1)
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
serta tingkat endemisme (keunikan) yang sangat tinggi sehingga
dimasukkan dalam salah satu negara mega-biodiversity.
Namun
demikian Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat
keterancaman terhadap kepunahan species yang tinggi, sehingga
Indonesia merupakan salah satu HOT SPOT bagi prioritas konservasi
keanekaragaman hayati.
Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan species
adalah Kerusakan Habitat dan Pemanfaatan (termasuk perdagangan)
yang tidak terkendali.
Kerusakan habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan
konversi bagi pemanfaatan lahan (land use) selain hutan dengan tidak
memperhitungkan
keanekaragaman
hayati
ke
dalam
variabel
perencanaannya, sehingga kondisi habitat tinggal dalam keadaan yang
miskin dan atau sangat terfragmentasi.
Kondisi kerusakan habitat saat ini telah diperparah dengan maraknya
illegal logging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan
konservasi, serta kejadian kebakaran hutan (lahan) yang berlangsung
setiap
tahun
dengan
luasan
yang
sangat
besar
sehingga
keanekaragaman hayati Indonesia sangat terancam. Selain itu, konversi
hutan yang merupakan habitat utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa,
terutama terjadi di dataran-dataran rendah yang pada kenyataannya
merupakan daerah yang paling kaya terhadap jenis dan dengan
keanekaragaman yang paling tinggi dibanding tipe ekosistem lain.
Menurut World Bank, apabila kondisi pengelolaan hutan masih tetap
seperti sekarang ini, maka hutan dataran rendah di Sumaetra akan habis
dalam kurun waktu 5 tahun dan di Kalimantan dalam waktu 10 tahun.
Mengingat hal-hal tersebut di atas maka konservasi keanekaragaman
hayati harus mendapat prioritas yang sangat tinggi apabila kita tidak
ingin menyaksikan terjadinya kepunahan masal terhadap jenis-jenis flora
dan fauna yang bahkan sebelum sempat diketahui keberadaan dan
fungsinya.
Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan jenis adalah dengan
perlindungan (di dalam Undang-undang dikenal dengan Pengawetan)
species. Selain itu perdagangan sebagai penyebab terbesar kedua
terancamnya jenis harus dikendalikan dengan ketat. Salah satu alat
pengendalian
adalah
melalui
Konvensi
Kontrol
Perdagangan
terus menurun setidaknya 20% dalam waktu 5 tahun atau dalam dua
generasi. Wilayah penyebarannya diperkirakan kurang dari 5000km2
atau daerah yang benar-benar diokupasi kurang dari 500km2.
Kepunahan dapat terjadi dengan peluang atau resiko terjadinya paling
tidak 20% dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi.
2. Kriteria CITES
CITES membagi dua kelompok utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa
yaitu yang termasuk dalam Appendix I dan yang termasuk dalam
Appendix II. Jenis-jenis yang terancam punah (endangered dan critically
endangered) dimasukkan ke dalam Appendix I dan tidak boleh
diperdagangkan (ekspor, impor, re-ekspor).
Kriteria untuk memasukkan jenis tumbuhan atau satwa ke Appendix I
atau II dicantumkan dalam Resolusi CITES No. Conf. 9.24 (Fort
Lauderdale, 1994). Suatu jenis dimasukkan ke dalam Appendix I atau II
apabila memenuhi dua kriteria yaitu: Biological Criteria dan Trade
Criteria. Suatu jenis dapat dimasukkan ke dalam Appendix I CITES
apabila memenuhi kriteria bahwa dari segi biologi, jenis tersebut
terancam punah (threatened with extinction) dan jenis tersebut
diperdagangkan (ekspor, impor atau re-ekspor) baik legal maupun illegal
secara internasional.
3. Kriteria Nasional dalam perlindungan spesies
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, yang merupakan aturan pelaksanaan dari
Undang-undang No. 5 tahun 1990, mengadopsi kedua kriteria di atas,
baik IUCN maupun CITES, dalam menetapkan status perlindungannya.
Suatu species perlu dilindungi apabila telah memenuhi kriteria terancam
bahaya kepunahan.
Namun demikian ada satu kelemahan yang sangat mendasar dari
Undang-undang No. 5 tahun 1990, yaitu bahwa species atau jenis
tumbuhan dan satwa hanya dikelompokkan ke dalam dua status, yaitu
DILINDUNGI dan TIDAK DILINDUNGI. Untuk jenis-jenis yang dilindungi,
mendapatkan perlindungan oleh undang-undang karena ada laranganlarangan tertentu dan sanksi bagi yang melanggarnya (hukuman
maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp. 100 juta), sehingga cukup
dapat menimbulkan efek jera (DAFTAR JENIS DILINDUNGI, TERLAMPIR).
Sayangnya untuk jenis yang tidak dilindungi, tidak ada aturan apapun
yang mengatur sanksi dan pemanfaatannya ataupun laranganlarangannya. Sebagai akibatnya, banyak sekali jenis yang beberapa
tahun yang lalu populasinya masih melimpah dan oleh karenanya belum
dilindungi, saat ini sudah sangat langka bahkan mendekati kepunahan.
Sebagian dari jenis-jenis tersebut telah dilindungi, namun banyak
penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri
dengan izin Pemerintah.
Pengecualian dari larangan menangkap,
melukai dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan
dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi
membahayakan kehidupan manusia;
Dari ketentuan di atas jelas bahwa terhadap jenis yang dilindungi
aturannya sangat ketat dengan kemungkinan hukuman maksimum 5
tahun penjara plus denda maksimum 100 juta rupiah.
Namun seperti telah disebut di atas bahwa bagi yang tidak dilindungi
sama sekali tidak ada aturan yang mengikat terutama sanksi bagi yang
melanggar, sehingga dalam beberapa hal Undang-undang ini lemah
untuk melaksanakan konvensi seperti CITES. Dalam teks konvensi telah
diwajibkan (Article VIII) bahwa seluruh Negara anggota harus dapat
memberikan sanksi bagi kegiatan-kegiatan illegal yang menyangkut
jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix CITES.
c. CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN
ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES)
1.
Riwayat
2. serta jenis lain yang populasinya di alam saat ini belum terancam
namun pemanfaatannya harus dikendalikan agar pengendalian pada
butirb 1dapat terjamin.
Jenis Appendix III adalah jenis yang oleh negara tertentu diinginkan
untuk dikontrol secara internasional melalui mekanisme CITES, dan
diperlakukan seperti jenis Appendix II.
yang ada saat ini menjadikan pengamanan lalu lintas peredaran jenis
dari kepunahan di Indonesia ke luar negeri sangat rawan.
Kerjasama antar negara untuk ikut melakukan pengawasan bersama
seperti yang dijamin oleh CITES merupakan suatu keuntungan bagi
negara yang mempunyai keanekaragaman sumber satwa dan tumbuhan
seperti Indonesia. Dengan makin bertambahnya jumlah negara yang
meratifikasi CITES, maka bersama-sama dengan upaya konservasi
lainnya, konvensi tersebut merupakan perangkat yang makin penting
dalam upaya konservasi sumber daya alam terutama konservasi jenis di
Indonesia. Saat ini cukup banyak manfaat terutama bagi konservasi
jenis yang dapat dirasakan oleh Indonesia sejak meratifikasi CITES.
Pemanfaatan satwa dan tumbuhan asal Indonesia sudah dapat lebih
dimonitor dan dilaporkan ke/oleh berbagai negara.
Beberapa usaha penyelundupan satwa langka Indonesia telah berhasil
digagalkan atau ditekan melalui upaya kerjasama tersebut, misalnya
penyelundupan orangutan di Jepang, kakatua hitam di Amerika Serikat,
trenggiling di Hong Kong, ramin di Inggris, dan lain-lain. Termasuk
negara-negara yang semula penegakan hukumnya lemah dalam bidang
satwa dan tumbuhan liar, seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan atau
China, saat ini merupakan mitra yang setia untuk pemberantasan
penyelundupan satwa ke Luar negeri.
Setiap negara anggota diwajibkan memiliki peraturan yang efektif untuk
menerapkan ketentuan-ketentuan CITES, terutama aturan yang dapat
diterapkan terhadap semua jenis flora dan fauna yang terdaftar dalam
Appendiks CITES baik yang berasal dari negara yang bersangkutan
maupun dari luar negara tersebut. Peraturan nasional tersebut juga
harus memuat sanksi yang memadai bagi pelanggarannya. Selain itu
kedudukan otorita ilmiah dan otorita pengelola harus dikukuhkan dalam
peraturan nasional . Hal tersebut dikukuhkan dalam beberapa keputusan
COP dengan konsekwensi bagi yang tidak menerapkan antara lain
berupa embargo terhadap ekspor dan impor komoditi flora dan fauna
yang berasal dari negara tersebut.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) sehari-hari
Sekretariat CITES menjalin kerjasama dengan WCO (World Customs
Organization) dan ICPO-Interpol . Implementasinya di setiap negara
anggota, Management Authority CITES di suatu negara harus menjalin
kerjasama dengan Bea dan Cukai (Customs) dan National Central
Bureau (NCB/Kepolisian) selain dengan instansi lain seperti Karantina.
Koordinasi di tingkat nasional harus selalu dilakukan agar pelaksanaan
konvensi melalui penegakan hukum dapat efektif. Karantina, merupakan
instansi yang mempunyai posisi sangat strategis disamping Pabean yang
mengendalikan
keluar
masuknya
barang,
karena
Karantina
mengendalikan keluar masuknya produk dan spesimen hidup yang
berasal dari hewan dan tumbuhan, termasuk flora dan fauna.
5.
Tidak dapat dipungkiri bahwa CITES saat ini menjadi semakin kompleks,
dan melibatkan jenis yang semakin bertambah. Jenis-jenis yang semula
dikelola sebagai jenis komoditi unggulan seperti jenis-jenis ikan yang
dikelola dengan prinsip perikanan lestari dan kayu yang dikelola
berdasar sustainable forest management, saat ini telah banyak masuk
dalam kontrol atau telah menjadi issue dalam CITES, sehingga tugas
Management dan Scientific Authorities akan menjadi semakin berat.
Jenis-jenis tersebut misalnya jenis ikan hiu, kuda laut, ikan napoleon,
tripang serta jenis kayu mahoni dan ramin. Untuk hal ini peran dari
sektor perikanan akan menjadi semakin besar, bahkan di masa depan
apabila mereka siap, tugas Management Authority dapat dilimpahkan
kepada mereka.
Selain itu untuk penegakan hukum terutama dalam rangka border
control kita mengandalkan petugas-petugas Pabean dan Karantina
karena sesuai dengan kewenangannya, petugas-petugas tersebut
merupakan petugas control di perbatasan. Untuk itu koordinasi yang
baik antara unsur-unsur Management Authority, Bea Cukai dan karantina
serta kepolisian akan sangat dibutuhkan.
Indonesia sebagai salah eksportir terbesar di dunia, sangat
menggantungkan mekanisme kontrol perdagangan internasionalnya
terhadap CITES, sehingga Indonesia harus tetap menjadi anggota CITES.
CITES sebagai perjanjian internasional dibentuk bukan merupakan upaya
untuk pelarangan perdagangan atau boikot, namun lebih dari upaya
untuk mempromosikan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang
lestari (sustainable utilization).
CITES sangat bermanfaat sebagai salah satu instrumen untuk mencegah
terjadinya kepunahan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang sangat
bermanfaat sebagai sumber plasma nutfah begi pembangunan pertanian
yang mengandalkan jenis-jenis unggul.
Dalam pelaksanaannya ke depan mungkin perlu dibentuk semacam
KOMISI lintas sektoral serta pengembangan PROTOKOL penanganan atau
implementasi CITES di Indonesia.
d.
10
11
dan
pengembangan
undangan.
peraturan
perundang-
12
PENUTUP
13