Konvensi London tahun 1900 tidak pernah berlaku karena konvensi ini dianggap tidak
mencukupi batasan Minimal Negara yang mengidentifikasi oleh Negara yang menandatanganinya.
Sehingga konvensi ini tidak bertahan lama, hanya sampai Perang Dunia I.
2
Peter H. Sand, Whither CITES? The Evolution of a Treaty Regime in the Border land of Trade
and Environment, diakses dari : http://www.etil.org/journal/vol18/No1/art2-03
3
Ibid
2.
3.
4.
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi
perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yang terancam
punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak
hanya melindungi flora, namun juga fauna yang terancam kepunahan.
Apendiks I CITES
Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang
terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan
spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam
bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa,
misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang
termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran
atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan
beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus
melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen
dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap
perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor.
Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin
impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat
memelihara spesimen tersebut dengan layak.
http://www.ksda-bali.go.id/?p=314
hijau,
Dermochelys
coreacea/penyu
belimbing,
Apendiks II CITES
Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500
spesies. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan
mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas
pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor
spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.
Di Indonesia, yang termasuk dalam Appendix II yaitu mamalia 96 jenis,
Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis,
Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan
beberapa jenis yang masuk dalam CoP 13). satwa yang masuk dalam
Appendix II misalnya trenggiling (Manis javanica), serigala (Cuon
alpinus), merak hijau (Pavo muticus), gelatik (Padda oryzifora), beo
2.
3.
4.
5.
D. KLAUSULA CITES
CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington D.C., dari
80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu
langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut adalah
Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis,
Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama,
Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan
Venezuela.9 Negara peserta yang lain diberi waktu hingga 31 Desember 1974
untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli
1975.
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia (Jakarta:
Japan International Cooperation Agency, 2003), hal. 9.
Prinsip Precautionary
Dalam preamble CITES dikatakan bahwa setiap negara harus melakukan
pertimbangan dalam mengatur
sehingga
http://en.wikipedia.org/cites
dari
kegiatan
eksploitasi
yang
berlebihan12.
CITES
11
F. KOMENTAR
Perdagangan
spesies langka
beberapa spesies
spesies langka
spesies langka
melalui
sebuah
Management
Authorities.
Apalagi
sejak
diberlakukannya CITES (1 Juli 1975) tidak ada lagi spesies langka yang
mengalami kepunahan.
Indonesia yang telah meratifikasi CITES dengan Keputusan Pemerintah No.
43 Tahun 1978 merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat berlimpah. Keanekaragaman hayati tersebut merupakan potensi
untuk mendatangkan devisa bagi Negara, untuk itu CITES harus melindungi
keanekaragaman hayati tersebut dari ancaman kerusakan yang lebih parah,
atau bahkan kepunahan. Keunikan dan keanekaragaman hayati di Indonesia
seringkali menyebabkan para spesies tersebut menjadi sasaran bagi
perdagangan ilegal yang merugikan Negara dan hanya menguntungkan
individu saja. Karena itu perlu dibuat peraturan lebih lanjut agar CITES bisa
secara
komprehensif
diimplementasikan
sehingga
bisa
melindungi
10
DAFTAR PUSTAKA
11