Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya. Pada kenyataannnya kira–kira 10% dari semua makhluk yang

hidup dan menghuni bumi ini terdapat di Indonesia. Salah satu yang menjadikan

ciri keunikan Indonesia dibidang keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman

satwanya. Kondisi satwa yang ada di Indonesia memiliki keunikan tersendiri.

Indonesia secara geografis terletak pada perbatasan lempeng Asia Purba dan

Lempeng Australia itu menyebabkan perbedaan tipe satwa di kawasan Barat,

Tengah dan Timur Indonesia. Keanekaragaman satwa di Indonesia juga

disebabkan karena wilayah yang luas dan ekosistem yang beragam. Karena hal

tersebut, wilayah Indonesia memiliki berbagai jenis satwa khas atau endemik yang

hanya terdapat di Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki berbagai jenis satwa

yang dilindungi.

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman

hayati dan tingkat endemisme yang sangat tinggi. Ilustrasi akan kayanya potensi

keanekaragaman hayati yang dimiliki indonesia, juga diikuti dengan ancaman

kepunahan keanekaragaman hayati itu sendiri. Penyebab utama keterancaman

kepunahan spesies adalah kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak

terkendali. Pemanfaatan tersebut berupa perdagangan Satwa Liar. Perdagangan

satwa merupakan salah satu bentuk pemanfaatan satwa liar yang diperbolehkan

PP No.8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Walaupun

belum diketahui dengan jelas permintaan/penawaran yang lebih berpengaruh,

1
faktanya menunjukan bahwa perdagangan satwa liar dapat dijumpai di

Yogyakarta. (Lestari.org, 2015) Indonesia terkenal di seluruh penjuru dunia

karena keanekaragaman hayatinya, untuk jumlah mamalia 515 spesies, burung

1812 spesies, dikutip dari (nationalgeographic.grid.id), untuk reptil 600 spesies

Dan untuk amfibi 270 spesies.

Indonesia juga dikenal sebagai negara pemilik daftar panjang

tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah satwa liar yang

terancam punah adalah 189 fauna, 29 jenis burung, 11 jenis reptil, 3 jenis amfibia,

dan 26 jenis mamalia (IUCN, 2021). Faktor utama yang mengancam

punahnya satwa liar tersebut adalah berkurang atau rusaknya habitat mereka

dan perburuan untuk diperdagangkan. Kini perdagangan satwa liar menjadi

ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 95% satwa

yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran.

Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan

secara bebas di Indonesia. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati

akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak

memadai, kandang sempit dan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

satwa.

Perdagangan satwa dilindungi secara liar merupakan

perdagangan satwa yang dilindungi tanpa memperhatikan aturan yang telah ada.

Sebagian masyarakat masih gemar memperjualbelikan satwa dilindungi

secara liar baik memperjualbelikannya dalam keadaan hidup untuk dipelihara,

maupun dalam bentuk hewan yang sudah diawetkan. Perdagangan satwa secara

liar tersebut masih banyak dijumpai di pasar-pasar hewan, bahkan

2
perdagangan satwa dilindungi juga dilakukan oleh oknum tertentu untuk

memanfaatkan organ tubuh satwa sebagai bahan obat tradisional.

Dalam Undang–undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sudah secara tegas diterangkan

mengenai sanksi pidana bagi para pelaku perdagangan satwa yang dilindungi.

Tertera dalam pasal 40 ayat 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, apabila dengan

sengaja dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2, yaitu melakukan kegiatan terhadap tumbuhan

dan satwa yang dilindungi, serta pasal 33 ayat 3 yaitu, melakukan kegiatan yang

tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional,

taman hutan raya, dan taman wisata alam, dipidana dengan pidana penjara

paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah).

Hasil Survey ProFauna pada tahun 2001 menunjukan bahwa 64,5% toko

obat tradisional di Indonesia menjual obat yang mengandung empedu beruang.

Selain empedu, bagian tubuh beruang lainya yang sering dijual adalah cakar,

taring, dan telapak tangannya untuk sup (Profauna, 2001). (Tempo, 2019)

mengemukakan bahwa perdagangan satwa terjadi pada 27 Mei 2015 di Pasaman.

BKSDA Sumbar menangkap satu pemburu paruh burung rangkong di Sumatera

Barat, dari tangan pelaku, petugas menyita empat paruh Burung Rangkong serta

dua senapan angin. Maraknya perdagangan satwa liar disebabkan oleh faktor

lemahnya penegakan hukum tentang konservasi sumber daya alam hayati dan juga

masih lemahnya kesadaran masyarakat akan satwa. Pengetahuan yang kurang dan

3
nilai ekonomis yang tinggi terhadap satwa dilindungi tersebut juga menjadi

penyebab masih maraknya perdagangan liar hingga saat ini. Perbuatan tersebut

sangat merugikan bagi negara dan telah melanggar ketentuan yang telah

ditetapkan negara. Perdagangan satwa dilindungi merupakan tindak pidana

kejahatan, yang telah melanggar ketentuan yang ada pada Undang–Undang No. 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Fenomena perdagangan satwa liar bukan hanya sebatas berita diatas, penulis

memperkirakan masih banyak lagi perdagangan satwa yang masih belum

diekspose di Sumatera Barat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba menggali lebih dalam

mengenai bagaimana Perlindungan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang jenis

tumbuhan dan satwa yang dilindungi terhadap perdagangan satwa secara liar,

kemudian dilanjutkan dengan bentuk perlindungan hukum. Untuk mengetahui hal

tersebut perlu dilakukan penelitian tentang Keberadaan Satwa Dilindungi pada

Pusat-pusat Perdagangan Satwa di Sumatera Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis-jenis satwa liar dilindungi apa saja yang diperdagangkan di pusat-

pusat perdagangan satwa di Sumatera Barat.

2. Bagaimana sebaran perdagangan satwa dilindungi di Sumatera Barat

4
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari Penelitian ini adalah:

1. Menginventarisasi dan Mengidentifikasi Jenis-jenis Satwa Dilindungi

yang Diperdagangkan pada Pusat-pusat Perdagangan Satwa Dilindungi di

Sumatera Barat.

2. Mengetahui sebaran perdagangan satwa dilindungi di Sumatera Barat

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari Penelitian ini adalah memberikan informasi tentang jenis

satwa dilindungi yang diperdagangan pada pusat-pusat perdagangan satwa di

Sumatera Barat, dan memudahkan BKSDA untuk melakukan pemantauan

terhadap pelaku perdagangan satwa terkhususnya di provinsi Sumatera Barat.

5
1.5 Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir dari penelitian ini adalah:

Hutan

Sumberdaya Hutan

Keanekaragaman Tumbuhan Keanekaragaman Satwa

Perdagangan Tumbuhan Perdagangan Satwa

Perdagangan Satwa Dilindungi

Identifikasi dan Inventarisasi Satwa


Dilindungi di Sumatera Barat

Keberadaan Satwa Dilindungi pada


Pusat-pusat Perdagangan Satwa di
Sumatera Barat

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan (Undang-undang

No 41 tahun 1999). Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional yang

memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial,

pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki berbagai manfaat bagi

kehidupan baik manfaat langsung dirasakan maupun manfaat tidak langsung,

manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga

dapat berfungsi secara optimal (Zain, 1998 dalam Karyadi et al, 2018).

Pengertian hutan tidak dianut pemisahan secara horizontal antara suatu

lapangan (tanah) dengan apa yang diatasnya. Antara suatu lapangan (tanah).

tumbuh-tumbuhan atau alam hayati dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan

yang utuh. Hutan yang dimaksud adalah dilihat dari sudut de facto yaitu

kenyataan dan kebenarannya di lapangan. Disamping itu adanya suatu lapangan

yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dimaksudkan untuk menetapkan

suatu lapangan (tanah) baik yang bertumbuhan pohon atau tidak sebagai hutan

tetap. Dalam ketentuan ini dimungkinkan suatu lapangan yang tidak bertumbuhan

pohon-pohon di luar kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan

(Pamulardi, 2016 dalam Karyadi et al, 2018).

7
Hutan mempunyai fungsi yang terbagi menjadi 3, hutan lindungi adalah

hutan yang dilindungi keberadaannya karena bermanfaat dalam menjaga

ekosistem, penetapan kawasan hutan menjadi hutan lindung didasari oleh fungsi

hutan sebagai penyedia cadangan air bersih, penahan erosi, habitat flora dan

fauna. Hutan produksi adalah suatu area hutan yang sengaja dipertahankan

sebagai kawasan dan berfungsi untuk menghasilkan atau memproduksi hasil hutan

bagi kepentingan masyarakat, dibidang industry dan ekspor. Hutan konservasi

merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi

pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya

(Undang-undang No 41 tahun, 1999).

2.2. Sumber Daya Hutan

Hasil hutan yaitu benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang

berasal dari hutan (UU 41/1999 tentang Kehutanan). Selanjutnya pengertian

tentang sumber daya alam hayati disebutkan dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka

Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam, adalah unsur-unsur hayati di alam yang

terdiri atas sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani

(satwa) yang bersama-sama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara

keseluruhan membentuk ekosistem. Tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian

dari sumber daya alam hayati yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, dan pemanfaatannnya dilakukan dengan memperhatikan

kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa liar (Anonim, 1999).

8
Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi bergantung pada

dukungan penghargaan masyarakat sekitarnya (Nugraha dan Murtijo, 2005 dalam

Iswandono, 2007). Bila pelestarian bermanfaat bagi masyarakat sekitar maka

masyarakat akan mau bekerja sama dengan pengelola dalam rangka pelestarian.

Bentuk manfaat bagi masyarakat yaitu pemanfaatan terbatas pada sumberdaya

tertentu, hak tradisional dan kebiasaan budaya, preferensi khusus untuk

memperoleh pekerjaan dan pelayanan sosial dalam batas-batas yang masih dapat

ditoleransi fungsi perlindungan kawasannya (Mackinnon et al. 1986 dalam

Iswandono, 2007).

2.3 Keanekaragaman Satwa

1. Pengertian Satwa

Satwa adalah segala macam jenis sumber daya alam hewani yang berasal

dari hewan yang hidup di darat, air dan udara. Pengertian yang sama juga di

jelaskan dalam kamus besar bahasa Indonesia yang menyatakan satwa merupakan

sinonim dari hewan atau binatang (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam dan Hayati dan Ekosistemnya menjelaskan, "Satwa adalah

semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat maupun di air”.

2. Jenis Satwa

Jenis satwa dapat kita lihat dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

a. Satwa yang dilindungi

Satwa yang populasinya jarang ditemui atau satwa yang berada dalam bahaya

kepunahan.

9
b. Satwa yang tidak dilindungi

Adalah satwa atau hewan yang jumlah populasinya masih banyak dan

mudah untuk ditemukan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang

memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sehingga membuat Indonesia

memiliki peran yang penting dalam perdagangan satwa dan menjadi salah satu

pemasok terbesar perdagangan satwa di dunia. Satwa-satwa tersebut tersebar di

seluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia. Berdasarkan informasi yang

didapatkan Tim Cegah Satwa Punah dari Pro Fauna Indonesia sekitar 300.000

jenis satwa liar atau sekitar 17% dari jenis satwa yang ada di dunia berada di

Indonesia. Indonesia bahkan menempati urutan pertama dalam kekayaan mamalia

dengan 515 jenis dan menjadi habitat dari 1539 jenis unggas, serta sekitar 45%

jenis ikan di dunia hidup di Indonesia (ProFauna.Net, 2016).

Kepunahan satwa liar itu dapat digolongkan menjadi dua :

a. Kepunahan alami yaitu kepunahan yang terjadi secara alami dimana

penyebabnya adalah bencana alam seperti, meletusnya gunung merapi, gempa

bumi, banjir dan lainnya. Adanya proses seleksi alam, perubahan iklim bumi

yang drastisdaleik turunya permukaan daratan juga dapat mendorong

kepunahan spesies, contohnya satwa-satwa zaman purba seperti Dinosaurus.

b. Kepunahan karena manusia, yaitu kepunahan yang terjadi karena kegiatan

yang dilakukan oleh manusia contohnya perusakan habitat ekplotasi

berlebihan, dan introduksi satwa asing. Kepunahan pada masa sekarang lebih

banyak dilakukan oleh kegiatan manusia. Hutan di ubah menjadi

pertambangan, perkebunan, pertanian, perumahan dan hingga industri,

Kebakaran hutan telah membunuh sebagian satwa liar yang tinggal di hutan

10
tersebut. Satwa-satwa yang tidak mempunyai kemampuan berpindah dengan baik

akan mati secara perlahan-lahan karen tidak mampu beradaptasi (Rosek, 2015).

2.4 Satwa Dilindungi

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempunyai kedudukan dan

peranan penting bagi kehidupan makhluk hidup, sehingga perlu dikelola dan

dimanfaatkan secara lestari, serasi, dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat

Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik pada saat ini

maupun pada masa mendatang (Wildanu, 2019).

Teori lingkungan hidup yang berpusat pada kehidupan yang dikatakan

oleh Albert Schweitzer menyatakan, penghargaan yang harus dilakukan manusia

tidak hanya pada diri sendiri saja, tetapi juga kepada semua bentuk kehidupan.

Sementara itu Paul Taylor menyatakan bahwa, manusia adalah salah satu anggota

dari satu komunitas, sama seperti makhluk lain. Manusia bukan anggota

komunitas yang dipandang sebagai segala-galanya, sebab ia memiliki kelebihan

dan kekurangan. Oleh karena itu, derajatnya sama dengan makhluk lain. Manusia

pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari pada makhluk hidup yang lain

(Rachmad, 2009). Sehingga manusia yang merupakan makhluk yang memiliki

akal dan fikiran, seharusnya menjaga lingkungan hidup serta sumber daya alam

hewani maupun hayati.

Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk dipelihara, dimiliki, diburu

maupun diperdagangkan, namun masyarakat tidak dapat membedakan satwa yang

dilindungi dan yang tidak dilindungi (Leden, 1991). Penurunan populasi satwa

langka di Indonesia terus terjadi dikarenakan banyaknya ancaman yang

menyebabkan hutan yang terus kepunahan dieksploitasi dari spesies secara satwa

11
berlebihan tersebut. serta Bukan hutan hanya dibakar seleksiguna dijadikan

dijadikan pemukiman merupakan salah satu ancaman berkurangnya populasi

satwa langka tersebut. Kondisi semakin parah dengan terjadinya perburuan dan

perdagangan satwa liar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Permintaan

satwa liar yang tinggi yang menyebabkan terjadinya perburuan, perdagangan,

serta penyelundupan secara besar-besaran menjadi penyebab berkurangnya

spesies satwa langka, terlebih lagi penawaran harga jual yang tinggi untuk jenis-

jenis satwa yang sangat langka. Kurangnya pengawasan pengawasan dan

penegakan hukum terhadap eksploitasi satwa langka yang menyebabkan semakin

berkurangnya spesies satwa langka sehingga masyarakat sendiri secara tidak sadar

turut serta mengurangi populasi satwa langka.

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur di alam yang terdiri dari

sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hayati (satwa) yang

bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk

ekosistem. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah hubungan timbal balik

antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling

mempengaruhi. Sumber daya alam hayati secara luas menyangkut kepentingan

masyarakat secara keseluruhan, sehingga upaya konservasi sumberdayaalam

hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat

(Ahmad, 2014).

2.5. Perdagangan Satwa

Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk dipelihara, dimiliki, diburu

maupun diperdagangkan, namun masyarakat tidak dapat membedakan satwa yang

dilindungi dan yang tidak dilindungi (Leden , 1991). Penurunan populisasi satwa

12
langka di Indonesia terus terjadi dikarenakan banyaknya ancaman yang

menyebabkan kepunahan dari spesies satwa tersebut. Bukan hanya seleksi alam,

hutan yang terus dieksploitasi secara berlebihan serta hutan yang dibakar guna

dijadikan pemukiman merupakan salah satu ancaman berkurangnya populasi

satwa langka tersebut. Kondisi semakin parah dengan terjadinya perburuan dan

perdagangan satwa liar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Permintaan

satwa liar yang tinggi yang menyebabkan terjadinya perburuan, perdagangan,

serta penyelundupan secara besar-besaran menjadi penyebab berkurangnya

spesies satwa langka, terlebih lagi penawaran harga jual yang tinggi untuk jenis-

jenis satwa yang sangat langka. Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum

terhadap eksploitasi satwa langka yang menyebabkan semakin berkurangnya

spesies satwa langka sehingga masyarakat sendiri secara tidak sadar turut serta

mengurangi populasi satwa langka.

2.6. CITES

International Union for Conversation of Nature and Natural Resources

(IUCN) menganjurkan pembatasan perdagangan spesies langka dengan

melahirkan sebuah perjanjian internasional yaitu. Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). (Supriatna Jatna,

2008) menyatakan bahwa CITES merupakan perjanjian multilateral untuk

mengatasi salah satu penyebab kepunahan spesies akibat perdagangan

internasional. CITES terbentuk pada tahun 1973 dan mulai berlaku sejak 1975,

dibuat karena maraknya kegiatan perdagangan satwa liar yang melintasi atau

paling tidak melibatkan dua negara. (Cifebrima Suyastri, 2015) adanya CITES,

13
negara-negara anggota diharapkan melaksanakan ketentuan-ketentuan didalamnya

secara konsisten sesuai dengan azas hukum Internasional, pacta sunt servanda.

Pacta sunt servanda merupakan asas kepastian hukum dalam perjanjian

Internasional, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan

oleh karenanya dilindungi secara hukum, sehingga jika terjadi sengketa dalam

pelaksanaan perjanjian, maka hakim dan keputusannya dapat memaksa agar pihak

yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian.( Legal

akses.com, 2017) Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termasuk

kedalam Konvensi Wina (Vienna Convention on the law of Treaties) pada tanggal

23 Mei 1969 yang terdapat pada Pasal 26 yang mengatakan bahwa "every treaty

in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good

faith" yang artinya setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan

dengan itikad baik (Mumentumpedia, 2015).

Sistem perlindungan spesies flora dan fauna yang terancam dilakukan

dengan menetapkan sistem perizinan untuk mengatur perdagangan ekspor dan

impornya. Masing-masing spesies dikelompokan menjadi tiga bagian yang dimuat

dalam 3 Appendix. Masing-masing Appendix mempunyai pengaturan yang

berbeda (Ben Boer.dkk, 1998).

Indonesia telah turut meratifikasi CITES melalui Keppres Nomor 43Tahun

1978 tentang pengesahan CITES. Indonesia terdaftar sebagai negara ke 48 peserta

CITES. Pemerintah membutuhkan waktu 12 tahun untuk membuat peraturan

Perundang - undangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES. (Andri Santosa,

2008) Indonesia sendiri menunjuk dua lembaga sebagai pihak yang memiliki

otoritas pengelolaan perizinan yaitu Kementerian Kehutanan dan Lembaga Ilmu

14
Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas ilmiah yang menilai dampak

perdagangan terhadap spesies. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) sebagai

institusi pemerintah yang memiliki salah satu tugas menjaga perbatasan dan

melindungi masyarakat Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal,

secara aktif melakukan penindakan terhadap keluar masuknya tumbuhan dan

satwa liar yang terancam punah. DJBC juga selalu berkoordinasi dengan instansi

terkait CITES, atas beberapa komoditas CITES yang keluar masuk daerah pabean

Indonesia (Warta Bea Cukai, 2018).

Perdagangan tumbuhan dan satwa liar menurut CITES dan hukum di

Indonesia memerlukan izin atau sertifikat ekspor, izin dan sertifikat re-ekspor

serta izin atau sertifikat impor. Perdagangan satwa yang dilindungi memiliki

pengecualian yaitu untuk keperluan ilmu pengetahuan dapat diperjual belikan

namun harus tetap melalui penangkaran dan harus mendapat ijin dari Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Dalam penangkaran satwa yang dapat

diperjualbelikan yaitu satwa yang termasuk dalam istilahnya yaitu kriteria F2

yaitu generasi ketiga (Rema, 2016).

15
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2022. Lokasi

Penelitian Berada di Beberapa Kota dan Kabupaten, yaitu di Kota Padang, Kota

Bukittinggi, Kota Solok, Kota Payakumbuh, dan Kabupaten Pesisir Selatan

tepatnya di Kecamatan Painan di Provinsi Sumatera Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada saat penelitian ini terdiri dari GPS (Global

Positioning System) untuk menentukan titik lokasi penelitian. avenza maps

digunakan untuk mengambil titik koordinat, tally sheet, alat tulis, alat perekam,

dan kamera untuk dokumentasi penelitan. Bahan dalam penelitian kali ini adalah

Memori untuk menyimpan berkas penelitian.

16
3.3 Metode Pengumpulan Data

1. Metode Observasi Langsung

Observasi merupakan metode pengamatan langsung di lapangan

dilakukan untuk memperoleh data primer berupa jenis-jenis satwa

dilindungi yang diperdagangkan di kios-kios atau pasar-pasar di Kota

Padang, Kota Bukittinggi, Kota Solok, Kota Payakumbuh, dan Kabupaten

Pesisir Selatan di Provinsi Sumatera Barat.

1. Metode Wawancara Tidak Terstruktur

Metode wawancara tidak terstruktur adalah salah satu metode

pengumpulan data dengan cara berdialog dengan orang yang sedang

diamati. Dalam proses perolehan data, penulis menggunakan salah satu

jenis metode wawancara yaitu wawancara tidak terstruktur. Wawancara

tidak terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan yang belum disiapkan sebelumnya kepada orang

yang sedang diamati. Dalam hal ini, penulis mewawancarai beberapa

orang masyarakat disekitar lokasi Perdagangan Satwa.

2. Metode Kepustakaan/ Studi Pustaka

Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data dengan cara

memggunakan buku atau referensi yang berkaitan dengan topik yang

sedang dibahas. Metode ini dilakukan oleh penulis dengan cara membaca

buku dan literatur yang terkait dengan Keberadaan Satwa Dilindungi dan

Pusat-Pusat Perdagangan Satwa Dilindungi di Sumatera Barat.

17
3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah:

1. Data primer yang dikumpulkan melalui Observasi langsung dilapangan.

Data primer yang dikumpulkan adalah : Identifikasi dan Inventarisasi

Satwa dilindungi di Sumatera Barat.

2. Data sekunder yaitu data yang sifatnya mendukung data primer yang

diperoleh melalui referensi lainnya yang ada relevansinya dengan

penelitian ini.

3.5 Analisis Data

Berdasarkan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh,

penulis kemudian menganalisis data tersebut. Penulis menggunakan

teknik deskriptif kualitatif dalam menganalisis data yang ada untuk

menghasilkan kesimpulan dan saran. Data tersebut kemudian dituliskan

secara deskriptif untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah

dari hasil penelitian.

Data yang dianalisis berupa presentase jenis satwa dilindungi / pusat

perdagangan satwa, dengan menggunakan rumus:

Persentase kelas satwa yang diperdagangkan, dengan menggunakan

rumus:

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Redi. 2014. Hukum Sumber Daya Alam dalam Sektor Kehutanan. Sinar
Grafika. Jakarta.

Analisis pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku jual beli satwa langka
secarailegal.http://digilib.unib.ac.id/21942/3/SKRIPSI%20TANPA%20BA
B%20PEMBAHASAN.pdf. Diakses pada hari kamis tanggal 25 Maret
2022 pukul 17.07

Andri Santosa. 2008. Konservasi Indonesia sebuah potret pengelolaan dan


kebijakan, Pokja Kebijakan Konservasi,hlm.35. Jakarta.
Anonim. 1999. Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.

Artati, Y. 2002. Perdagangan Satwa Liar Yang Dilindungl Di Pasar Burung


Ngasem Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Batara, K. M. 2014. Eksistensi Convention on International Trade In Endangered


Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Terhadap Perlindungan Satwa
Langka dalam Menangani Perdagangan Bebas di Tingkat Internasional.
Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ben Boer, Ross Ramsay dan Donal R. Rothwell. 1998. Internasional


Environmental Law in the Asia Pacific, Kluwer Law International. Dikutip
dari buku Sukanda Husin hlm 149. London.

Cifebrima Suyastri. 2015. Politik Lingkungan: Penanganan Perdagangan Satwa


dengan Identifikasi Pasal-pasal Perundangan CITES. VOL.11 No.01.
Universitas Riau. Pekanbaru.

Depertemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi


Keempat. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Iswandono, E. 2007. Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan


di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Tesis Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 172 h. Bogor.

IUCN. 2021. IUCN Red List of Threatened Species.

Karyadi, H. Pratiwi, D.I. Danis, E.H. Suyanto, D.P. & Hendrayadi. 2018. Taman
Nasional Kerinci Seblat, 1-39

Leden Marpaung. 1991. Tindak Pidana Penyelundupan Masalah dan


Pencegahan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

19
Legal akses.com. pacta sunt servanda. http://www.legalakses.com/pacta-sunt-
servanda/. Diakses pada hari rabu tanggal 26 Maret 2022 pukul 20.00 WIB

Lestari Indonesia.org http://www.lestari-indonesia.org/id/keanekaragaman

M.Bismark. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei Keragaman


Jenis Pada Kawasan Konservasi. -Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor.

Meiyentrinita, 2008. Keberagaman Jenis Burung yang Diperdagangkan di Kota


Padang Provinsi Sumatera Barat. Bengkulu: Lembega Penelitian
Universitas Bengkulu.

Mumentumpedia. Pacta sunt servanda. http://www.momentumpedia.com/2015


/01/Janji.Harus.Ditepati,html. Diakses pada hari rabu tanggal 26 Maret
2022 pukul 20.15

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nomor P.7 / Menlhk /


Setjen /OTL.0/1/2016, Pasal 2 tentang , Tugas Penyelenggaraan
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya berdasarkan Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

Profauna. (2016, April 06) profauna.net. Retrieved Maret 28, 2018, from
https://www.profauna.net/id/content/nilai-perdagangan-satwa-liar-
triliunan-rupiah-profauna-desak-penegakan-hukum-yang-
lebih#.W1xaAdlzbcf

Rachmad, K Dwi Susilo. 2009. Sosiologi Lingkungan. Rajawali Pers. Jakarta.

Rahayu, T. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Satwa Dari Perdagangan Liar


(Studi Pada Wildlife Rescue Centre, Pengasih Kulon Progo Yogyakarta).
Skripsi. Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Yogyakarta.

Rijal. 2012. Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi di Pasar Satwa dan
Tanaman Hias Yogyakarta (Pasty). Skripsi. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rosek Nursahid. 2007. Mengapa Satwa Liar Punah, profauna Indonesia dengan
bantuan dana WSPA. Skripsi Prayoga Univesrsitas Islam Bandung.
Malang.

Saleh, C. 2009. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan Liar. Pontianak

20
Sujamto. 1989. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia. PT. Sinar Grafika.
Jakarta .

Slamet, W. S. 2019. "Kajian Kriminologi Perdagangan Ilegal Satwa Liar".


Volume 8 No. 2
Supriatna Jatna. 2018. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Hlm.16. Jakarta.

Takdir Rahmadi. 2015. Hukum Lingkungan di Indonesia. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

Tempo.co https://nasional.tempo.co/read/670150/pemburu-paruh-burung-
rangkong-ditangkap-di-sumbar%20diakses%20jam%2022.01 Diakses
pada hari jum'at tanggal 25 maret 2022 pukul 22.01 WIB.

Warta Bea Cukai.http://repository.beacukai.go.id/download/2015/09/82bc6fb1dbe


973c48c87d62d8e1f6142-majalah-wbc-edisi-7-juli-web.pdf. Diakses pada
tanggal 24 Maret 2022 pukul 16.52 WIB

Wildanu S Guntur. 2019. Kajian Kriminologi Perdagangan Ilegal Satwa Liar.


Volume 9 No.2

21

Anda mungkin juga menyukai