Disusun oleh :
NIM : 4012011069
KELAS :C
JURUSAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
Supriatna, Jatna. 2008, Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 16.
2
Fredi Lesmana, Maria Ulfah, M.Si, dan Rizwan, MT, “Identifikasi Spesies Hiu yang Tertangkap di
Perairan Utara Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Vol.3, No.1:
Februari 2018, hal. 40.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
meratifikasi CITES tersebut memiliki kepentingan untuk melaksanakan program
perlindungan dan pelestarian spesies biota yang masuk dalam daftar Apendiks
CITES. Perlindungan terhadap hiu di Indonesia berpedoman pada IUCN dan
CITES. Dalam CITES telah menetapkan beberapa jenis hiu masuk ke dalam
Appendix II pada tahun 2013 yang beberapa diantaranya yaitu hiu martil dan hiu
koboy.
3
Satwa Liar. Selanjutnya pemerintah Indonesia juga telah menunjuk Otoritas
Pengelola dan Otoritas Keilmuan CITES di Indonesia. Kementerian Kehutanan
berdasarkan Pasal 65 PP No. 8 Tahun 1999 ditunjuk sebagai Otoritas Pengelola
konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.
9
Lisa Regina Syahfriliani, S.H dan Dr. Dessy Sunarsi, S.H, M.M, “Perlindungan Hukum Terhadap
Perdagangan Satwa Liar Jenis Ikan Hiu di Indonesia”, Supremasi Jurnal Hukum, Vol.3, No. 1, 2020,
hal. 245.
4
Appendix II CITES diantaranya yaitu: (a) penangkapan emapt jenis spesies iakn
hiu demi tujuan ekspor masih diperbolehkan namun dengan mengikuti aturan
yang ketat; (b) ekspor ikan hiu hanya dapat dilakukan jika terdapat surat izin yang
dikeluarkan oleh otoritas manajemen; (c) manajemen otoritas hanya boleh
memberikan izin jika terdapat rekomendi ilmiah/persetujuan ari otoritas keilmiuan
(LIPI); (d) rekomendasi atau persetujuan ilmiah ini hanya dapat diberikan jika
penangkapan hiu dilakukan dengan prinsip NDF yakni upaya yang direncanakan
sedemikian rupa agar aktivitas penangkapan tersebut tidak sampai menciptakan
kepunahan (Aditya, 2016).
Setiap perdagangan baik ekspor, impor atau re-ekspor dari spesies ikan hiu
yang termasuk kedalam apendiks CITES harus dilengkapi dengan dokumen
CITES yang diterbitkan oleh Otoritas Pengelola masing-maisng negara. Aturan ini
berlaku untuk semua spesimen hidup atau mati, dan produk yang menggunakan
bagian-bagian atau turunan daripadanya. Apabila ekspor, impor atau re-ekspor
dilakukan oel negara yang bukan anggota, maka dokumen harus diterbitkan oleh
otoritas yang setara dan berkompeten dalam negara tersebut yang pada pokoknya
memenuhi persyaratan konvensi mengenai izin dan sertifikat dan dapat diterima
sebagai penggantinya oleh negara anggota CITES.
Apabila ada perdagangan spesimen ikan hiu dalam apendiks CITES tanpa
dilengkapi dokumen CITES, maka negara anggota harus mengambil tindakan
yang sesuai dengan menegakkan ketentuan-ketentuan konvensi dan melarang
perdagangan spesimen yang melanggar konvensi. Tindakan tersebut berupa
menghukum perdagangan atau pemilikan spesimen tersebut atau
mengembalikannya ke negara asalnya. Dalam hal spesimen hidup disita, spesimen
tersbut harus diserahkan kepada otoritas pengelola dari negara yang disita dan
otoritas pengelola setelah berkonsultasi dngan negara pengekspor harus
mengembalikan spesimen sitaan tersebut dengan biaya dari negara tersebut atau
diserahkan ke tempat lain dimana otoritas pengelola menganggap tempat tersebut
sesuai dan konsisten dengan tujuan konfensi dan otoritas pengelola dapat mencari
pendapat lain dari sekretariat CITES untuk mengambil keputusan yang akan
dilakukan.
5
Untuk persoalan sanksi, tidak ada satu pasal pun di dalam konvensi CITES
yang khusus mengatur mengenai sangsi, namun sebagai sangsi kepada para pihak
dapat dikaitkan dengan ketidaktaatan para pihak dalam menaati ketentuan-
ketentuan konvensi ini. Pelanggaran dapat diberikan sanksi berupa pemberian
saran maupun peringatan kepada pihak terkait atau dapat juga berupa pencabutan
dana yang diberikan, pencabutan bantuan teknis atau penarikan denda sesuai
dengan kesepakatan. Di Indonesia aturan yang digunakan dalam perdagangan
berbagai spesies ikan termasuk ikan hiu mengacu pada Permen kelautan dan
perikanan nomor PER.04/MEN/2010 yang merupakan implementasi dari CITES
yang berhubungan dengan sumber daya ikan di Indonesia. Berkenaan dengan
kegiatan perdagangan didalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa spesies ikan
dan genetik ikan yang dapat diperdagangkan hanya di peroleh langsung dari alam
ataupun hasil perkembangbiakan.
10
Priyanto Rahardjo, “Hiu dan Pari Indonesia (Biologi, Ekspoitasi, Pengelolaan, Konservasi)”, Balai
Riset Perikanan Laut, edisi I Agustus 2009 hal 16.
6
yang cukup pesat dimana dibeberapa daerah sentra nelayan Indonesia menjadikan
komoditi hiu sebagai hasil tangkapan utamanya.11
Flora and fauna internasional (FFI) merupakan salah satu LSM dibidang
konservasi lingkungan telah melakukan beberapa upaya yang berkaitan dengan
perlindungan terhadap ikan hiu. Sejauh ini FFI sudah mulai mencoba melakukan
komunikasi mengenai pengelolaan terhadap ikan hiu dengan DKP Provinsi Aceh.
Pihak dari DKP Provinsi Aceh juga telah melakukan penelitian awal dengan
membentuk tim khusus yang menangani masalah ikan hiu. Setelah mengetahui
11
Fahmi dan Dharmadi, Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Osenan, Volume XX,
Nomor 1, 2005 : 6
12
Fahmi, “ Mengenal Jenis Hiu Apendiks II CITES”, Oseana, Vol. XLIII, No.4, 2018, hal.14.
7
informasi mengenai jenis-jenis ikan hiu,k rencana nya DKP Provinsi Aceh akan
menyusun rencana kerja terkait dengan pengelolaan ikan hiu yang ada di Aceh
terutama untuk ikan hiu yang terancam dan sudah masuk ke dalam daftar apendiks
II CITES seperti ikan hiu martil dan ikan hiu koboy.
Sejak adanya inisiasi untuk merespon kebijakan dari konfensi CITES, FFI
berharap untuk kebijakan terhadap pengelolaan ikan hiu itu dapat masuk ke dalam
kawasan pengelolaan wilayah laut yang berbasis masyarakat tersebut. Ketika
adanya isu mengenai ikan hiu, FFI berencana untuk melakukan pengontrolan
terhadap penampakan ikan hiu di aceh. Berkaitan dengan perlindungan jnis ikan
hiu yang sudah dilarang penangkapannya sebenarnya juka merupakan tugas dari
satuan kerja pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan atau yang dikenal
dengan pengawas perikanan.
8
mengalami berbagai kendala. Diantaranya seperti kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ikan hiu dilingkungan laut. Selain itu banyaknya
permintaan terhadap komuditas ikan hiu yang berdampak negatif karena akan
memicu penangkapan dan perdagangan ilegal. Ikan hiu yang banyak ditangkap
oleh nelayan Aceh juga yang sudah dikategorikan kedalam ikan hiu yang sudah
dilindungi.
13
Novarisa Permatasari, “Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan Satwa Langka di
Indonesia”, Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5, No.1, Juni 2021, hal. 84.
14
Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, “Perlindungan Hukum Terhadap Ikan Hiu dan Ikan
Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut di Indonesia”, Legality, Vol.24, No.2,
September 2016-Februari 2017, hal. 232.
15
Safrizal, “Perlindungan Hukum terhadap Satwa Liar (Studi Konflik Gajah dengan Manusia di
Aceh Timur) Menurut Hukum Pidana Islam”(Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2019), hal. 17.
9
undang-undang mengenai perlindungan satwa yang memadai. Hasilnya, tingkat
perburuan liar dan penyelundupan satwa masih tetap tinggi.16
16
A.A. Alit Mas Putri Dewanti dan Edward Thomas Lamury Hadjon, “Pengaturan Hukum Terhadap
Perdagangan Spesies Langka Berdasarkan CITES”, Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol.03.
No.03, September 2015 hal.5.
17
Ollani Vabiola Bangun, “Efektivitas CITES Dalam Mengatur Perdagangan Hiu di Kawasan Coral
Triangel (Implementasi di Indonesia)”, Jom FISIP, Vol.1 No.2, Oktober 2014, hal. 9.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pelaksanaan CITES terhadap perikanan hiu di Aceh khususnya ikan hiu
martil dan ikan hiu koboy bisa dikatakan berjalan efektif karena masih dalam
tahapan pengembangan aturan mengenai rancangan pengelolaan perikanan hiu
sosialisasi dan pendekatan kepada pihak terkait selain itu belum adanya
kebijakan atau perda yang dibuat dalam mengatur perlindungan dan
pengelolaan ikan hiu di Aceh.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu pemerintah seharusnya
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap jenis ikan
hiu yang terancam punah khususnya mengenai ikan hiu martil serta perlunya
peran pengawas oleh pemerintah daerah melalui dinas perikanan dan kelautan
yangada di daerah masing-masing.
11
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Alit Mas Putri Dewanti dan Edward Thomas Lamury Hadjon, “Pengaturan
Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka Berdasarkan CITES”,
Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Vol.03. No.03, September 2015
hal. 1-5
Anonimus, “Praktek Penangkapan Hiu di Aceh”, Makalah, Sekretariat Aceh
Green.
Bagus Dewana, Siti Kotjah, dan Agustina Wati, “Perlindungan Ikan Hiu
Belimbing (Stegostoma Fasciatum) Dari Aktifitas Illegal Fishing” e-
journal.fh.unmul.ac.id hal. 19-29.
Cifebrima Suyastri, S.IP, MA, “Mengukur Efektivitas CITES dalam Menangani
perdagangan Satwa Liar dengan menggunakan Identifikasi Legalisasi
Artikel CITES”, Jurnal Transnasional, Vol.4, No.1, Juli 2012, hal. 790-
808.
Deby Dwika Andriana, “Kedudukan CITES Sebagai Salah Satu Konvensi
Internasional Tentang lingkungan Hidup Yang Mengatur Perdagangan
Spesies Langka”, Journal Ilmu Hukum, Vol.03, No.03, September 2015
Fahmi, “ Mengenal Jenis Hiu Apendiks II CITES”, Oseana, Vol. XLIII, No.4,
2018, hal. 1-17.
Fahmi dan Dharmadi, Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Osenan,
Volume XX, Nomor 1, 2005 : 1-8
Fredi Lesmana, Maria Ulfah, M.Si, dan Rizwan, MT, “Identifikasi Spesies Hiu
yang Tertangkap di Perairan Utara Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Vol.3, No.1: Februari 2018, hal. 39-45
Lisa Regina Syahfriliani, S.H dan Dr. Dessy Sunarsi, S.H, M.M, “Perlindungan
Hukum Terhadap Perdagangan Satwa Liar Jenis Ikan Hiu di Indonesia”,
Supremasi Jurnal Hukum, Vol.3, No. 1, 2020, hal. 241-251.
Made Ayu Ananda Aulia dan Reni Windiani, “Peran Pemerintah dalam
Perlindungan Hiu di Indonesia”, Journal of International Relations, Vol.
7, No.3, 2021, hal. 139-146.
12
Novarisa Permatasari, “Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan
Satwa Langka di Indonesia”, Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5, No.1,
Juni 2021, hal. 83-98.
Ollani Vabiola Bangun, “Efektivitas CITES Dalam Mengatur Perdagangan Hiu di
Kawasan Coral Triangel (Implementasi di Indonesia)”, Jom FISIP, Vol.1
No.2, Oktober 2014, hal. 1-12
Priyanto Rahardjo, “Hiu dan Pari Indonesia (Biologi, Ekspoitasi, Pengelolaan,
Konservasi)”, Balai Riset Perikanan Laut, edisi I Agustus 2009 hal 16.
Safrizal, “Perlindungan Hukum terhadap Satwa Liar (Studi Konflik Gajah dengan
Manusia di Aceh Timur) Menurut Hukum Pidana Islam”(Universitas
Islam Negeri Ar-Raniry, 2019).
Supriatna, Jatna. 2008, Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,.
Zaka Firma Aditya dan Sholahuddin Al-Fatih, “Perlindungan Hukum Terhadap
Ikan Hiu dan Ikan Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut di
Indonesia”, Legality, Vol.24, No.2, September 2016-Februari 2017, hal.
223-235.
Vista Dhea Nurastri dan Ilham Marasabessy, “Status Konservasi Ikan Terancam
Punah yang Diperdagangkan Keluar kota Sorong (Studi Kasus: Ikan Hiu
Berdasarkan Identifikasi di Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Laut Sorong” JRP, Vol. 3, No. 1, Februari 2021, hal. 303-318.
13
LAMPIRAN JURNAL
14