Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi perdagangan komersial
internasional terhadap spesies-spesies yang terancam punah atau produk-produk lain yang
dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak hanya melindungi flora, namun juga fauna yang terancam
kepunahan.Spesies-spesies ang memiliki kemungkin terancam terhadap kepunahan
diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga appendiks yang terdapat di dalam CITES,dan spesies
tersebut menjadi subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.
Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan dari peserta konvensi yang menyadari
bahwa berbagai variasi satwa dan tumbuhan liar yang ada merupakan bagian dari sistem ekosistem
bumi yang tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka harus dilindungi untuk
generasi sekarang dan yang akan dating. Spesies-spesies tersebut memiliki nilai penting dalam
estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini maka
kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk menciptakan
perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari eksploitasi berlebihan yang
diakibatkan oleh perdagangan Internasional. dan sejak berlaku pada tahun 1975, tak ada lagi seekor
spesies pun yang mengalami kepunahan.
Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah suatu spesies terancam punah
(ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :
1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat perdagangan yang
dilakukan (Annex I)
2. Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran akan mengalami
kepunahan (Annex II)
3. Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah kepunahan akibat perdagangan
(Annex III)
Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh kepunahan namun
dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies
dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional
negara anggota untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan.
Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor harus memenuhi syarat (hal ini berlaku juga pada
negara yang hendak melakukan ekspor ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor telah memberikan nasehat bahwa ekspor spesies tersebut
tidak akan melukai specimen yang akan diekspor.
(2) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yang diperoleh bukanlah hasil dari penangkapan
yang melanggar hokum perlindungan spesies liar.
(3) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa kepada pihak otoritas manajemen bahwa
tidak akan ada resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini bahwa izin impor atas spesimen
tersebut telah diberikan oleh otoritas negara pengimpor.
Dalam kasus ekspor ulang, nasihat dari otoritas ilmiah tidak diperlukan. Import permit dapat
dikeluarkan oleh management authority CITES apabila persyaratan yang diatur dalam pasal III
ayat 3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah menasehati bahwa impor dilakukan bukan untuk tujuan
melukai specimen tersebut;
(2) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah yakin bahwa Negara penerima sudah siap memberikan
tempat perlindungan dan perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan untuk tujuan komersial.
Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan di atas, terdapat pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan terhadap
perdagangan terhadap hewan yang termasuk di dalam apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang
harus dipenuhi menurut pasal VIII adalah :
1) Spesimen terdapat di dalam teritori negara peserta dan dalam keadaan transit, dan spesimen
berada di bawah pengawasan dinas pabean;
2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V tidak berlaku terhadap spesimen yang memiliki akibat–
akibat terhadap personal atau persoalan rumah tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat
pengecualian, yaitu bahwa pengecualian tidak berlaku jika :
a. Dalam kasus spesimen dalam apendiks I, spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar
negara tempat kediamannya, dan diimpor ke dalam negara tersebut.
b. Dalam kasus spesimen dikategorikan di dalam apendiks II, :
i. Spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat kediamannya dan dalam
suatu Negara di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tersebut diimpor ke dalam Negara kediaman pemiliknya;
iii. Negara di mana terjadi pemindahan dari alam bebas menuntut pengabulan export permit
terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke dalam salah satu apendiks
CITES;
4) Spesimen yang merupakan hasil dari penangkaran juga dikecualikan, spesimen yang didapatkan
dari hasil penangkaran hendaknya dianggap sebagai spesimen dari spesies yang berada apendiks
II;
5) Pengecualian juga berlaku jika otoritas manajemen Negara pengekspor meyakini bahwa setiap
spesimen dari spesies tumbuhan dan satwa merupakan hasil penangkaran atau pengembangbiakan
secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian dari museum, ekspor untuk eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan
pada otoritas manajemen negara yang bersangkutan.
Dalam pasal 8 CBD mengatur mengenai konservasi in-situ (Konservasi di dalam habitat aslinya)
dan pasal 9 mengatur mengenai konservasi ex-situ (konservasi di luar habitat asli dari spesies
tersebut), misalnya kebun binatang.
Melalui konvensi ini negara peserta didorong untuk membentuk kawasan konservasi dan
mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pembentukan, dan pengelolaan. Kawasan
konservasi dilihat sebagai cara yang tepat untuk menjaga keanekaragaman.
Disini memang disebutkan bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk membatasi akses dalam
sumberdaya genetik, namun dalam prekateknya bisa saja Negara tersebut memberikan akses
asalkan pihak yang membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya sebagai ganti di berikan
akses tersebut.
Karena hal tersebutlah maka muncul ide untuk memberikan perlindungan terhadap situs-situs
bersejarah, baik yang tergolong di dalam Warisan Budaya maupun Warisan Alamiah (Cultural and
Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan
pembentukan sebuah konvensi internasional yang dapat memberikan perlindungan terhadap situs-
situs tersebut.
Pada tahun 1972 dalam konvensi Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE),
sebuah tugas diberikan kepada UNESCO untuk memperluas rancangan konvensi tersebut, yang
kemudian menciptakan The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and
Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1975.
Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu
konvensi bertujuan untuk memastikan keselamatan dan perlindungan terhadap warisan budaya
dunia tersebut. Konvensi ini juga merupakan konvensi yang menggabungkan pengaturan antara
warisan alamiah dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan bersama dunia
(common heritage of mankind).
Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yang bersinggungan dengan perdagangan adalah mengenai Clean
Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara harus mengurangi efek rumah kaca untuk
mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang bisa mengurangi efek rumah kacanya
kurang dari yang targetkan bisa memperjualbelikan “jatah”-nya kepada Negara yang
membutuhkan.
Basel Convention
Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi mengenai ekspor-impor dan
tata cara,pertanggung jawaban apabila terjadi pencemaran, jadi bisa dikatakan bahwa konvensi ini
mengatur tentang perdagangan dan lingkungan sekaligus.
http://sharingilmupajak.blogspot.co.id/2013/11/konvensi-dalam-hukum-lingkungan.html