Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGELOLAAN PERIKANAN HIU MARTIL DI ACEH DALAM


IMPLEMENTASI ATURAN CITES

Disusun oleh :

NAMA : PUTRI ULANDARI

NIM : 4012011069

MATKUL : HUKUM LAUT INTERNASIONAL

KELAS :C

JURUSAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI............................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2

BAB III PENUTUP.................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

Maraknya perdagangan illegal flora dan fauna (spesies) langka


mengancam keberlangsungan hidup spesies tersebut. Keuntungan yang besar
serta belum optimalnya upaya penegakan hukum membuat banyak masyarakat
yang memperdagangkan spesies langka secara illegal. Kehidupan spesies
langka telah diambang kepunahan apabila usaha perlindungan dan
pelestariannya tidak dilakukan secara maksimal.1

Melihat kenyataan tersebut, International Union for Conservation of


Nature and Natural Resources (IUCN) menganjurkan pembatasan
perdagangan spesies langka dengan lahirnya sebuah perjanjian internasional
yang disebut CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Permasalahan perdagangan spesies langka
yang sedang marak terjadi sangatlah menarik untuk dikaji terutama dalam
penerapan peranan CITES dalam menangani perdagangan spesies langka yang
salah satunya yaitu spesies endemik hiu martil dan hiu koboy yang ada di
Indonesia terutama di perairan Aceh.

Hiu telah menjadi permasalahan internasional sejak tahun 2013,


setelah masuknya beberapa spesies hiu dalam status Apendiks II CITES yang
disebabkan oleh tingginya eksploitasi penangkapan hiu. Ekspoitasi hiu di
Indonesia dilakukan pada aerah potensial pelepasan anakan hiu yaitu di daerah
kawasan terumbu karang, di perairan pantai yang dangkal, atau wilayah
estuari di mana perairan tersebut merupakan tempat mencari makan.2

Berdasarkan pada laporan CITES, terdapat lima spesies hiu yang


masuk dalam daftar Appendix II, empat spesies diantaranya terdapat di
Indonesia yaitu tiga spesies hiu martil dan hiu koboy. Menurut laporan FFI
Aceh (2010) tiga diantaranya terdapat di perairan aceh yaitu dua spesies hiu
martil dan hiu koboy.

1
Supriatna, Jatna. 2008, Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 16.
2
Fredi Lesmana, Maria Ulfah, M.Si, dan Rizwan, MT, “Identifikasi Spesies Hiu yang Tertangkap di
Perairan Utara Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Vol.3, No.1:
Februari 2018, hal. 40.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam tingkat internasional, perlindungan ikan hiu diatur secara detail


dalam ketentuan-ketentuan internasional. Hiu yang telah menjadi permasalahan
internasional sejak tahun 2013 setelah masuknya beberapa spesies hiu dalam
status Apendiks II CITES. Kegiatan penangkapan yang berlebihan tanpa
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi hiu secara cepat dan
memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali.3 Tingkat permintaan yang
besar dan nilai jual yang tinggi itulah yang membuat ikan hiu menjadi komoditas
utama dari perdagangan internasional.

Pengelolaan perikanan dan konservasi hiu di Indonesia hingga saat ini


belum dilaksanakan secara optimal, salah satu kendalanya yaitu informasi terkait
potensi dan status hiu masih sangat terbatas (Bangun dan Pahlawan, 2014).4 Aceh
memiliki ekosistem pesisir dan laut mulai dari mangrove, padang lamun, terumbu
karang, hingga laut dalam.5 Di antara ekosistem tersebut, ikan hiu menjadi salah
satu kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Perairan aceh. Selain sebagai
penyeimbang ekosistem di laut, ikan hiu memiliki nilai komersial yang cukup
tinggi, mulai dari sirip, kulit, daging hingga organ dalam ikan hiu yang
dipergunakan untuk pemenuhan hidup manusia.

Sebagai negara yang telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden


Nomor 43 tahun 1978, Indonesia memiliki kewajiban untuk menanggulangi
masalah perdagangan dan ekspoitasi terhadap satwa-satwa hewan endemik yang
masih terjadi. Hingga saat ini pemanfaatan sumber daya hiu masih belum
mengikuti cara-cara yang baik dan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara tingkat pemanfaatan dengan tingkat pertambahan populasi.6 Indonesia yang
3
Fredi Lesmana, Maria Ulfah, M.Si, dan Rizwan, MT, “Identifikasi Spesies Hiu yang Tertangkap di
Perairan Utara Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Vol.3, No.1:
Februari 2018, hal. 40
4
Vista Dhea Nurastri dan Ilham Marasabessy, “Status Konservasi Ikan Terancam Punah yang
Diperdagangkan Keluar kota Sorong (Studi Kasus: Ikan Hiu Berdasarkan Identifikasi di Loka
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sorong” JRP,
5
Vol. 3, No. 1, Februari 2021, hal. 304.
Anonimus, “Praktek Penangkapan Hiu di Aceh”, Makalah, Sekretariat Aceh Green, hal.2.
6
Ollani Vabiola Bangun, “Efektivitas CITES Dalam Mengatur Perdagangan Hiu di Kawasan Coral
Triangel (Implementasi di Indonesia)”, Jom FISIP, Vol.1 No.2, Oktober 2014, hal. 3.

2
meratifikasi CITES tersebut memiliki kepentingan untuk melaksanakan program
perlindungan dan pelestarian spesies biota yang masuk dalam daftar Apendiks
CITES. Perlindungan terhadap hiu di Indonesia berpedoman pada IUCN dan
CITES. Dalam CITES telah menetapkan beberapa jenis hiu masuk ke dalam
Appendix II pada tahun 2013 yang beberapa diantaranya yaitu hiu martil dan hiu
koboy.

Dengan dicantumkannya beberapa spesies ikan hiu dalam daftar apendiks


CITES tersebut, maka akan berimplikasi pula pada ketentuan perdagangan
internasional. Selain itu dengan mencantumkan spesies-spesies ikan hiu ke dalam
Apendiksnya, secara tidak langsung CITES telah memberikan kontribusinya
dalam perlindungan terhadap ikan hiu, dikarenakan spesies-spesies ikan hiu yang
telah dicantumkan ke dalam Apendiks tidak boleh diperdagangkan secara bebas.
Masuknya beberapa spesies hiu dalam daftar Appendix CITES tidak dimaknai
bahwa sumber daya tresebut tidak boleh dimanfaatkan, namun pemanfaatannya
harus dilakukan dengan kontrol yang ketat. 7 Ikan hiu martil yang merupakan salah
satu satwa liar yang masuk kedalam daftar IUCN sebagai hewan yang genting
akan kepunahan (endangered) dan Appendix II CITES.8

Spesies yang tercantum di dalam Appendix II CITES meliputi spesies


yang tingkat ancaman terhadap kepunahannya saat spesies tersebut
diklasifikasikan tidak setinggi spesies dalam Appendix I. Spesies-spesies ini dapat
menjadi terancam oleh kepunahan apabila perdagangan terhadap spesies tersebut
tidak diatur melalui ketentuan yang ketat yang ditujukan untuk menghindari
pemanfaatan spesies tersebut yang tidak sesuai dengan kebutuhan spesies tersebut
untuk bertahan hidup.

Implementasi secara nasional dari aturan CITES tersebut dituangkan


dalam PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar,
sedangkan secara operasional diatur dalam SK Menhut No. 447/Kpts-II/2003
Tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan
7
Bagus Dewana, Siti Kotjah, dan Agustina Wati, “Perlindungan Ikan Hiu Belimbing (Stegostoma
Fasciatum) Dari Aktifitas Illegal Fishing” e-journal.fh.unmul.ac.id hal.25.
8
Lisa Regina Syahfriliani, S.H dan Dr. Dessy Sunarsi, S.H, M.M, “Perlindungan Hukum Terhadap
Perdagangan Satwa Liar Jenis Ikan Hiu di Indonesia”, Supremasi Jurnal Hukum, Vol.3, No. 1, 2020,
hal. 243.

3
Satwa Liar. Selanjutnya pemerintah Indonesia juga telah menunjuk Otoritas
Pengelola dan Otoritas Keilmuan CITES di Indonesia. Kementerian Kehutanan
berdasarkan Pasal 65 PP No. 8 Tahun 1999 ditunjuk sebagai Otoritas Pengelola
konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.

Perlindungan hukum terhadap perdagangan ikan hiu martil di indonesia


ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya berdasarkan Pasal 20 ayat (2) terhadap jenis
tumbuhan dansatwa yang dilindungi, yaitu: (a) tumbuhan dan satwa dalam bahaya
kepunahan, (b) tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang. Namun dalam
pelaksanaannya perdagangan ikan khusunya ikan hiu martil mengacu pada
Permen No. 61/PERMEN-KP/2018 dilakukan dengan kuota ekspor sedangkan di
dalam negeri tidak ada regulasi yang mengatur perdagangan ikan hiu martil yang
terancam punah. Akibatnya tidak ada larangan dalam praktik perdagangan jenis
ikan hiu martil baik secara utuh maupun bagian-bagiannya.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA)


ditunjuk sebagai Pelaksana Otoritas Pengelola CITES di Indonesia melalui
KepMenhut No. 447/Kpts-II/2003. Selain itu, PP No. 8 tahun 1999 juga menunjuk
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Otoritas Keilmuan CITES
dan dalam Keputusan Ketua LIPI No. 1973 tahun 2002. PERMEN No.
5/PERMEN-KP/2018 tentang Larangan Pengeluaran Hiu Koboi dan Hiu Martil
dari wilayah negara Republik Indonesia ke luar wilayah negara Republik
Indonesia hanya mengatur bahwa setiap oramg dilarang mengeluarkan (ekspor)
ikan hiu koboi dan hiu martil serta produk pengolahannya dari wilayah negara
Republik Indonesia. PERMEN tersebut hanya secara tegas menyatakan hanya
membatasi pelarangan perdagangan hiu keluar negeri atau wilayah indonesia
hanya sampai tanggal 31 desember 2018, sehingga perdagangan hiu masih terjadi
di dalam negeri.9

Sejak September 2014, pemerintah Indonesia melalui Kementerian


Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan beberapa upaya mengikuti adopsi

9
Lisa Regina Syahfriliani, S.H dan Dr. Dessy Sunarsi, S.H, M.M, “Perlindungan Hukum Terhadap
Perdagangan Satwa Liar Jenis Ikan Hiu di Indonesia”, Supremasi Jurnal Hukum, Vol.3, No. 1, 2020,
hal. 245.

4
Appendix II CITES diantaranya yaitu: (a) penangkapan emapt jenis spesies iakn
hiu demi tujuan ekspor masih diperbolehkan namun dengan mengikuti aturan
yang ketat; (b) ekspor ikan hiu hanya dapat dilakukan jika terdapat surat izin yang
dikeluarkan oleh otoritas manajemen; (c) manajemen otoritas hanya boleh
memberikan izin jika terdapat rekomendi ilmiah/persetujuan ari otoritas keilmiuan
(LIPI); (d) rekomendasi atau persetujuan ilmiah ini hanya dapat diberikan jika
penangkapan hiu dilakukan dengan prinsip NDF yakni upaya yang direncanakan
sedemikian rupa agar aktivitas penangkapan tersebut tidak sampai menciptakan
kepunahan (Aditya, 2016).

Setiap perdagangan baik ekspor, impor atau re-ekspor dari spesies ikan hiu
yang termasuk kedalam apendiks CITES harus dilengkapi dengan dokumen
CITES yang diterbitkan oleh Otoritas Pengelola masing-maisng negara. Aturan ini
berlaku untuk semua spesimen hidup atau mati, dan produk yang menggunakan
bagian-bagian atau turunan daripadanya. Apabila ekspor, impor atau re-ekspor
dilakukan oel negara yang bukan anggota, maka dokumen harus diterbitkan oleh
otoritas yang setara dan berkompeten dalam negara tersebut yang pada pokoknya
memenuhi persyaratan konvensi mengenai izin dan sertifikat dan dapat diterima
sebagai penggantinya oleh negara anggota CITES.

Apabila ada perdagangan spesimen ikan hiu dalam apendiks CITES tanpa
dilengkapi dokumen CITES, maka negara anggota harus mengambil tindakan
yang sesuai dengan menegakkan ketentuan-ketentuan konvensi dan melarang
perdagangan spesimen yang melanggar konvensi. Tindakan tersebut berupa
menghukum perdagangan atau pemilikan spesimen tersebut atau
mengembalikannya ke negara asalnya. Dalam hal spesimen hidup disita, spesimen
tersbut harus diserahkan kepada otoritas pengelola dari negara yang disita dan
otoritas pengelola setelah berkonsultasi dngan negara pengekspor harus
mengembalikan spesimen sitaan tersebut dengan biaya dari negara tersebut atau
diserahkan ke tempat lain dimana otoritas pengelola menganggap tempat tersebut
sesuai dan konsisten dengan tujuan konfensi dan otoritas pengelola dapat mencari
pendapat lain dari sekretariat CITES untuk mengambil keputusan yang akan
dilakukan.

5
Untuk persoalan sanksi, tidak ada satu pasal pun di dalam konvensi CITES
yang khusus mengatur mengenai sangsi, namun sebagai sangsi kepada para pihak
dapat dikaitkan dengan ketidaktaatan para pihak dalam menaati ketentuan-
ketentuan konvensi ini. Pelanggaran dapat diberikan sanksi berupa pemberian
saran maupun peringatan kepada pihak terkait atau dapat juga berupa pencabutan
dana yang diberikan, pencabutan bantuan teknis atau penarikan denda sesuai
dengan kesepakatan. Di Indonesia aturan yang digunakan dalam perdagangan
berbagai spesies ikan termasuk ikan hiu mengacu pada Permen kelautan dan
perikanan nomor PER.04/MEN/2010 yang merupakan implementasi dari CITES
yang berhubungan dengan sumber daya ikan di Indonesia. Berkenaan dengan
kegiatan perdagangan didalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa spesies ikan
dan genetik ikan yang dapat diperdagangkan hanya di peroleh langsung dari alam
ataupun hasil perkembangbiakan.

Berdasarkan data statistik dari DKP Provinsi Aceh menunjukan bahwa


hasil tangkapan ikan hiu untuk wilayah pantai barat Aceh dari tahun 1990 hingga
tahun 1996 meningkat setiap tahun. Namun terjadi penurunan sebesar 75% pada
tahun 2005 hal ini disebabkan oleh rusaknya atau hilangnya plabuhan-plabuhan
pada wilayah pantai barat Aceh yang diakibatkan oleh bencana stunami yang
terjadi pada desember 2004. Penangkapan ikan hiu yang di lakukan oleh nelayan
Aceh sudah lumayan lama namun tidak di ketahui tepatnya pada tahun berapa.
Mengenai populasi ikan hiu di Aceh sudah mengalami penurunan
kemungkinanhal itu disebabkan karna banyak nya penangkapan yang dilakukan
terhadap populasi ikan hiu tersebut.

Sejak tahun 1970, usaha perikanan hiu di Indonesia telah berlangsung


sangat pesat, meskipun usaha perikanan hiu di Indonesia merupakan hasil usaha
sampingan dari usaha perikanan lainnya, akan tetapi produksi yang dihasilkan
menunjukkan hasil yang signifikan, dimana terjadi peningkatan produksi dari
tahun ke tahun.10 Sejak tahun 1988 terjadi peningkatan produksi terhadap sirip
hiu karena banyaknya permintaan terhadap sirip hiu di seluruh dunia. Di
Indonesia, peningkatan tersebut ditunjukkan dari perkembangan perikanan hiu

10
Priyanto Rahardjo, “Hiu dan Pari Indonesia (Biologi, Ekspoitasi, Pengelolaan, Konservasi)”, Balai
Riset Perikanan Laut, edisi I Agustus 2009 hal 16.

6
yang cukup pesat dimana dibeberapa daerah sentra nelayan Indonesia menjadikan
komoditi hiu sebagai hasil tangkapan utamanya.11

Perlindungan hukum terhadap perdagangan hiu martil di Indonesia bisa


dikatakan masih lemah dikarenakan belum adanya regulasi yang mengatur secara
tegas tentang larangan perdagangan ikan hiu yang terancam punah khususnya ikan
hiu martil serta lemahnya sistem perlindungan hukum yang dibangun oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga aktivitas perdagangan ikan hiu
martil masih bebas dilakukan. Ketersediaan buku dan panduan pengenalan jenis
hiu apediks CITES merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia sebagai
negara anggota CITES untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah
ditetapkan dalam sidang CoP CITES.12 Dengan tersedianya panduan-panduan
tersebut, diharapakn dapat mempermudah identifikasi hiu CITES.

Di provinsi Aceh, yang menangani masalah kuota untuk spesies-spesien


yang masuk ke dalam Apendiks CITES termasuk ikanm masih berada pada Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), karena saat ini Otoritas Pengelola
CITES di bidang sumber daya ikan msih dilaksanakan oleh Kementerian
Kehutanan c/q Ditjen PHKA. Akan tetapi untuk ikan hiu sampai saat ini belum
ada informasi mengenai kuotanya, dan juga mengenai kewenangan pemberian
izinnya pun maish simpang siur antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun jika pelaksanaan CITES di bidang sumner
daya ikan sudah dilimpahkan kepada KKP c/q Ditjen KP3K maka untuk
pelaksanaan pengaturan kuota untuk jenis ikan yang masuk dalam daftar apendiks
CITES tidak lagi menjadi kewenangan dari BKSDA.

Flora and fauna internasional (FFI) merupakan salah satu LSM dibidang
konservasi lingkungan telah melakukan beberapa upaya yang berkaitan dengan
perlindungan terhadap ikan hiu. Sejauh ini FFI sudah mulai mencoba melakukan
komunikasi mengenai pengelolaan terhadap ikan hiu dengan DKP Provinsi Aceh.
Pihak dari DKP Provinsi Aceh juga telah melakukan penelitian awal dengan
membentuk tim khusus yang menangani masalah ikan hiu. Setelah mengetahui

11
Fahmi dan Dharmadi, Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Osenan, Volume XX,
Nomor 1, 2005 : 6
12
Fahmi, “ Mengenal Jenis Hiu Apendiks II CITES”, Oseana, Vol. XLIII, No.4, 2018, hal.14.

7
informasi mengenai jenis-jenis ikan hiu,k rencana nya DKP Provinsi Aceh akan
menyusun rencana kerja terkait dengan pengelolaan ikan hiu yang ada di Aceh
terutama untuk ikan hiu yang terancam dan sudah masuk ke dalam daftar apendiks
II CITES seperti ikan hiu martil dan ikan hiu koboy.

Sejak adanya inisiasi untuk merespon kebijakan dari konfensi CITES, FFI
berharap untuk kebijakan terhadap pengelolaan ikan hiu itu dapat masuk ke dalam
kawasan pengelolaan wilayah laut yang berbasis masyarakat tersebut. Ketika
adanya isu mengenai ikan hiu, FFI berencana untuk melakukan pengontrolan
terhadap penampakan ikan hiu di aceh. Berkaitan dengan perlindungan jnis ikan
hiu yang sudah dilarang penangkapannya sebenarnya juka merupakan tugas dari
satuan kerja pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan atau yang dikenal
dengan pengawas perikanan.

PPS Lampulo yang merupakan satu-satunya pelabuhan perikanan


samudera yang terletak di Provinsi Aceh. PPS Lampulo yang direncanakan akan
menjadi pusat kawasan industri perikanan terbesar di Pulau Sumatera yang
membuat kawasan pelabuhan ini ramai disinggahi oleh kapal-kapal penangkap
ikan tak terkecuali untuk kapal penangkap ikan hiu. Jenis ikan hiu yang didaratkan
di PPS Lampulo pun beranekaragam mulai dari jenis ikam hiu Lanjaman sampai
dengan jenis ikan hiu yang masuk ke dalam daftar apendiks CITES seperti ikan
hiu koboi dan ikan hiu martil Di PPS Lampulo pengawas perikanan juga telah
bertindak mengawasi penangkapan beberapa jenis ikan yang terancam punah.
Apabila para nelayan menangkap jenis ikan yang sudah di larang seperti ikan hiu
maka tindakan awal akan dikenakan teguran lisan namun jika tetap tidak dipatuhi
baru kemudian akan dilakukan penindakan lebih lanjut.

Untuk melaksanakan lebih jauh ketentuan CITES harus ada undang-


undang lain yang lebih lengkap untuk melaksanakan ketentuan CITES yang
didukung oleh peraturan tentang kehutanan yang sejalan. Apabila suatu negara
tidak mempunyai perangkat hukum yang lengkap dalam melaksanakan CITES,
secara teoritis penegakan hukum untuk implementasi CITES juga akan lemah.

Terkait dengan pelaksanaan aturan CITES yang dilakukan oleh pemerintah


Aceh di Provinsi Aceh berkenaan dengan perikanan hiu yang sebenarnya juga

8
mengalami berbagai kendala. Diantaranya seperti kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ikan hiu dilingkungan laut. Selain itu banyaknya
permintaan terhadap komuditas ikan hiu yang berdampak negatif karena akan
memicu penangkapan dan perdagangan ilegal. Ikan hiu yang banyak ditangkap
oleh nelayan Aceh juga yang sudah dikategorikan kedalam ikan hiu yang sudah
dilindungi.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan terkait perdagangan satwa


langka atau hewan endemik yang dilindungi yaitu dengan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah. Hal itu dilakukan agar satwa langka mendapatkan perlindungan
guna mempertahankan habitatnya secara berkesinambungan.13 Kemudian bentuk
perlindungan yang bisa dilakukan yaitu dengan perlindungan cara represif dengan
membuat regulasi baik nasional maupun regulasi di tingkat daerah yang
memberikan sanksi yang sangat tinggi kepada para pelaku perburuan ikan hiu.14

Perlindungan yang diberikan pemerintah salah satunya dengan


perlindungan hukum preventif dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan
maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban. Salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah yakni terdapat pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.15

Penegakan ketentuan CITES memiliki kelemahan yaitu hanya memuat


upaya pelaksanaan aturan yang bersifat umum dan mengembalikan pada masing-
masing negara anggota dalam perumusannya sebagaimana hal ini tercantum pada
artikel VIII CITES. Karena kelemahan inilah yang membuat implementasi aturan
CITES tidak dapat berjalan karena hanya beberapa negara anggota yang memiliki

13
Novarisa Permatasari, “Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan Satwa Langka di
Indonesia”, Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5, No.1, Juni 2021, hal. 84.
14
Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, “Perlindungan Hukum Terhadap Ikan Hiu dan Ikan
Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut di Indonesia”, Legality, Vol.24, No.2,
September 2016-Februari 2017, hal. 232.
15
Safrizal, “Perlindungan Hukum terhadap Satwa Liar (Studi Konflik Gajah dengan Manusia di
Aceh Timur) Menurut Hukum Pidana Islam”(Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2019), hal. 17.

9
undang-undang mengenai perlindungan satwa yang memadai. Hasilnya, tingkat
perburuan liar dan penyelundupan satwa masih tetap tinggi.16

Sistem pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan


Perikanan masih belum optimal karena wilayah perairan Indonesia sangat luas.
Selain itu juga belum adanya regulasi yang jelas mengenai perlindungan hukum
terkait perdagangan jenis hiu yang terancam punah khususnya ikan hiu martil
sehingga timbul kendala dalam pengawasan kegiatan perdagangan ikan hiu.

Terkait dengan permasalahan implementasi aturan CITES di Indonesia


terkait dengan hiu, sebenarnya Indonesia sudah mulai membuat beberapa
peraturan yang meskipun tidak terkait langsung dengan hiu.17 Misalnya
pelarangan penggunaan pukat harimau yang dapat mengurangi pennagkapan hiu
sampingan. Selain itu Indonesia juga sudah mulai bekerjasama dengan negara
regional dan pihak LSM untuk berperan serta dalam pelaksanaan aturan CITES
yang ada.

Namun, pelaksanaan CITES di Indonesia terkait dengan aturan hiu belum


bisa dikatakan efektif karena masih banyak masalah yang harus dihadapi
Indonesia dalam rangka pemanfaatan komoditas hiu secara berkelanjutan.Untuk
melaksanakan lebih jauh ketentuan CITES harus ada undang-undang lain yang
lebih lengkap untuk melaksanakan ketentuan CITES yang didukung oleh
peraturan tentang kehutanan yang sejalan. Apabila suatu negara tidak mempunyai
perangkat hukum yang lengkap dalam melaksanakan CITES, secara teoritis
penegakan hukum untuk implementasi CITES juga akan lemah.

16
A.A. Alit Mas Putri Dewanti dan Edward Thomas Lamury Hadjon, “Pengaturan Hukum Terhadap
Perdagangan Spesies Langka Berdasarkan CITES”, Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol.03.
No.03, September 2015 hal.5.
17
Ollani Vabiola Bangun, “Efektivitas CITES Dalam Mengatur Perdagangan Hiu di Kawasan Coral
Triangel (Implementasi di Indonesia)”, Jom FISIP, Vol.1 No.2, Oktober 2014, hal. 9.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pelaksanaan CITES terhadap perikanan hiu di Aceh khususnya ikan hiu
martil dan ikan hiu koboy bisa dikatakan berjalan efektif karena masih dalam
tahapan pengembangan aturan mengenai rancangan pengelolaan perikanan hiu
sosialisasi dan pendekatan kepada pihak terkait selain itu belum adanya
kebijakan atau perda yang dibuat dalam mengatur perlindungan dan
pengelolaan ikan hiu di Aceh.

Dalam pelaksanaan CITES terkait dengan perikanan hiu di Aceh masih


terdapat beberapa kendala yang perlu ntuk segera diatasi. Untuk melaksanakan
lebih jauh ketentuan CITES harus ada undang-undang lain yang lebih lengkap
untuk melaksanakan ketentuan CITES yang didukung oleh peraturan tentang
kehutanan yang sejalan. Apabila suatu negara tidak mempunyai perangkat
hukum yang lengkap dalam melaksanakan CITES, secara teoritis penegakan
hukum untuk implementasi CITES juga akan lemah.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu pemerintah seharusnya
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap jenis ikan
hiu yang terancam punah khususnya mengenai ikan hiu martil serta perlunya
peran pengawas oleh pemerintah daerah melalui dinas perikanan dan kelautan
yangada di daerah masing-masing.

11
DAFTAR PUSTAKA

A.A. Alit Mas Putri Dewanti dan Edward Thomas Lamury Hadjon, “Pengaturan
Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka Berdasarkan CITES”,
Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol.03. No.03, September 2015
hal. 1-5
Anonimus, “Praktek Penangkapan Hiu di Aceh”, Makalah, Sekretariat Aceh
Green.

Bagus Dewana, Siti Kotjah, dan Agustina Wati, “Perlindungan Ikan Hiu
Belimbing (Stegostoma Fasciatum) Dari Aktifitas Illegal Fishing” e-
journal.fh.unmul.ac.id hal. 19-29.
Cifebrima Suyastri, S.IP, MA, “Mengukur Efektivitas CITES dalam Menangani
perdagangan Satwa Liar dengan menggunakan Identifikasi Legalisasi
Artikel CITES”, Jurnal Transnasional, Vol.4, No.1, Juli 2012, hal. 790-
808.
Deby Dwika Andriana, “Kedudukan CITES Sebagai Salah Satu Konvensi
Internasional Tentang lingkungan Hidup Yang Mengatur Perdagangan
Spesies Langka”, Journal Ilmu Hukum, Vol.03, No.03, September 2015

Fahmi, “ Mengenal Jenis Hiu Apendiks II CITES”, Oseana, Vol. XLIII, No.4,
2018, hal. 1-17.

Fahmi dan Dharmadi, Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Osenan,
Volume XX, Nomor 1, 2005 : 1-8
Fredi Lesmana, Maria Ulfah, M.Si, dan Rizwan, MT, “Identifikasi Spesies Hiu
yang Tertangkap di Perairan Utara Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Vol.3, No.1: Februari 2018, hal. 39-45

Lisa Regina Syahfriliani, S.H dan Dr. Dessy Sunarsi, S.H, M.M, “Perlindungan
Hukum Terhadap Perdagangan Satwa Liar Jenis Ikan Hiu di Indonesia”,
Supremasi Jurnal Hukum, Vol.3, No. 1, 2020, hal. 241-251.
Made Ayu Ananda Aulia dan Reni Windiani, “Peran Pemerintah dalam
Perlindungan Hiu di Indonesia”, Journal of International Relations, Vol.
7, No.3, 2021, hal. 139-146.

12
Novarisa Permatasari, “Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan
Satwa Langka di Indonesia”, Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5, No.1,
Juni 2021, hal. 83-98.
Ollani Vabiola Bangun, “Efektivitas CITES Dalam Mengatur Perdagangan Hiu di
Kawasan Coral Triangel (Implementasi di Indonesia)”, Jom FISIP, Vol.1
No.2, Oktober 2014, hal. 1-12
Priyanto Rahardjo, “Hiu dan Pari Indonesia (Biologi, Ekspoitasi, Pengelolaan,
Konservasi)”, Balai Riset Perikanan Laut, edisi I Agustus 2009 hal 16.
Safrizal, “Perlindungan Hukum terhadap Satwa Liar (Studi Konflik Gajah dengan
Manusia di Aceh Timur) Menurut Hukum Pidana Islam”(Universitas
Islam Negeri Ar-Raniry, 2019).
Supriatna, Jatna. 2008, Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,.
Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, “Perlindungan Hukum Terhadap
Ikan Hiu dan Ikan Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut di
Indonesia”, Legality, Vol.24, No.2, September 2016-Februari 2017, hal.
223-235.

Vista Dhea Nurastri dan Ilham Marasabessy, “Status Konservasi Ikan Terancam
Punah yang Diperdagangkan Keluar kota Sorong (Studi Kasus: Ikan Hiu
Berdasarkan Identifikasi di Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Laut Sorong” JRP, Vol. 3, No. 1, Februari 2021, hal. 303-318.

13
LAMPIRAN JURNAL

14

Anda mungkin juga menyukai