHIROPTERA
Pteropodidae
Rousettus sp (v)
Rousettus sp (2)
Cynopterus sp.
INSECTIVORA
Soricidae
Crocidura monticola
Hylomis suillus
PHOLIDHOTA
Manidae
Manis javanica
PRIMATA

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
II
III
IV

Kijang

Babi hutan

Macan tutul
Kucing hutan

v
v

v
v

Garangan
Biul
Sero Ambrang
Linsang

Nontransek

v
v

v
v

v
v

Musang Luwak

Binturong

Codot
Codot
Kelelawar buah

v
v
v

Cecurut
Cecurut babi

Trenggiling

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v

4 | 153

No.

Nama Species

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
II
III
IV

Nontransek

Cercopithicidae
17

Macaca fascicularis

18 Presbytis comata
19 Trachypithecus auratus
mauritius
Hylobatidae
20 Hylobates moloch
Lorisidae
21 Nycticebus javanicus
RODENTIA
Hystricidae
22 Hystrix javanica
Muridae
23 Mus sp.
24 Rattus norvegicus
Sciuridae
25 Lariscus sp.
26 Ratufa bicolor
SCANDENTIA
Tupaiidae
27 Tupaia javanica

Monyet ekor
panjang
Surili

Lutung Jawa

v
v

Owa Jawa

v
v

Kukang Jawa

Landak Jawa

Tikus
Tikus riul

v
v

Bajing Tanah
Jelarang

v
v

celemes

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)


Keterangan : v = ditemukan, non-transek = perjumpaan luar kawasan/kamera trap/live trap/mistnet.

Pada Tabel 4.84 dapat dilihat bahwa terdapat dua spesies mamalia yang memiliki
sebaran cukup luas dibandingkan spesies lainnya yaitu babi hutan (Sus scrofa) dan
kucing hutan (Prionailurus bengalensis). Hal ini terlihat dari ditemukannya spesies
ini di semua jalur pengamatan yang ada. Semaua jalur pengamatan tersebut memiliki
ketinggian antara 800 mdpl hingga 1800 mdpl. Jalur pengamatan yang memiliki
kekayaan spesies mamalia tertinggi yaitu di jalur III dengan temuan 8 spesies
mamalia dari 8 famili (29,6% dari total spesies mamalia yang ditemukan).
Sedangkan kekayaan spesies pada non-transek sangat tinggi dikarenakan survei
dilakukan di berbagai titik lokasi yang sangat berpotensi dalam penemuan spesies
dan titik lokasi tersebut berada di luar jalur pengamatan. Berikut adalah grafik
kekayaan spesies mamalia pada masing-masing jalur pengamatan di kawasan Cagar
Alam Burangrang (Gambar 4.132).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 154

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.132. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili) di
masing-masing jalur pengamatan di kawasan CAGB

4.4.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Keragaman Spesies
Tingkat keragaman spesies mamalia diperoleh dari hasil perhitungan nilai indeks
Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat keragaman
spesies pada jalur pengamatan yang berbeda. Perhitungan indeks ini didasari atas
data perjumpaan langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Menurut Fachrul
(2007), indeks keragaman spesies dapat dikatakan tinggi atau melimpah apabila
memiliki kisaran nilai lebih dari 3, sedang bila terdapat dalam kisaran nilai 1 3,
dan rendah bila terdapat dalam kisaran kurang dari 1. Berdasarkan hasil survei dari
empat jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam Burangrang, hanya tiga jalur saja
yang dapat dihitung tingkat keragaman spesies mamalia. Hal ini dikarenakan terdapat
satu jalur pengamatan (jalur VI) yang perjumpaan seluruh spesiesnya tidak dijumpai
secara langsung. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan Cagar Alam Burangrang dapat dilihat pada Gambar 4.133.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 155

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.133. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
Cagar Alam Burangrang
Secara keseluruhan grafik diatas (Gambar 4.133) menunjukan bahwa tingkat
keragaman spesies pada kawasan Cagar Alam Burangrang tergolong rendah
hingga sedang dengan kisaran 0 hingga 1,1 dengan nilai indeks tertinggi terdapat
di jalur II dan nilai indeks terendah terdapat di jalur I. Menurut Sodhi (2004) dalam
Gunawan et al. (2005), tingkat keragaman spesies di suatu areal dipengaruhi oleh
beberapa faktor, dua diantaranya adalah keragaman atau kualitas habitat dan
gangguan dari aktifitas manusia seperti perburuan liar. Intensitas aktifitas manusia di
kawasan Cagar Alam Burangrang masih terbilang cukup banyak. Hal ini terlihat dari
banyaknya orang yang keluar dan masuk kawasan untuk berbagai keperluan mulai
dari rekreasi, sekedar lewat (jalan pintas dari daerah sekitar menuju LembangBandung), bahkan aktifitas perburuan masih ditemukan. Aktifitas manusia tersebut
ditemukan pada blok-blok tertentu seperti blok Ciherang. Pada blok ini cukup sulit
untuk menemukan spesies mamalia secara langsung. Berbeda dengan blok Cisair
yang jarang terdapat aktifitas manusia sehingga spesies mamalia yang terbilang
sensitif terhadap keberadaan manusia seperti yang berasal ordo primata masih dapat
dijumpai.
Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan spesies digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi
diantara tiap spesies dalam suatu komunitas. Dalam mengetahui tingkat merataan
spesies perlu menggunakan nilai indeks kemerataan. Data yang digunakan dalam
nilai indeks kemerataan merupakan data perjumpaan langsung yang berada dalam
jalur pengamatan. Berdasarkan hasil survei, tingkat kemerataan spesies mamalia di
kawasan Cagar Alam Burangrang sebesar 1. Menurut Husin (1988) dalam Lumme
(1994), apabila nilai indeks kemerataan mendekati satu maka sebaran individu-

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 156

individu antar spesies relatif merata, tetapi apabila nilai indeks mendekati 0 maka
sebaran individu antar spesies sangat tidak merata. Grafik indeks kemerataan spesies
pada tiap jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam Burangrang dapat dilihat pada
Gambar 4.134.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.134. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan Cagar Alam Burangrang
Berdasarkan pada Gambar 4.134 terlihat bahwa kedua jalur tersebut (jalur II dan III)
memiliki nilai indeks kemerataan satu yang berarti sebaran individu-individu antar
spesies relatif merata. Hal ini dikarenakan pada jalur I tidak memiliki spesies
dominan. Pada tiap spesies mamalia yang ditemukan hanya berjumlah satu individu
saja. Adapun pada jalur I tidak dapat dihitung indeks kemerataan spesies dikarenakan
hanya satu spesies saja yang dijumpai di jalur ini.

4.4.2.3. Status Konservasi


Demi menjaga keberlangsungan kehidupan satwaliar khususnya mamalia diperlukan
suatu upaya pelestarian seperti adanya peraturan yang melindungi dan menjaga
kelestarian mamalia tersebut seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Berdasarkan
27 spesies mamalia yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Burangrang sebanyak
15 spesies mamalia masuk dalam daftar status konservasi dan perlindungan nasional
maupun internasional seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Beberapa spesies
merupakan spesies endemik jawa. Status konservasi dan perlindungan mamalia di
kawasan Cagar Alam Burangrang dapat dilihat pada Tabel 4.85 dan secara lengkap
terdapat di Lampiran 2.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 157

Tabel 4.83. Status konservasi mamalia di kawasan CAGB


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Nama Species
Aonyx cinerea
Arctictis binturong
Hylobates moloch
Hystrix javanica
Macaca fascicularis

Manis javanica
Muntiacus muntjak
Nycticebus javanicus
Panthera pardus melas
Presbytis comata
Prionailurus bengalensis
Prionodon linsang
Ratufa bicolor
Trachypithecus auratus
mauritius
15 Tupaia javanica

Nama Lokal
Sero ambrang
Binturong
Owa jawa
Landak jawa
Monyet ekor
panjang
Trenggiling
Kijang
Kukang jawa
Macan tutul
Surili
Kucing hutan
Linsang
Jelarang
Lutung jawa

Status Perlindungan
PP7/99 IUCN CITES
VU
II
D
VU
D
EN
I
D

Endemik

II
D
D
D
D
D
D
D
D

EN

II

CR
CR
EN

I
I
II
II
II
II

E
E
E

VU

II

Celemes

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

II

Keterangan: D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN =
Endangered, VU = Vulnerable, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, E = endemik Jawa

Pada Tabel 4.85 dapat dilihat bahwa sebanyak 12 spesies mamalia dilindungi oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Jika dibandingkan dengan seluruh spesies mamalia yang
ditemukan, spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan status ini mencakup 44,4%.
Sedangkan berdasarkan catatan merah IUCN sebanyak dua spesies mamalia
memiliki status critically endangered / sangat terancam (CR), tiga spesies mamalia
berstatus endangered / genting (EN), tiga spesies mamalia berstatus vulnerable /
rawan (VU), dan sisanya berstatus near threatened / mendekati terancam (NT),
Least Concern / konsentrasi rendah (LC), dan Data Deficient / data kurang (DD).
Tiga status teratas seperti sangat terancam, genting, dan rawan memiliki resiko
kepunahan yang sangat tinggi di alam. Namun yang membedakan ketiga status
tersebut adalah kriteria-kriteria didalamnya, salah satunya diantaranya adalah ukuran
populasi (terutama adanya pengurangan populasi) suatu satwa (IUCN 2001).
Berdasarkan konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah
yaitu Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species (CITES) terdapat
tiga spesies mamalia yang terdaftar dalam kategori Appendix I, sembilan spesies
mamalia terdaftar dalam kategori Appendix II, tiga spesies mamalia terdaftar dalam
kategori Appendix III dan sisanya tidak terdaftar dalam CITES. Menurut Soehartono

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 158

dan Mardiastuti (2003), kategori Appendix I yaitu spesies yang jumlah di alamnya
sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk
spesies-spesies yang termasuk dalam Appendix I sama sekali tidak diperbolehkan.
Sedangkan pada kategori Appendix II yaitu semua spesies kehidupan liar walau tidak
dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk
terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur. Pada kriteria dasar kategori
Appendix III relatif sama dengan Appendix II hanya berbeda pada spesies yang
termasuk Appendix III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Seperti halnya
pada tiga spesies mamalia yang ditemukan, terdapat spesies yang tergolong Appendix
III (lampiran xx), tetapi tidak diberlakukan di negara Indonesia melainkan di negara
India saja.
Terdapat lima spesies mamalia yang termasuk spesies endemik jawa, diantaranya
satu spesies dari ordo Carnivora yaitu macan tutul (Panthera pardus melas); empat
spesies dari ordo primata yaitu kukang jawa (Nycticebus javanicus), owa jawa
(Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), dan lutung jawa (Trachypithecus
auratus mauritius). Pada dua spesies primata seperti surili dan lutung jawa
merupakan primata endemik Jawa barat. Berikut adalah grafik sebaran spesies
mamalia berdasarkan status perlindungan PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES
(I&II) serta mamalia endemik jawa (Gambar 4.135).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.135. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan


PP 7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta mamalia endemik
jawa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, pada Gambar 4.135 terlihat bahwa
terdapat tiga jalur pengamatan yang memiliki jumlah spesies dilindungi yang sama

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 159

besar yaitu sebanyak empat spesies. Sedangkan berdasarkan pada appendix I CITES
pada masing-masing jalur pengamatan dapat ditemukan sebanyak satu spesies. Hal
serupa juga dapat dilihat pada daftar merah IUCN yang berstatus CR yang masingmasing jalur pengamatan terdapat satu spesies kecuali pada jalur III. Adapun pada
jalur I memiliki spesies endemik jawa yang lebih banyak dibandingkan jalur lainnya.
Selain itu, areal di luar jalur transek juga memiliki spesies dilindungi yang cukup
banyak. Secara keseluruhan, kawasan Cagar Alam Burangrang memiliki spesiesspesies penting dilindungi yang banyak.Adapun pada spesies endemik jawa lebih
banyak ditemukan di jalur III. Oleh karena itu, kawasan ini (jalur I dan jalur III)
memerlukan perhatian yang lebih terutama pada sektor pengamanan atau
perlindungan spesies mamalia guna menghindari aktifitas-aktifitas yang mengancam
keberadaan spesies seperti perburuan.

4.4.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).
Macan tutul (Panthera pardus melas) termasuk ke dalam ordo karnivora dan famili
felidae. Spesies ini dicirikan dengan pola warna tutul pada bagian tubuhnya. Pada
umumnya bulu pada spesies ini berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik
berwarna hitam dan bintik hitam yang berukuran lebih kecil di kepalanya. Spesies ini
mempunyai dua variasi warna yaitu berwarna terang dan berwarna gelap yang biasa
disebut dengan macan kumbang. Meskipun memiliki warna berbeda, keduanya
merupakan subspesies yang sama. Macan tutul mengalami proses melanisme, yaitu
dengan adanya dominasi pigmen hitam dalam bulu, sehingga binatang
keseluruhannya menjadi lebih kehitam-hitaman. Bentuk ini disebut bentuk kumbang.
Walaupun demikian, kembangan tutul-tutul masih terlihat pada bentuk kumbang ini
(Lembaga Biologi Nasional LIPI 1982).
Macan tutul merupakan spesies yang penting bagi ekosistem disekitarnya. Hal ini
dikarenakan spesies ini memiliki fungsi ekologi sebagai top predator dalam rantai
makanan. Namun, saat ini macan tutul mengalami keterancaman yang cukup serius
sehingga spesies ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Adapun spesies
ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status critically endangered / sangat
terancam dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori Appendix I yang
sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Macan tutul dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi (Ario 2010). Macan
tutul hanya tersebar di pulau jawa sehingga termasuk spesies endemik jawa. Menurut
Hoogerwerf (1970) dalam Gunawan (2010), di Jawa barat spesies ini tersebar di TN
Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Cianjur selatan dan Cirebon.
Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan DAS Citarum, terutama pada Cagar

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 160

Alam Burangrang, spesies ini tersebar hampir merata di seluruh jalur pengamatan
termasuk blok Ciherang. Spesies ini tercatat mulai dari ketinggian 1100 mdpl hingga
1800 mdpl. Namun perjumpaan spesies ini dijumpai secara tidak langung berupa
feses, jejak, maupun bekas cakaran di batang pohon. Oleh karena itu, perhitungan
kepadatan spesies ini tidak dapat dilakukan. Adapun perjumpaan melalui camera trap
pada tanggal 19 September 2013 sebanyak satu individu.
Kukang jawa (Nycticebus javanicus)
Kukang jawa (Nycticebus javanicus) termasuk kedalam ordo primata dan famili
lorisidae. Ciri-ciri pada kukang jawa yaitu warna rambut kelabu keputih-putihan,
pada punggung terdapat garis coklat melintang dari bagian belakang tubuh hingga
dahi, rambut sekitar telinga berwarna coklat serta di sekitar mata juga berwarna
coklat membentuk bulatan sehingga menyerupai kacamata. Habitat kukang jawa
meliputi hutan primer dan sekunder, hutan bambu, hutan bakau, dan terkadang di
daerah perkebunan (Supriatna & Wahyono 2000). Kukang jawa merupakan spesies
yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Saat ini spesies ini sedang mengalami
penurunan populasi sehingga terjadi peningkatan status pada catatan merah IUCN,
diketahui pada tahun 2008 spesies ini masih berstatus endangered / genting tetapi
pada tahun 2013 spesies ini telah berstatus critically endangered / sangat terancam.
Kukang jawa hanya ditemukan di pulau jawa sehingga spesies ini termasuk spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna & Wahyono (2000), kukang jawa tersebar di
hutan-hutan lindung, TN Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, dan Gunung
Halimun. Selama survey berlangsung, spesies ini dapat ditemukan di kawasan DAS
Citarum, terutama pada Cagar Alam Burangrang. Namun spesies ini dijumpai diluar
jalur pengamatan sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan kepadatan spesies.
Owa Jawa (Hylobates moloch)
Owa jawa (Hylobates moloch) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
hylobatidae. Owa jawa memiliki ciri-ciri seperti Tubuh seluruhnya ditutupi rambut
yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya
berwarna hitam. Muka seluruhya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu
yang meneyerupai warna keseluruhan tubuh. Owa jawa hidup di kawasan hutan
hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan dengan tinggi
1400 1600 mdpl (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini owa jawa mengalami
keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status
endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori
Appendix I yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 161

Owa jawa hanya tersebar di pulau jawa saja sehingga spesies ini terbilang spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna dan Tilson (1994) dalam Ario et al. (2011),
penyebaran owa jawa di Jawa Barat, diantaranya seperti di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Ujung Kulon,
Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweng Sancang. Sedangkan berdasarkan survei
di kawasan DAS Citarum, terutama pada Cagar Alam Burangrang, spesies ini
berhasil dijumpai secara langsung di jalur III (blok Cisair). Namun hanya dijumpai
satu individu saja dengan ketinggian mencapai 1103 mdpl. Penyebaran spesies ini
semakin luas dibandingkan beberapa tahun sebelum ini, kalau dahulu lebih terpusat
bagian tengah sampai utara Burangrang, sekarang sudah dijumpai di bagian selatan
kawasan.
Perjumpaan spesies ini berdasarkan perjumpaan langsung sehingga perhitungan
kepadatan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa asumsi seperti
penyamaan pada luas jalur (lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100
m dan panjang pada masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak
adanya pengulangan dalam pengambilan data. Dengan menggunakan asumsi tersebut
maka pendugaan populasi yang diperoleh sebesar 16 individu dengan kepadatan ratarata spesies sebesar 0,006 ind/ha. Intensitas sampling areal sebesar 5,92 %. Beberapa
sumber menyarankan agar areal (contoh) yang diamati mencapai 10 15 % dari luas
total kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa berpendapat bahwa estimasi
ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh seluas
5% dari luas total kawasan yang hendak diduga (Tobing 2008). Jadi, pendugaan
populasi owa jawa di Cagar Alam Burangrang terbilang cukup akurat meskipun
masih memerlukan intensitas sampling yang lebih besar lagi. Namun perolehan data
tersebut masih terbilang kurang karena waktu survei yang sangat singkat. Oleh
karena itu, masih diperlukan pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai
populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara lebih detail terutama dengan
mempertimbangkan luas areal contoh dan lamanya waktu pelaksanaan.
Surili (Presbytis comata)
Surili (Presbytis comata) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
Cercopithicidae. Secara umum tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung memiliki warna hitam atau coklat dan keabuan. Rambut pada jambul dan
kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut yang tumbuh dibawah dagu, dada dan
perut, bagian dalam lengan, kaki, dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan
telinga hitam pekat agak kemerahan (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini surili
mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN
dengan status endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan
kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 162

Surili tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat sehingga spesies ini termasuk
spesies endemik jawa barat. Surili hidup di daerah hutan hujan atas di Gunung
Halimun, Gunung Tilu, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, Danau Ranca, dan
Ujung Kulon (Ditjen PPA 1978b; Sub BKSDA Jabar dan TSI 1994; Siahaan 2002).
Berdasarkan survei di kawasan DAS Citarum, terutama di Cagar Alam Burangrang,
spesies ini berhasil dijumpai secara langsung di blok cisair yaitu pada jalur III
dengan ketinggian mencapai 1128 mdpl. Adapun pada jalur I juga teridentifikasi
adanya keberadaan spesies ini melalui perjumpaan secara tidak langsung yaitu suara.
Perjumpaan spesies yang secara langsung dapat digunakan dalam perhitungan
kepadatan tetapi menggunakan beberapa asumsi seperti penyamaan pada luas jalur
(lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100 m dan panjang pada
masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak adanya pengulangan
dalam pengambilan data. Dengan menggunakan asumsi tersebut maka pendugaan
populasi yang diperoleh sebesar 16 individu dengan kepadatan rata-rata spesies
sebesar 0,006 ind/ha. Intensitas sampling areal sebesar 5,92 %. Beberapa sumber
menyarankan agar areal (contoh) yang diamati mencapai 10 15 % dari luas total
kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa berpendapat bahwa estimasi ukuran
populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh seluas 5 % dari
luas total kawasan yang hendak diduga (Tobing 2008). Jadi, pendugaan populasi
surili di Cagar Alam Burangrang masih dikatakan cukup akurat meskipun masih
memerlukan intensitas sampling yang lebih besar lagi. Namun perolehan data
tersebut masih terbilang kurang karena waktu survei yang sangat singkat. Oleh
karena itu, masih diperlukan pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai
populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara lebih detail terutama dengan
mempertimbangkan luas areal contoh dan lamanya waktu pelaksanaan.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus mauritius)
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) termasuk ke dalam ordo primate dan family
Cercopithicidae. Lutung Jawa yang terdapat di Indonesia memiliki dua subspecies
berdasarkan perbedaan warna yaitu : Trachypithecus auratus auratus dan
Trachypithecus auratus mauritius. Ciri pada spesies Trachypithecus auratus
mauritius diantaranya hitam mengkilap dengan sedikit warna kecoklat-coklatan pada
bagian atas ventrum, cambang, dan kaki (Brandon-Jones 1995; Groves 2001;
Febriyanti 2008). Saat ini surili mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam
catatan merah IUCN dengan status vulnerable / rawan dan juga termasuk ke dalam
CITES dengan kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Lutung jawa ini (T.a. mauritius) tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat
sehingga spesies ini termasuk spesies endemik jawa barat. Spesies ini memiliki
distribusi terbatas di Jawa Barat hingga utara dari Jakarta, dekat Bogor, Cisalak, and

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 163

Jasinga, barat daya Ujung Kulon, kemudian sepanjang pantai selatan Cikaso atau
Ciwangi (Groves 2001 dalam Febriyanti 2008). Berdasarkan survei di kawasan DAS
Citarum, terutama di di Cagar Alam Burangrang, spesies ini berhasil dijumpai secara
langsung pada jalur II (blok ciherang) dengan ketinggian mencapai 1450 mdpl dan
jalur I dengan ketinggian mencapai 1758 mdpl.
Perjumpaan spesies yang secara langsung dapat digunakan dalam perhitungan
kepadatan tetapi menggunakan beberapa asumsi seperti penyamaan pada luas jalur
(lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100 m dan panjang pada
masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak adanya pengulangan
dalam pengambilan data. Dengan menggunakan asumsi tersebut maka pendugaan
populasi yang diperoleh sebesar 135 individu dengan kepadatan rata-rata spesies
sebesar 0,05 ind/ha. Intensitas sampling areal sebesar 5,92 %. Beberapa sumber
menyarankan agar areal (contoh) yang diamati mencapai 10 15 % dari luas total
kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa berpendapat bahwa estimasi ukuran
populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh seluas 5 % dari
luas total kawasan yang hendak diduga (Tobing 2008). Jadi, pendugaan populasi
lutung jawa di Cagar Alam Burangrang masih dikatakan cukup akurat meskipun
masih memerlukan intensitas sampling yang lebih besar lagi. Namun perolehan data
tersebut masih terbilang kurang karena waktu survei yang sangat singkat. Oleh
karena itu, masih diperlukan pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai
populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara lebih detail terutama dengan
mempertimbangkan luas areal contoh dan lamanya waktu pelaksanaan.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.136. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di
kawasan Cagar Alam Burangrang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 164

4.4.3.

Burung

4.4.3.1. Kekayaan Spesies


Sekitar 115 spesies burung dari 35 famili yang tercatat selama survey di Cagar Alam
Burangrang melalu perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara) pada saat
survey lapangan. Survey burung mencakup areal CA Gunung Burangang dan arealareal disekitar wilayah kajian, seperti areal pertanian penduduk serta areal budidaya
lainnya (landscape production) menjadi areal tambahan dalam observasi lapangan.
Lokasi survey secara administrasi termasuk wilayah Kabupaten Purwakarta.
Dari 115 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 18 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 27 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 1 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dengan Status Genting/ Endangered. 4 spesies
dengan Status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 9 spesies termasuk dalam
daftar CITES.
Tabel 4.84. Ringkasan kekayaan spesies burung di Cagar Alam Burangrang
Penjelasan
Spesies yang dijumpai

Jumlah
115
spesies

Keterangan
Perjumpaan langsung di lapangan (visual dan suara)
pada saat survey lapangan

Kelompok famili

35 famili

Spesies Endemik

18 spesies

Daftar terlampir

Spesies Dilindungi

27 spesies

Dilindungi oleh pemerintah melalui UU No 5/ 1990


dan PP no 7/ 1999

Status Genting/ Endangered


Red-IUCN

1 spesies

Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)

Status Mendekati terancam/


Near Threatened Red List
IUCN

4 spesies

Serindit Jawa (Loriculus pusillus) Walet Raksasa


(Hydrochous gigas) Cica Matahari
(Crocias
albonotatus)
Tepus
Dada-putih
(Stachyris
grammiceps)

Jenis dalam daftar Appendix


II CITES

9 spesies

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Selama survey dilakukan, tercatat 18 jenis Endemik Pulau Jawa yang tercakup ke
dalam 14 Family.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 165

Tabel 4.85. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di Cagar Alam
Burangrang
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama Ilmiah
Spizaetus bartelsi
Arborophila javanica
Turnix suscitator
Loriculus pusillus
Hydrochous gigas
Harpactes oreskios
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pycnonotus bimaculatus
Stachyris grammiceps
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Tesia superciliaris
Rhipidura phoenicura
Aethopyga eximia
Aethopyga mystacalis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elang Jawa
Puyuh gonggong Jawa
Gemak Loreng
Serindit Jawa
Walet Raksasa
Luntur Harimau
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung
Tepus Dada-putih
Wergan Jawa
Cica Matahari
Tesia Jawa
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Opior Jawa

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Nama Inggris
Javan Hawk-Eagle
Chestnut-bellied Partridge
Barred Buttonquail
Yellow-throated Hanging Parrot
Giant Swiftlet
Orange-breasted Trogon
Javan Kingfisher
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet
Orange-spotted Bulbul
White-breasted Babbler
Javan Fulvetta
Spotted Crocias
Javan Tesia
Rufous-tailed Fantail
White-flanked Sunbird
JavanSunbird
Grey-throated Ibon

4.4.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Terdapat tiga habitat utama di wilayah CAGB, yakni belukar, sebagian kecil hutan
pinus dan hutan alam. Belukar, atau dalam bahasa setempat disebut reuma atau
jami, yaitu bekas lahan terbuka beberapa tahun lalu dan tidak pernah dibuka
kembali, kemudian vegetasi sekunder berkembang alami. Jami atau reuma ini
biasanya dijumpai di tepi batas CA, yang ke arah luar CA biasanya bersambungan
dengan area pesawahan dan kebun talun atau lahan pertanian masyarakat. Habitat
lain di sekitar CA adalah kebun teh, hutan pinus dan lahan yang tertutupi hamparan
rumpun bambu milik masyarakat
Berdasarkan keberadaan tipe habitat yang ada di kawasan CAGB, dipilihlah
beberapa jalur transek untuk mewakili beberapa tipe habitat tersebut, diantaranya,
adalah:
1. Ciherang meliputi tipe habitat pesawahan tadah hujan, perkebunan atau
talun, semak, dan hutan alam
2. Pasir Jami meliputi tipe habitat hutan tanaman Rasamala, perkebunan kopi
dan Hutan alam
3. Pasir Angin meliputi tipe habitat hutan Pinus dan Rasamala, perkebunan kopi
dan hutan alam

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 166

4. Pasir Peuteuy meliputi tipe habitat hutan tanaman Rasamala, perkebunan


kopi dan hutan alam
5. Istal meliputi perkebunan teh, hutan tanaman kayu putih, perkebunan kopi
dan hutan alam.
Tabel 4.86. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
No
1
2
3
4
5

Nama Jalur
Ciherang
Pasir Jami
Pasir Angin
Pasir Peuteuy
Istal

H' (Keragaman spesies)


1.213
1.646
3.508
3.379
4.527

E(Kemerataan spesies)
0.875
0.919
1.412
1.360
1.633

Sumber : Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Konsep Indeks Shannon-Wiener membagi hasil nilai keragaman spesies dalam tiga
katagori/kelompok yakni: (1). keragaman rendah (H < 1,0 ) (2) Keanekaragaman
sedang (1,0 < H < 3,322) dan (3). Keanekaragaman tinggi (H > 3,322).
Jalur transek blok Istal yang meliputi perkebunan teh, hutan tanaman kayu putih,
perkebunan kopi dan hutan alam memiliki indeks keragaman spesies burung paling
tinggi (4.527) kemudian diikuti jalur transek blok Pasir Angin (3.508) dan Pasir
Peuteuy (3.379). Nilai indeks keragaman ketiga jalur tersebut diatas merupakan
katagori nilai dengan indek keragaman spesies yang tinggi menurut indeks ShannonWiener. Sedangkan jalur transek Ciherang (1,213) dan Pasir Jami (1,646) adalah
jalur transek dengan nilai keragaman spesies sedang.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.137. Grafrik

Keragaman dan Kemerataan


menggunakan Indeks Shannon-Wiener

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Spesies

burung

dengan

4 | 167

4.4.3.3. Status Konservasi


Dari 115 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 18 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 27 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 1 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dengan Status Genting/ Endangered. 4 spesies
dengan Status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 9 spesies termasuk dalam
daftar CITES.
Ancaman utama terhadap kelestarian burung di dalam kawsan CAGB adalah
perburuan yang menjadi faktor dominan terhadap keberadaan spesies burung
terutama spesies-spesies yang memiliki status konservasi, baik itu spesies yang
terancam punah atau spesies yang mendapat perludungan nasional (UU no 5/1990
dan PP no 7&8/1995) maupun internasional. (CITES).
Indikasi di lapangan salah satunya adalah dijumpai langsung dua orang penangkap
burung sedang memasang jaring di Sungai Cisair, juga di Jalur Ciherang di kaki
bukit Gombong Kuning, dijumpai bekas orang memasang jaring untuk menangkap
burung. Selain itu, aktivitas manusia terlihat cukup tinggi di sekitar jalur Ciherang
seperti kegiatan kelompok-kelompok pencinta untuk melakukan tracking dan
menjadi lokasi pendidikan dasar.
Tabel 4.87. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No
7/1999.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Nama Ilmiah
Pernis ptilorhynchus
Spilornis cheela
Ictinaetus malayensis
Spizaetus cirrhatus
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Loriculus pusillus
Otus lempiji
Hydrochous gigas
Harpactes oreskios
Alcedo meninting
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris
Rhyticeros undulatus
Megalaima corvina
Megalaima armillaris

Nama Indonesia
Sikepmadu Asia
Elangular Bido
Elang Hitam
Elang Brontok
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Serindit Jawa
Celepuk Reban
Walet Raksasa
Luntur Harimau
Rajaudang Meninting
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa
Julang Emas
Takur Bututut
Takur Tohtor

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

IUCN CITES UU-RI

EN
NT

II
II
II
II
II
II
II
II

AB
AB
AB
AB
AB
AB

NT

II

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

4 | 168

No.

Nama Ilmiah

Nama Indonesia

17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Pitta guajana
Psaltria exilis
Stachyris grammiceps
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Rhipidura phoenicura
Rhipidura javanica
Anthreptes singalensis
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Aethopyga siparaja
Aethopyga mystacalis
Arachnothera longirostra
Lophozosterops javanicus

Paok Pancawarna
Cerecet Jawa
Tepus Dada-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Kipasan Ekor-merah
Kipasan Belang
Burungmadu Belukar
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Sepah-raja
Burungmadu Jawa
Pijantung Kecil
Opior Jawa

IUCN CITES UU-RI

NT

NT

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

Keterangan EN : Endangered (Genting); VU : Vurneable (Rentan) ; NT : Near Threatened (Mendekati terancam);:


Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international; II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan
pembatasan kuota perdagangan ; A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

4.4.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Elang Jawa
Kawasan Cagar Alam ini terletak di bagian Utara kota Bandung dengan topografi
pada umumnya berbukit sampai bergunung dan memiliki kondisi hutan yang masih
bagus. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang masih banyak, kawasan ini
merupakan daerah serapan air untuk daerah Bandung, Subang dan Purwakarta.
Catatan keberadaan Elang Jawa di kawasan ini telah lama diketahui termasuk
penelitian terlahir yang dilakukan pleh Setiadi dkk (2000) yang menyebutkan bahwa
di kawasan di wilayah Gn Burangrang terlihat 7-8 individu atau 2-3 pasang.
Dalam survey ini Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) hanya dijumpai di Pasir Peuteuy 22
September 2013 sekitar pukul 09.30, terbang melintas agak jauh dari pengamat.
Setadi, dkk. (2000) memperkirakan bahwa populasi Elang Jawa di kawasan Cagar
Alam Gn Burangrang adalah sekitar 5-6 pasang berdasarkan pada ekstrapolasi luas
daya jelajah sekitar 3,47 km/pasang. Perhitungan populasi yang dilakukan oleh
Setiadi dkk (2000) di kawasan CAGB ekstrapolasi luas area 18,9 km2.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 169

Tabel 4.88. Perkiraan populasi Elang Jawa di CAGB


Sumber
Setiadi dkk. 2000
CWMBC

Luas area
18,9 km2
27 km2

Perkiraan
Populasi/
pasang

Luas Daya
jelajah/pasang
3,47 km
9,41-7,6 km2

Keterangan

5-6
3 -4

Sumber : Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

Perkiraan luas
cover area kajian
CWMBC

Tabel diatas menunjukan perbedaan pendugaan populasi di kawasan CAGB


berdasarkan pada luasan daya jelajah pasangan Elang Jawa pada masing-masing
kajian, yakni 3,47 km2 (Setiadi dkk.2000) dan 9,41-7,6 km2 (CWMBC. 2013) serta
luasan area kajian.
Julang Emas
Julang emas (Rhyticeros undulatus) adalah spesies burung dari keluarga Bucerotidae,
dari genus Aceros. Burung ini merupakan jenis burung pemakan buah-buahan
dengan habitat utama di hutan dataran rendah, perbukitan. tersebar sampai ketinggian
2.000 m dpl.
Catatan perjumpaan terhadap spesies ini hanya diperoleh dari catatan anecdotal
anggota tim survey CWMBC lainnya serta informasi dari masyarakat. Dua individu
spesies ini terlihat di hutan di atas Curug Pasula (Ade R., pers.com). Penduduk
setempat menyebutkan jenis ini sudah semakin jarang, namun sesekali masih terlihat
di sekitar Curug Pasula.
Minimnya data perjumpaan dan informasi yang diperoleh mengenai keberadaan
spesies ini di kawasan CAGB sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa
untuk pendugaan populasi spesies ini di kawasan CAGB.
Pendugaan populasi Elang Jawa di lokasi kajian CWMBC di CAGT yakni antaraa
7,910,5 pasang. Nilai pendugaan populasi ini tidak terlalu jauh berbeda atau
mendekati nilai pendugaan populasi spesies ini sebelumnya (syartinilia, 2009)
melalui pendekatan model persebaran Elang Jawa berdasarkan model regresi logistik
dan auto-logistik. Dengan nilai pendugaan populasi tersebut dapat menjadi indikasi
bahwa keberadaan dan pooulasi Elang Jawa di kawasan CAGT adalah stabil dam
signifikan dengan luasan dan keberadaan tipe habitat serta faktor peubah lainnya
yang mendukung keberadaan Elang Jawa di kawsan tersebut. Peta dan persebaran
Elang Jawa di CAGT ditunjukkan pada Gambar 4.138.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 170

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.138. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan Cagar Alam Burangrang

4.4.4.

Herpetofauna

4.4.4.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survey yang dilaksanakan di Cagar Alam Burangrang (CAGB) dijumpai
sebanyak 21 spesies dari kelompok herpetofauna yang terdiri dari 14 spesies amfibi
dan 7 spesies reptilian. Survey dilaksanakan di 4 jalur akuatik yaitu Curug Ciseoh,
Sungai Cihanjawar, Sungai Ciherang dan Sungai Cisair. Sebaran spesies pada
masing-masing jalur ditunjukkan pada Table 4.91.
Tabel 4.89. Sebaran herpetofauna di kawasan CAGB
No

1
2
3
4
5

Spesies
AMFIBI
Dicroglossidae
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Occidozyga lima
Megophrydae
Leptobrachium haseltii

LJ

CSH

CHW

CHR

CSR

v
v

END

v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 171

No
6
7
8
9
10
11
12
13
14

15
16
17
18
19
20
21

Spesies
Megophrys montana
Microhyllidae
Microhylla achatina
Ranidae
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Rhacophoridae
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus reinwardtii
REPTILIA
Agamidae
Broncochella jubata
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Colubridae
Dendrelaphis pictus
Rhabdophys chrysarga
Gekkonidae
Cyrtodactylus marmoratus
Scincidae
Eutropis multifasciata

LJ

CSH
v

CHW
v

CHR
v

CSR

END

v
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

Keterangan : LJ : Luar Jalur, CSH : Curug Ciseoh, CHJ : Sungai Cihanjawar, CHR : Sungai Ciherang, CSR : Sungai Cisair,
END : Endemisitas

Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai di jalur Sungai Ciherang, dimana pada
jalur tersebut dijumpai sebanyak 10 spesies (Gambar 4.139). Kondisi habitat pada
masing-masing jalur berupa hutan sekunder (Sungai Cihanjawar, Sungai Ciherang
dan Sungai Cisair) dan semak belukar (Curug Ciseoh). Secara umum, kondisi habitat
pada masing-masing jalur telah terganggu oleh aktivitas manusia. Selain itu,
berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, kondisi aliran sungai di semua jalur
telah mengalami gangguan alami berupa banjir bandang.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 172

Gambar 4.139. Perbandingan


pengamatan

jumlah

spesies

pada

masing-masing

lokasi

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Seluruh spesies yang dijumpai terdiri dari 9 family yang terbagi dari 2 kelas (amfibi
dan reptilian). Kelas amfibi terdiri dari 5 family yaitu Dicroglossidae, Megophrydae,
Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Family Dicroglosidae dan
Rhacophoridae merupakan family dengan anggota spesies yang terbanyak, yaitu 4
spesies.
Sedangkan pada kelas reptilian terdiri dari 4 family, yaitu Agamidae, Colubridae,
Gekkonidae dan Scincidae. Family yang memiliki jumlah spesies paling banyak
adalah Agamidae dengan 3 spesies Ggambar. 4.140).

Gambar 4.140. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 173

Spesies endemik yang dijumpai di TBGMK adalah Kongkang jeram (Huia masonii),
Katak-pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) dan Percil jawa (Microhyla
achatina).

4.4.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan menggunakan indeks ShannonWiener dapat diketahui bahwa nilai keragaman masing-masing jalur pengamatan
berkisar antara 1.28 hingga 2.22 dan tergolong ke dalam nilai keragaman hayati
tingkat sedang (Tabel 4.92).
Tabel 4.90. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing lokasi
No
1
2
3
4

Jalur
Curug Ciseoh
Sungai Cihanjawar
Sungai Ciherang
Sungai Cisair

H
1.75
1.59
2.22
1.28

E
0.90
0.82
0.93
0.92

Keterangan : H : Nilai Keragaman Hayati, E : Kemerataan Spesies

Jalur Sungai Ciherang merupakan jalur dengan nilai keragaman yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan jalur lain, yaitu H = 2.22. Pada jalur Sungai Ciherang
dijumpai sebanyak 10 spesies dengan nilai kemerataan spesiesnya (E) adalah 0.93.
Jalur Sungai Cisair merupakan jalur dengan nilai keragaman hayati dan kemerataan
spesies yang paling rendah, yaitu H = 1.28. Akan tetapi nilai kemerataan spesies
pada jalur Sungai Cisair tergolong tinggi jika dibandingkan dengan jalur yang
lainnya. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran individu masing-masing
spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E semakin mendekati 1.

Gambar 4.141. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 174

4.4.4.3. Status Konservasi


Tabel 4.93 menunjukkan status konservasi untuk masing-masing spesies yang
dijumpai di CAGB. Berdasarkan IUCN, terdapat 1 spesies dengan status Vulnerable
yaitu Huia masoni. Serta terdapat 1 spesies dengan status Near Threatened yaitu
Rhacophorus reinwardtii. 20 spesies yang dijumpai termasuk ke dalam kategori
Least Concern. Tidak satupun dari kelompok Herpetofauna yang termasuk dalam
kategori CITES dan dilindungi berdasarkan UU No 7 tahun 1999.
Tabel 4.91. Status konservasi masing-masing spesies
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Spesies
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Occidozyga lima
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhylla achatina
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer
Rhacophorus reinwardtii
Broncochella jubata
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Dendrelaphis pictus
Rhabdophys chrysarga
Cyrtodactylus marmoratus
Eutropis multifasciata

IUCN CITES
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
Vul
LC
LC
LC
LC
LC
NT
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
-

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

PP7
-

4 | 175

Gambar 4.142. Status konservasi berdasarkan IUCN

4.4.4.4. Deskripsi Spesies Penting


Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer

Gambar 4.143. Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer


Rhacophorus margaritifer atau Katak-pohon Jawa merupakan katak yang endemik di
Pulau Jawa dan sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak ini berukuran kecil
sampai sedang. Berwarna coklat kemerahan dengan bercak-bercak yang tidak
beraturan. Permukaan dorsum halus sedangkan permukaan perutnya dan bagian
bawah kaki berbintil-bintil. Selaput terdapat di seluruh jari tangan dan jari kaki
(kecuali jari keempat). Terdapat tonjolan pada tumit yang merupakan modifikasi dari

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 176

kulitnya (flap) serta lipatan kulit di sepanjang pinggir lengan hingga ke jari kaki
terluar. Ukuran tubuhnya 50-60 mm.
Rhacophorus margaritifer biasa terdapat di hutan primer pada ketinggian 250 1500
mdpl. Spesies ini biasa ditemukan pada ranting-ranting pohon di dekat sumber air.
Kongkang jeram - Huia masonii

Gambar 4.144. Kongkang jeram - Huia masonii


Huia masonii atau Kongkang Jeram merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Berukuran sedang, yaitu jantan 30 mm dan betina 50 mm. Tympanum terlihat
dengan jelas. Kaki sangat ramping dan panjang. Jari tangan dan kaki terdapat
piringan yang lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulit
halus dengan sedikit bintil serta lipatan dorsolateral tidak terlihat dengan jelas. Di
sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.
Spesies ini merupakan spesies yang sangat umum dijumpai pada aliran sungai
dengan aliran yang deras dan berbatu-batu. Biasanya dijumpai juga bersembunyi di
dalam semak-semak di pinggir sungai. Berdasarkan daftar merah IUCN, Huia
masonii dikategorikan ke dalam status Vulnerable.
Percil jawa - Microhylla achatina
Microhylla achatina atau Percil Jawa merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Merupakan katak berukuran kecil dengan kepala dan mulut sempit (narrow mouth
frog). Ukuran tubuhnya 20 mm untuk jantan dan 25 mm untuk dewasa. Tubuh
berwarna coklat kekuning-kuningan dengan sisi tubuhnya lebih gelap. Memiliki
tanda khas seperti anak panah pada punggungnya. Tidak memiliki selaput renang

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 177

pada kakinya. Microhyla achatina biasa dijumpai di hutan primer dan sekunder,
kadang dijumpai di areal-areal yang terganggu.

Gambar 4.145. Percil jawa - Microhylla achatina

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.146. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa herpetofauna di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkupan
Perahu

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 178

4.4.5.

Insekta

4.4.5.1. Kekayaan Spesies


Survey yang dilakukan di Cagar Alam Burangrang dijumpai sebanyak 29 spesies.
Survey dilakukan di 4 jalur pengamatan, yaitu Ciherang Kaso, Cisair dan Cilengsing.
Kondisi ketiga jalur pengamatan pada umumnya sama yaitu berupa sempadan
sungai, hutan sekunder dengan beberapa areal terbuka di titik-titik tertentu.
Tabel 4.92. Sebaran Lepidoptera di CAGB
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Spesies
Nymphalidae
Amnosia decora decora
Athyma inara
Athyma larymna
Euthalia mahadeva mahadeva
Faunis canens canens
Junonia orithya minogara
Lethe confusa godana
Melanitis ieda
Melanitis phedima tambra
Mycalesis sudra sudra
Neptis hylas matula
Nymphalidae sp1.
Pantoporia hordonia pardus
Tanaecia japis
Thaumantis odana odana
Yphtima nigricans
Yphtima pandocus pandocus
Papilionidae
Graphium agamemnon
Graphium sarpedon
Papilio memnon
Papilio polytes javanus
Troides amphrysus amphrysus
Troides helena helena
Troides sp.
Pieridae
Cepora iudith iudith
Delias sp.
Eurema blanda
Eurema heCAGBe

Ciherang Kaso

Cisair

Cilengsing
v

v
v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
v
v

v
v
v
v
v
v
v
v

v
v
v
v
v

v
v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v

4 | 179

No
29

Spesies
Leptosia nina chlorographa

Ciherang Kaso

Cisair

18

Cilengsing
v
14

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.147. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di


Gambar 4.147 menunjukkan kekayaan spesies berdasarkan family. Jumlah spesies
yang paling banyak adalah pada family Nymphalidae dengan jumlah 17 spesies.
Menurut Smart (1991) dalam Jurnal PHKA (2005), famili Nymphalidae termasuk
famili dengan jumlah besar dan populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di
dunia. Famili tersebut terdiri dari ribuan spesies. Cortbert dan Pendleburry (1956)
menyatakan bahwa famili Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang
luas, menyukai tempat tempat terang, daerah kebun dan hutan, dan beberapa
menyukai tempat berbau busuk.

4.4.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Tabel 4.95 menunjukkan nilai keragaman hayati pada masing-masing jalur
pengamatan. Nilai keragaman hayati berkisar antara 2.11 sampai 2.82. Nilai
keragaman hayati tersebut termasuk dalam ketagori keragaman hayati tingkat
sedang. Nilai keragaman hayati masing-masing jalur pengamatan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Nilai kemerataan masing-masing jalur juga hamper sama,
yaitu 0.96 0.99. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran individu masingmasing spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E semakin
mendekati 1. Nilai-nilai H dan E yang tidak berbeda jauh tersebut dikarenakan
kondisi habitat masing-masing yang sama.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 180

Tabel 4.93. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing jalur
No
Nama Jalur
1 Ciherang Kaso
2 Cisair
3 Cilengsing

H'
2.82
2.11
2.62

E
0.98
0.96
0.99

4.4.5.3. Status Konservasi


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di CAGB dijumpai 2 spesies penting yang
masuk ke dalam kategori Appendiks II CITES dan Status Perlindungan berdasarkan
PP 7 Tahun 1999 tentang Status Perlindungan flora dan fauna yaitu Troides Helena
dan Troides amphrysus.
Tabel 4.94. Status konservasi spesies dari ordo Lepidoptera
No
1
2

Species
Troides helena
Troides amphrysus

IUCN
LC
LC

CITES
II
II

PP
v
v

4.4.5.4. Deskripsi Spesies Penting


Troides helena
Troides helena merupakan spesies kupu-kupu besar yang juga disebut Common
Birdwing. Troides helena pertama kali di deskripsikan oleh Linnaeus pada tahun
1758. Bentangan sayapnya berkisar antara 13 sampai 17 cm. Kupu-kupu ini termasuk
dalam family Papilionidae. Tubuh dan sayap Troides helena biasanya berwarna gelap
dengan sayap bagian bawah berwarna kuning keemasan dengan bintik hitam.
Perbedaan mencolok antara jantan dan betina adalah, kupu-kupu betina memiliki
tubuh yang lebih besar daripada kupu-kupu jantan. Kupu-kupu ini memiliki 17
subspsies.
Troides helena merupakan kupu-kupu yang umum dijumpai. Daerah sebaran kupukupu ini meliputi Nepal, India, Bangladesh, Myanmar, semenanjung Malaysia,
Indonesia, laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, daerah selatan China dan Hongkong.
Troides amphrysus
Troides amphrysus dideskripsikan pertama kali oleh Cramer pada tahun 1779.
Bentangan sayap mencapai 15 18 cm. termasuk ke dalam family Papilionidae.
Secara morfologi, spesies ini mirip dengan Troides Helena. Akan tetapi, terdapat
kombinasi warna kuning yang lebih banyak pada sayap bagian atasnya.
Seperti halnya Trodes Helena, Troides amphrysus merupakan kupu-kupu yang
umum dijumpai. Dengan daerah sebaran spesies ini meliputi Nepal, India,

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 181

Bangladesh, Myanmar, semenanjung Malaysia, Indonesia, laos, Kamboja, Thailand,


Vietnam, daerah selatan China dan Hongkong.

4.4.6.

Biota Akuatik

4.4.6.1. Keragaman Hayati


Survey biota akuatik yang dilakukan di Cagar Alam Burangrang (CAGB) dilakukan
pada 7 jalur pengamatan, yaitu Sungai Ciherang, Sungai Ciherang (Pertemuan),
Sungai Cihanjawar, Sungai Cisair, Sungai Cipadahulu, Sungai Cipadahilir, Sungai
Cisomang. Pada survey yang dilakukan di 7 jalur tersebut dijumpai sebanyak 30
spesies plankton yang terdiri dari 23 spesies Phytoplankton dan 7 spesies
zooplankton.
Tabel 4.95. Sebaran plankton pada masing-masing jalur pengamatan di CAGB
N0

Organisme

Phytoplankton
1 Anabaena sp.
2 Bulbochaeta sp.
3 Chamaesiphon sp.
4 Chlamydomonos sp.
5 Cladophora sp.
6 Cylindrospermum sp.
7 Cymbella sp.
8 Desmidium sp.
9 Fragilaria sp.
10 Lemahea sp.
11 Lyngbyo sp.
12 Melosura sp.
13 Micrasterias sp.
14 Microcrocys sp.
15 Mougeotia sp.
16 Navicula sp.
17 Nitzschia sp.
18 Oscillatoria sp.
19 Spirogyra sp.
20 Stanieria sp.
21 Surirella sp.
22 Synedra sp.
23 Tabellaria flocoulosa
Jumlah

Jalur
4

20
10
20
10
10

10
10

10

10
10
10

20

10
30

180

10

10

10
10
30
20
20

10
10
10
10
620
130
10
840

10

10
10
30

10
90

980
100

210
30
10
340

40
60

70
160

1370

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

110

10
20
20
150
20
10

10
10
180
80

330

310

10

4 | 182

N0

Organisme

I.D. Simpson
Zooplankton
1 Arcella sp.
2 Centropyxis sp.
3 Centropyxis aculeata
4 Cyclops sp.
5 Macrothrix sp.
6 Nauplii sp.
7 Vorticella sp.
Jumlah
I.D. Simpson
TOTAL PLANKTON
Jumlah Total Plankton
I.D. Simpson

Jalur
1
2
3
4
5
6
7
0.42971 0.59516 0.625 0.46289 0.56198 0.76217 0.59105
10

20

10

10

10

10
30
10
10

10
10
0.000

10
10
30
0.000 0.667

30
0.444

10
0.000

40
0.375

10
0.000

850
0.443

350 190
0.617 0.726

1400
0.485

120
0.625

370
0.804

320
0.615

Sunmber: Tabulasi Data Primer 2013, Analisa Laboratorium Lembaga Ekologi UNPad
Keterangan : 1. Sungai Ciherang, 2. Sungai Ciherang (Pertemuan), 3.
Sungai Cihanjawar, 4. Sungai Cisair, 5. Sungai
Cipadahulu, 6. Sungai Cipadahilir, 7. Cisomang

Nilai keragaman hayati masing-masing jalur dapat dibandingkan berdasarkan


Gambar 4.148. Nilai keragaman hayati plankton (total) yang paling tinggi adalah
pada Sungai Cipada Hilir dengan nilai keragaman sebesar 0.804. Sedangkan nilai
keragaman hayati yang paling rendah adalah Sungai Ciherang dengan nilai 0.443.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Biota Akuatik)

Gambar 4.148. Perbandingan nilai keragaman hayati masing-masing jalur

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 183

4.5.

Kajian Biodiversitas di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam


Gunung Tangkuban Perahu

4.5.1.

Flora

4.5.1.1. Kekayaan Spesies


Kawasan Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu (CAGTP) dan Kawasan Taman
Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu (TWAGTP) adalah dua kawasan yang
masih memiliki kawasan vulkanik dengan sebaran variasi floranya sebanyak 127
spesies dan 22 spesies. Dari sebanyak 127 spesies yang terdapat di CAGTP,
termasuk dalam 1 Divisi Magnoliophyta, 2 Kelas Liliopsida dan Magnoliopsida, 36
Ordo, dan 54 Keluarga. Dari 22 spesies flora di Kawasan TWAGTP termasuk ke
dalam 1 Divisi, 2 kelas, 5 Ordo, dan 7 Keluarga. Data selengkapnya disajikan dalam
bagian Lampiran 1. Kekayaan spesies flora di Kawasan CAGT ditunjukkan pada
Gambar 4.165.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.149. Grafik kekayaan spesies flora di CAGT pada berbagai ketinggian

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 184

4.5.1.2. Indeks Nilai Penting


Hasil analisa penghitungan Indeks Nilai Pentng (INP) tingkat pohon ditunjukkan
pada Tabel 4.1. dan Gambar 4.2. Untuk INP tingkat Tiang (Pole) ditunjukkan pada
Tabel 4.2. dan Gambar 4.3. Untuk INP tingkat Pancang (Sapling) ditunjukkan pada
Tabel 4.3. dan Gambar 4.4. Untuk INP tingkat Semai/ Anakan (Seedling)
ditunjukkan pada Tabel 4.4. dan Gambar 4.5.
Tabel 4.96.
Kode

Indeks Nilai Penting Spesies tingkat pohon di Kawasan CAGTP

Nama Daerah
Taritih
Riung anak
Puspa
Huru Beas
Pasang
Sp_68046806
Sp_6855
Putat
(Gandarusa)
Huru Bodas
Sp_6911
Ki jeruk
Ki menet
Huru Batu
Kicabe
Sp_69366930

Nama Latin
Gyroniera cuspidata
Castanopsis
acuminatissima
Schima walichii
Litsea sp.
Lithocarpus sp.

Famili
Ulmaceae
Fagaceae
Theaceae
Lauraceae
Fagaceae

Litsea sp

Lauraceae

Lavanga sarmentosa

Rutaceae

Clerodendron sp.

Verbenaceae

Jumlah

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

10,53

10,53

20,23

41,28

5,26
42,11
5,26
7,89

5,26
42,11
5,26
7,89

3,65 14,18
39,21 123,42
2,99 13,52
7,88 23,67

2,63
2,63

2,63
2,63

1,53
1,42

6,79
6,69

5,26
2,63
2,63
2,63
2,63
2,63
2,63

5,26
2,63
2,63
2,63
2,63
2,63
2,63

5,42
2,23
1,72
1,57
7,26
1,53
1,71

15,95
7,49
6,99
6,83
12,53
6,79
6,97

2,63
100,00

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

2,63
1,64
6,90
100,00 100,00 300,00

4 | 185

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.150. Grafik INP spesies pada tingkat pohon di kawasan CAGTP
Tabel 4.97.
Kode

Indeks Nilai Penting Spesies tingkat tiang di Kawasan CAGTP


Nama
Daerah

Taritih
Puspa
Huru Beas
Sp_6911
Huru Bodas
Huru Batu
Ki cabe
Ipis Kulit
Sp_69726974

Nama Latin

Famili

Gyroniera cuspidata
Schima walichii

Ulmaceae
Theaceae

Litsea sp

6911
Lauraceae

Clerodendron sp.

Verbenaceae
6837-6846

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Frelatif
(%)

Krelatif
(%)

Drelatif
(%)

INP
(%)

13,64
27,27
4,55
9,09
4,55
13,64
13,64
9,09

13,64
27,27
4,55
9,09
4,55
13,64
13,64
9,09

13,06
26,05
4,43
8,63
5,85
12,51
14,74
11,51

40,33
80,60
13,52
26,81
14,94
39,78
42,01
29,69

4,55
4,55
3,23 12,32
100,00 100,00 100,00 300,00

4 | 186

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.151. Grafik INP spesies pada tingkat pohon di kawasan CAGTP
Tabel 4.98.

Indeks Nilai Penting Spesies tingkat pancang di Kawasan CAGTP

Nama Daerah
Taritih
Kijeruk
6774-6776
6788-6789
6790-6792
Puspa
6787
Huru Batu
Kitambaga
6849-6850
6851-6852
6853-6854
Ipis Kulit
Kiputri
Huru

Schima wallichii

6911
Huru Bodas
6917-6920
6938-6940
6941-6943
6926-6930
6961-6962

Nama Latin

Famili

Frelatif (%)
6
2
4
2
2
12
2
10
4
2
2
2
12
4
2
6
8
4
2
2
2
2

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Krelatif
(%)
6
2
4
2
2
12
2
10
4
2
2
2
12
4
2
6
8
4
2
2
2
2

Drelatif (%)

INP (%)

4,761905
0,802568
3,638309
0,802568
1,284109
14,92777
1,337614
17,06795
4,922418
0,535045
1,498127
0,535045
13,37614
6,741573
2,461209
2,568218
8,614232
2,140182
3,103264
0,963082
2,247191
3,317282

16,76
4,80
11,64
4,80
5,28
38,93
5,34
37,07
12,92
4,54
5,50
4,54
37,38
14,74
6,46
14,57
24,61
10,14
7,10
4,96
6,25
7,32

4 | 187

Nama Daerah

Nama Latin

Famili

Krelatif
(%)

Frelatif (%)

Huru Beas
Peer
Huru

2
2
2
100,00

2
2
2
100,00

Drelatif (%)

INP (%)

0,535045
0,802568
1,016586
100,00

4,54
4,80
5,02
300,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.152. Grafik INP spesies pada tingkat pancang di kawasan CAGTP
Tabel 4.99.

Indeks Nilai Penting Spesies tingkat semai di Kawasan CAGTP

Nama Daerah

Nama Latin

Famili

Frelatif (%)

Huru Beas
Sp_6777-6778
Taritih
Sp.1
Sp_6851-6852
Huru Bodas
Ipis Kulit
Putat
Puspa
Sp_6917-6920
Kokopian
Sp_6921-6922

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

5,88
5,88
5,88
5,88
5,88
11,76
5,88
5,88
5,88
5,88
5,88
11,76

Krelatif
(%)
9,43
2,36
23,58
9,43
0,47
18,87
9,43
2,36
2,36
4,72
4,72
2,83

INP (%)
15,32
8,24
29,47
15,32
6,35
30,63
15,32
8,24
8,24
10,60
10,60
14,59

4 | 188

Nama Daerah

Nama Latin

Famili

Frelatif (%)

Kiputri
Sp_6923-6925
Peer

5,88
5,88
5,88
100,00

Krelatif
(%)
2,36
2,36
4,72
100,00

INP (%)
8,24
8,24
10,60
200,00

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.153. Grafik INP spesies pada tingkat semai di kawasan CAGTP

4.5.1.3. Indek Keragaman Spesies


Hasil penghitungan nilai indeks keragaman spesies flora untuk tingkat pohon, tiang,
pancang, dan semak di kawasan CAGTP \ditunjukkan pada Gambar 4.154 hingga
Gambar 4.157.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 189

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.154. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pohon di kawasan
CAGTP

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.155. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat tiang di kawasan
CAGTP

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 190

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.156. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat pancang di kawasan
CAGTP

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Flora)

Gambar 4.157. Grafik Indek Keragaman Spesies pada tingkat semai di kawasan
CAGTP

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 191

4.5.2.

Mamalia

4.5.2.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu berhasil ditemukan 9 spesies dari 7 famili dan 5 ordo.
Secara keseluruhan survei terbagi menjadi lima jalur yang dilakukan selama enam
hari dengan menggunakan metode transek. Adapun guna mengetahui kekayaan
spesies dilakukan dengan metode di luar transek seperti kamera trap, live trap
(perangkap rodentia), dan mistnet (perangkap chiroptera). Spesies-spesies yang
ditemukan didasarkan pada perjumpaan langsung dan tidak langsung. Sebaran
spesies mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban
Perahu dapat dilihat pada Tabel 4.102.
Tabel 4.100. Sebaran spesies mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu
No.

2
3
4

5
6

Nama Species
ARTIODACTYLA
Suidae
Sus scrofa
CARNIVORA
Felidae
Panthera pardus melas
Prionailurus bengalensis
Viverridae
Paradoxurus
hermaphroditus
PRIMATA
Cercopithicidae
Presbytis comata
Trachypithecus auratus
mauritius
Hylobatidae
Hylobates moloch
RODENTIA
Muridae
Mus sp.
SCANDENTIA
Tupaiidae
Tupaia javanica

Nama Lokal

Jalur Pengamatan
I
II
III

Babi hutan

Macan tutul
Kucing hutan

v
v

Musang Luwak

Surili
Lutung Jawa

Nontransek

v
v

v
v

Owa Jawa

Tikus

celemes

Keterangan : v = ditemukan, non-transek = perjumpaan luar kawasan/kamera


trap/live trap/mistnet.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 192

Pada Tabel 4.102 dapat dilihat bahwa terdapat empat spesies dari dua famili
mamalia yang memiliki sebaran cukup luas dibandingkan lainnya yaitu felidae yang
terdiri dari macan tutul (Panthera pardus melas) dan kucing hutan (Prionailurus
bengalensis) serta Cercopithicidae yang terdiri dari surili (Presbytis comata) dan
lutung jawa (Trachypithecus auratus mauritius). Keempat spesies tersebut ditemukan
pada tiga jalur dari tiga jalur pengamatan. Ketiga jalur pengamatan tersebut memiliki
ketinggian antara 1000 mdpl hingga 1800 mdpl. Jalur pengamatan yang memiliki
kekayaan spesies mamalia tertinggi yaitu di jalur I dengan temuan 4 spesies mamalia
dari 3 famili (44,4% dari total spesies mamalia yang ditemukan). Pada jalur I ini
ditemukan spesies mamalia penting yang berfungsi sebagai top-predator yaitu macan
tutul (Panthera pardus melas). Sedangkan kekayaan spesies pada non-transek sama
tinggi dengan jalur I dikarenakan survei dilakukan di berbagai titik lokasi yang
sangat berpotensi dalam penemuan spesies dan titik lokasi tersebut berada di luar
jalur pengamatan. Berikut adalah grafik kekayaan spesies mamalia pada masingmasing jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung
Tangkuban Perahu (Gambar 4.158).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.158. Grafik kekayaan spesies (jumlah spesies dan jumlah famili) di
masing-masing jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman
Wisata Gunung Tangkuban Perahu.

4.5.2.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Keragaman Spesies
Tingkat keragaman spesies mamalia diperoleh dari hasil perhitungan nilai indeks
Shannon-Wiener yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tingkat keragaman
spesies pada jalur pengamatan yang berbeda. Perhitungan indeks ini didasari atas
data perjumpaan langsung yang berada dalam jalur pengamatan. Menurut Fachrul

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 193

(2007), indeks keragaman spesies dapat dikatakan tinggi atau melimpah apabila
memiliki kisaran nilai lebih dari 3, sedang bila terdapat dalam kisaran nilai 1 3,
dan rendah bila terdapat dalam kisaran kurang dari 1. Berdasarkan hasil survei dari
tiga jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung
Tangkuban Perahu, hanya dua jalur saja yang dapat dihitung tingkat keragaman
spesies mamalia. Hal ini dikarenakan terdapat satu jalur pengamatan (jalur II) yang
perjumpaan seluruh spesiesnya tidak dijumpai secara langsung. Grafik indeks
keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman
Wisata Gunung Tangkuban Perahu dapat dilihat pada Gambar 4.159.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.159. Grafik indeks keragaman spesies pada tiap jalur pengamatan di
Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu
Secara keseluruhan grafik di atas (Gambar 4.159) menunjukan bahwa tingkat
keragaman spesies pada kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung
Tangkuban Perahu tergolong rendah kisaran 0,56 hingga 0,69 dengan nilai indeks
tertinggi pada jalur I dan nilai indeks terendah pada jalur III. Menurut Sodhi (2004)
dalam Gunawan et al. (2005), tingkat keragaman spesies di suatu areal dipengaruhi
oleh beberapa faktor, dua diantaranya adalah keragaman atau kualitas habitat dan
gangguan dari aktifitas manusia seperti perburuan liar. Intensitas aktifitas manusia di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu masih terbilang
cukup banyak. Hal ini dikarenakan sebagian kawasan ini termasuk kawasan wisata
sehingga banyak orang yang keluar dan masuk kawasan untuk berbagai keperluan
terutama rekreasi, dan masih ditemukan aktifitas perburuan. Aktifitas manusia
tersebut menyebabkan spesies mamalia sulit dijumpai secara langsung. Hal ini
berpengaruh terhadap tingkat keragaman spesies sehingga tergolong rendah.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 194

Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan spesies digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi
diantara tiap spesies dalam suatu komunitas. Dalam mengetahui tingkat merataan
spesies perlu menggunakan nilai indeks kemerataan. Data yang digunakan dalam
nilai indeks kemerataan merupakan data perjumpaan langsung yang berada dalam
jalur pengamatan. Berdasarkan hasil survei, tingkat kemerataan spesies mamalia di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu berkisar antara
0,811 hingga 0,998. Menurut Husin (1988) dalam Lumme (1994), apabila nilai
indeks kemerataan mendekati satu maka sebaran individu-individu antar spesies
relatif merata, tetapi apabila nilai indeks mendekati 0 maka sebaran individu antar
spesies sangat tidak merata. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur
pengamatan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu
dapat dilihat pada Gambar 4.160.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.160. Grafik indeks kemerataan spesies pada tiap jalur pengamatan di
kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung Tangkuban Perahu
Berdasarkan pada Gambar 4.150 terlihat bahwa jalur I memiliki nilai indeks
kemerataan 0,998 yang berarti sebaran individu-individu antar spesies relatif
merata. Hal ini dikarenakan pada jalur I hampir tidak memiliki spesies dominan.
Berbeda dengan jalur III yang memiliki spesies dominan yaitu lutung
(Trachypithecus auratus mauritius) sehingga nilai indeks kemerataan pada jalur III
memiliki nilai terkecil.

4.5.2.3. Status Konservasi


Demi menjaga keberlangsungan kehidupan satwaliar khususnya mamalia diperlukan
suatu upaya pelestarian seperti adanya peraturan yang melindungi dan menjaga

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 195

kelestarian mamalia tersebut seperti PP No. 7/1999, IUCN, dan CITES. Berdasarkan
9 spesies mamalia yang ditemukan di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu sebanyak 6 spesies mamalia masuk dalam daftar status
konservasi dan perlindungan nasional maupun internasional seperti PP No. 7/1999,
IUCN, dan CITES. Beberapa spesies merupakan spesies endemik jawa. Status
konservasi dan perlindungan mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu dapat dilihat pada Tabel 4.103 dan secara lengkap
terdapat di Lampiran 2.
Tabel 4.101. Status konservasi mamalia di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata
Gunung Tangkuban Perahu
No.
1
2
3
4
5
6

Nama Species
Hylobates moloch
Panthera pardus melas
Presbytis comata
Prionailurus bengalensis
Trachypithecus auratus mauritius
Tupaia javanica

Nama Lokal
Owa jawa
Macan tutul
Surili
Kucing hutan
Lutung jawa
Celemes

Status Perlindungan
PP7/99
IUCN
CITES
D
EN
I
D
CR
I
D
EN
II
D
II
D
VU
II
II

Endemik
E
E
E
E

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)


Keterangan: D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN =
Endangered, VU = Vulnerable, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, E = endemik Jawa

Pada Tabel 4.103 dapat dilihat bahwa sebanyak lima spesies mamalia dilindungi
oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Jika dibandingkan dengan seluruh spesies
mamalia yang ditemukan, spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan status ini
mencakup 55,5%. Sedangkan berdasarkan catatan merah IUCN sebanyak satu
spesies mamalia memiliki status critically endangered / sangat terancam (CR), dua
spesies mamalia berstatus endangered / genting (EN), satu spesies mamalia
berstatus vulnerable / rawan (VU), dan sisanya berstatus near threatened /
mendekati terancam (NT), Least Concern / konsentrasi rendah (LC), dan Data
Deficient / data kurang (DD). Tiga status teratas seperti sangat terancam,
genting, dan rawan memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.
Namun yang membedakan ketiga status tersebut adalah kriteria-kriteria didalamnya,
salah satunya diantaranya adalah ukuran populasi (terutama adanya pengurangan
populasi) suatu satwa (IUCN 2001).
Berdasarkan konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah
yaitu Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species (CITES) terdapat
dua spesies mamalia yang terdaftar dalam kategori Appendix I, empat spesies
mamalia terdaftar dalam kategori Appendix II, satu spesies mamalia terdaftar dalam
kategori Appendix III dan sisanya tidak terdaftar dalam CITES. Menurut Soehartono
dan Mardiastuti (2003), kategori Appendix I yaitu spesies yang jumlah di alamnya

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 196

sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk
spesies-spesies yang termasuk dalam Appendix I sama sekali tidak diperbolehkan.
Sedangkan pada kategori Appendix II yaitu semua spesies kehidupan liar walau tidak
dalam kondisi terancam dari kepunahan, tetapi mempunyai kemungkinan untuk
terancam punah jika perdagangannnya tidak diatur. Pada kriteria dasar kategori
Appendix III relatif sama dengan Appendix II hanya berbeda pada spesies yang
termasuk Appendix III diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Seperti halnya
pada satu spesies mamalia yang ditemukan, terdapat spesies yang tergolong
Appendix III (Lampiran 2), tetapi tidak diberlakukan di negara Indonesia melainkan
di negara India saja.
Terdapat empat spesies mamalia yang termasuk spesies endemik jawa, diantaranya
satu spesies dari ordo Carnivora yaitu macan tutul (Panthera pardus melas); tiga
spesies dari ordo primata yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis
comata), dan lutung jawa (Trachypithecus auratus mauritius). Pada dua spesies
primata seperti surili dan lutung jawa merupakan primata endemik Jawa barat.
Berikut adalah grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP
7/99, IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta mamalia endemik jawa
(Gambar 4.161).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.161. Grafik sebaran spesies mamalia berdasarkan status perlindungan PP 7/99,
IUCN (CR,EN,&VU) dan CITES (I&II) serta mamalia endemik jawa.

Pada Gambar 4.161 terlihat bahwa jalur I dan III merupakan jalur yang paling
banyak memiliki spesies mamalia dilindungi khususnya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Pada jalur I terdapat satu spesies mamalia yang berstatus
appendix I CITES dan masuk daftar merah IUCN dengan status CR seperti Macan

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 197

tutul (Panthera pardus melas). Adapun spesies endemik jawa lebih banyak
ditemukan di jalur I. Jalur I berada di ketinggian 1000 1800 mdpl. Dalam hal ini
jalur I memiliki nilai lebih dibanding jalur lainnya sehingga jalur I memerlukan
perhatian yang lebih terutama pada sektor pengamanan atau perlindungan spesies
mamalia guna menghindari aktifitas-aktifitas yang mengancam keberadaan spesies
seperti perburuan. Perlu dilakukan monitoring kembali guna mengontrol keberadaan
mamalia yang dilindungi tersebut.

4.5.2.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).
Macan tutul (Panthera pardus melas) termasuk ke dalam ordo karnivora dan famili
felidae. Spesies ini dicirikan dengan pola warna tutul pada bagian tubuhnya. Pada
umumnya bulu pada spesies ini berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik
berwarna hitam dan bintik hitam yang berukuran lebih kecil di kepalanya. Spesies ini
mempunyai dua variasi warna yaitu berwarna terang dan berwarna gelap yang biasa
disebut dengan macan kumbang. Meskipun memiliki warna berbeda, keduanya
merupakan subspesies yang sama. Macan tutul mengalami proses melanisme, yaitu
dengan adanya dominasi pigmen hitam dalam bulu, sehingga binatang
keseluruhannya menjadi lebih kehitam-hitaman. Bentuk ini disebut bentuk kumbang.
Walaupun demikian, kembangan tutul-tutul masih terlihat pada bentuk kumbang ini
(Lembaga Biologi Nasional LIPI 1982).
Macan tutul merupakan spesies yang penting bagi ekosistem disekitarnya. Hal ini
dikarenakan spesies ini memiliki fungsi ekologi sebagai top predator dalam rantai
makanan. Namun, saat ini macan tutul mengalami keterancaman yang cukup serius
sehingga spesies ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Adapun spesies
ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status critically endangered / sangat
terancam dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori Appendix I yang
sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Macan tutul dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi (Ario 2010). Macan
tutul hanya tersebar di pulau jawa sehingga termasuk spesies endemik jawa. Menurut
Hoogerwerf (1970) dalam Gunawan (2010), di Jawa barat spesies ini tersebar di TN
Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Cianjur selatan dan Cirebon.
Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan DAS Citarum, terutama pada Cagar
Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu, tanda-tanda keberadaan
spesies ini dijumpai di jalur I (blok ciasem) dengan ketinggian berkisar 1100 hingga
1500 mdpl dan jalur II dengan ketinggian mencapai 1250 mdpl. Namun perjumpaan
spesies ini dijumpai secara tidak langung berupa feses dan bekas cakaran di batang
pohon. Oleh karena itu, perhitungan kepadatan spesies ini tidak dapat dilakukan.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 198

Owa Jawa (Hylobates moloch)


Owa jawa (Hylobates moloch) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
hylobatidae. Owa jawa memiliki ciri-ciri seperti Tubuh seluruhnya ditutupi rambut
yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya
berwarna hitam. Muka seluruhya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu
yang meneyerupai warna keseluruhan tubuh. Owa jawa hidup di kawasan hutan
hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan dengan tinggi
1400 1600 mdpl (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini owa jawa mengalami
keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN dengan status
endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan kategori
Appendix I yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Owa jawa hanya tersebar di pulau jawa saja sehingga spesies ini terbilang spesies
endemik jawa. Menurut Supriatna dan Tilson (1994) dalam Ario et al. (2011),
penyebaran owa jawa di Jawa Barat, diantaranya seperti di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Ujung Kulon,
Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweng Sancang. Lokasi perjumpaan spesies ini
di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu adalah berada di
luar jalur pengamatan sehingga perhitungan kepadatan spesies ini tidak dapat
dilakukan.
Surili (Presbytis comata)
Surili (Presbytis comata) termasuk ke dalam ordo primata dan famili
Cercopithicidae. Secara umum tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung memiliki warna hitam atau coklat dan keabuan. Rambut pada jambul dan
kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut yang tumbuh dibawah dagu, dada dan
perut, bagian dalam lengan, kaki, dan ekor berwarna putih. Warna kulit muka dan
telinga hitam pekat agak kemerahan (Supriatna & Wahyono 2000). Saat ini surili
mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga dilindungi oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam catatan merah IUCN
dengan status endangered / genting dan juga termasuk ke dalam CITES dengan
kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Surili tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat sehingga spesies ini termasuk
spesies endemik jawa barat. Surili hidup di daerah hutan hujan atas di Gunung
Halimun, Gunung Tilu, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, Danau Ranca, dan
Ujung Kulon (Ditjen PPA 1978b; Sub BKSDA Jabar dan TSI 1994; Siahaan 2002).
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 199

Gunung Tangkuban Perahu, Suril (Presbytis comata) dijumpai di pada jalur I dan
jalur III dengan ketinggian berkisar antara 800-1600 mdpl.
Perjumpaan spesies yang secara langsung dapat digunakan dalam perhitungan
kepadatan tetapi menggunakan beberapa asumsi seperti penyamaan pada luas jalur
(lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100 m dan panjang pada
masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak adanya pengulangan
dalam pengambilan data. Dengan menggunakan asumsi tersebut maka pendugaan
populasi yang diperoleh sebesar 179 individu dengan kepadatan rata-rata spesies
sebesar 0.108 ind/ha. Intensitas sampling areal sebesar 7.22 %. Beberapa sumber
menyarankan agar areal (contoh) yang diamati mencapai 10 15 % dari luas total
kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa berpendapat bahwa estimasi ukuran
populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh seluas 5 % dari
luas total kawasan yang hendak diduga (Tobing 2008). Jadi, pendugaan populasi
surili di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu masih
dikatakan cukup akurat meskipun masih memerlukan intensitas sampling yang lebih
besar lagi. Namun perolehan data tersebut masih terbilang kurang karena waktu
survei yang sangat singkat. Oleh karena itu, masih diperlukan pengkajian atau
penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara
lebih detail terutama dengan mempertimbangkan luas areal contoh dan lamanya
waktu pelaksanaan.
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus mauritius)
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) termasuk ke dalam ordo primate dan family
Cercopithicidae. Lutung Jawa yang terdapat di Indonesia memiliki dua subspecies
berdasarkan perbedaan warna yaitu : Trachypithecus auratus auratus dan
Trachypithecus auratus mauritius. Ciri pada spesies Trachypithecus auratus
mauritius diantaranya hitam mengkilap dengan sedikit warna kecoklat-coklatan pada
bagian atas ventrum, cambang, dan kaki (Brandon-Jones 1995; Groves 2001;
Febriyanti 2008). Saat ini surili mengalami keterancaman sehingga spesies ini juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, spesies ini terdaftar dalam
catatan merah IUCN dengan status vulnerable / rawan dan juga termasuk ke dalam
CITES dengan kategori Appendix II yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.
Lutung jawa ini (T.a. mauritius) tersebar di pulau jawa khususnya di jawa barat
sehingga spesies ini termasuk spesies endemik jawa barat. Spesies ini memiliki
distribusi terbatas di Jawa Barat hingga utara dari Jakarta, dekat Bogor, Cisalak, and
Jasinga, barat daya Ujung Kulon, kemudian sepanjang pantai selatan Cikaso atau
Ciwangi (Groves 2001 dalam Febriyanti 2008). Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan di Cagar Alam Tangkuban Perahu dan Taman Wisata Alam Gunung
Tangkuban Perahu, lutung jawa (T.a. mauritius) dijumpai di jalur I dan jalur III pada
ketinggian 800-1600 mdpl.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 200

Perjumpaan spesies yang secara langsung dapat digunakan dalam perhitungan


kepadatan tetapi menggunakan beberapa asumsi seperti penyamaan pada luas jalur
(lebar pada masing-masing jalur pengamatan adalah 100 m dan panjang pada
masing-masing jalur pengamatan adalah 4000 m) serta tidak adanya pengulangan
dalam pengambilan data. Dengan menggunakan asumsi tersebut maka pendugaan
populasi yang diperoleh sebesar 304 individu dengan kepadatan rata-rata spesies
sebesar 0.183 ind/ha. Intensitas sampling areal sebesar 7.22 %. Beberapa sumber
menyarankan agar areal (contoh) yang diamati mencapai 10 15 % dari luas total
kawasan yang hendak diduga; tetapi beberapa berpendapat bahwa estimasi ukuran
populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh seluas 5 % dari
luas total kawasan yang hendak diduga (Tobing 2008). Jadi, pendugaan populasi
lutung jawa di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu
masih dikatakan cukup akurat meskipun masih memerlukan intensitas sampling yang
lebih besar lagi. Namun perolehan data tersebut masih terbilang kurang karena waktu
survei yang sangat singkat. Oleh karena itu, masih diperlukan pengkajian atau
penelitian lebih lanjut mengenai populasi atau kepadatan rata-rata spesies secara
lebih detail terutama dengan mempertimbangkan luas areal contoh dan lamanya
waktu pelaksanaan.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.162.

Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa mamalia di


kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban
Perahu

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 201

4.5.3.

Burung

4.5.3.1. Kekayaan Spesies


Sekitar 93 spesies burung dari 32 famili yang tercatat selama survey di kawasan
Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu CAGTP) dan Taman Wisata Alam Gunung
Tangkuban Perahu (TWAGTP) melalui perjumpaan langsung di lapangan (visual dan
suara) pada saat survey lapangan.
Survey ini mencakup CAGTP dan TWAGTP yang masuk ke dalam DAS Citarum.
Kawasan TWA maupun CAGTP, sebagian besar wilayahnya berada di luar DAS
Citarum. TWAGTP adalah bagian tak terpisahkan dari kawasan CAGTP, karena
lokasinya berada di dalam kawasan Cagar Alam tersebut. Diantara kedua kawasan
ini tidak ada pembatas ekologis yang jelas, yang ada adalah pembatas wilayah kelola
(batas administratif). Oleh karenanya, penanda kajian jenis-jenis burung di kawasan
TWAGTP lebih dititikberatkan pada jenis-jenis burung yang ada di sekitar kawasan
atau jalur lintasan wisata. Kawasan CAGTP hampir seluruhnya berada di luar DAS
Citarum hulu. Areal yang termasuk ke dalam DAS Citarum berada di bagian selatan
berupa lereng terjal dan tipis memanjang ke timur sepanjang batas CA. Oleh karena
itu, survey burung ini tidak secara khusus dilakukan di area yang masuk ke DAS
Citarum.
Dari 93 spesies burung yang tercatat dilokasi kajian 18 spesies diantaranya
merupakan spesies endemik dan 25 spesies Dilindungi oleh pemerintah melalui UU
No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 2 spesies yang memliki status keterancaman termasuk
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Status Genting/ Endangered dan 3 spesies dengan
status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 8 spesies termasuk dalam daftar
CITES termasuk Alap-alap Kawah (Falco peregrinus) yang terdaftar dalam lampiran
1 CITES.
Tabel 4.102. Ringkasan kekayaan spesies burung di CAGTP dan TWAGTP
CA
Tangkuban
Perahu

TWA
Tangkuban
Perahu

Keterangan

Jumlah spesies

93

34

Total 93 spesies yang tercatat di CAGTP


dan TWAGTP

Jumlah family

32

17

Spesies Endemik

17

Spesies Dilindungi

25

Status IUCN

Penjelasan

Total 32 family yang tercatat di CAGTP


dan TWAGTP
Total 18 spesies endemik yang tercatat
di CAGTP dan TWAGTP
Total 25 spesies dilindungi yang tercatat
di CAGTP dan TWAGTP
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Status

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 202

Penjelasan

Status CITES

CA
Tangkuban
Perahu
8

TWA
Tangkuban
Perahu
4

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Burung)

Keterangan
Genting/ Endangered
Total 8 spesies daftar CITES yang
tercatat di CAGTP dan TWAGTP

Selama survey dilakukan CAGTP tercatat 17 spesies Endemik Pulau Jawa yang
tercakup ke dalam 11 Family. Family dengan jumlah jenis endemik terbanyak adalah
Timaliidae (Stachyris thoraica, Stachyris melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, dan
Crocias albonotatus), masing-masing dua jenis dari Family Capitonidae (Megalaima
corvina dan Megalaima armillaris), Sylviidae (Tesia superciliaris dan Seicercus
grammiceps), dan Nectariniidae (Aethopyga eximia dan Aethopyga mystacalis), serta
masing-masing satu jenis dari family Accipitridae, Phasianidae, Psittacidae,
Alcedinidae, Rhipiduridae, Aegithalidae dan Zosteropidae.
Sedangkan Selama survey dilakukan di TWA Tangkuban Perahu, tercatat 4 spesies
Endemik Pulau Jawa yang tercakup ke dalam 3 Family. Family dengan jumlah jenis
endemik terbanyak adalah Timaliidae (Alcippe pyrrhoptera, dan Crocias
albonotatus), kemudian masing-masing 1jenis dari Family Rhipiduridae dan
Nectariniidae.
Tabel 4.103. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di CAGTP dan TWAGTP
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama Ilmiah
Spizaetus bartelsi
Arborophila javanica
Ptilinopus porphyreus
Halcyon cyanoventris
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pycnonotus bimaculatus
Psaltria exilis
Stachyris thoracica
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Seicercus grammiceps
Tesia superciliaris
Rhipidura phoenicura
Aethopyga eximia
Aethopyga mystacalis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elang Jawa
Puyuh gonggong Jawa
Walik Kepala-ungu
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung
Cerecet Jawa
Tepus Leher-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Cikrak Muda
Tesia Jawa
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Opior Jawa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Nama Inggris
Javan Hawk-Eagle
Chestnut-bellied Partridge
Pink-headed Fruit Dove
Javan Kingfisher
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet
Orange-spotted Bulbul
Pygmy Bushtit
White-bibbed Babbler
Crescent-chested Babbler
Javan Fulvetta
Spotted Crocias
Sunda Warbler
Javan Tesia
Rufous-tailed Fantail
White-flanked Sunbird
JavanSunbird
Grey-throated Ibon

4 | 203

4.5.3.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Terdapat dua habitat utama di wilayah CAGTP, yakni hutan alam dan sebagian kecil
belukar. Habitat lain di sekitar CAGTP adalah kebun Pinus, kaletes, perkebunan teh
serta lahan pertanian penduduk. serta atau lahan pertanian masyarakat. Habitat utama
di wilayah TWAGTP adalah hutan alam pegunungan, dengan phon khas kawah
(cantigi) mendominasi area kawah.
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah jenis dan jumlah individu burung pada sample
transek di sekitar kawasan di CAGTP dan TWAGTP yang secara tidak langsung
telah mewakili keberadaan beberapa tipe habitat yang ada di sekitar kawasan
tersebut.
Jalur transek sekitar Sagun CAGTP memiliki indeks keragaman spesies burung
paling tinggi sebesar 3.456. Nilai indeks keragaman jalur tersebut diatas merupakan
katagori nilai dengan indek keragaman spesies yang tinggi menurut indeks ShannonWiener. Sedangkan ketiga jalur transek lannya blok Cikole (2.685) dan Manggu
(2.815) di CAGTP dan Jalur transek di sekitar TWAGTP (2.400) memiliki indeks
keragaman spesies burung dengan sedang.
Tabel 4.104. Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan menggunakan
Indeks Shannon-Wiener
No
1
2
3
4

Nama Jalur
Cikole
Sagun
Manggu
TWA

H' (Keragaman spesies)


2.685
3.456
2.815
2.400

E(Kemerataan spesies)
0.929
0.992
0.974
0.886

Sumber: Tabulasi dan Analisa Data Primer 2013 (Tim Boiodiversitas Burung)

Keragaman spesies burung Jalur transek di sekitar TWAGTP lebih rendah dari
keragaman spesies burung pada jalur transek lainnya. hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh fungsi kawasan tersebut yang diperuntukkan sebagai tujuan wisata,
habita alam telah mengalami perubahan dengan adanya fasilitas wisata, baik jalan
kendaraan bermotor, lahan parkir, jalur lintasan pejalan kaki dan pada area- area
tertentu (terutama di sektar kawah) dipenuhi oleh bangunan kios.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 204

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Mamalia)

Gambar 4.163. Grafik analisa Keragaman dan Kemerataan Spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener

4.5.3.3. Status Konservasi


Dalam survey ini dijumpai 26 jenis merupakan jenis dengan status konservasi dan
perlindungan nasional maupun international. 25 spesies Dilindungi oleh pemerintah
melalui UU No 5/ 1990 dan PP no 7/ 1999. 1 spesies yang memliki status
keterancaman termasuk Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dengan Status Genting/
Endangered . Serindit Jawa (Loriculus pusillus) dan Cica Matahari (Crocias
albonotatus) dengan Status Mendekati terancam/ Near Threatened dan 8 spesies
dalam daftar CITES termasuk Alapalap Kawah (Falco peregrinus) yang termasu
dalam dafrar CITES lampiran I, dimana spesies ini tidak dapat diperdagangkan
secara international..
Tabel 4.105. Daftar Jenis Burung dengan status keterancaman IUCN dan
perlindungan melalui CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No
7/1999.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Ilmiah
Spilornis cheela
Accipiter trivirgatus
Ictinaetus malayensis
Spizaetus cirrhatus
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Falco peregrinus
Loriculus pusillus
Harpactes oreskios
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris

Nama Indonesia
Elangular Bido
Elangalap Jambul
Elang Hitam
Elang Brontok
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Alapalap Kawah
Serindit Jawa
Luntur Harimau
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa

IUCN CITES
II
II
II
II
EN
II
II
I
NT
II

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

UU-RI
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

4 | 205

No.
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Nama Ilmiah
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Psaltria exilis
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Rhipidura phoenicura
Anthreptes singalensis
Leptocoma sperata
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Aethopyga mystacalis
Arachnothera longirostra
Arachnothera affinis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cerecet Jawa
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Kipasan Ekor-merah
Burungmadu Belukar
Burungmadu Pengantin
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Pijantung Kecil
Pijantung Gunung
Opior Jawa

IUCN CITES

NT

Sumber : Tabulasi Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Burung)

UU-RI
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
B
AB

Keterangan EN : Endangered (Genting); VU : Vurneable (Rentan) ; NT : Near Threatened (Mendekati terancam);:


Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international; II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan
pembatasan kuota perdagangan ; A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

4.5.3.4. Deskripsi dan Pendugaan Populasi Spesies Penting


Elang Jawa
Kawasan berhutan di Utara kota Bandung ini terletak bersebelahan dengan Gn.
Burangrang. Kawasan ini terdiri dari TWAGTP seluas 370 ha berupa panorama
puncak dengan keindahan kawah dan Cagar Alam dengan luas 1290 ha yang
memiliki hutan alami yang masih banyak baik dengan tipe vegetasi hutan
pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Seperti halnya Gn. Burangrang
kawasan hutan ini juga merupakan kawasan penting sebagai resapan air bagi kota
Bandung dan sekitarnya.
Catatan perjumpaan di kawasan CAGTP dan TWAGTP diperoleh dari penelitian
sebelummya. Setiadi dkk (2000) mencatat perjumpaan Elang Jawa sepasang Elang
Jawa dengan anak di area Panaruban. Di Pangheotan-Sukawana, ditemukan tiga
individu dewasa yang berbeda. di Tower dan Kawah Domas masing-masing
ditemukan satu individu dewasa. Berdasarkan catatan pertemuan di kawasan Gn.
Tangkuban Parahu terdapat 12-14 individu (5-6 pasang).
Nurwatha dkk (2004) mencatat perjumpaan dengan Elang Jawa 2 individu dewasa
dan 1 individu muda di sekitar kawasan Ciasem. 2 individu dewasa juga tercatat di
sekitar kawasan Mandala dan 2 individu dewasa tercatat di kawasan Situ
Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 206

Lembangserta 1 individu dewasa tercatat di kawasan Gunung Sunda. Berdasarkan


catatan pertemuan di kawasan Gn. Tangkuban Parahu, Nurwatha dkk (2004)
memperkirakan populasi spesies ini antara 3-4 pasang.
Dalam survey di kawasan CAGTP, Elang Jawa tercatat pada Jalur Ciasem dan
Manggu. Di Ciasem, pernah dilakukan studi berbiak Elang Jawa Nurwatha dkk
(2004) akan tetapi pada saat survey ini keberadaan sarang Elang Jawa tersebut telah
hilang. Catatan perjumpaan dikedua kawasan tersebut telah tercatat oleh peneliti
sebelumnya Setiadi dkk (2000) dan Nurwatha dkk (2004).
Sedangkan pada saat survey CWMBC dilakukan di TWAGTP, Elang Jawa (Nisaetus
bartelsi) Tidak dijumpai langsung di lapangan, dan belum diperoleh informasi baik
dari petugas lapangan maupun dari peneiti lainnya.
Selain Elang Jawa, di wilayah CAGTP juga dijumpai jenis-jenis elang (raptor)
lainnya, yaitu Elang ular Bido (Spilornis cheela), Elang alap Jambul (Accipiter
trivirgatus), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Elang Brontok (Nisaetus
cirrhatus), Elang-alap Sapi (Falco moluccensis) dan Elangalap Kawah (Falco
peregrinus). Panaruban, rute jalur ke Ciasem, adalah lokasi pemantauan Raptor
Migran oleh para pengamat burung migran dari RAIN (Raptor Indonesia). Peta dan
persebaran spesies burung penting di kawasan CAGTP dan TWAGTP ditunjukkan
pada Gambar 4.164.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.164. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa burung di
kawasan CAGTP dan TWAGTP

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 207

4.5.4.

Herpetofauna

4.5.4.1. Kekayaan Spesies


Berdasarkan survey yang dilaksanakan di Cagar Alam Gunung Tangkuban Prahu
(CATP) dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Prahu (TWATP) dijumpai
sebanyak 20 spesies dari kelompok herpetofauna yang terdiri dari 13 spesies amfibi
dan 7 spesies reptilian. Survey dilaksanakan di 4 jalur akuatik yaitu Jalur Sungai
Ciasem, Curug Mandala, Curug Sabuk dan Mata Air Sari Ater. Sebaran spesies pada
masing-masing jalur ditunjukkan pada Tabel 4.108.
Tabel 4.106. Sebaran herpetofauna di kawasan CATP dan TWATP
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14
15
16
17
18

Spesies

AMFIBI
Bufonidae
Phrynoidis aspera
Dicroglossidae
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Megophrydae
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhyllidae
Microhylla achatina
Ranidae
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Rhacophoridae
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer
REPTILIA
Agamidae
Draco volans
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes
tympanistigra
Colubridae
Ahaetulla prasina
Gekkonidae
Cyrtodactylus marmoratus

CSM

MDL

SBK

STR

LC

END

v
v
v

v
v
v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 208

No
19
20

Spesies
Scincidae
Eutropis multifasciata
Viperidae
Trimeresurus puniceus

CSM

MDL

SBK

STR

LC

END

v
v

Keterangan : CSM : Sungai Ciasem, MDL : Sungai Mandala, SBK : Curug Sabuk, STR : Mata Air Sari Ater, LJ : Luar Jalur,
END : Endemisitas

Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai di jalur Curug Sabuk, dimana pada jalur
tersebut dijumpai sebanyak 8 spesies (Gambar 4.165). Dari seluruh spesies yang
dijumpai, spesies yang paling umum dijumpai pada masing-masing jalur akuatik
adalah Kongkang racun (Odorrana hosii) dan Kongkang jeram (Huia masonii).
Spesies tersebut merupakan spesies yang umum dijumpai pada aliran sungai berarus
deras yang berbatu.
Sedangkan jumlah spesies yang paling sedikit terdapat pada jalur Mata Air Ciater.
Jalur ini merupakan sumber mata air yang telah mengering. Selain itu, kondisi
habitat pada jalur ini berupa semak belukar dan sangat terganggu oleh aktivitas
manusia.
Kondisi habitat pada masing-masing jalur berupa hutan sekunder (Sungai Ciasem,
Curug Mandala dan Curug Sabuk) dan semak belukar (Mata Air Sari Ater). Secara
umum, kondisi habitat pada masing-masing jalur telah terganggu oleh aktivitas
manusia. Berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, hamper seluruh sungai yang
ada di CATP dan TWATP tersapu oleh banjir bandang yang terjadi dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.165. Perbandingan


pengamatan

jumlah

spesies

pada

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

masing-masing

lokasi

4 | 209

Seluruh spesies yang dijumpai terdiri dari 11 family yang terbagi dari 2 kelas (amfibi
dan reptilian). Kelas amfibi terdiri dari 6 family yaitu Bufonidae, Dicroglossidae,
Megophrydae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Family Dicroglossidae,
Ranidae dan Rhacophoridae merupakan family dengan anggota spesies yang
terbanyak, yaitu 3 spesies.
Sedangkan pada kelas reptilian terdiri dari 5 family, yaitu Agamidae, Colubridae,
Gekkonidae, Scincidae dan Viperidae. Family yang memiliki jumlah spesies paling
banyak adalah Agamidae dengan 3 spesies (Gambar 4.166).

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Gambar 4.166. Kekayaan family pada kelompok herpetofauna


Spesies endemic yang dijumpai di CAGT adalah Kongkang jeram (Huia masonii),
Katak-pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) dan Percil jawa (Mycrohyla
achatina).

4.5.4.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Berdasarkan hasil analisis keragaman hayati dengan menggunakan indeks ShannonWiener dapat diketahui bahwa nilai keragaman masing-masing jalur pengamatan
berkisar antara 1.22 hingga 1.84 dan tergolong ke dalam nilai keragaman hayati
tingkat sedang (Tabel 4.109).

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 210

Tabel 4.107. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing lokasi
No
1
2
3
4

Jalur
Sungai Ciasem
Curug Mandala
Curug Sabuk
Sari Ater

H
1.55
1.84
1.81
1.22

E
0.87
0.95
0.87
0.88

Keterangan : H : Nilai Keragaman Hayati, E : Kemerataan Spesies

Jalur Curug Mandala merupakan jalur dengan nilai keragaman yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan jalur lain, yaitu H = 1.84. Pada jalur Curug Mandala
dijumpai sebanyak 7 spesies dengan nilai kemerataan spesiesnya (E) adalah 0.95.
Jalur Mata Air Sari Ater merupakan jalur dengan nilai keragaman hayati dan
kemerataan spesies yang paling rendah, yaitu H = 1.22 dan E = 0.88. Suatu jalur
dapat dikatakan memiliki sebaran individu masing-masing spesies yang merata
apabila jalur tersebut memiliki nilai E semakin mendekati 1.

Gambar 4.167. Perbandingan nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

4.5.4.3. Status Konservasi


Tabel 4.110 menunjukkan status konservasi untuk masing-masing spesies yang
dijumpai di CAGT. Berdasarkan IUCN, terdapat 1 spesies dengan status Vulnerable
yaitu Huia masoni. 19 spesies yang dijumpai termasuk ke dalam kategori Least
Concern. Tidak satupun dari kelompok Herpetofauna yang termasuk dalam kategori
CITES dan dilindungi berdasarkan UU No 7 tahun 1999.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 211

Tabel 4.108. Status konservasi masing-masing spesies


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Spesies
Phrynoidis aspera
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhylla achatina
Huia masonii
Hylarana chalconota
Odorrana hosii
Philautus aurifasciatus
Polypedates leucomystax
Rhacophorus margaritifer
Draco volans
Gonocephalus kuhlii
Pseudocalotes tympanistigra
Ahaetulla prasina
Cyrtodactylus marmoratus
Eutropis multifasciata
Trimeresurus puniceus

IUCN
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
Vul
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC

CITES
-

PP7
-

Gambar 4.168. Status konservasi berdasarkan IUCN


Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Herpetofauna)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 212

4.5.4.4. Deskripsi Spesies Penting


Katak-pohon jawa - Rhacophorus margaritifer

Gambar 4.169. Katakpohon Jawa - Rhacophorus margaritifer


Rhacophorus margaritifer atau Katak-pohon Jawa merupakan katak yang endemik di
Pulau Jawa dan sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak ini berukuran kecil
sampai sedang. Berwarna coklat kemerahan dengan bercak-bercak yang tidak
beraturan. Permukaan dorsum halus sedangkan permukaan perutnya dan bagian
bawah kaki berbintil-bintil. Selaput terdapat di seluruh jari tangan dan jari kaki
(kecuali jari keempat). Terdapat tonjolan pada tumit yang merupakan modifikasi dari
kulitnya (flap) serta lipatan kulit di sepanjang pinggir lengan hingga ke jari kaki
terluar. Ukuran tubuhnya 50-60 mm.
Rhacophorus margaritifer biasa terdapat di hutan primer pada ketinggian 250 1500
mdpl. Spesies ini biasa ditemukan pada ranting-ranting pohon di dekat sumber air.
Kongkang jeram - Huia masonii
Huia masonii atau Kongkang Jeram merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Berukuran sedang, yaitu jantan 30 mm dan betina 50 mm. Tympanum terlihat
dengan jelas. Kaki sangat ramping dan panjang. Jari tangan dan kaki terdapat
piringan yang lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulit
halus dengan sedikit bintil serta lipatan dorsolateral tidak terlihat dengan jelas. Di
sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 213

Gambar 4.170. Kongkang jeram - Huia masonii


Spesies ini merupakan spesies yang sangat umum dijumpai pada aliran sungai
dengan aliran yang deras dan berbatu-batu. Biasanya dijumpai juga bersembunyi di
dalam semak-semak di pinggir sungai. Berdasarkan daftar merah IUCN, Huia
masonii dikategorikan ke dalam status Vulnerable.
Percil jawa - Microhylla achatina

Gambar 4.171. Percil jawa - Microhylla achatina


Microhylla achatina atau Percil Jawa merupakan spesies endemik di Pulau Jawa.
Merupakan katak berukuran kecil dengan kepala dan mulut sempit (narrow mouth
frog). Ukuran tubuhnya 20 mm untuk jantan dan 25 mm untuk dewasa. Tubuh

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 214

berwarna coklat kekuning-kuningan dengan sisi tubuhnya lebih gelap. Memiliki


tanda khas seperti anak panah pada punggungnya. Tidak memiliki selaput renang
pada kakinya. Microhyla achatina biasa dijumpai di hutan primer dan sekunder,
kadang dijumpai di areal-areal yang terganggu.

Sumber: Peta kawasan konservasi BBKSDA, DEM SRTM 90 meter, RBI 1 ; 25.000

Gambar 4.172. Peta sebaran spesies penting dari kelompok taksa herpetofauna di
kawasan CAGB

4.5.5.

Insekta

4.5.5.1. Kekayaan Spesies


Survey yang dilakukan di CAGTP dan TWAGTP dijumpai sebanyak 15 spesies
Lepidoptera. Survey dilakukan di 2 jalur, yaitu Jalur Domas dan Jalur Jayagiri. Jalur
Domas merupakan jalur di dekat kawah ratu dengan ketinggian 1900 2100 mdpl
dengan tutupan vegetasi berupa hutan sekunder dan terganggu oleh adanya aktivitas
wisata di Kawah ratu. Sedangkan jalur Jayagiri berupa hutan tanaman di dekat
perkebunan the pada ketinggian 1000 1200 mdpl.
Tabel 4.109. Sebaran Lepidoptera di CATP dan TWATP
No
1

Spesies
Hesperidae
Notocrypta paralysos

Jalur
Domas

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Jayagiri
v

4 | 215

No
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Spesies
Nymphalidae
Ideopsis sp.
Junonia orithya minogara
Mycalesis sudra sudra
Stibochiona coresia coresia
Symbrenthia hypselis redosilla
Yphtima nigricans
Yphtima pandocus pandocus
Papilionidae
Graphium agamemnon
Papilio paris gedeensis
Papilio polytes javanus
Pieridae
Delias crithoe crithoe
Delias sp.
Eurema blanda
Eurema heCAGBe
Jumlah spesies

Jalur
Domas
v
v
v

Jayagiri
v
v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
7

v
v
v
11

Survey yang dilakukan di Jalur Domas dijumpai sebanyak 7 spesies. Sedangkan di


jalur Jayagiri dijumpai sebanyak 11 spesies. Jumlah spesies di jalur Jayagiri lebih
banyak dibandingkan pada jalur domas. Hal ini dipengaruhi oleh ketinggian tempat
dimana semakin tinggi jumlah spesies yang dijumpai semakin sedikit. Joshi dan Arya
(2007) menyatakan bahwa keragaman kupu-kupu tinggi pada habitat dengan
ketinggian yang rendah.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Insekta)

Gambar 4.173. Kekayaan family dari ordo Lepidoptera di CAGB

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 216

Gambar 4.173 menunjukkan kekayaan spesies berdasarkan family. Jumlah spesies


yang paling banyak adalah pada family Nymphalidae dengan jumlah 7 spesies.
Menurut Smart (1991) dalam Jurnal PHKA (2005), famili Nymphalidae termasuk
famili dengan jumlah besar dan populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di
dunia. Famili tersebut terdiri dari ribuan spesies. Cortbert dan Pendleburry (1956)
menyatakan bahwa famili Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang
luas, menyukai tempat tempat terang, daerah kebun dan hutan, dan beberapa
menyukai tempat berbau busuk.

4.5.5.2. Keragaman dan Kemerataan Spesies


Nilai keragaman hayati pada Jalur Domas lebih kecil daripada Jalur Jayagiri. Nilai
keragaman hayati (H) di Jalur Domas adalah 1.91 sedangkan pada Jalur jayagiri
sebesar 2.30. Perbedaan nilai keragaman hayati ini juga dipengaruihi oleh ketinggi
lokasi. Joshi dan Arya (2007) menyatakan bahwa keragaman kupu-kupu tinggi pada
habitat dengan ketinggian yang rendah. Semakin rendah ketinggian suatu tempat,
maka kelimpahan kupu-kupu akan semakin tinggi (Joshi, 2007).
Nilai kemerataan spesies pada kedua jalur hamper sama, yaitu 0.96 (Jalur Jayagiri)
dan 0.98 (Jalur Domas). Hal ini menunjukkan pada masing-masing jalur tidak
terdapat spesies yang dominan. Suatu jalur dapat dikatakan memiliki sebaran
individu masing-masing spesies yang merata apabila jalur tersebut memiliki nilai E
semakin mendekati 1.
Tabel 4.110. Nilai keragaman hayati dan kemerataan spesies masing-masing jalur
No
Nama Jalur
1 Jalur Domas
2 Jayagiri

4.5.6.

H'
1.91
2.30

E
0.98
0.96

Biota Akuatik

4.5.6.1. Keragaman Hayati


Survey biota akatik di Cagar Alam Tangkuban Prahu (CATP) dan Taman Wisata
Alam Tangkuban Prahu (TWATP) dilakukan di 6 jalur, yaitu Sungai Jayagiri, Sungai
Cimahi, Sungai Maribaya, Sungai Cikole, Sungai Cimuja dan Sungai Ciasem.
Jumlah spesies yang dijumpai di seluruh jalur adalah 33 spesies plankton yang terdiri
dari 24 spesies phytoplankton dan 9 spesies zooplankton. Sebaran spesies yang
dijumpai dapat dilihat pada Tabel 4.113.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 217

Tabel 4.111. Tabel sebaran plankton di kawasan CATP dan TWATP


No

Organisme

Phytoplankton
1 Chamaesiphon sp.
2 Cladophora sp.
3 Closterium sp.
4 Cymbella sp.
5 Fragilaria sp.
6 Gomphonema sp.
7 Lemahea sp.
8 Lyngbyo sp.
9 Melosura sp.
10 Microcrocys sp.
11 Navicula sp.
12 Nitzschia sp.
13 Pediastrum simplex
14 Phormidium sp.
15 Scenedesmus sp.
16 Spirogyra sp.
17 Stanieria sp.
18 Stephanodiscus sp.
19 Surirella sp.
20 Synedra sp.
21 Tabellaria flocoulosa
22 Trachellomonas sp.
23 Ulpthrix sp.
24 Zygogonium sp.
Jumlah
I.D. Simpson
Zooplankton
1 Arcella sp.
2 Centropyxis sp.
3 Centropyxis aculeata
4 Epistylis sp.
5 Keratella sp.
6 Motria sp.
7 Nauplii sp.
8 Rhabdolaimus sp.
9 Vorticella sp.
Jumlah
I.D. Simpson
TOTAL PLANKTON

Jalur

10
10
10
10
50

10
70

10

10

20
270
30

10
10
20
30
20

10
30
10

10
10
80
10
20

150
30

10
10

240

10
10
30

10
10

70
30

350
20

10
10
260
70
10
10

1560
40

20

10

10

70

10
20
30

450
0.62617

10
1780
420
420
430
410
0.2292 0.56916 0.79365 0.64792 0.26651
10
20

10

10
10
10

10

10
10
10

10
0.000

10
0.000

10
40
0.625

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

10

10

40
0.750

30
0.667

10
0.000

4 | 218

No

Organisme

Jumlah Total Plankton


I.D. Simpson

1
460
0.624

2
1790
0.238

Jalur

3
460
0.638

4
460
0.826

5
460
0.691

6
420
0.300

Sunmber: Tabulasi Data Primer 2013, Analisa Laboratorium Lembaga Ekologi UNPad
Keterangan : 1. Sungai Jayagiri, 2. Sungai Cimahi, 3. Sungai Maribaya, 4. Sungai Cikole, 5. Sungai Cimuja, 6. Sungai
Ciasem

Nilai keragaman hayati masing-masing jalur dapat dibandingkan berdasarkan


Gambar 4.174. Nilai keragaman hayati plankton (total) yang paling tinggi adalah
pada Sungai Cikole dengan nilai keragaman sebesar 0.826. Sedangkan nilai
keragaman hayati yang paling rendah adalah Sungai Cimahi dengan nilai 0.238.

Sumber : Analisa Data Primer 2013 (Survey Biodiversitas Biota akuatik)

Gambar 4.174. Perbandingan nilai keragaman hayati masing-masing jalur

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

4 | 219

5. Kesimpulan dan Rekomendasi


5.1.

Kesimpulan

1.

Kekayaan spesies untuk kelompok tumbuhan tingkat tinggi (Magnoliophyta)


terdiri dari 627 spesies yang diklasifikasikan ke dalam 1 divisi, 2 kelas, 54 ordo
dan 102 family. Satu spesies termasuk dalam kategori Vulnerable, 1 spesies
termasuk ke dalam Appendiks I CITES, 67 spesies Appendiks II CITES serta 2
spesies dilindungi berdasarkan PP 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis flora dan
fauna dilindungi.

2.

Kekayaan spesies untuk kelompok taksa mamalia yang dijumpai selama survey
adalah 38 spesies dari 19 famili dan 8 ordo. Sebanyak 13 spesies mamalia
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Dari catatan status keterancaman
menurut IUCN, dijumpai 2 spesies mamalia berstatus kritis (Critically
Endangered - CR), 3 spesies mamalia berstatus genting (Endangered - EN) dan 3
spesies mamalia berstatus rentan (Vulnerable -VU). Spesies mamalia yang
terdaftar dalam CITES terdiri dari 3 spesies mamalia berkategori Appendix I dan
9 spesies mamalia berkategori Appendix II. Sebanyak 6 spesies mamalia
merupakan spesies endemik Jawa dan dua spesies diantaranya termasuk endemik
Jawa Barat. Berdasarkan status perlindungan, spesies mamalia yang memiliki
tingkat keterancaman tertinggi adalah Macan tutul, Kukang jawa, dan Owa jawa.

3.

Berdasarkan pendugaan populasi dan kepadatan rata-rata spesies di lima kawasan


DAS Citarum,yaitu sebagai berikut.
a. Pada kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, kepadatan rata-rata spesies surili
sebesar 0,02 individu/ha dan lutung jawa sebesar 0,015 ind/ha dengan
intensitas pada masing-masing adalah 2,67% sehingga untuk pendugaan
populasi belum dapat dihitung karena persentase intensitas sampling masih
di bawah 5%.
b. Pada kawasan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, kepadatan rata-rata
spesies surili sebesar 0,014 individu/ha, kukang jawa sebesar 0,003 ind/ha
dan lutung jawa sebesar 0,017 ind/ha dengan intensitas pada masing-masing
adalah 2,25% sehingga untuk pendugaan populasi belum dapat dihitung
karena persentase intensitas sampling masih di bawah 5%.
c. Pada kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Kamojang, kepadatan ratarata spesies surili sebesar 0,125 individu/ha dan lutung jawa sebesar 0,055
ind/ha dengan intensitas pada masing-masing adalah 2,41% sehingga untuk
pendugaan populasi belum dapat dihitung karena persentase intensitas
sampling masih di bawah 5%.
d. Pada kawasan Cagar Alam Burangrang, kepadatan rata-rata spesies surili
sebesar 0,006 individu/ha dengan pendugaan populasi sebesar 16 individu,

e.

owa jawa sebesar 0,006 ind/ha dengan pendugaan populasi sebesar 16


individu dan lutung jawa sebesar 0,05 ind/ha dengan pendugaan populasi
sebesar 135 individu. Intensitas pada masing-masing adalah 5,92% sehingga
untuk pendugaan populasi masih terbilang cukup akurat karena persentase
intensitas sampling diatas 5%.
Pada kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban
Perahu, kepadatan rata-rata spesies surili sebesar 0,108 individu/ha dengan
pendugaan populasi sebesar 179 individu dan lutung jawa sebesar 0,183
ind/ha dengan pendugaan populasi sebesar 304 individu. Intensitas pada
masing-masing adalah 7,22% sehingga untuk pendugaan populasi masih
terbilang cukup akurat karena persentase intensitas sampling diatas 5%.

4.

Jumlah spesies burung yang dijumpai dalam survey di tujuh kawasan pada
wilayah kerja BBKSDA JABAR adalah 176 spesies yang tercakup ke dalam 47
Family. Dari seluruh jenis yang dijumpai tersebut, 23 spesies diantaranya adalah
spesies Endemik Indonesia dan/atau endemik Pulau Jawa termasuk Elang Jawa.
Tiga puluh delapan spesies dilindungi oleh peraturan pemerintah melalui PP no
7&8 tahun 1999, dan 12 jenis yang dilindungi peraturan international melalui
konvensi international mengenai perdagangan satwa terancam punah (CITES/
Convention Internaitonal on Trade of Endangered Species). Sebelas spesies
masuk dalam daftar merah IUCN (International Union for Conservation of
Nature). Dua diantaranya masuk daftar katagori Genting (Endangered) yaitu
Elang Jawa dan Lutur Jawa.

5.

Dari 7 kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA JABAR apabila diurut


berdasarkan kekayaan spesies burung yang dijumpai di lokasi kajian, keragaman
species burung d CA Gunung Tilu termasuk tinggi (126 spesies dari 38 famili 18
jenis endemic dan 25 jenis yang dilindungi atau 72% dari total jenis), kemudian
TB Masigit-Kareumbi (114 species dari (39 famili, 17 endemik, 27 dilindungi)
dan CA. Gunung Burangrang (115 species dari 35 famili, 18 species endemic, 25
species dilindungi), CA Kamojang (102 species dari 33 famili, 13 endemik dan
15 species dilindungi), CA Gn. Tangkuban Perahu (94 species dari 32 famili, 18
endemik dan 25 jensi dilindungi), TWA Kamojang (74 species dari 29 famili, 11
endemik dan 13 species dilindungi) dan TWA Tangkuban Perahu (34 species
dari 17 famili, 4 endemik dan 9 species dilindungi).

6.

Dari beberapa jalur transek yang dipilih berdasarkanketersedian tipe habitat pada
masing-masing lokasi di tujuh kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA
JABAR, hasil analisa keragaman dan kemerataan spesies burung dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener pada masing-masing jalur transek tersebut
diperoleh nilai tertinggi pada masing-masing lokasi kajian, diantaranya adalah:
a. CA Gunung Tilu pada jalur transek Ciurug (H : 3.009/E : 0.894)
b. CA-TWA kamojang pada jalur transek Pasir Kiara (H: 2.940/E : 0.913)
c. TB Masigit-Kareumbi pada jalur transek Gn Buyung (H : 3.713/E: 1.154)
d. CA Burangrang pada jalur transek Istal (H: 4.527/E: 1.633)
e. CA-TWA Tangkuban Perahu pada jalur transek Sagun (H : 3.456/E :1.102)

7.

Catatan perjumpaan dengan Elang Jawa pada lima lokasi kajian yakni CA
Gunung Tilu, CA Kawah Kamojang, TB Masigit Kareumbi, CA Gunung
Burangrang, CA Gunung Tangkuban Perahu.

8.

Pendugaan Populasi Elang Jawa lebih pada pendugaan populasi spesies secara
kasar dengan melalukan pendekatan ekstrapolasi luas daya jelajah spesies
tersebut pada luas arel kajian dan/atau lokasi wilayah kerja. Setiadi dkk (2000)
menyatakan bahwa rata-rata luas jelajah Elang Jawa di kawasan Jawa Barat
bagian Selatan adalah antara 9,41-7,6 km2/pasang. Hasil analisa tersebut ini
menjadi data dasar dan tolak ukur untuk melakukan pendugaan populasi Elang
Jawa di seluruh lokasi kajian CWMBC di wilayah kerja BBKSDA JABAR.
Lokasi Kajian CWMBC
CA Gunung Tilu,
CA Kawah Kamojang,
TB Masigit Kareumbi,
CA Gunung Burangrang,
CA Gunung Tangkuban Perahu

9.

Jumlah individu
yang tercatat
4
2
3
1
2

Pendugaan populasi
per pasang
7,9-10,5
5,8 (6) -7,1(7)
6.3 -7.9
3-4
3 -4

Catatan perjumpaan spesies Julang Mas hanya dijumpai di dua lokasi yakni TB
Masigit Kareumbi dan CA Gunung Burangrang. Keterbatasan waktu survey dan
juga tingkat pertemuan terhadap spesies ini yang sangat jarang, menyulitkan
untuk memperoleh data dan informasi lapangan untuk dapat dianalisa sehingga
menghasilkan gambaran mengenai pendugaan populasi spesies ini di lokasi
kajian CWMBC di wilayah kerja BBKSDA JABAR.

10. Catatan perjumpaan dengan spesies Ayam hutan hijau hanya dijumpai di TB
Masigit Kareumbi. Berdasarkan informasi catatan anektodal yang diperoleh
selama survey ini berlangsung tingkat perburuan jenis ayam ini cukup tinggi.
Hal ini mungkin berkaitan dengan tingkat perburuan jenis ini sebagai indukan.
Ayam hutan ini diyakini sebagai nenek moyang sebagian ayam peliharaan yang
ada di Nusantara. Dari hasil persilangan antara Ayam Kampung dengan Ayam
Hutan Hijau inilah dihasilkan Ayam Bekisar yang mempunya bulu indah
sekaligus kokok (suara) yang khas.
11. Keterbatasan waktu survey dan juga tingkat pertemuan terhadap spesies ini yang
sangat jarang, menyulitkan untuk memperoleh data dan informasi lapangan
untuk dapat dianalisa sehingga menghasilkan gambaran mengenai pendugaan
populasi spesies ini di lokasi kajian CWMBC di wilayah kerja BBKSDA
JABAR/
12. Kekayaan spesies untuk kelompok taksa herpetofauna yang dijumpai selama
survey adalah 44 spesies, yang meliputi 23 spesies dari kelas amfibi dan 21

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA jawa Barat (12.2013)

5|3

spesies dari kelas reptil. Sebanyak 4 spesies dari amfibi sebagai spesies endemik
Pulau Jawa, yaitu Huia masonii, Microhyla achatina, Rhacophorus margaritifer
dan Nyctixalus margaritifer. Dari catatan status keterancaman menurut IUCN,
dijumpai 3 spesies amfibi yang berstatus rentan (Vulnerable -VU) yaitu Huia
masonii dan Nyctixalus margaritifer dan yang berstatus serta Near Threatened
yaitu Rhacophorus reinwardtii. Selain itu, 2 spesies reptil dikategorikan ke
dalam appendiks II CITES, yaitu Ular Kobra (Naja sputatrix) dan Sanca Batik
(Python reticulatus).
13. Kelompok taksa insekta yang dijumpai selama survey di antaranya 2 spesies dari
ordo Leucoptera (Kupu-kupu dan Ngengat) yang dikategorikan ke dalam
Appendiks II CITES dan dilindungi berdasarkan PP 7 tahun 1999 yaitu Troides
Helena dan Troides amphrysus.
14. Kelompok taksa biota akuataik dijumpai spesies endemik Pulau Jawa, yaitu
Ketam Ungu (Geocessarma sp.).

5.1.

Rekomendasi

1.

Perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap potensi keanekaragaman hayati


kawasan DAS Citarum sebagai dasar dalam pengelolaan kawasan jangka
panjang.

2.

Perlunya pengkajian atau penelitian lebih lanjut mengenai populasi mamalia di


kelima kawasan DAS Citarum terutama pada spesies-spesies penting seperti
macan tutul, owa jawa, kukang jawa, surili, dan lutung jawa.

3.

Daftar species burung yang dijumpai di masing-masing lokasi survey di


CWMBC-ICWRMIP di wilayah kerja BBKSDA JABAR menjadi baseline data
(data dasar) untuk kegiatan monitoring keberadaan species burung secara
berkala sehingga dapat menjadi indikator kesehatan masing-masing
kawasan.Elang Jawa yang dijumpai di beberapa lokasi survey di CWMBCICWRMIP di wilayah kerja BBKSDA JABAR perlu dipertahankan
keberadaannya melalui beberapa kegiatan lanjutan, diantaranya:
o Monitoring berkala dan upaya perlindungan spesies dari perburuan dan
perlindungan kawasan dari perambahan hutan yang merupakan habitat
utama spesies kharismatik ini.
o Pemetaan daerah teritori Elang Jawa sehingga dapat diperoleh data
mengenai perkiraan populasi spesies ini pada masing-masing lokasi
perjumpaan dan monitoring perkembangan populasi dimasa datang.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA jawa Barat (12.2013)

5|4

4.

Dilakukan patrol rutin atau pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas
manusia di dalam kawasan, khususnya menyangkut aktivitas perburuan dan
perusakan yang mengakibatkan penurunan mutu kawasan.

5.

Menguatkan strategi pengelolaan kawasan, misalnya dengan melibatkan


berbagai pihak (Perhutani dan mitranya), terutama yang bersinggungan langsung
dengan kawasan.

6.

Meningkatkan rasa kepedulian dan kepemilikian pada masyarakat terhadap


kawasan hutan kawasan DAS Citarum.

7.

Ekowisata yang memberdayakan potensi-potensi masyarakat sekitar


memungkinkan terjadinya perubahan paradigma dalam upaya pemanfaatan
sumberdaya alam.

8.

Perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi kepada masyarakat,pemerintah daerah


dan organisasi non pemerintah mengenai pentingnya menjaga daerah aliran
sungai untuk menjaga kelestarian daerah aliran sungai dan sempadannya.

9.

Perlu dilakukan study potensi habitat untuk Kodok merah (Leptophryne


cruentata) di seluruh areal konservasi untuk keperluan reintroduksi.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA jawa Barat (12.2013)

5|5

Daftar Pustaka
[IUCN]. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. IUCN Species
Survival Commission. IUCN Council Gland, Switzerland and
Cambridge,UK: IUCN The World Conservation Union.
[Lembaga Biologi Nasional LIPI]. 1982. Beberapa Jenis Mamalia. Bogor: LIPI.
[PHKA]. 2010. Sejarah Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta. Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian
Kehutanan.
[Sekretariat Kabinet RI]. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta:
Sekretariat Kabinet RI.
Amadon, D. 1953. Remarks on the Asiatic hawk-eagles of the Genus Spizaetus. Ibis
95: 492500.
Angiosperm Phylogeny Group (2003). "An update of the Angiosperm Phylogeny
Group classification for the orders and families of flowering plants: APG
II". Botanical Journal of the Linnean Society 141 (4): 399
436. doi:10.1046/j.1095-8339.2003.t01-1-00158.x.
Apiales. Angiosperm Phylogeny Website. Retrieved 2009-02-05. Sub-famili
Mackinlayoidea
Ario A, Supriatna J, Andayani N (Eds). 2011. Owa (Hylobates molloch Audebert
1798) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta: Conservation
International.
Ario A. 2010. Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta:
Conservation International Indonesia.
Backer, C. A. (Cornelis Andries) and R. C. Bakhuizen van den Brink Jr. 19631968. Flora of Java. Addenda et corrigenda; general index to volumes 1-3. 3
v. : ill. (l col.), maps; 26 cm. v. 1. Gymnospermae, families 1-7;
Angiospermae families 8-110; v. 2. Angiospermae, families 111-160; v. 3.
Angiospermae, families 191-238. P. Noordhoff. Groningen, the Netherlands.
Pp. 661-761.
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1963-1968. Flora of Java.
Addenda er Corrigenda, General Index to Volume 1-3. 3V: III (Col), maps;
26 cm. V.1. Gymnospermae, families 1-7; Angiospermae, families 8-10;
V.2. Amgiospermae, families III-190; V.3. Angiospermae, families 191-238
p. Noordhoff. Gronigen, The Netherlands.
Backer, C.A. (C. G. G. van Steenis, Prof, Dr. ed.). 1973. Atlas of 220 Weeds of
Sugarcane Fields in Java. Handbook for the Cultivation of Sugar-cane and
Manufacturing of Cane-sugar in Java Volume 7, Atlas (final instalment).
Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G). Pasuruan-Jawa
Timur, Indonesia.
Balen, S, van. 1999. Birds on fragmented islands, persistence in the forests of Java
and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30 (1999); ISSN 09269495, also published as thesis (1999), Wageningen University ISBN 90-5808150-8.
Bibby, Colin, M. Jones, dan S. Marsden., 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan

Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna (12.2013)

D|1

Survei Burung. Birdlife InternationalIndonesia Programme. Bogor.


Brower, J. E. & J. H. Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
W. C. Brown Co. Publishers, Dubuque. Iowa. 320p.
Chase, M. W. 2009. An update of the Angiosperm Phylogeny Group classication
for the orders and families of owering plants: APG III. The Linnean
Society of London, Botanical Journal of the Linnean Society, 161: 105121.
CITES. 2009. Appendices I, II and III valid from 22 May 2009. UNEP, Geneva,
Switzerland. Downloaded on 19 May 2012.
Clergeau, P., S. Croci, J. Jokimki, M.L.K. Jokimki & M. Dinetti. 2006.
Avianfauna homogenization by urbanisation: Analysis at different European
latitudes. Biological Conservation 127: 336-344
Collar, N. J., M. J. Crosby, and A. J. Stattersfield. 1994. Birds to watch 2: the world
list of threatened birds. BirdLife conservation series 4. BirdLife
International, Cambridge, United Kingdom.
Conifer Specialist Group (2000). Pinus merkusii. 2006. IUCN Red List of
Threatened Species. IUCN 2006. www.iucnredlist.org. Retrieved on 9 May
2006. Listed as Vulnerable (VU B1+2cde v2.3).
Cronquist, A. 1988. The Evolution and Classification of Flowering Plants. Country:
Publisher.
Das I. 1997. Conservation problem of tropical Asias most threatened turtle. In: Van
Abbema J (ed.). Proceedings: Conservation, restoration, and management of
tortoises and turtles. New York Turtle and Tortoise Society and WCS Turtle
Recovery Program, New York.
Das, I. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia: Myanmar, Thailand,
Laos, Cambodia, Vietnam, Peninsular Malaysia, Singapore, Sumatra,
Borneo, Java, Bali. New Hollad Publishers. London.
David, P. and Gernot, V. 2007. The snakes of Sumatra. An annotated checklist and
key with natural history notes. Edition Chimaira Frankfrurt am Main.
Ditjen PHKA. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. DephutUNESCO-CIFOR. pp.8 (166p)
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Febriyanti NS. 2008. Studi Karakteristik Cover Lutung Jawa (Trachypithecus
auratus Geoffroy 1812) di Blok Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Frost DR, Grant T, Faivovich J, Bain RH, Haas A, Haddad CFB, de S RO,
Channing A, Wilkinson M, Donnellan SC, Raxworthy CJ,Campbell LA,
Blotto BL, Moler P, Drewes RC, Nussbaum RA, Lynch JD, Green DM,
Wheeler WC (2006) The amphibian tree of life. Bull Am Mus Nat Hist 297:
1-370.
Frost, D. 2013. Amphibian Species of the World 5.0, an Online Reference. The
American Museum of Natural History.
Gillespie G, Howard S, Lockie D, Scroggie M, Boeadi (2005) Herpetofaunal
richness and community structure of offshore islands of Sulawesi, Indonesia.
Biotropica 37: 279-290.
Gunawan H. 2010. Habitat dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus
melas Cuvier 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah

Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna (12.2013)

D|2

[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.


Gunawan H, Putri IASLP, Qiptiyah M. 2005. Keanekaragaman jenis burung di
Wanariset Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(3): 241-250.
Howell K (2002) Amphibians and reptiles: the reptiles. In: Davies G,
Hutchinson, J. 1959). 2nd edition. The families of flowering plants, arranged
according to a new system based on their probable phylogeny. Country:
Publisher.
Hutchinson, J. 1973. 3rd edition. The families of flowering plants, arranged
according to a new system based on their probable phylogeny. Country:
Publisher.
Hutchinson, J. 19261934. Two volumes. The families of flowering plants, arranged
according to a new system based on their probable phylogeny. Country:
Publisher.
Iskandar DT (1998) The amphibians of Java and Bali. Research and Development
Centre for Biology -LIPI -GEF -Biodiversity Collection Project, Bogor.
Iskandar DT, Colijn E (2000) Preliminary checklist of Southeast Asian and New
Guinean herpetofauna. I. Amphibians. Treubia 31 (3): 1- 133.
Iskandar DT, Colijn E (2001) A checklist of Southeast Asian and New Guinean
reptiles Part I: Serpentes. The Gibbon Foundation, Jakarta.
Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia & Papua Nugini, dengan
catatan mengenai jenis-jenis di Asia Tenggara. IUCN, ITB, dan World
Bank. Bandung?
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher, Inc. New
York.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air
Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd.
dan Proyek EMDI KMNKLH Jakarta.
Kusmana, Cecep and Agus Hikmat. 2009. Keanekaragaman Hayati Flora Di
Indonesia. Pelatihan Identifikasi dan Pengelolaan Biodiversity 11-15 Mei
2009, PPLH-LPPM IPB. Bogor-Jawa Barat, Indonesia.
Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods
and Computing. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore: John
Wiley & Sons. 337 p.
Lumme AL. 1994. Pengaruh Penebangan Terhadap Keanekaragaman Satwaliar :
Studi Kasus di Areal HPH PT Rimba Sulteng, Kabupaten Buol Tolitoli,
Propinsi Sulawesi Tengah. [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kuhutanan, IPB. Bogor.
Lawsuit Initiated to Protect Hundreds of Endangered Species From Pesticide
Impacts
Mac Arthur, R.W. & J.W. Mac Arthur. 1961. On bird species diversity. Ecology.
42:594-598.
MacKinnon, J., K. Phillipps, dan B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor.
Mac Kinnon, J., Karen Phillipps dan Bas van Balen. LIPI-Seri Panduan Lapangan
Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang

Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna (12.2013)

D|3

Biologi LIPI. Jakarta.


Maryanto, I., A.S., Achmadi., dan AP., Kartono. 2008. Mammalia Dilindungi
Perundang-Undangan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bogor.
M.J. Miller. 2010. [Review of] The Birds of the Republic of Panama, Part 5.
Gazetteer and Bibliography. Wilson Journal of Ornithology 121: 199-200.
Morisson, M.L. 2002. Wildlife Restoration: technique for habitat analysis and
animal monitoring. Island Press. Washington.
Morrison, J. 2001. Western Java Montane Forest (IM0167. World Wildlife Fund for
Nature. Diakses dari www.worldwidlife .org
Mueller, D.-Dombois, D. & H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. New York: John Wiley & Sons.
Nijman, V. and R. Szer. 1998. Field Identification of the Javan Hawk-eagle
Spizaetus bartelsi. Forktail 14: 1316.
Olson. D. & E. Dinerstein. 2002. The Global 200: Priority Ecoregions for Global
Conservation. Ann. Missouri Bot. Gard. 89: 1999-224.
Orians, G. H. 1969. The Number of Birds Species in Some Tropical Forest. Saunders
College Pub. Japan.
Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, dan S.N. Kartikasari. 2000. Panduan
Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam.
The Sabah Society, Wildlife Conservation Society-Indonesia Programme
dan WWF Malaysia.
Plunkett, G. M. et al. (2004). "Recent advances in understanding Apiales and a
revised classification". South African Journal of Botany 70 (3): 371381.
Risna, R. A. dkk. 2010. Spesies Prioritas untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia.
Bogor: PKT-KRB LIPI.
Rotenberry, J.T., 1980. Habitat Structure, Patchiness, and Avian Communities in
North American Steppe Vegetation; A Multivariate Analysis. Ecology.
61:1228-1250.
Sala, O., E. Chapin, F. S. Armesto, J. J. Berlow, E. Bloomfield, J. Dirzo, R. HuberSanwald, E. Huenneke, L. F. Jackson, R. B. Kinzig, A. Leemans, R. Lodge,
D. M. Mooney, H. A. Oesterheld, M. Poff, N. L. Sykes, M. T. Walker, B. H.
Walker, & D. H. Wall., 2000. Global biodiversity scenarios for the year
2100. Science 287: 17701774.
Sekercioglu, C.H. 2002. Effects of forestry practices on vegetation structure and bird
community of Kibale national Park, Uganda. Biological Conservation
107:229-240.
Setiadi, A.P., Z. Rahman, P.F. Nurwatha & M. Muchtar. 1999. Status Distribution
Ecology and Conservation of Javan Hawk-eagle (Spizaetus bartelsi,
Stresemann, 1924) in Southern West Java. YPAL & HIMBIO UNPAD,
Bandung, Indonesia
Shimwell, D. W. 1971. The Description and Classification of Vegetation. London:
Sidgwick & Jackson. 322 p.
Siahaan AD. 2002. Pendugaan Parameter Demografi Populasi Surili (Presbytis
aygula Linnaeus 1758) di Kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung
Salak. [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas

Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna (12.2013)

D|4

Kuhutanan, IPB. Bogor.


Smith, Alan R.; Kathleen M. Pryer, Eric Schuettpelz, Petra Korall, Harald
Schneider, & Paul G. Wolf (2006). "A classification for extant ferns" (PDF).
Taxon 55 (3): 705731. doi:10.2307/25065646. JSTOR 25065646.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.
Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA).
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Stone, David. 1994. Biodiversity of Indonesia. Archipelago Press. Singapore. pp.
120-124.
Sudiana, I. dan M. Rahmansyah. 2002. Spcies and Functional Diversity of Soil
Microflora at Gunung Halimun National Park. Bogor: BCP-JICA.
Sujatnika, Jepson, P., Soehartono, T.R., Crosby, M.J., dan Mardiastuti, A. 1995.
Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Burung
Endemik. PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme. Bogor.
Sukmantoro, W., M. Irham., W. Novarino., F. Hasudungan., N. Kemp., dan M.
Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Ornihologists Union,
Bogor.
Sumarna, A., D. Alam, A. Basuki, D. Rutanto & H. Mahri. 1999. Laporan
Inventarisasi Flora dan Fauna di CA/TWA Tangkuban Perahu. Bandung.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jaswa Barat I.
Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Tobing ISL. 2008. Teknik Estimasi Ukuran Populasi Suatu Spesies Primata.
Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta. Vis Vitalis 1 (1).
Van Steenis, C.G.G.J. 1972. The Mountain Flora of Java. Diterjemahkan Jenny A.
Kartawinata (2006). Jakarta: LIPI Press.
Whitten, T., R.E. Soeriatmadja, & S.A Afit 1996. The Ecology of Java and Bali, The
Ecology of lndonesia Series Vol. II. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.
Whitten, Tony and Jane Whitten. 1996. Plants. Indonesian Heritage Volume 4.
Singapore: Editions Didier Millet. pp. 30-31.
Wirendro, S., S.G. Nanggara, F.A. Nainggolan, dan I. Apriani. 2011. Potret Keadaan
Hutan Indonesia, Periode 2000-2009. Forest Wacth Indonesia (FWI). Edisi
Pertama. Bogor.
World Conservation Monitoring Centre 1998. Saurauia bracteosa. 2006 IUCN Red
List of Threatened Species. Downloaded on 23 August 2007.

Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna (12.2013)

D|5

Lampiran-lampiran

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|1

Lampiran 1. Sebaran spesies dari kelompok flora di kawasan DAS Citarum

No

Species

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK

Endemik

Div. LYCOPODIOPHYTA
Kelas LYCOPODIOPSIDA
Ordo Lycopodiales
Famili Lycopodiaceae
1

Lycopodium sp.

PTERIDOPHYTA
EQUISETOPSIDA
Equisetales
2

3
4

5
6

Equisetaceae
Equisetum sp.1 *)
MARATTIOPSIDA
Marattiales
Marattiaceae
Angiopteris angustifolia
Angiopteris evecta
PSILOTOPSIDA
Ophioglossales
Ophioglossaceae
Botrychium daucifolium
Botrychium sp.1 (?)
POLYPODIOPSIDA
Cyatheales
Cyatheaceae

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

*)

v
v

L|2

No
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

19
20
21
22

23
24
25
26
27

Species
Cyathea borneensis
Cyathea contaminans
Cyathea hymenoides
Cyathea hymenoides
Cyathea moluccana
Cyathea sp.1 (?)
Cyathea sp.2 (?)
Cyathea sp.2 (?)
Cyathea sp.3 (?)
Cyathea sp.4 (?)
Cyathea sp.5 (?)
Cyathea sp.9 (?)
Gleicheniales
Dipteridaceae
Dipteris conjugata
Gleicheniaceae
Dicranopteris conjugata
Gleichenia microphylla
Matoniaceae
Phanerosorus sarmentosus
Hymenophyllales
Hymenophyllaceae
Hymenophyllum sp.2 (?)
Hymenophyllum sp.1 (?)
Hymenophyllum sp.3 (?)
Trichomanes sp.1 (?)
Trichomanes sp.2 (?)
Polypodiales
Aspleniaceae

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v

v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v

v
v

v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v

L|3

Endemik

No
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54

Species
Asplenium affine
Asplenium affine
Asplenium anisopterum
Asplenium batuense
Asplenium nidus
Asplenium nidus
Asplenium paradoxum
Asplenium phyllitidis
Asplenium sp.1 (?)
Asplenium sp.2 (?)
Asplenium thunbergii
Asplenium thunbergii
Asplenium uniletarale
Blechnaceae
Blechnum vestitum
Calymodon sp.1 (?)
Stenochlaena palustris
Stenochlaena sp.1 (?)
Stenochlaena sp.2 (?)
Davaliaceae
Araiostegia hymenophilloides
Davalia divaricata
Davalia trichomanoides
Humata repens
Humata sp.1 (?)
Humata sp.2 (?)
Humata tyemanii
Nephrolepis biserrata
Nephrolepis davalloides

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v

v
v
v

v
v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|4

Endemik

No
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81

Species
Nephrolepis sp.2 (?)
Nephrolepis tuberosa
Dennstaedtiaceae
Histiopteris incisa
Hypolepis beddomei
Hypolepis beddomei
Hypolepis beddomei
Lindsaea oblanceolata
Lindsaea repens
Tapeinidium pinnatum
Dryopteridaceae
Arachniodes haniffi
Ctenitis vilis
Dryopteris sp.1 (?)
Dryopteris sp.2 (?)
Dryopteris sp.3 (?)
Dryopteris sp.4 (?)
Dryopteris sparsa var. sparsa
Pleochnemia sp.2 (?)
Pleochnemia sp.3 (?)
Pleocnemia sp.1 (?)
Pleocnemia sp.4 (?)
Pleocnemia sp.5 (?)
Pleocnemia sp.6 (?)
Tectaria angulata
Tectaria keckii
Tectaria sp.2 (?)
Tectaria sp.3 (?)
Tectaria sp.4 (?)

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v

v
v
v
v

v
v

v
v
v
v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v

v
v
v
v

v
v
v

L|5

Endemik

No
82
83
84
84
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105

Species
Tectaria sp.5 (?)
Grammitidaceae
Calymmodon curtus
Lomariopsidaceae
Bolbitis heteroclita
Elaphoglossum sp.1 (?)
Teratophyllum aculeatum
Oleandraceae
Oleandra pistillaris
Polypodiaceae
Ctenopteris alata
Ctenopteris alata
Ctenopteris alata
Ctenopteris tenuisecta
Ctenopteris tenuisecta
Goniohlebium sp.1 (?)
Goniophlebium sp.1 (?)
Lepisorus longifolius
Lepisorus sp.1 (?)
Lepisorus sp.1 (?)
Loxogramme subecostata
Microsorum sarawakense
Microsorum sp.1 (?)
Phymatosorus longissima
Phymatosorus sp.1 (?)
Selliguea heterocarpa
Pteridaceae
Adiantum latifollium
Adiantum latifollium

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|6

Endemik

No
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130

Species
Adiantum sp.1 (?)
Adiantum flabellulatum
Pteris longipinnula
Pteris sp.2 (?)
Pteris sp.3 (?)
Pteris sp.4 (?)
Taenitis interupta
Taeppeinidium pinnatum
Selaginellaceae
Selaginella delicatula
Selaginella sp.1 (?)
Sellaguea sp.1 (?)
Thelypteridaceae
Christella dennata
Christella dentata
Christella parasitica
Christella parasitica
Christella sp.1 (?)
Cyclosorus interuptus
Pronephrium asperum
Pronephrium repandum
Pronephrium sp.1 (?)
Sphaerostephanos norrisii
Sphaerostephanos sp.1
Vittariaceae
Antrophyum sp.1 (?)
Vittaria sp.1 (?)
Vittaria sp.2 (?)
Woodsiaceae

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|7

Endemik

No
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142

Species
Athyrium anisopterum
Athyrium sp.1 (?)
Diplazium accedens
Diplazium apidiodes (?)
Diplazium dillatatum
Diplazium malaccense
Diplazium palidum (?)
Diplazium riparium
Diplazium sp.1 (?)
Diplazium sp.2 (?)
Diplazium sp.3 (?)
Diplazium subintegrum

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v
v

Endemik

v
v
v
v
v
v

v
v
v

v
v

PINOPHYTA

PINOPSIDA
Pinales
Pinaceae
Pinus merkusii

1
2
3
4
5
6
7

LILIOPSIDA
Arales
Araceae
Amorpophalus sp. (?)
Arisaema inclusum
Colocasia esculenta
Monstera deliciosa
Monstera sp. (?)
Pinanga coronata
Schismatoglottis rupestris

MAGNOLIOPHYTA

v
v

INA, PHI

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|8

No
8
9

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

25
26
27

28
29

Species
Typhonium trilobatum
Xanthosoma sp.
Arecales
Arecaceae (Palmae)
Areca catechu
Arenga pinnata
Calamus javensis
Calamus ornatus
Calamus palustris
Calamus sp.(?)
Caryota mitis
Caryota mitis
Caryota rumphiana (?)
Cyrtostachys sp. (?)

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK

v
v
v

v
v

Daemonorops melanochaete

Daemonorops sp. "1" (?)


Daemonorops sp. "2"
Pinanga coronata
Plectocomia elongata
Asparagales
Asparagaceae
Dracaena angustifolia
Hypoxidaceae
Curculigo capitulata
Curculigo orchioides
Commelinidales
Commelinaceae
Commelina benghalensis
Commelina diffusa

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L|9

Endemik

No
30
31
32
33
34
35
36
37
38

39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56

Species
Commelina palludosa
Cyanotis ciliata
Cyanotis cristata
Cyanotis cristata
Cyanotis sp. "1" (?)
Forrestia mollissima
Murdania nudiflora
Murdannia sp.1 (?)
Pollia hasskarlii
Cyperales
Cyperaceae
Carex baccans
Carex sp."1" (?)
Carex sp."2" (?)
Cyperus brevifolius
Cyperus compressus
Cyperus cyperoides
Cyperus distans
Cyperus flavidus
Cyperus kyllingia
Cyperus malaccensis
Cyperus melanospermus
Cyperus platystylis (?)
Cyperus pygmaeus
Cyperus rotundus
Fimbristylis bisumbellata
Fimbristylis dicothoma
Fimbristylis miliacea (?)
Gahnia javanica

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v

v
?

?
v

v
v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
v
v
v

?
v

v
?

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 10

Endemik

No
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84

Species
Poaceae
Axonopus compressus
Bambusa vulgaris
Brachiaria mutica
Brachiaria paspaloides
Brachiaria reptans
Brachiaria sp."1"
Brachiaria villosa
Dendrocalamus asper
Digitaria ciliaris
Digitaria longiflora
Digitaria setigera
Digitaria ternata
Digitaria violascens
Dinochloa scandens
Eleusine indica
Eragrotis sp. "1" (?)
Eragrotis tenella
Eragrotis unioloides
Eriochloa punctata
Fimbristylis sp. (?)
Gigantochloa apus
Gigantochloa atter
Gigantochloa pseudoarundinacea

Gigantochloa sp.
Gigantochloa verticillata
Gigantochloa sp.
Imperata cyliindrica
Imperata cylindrica

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK

v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v
?

v
v
v

v
v
v

?
v

v
v

v
v
v
v

?
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 11

Endemik

No
85
86
87
88
89
90
91
92
93

94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104

105

Species
Leersia hexandra
Muehlenbergia huegelii
Muehlenbergia huegelii
Paspalum commersonii
Paspalum conjugatum
Paspalum sp. "1" (?)
Saccharum spontaneum
Schizostachyum sp. (?)
Setaria pallida-fusca
Liliales (Dioscoreales)
Asparagaceae (Agavaceae)
Dracaena fragrans
Dioscoreaceae
Dioscorea hispida
Liliaceae
Disporum cantoniense
Disporum chinense
Pontederiaceae
Monochoria hastata
Monochoria vaginalis
Smilacaceae
Smilax celebica
Smilax leucophylla
Smilax macrocarpa
Smilax sp. (?)
Smilax zeylanica
Orchidales (Asparagales)
Orchidace
Acriopsis javanica

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v
v
v

v
v

?
v

v
v
v
v
v

v
v
v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 12

Endemik

No
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134

Species
Agrostophyllum bicuspidatum
Anoectochyllus reindwartii
Apostasia walichii
Appendicula angustifolia
Appendicula elegans
Appendicula ramosa
Arundina graminiflora
Ascoscentrum miniatum
Bulbophyllum angustifolium
Bulbophyllum binnendijikii
Bulbophyllum cernuum
Bulbophyllum flavescens
Bulbophyllum obtusipetalum
Bulbophyllum ovalifolium
Bulbophyllum semperflorens
Bulbophyllum sp.
Bulbophyllum spp.
Calanthe triplicata
Ceratostylus anceps
Chelonistele sulphurea
Coelgyne miniata
Coelgyne speciosa
Corybas imperatorius
Corymborkis veratrifolia
Cymbidium bicolor
Cymbidium ensifolium
Cymbidium lancifolium
Cymbidium roseum
Cystorchis aphylla

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v
v

v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v

v
v
v
v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v

L | 13

Endemik

No
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163

Species
Dendrobium crumenatum
Dendrobium cymbidioides
Dendrobium kuhlii
Dendrobium lobatum
Dendrobium montanum
Dendrobium sp.
Dendrobium sp. (?)
Dendrobium sp. 1 (?)
Dendrobium stuartii
Dendrochillum auriantiacum
Dendrochillum simile
Dendrochillum sp.
Dendrochillum sp. (?)
Diglyphosa latifolia
Epigeneium cymbioides
Eria discolor
Eria flavescens
Eria javanica
Eria lamongensis
Eria oblitterata
Eria retusa
Eria sp.
ErythroIdes humilis
Flickengeria angustifolia
Flickingeria sp.
Goodyera rubicunda
Habenaria angustata
Hylophila lanceolata
Liparis crenulata

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v

v
v
v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 14

Endemik

No
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187

188

Species
Liparis javanica
Liparis latifolia
Liparis viridiflora
Macodes javanica
Macodes petola
Malaxis oculata
Nephelaphyllum pulchrum
Nephelaphyllum tenuifolium
Oberonia costreina
Oberonia similis
Paphiodilum javanicum
Phaius flavus
Phaius tankervillae
Pholidota articulata
Pholidota carnea
Pholidota globosa
Phreatia secunda
Schoenorchis juncifolia
Spathoglottis plicata BI.
Thrixspernum amplexicaule
Trichostosia pauciflora
Tropidia angulosa
Tuberolabium rhopalorrachis
Vanda tricolor var. suavis
Pandanales
Pandanaceae
Pandanus furcatus
Plantaginales
Plantaginaceae

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v
v
v

v
v

v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v

v
v

v
v

L | 15

Endemik

No
189

190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213

Species
Plantago major
Zingiberales
Marantaceae
Donax canaeformis
Donax sp. "1" (?)
Donax sp. (?)
Musaceae
Musa acuminata
Musa balbisiana ($) (?)
Musa paradisiaca
Musa sanguinea
Musa uranoscopos (?)
Zingiberaceae
Alpinia galanga
Amomum coccineum
Etlingera hemisphaerica
Amomum pseudo-foetens (!)
Catimbium malaccensis
Costus speciosus
Curcuma domestica
Curcuma xanthorrhiza
Etlingera elatoir
Hedychium coronarium
Hedychium roxburghii
Hornstedtia pinanga
Nicolaia solaris
Zingeber odoriferum
Zingiber acuminatum
Zingiber aromaticum

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

?
v

?
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
?

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 16

Endemik

No

Species

214

Zingiber sp. "1" (?)


MAGNOLIOPSIDA
Araliales
Apiaceae
Centela asiatica
Hydrocotyle javanica
Hydrocotyle sibthorpioides
Araliaceae
Brassaiopsis glomerulata
Macropanax dispermum
Pentapanax elegans
Schefflera sp.
Schefflera aromatica
Schefflera aromatica
Schefflera sp.
Schefflera parasitica
Schefflera scandens
Schefflera sp. "1"
Schefflera subavensis
Trevesia sundaica
Asterales
Asteraceae
Ageratum conyzoides
Bidens biternata
Bidens pilosa
Bidens pilosa var. minor
Blumea balsamifera
Blumea lacera
Crassocephallum crepidioides

215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229

230
231
232
233
234
235
236

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v
v
?
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v
v

v
v
v
?
v

v
v

v
v
?
v

v
v

v
v
v
v
?

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

?
v

L | 17

Endemik

No
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257

258

259

Species
Dichrocephala bicolor
Dichrocephala integrifolia
Elephantopus scaber
Emilia sonchifolia
Erigeron sumatrensis
Eupatorium inulifolium
Eupatorium odoratum
Eupatorium riparia
Eupatorium triplinerve
Galinsoga parviflora
Gynura aurantiaca
Mikania cordata
Pluchea indica
Pseudoelepanthopus scaber
(?)
Sonchus arvensis
Spilanthes grandiflora ($)
Spilanthes paniculata
Tithonia diversifolia
Vernonia arborea
Vernonia cinerea
Youngia japonica
Campanulales
Campanulaceae
Lobelia angulata
Capparales
Brassicaceae
Rorippa indica
Capparaceae

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
?
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
?
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 18

Endemik

No
260

261
262
263
264
265
266
267

268

269
270
271

272

273
274
275
276

Species
Crateva religiosa (?)
Caryophyllales
Amaranthaceae
Achyranthes bidentata
Amaranthus spinosus
Deeringia amaranthoides
iresine herbstii
Caryophyllaceae
Drymaria cordata
Drymaria villosa
Nyctaginaceae
Boerhavia erecta
Celastrales
Icacinaceae
Platea excelsa
Cornales
Alangiaceae
Alangium chinense
Mastixia trichotoma
Nyssa javanica
Daphniphyllales
Daphniphyllaceae
Daphniphyllum glaucescens
Dipsacales
Caprifoliaceae
Lonicera acuminata
Sambucus javanica
Sambucus javanica (?)
Viburnum coriaceum

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
?

v
v

v
?

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 19

Endemik

No

277
278

279
280
281
282

283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299

Species
Ebenales
Sapotaceae
Manilkara kauki (?)
Symplocos fasciculata
Ericales
Ericaceae
Gaultheria leucocarpa
Gaultheria nummularioides
Rhododendron javanicum
Vaccinium korthalsii
Euphorbiales
Euphorbiaceae
Antidesma tetrandrum
Bischopia javanica
Breynia cernua
Breynia macrophylla
Claoxylum indicum
Eugenia lireata
Euginia sp. "2" (?)
Euphorbia hirta
Glochidion molle
Glochidion rubrum
Glochidion rubrum
Homalanthus giganteus
Homalanthus populneus
Hyptis brevipes
Macaranga denticulata
Macaranga rhizinoides
Macaranga tanarius

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v

?
v
v
?
?
v
?

v
?
v
v
v
?
?
?

v
v
v

v
v

?
?

?
?

?
?

?
?

v
?
?
v
?
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v
v
v

L | 20

Endemik

No
300
301
302
303
304
305

306
307
308
309
310
311
312
313
314
315
316
317
318

319
320
321

Species
Macaranga triloba
Mallotus paniculatus
Mallotus philippinensis
Sauropus androgynus
Sauropus macranthus
Sauropus rhamnoides
Fabales
Caesalpiniaceae
Blumeodendron tokbrai
Fabaceae
Calliandra calothyrsus
Calliandra haematocephala*
Calliandra portoricensis
Desmodium heterophyllum
Desmodium repandum
Desmodium sequax
Desmodium triquitrum
Dumasia villosa
Engelhardia serata
Pithecellobium clipearia
Mimosaceae
Mimosa invisa
Papilionaceae
Erythrina fusca
Fagales
Fagaceae
Castanopsis acuminatissima
Castanopsis argantea
Castanopsis acuminatissima

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v
?

v
v

v
v

v
v
v
v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 21

Endemik

No
322
323
324
325
326
327
328
329
330
331

332
333
334
335

336
337
338
339
340
341

342

Species
Castanopsis javanica
Castanopsis tunggurrut
Lithocarpus conocarpus
Lithocarpus costatus
Lithocarpus javensis
Lithocarpus sp 1
Lithocarpus sp.
Lithocarpus sp 2
Lithocarpus sundaicus
Quercus lineata
Gentianales
Apocynaceae
Alstonia scholaris
Alyxia reindwardtii
Daschidia longifolia
Hoya purpureo-fusca
Geraniales
Balsaminaceae
Impatiens balsamina
Impatiens javensis
Impatiens platypetala
Impatiens radicans (?)
Oxalidaceae
Oxalis barrelieri
Oxalis corniculata
Haloragales
Haloragaceae
Myriophyllum aquaticum
Hamamelidales

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v
?

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 22

Endemik

No
343

344
345
346
347

348
349

350
351
352
353
354
355
356
357
358

359
360
361

Species
Hamamelidaceae
Altingia excelsa
Illiciales
Schisandraceae
Schisandra elongata
Talauma candolii
Talauma candolii
Talauma candolii
Juglandales
Juglandaceae
Engelhardia serata
Engelhardia spicata
Lamiales
Lamiaceae
Basilicum polystachyon
Hyptis capitata
Leonurus sibiricus
Leucas lavandulaefolia
Mesona palustris
Premna tomentosa
Verbenaceae
Lantana camara
Stachytarpetha indica
Stachytarpheta jamaicensis
Laurales
Lauraceae
Actinodaphne angustifolia
Actinodaphne glomerata
Actinodaphne sphaerocarpa

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v

v
?
?

v
v

v
v

v
?
?

v
v

v
?
?

?
?

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
?
?

?
?

?
?

v
v

L | 23

Endemik

No

Species

362
363
364
365
366
367
368
369
370
371
372

Beilschmiedia madang
Cinnamomum iners
Cinnamomum parthenoxylon
Cinnamomum sintoc
Dehaasia caesia
Endiandra rubescens
Lindera bibracteata
Litsea angulata
Litsea cubeba
Litsea diversifolia
Litsea fulva
Litsea glutinosa, Alseodaphne
sp (?)
Litsea noronhae
Litsea resinosa
Litsea sp.
Litsea sp. "1" (?)
Litsea sp. "2" (?)
Litsea tomentosa
Litsea vulva
Persea americana
Persea rimosa
Phoebe grandis
Linales
Erythroxylaceae
Erythroxylum cuneatum
Magnoliales
Annonaceae
Orophea bexandra

373
374
375
376
377
378
379
380
381
382
383

384

385

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?
v

v
?
v

v
?

?
v
v
v
v
v
v

?
v
v

?
v
v
v
v

?
v
v

v
v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 24

Endemik

No
386
387
388
389
390
391
392
393

394
395
396
397
398
399

400
401
402
403
404
405
406
407

Species
Magnoliaceae
Horsfieldia glabra (?)
Knema intermedia
Knema laurina
Magnolia blumei
Magnolia macklottii
Manglietia blumei
Michelia montana
Myrstica fragrans ($)
Malpighiales
Hypericaceae
Cratoxylum formosum
Phyllanthaceae
Baccaurea racemosa
Bischofia javanica
Breynia microphylla
Glochidion molle
Phyllanthus debilis
Malvales
Elaeocarpaceae
Acrondia puncata
Elaeocarpus glaber
Elaeocarpus pierrei
Elaeocarpus submonoceras
Sloanea sigun
Malvaceae
Abutilon sp.
Hibiscus macrophyllus
Neesia altissima

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v

v
v
v
v
?

v
v
?

?
v
?

v
?
v
?

v
?

v
?

v
?

v
?
v

?
v
?
v

?
v

?
v
?
v

?
v

v
?
?
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 25

Endemik

No

Species

408
409
410
411
412

Ochroma lagopus
Sida retusa
Sida rhombifolia
Triumfetta rhomboidea
Triumfetta sp. (?)
Sterculiaceae
Sterculia campanulata
Grewia paniculata
Triumffeta rhomboidea
Myrtales
Crypteroniaceae
Crypteronia paniculata
Melastomataceae
Astronia sp.
Astronia spectabilis
Bertolonia hybrida($)
Clidermia hirta
Diplectria sp.
Dissochaeta leprosa
Dissochaeta reticulata
Kibessia azurea
Medinilla alpestris
Medinilla alpestris / M. laurifolia
(?)
Medinilla speciosa/ M. alpestris
(?)
Melastoma affine
Ochthocharis sp.
Pilea melastomoides
Pternandra azurea

413
414
415

416
417
418
419
420
421
422
423
424
425
426
427
428
429
430
431

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?
v

?
v

?
v

v
?

?
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v
v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v
v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 26

Endemik

No
432
433
434
435
436
437
438
439
440
441
442
443

444
445
446
447
448
449
450
451
452

Species
Pternandra rostrata
Myrtaceae
Cinnamomum burmanni
Eucalyptus alba
Eucalyptus sp.
Euginea cuprea
Syzigium sp.
Syzygium densiflorum
Syzygium guajava ($)
Syzygium lineatum
Syzygium sp. (?)
Onagraceae
Ludwigia octovalvis
Thymelaeaceae
Daphne composita, Sin.
Eriosolena composita (?)
Nepenthales
Nepenthaceae
Nepenthes ampullaria
Nepenthes gracilis
Nepenthes gymnaphora
Podocarpaceae
Dacrycarpus imbricatus
Nageia wallichiana
Podocarpus imbricatus
Podocarpus neriifolius
Podocarpus polystachyus (V)
(!)
Podocarpus sp.
Piperales

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?

v
v
v
?
v

Endemik

v
v
v
?
v
v

?
v

?
v

v
?

?
v
v

?
v
v

v
v

LC
LC

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 27

No
453
454

455
456
457

458
459
460

461
462
463

464
465

466
467
468

Species
Piperaceae
Peperomia pellucida
Piper aduncum
Polygalales
Polygalaceae
Polygala paniculata
Polygala venenosa
Polygonum chinense
Primulales
Myrsinaceae
Agalmyla sp. (?)
Ardisia javanica
Ardisia zollingeri
Proteales
Proteaceae
Helicia attenuata
Helicia javanica Blume
Helicia serrata
Ranunculales
Berberidaceae
Mahonia napaulensis
Meliosma lanceolata
Rhamnales
Leeaceae
Leea indica
Rhamnaceae
Maesobsis eminii
Vitaceae
Leea aequata

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

?
v

?
v

?
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 28

Endemik

No

469
470
471
472
473
474
475
476
477
478

479
480
481
482
483
484
485
486
487
488
489
490
491

Species
Rosales
Crassulaceae
Kalanchoe pinata
Pittosporaceae
Pittosporum ferrugineum
Rosaceae
Rubus alpestris
Rubus chrysophyllus
Rubus ellipticus ($)
Rubus fraxinifolius
Rubus lineatus ($)
Rubus moluccanus
Rubus rosaefoilus
Rubus sp. "1" (?)
Rubiales
Rubiaceae
Adina polycephala
Cichona suciruba
Cinchona calisaya* (?)
Cinchona officinalis*
Cinchona pubescens*
Cinchona sp.
Coffea robusta
Hypobathrum racemosum
Ixora grandiflora ?
Ixora nigricans
Ixora sp. (?)
Lasianthus laevigatus
Lasianthus stercorarius

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
?

v
v

v
v

?
v
v
v
v
v
?
v
v
?
v

v
v

?
v
v

?
v

v
?
v

v
?
v
?
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 29

Endemik

No
492
493
494
495
496
497
498
499
500
501

502

503

504
505
506
507
508
509
510
511
512

Species
Morinda sarmentosa
Mussaenda frondosa
Mycetia cauliflora
Nauclea subdita
Ophiorrhiza longiflora
Psychotria montana
Psychotria sp. (?)
Psycotria sp.
Rubia cordifolia
Tarennoidea wallichii
Salviniales
Salviniaceae
Salvinia natans
Santalales
Loranthaceae
Korthalsella dacrydii (?)
Sapindales
Aceraceae
Acer laurinum
Anacardiaceae
Bouea macrophylla
Spondias sp. (?)
Meliaceae
Actinodaphne glomerata
Aglaia silvestris
Dysoxylum alliaceum
Dysoxylum excelsum (?)
Dysoxylum excelsum
Dysoxylum macrocarpum

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?
v
?
?

?
v
?
?

v
?
v

v
?

?
?
?
v
?

?
v
?
?
v
?

v
v

?
?

?
?

?
?

v
v

?
v

?
v
?

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 30

Endemik

No
513
514
515
516
517
518
519
520
521
522
523

524
525
526
527
528
529
530
531
532

533

Species
Dysoxylum parasiticum (?)
Dysoxylum sp. (?)
Swietenia mahagoni ($)
Toona sinensis
Rutaceae
Acronychia laurifolia
Acronychia sp.
Acronychyia pedunculata
Melicope latifolia
Sapindaceae
Dysoxylum parasiticum
Pometia pinnata
Xerospermum noronbianum
Scrophulariales
Acanthaceae
Rostellaria sundana
Strobilanthes cernua
Strobilanthes paniculata
Thunbergia alata
Bignoniaceae
Spathodea campanulata
Gesneriaceae
Aeschynanthus horsfieldii
Cyrtandra picta
Cyrtandra sp. (?)
Limnophila rugosa
Solanales
Convolvulaceae
Ipomea triloba

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?
?

?
?

?
?
v
v

v
?

v
?
v

?
?

?
?

?
?

?
?

?
v

v
v
v

v
?

v
v

v
v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 31

Endemik

No
534
535
536
537
538
539
540

541
542
543
544
545
546
547

548
549
550
551
552
553
554
555

Species
Merremia tuberosa
Solanaceae
Brugmansia candida
Cestrum nocturnum
Datura metel
Physalis peruviana
Solanum sp. "1" (?)
Solanum torvum
Theales
Actinidiaceae
Saurauia bracteosa
Clusiaceae
Cratoxylum formosum
Garcinia parvifolia
Theaceae
Eurya acuminata
Camelia sinensis
Pyrenaria serrata
Schima wallichii
Urticales
Moracae
Antiaris toxicaria
Atrocarpus elastica
Ficus ampelas
Ficus calophylla (?)
Ficus deltoidea
Ficus diversifolia
Ficus drupacea (?)
Ficus fistulosa

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
?

v
v
v

v
?
v
v

v
v
v

v
?

v
v

v
?
v

?
v

v
v

Endemik

v
?
v

Ina

v
v

v
?

v
?

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 32

No
556
557
558
559
560
561
562
563
564
565
566
567
568
569
570
571
572
573
574
575
576
577
578
579
580
581
582

Species
Ficus grossularioides
Ficus magnoliaefolia
Ficus padana
Ficus punctata
Ficus ribes
Ficus rostrata
Ficus sp. "1" (?)
Ficus sp. "2" (?)
Ficus variegata
Ficus variegata (?)
Morus alba
Neonauclea lanceolata
Ulmaceae
Celtis cinnamomea
Trema cannabina
Trema orientalis
Trema tomentosa
Urticaceae
Achudemia javanica
Boehmeria clidemioides
Boehmeria rugosissima
Debregeasia longifolia
Dendrocnide sinuata
Elatostema accuminatum
Elatostema backeri
Elatostema cuneatum
Elatostema integrifolium
Elatostema lancifolium
Elatostema paludosum

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v
v
v

v
?

v
?

v
?

?
v

v
?
v
v
v
v
v
v
v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

?
v

?
v
v

v
?

v
?

v
v

v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 33

Endemik

No
583
584
585
586
587
588
589
590
591
592
593
594
595
596
597
598
599
600
601
602

603
604
605
606
607
608
609

Species
Elatostema parvum
Elatostema pedunculosum
Elatostema rupestre
Elatostema sp. "1" (?)
Elatostema sp. "2" (?)
Elatostema strigosum
Girardinia palmata
Gonostegia hirta
Laportea interrupta
Laportea stimulans
Leucosyke capitellata
Parietaria debilis
Pilea angulata
Pilea hygrophila
Pilea melastomoides
Pilea peploides
Pilea sp. (?)
Urtica bullata
Urtica sp. "1" (?)
Villebrunea rubescens
Violales
Begoniaceae
Begonia areolata
Begonia bracteata
Begonia isoptera
Begonia longifolia
Begonia multangula
Begonia muricata
Begonia robusta

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v
v
?
v
v
v

v
v
?
v

v
v
v
v
v
v
v
?
v

?
v

v
v
v
v
v
v
v

v
v

v
v
v

v
v
v

v
v

v
v
v

v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 34

Endemik

No
610
611
612
613
614
615
616
617
618
619
620
621
622
623
624
625
626
627

Species
Bixaceae
Bixa orellana
Cucurbitaceae
Bryonopsis laciniosa
Cucurbita sp.
Gynostemma pentaphyllum
Melothria leucocarpa
Melothria maderaspatana
Trichosanthes tricuspidata
Passifloraceae
Passiflora edulis
Passiflora ligularis
Huru katulampa
Kali Kimangkin
Ki Munding
Huru Salam
Haruman
Heas
Huru Buah
Ki Batu
Mangprang

Lokasi
CAGT CAKK CAGB CAGTP TWAKK TWAGTP TBGMK
v
v

v
?
v

v
v
v
v
?

v
v
v
v
v

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 35

Endemik

Lampiran 2. Sebaran Spesies dan Status Perlindungan Mamalia di Kawasan DAS Citarum
No.

1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12
13

Nama Species
ARTIODACTYLA
Bovidae
Bubalus bubalis
Cervidae
Muntiacus muntjak
Suidae
Sus scrofa
Trangilidae
Tragulus javanicus
CARNIVORA
Felidae
Panthera pardus melas*
Prionailurus bengalensis
Herpestidae
Herpestes javanicus
Mustelidae
Martes flavigula
Melogale orientalis
Aonyx cinerea
Prionodon linsang
Viverridae
Paradoxurus hermaphroditus
Arctictis binturong
CHIROPTERA
Pteropodidae

Nama Lokal

Kawasan Konservasi
CAGT CTKK TBMK CAB CTTP

Kerbau

Status Perlindungan
PP7/99 IUCN CITES

TD

LC

Non

Kijang

LC

Non

Babi hutan

TD

LC

Non

Kancil

DD

Non

Macan tutul
Kucing hutan

v
v

D
D

CR
LC

I
II

Garangan

TD

LC

III

v
v
v

TD
TD
TD
D

LC
DD
VU
LC

III
Non
II
II

TD
D

LC
VU

III
III

Musang leher kuning


Biul
Sero Ambrang
Linsang
Musang Luwak
Binturong

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
v

v
v

v
v

L | 43

v
v

v
v

v
v

No.
14
15
16
17
18

19
20

21

22
23
24
25
26

27
28

Nama Species
Macroglossus minimus
Rousettus sp (1)
Rousettus sp (2)
Cynopterus sp.
Vespertilionidae
Myotis sp
INSECTIVORA
Soricidae
Crocidura monticola
Hylomis suillus
PHOLIDHOTA
Manidae
Manis javanica
PRIMATA
Cercopithicidae
Macaca fascicularis
Presbytis comate*
Trachypithecus auratus mauritus*
Hylobatidae
Hylobates moloch*
Lorisidae
Nycticebus javanicus*
RODENTIA
Hystricidae
Hystrix javanica
Muridae
Maxomys bartelsii*

Nama Lokal
Kelelawar
Codot
Codot
Kelelawar buah

Kawasan Konservasi

Status Perlindungan
CAGT CTKK TBMK CAB CTTP PP7/99 IUCN CITES
v
TD
LC
Non
v
v
v
TD
#
Non
v
v
TD
#
Non
v
TD
#
Non

Kelelawar

Cecurut
Cecurut babi

Trenggiling

Monyet ekor panjang


Surili
Lutung Jawa

v
v
v

Owa Jawa

Tikus Duri

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Non

v
v

TD
TD

LC
LC

Non
Non

EN

II

v
v
v

v
v
v

v
v

TD
D
D

LC
EN
VU

II
II
II

EN

CR

LC

Non

TD

LC

Non

v
v

Kukang Jawa

Landak Jawa

TD

L | 44

No.

Nama Species

29 Mus sp.
30 Niviventer sp.
31 Rattus norvegicus
Sciuridae
32 Callosciurus notatus
33 Callosciurus sp.
34 Lariscus sp.
35 Petaurista elegans
36 Ratufa bicolor
SCANDENTIA
Tupaiidae
37 Tupaia javanica
38 Tupaia sp.

Nama Lokal
Tikus
Tikus Pohon
Tikus riul
Bajing
Bajing
Bajing Tanah
Bajing Terbang
Jelarang

celemes
Tupai

Kawasan Konservasi

Status Perlindungan
CAGT CTKK TBMK CAB CTTP PP7/99 IUCN CITES
v
v
v
TD
#
Non
v
TD
LC
Non
v
v
v
TD
LC
Non
v

v
v

v
v

v
v

TD
TD
#
TD
D

LC
#
#
LC
NT

Non
Non
Non
Non
II

TD
#

LC
#

II
Non

Keterangan: CAGT : Cagar Alam Gunung Tilu, CTKK : Cagar Alam & Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, TBMK : Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, CAB : Cagar Alam Burangrang, CTTP : Cagar
Alam & Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu, v : ditemukan., D = dilindungi PP RI No. 7/1999, TD = Tidak dilindungi PP RI No. 7/1999, CR= Critically Endangered, EN = Endangered, VU = Vulnerable,
NT = Near Threatened, LC = Least Concern, DD = Data Deficient, I = CITES Appendix 1, II = CITES Appendix 2, III = CITES Appendix 3, Non = tidak terdaftar di CITES, * = endemik Jawa, # = tidak tahu.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 45

Lampiran 3. Pendugaan Populasi dan Kepadatan Rata-Rata Spesies di Lima Kawasan DAS Citarum.

Kawasan
CAGT
TBMK

CTKK
CAB

Spesies
Presbytis comata

Intensitas Sampling (%)

Pendugaan Populasi
(ind)

0.02

2.67

Trachypitecus auratus mauritius

0.015

2.67

Presbytis comata

0.014

2.25

Nycticebus javanus

0.003

2.25

Trachypitecus auratus mauritius

0.017

2.25

Presbytis comata

0.125

2.41

Trachypitecus auratus mauritius

0.055

2.41

Presbytis comata

0.006

5.71

17.5

0.05

5.71

140

Hylobates moloch

0.006

5.71

17.5

Presbytis comata

0.108

7.22

179

Trachypitecus auratus mauritius

0.183

7.22

304

Trachypitecus auratus mauritius


CTTP

Kepadatan RataRata (ind/ha)

Keterangan: CAGT : Cagar Alam Gunung Tilu, CTKK : Cagar Alam & Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, TBMK : Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, CAB : Cagar Alam Burangrang, CTTP : Cagar
Alam & Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu.

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 46

Lampiran 4. Daftar Spesies Burung yang DIjumpai di masing-masing Kawasan Konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
No.

Family

Nama Ilmiah

Nama Indonesia

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Ardeidae
Accipitridae
Accipitridae
Accipitridae
Accipitridae
Accipitridae
Accipitridae
Falconidae
Falconidae
Phasianidae
Phasianidae
Phasianidae
Phasianidae
Phasianidae
Turnicidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Psittacidae

Ixobrychus cinnamomeus
Pernis ptilorhynchus
Spilornis cheela
Accipiter trivirgatus
Ictinaetus malayensis
Spizaetus cirrhatus
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Falco peregrinus
Arborophila orientalis
Arborophila javanica
Gallus gallus
Gallus varius
Coturnix chinensis
Turnix suscitator
Treron sphenura
Treron griseicauda
Ptilinopus porphyreus
Ducula badia
Macropygia unchall
Macropygia emiliana
Macropygia ruficeps
Streptopelia chinensis
Chalcophaps indica
Loriculus pusillus

Bambangan Merah
Sikepmadu Asia
Elangular Bido
Elangalap Jambul
Elang Hitam
Elang Brontok
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Alapalap Kawah
Puyuh gonggong bissa
Puyuh gonggong Jawa
Ayam hutan Merah
Ayamhutan Hijau
Puyuh Batu
Gemak Loreng
Punai Gagak
Punai Penganten
Walik Kepala-ungu
Pergam Gunung
Uncal Loreng
Uncal Buau
Uncal Kouran
Tekukur Biasa
Delimukan Zamrud
Serindit Jawa

26
27

Cuculidae
Cuculidae

Cuculus sparverioides
Cuculus lepidus

Kangkok Besar
Kangkok Sunda

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Nama Inggris
Cinnamon Bittern
Crested Honey Buzzard
Crested Serpent Eagle
Crested Goshawk
Black Eagle
Crested Hawk-Eagle
Javan Hawk-Eagle
Spotted Kestrel
Peregrine Falcon
Grey-breasted Partridge
Chestnut-bellied Partridge
Red Junglefowl
Green Junglefowl
King Quail
Barred Buttonquail
Wedge-tailed Green Pigeon
Grey-cheeked Green Pigeon
Pink-headed Fruit Dove
Mountain Imperial Pigeon
Barred Cuckoo Dove
Ruddy Cuckoo Dove
Little Cuckoo Dove
Spotted Dove
Common Emerald Dove
Yellow-throated Hanging
Parrot
Large Hawk-Cuckoo
Sunda Cuckoo

L | 47

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+
+

+
+

+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+
+
+
+
+

IUCN

+
+
+
EN
+

CITES

UURI

II
II
II
II
II
II
II
I

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

+
+

+
+

+
+
+

+
+
NT

II

No.

Family

28
29
30
31
32
33

Cuculidae
Cuculidae
Cuculidae
Cuculidae
Cuculidae
Cuculidae

34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56

Cuculidae
Cuculidae
Strigidae
Strigidae
Podargidae
Caprimulgidae
Apodidae
Apodidae
Apodidae
Apodidae
Apodidae
Apodidae
Apodidae
Hemiprocnidae
Trogonidae
Trogonidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Bucerotidae
Capitonidae
Capitonidae

Nama Ilmiah
Cacomantis sonneratii
Cacomantis merulinus
Cacomantis sepulcralis
Surniculus lugubris
Zanclostomus javanicus
Rhamphococcyx
curvirostris
Centropus sinensis
Centropus bengalensis
Otus lempiji
Ketupa ketupu
Batrachostomus javensis
Caprimulgus affinis
Hydrochous gigas
Collocalia fuciphagus
Collocalia maximus
Collocalia vulcanorum
Collocalia linchi
Apus nipalensis
Cypsiurus balasiensis
Hemiprocne longipennis
Apalharpactes reinwardtii
Harpactes oreskios
Alcedo meninting
Ceyx erithaca
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris
Rhyticeros undulatus
Megalaima corvina
Megalaima armillaris

Nama Indonesia

Nama Inggris

Wiwik Lurik
Wiwik Kelabu
Wiwik Uncuing
Kedasi Hitam
Kadalan Kembang
Kadalan Birah

Banded Bay Cuckoo


Plaintive Cuckoo
Rusty-breasted Cuckoo
Asian Drongo-Cuckoo
Red-billed Malkoha
Chestnut-breasted Malkoha

Bubut Besar
Bubut Alang-alang
Celepuk Reban
Beluk Ketupa
Paruhkodok Jawa
Cabak Kota
Walet Raksasa
Walet Sarang-putih
Walet Sarang-hitam
Walet Gunung
Walet Linci
Kapinis Rumah
Waletpalem Asia
Tepekong Jambul
Luntur Jawa
Luntur Harimau
Rajaudang Meninting
Udang Api
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa
Julang Emas
Takur Bututut
Takur Tohtor

Greater Coucal
Lesser Coucal
Collared Scops Owl
Buffy Fish-Owl
Javan Frogmouth
Savanna Nightjar
Giant Swiftlet
Edible-nest Swiftlet
Black-nest Swiftlet
Volcano Swiftlet
Cave Swiftlet
House Swift
Asian Palm Swift
Grey-rumped Treeswift
Blue-tailed Trogon
Orange-breasted Trogon
Blue-eared Kingfisher
Oriental Dwarf Kingfisher
Collared Kingfisher
Javan Kingfisher
Wreathed Hornbill
Brown-throated Barbet
Flame-fronted Barbet

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 48

+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+
+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

IUCN

CITES

UURI

II
II

+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+

NT

NT

EN

II

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

No.

Family

57
58

Capitonidae
Capitonidae

59
60
61
62

Picidae
Picidae
Picidae
Picidae

63
64
65
66
67
68
69

Picidae
Eurylaimidae
Pittidae
Hirundinidae
Hirundinidae
Campephagidae
Campephagidae

70
71
72
73

Campephagidae
Campephagidae
Campephagidae
Chloropseidae

74
75
76
77
78
79
80
81
82
83

Aegithinidae
Pycnonotidae
Pycnonotidae
Pycnonotidae
Pycnonotidae
Pycnonotidae
Dicruridae
Dicruridae
Dicruridae
Dicruridae

Nama Ilmiah
Megalaima australis
Megalaima
haemacephala
Picus puniceus
Picus mentalis
Dendrocopos macei
Dendrocopos
moluccensis
Reinwardtipicus validus
Eurylaimus javanicus
Pitta guajana
Hirundo tahitica
Hirundo striolata
Hemipus hirundinaceus
Coracina larvata
Coracina fimbriata
Pericrocotus miniatus
Pericrocotus flammeus
Chloropsis
cochinchinensis
Aegithina tiphia
Pycnonotus aurigaster
Pycnonotus bimaculatus
Pycnonotus goiavier
Criniger bres
Ixos virescens
Dicrurus macrocercus
Dicrurus leucophaeus
Dicrurus remifer
Dicrurus paradiseus

Nama Indonesia

Nama Inggris

Takur Tenggeret
Takur Ungkut-ungkut

Blue-eared Barbet
Coppersmith Barbet

Pelatuk Sayap-merah
Pelatuk Kumis-kelabu
Caladi Ulam
Caladi Tilik

Crimson-winged Woodpecker
Checker-throated Woodpecker
Fulvous-breasted Woodpecker
Sunda Pygmy Woodpecker

Pelatuk Kundang
Sempurhujan Rimba
Paok Pancawarna
Layanglayang Batu
Layanglayang Loreng
Jingjing Batu
Kepudangsungu
Gunung
Kepudangsungu Kecil
Sepah Gunung
Sepah Hutan
Cicadaun Sayap-biru

Orange-backed Woodpecker
Banded Broadbill
Banded Pitta
Pacific Swallow
Striated Swallow
Black-winged Flycatcher-shrike
Sunda Cuckooshrike
Lesser Cuckooshrike
Sunda Minivet
Scarlet Minivet
Blue-winged Leafbird

+
+
+

Cipoh Kacat
Cucak Kutilang
Cucak Gunung
Merbah Cerukcuk
Empuloh Janggut
Brinji Gunung
Srigunting Hitam
Srigunting Kelabu
Srigunting Bukit
Srigunting Batu

Common Iora
Sooty-headed Bulbul
Orange-spotted Bulbul
Yellow-vented Bulbul
Grey-cheeked Bulbul
Sunda Bulbul
Black Drongo
Ashy Drongo
Lesser Racquet-tailed Drongo
Greater Racquet-tailed Drongo

+
+
+
+
+
+
+
+
+

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 49

+
+
+
+

2
+

3
+

IUCN

CITES

UURI

+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+
+

II

+
+

+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+

+
+
+

+
+
+

NT

No.

Family

Nama Ilmiah

84
85

Oriolidae
Oriolidae

Oriolus xanthonotus
Oriolus chinensis

86
87
88
89
90
91
92

Corvidae
Corvidae
Aegithalidae
Paridae
Sittidae
Sittidae
Timaliidae

93

Nama Indonesia

Nama Inggris

Dark-throated Oriole
Black-naped Oriole

Crypsirina temia
Corvus enca
Psaltria exilis
Parus major
Sitta frontalis
Sitta azurea
Pellorneum capistratum

Kepudang Hutan
Kepudang Kudukhitam
Tangkar Centrong
Gagak Hutan
Cerecet Jawa
Gelatikbatu Kelabu
Munguk Beledu
Munguk Loreng
Pelanduk Topi-hitam

Racket-tailed Treepie
Slender-billed Crow
Pygmy Bushtit
Great Tit
Velvet-fronted Nuthatch
Blue Nuthatch
Black-capped Babbler

+
+
+
+
+

Timaliidae

Pellorneum pyrrogenys

Pelanduk Bukit

Temmincks Babbler

94
95
96
97

Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae

Malacocincla sepiarium
Malacocincla abboti
Malacopteron cinereum
Pomatorhinus montanus

Pelanduk Semak
Pelanduk Asia
Asi Topi-sisik
Cicakopi Melayu

98
99
100
101
102
103
104
105

Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae
Timaliidae

Napothera epilepidota
Pnoepyga pusilla
Stachyris grammiceps
Stachyris thoracica
Stachyris melanothorax
Timalia pileata
Pteruthius flaviscapis
Pteruthius aenobarbus

Berencet Berkening
Berencet Kerdil
Tepus Dada-putih
Tepus Leher-putih
Tepus Pipi-perak
Tepus Gelagah
Ciu Besar
Ciu Kunyit

106
107
108
109
110

Timaliidae
Timaliidae
Turdidae
Turdidae
Turdidae

Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Brachypteryx leucophrys
Brachypteryx montana
Enicurus velatus

Wergan Jawa
Cica Matahari
Cingcoang Coklat
Cingcoang Biru
Meninting Kecil

Horsfields Babbler
Abbotts Babbler
Scaly-crowned Babbler
Chestnut-backed ScimitarBabbler
Eye-browed Wren-Babbler
Pygmy Wren-Babbler
White-breasted Babbler
White-bibbed Babbler
Crescent-chested Babbler
Chestnut-capped Babbler
White-browed Shrike-Babbler
Chestnut-fronted ShrikeBabbler
Javan Fulvetta
Spotted Crocias
Lesser Shortwing
White-browed Shortwing
Lasser Forktail

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 50

IUCN
NT

CITES

UURI

+
+

+
+

+
+
+
+
+
+

+
+

+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+

+
+

NT

AB
AB

+
+
+
+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+

AB

NT

AB
AB

No.

Family

Nama Ilmiah

Nama Indonesia

Nama Inggris
White-crowned Forktail
Javan Cochoa
Sunda Whistling Thrush
Chestnut-capped Thrush
Orange-headed Thrush
Siberian Thrush
Sunda Warbler
Yellow-bellied Warbler
Arctic Warbler
Mountain Leaf Warbler
Striated Grassbird
Common Tailorbird
Mountain Tailorbird
Olive-backed Tailorbird
Ashy Tailorbird
Bar-winged Prinia
Brown Prinia
Javan Tesia
Sunda Bush Warbler
Javan Bush Warbler
Fulvous chested Jungle
Flycatcher
Asian Brown Flycatcher
Indigo Flycatcher
Yellow-rumped Flycatcher
Mugimaki Flycatcher

+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131

Turdidae
Turdidae
Turdidae
Turdidae
Turdidae
Turdidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Sylviidae
Muscicapidae

Enicurus leschenaulti
Cochoa azurea
Myiophoneus glaucinus
Zoothera interpres
Zoothera citrina
Zoothera sibirica
Seicercus grammiceps
Abroscopus superciliaris
Phylloscopus borealis
Phylloscopus trivirgatus
Megalurus palustris
Orthotomus sutorius
Orthotomus cuculatus
Orthotomus sepium
Orthotomus ruficeps
Prinia familiaris
Prinia polychroa
Tesia superciliaris
Cettia vulcania
Bradypterus montis
Rhinomyas olivacea

132
133
134
135

Muscicapidae
Muscicapidae
Muscicapidae
Muscicapidae

Muscicapa dauurica
Eumyias indigo
Ficedula zanthopygia
Ficedula mugimaki

Meninting Besar
Ciungmungkal Jawa
Ciungbatu Kecil-Sunda
Anis Kembang
Anis Merah
Anis Siberia
Cikrak Muda
Cikrak Bambu
Cikrak Kutub
Cikrak Daun
Cicakoreng Jawa
Cinenen Pisang
Cinenen Gunung
Cinenen Jawa
Cinenen Kelabu
Perenjak Jawa
Perenjak Coklat
Tesia Jawa
Ceret Gunung
Ceret Jawa
Sikatan rimba dada
coklat
Sikatan Bubik
Sikatan Ninon
Sikatan Emas
Sikatan Mugimaki

136
137
138

Muscicapidae
Muscicapidae
Muscicapidae

Ficedula hyperythra
Ficedula westermanni
Cyanoptila cyanomelana

Sikatan Bodoh
Sikatan Belang
Sikatan Biru-putih

Snowy-browed Flycatcher
Little Pied Flycatcher
Blue-and-white Flycatcher

+
+
+
+

139

Muscicapidae

Cyornis unicolor

Sikatan Biru-muda

Pale Blue Flycatcher

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 51

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+

VU

+
+

+
+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

IUCN

CITES

UURI

No.

Family

Nama Ilmiah

Nama Indonesia

Nama Inggris
Hill Blue Flycatcher
Grey-headed CanaryFlycatcher
Rufous-tailed Fantail
White-bellied Fantail
Pied Fantail
Black-naped Monarch

140
141

Muscicapidae
Muscicapidae

Cyornis banyumas
Culicicapa ceylonensis

Sikatan Cacing
Sikatan Kepala-abu

142
143
144
145

Rhipiduridae
Rhipiduridae
Rhipiduridae
Monarchidae

Rhipidura phoenicura
Rhipidura euryura
Rhipidura javanica
Hypothymis azurea

Kipasan Ekor-merah
Kipasan Bukit
Kipasan Belang
Kehicap Ranting

146
147
148
149
150
151
152

Motacillidae
Artamidae
Laniidae
Sturnidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Nectariniidae

Motacilla cinerea
Artamus leucorynchus
Lanius schach
Aplonis minor
Anthreptes malacensis
Anthreptes singalensis
Leptocoma sperata

153
154
155

Nectariniidae
Nectariniidae
Nectariniidae

Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia
Aethopyga siparaja

156
157

Nectariniidae
Nectariniidae

Aethopyga mystacalis
Aethopyga temminckii

158
159
160
161

Nectariniidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Dicaeidae

Arachnothera longirostra
Arachnothera robusta
Arachnothera affinis
Prionochilus percussus

Kicuit Batu
Kekep Babi
Bentet Kelabu
Perling Kecil
Burungmadu Kelapa
Burungmadu Belukar
Burungmadu
Pengantin
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung
Burungmadu Sepahraja
Burungmadu Jawa
Burungmadu Ekormerah
Pijantung Kecil
Pijantung Besar
Pijantung Gunung
Pentis Pelangi

162
163
164
165

Dicaeidae
Dicaeidae
Dicaeidae
Dicaeidae

Dicaeum trigonostigma
Dicaeum concolor
Dicaeum sanguinolentum
Dicaeum trochileum

Cabai Bunga-api
Cabai Polos
Cabai Gunung
Cabai Jawa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Grey Wagtail
White-breasted Woodswallow
Long-tailed Shrike
Short-tailed Starling
Brown-throated Sunbird
Ruby-cheeked Sunbird
Purple-throated Sunbird
Olive-backed Sunbird
White-flanked Sunbird
Crimson Sunbird
JavanSunbird
Temmincks Sunbird
Little Spiderhunter
Long-billed Spiderhunter
Streaky-breasted Spiderhunter
Crimson-breasted
Flowerpecker
Orange-bellied Flowerpecker
Plain Flowerpecker
Blood-breasted Flowerpecker
Scarlet-headed Flowerpecker

L | 52

+
+

+
+
+

IUCN

CITES

UURI

AB
AB
AB

+
+
+
+
+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

AB
AB

AB

+
+

+
+

+
+

AB
+

AB

+
+
+
+

B
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+
+

AB
AB

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+

AB
AB
B

No.

Family

Nama Ilmiah

166
167
168
169

Zosteropidae
Zosteropidae
Zosteropidae
Zosteropidae

170
171

Ploceidae
Estrildidae

Zosterops palpebrosus
Zosterops montanus
Zosterops flavus
Lophozosterops
javanicus
Passer montanus
Erythrura hyperythra

172
173
174
175
176

Estrildidae
Estrildidae
Estrildidae
Estrildidae
Fringillidae

Erythrura prasina
Lonchura leucogastroides
Lonchura punctulata
Lonchura maja
Serinus estherae

Nama Indonesia

Nama Inggris

+
+

+
+

+
+

Kacamata Biasa
Kacamata Gunung
Kacamata Jawa
Opior Jawa

Oriental White-eye
Mountain White-eye
Javan White-eye
Grey-throated Ibon

+
+

+
+

Burunggereja Erasia
Bondolhijau Dadamerah
Bondolhijau Binglis
Bondol Jawa
Bondol Peking
Bondol Haji
Kenari Melayu

Eurasian Tree Sparrow


Tawny-breasted Parrot-Finch

Pin-tailed Parrot-Finch
Javan Munia
Scaly-breasted Munia
White-headed Munia
Mountain Serin

+
+
+

IUCN

+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+
+
+

Keterangan Lokasi
1. Cagar Alam Gunung Tilu; 2. Cagar Alam Kawah Kamojang, 3. Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, 4. Taman Buru Masigit-Kareumbi, 5. Cagar Alam Gunung Burangrang,
6. Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu, 7. Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu.
Keterangan Status
1. Status keterancaman dalam IUCN: EN : Endangered (Genting), VU : Vurneable (Rentan), NT : Near Threatened (Mendekati terancam)
2. Status perdagangan dalam CITES (2006):: I : Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international. II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan pembatasan kuota
perdagangan
3. Peraturan Republik Indonesia: A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 53

CITES

UURI

AB

Lampiran 5. Kekayaan spesies burung di kawasan konservasi di wilayah pengelolaan

BBKSDA Jawa Barat

Penjelasan

Jumlah
176
47
23
38
2
1
7
1
11

Jumlah spesies
Jumlah family
Endemik
Dilindungi
Genting-IUCN
Rentan -IUCN
Mendekati terancam- IUCN
Appendix I - CITES
Appendix II - CITES

Lampiran 6. Grafik Kekayaan spesies burung di lokasi kajian CWMBC di Wilayah

kerja BBKSDA JABAR

200

176

180
160

Jumlah jenis
Jumlah family
Endemik
Dilindungi
Genting-IUCN
Rentan -IUCN
Mendekati terancam- IUCN
Appendix I - CITES
Appendix II - CITES

140
120
100
80
60

47

38

40

23

20

11

Lampiran 7. Grafik Kekayaan spesies burung di masing-masing lokasi kajian CWMBC

di wilayah kerja BBKSDA JABAR

140
126

120

115

114
102

100

93

80

73

60

65

1315

24

0
TWA Kamojang

CA Kamojang

CA Gn.Tilu

17

1113

Jumlah jenis

35
27

Jumlah family

710

Endemik

Dilindungi

34

32

25
18

25
18

10

Status IUCN

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

17

34

TWA Gn
Tangkuban
perahu

25
18

29

CA Gn.
Tangkuban
Perahu

39

33

CA Gn.
Burangrang

20

38

TB MasigitKareumbi

40

Status CITES

L | 54

Lampiran 8. Daftar spesies burung endemik yang dijumpai di seluruh lokasi kajian
No.
Nama Ilmiah
1 Nisaetus bartelsi
2 Loriculus pusillus
3 Collocalia vulcanorum
4 Apalharpactes reinwardtii
5 Halcyon cyanoventris
6 Megalaima corvina
7 Megalaima armillaris
8 Pycnonotus bimaculatus
9 Ixos virescens
10 Stachyris grammiceps
11 Stachyris thoracica
12 Stachyris melanothorax
13 Alcippe pyrrhoptera
14 Crocias albonotatus
15 Cochoa azurea
16 Myiophoneus glaucinus
17 Orthotomus sepium
18 Rhipidura phoenicura
19 Rhipidura euryura
20 Aethopyga eximia
21 Aethopyga mystacalis
22 Zosterops flavus
23 Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Elang Jawa
Serindit Jawa
Walet Gunung
Luntur Jawa
Cekakak Jawa
Takur Bututut
Takur Tohtor
Cucak Gunung
Brinji Gunung
Tepus Dada-putih
Tepus Leher-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Ciungmungkal Jawa
Ciungbatu Kecil-Sunda
Cinenen Jawa
Kipasan Ekor-merah
Kipasan Bukit
Burungmadu Gunung
Burungmadu Jawa
Kacamata Jawa
Opior Jawa

Keterangan
Endemik Jawa
Endemik Jawa dan Bali
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa dan Bali
Endemik Sumatera, Jawa, Bali
Sub-jenis endemik jawa
Endemik Jawa
Endemik Sumatera, Jawa, Bali
Endemik Jawa dan Bali
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Sub-jenis endemik jawa
Endemik Jawa dan Bali
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Jawa
Endemik Kalimantan dan Jawa
Endemik Jawa dan Bali

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 55

Lampiran 9. Daftar Spesies Burung dengan status keterancaman IUCN dan perlindungan melalui
CITES dan Undang-undang No 5/1990 atau PP No 7/1999
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39

Nama Ilmiah
Pernis ptilorhynchus
Spilornis cheela
Accipiter trivirgatus
Ictinaetus malayensis
Spizaetus cirrhatus
Spizaetus bartelsi
Falco moluccensis
Falco peregrinus
Loriculus pusillus
Otus lempiji
Ketupa ketupu
Hydrochous gigas
Collocalia vulcanorum
Apalharpactes reinwardtii
Harpactes oreskios
Alcedo meninting
Ceyx erithaca
Halcyon chloris
Halcyon cyanoventris
Rhyticeros undulatus
Megalaima corvina
Megalaima armillaris
Pitta guajana
Ixos virescens
Oriolus xanthonotus
Psaltria exilis
Stachyris grammiceps
Stachyris melanothorax
Alcippe pyrrhoptera
Crocias albonotatus
Cochoa azurea
Rhipidura phoenicura
Rhipidura euryura
Rhipidura javanica
Anthreptes malacensis
Anthreptes singalensis
Leptocoma sperata
Cinnyris jugularis
Aethopyga eximia

Nama Indonesia
Sikepmadu Asia
Elangular Bido
Elangalap Jambul
Elang Hitam
Elang Brontok
Elang Jawa
Alapalap Sapi
Alapalap Kawah
Serindit Jawa
Celepuk Reban
Beluk Ketupa
Walet Raksasa
Walet Gunung
Luntur Jawa
Luntur Harimau
Rajaudang Meninting
Udang Api
Cekakak Sungai
Cekakak Jawa
Julang Emas
Takur Bututut
Takur Tohtor
Paok Pancawarna
Brinji Gunung
Kepudang Hutan
Cerecet Jawa
Tepus Dada-putih
Tepus Pipi-perak
Wergan Jawa
Cica Matahari
Ciungmungkal Jawa
Kipasan Ekor-merah
Kipasan Bukit
Kipasan Belang
Burungmadu Kelapa
Burungmadu Belukar
Burungmadu Pengantin
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Gunung

IUCN CITES
II
II
II
II
II
EN
II
II
I
NT
II
II
II
NT
NT
EN

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

II

II

UU-RI
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

NT
NT
NT

NT
VU

AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB
AB

L | 56

No.
40
41
42
43
44
45
46

Nama Ilmiah
Aethopyga siparaja
Aethopyga mystacalis
Aethopyga temminckii
Arachnothera longirostra
Arachnothera robusta
Arachnothera affinis
Lophozosterops javanicus

Nama Indonesia
Burungmadu Sepah-raja
Burungmadu Jawa
Burungmadu Ekormerah
Pijantung Kecil
Pijantung Besar
Pijantung Gunung
Opior Jawa

IUCN CITES

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

UU-RI
AB
AB
B
AB
AB
B
AB

L | 57

Lampiran 10. Sebaran Spesies dan Status Perlindungan Herpetofauna di Kawasan DAS Citarum
No

Species

IUCN

CITES

PP7

LC
LC

LC

LC
LC

LC
LC
LC

Vul
LC
LC

Ket

CAGT

CA_TWA_KK

TBMK

TNGGP

CAB

CA_TWA_TP

AMFIBIA
Bufonidae
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Duttaphrynus melanostictus
Leptophryne barbounica
Leptophryne cruentata
Phrynoidis aspera
Dicroglossidae
Fejervarya cancrivora
Fejervarya limnocharis
Limnonectes kuhlii
Limnonectes microdiscus
Occidozyga lima
Megophrydae
Leptobrachium haseltii
Megophrys montana
Microhyllidae
Kaloula baleata
Microhylla achatina

12
13
14 Microhylla palmipes
Ranidae
15 Huia masonii
16 Hylarana chalconota
17 Hylarana nicobariensis

CR
LC
LC
LC
LC
LC

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

v
END

v
v

v
v
v
v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

END

END

v
v

L | 58

v
v
v

v
v
v

No

Species

18 Odorrana hosii
Rhacophoridae
19 Nyctixalus margaritifer
20 Philautus aurifasciatus
21 Polypedates leucomystax
22 Rhacophorus margaritifer
23 Rhacophorus reinwardtii
REPTILIA
Agamidae
24 Bronchocella cristatella
25 Bronchocella jubata
26 Draco volans
27 Gonocephalus kuhlii
28 Pseudocalotes tympanistigra
Colubridae
29 Ahaetulla prasina
30 Boiga drapezii
31 Cylindrophis ruffus
32 Dendrelaphis pictus
33 Dryocalamus subannulatus
34 Oligodon octolinaetus
35 Psammodinastes purvulentus
36 Rhabdophis chrysarga
Elapidae
37 Maticora intestinalis
38 Naja sputatrix

IUCN

CITES

PP7

LC

Vul
LC
LC
LC
NT

LC
LC

LC
LC
LC
LC
LC

LC
LC

II

LC
LC
LC
LC
LC
LC

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Ket

END

END

CAGT

CA_TWA_KK

TBMK

TNGGP

CAB

CA_TWA_TP

v
v
v

v
v
v
v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v

v
v
v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

v
v

L | 59

v
v
v

No
39
40
41
42
43
44

Species
Gekkonidae
Cyrtodactylus marmoratus
Lacertidae
Takydromus sexliniatus
Phytonidae
Python reticulatus
Scincidae
Eutropis multifasciata
Viperidae
Trimeresurus puniceus
Xenodermatidae
Xenodermus javanicus

IUCN

CITES

PP7

Ket

CAGT

CA_TWA_KK

TBMK

TNGGP

CAB

LC

LC

LC

II

LC

LC

LC

CA_TWA_TP

v
v

Sumber: Tabulasi Data Primer 2013 (Tim Biodiversitas Herpetofauna)


Keterangan Lokasi
1. Cagar Alam Gunung Tilu; 2. Cagar Alam Kawah Kamojang, 3. Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, 4. Taman Buru Masigit-Kareumbi, 5. Cagar Alam Gunung Burangrang,
6. Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu, 7. Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu.
Keterangan Status
1. Status Endemisitas, END = Endemik
2. Status keterancaman dalam IUCN: EN : Endangered (Genting), VU : Vurneable (Rentan), NT : Near Threatened (Mendekati terancam)
3. Status perdagangan dalam CITES (2006):: I : Appendix I : tidak dapat diperdagangkan secara international. II : Appendix II : dapat diperdagangkan dengan pembatasan kuota
perdagangan
4. Peraturan Republik Indonesia: A : UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; B : PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 60

Lampiran 11. Beberapa dokumentasi spesies reptil yang dijumpai di lokasi pengamatan

Ular Pucuk-pohon Hijau (Ahaetulla prasina)

Boiga drapezii

Bunglon (Broncochella jubata)

Cicak Hutan (Cyrtodactylus marmoratus)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 61

Kuhls Angel-headed Lizard (Gonocephalus kuhlii)

Speckle-bellied Kellback (Rhabdophis crysarga)

Sanca Batik (Python reticulates)

Eigh-lined Kukri-snake (Oligodon octolinaetus)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 62

Cyrtodactylus marmoratus

Psammodinastes purvulentus

Javan-palm Pit-viper (Trimeresurus puniceus)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 63

Lampiran 12.

Beberapa dokumentasi spesies amfibia yang dijumpai di lokasi pengamatan

Kongkang Jeram (Huia masonii)

Katak Serasah (Leptobrachium hasseltii)

Leptophryne barbounica

Katak Bertanduk (Megophrys Montana)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 64

Katak pohon emas (Philautus aurifasciatus)

Katak Pohon Hijau (Rhacophorus reinwardtii)

Katak-pohon Jawa (Rhacoporus javanus)

Katak pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer)

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 65

Kodok merah (Leptophryne cruentata)

Katak bertanduk (Megophrys montana)

Microhylla palmipes

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

Limnonectes macrodiscus

L | 66

Kaloula baleata

Hylarana nicobariensis

Limnonectes kuhlii

Laporan Kajian Flora dan Fauna BBKSDA Jawa Barat (12.2013)

L | 67

Anda mungkin juga menyukai