Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme yang
tinggi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati tertingi yang dilengkapi dengan keunikan tersendiri, membuat Indonesia memiliki
peran yang penting dalam perdagangan satwa di dunia, sehingga Indonesia menjadi
salah satu pemasok terbesar perdagangan satwa dunia.

Hal ini tentu saja merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk dapat
memanfaatkan kekayaan satwanya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk
bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Namun, pemanfaatan ini memang
harus betul-betul memperhatikan kondisi populasi berbagai jenis satwa yang
dimanfaatkan agar dapat diperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan.

Satwa-satwa tersebut tersebar di seluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia.


Berdasarkan informasi yang didapatkan Tim Cegah Satwa Punah dari ProFauna
Indonesia sekitar 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% dari jenis satwa di dunia
berada di Indonesia. Indonesia bahkan menempati urutan pertama dalam hal kekayaan
mamalia dengan 515 jenis dan menjadi habitat dari 1539 jenis unggas serta sekitar 45%
jenis ikan di dunia hidup di Indonesia. Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah
ciri suatu pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di dalamnya mendukung
akan perkembangbiakan satwa tersebut. Berbagai jenis satwa tersebut tersebar di
Indonesia yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau. Namun hal tersebut tidak berarti semua
pulau dapat didiami semua satwa. Berdasarkan kenyataan ada satwa yang termasuk
satwa endemik yakni hidup secara terbatas pada habitat di daerah tertentu dan tidak
terdapat di tempat lain, misalnya anoa di Sulawesi, cendrawasih di Irian Jaya, siamang
dan harimau Sumatera di Sumatera dan lain-lain.

Indonesia menyimpan banyak keanekaragaman jenis satwa liar, namun juga


merupakan salah satu negara yang mempunyai laju kepunahan jenis satwa yang cukup
P a g e 1 | 17
tinggi. Daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah tersebut dapat dilihat dari
sulitnya untuk melihat beberapa jenis satwa liar di habitat aslinya. Satwa-satwa liar
tersebut diantaranya yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau
Sumatera, badak bercula satu, anoa, burung cendrawasih, gajah Sumatera, harimau
Jawa, dan masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara
yang terancam punah. Saat ini diperkirakan jumlah jenis satwa liar yang terancam punah
terdiri dari 147 jenis mamalia, 114 jenis unggas, 28 jenis reptile, 91 jenis ikan dan 28 jenis
invertebrata .

Banyak hal yang menyebabkan tingginya ancaman kepunahan dari jenis satwa liar
tersebut. Hutan dikonversi menjadi pemukiman, lahan pertanian, perkebunan serta
terjadi eksploitasi sumber daya alam di hutan secara berlebihan. Lahan habitat alami
satwa liar yang kemudian menjadi korban. Kondisi ini diperparah dengan tingginya
perburuan dan perdagangan liar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Semua ini
disebabkan rendahnya tingkat pengawasan dan penegakan hukum terhadap berbagai
eksploitasi ilegal satwa liar dan tingkat perburuan liar sangat tinggi. Tingginya tingkat
perburuan dan perdagangan liar ini karena tingginya permintaan pasar terhadap jenis-
jenis satwa liar, ditambah penawaran harga yang tinggi untuk jenis-jenis satwa yang
sangat langka.

Satwa liar telah sulit ditemui di habitat aslinya karena populasinya hampir punah, hal ini
membuat Pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan
satwa langka dari kepunahannya. Hal itu ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
yang mana Undang-Undang ini menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam
dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya.

Peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan satwa selain UndangUndang


No. 5 Tahun 1990, antara lain :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis

Tumbuhan Dan Satwa Liar

P a g e 2 | 17
b. Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 104/Kpts-II/2000

Tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar Dan Menangkap Satwa Liar

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar

Peraturan-peraturan tersebut di atas mengatur semua jenis satwa langka yang


dilindungi oleh negara, baik yang dimiliki masyarakat maupun yang tidak dapat dimiliki
oleh masyarakat, dikarenakan satwa langka tersebut sudah hampir punah, di habitat
aslinya sudah jarang ditemui. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
telah ditetapkan mana yang disebut satwa langka yang boleh dipelihara dan tidak boleh
dipelihara oleh manusia.

Perdagangan satwa liar dapat menyebabkan eksploitasi besar-besaran yang


menimbulkan ancaman kepunahan bagi satwa tersebut. Pada saat sekarang ini untuk
memiliki dan atau memelihara satwa-satwa liar tersebut dapat dengan cara membeli,
misalnya di pasar hewan yang menjual satwa-satwa langka yang dilindungi, serta dengan
cara berburu di alam liar, nantinya satwa yang diburu itu kebanyakan akan diawetkan,
diambil kulitnya dan bagian tubuh lainnya untuk dijadikan pajangan atau hiasan hanya
demi kesenangan dan kepuasan bagi yang memilikinya. Akibat perdagangan liar yang
semakin meningkat akhir-akhir ini, selain ekspor satwa liar hidup, ekspor kulit dari
beberapa jenis reptilia mencapai puluhan ribu lembar. Keinginan manusia untuk memakai
produk berbahan bagian tubuh dari satwa seperti kulit buaya, harimau, ular maupun jenis
satwa lain cukup tinggi.

Banyaknya satwa liar yang dipelihara, dimiliki ataupun diperdagangkan


merupakan satwa yang tergolong dilindungi atau yang termasuk hampir punah. Tingginya
peredaran ilegal satwa liar yang dilindungi dikarenakan penjual ataupun pengusaha
hanya melihat dari segi keuntungan ekonomi dari satwa yang diperdagangkan tetapi
kurang memperhatikan dari segi kelangsungan kelestarian dari satwa tersebut. Padahal

P a g e 3 | 17
eksploitasi terus menerus tanpa memperhatikan kelestarian dapat mengancam
kelangsungan hidup satwa tersebut di alam dan dapat berakibat kepunahan.

Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk dipelihara, dimiliki, diburu maupun
diperdagangkan, namun masyarakat tidak dapat membedakan satwa yang dilindungi dan
yang tidak dilindungi. Perilaku manusia ini yang dapat mengancam kepunahan dari satwa
langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya
di habitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini dapat dicegah dengan ditetapkan
perlindungan hukum terhadap satwa langka yang dilindungi. Satwa langka tidak boleh
dibunuh, dimiliki, ditangkap, diburu serta diperdagangkan, hal ini untuk menjaga
kelestarian satwa tersebut dari kepunahan. Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa
langka yang hampir punah, hanya menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya karena
keserakahan manusia dalam mengambil keuntungan dari yang diperolehnya.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa pengertian dan penyebab hewan langka?
b) Apa penyebab terjadinya perburuan hewan langka?
c) Apa pengaruh terjadinya perburuan hewan langka di Indonesia?
d) Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap perburuan hewan langka di
Indonesia?
e) Bagaimana cara menanggulangi perburuan hewan langka di Indonesia?

1.3 Tujuan
a) Untuk mengetahui pengertian dan penyebab hewan langka
b) Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perburuan hewan langka
c) Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan oleh perburuan hewan
langka di Indonesia
d) Untuk mengetahui upaya penegakan hukum dan undang- undang terhadap
perburuan hewan langka di Indonesia
e) Untuk mengetahui cara menanggulangi perburuan hewan langka di
Indonesia

P a g e 4 | 17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hewan Langka

Hewan langka merupakan hewan yang sudah jarang ditemukan, dan keberadaannya
hanya terdapat di tempat-tempat tertentu. Hewan langka adalah hewan yang hampir
terancam punah dari keberadaannya akibat dari keserakahan manusia yang melakukan
penebangan hutan secara liar yang merupakan habitat dan ekosistem dari hewan
tersebut.

Beberapa penyebab hewan menjadi langka atau menjadi punah :

a) Hilangnya habitat
Faktor utama penyebab langka atau menjadi punah satwa di bumi adalah
kehilangan habitat atau tempat tinggal.
b) Eksploitasi Alam
Pengeksploitasian alam seperti perburuan illegal, perdagangan hewan langka
merupakan faktor lain yang menyebabkan langka atau menjadi punah.
c) Polusi
Polusi juga merupakan isu penting penyebab kepunahan masal. Jika tidak
langsung membunuh binatang, polusi berakibat pada reproduksi,
mengacaukan proses berkembang biak, dan menimbulkan prilaku tidak biasa.

2.2 Perburuan secara illegal

Perburuan illegal adalah pengambilan hewan dan tanaman secara illegal dan
bertentangan dengan peraturaan konservasi serta manajemen kehidupan. Perburuan
illegal merupakan pelanggaran terhadap peraturan dan hukum perburuan.

Suatu perburuan bisa menjadi ilegal karena sebab-sebab berikut:

 Perburuan tidak dilakukan pada musimnya; biasanya musim kawin dinyatakan


sebagai musim tertutup ketika kehidupan liar dilindungi oleh hukum.
 Pemburu tidak memiliki izin yang sah.
P a g e 5 | 17
 Pemburu secara ilegal menjual hewan, bagian tubuh hewan atau tanaman untuk
memperoleh keuntungan.
 Perburuan dilakukan di luar waktu yang diperbolehkan.
 Hewan atau tanaman yang diburu dilindungi oleh hukum atau termasuk spesies
yang terancam langka dan punah.
 Hewan atau tanaman yang diburu telah ditandai untuk penelitian.

2.3 Tujuan Pemburuan

Sumber daya alam hewani dan ekosistem nya merupakan salah satu bagian yang
terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur
pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Namun kegiatan
perburuan terhadap satwa tertentu menyebabkan satwa tersebut langka bahkan
terancam punah.

Perburuan satwa sebenarnya sudah dimulai sejak manusia ada di muka bumi.
Perburuan binatang pada jaman itu bertujuan untuk dikonsumsi. Pada zaman sekarang
ini, perburuan satwa tidak sepenuhnya untuk dikonsumsi namun untuk diambil bagian
tubuhnya untuk kerajinan, obat- obatan dan untuk kosmetik.

Perdagangan satwa memiliki potensi keuntungan yang sangat besar terlebih


satwa langka, semakin langka hewan itu maka semakin mahal harganya. Sehubungan
dengan banyaknya dan tidak terkendalinya masalah-masalah kegiatan jual beli satwa
langka, sebuah organisasi yang memberikan perlindungan terhadap satwa yang di beri
nama International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

Salah satu penyebab terbesar meningkatnya perdagangan satwa adalah


besarnya permintaan daging satwa oleh pasar dunia. Perdagangan daging satwa sering
dijumpai adalah perdagangan rusa, daging jenis primata, telur dan batok penyu, dan sirip
ikan hiu.

Suatu produk dapat menjadi komoditi ekspor apabila harga pasar lebih mahal dari
biaya memanen atau memburunya. Harga tersebut dapat lebih tinggi apabila dari satwa

P a g e 6 | 17
tersebut dapat dijual, ramuan obat-obatan, kosmetik, satwa peliharaan kebun binatang
dan satwa peliharaan pribadi. Banyak pemikiran apabila seseorang mempunyai satwa
langka jenis tertentu akan membuat derajat atau pandangan orang lain terhadap orang
tersebut akan naik dari orang sekitarnya.

1. Pengaruh Terjadinya Perburuan Hewan Langka di Indonesia

Beberapa contoh akibat hilangnya keanekaragaman hayati:

a. Jumlah gajah, harimau dan orang utan di Sumatra sudah berkurang, bahkan
hamper habis, karena tempat tinggalnya sudah terdesak. Perubahan dari hutan menjadi
perkebunan dan pemukiman terkadang menimbulkan konflik antara hewan penghuni
hutan yang terdesak dengan manusia sebagai pengelola lahan, seperti yang terjadi di
beberapa daerah di Sumatera. Hewan-hewan besar seperti harimau, gajah dan orang
utan masuk ke pemukiman, memakan tanaman di kebun, bahkan membunuh manusia.
b. Berkurangnya atau hilangnya ular di sawah karena diburu berakibat pada
meledaknya populasi tikus yang merupakan mangsa ular. Hal tersebut merugikan petani
karena produksi padi menurun akibat serangan hama tikus
c. Berkurangnya jumlah burung kasuari sebagai pemencar biji kayu besi
menyebabkan pertumbuhan anakan kayu besi berkurang seperti disampaikan oleh
masyarakat Kampung Wambena, Kabupaten Jayapura. Kayu besi merupakan kayu yang
bernilai penting bagi masyarakat untuk membuat bangunan
d. Hilangnya kelelawar penyerbuk bunga durian akibat diburu untuk diperdagangkan
menyebabkan bunga gagal menjadi buah. Kejadian ini dirasakan oleh masyarakat di
Desa Haramunting, Batangtoru, Sumatrera Utara yang dikenal sebagai penghasil durian.
Gagalnya penyerbukan bunga durian secara otomantis menurunkan produksi buah dan
pendapatan masyarakat
e. Ikan hiu yang terus-terusan diburu untuk diambil siripnya. Ikan hiu berperan
sebagai predator paling tiggi tingkatannya dalam rantai makanan di laut, mereka
memangsa ikan-ikan karnivora yang berukuran besar yang ada dibawahnya dalam rantai
makanan. Menurunnya populasi ikan hiu dalam ekosistem dapat mengakibatkan naiknya
populasi ikan karnivora tersebut dan akan menurunkan populasi ikan herbivora sehingga
meledaknya populasi mikroalga yang mengakibatkan rusaknya terumbu karang
P a g e 7 | 17
2.1 Upaya Penegakan Hukum dan Undang- Undang Terhadap Perburuan Hewan
Langka di Indonesia

Banyaknya masalah kegiatan jual beli satwa langka ini, IUCN menganjurkan
pembatasan perdagangan satwa langka. Dari gagasan ini maka ditandatanganilah
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora
(CITES),yaitu sebuah perjanjian Internasional yang berbicara mengenai perlindungan
dan perdagangan Internasional spesial satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah.
Berdasarkan CITES ditetapkan kuota suatu negara yang dapat memperdagangkan
satwa langka. Penetapan kuota ini disertai dengan syarat-syarat, misalnya harus
merupakan hasil penangkaran.

Indonesia menandatangani CITES di Washington pada bulan Maret 1973.


Indonesia mengaksesi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden no.43 tahun 1978. Ini merupakan
transformasi hukum Internasional ke hukum nasional. Dengan diaksesinya CITES maka
konvensi tersebut mengikat bagi Indonesia, serta mewajibkan Indonesia untuk
melindungi spesies langka dari perdagangan Internasional.

Perburuan satwa langka menyebabkan menurunnya tingkat keanekaragaman


hayati di dunia. Perdagangan satwa langka tanpa izin ini juga memegang posisi yang
signifikan terhadap keberadaan sebuah spesies. Pada dasarnya segala kegiatan yang
dilakukan oleh manusia membawa pengaruh terhadap lingkungan tidak selalu diprediksi.

Perdagangan saat ini tidak hanya berkutat dalam lokal, regional, namun telah
mengglobal melewati lintas batas negara. Perubahan tersebutlah yang merupakan
timbulnya perdagangan yang melibatkan partisipasi atau keikutsertaan negara-negara di
dunia untuk saling berkompetisi serta terlibat di kegiatan perdagangan Internasional.

Sesuai dengan pasal 1 ayat 5 Undang-Undang no.5 tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan,

“Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan
atau udara, dan air “

P a g e 8 | 17
Undang-undang no.5 Tahun 1990 juga menjadi bahaan pertimbangan
dibentuknya Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BSKDA) melalui Peraturan Menteri
Kehutanan no. P.02/MenHut-II/2007. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di
setiap daerah diberikan tanggung jawab oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam sebagai pelaksana untuk melakukan penyelidikan di bidang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati. BKSDA mempunyai tugas pokok yaitu


menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan
kawasan cagar alam, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman
buru serta koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta
konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi di Provinsi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang


pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.Terdapat beberapa pasal larangan dan sanksi
diantaranya seperti di bawah ini Pasal 21(2) Setiap orang dilarang untuk : menangkap,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
mati; mengeluarkan satwa yang dlindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
dalam atau di luar Indonesia;memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh,
atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang yang dibuat dari bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia; mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 40(2)
Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)

2. Cara Menanggulangi Perburuan Hewan Langka di Indonesia

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyelenggarakan fungsi sebagai


berikut:

P a g e 9 | 17
1. Penataan blok, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi
pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan
taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar
kawasan konservasi
2. Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan
taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar
kawasan
3. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung
4. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan hutan, hasil hutan dan tumbuhan dan
satwa liar di dalam dan di luar kawasan konservasi

Kesadaran manusia akan pentingnya keseimbangan diharapkan sekali dalam usaha


pelestarian maakhluk hidup. Pemburuan liar yang dilakukan menangkap hewan harus di
hindari dan didukung dengan cara tidak membeli hewan langka dan bagian hewan
tersebut. Dengan demikian usaha penjualan hewan langka menjadi terhenti.

P a g e 10 | 17
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metode Penelitian


A. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum sosiologis,
merupakan penelitian yang berdasarkan pada data primer/data dasar. Data primer/data
dasar adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama.

B. Sumber Data
a) Data Primer
Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah mewawancarai dengan
Kepala UPT Citrha Aditur Bahri di Dinas Kelautan dan Perikanan UPT Konservasi
Penyu Kota Pariaman.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data tambahan atau data pendukung yang memiliki
kekuatan mengikat yang diperoleh dari bahan-bahan berupa dokumen dan
sumber-sumber lainnya.

3.2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Perlindungan hukum terhadap penyu sebagai satwa langka yang di lindungi
menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES)

Saat ini semua jenis penyu yang berada di perairan Indonesia telah dlindungi oleh
pemerintah Republik Indonesia, khusus untuk Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricata).

bila mengalami populasi berlebihan, telurnya dapat dimanfaatkan sesuai SK Menteri


Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 751/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara
Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Berburu Telur Penyu Hijau
(Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Mengenai perburuan telur

P a g e 11 | 17
penyu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.13 tahun 1994 tentang
Perburuan Satwalangka.

Dinas Kelautan dan Perikanan yang merupakan leading sektor untuk sumberdaya
perikanan dan masyarakat pesisir pada tahun 2013 membentuk unit pelaksana teknis
dibidang Konservasi Penyu guna membantu tercapainya visi dan misi Dinas Kelautan
dan Perikanan khususnya UPT Konservasi Penyu. UPT. Konservasi Penyu Kota
Pariaman dapat dilihat bagaimana penyu hidup dikawasan Pariaman dipelihara dalam
sebuah penangkaran, ada berbagai macam penyu yang dapat lihat seperti penyu lekang,
penyu hijau, dan penyu sisik. Sejak 2009 tempat penangkaran penyu ini telah melakukan
penangkaran kurang lebih 3.000 ekor penyu. Setelah melewati masa penangkaran,
sebagian besar penyu-penyu tersebut dilepaskan kelaut.

B. Kendala dan upaya yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan UPT
Konservasi Penyu dalam melindungi satwa langka yang dilindungi menurut
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES)

UPT. Konservasi Penyu berada dibawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Pariaman yang memiliki 9 tenaga kerja yang mempunyai bagian masing-masing
baik meliputi kegiatan rutin ataupun operasional guna menunjang terlaksananya
Konservasi Penyu yang berazazkan lingkungan serta multi effect kepada masyarakat,
diantara adanya ruang inkubasi peneluruan penyu, ruang karantina, pos jaga, kantor, dan
ruang informasi serta fasilitas menyelam untuk pelaksanaan monitoring terumbu karang
yang merupakan satu kesatuan dalam sebuah siklus kehidupan penyu.

Akan tetapi masih saja ada beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, yang
masih menjual atau memperdagangkan telur penyu itu sendiri, karena masyarakat yang
tinggal di kawasan konservasi tersebut menjadikan telur penyu sebagai mata pencarian.

Kendala yang dihadapi UPT. Konservasi Penyu dalam melakukan pemeliharaan dan
Pelestarian penyu di Kota Pariaman:
a. Masyarakat di kawasan konservasi menjadikan telur penyu sebagai mata pencarian.

P a g e 12 | 17
b. Kurangnya tenaga kerja dalam melakukan pengawasan di sepanjang pantai Kota
Pariaman dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Kasiak, Pulau Tangah, Pulau Angso
Duo,dan Pulau Ujung.
c. Masih ada beberapa masyarakat yang masih memperjual belikan telur penyu walau
sudah diberi peringatan.
d. Tahun 2016 UPT. Konservasi Penyu mengalami pengurangan dana untuk modal yang
diberikan kepada masyarakat yang masih menjadikan telur penyu sebagai mata
pencarian.
Dalam pelaksanaan teknis di lapangan sendiri upaya-upaya yang dilakukan oleh UPT.
Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah sebagai berikut:

1. Menentukan titik penelusuran penyu, karena penyu selalu berpindah-pindah tempat.

2. Memindahkan telur penyu dari sarang alami ke sarang penetasan semi alami atau
sarang penetasan buatan.

3. Melakukan penetasan telur penyu.

4. Melaksanakan pelepasan tukik hasil penetasan kelaut.

5. Melakukan perawatan dan pemeliharaan penyu di kolam sentuh dan hachery.


6. Menjaga keamanan penyu yang naik kepantai untuk bertelur dari gangguang para
pencuri telur penyu.

7. Menyusun data yang meliputi penyu yang naik bertelur, penyu yang naik tidak bertelur,
jumlah telur yang ditetaskan, lamanya masa inkubasi, jumlah tukik hasil penetasan,
jumlah tukik yang dilepaskan kelaut dan jumlah penyu yang di pelihara untuk
disampaikan kepada petugas pengola data dan informasi sebagai bahan laporan kepada
kepala UPTD Konservasi Penyu Kota Pariaman.

8. Melaksanakan kegiatan razia tim gabungan dalam rangka pengawasan dan


pengamanan kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman.

9. Melaporkan kejadian gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di kawasan


konservasi penyu kota Pariaman kepada kepala UPTD konservasi penyu kota Pariaman.

P a g e 13 | 17
10. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat kawasan konservasi penyu, bahwa penyu
merupakan satwa langka yang harus dlindungi karena kepunahannya, karena penyu
merupakan ekosistem laut yang sangat berpengaruh dan dilindungi di tingkat
internasional.

11. Menyusun data yang terkait dengan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di
kawasan konservasi Taman Pesisir Pantai Penyu kota Pariaman untuk disampaikan
kepada petugas pengelola dat dan informasi sebagai bahan laporan kepala UPTD
Konservasi Penyu Kota Pariaman.Upaya-upaya yang telah terealisasikan oleh Dinas
kelautan dan Perikanan UPT Konservasi Penyu dengan melakukan sosialisasi dan
pembinaan terhadap masyarakat tentang kawasan konservasi penyu yang saat ini
dititikberatkan kepada upaya pelestarian penyu, kegiatan penyelamatan telur penyu
dilakukan sebagai bentuk percontohan nyata dan penyampaian informasi kepada
masyarakat tentang upaya pelestarian

P a g e 14 | 17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme yang
tinggi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati tertingi yang dilengkapi dengan keunikan tersendiri, membuat Indonesia memiliki
peran yang penting dalam perdagangan satwa di dunia, sehingga Indonesia menjadi
salah satu pemasok terbesar perdagangan satwa dunia.

Banyak hal yang menyebabkan tingginya ancaman kepunahan dari jenis satwa liar
tersebut. Hutan dikonversi menjadi pemukiman, lahan pertanian, perkebunan serta
terjadi eksploitasi sumber daya alam di hutan secara berlebihan. Lahan habitat alami
satwa liar yang kemudian menjadi korban. Kondisi ini diperparah dengan tingginya
perburuan dan perdagangan liar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Semua ini
disebabkan rendahnya tingkat pengawasan dan penegakan hukum terhadap berbagai
eksploitasi ilegal satwa liar dan tingkat perburuan liar sangat tinggi. Tingginya tingkat
perburuan dan perdagangan liar ini karena tingginya permintaan pasar terhadap jenis-
jenis satwa liar, ditambah penawaran harga yang tinggi untuk jenis-jenis satwa yang
sangat langka.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang


pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.Terdapat beberapa pasal larangan dan sanksi
diantaranya seperti di bawah ini Pasal 21(2) Setiap orang dilarang untuk : menangkap,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
mati; mengeluarkan satwa yang dlindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
dalam atau di luar Indonesia;memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh,
atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang yang dibuat dari bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia; mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 40(2)

P a g e 15 | 17
Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)

4.2 Saran

Melestarikan hewan langka bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi
justru merupakan tanggung jawab kita semua dari berbagai lapisan masyarakat, karena
manusialah yang mendapatkan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai upaya mempertahankan hewan langka, perlu dilakukan pemantauan dan
evaluasi. Memberikan sanksi kepada masyarakat yang melakukan perburuan hewan
langka untuk mencari keuntungan dan menjadikan tindakan tersebut sebagai mata
pencaharian. Sehingga sudah seharusnya aturan-aturan tersebut tidak lagi berupa
peringatan akan tetapi berupa hukuman.

Kesadaran manusia akan pentingnya keseimbangan diharapkan sekali dalam usaha


pelestarian maakhluk hidup. Pemburuan liar yang dilakukan menangkap hewan harus di
hindari dan didukung dengan cara tidak membeli hewan langka dan bagian hewan
tersebut. Dengan demikian usaha penjualan hewan langka menjadi terhenti.

P a g e 16 | 17
Daftar Pustaka
1. Sukanda Husin, 2009 Hukum Lingkungan Internasional,hlm. 3
2. Jatna Suriatna, Melestarikan Alam Indonesia, (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia,2008) hal 115
3. Daud Silalahi,1992, Hukum Lingkungan, PT Alumni, Bandung hal 18
4. Sugeng Istanto,1991, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, hal 46
5. Article xvii Convention on International Trade in Endangered of Species Wild
Fauna and Flora (CITES)
6. Muhammad Iqbal, 2014, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan dan
Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin di Indonesia’.
7. Laden Marpaung,1995, Tindak pidana Terhadap Hasil Hutan dan Satwa,
Erlangga Press, Surabaya, Hal 49
8. Rahayu S, Dewi S, Harja D, Hairiah K, Pambudi S. 2016. Keanekaragaman
hayati pada bentang lahan: pemahaman, pemantauan dan evaluasi. Bahan
Ajar 3. Bogor, Indonesia

P a g e 17 | 17

Anda mungkin juga menyukai