Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKSANAAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

DALAM PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

1)

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
serta tingkat endemisme (keunikan) yang sangat tinggi sehingga
dimasukkan dalam salah satu negara mega-biodiversity.
Namun
demikian Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat
keterancaman terhadap kepunahan species yang tinggi, sehingga
Indonesia merupakan salah satu HOT SPOT bagi prioritas konservasi
keanekaragaman hayati.
Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan species
adalah Kerusakan Habitat dan Pemanfaatan (termasuk perdagangan)
yang tidak terkendali.
Kerusakan habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan
konversi bagi pemanfaatan lahan (land use) selain hutan dengan tidak
memperhitungkan
keanekaragaman
hayati
ke
dalam
variabel
perencanaannya, sehingga kondisi habitat tinggal dalam keadaan yang
miskin dan atau sangat terfragmentasi.
Kondisi kerusakan habitat saat ini telah diperparah dengan maraknya
illegal logging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan
konservasi, serta kejadian kebakaran hutan (lahan) yang berlangsung
setiap
tahun
dengan
luasan
yang
sangat
besar
sehingga
keanekaragaman hayati Indonesia sangat terancam. Selain itu, konversi
hutan yang merupakan habitat utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa,
terutama terjadi di dataran-dataran rendah yang pada kenyataannya
merupakan daerah yang paling kaya terhadap jenis dan dengan
keanekaragaman yang paling tinggi dibanding tipe ekosistem lain.
Menurut World Bank, apabila kondisi pengelolaan hutan masih tetap
seperti sekarang ini, maka hutan dataran rendah di Sumaetra akan habis
dalam kurun waktu 5 tahun dan di Kalimantan dalam waktu 10 tahun.
Mengingat hal-hal tersebut di atas maka konservasi keanekaragaman
hayati harus mendapat prioritas yang sangat tinggi apabila kita tidak
ingin menyaksikan terjadinya kepunahan masal terhadap jenis-jenis flora
dan fauna yang bahkan sebelum sempat diketahui keberadaan dan
fungsinya.
Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan jenis adalah dengan
perlindungan (di dalam Undang-undang dikenal dengan Pengawetan)
species. Selain itu perdagangan sebagai penyebab terbesar kedua
terancamnya jenis harus dikendalikan dengan ketat. Salah satu alat
pengendalian
adalah
melalui
Konvensi
Kontrol
Perdagangan

Internasional, yang disebut sebagai CITES (Convention on International


Trade in Endangered Species of Wild fauna and Flora).
b.

MENGAPA PERLU MELINDUNGI SPESIES ?

Banyak species Indonesia yang telah terancam bahaya kepunahan


bahkan beberapa diantaranya kita alami kepunahannya, seperti harimau
Bali yang punah sekitar tahun 60an atau harimau Jawa yang dinyatakan
punah pada awal tahun 80an. Penyebab utama kepunahan adalah
kerusakan habitat dan perdagangan (termasuk perburuan) yang tidak
terkendali.
Kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan
manusia.
Tanpa tindakan perlindungan species-species yang telah
menjadi terancam dapat dipastikan akan punah dalam waktu yang tidak
terlalu lama.
Kepunahan harus dihindarkan karena seluruh species di dalam
ekosistemnya mempunyai peran yang sangat sentral. Kepunahan suatu
jenis akan memutuskan rantai hubungan timbal balik antar komponen
ekosistem tersebut. Dalam beberapa hal dampaknya terasakan oleh
manusia dalam jangka pendek, namun banyak diantaranya yang tidak
diketahui atau belum sempat diketahui.
Beberapa kriteria atau ciri-ciri species yang terancam bahaya kepunahan
(endangered) adalah sebagai berikut:
1. Kriteria Umum (IUCN)
The World Conservation Union (IUCN) membuat kriteria bahwa jenis-jenis
yang terancam punah dimasukkan ke dalam golongan yang Critically
Endangered (kritis atau genting) dan Endangered (terancam).
Critically Endangered (kritis/genting)
Jenis-jenis yang populasinya kritis adalah jenis yang menghadapi resiko
ancaman bahaya kepunahan populasi di alamnya sangat tinggi dan
dapat terjadi dalam waktu yang sangat dekat. Populasinya hanya sekitar
250 individu dewasa dan akan terus menurun dengan laju sekitar 25%
dalam waktu 3 tahun atau dalam satu generasi. Selain itu wilayah
penyebarannya menjadi sangat sempit (daerah yang benar-benar
diokupasi kurang dari 10 km2. Peluang atau resiko terjadinya kepunahan
kira-kira 50% dalam waktu 10 tahun atau tiga generasi.
Endangered (terancam bahaya kepunahan)
Suatu jenis dapat dianggap terancam bila jenis tersebut tidak masuk
dalam kategori kritis namun menghadapi resiko yang sangat tinggi
terhadap kepunahan di alam dalam waktu dekat. Populasinya relatif
kecil dan diduga kurang dari 2500 individu dewasa. Populasinya akan

terus menurun setidaknya 20% dalam waktu 5 tahun atau dalam dua
generasi. Wilayah penyebarannya diperkirakan kurang dari 5000km2
atau daerah yang benar-benar diokupasi kurang dari 500km2.
Kepunahan dapat terjadi dengan peluang atau resiko terjadinya paling
tidak 20% dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi.
2. Kriteria CITES
CITES membagi dua kelompok utama jenis-jenis tumbuhan dan satwa
yaitu yang termasuk dalam Appendix I dan yang termasuk dalam
Appendix II. Jenis-jenis yang terancam punah (endangered dan critically
endangered) dimasukkan ke dalam Appendix I dan tidak boleh
diperdagangkan (ekspor, impor, re-ekspor).
Kriteria untuk memasukkan jenis tumbuhan atau satwa ke Appendix I
atau II dicantumkan dalam Resolusi CITES No. Conf. 9.24 (Fort
Lauderdale, 1994). Suatu jenis dimasukkan ke dalam Appendix I atau II
apabila memenuhi dua kriteria yaitu: Biological Criteria dan Trade
Criteria. Suatu jenis dapat dimasukkan ke dalam Appendix I CITES
apabila memenuhi kriteria bahwa dari segi biologi, jenis tersebut
terancam punah (threatened with extinction) dan jenis tersebut
diperdagangkan (ekspor, impor atau re-ekspor) baik legal maupun illegal
secara internasional.
3. Kriteria Nasional dalam perlindungan spesies
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, yang merupakan aturan pelaksanaan dari
Undang-undang No. 5 tahun 1990, mengadopsi kedua kriteria di atas,
baik IUCN maupun CITES, dalam menetapkan status perlindungannya.
Suatu species perlu dilindungi apabila telah memenuhi kriteria terancam
bahaya kepunahan.
Namun demikian ada satu kelemahan yang sangat mendasar dari
Undang-undang No. 5 tahun 1990, yaitu bahwa species atau jenis
tumbuhan dan satwa hanya dikelompokkan ke dalam dua status, yaitu
DILINDUNGI dan TIDAK DILINDUNGI. Untuk jenis-jenis yang dilindungi,
mendapatkan perlindungan oleh undang-undang karena ada laranganlarangan tertentu dan sanksi bagi yang melanggarnya (hukuman
maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp. 100 juta), sehingga cukup
dapat menimbulkan efek jera (DAFTAR JENIS DILINDUNGI, TERLAMPIR).
Sayangnya untuk jenis yang tidak dilindungi, tidak ada aturan apapun
yang mengatur sanksi dan pemanfaatannya ataupun laranganlarangannya. Sebagai akibatnya, banyak sekali jenis yang beberapa
tahun yang lalu populasinya masih melimpah dan oleh karenanya belum
dilindungi, saat ini sudah sangat langka bahkan mendekati kepunahan.
Sebagian dari jenis-jenis tersebut telah dilindungi, namun banyak

diantaranya yang belum sempat dilindungi, seperti contohnya, kura-kura


leher ular dari P. Rote (Chelodina mccordi). Untuk mengatasi problema
ini UU No. 5 tahun 1990 harus direvisi.
Dari hal-hal di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebenarnya
bukan jenis-jenis yang langka saja yang harus mendapatkan
perlindungan. Jenis yang saat ini dalam kondisi melimpahpun perlu
mendapat perlindungan agar tidak menjadi langka atau bahkan punah.
Hal inilah yang saat ini dilakukan melalui mekanisme CITES, dimana
jenis-jenis yang belum terancam punah namun mendapatkan tekanan
yang cukup tinggi dari perdagangannya dimasukkan ke dalam Appendix
II, yang perdagangannya dikontrol ketat dengan tujuan agar kelestarian
populasi di habitat alamnya dapat terjamin.
Namun CITES hanya berlaku atau dapat ditegakkan hanya pada
peredaran internasional. Kontrol terhadap peredaran domestik tidak
dapat efektif karena kelemahan mendasar yang ada pada system
perundang-undangan nasional. Untuk itu peraturan perundangan yang
bersifat domestik (nasional) harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi
dan perkembangan yang ada. Untuk itu revisi UU 5 tahun 90 perlu
dilakukan untuk mengakomodasikan hal tersebut di atas.
III. PERLINDUNGAN SPECIES DI INDONESIA
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 Jenis-jenis tumbuhan dan satwa dibagi
menjadi dua kelompok yaitu:
1. Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
2. Jenis tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
Bagi jenis-jenis satwa yang dilindungi, setiap orang dilarang untuk:
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadan hidup;
b. Menyimpan,
memiliki,
memelihara,
mengangkut
dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat
dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan
atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Pengecualian dari larangan di atas hanya dapat dilakukan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa, yang bersangkutan, termasuk pemberian atau

penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri
dengan izin Pemerintah.
Pengecualian dari larangan menangkap,
melukai dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan
dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi
membahayakan kehidupan manusia;
Dari ketentuan di atas jelas bahwa terhadap jenis yang dilindungi
aturannya sangat ketat dengan kemungkinan hukuman maksimum 5
tahun penjara plus denda maksimum 100 juta rupiah.
Namun seperti telah disebut di atas bahwa bagi yang tidak dilindungi
sama sekali tidak ada aturan yang mengikat terutama sanksi bagi yang
melanggar, sehingga dalam beberapa hal Undang-undang ini lemah
untuk melaksanakan konvensi seperti CITES. Dalam teks konvensi telah
diwajibkan (Article VIII) bahwa seluruh Negara anggota harus dapat
memberikan sanksi bagi kegiatan-kegiatan illegal yang menyangkut
jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix CITES.
c. CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN
ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES)
1.

Riwayat

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild


Fauna and Flora) merupakan kesepakatan yang disusun pada suatu
konferensi diplomatik di Washington D.C. pada tanggal 3 Maret 1973
yang dihadiri oleh 88 negara. Konvensi tersebut merupakan tanggapan
terhadap Rekomendasi no. 99.3 yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB
tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Hal tersebut
merupakan hasil konsultasi IUCN (The World Conservation Union) dengan
beberapa negara dan organisasi internasional yang dilakukan selama
bertahun-tahun. Pada saat itu 21 negara menandatangani CITES dan
secara legal konvensi tersebut mulai diterapkan pada tanggal 1 Juli 1975.
Saat ini anggota CITES telah mencapai 160 negara.
2. Misi dan Tujuan
Misi dan tujuan dari Konvensi ini adalah untuk menghindarkan jenis-jenis
tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengembangan
sistem pengendalian perdagangan jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta
produk-produknya secara internasional.
Pengendalian tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi untuk kepentingan
komersial terhadap sumber daya satwa dan tumbuhan liar merupakan
salah satu ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup suatu jenis
setelah kerusakan habitat. Kecuali itu perdagangan ilegal jenis tumbuhan
dan satwa liar secara internasional menduduki tempat kedua dari segi
nilai perdagangan setelah narkotika.

Negara pengekspor dan pengimpor perlu saling membagi tanggung


jawab dan menciptakan sistem atau perangkat yang diperlukan dalam
rangka pengendalian jenis-jenis satwa dan tumbuhan liar. Ada 4 (empat)
hal pokok yang menjadi dasar dibentuknya konvensi tersebut yaitu:
a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap satwa dan tumbuhan
liar;
b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan
tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi;
d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untutk
melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol
perdagangan internasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka jenis-jenis atas dasar
kelangkaannya yang ditentukan oleh Konferensi Anggota CITES
digolongkan dalam 3 (tiga) kelompok atau Appendix yaitu Appendix I,
Appendix II dan Appendix III.
Setiap negara anggota harus menunjuk satu atau lebih otorita pengelola
(Management Authority) dan Otorita Ilmiah (Scientific Authority).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 telah ditunjuk
secara resmi Departemen Kehutana (Ditjen PHKA) sebagai Otorita
Pengelola dan LIPI sebagai Otorita Ilmiah.
Otorita Pengelola CITES menjalankan aturan-aturan konvensi termasuk
mengendalikan perijinan, berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh
Otorita ilmiah.
Sedangkan Otorita Ilmiah memberikan rekomendasi
kepada Otorita Pengelola bahwa suatu species dapat diperdagangkan
sesuai dengan prinsip non-detriment finding.
3. Prinsip-prinsip Konvensi
Dalam CITES jenis-jenis tumbuhan dan satwa dikelompokkan ke dalam
jenis-jenis yang termasuk di dalam Appendix I, Appendix II dan Appendix
III. Selain itu ada jenis-jenis yang di luar ketiga kategori tersebut yang
tidak dikontrol oleh mekanisme CITES.
Jenis Appendix I adalah seluruh jenis yang terancam bahaya kepunahan,
yang terkena dampak atau mungkin mungkin terkena dampak oleh
perdagangan.
Perdagangan dalam arti ekspor, impor, re-ekspor atau
introduksi dari laut dari species-species ini harus didasarkan pada
pertimbangan yang sangat ketat agar tidak menambah keterancaman
kehidupannya dan hanya dapat dizinkan hanya untuk kepentingan yang
sangat eksepsional;
Jenis Appendix II adalah:
1. jenis yang populasinya di alam saat ini belum terancam bahaya
kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila perdagangannya
tidak dikendalikan;
6

2. serta jenis lain yang populasinya di alam saat ini belum terancam
namun pemanfaatannya harus dikendalikan agar pengendalian pada
butirb 1dapat terjamin.
Jenis Appendix III adalah jenis yang oleh negara tertentu diinginkan
untuk dikontrol secara internasional melalui mekanisme CITES, dan
diperlakukan seperti jenis Appendix II.

Negara-negara pihak atau anggota CITES mempunyai kewajiban untuk


menerapkan ketentuan-ketentuan CITES
di bidang pengendalian
peredaran jenis baik keluar maupun masuk negara yang bersangkutan.
Dengan demikian diterapkan sistem dua pintu pengendalian lalu lintas
peredaran/perdagangan satwa dan tumbuhan liar langka, yang pertama
di negara pengekspor dan yang kedua di negara pengimpor.
Untuk dapat melaksanakan CITES dengan efektif maka sistem
perundang-undangan nasional harus mengacu pada ketentuan CITES.
Ada 4 hal pokok yang harus dicakup dalam legislasi nasional untuk
melaksanakan CITES yaitu:
a. Harus dapat menunjuk satu atau lebih Management dan Scientific
Authority;
b. Harus dapat melarang perdagangan spesimen yang melanggar
ketentuan konvensi;
c. Harus dapat menghukum perdagangan di atas;
d. Harus dapat melakukan penyitaan terhadap spesimen-spesimen yang
diperdagangkan atau dimiliki secara illegal;
Sistem kontrol pada CITES adalah dengan melalui sistem perijinan
standar CITES yang diterbitkan oleh Management Authority, dan
ditegakkan oleh penegak hukum seperti Pabean dan Kepolisian (di
Indonesia termasuk Karantina).
4.

Keuntungan mengikuti konvensi

Untuk Indonesia dengan berlakunya CITES , semua specimen satwa liar


dan tumbuhan langka yang keluar masuk dari wilayah RI harus diliput
oleh dokumen yang diterbitkan oleh otorita pengelola yang ditunjuk.
Tiap negara peserta wajib mengadakan pemeriksaan terhadap dokumen
dan specimen yang terdaftar dalam kategori Appendix I,II dan III yang
masuk atau keluar dari wilayah negara tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman jenis yang
sangat tinggi merupakan salah satu pengekspor terbesar di dunia jenis
tumbuhan dan satwa liar. Supaya diperoleh manfaat yang setinggitingginya terutama untuk menjamin kelestarian jenis tersebut, maka
diperlukan upaya pengendalian terhadap lalu lintas dari jenis jenis
tersebut . Kenyataan bahwa garis pantai kawasan Nusantara yang
sangat panjang sehingga dengan keterbatasan perangkat pengaman
7

yang ada saat ini menjadikan pengamanan lalu lintas peredaran jenis
dari kepunahan di Indonesia ke luar negeri sangat rawan.
Kerjasama antar negara untuk ikut melakukan pengawasan bersama
seperti yang dijamin oleh CITES merupakan suatu keuntungan bagi
negara yang mempunyai keanekaragaman sumber satwa dan tumbuhan
seperti Indonesia. Dengan makin bertambahnya jumlah negara yang
meratifikasi CITES, maka bersama-sama dengan upaya konservasi
lainnya, konvensi tersebut merupakan perangkat yang makin penting
dalam upaya konservasi sumber daya alam terutama konservasi jenis di
Indonesia. Saat ini cukup banyak manfaat terutama bagi konservasi
jenis yang dapat dirasakan oleh Indonesia sejak meratifikasi CITES.
Pemanfaatan satwa dan tumbuhan asal Indonesia sudah dapat lebih
dimonitor dan dilaporkan ke/oleh berbagai negara.
Beberapa usaha penyelundupan satwa langka Indonesia telah berhasil
digagalkan atau ditekan melalui upaya kerjasama tersebut, misalnya
penyelundupan orangutan di Jepang, kakatua hitam di Amerika Serikat,
trenggiling di Hong Kong, ramin di Inggris, dan lain-lain. Termasuk
negara-negara yang semula penegakan hukumnya lemah dalam bidang
satwa dan tumbuhan liar, seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan atau
China, saat ini merupakan mitra yang setia untuk pemberantasan
penyelundupan satwa ke Luar negeri.
Setiap negara anggota diwajibkan memiliki peraturan yang efektif untuk
menerapkan ketentuan-ketentuan CITES, terutama aturan yang dapat
diterapkan terhadap semua jenis flora dan fauna yang terdaftar dalam
Appendiks CITES baik yang berasal dari negara yang bersangkutan
maupun dari luar negara tersebut. Peraturan nasional tersebut juga
harus memuat sanksi yang memadai bagi pelanggarannya. Selain itu
kedudukan otorita ilmiah dan otorita pengelola harus dikukuhkan dalam
peraturan nasional . Hal tersebut dikukuhkan dalam beberapa keputusan
COP dengan konsekwensi bagi yang tidak menerapkan antara lain
berupa embargo terhadap ekspor dan impor komoditi flora dan fauna
yang berasal dari negara tersebut.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) sehari-hari
Sekretariat CITES menjalin kerjasama dengan WCO (World Customs
Organization) dan ICPO-Interpol . Implementasinya di setiap negara
anggota, Management Authority CITES di suatu negara harus menjalin
kerjasama dengan Bea dan Cukai (Customs) dan National Central
Bureau (NCB/Kepolisian) selain dengan instansi lain seperti Karantina.
Koordinasi di tingkat nasional harus selalu dilakukan agar pelaksanaan
konvensi melalui penegakan hukum dapat efektif. Karantina, merupakan
instansi yang mempunyai posisi sangat strategis disamping Pabean yang
mengendalikan
keluar
masuknya
barang,
karena
Karantina
mengendalikan keluar masuknya produk dan spesimen hidup yang
berasal dari hewan dan tumbuhan, termasuk flora dan fauna.
5.

Masa Depan pelaksanaan CITES di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa CITES saat ini menjadi semakin kompleks,
dan melibatkan jenis yang semakin bertambah. Jenis-jenis yang semula
dikelola sebagai jenis komoditi unggulan seperti jenis-jenis ikan yang
dikelola dengan prinsip perikanan lestari dan kayu yang dikelola
berdasar sustainable forest management, saat ini telah banyak masuk
dalam kontrol atau telah menjadi issue dalam CITES, sehingga tugas
Management dan Scientific Authorities akan menjadi semakin berat.
Jenis-jenis tersebut misalnya jenis ikan hiu, kuda laut, ikan napoleon,
tripang serta jenis kayu mahoni dan ramin. Untuk hal ini peran dari
sektor perikanan akan menjadi semakin besar, bahkan di masa depan
apabila mereka siap, tugas Management Authority dapat dilimpahkan
kepada mereka.
Selain itu untuk penegakan hukum terutama dalam rangka border
control kita mengandalkan petugas-petugas Pabean dan Karantina
karena sesuai dengan kewenangannya, petugas-petugas tersebut
merupakan petugas control di perbatasan. Untuk itu koordinasi yang
baik antara unsur-unsur Management Authority, Bea Cukai dan karantina
serta kepolisian akan sangat dibutuhkan.
Indonesia sebagai salah eksportir terbesar di dunia, sangat
menggantungkan mekanisme kontrol perdagangan internasionalnya
terhadap CITES, sehingga Indonesia harus tetap menjadi anggota CITES.
CITES sebagai perjanjian internasional dibentuk bukan merupakan upaya
untuk pelarangan perdagangan atau boikot, namun lebih dari upaya
untuk mempromosikan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang
lestari (sustainable utilization).
CITES sangat bermanfaat sebagai salah satu instrumen untuk mencegah
terjadinya kepunahan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang sangat
bermanfaat sebagai sumber plasma nutfah begi pembangunan pertanian
yang mengandalkan jenis-jenis unggul.
Dalam pelaksanaannya ke depan mungkin perlu dibentuk semacam
KOMISI lintas sektoral serta pengembangan PROTOKOL penanganan atau
implementasi CITES di Indonesia.
d.

KEBIJAKSANAAN DALAM PEMANFAATAN


TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Dengan mengacu kepada visi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan


dan Konservasi Alam (PHKA), maka disusunlah visi Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati : Terwujudnya Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya bagi Kesejahteraan Masyarakat. Sedangkan
misi Direktorat Konservasi Keanekaragaman hayati yang dikembangkan
dari strategi konservasi dunia terdiri dari :
1. Melindungi dan memelihara proses ekologis esensial dan sistem
penyangga kehidupan;
2. Mengawetkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

3. Memanfaatkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


berdasarkan prinsip kelestarian;
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan KSDAHE.
Misi tersebut di atas dijabarkan kedalam 12 kegiatan utama dan menjadi
kebijaksanaan Departemen Kehutanan dalam bidang perlindungan Hutan
dan konservasi Alam. Dari 12 kegiatan utama tersebut terdapat delapan
kegiatan utama yang berkait erat dengan pemanfaatan tumbuhan dan
satwa liar terdiri dari:
1. Mengelola dan mengendalikan pemanfaatan spesies terancam punah
(endangered) dan species yang populasinya melimpah di alam
maupun di dalam penangkaran.
Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan jenis secara lestari
(sustainable utilization). Pemanfaatan secara lestari ini dalam arti
pemanfaatan dapat dalam bentuk pemanenan dari alam seperti
perburuan dan perdagangan, atau pemanfaatan dari jasa yang
ditimbulkan oleh species tersebut, misalnya ekoturisme berbasis
species.
Pemanfaatan dalam bentuk perdagangan, secara
internasional diatur melalui konvensi yang dikenal dengan CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora) sehingga di lingkup nasional sistem perundangundangan perlu disesuaikan CITES.
Hal ini berimplikasi pada
perbaikan sistem pemanfaatan bukan hanya di lingkup internasional
tetapi juga secara nasional.
Pemanfaatan jenis-jenis terancam bahaya kepunahan harus
sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan gangguan terhadap
populasi di alam dan terjadinya genetic drain. Sedangkan untuk
jenis-jenis yang populasinya belum terancam pemanfaatan dari alam
harus melalui perencanaan yang baik melalui pengembangan
program pengelolaan species.
Kecuali itu walaupun tujuan utama dari pemanfaatan species bukan
pada peningkatan ekonomi negara, pemanfaatan jenis flora dan fauna
harus juga mampu mendatangkan pendapatan bagi negara. Hal ini
agar biaya bagi konservasi in situ jenis-jenis yang dimanfaatkan dapat
didukung oleh pendapatan yang dihasilkan dari pemanfaatan.
2. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan
pengendalian pemanfaatan jenis.
Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak
adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat,
terutama yang berada di sekitar habitat adalah unsur strategis dari
pengelolaan konservasi. Di masa yang lalu, pengelolaan konservasi
sering sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak
melakukan ini. Masyarakat justru sering dianggap sebagai faktor
yang dapat menghambat konservasi. Paradigma konservasi ke depan

10

harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting


dalam pengelolaan konservasi. Kendala utama dalam masyarakat
adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada
rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi
agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan
atau konsep pengelolaan kolaboratif (Colaborative Management),
perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan konservasi species.
3. Mengendalikan populasi jenis dan habitat.
Dalam kondisi habitat yang terbatas dan populasi berkembang
dengan baik karena pengelolaan yang baik maka populasi dapat lebih
besar dari kemampuan habitat untuk mendukungnya.
Namun
demikian untuk jenis-jenis yang secara global maupun nasional
terancam bahaya kepunahan, populasi yang seperti itu perlu
dikendalikan dengan hati-hati dan perhitungan yang cermat.
Perburuan mungkin dapat dibuka untuk musim-musim tertentu dan
dengan metoda tertentu pula. Kecuali itu perburuan perlu juga
dikembangkan bagi jenis-jenis eksotik, yang walaupun dilindungi
namun di suatu daerah tertentu merupakan jenis asing yang dapat
mengganggu keberadaan jenis asli, misalnya Rusa Timor dan Monyet
Ekor Panjang di Irian. Kegiatan ini selain secara ekologis membantu
lingkungan, secara ekonomis dapat membantu masyarakat sekitar
untuk mengembangkan sosial ekonominya. Bahkan apabila dikelola
dengan cara yang profesional, dapat menjadi obeyek yang
mendatangkan pendapatan bagi pemerintah.
4. Mempertahankan keanekaragaman genetik dan kemurnian jenis.
Selama ini konservasi terhadap keanekaragaman genetik hampir
terlupakan. Kebijakan yang mengarah pada konservasi genetik baik
in situ maupun ex situ walaupun ada, kondisinya sangat tersebar, dan
bersifat sektoral yang dilaksanakan oleh berbagai instansi tanpa ada
koordinasi dan strategi yang jelas. Beberapa species, sebagai contoh
species kayu-kayu komersial, banyak yang sudah terancam bahaya
kepunahan, sementara itu konservasi terhadap keunggulankeunggulan genetiknya belum dilaksanakan.
Sedangkan habitat
hutan alam (terutama di dataran rendah yang kaya akan species)
akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Untuk itu harus
segera dikembangkan strategi yang jelas bagi konservasi genetik
jenis-jenis kayu komersial dan jenis lain yang sedang mengalami
ancaman degradasi genetik.
5. Mengembangkan sistem informasi melalui pengelolaan penelitian,
inventarisasi serta monitoring populasi dan habitat.
Pengembangan sistem informasi merupakan misi yang yang sangat
mendesak untuk dilaksanakan karena sistem informasi yang baik dan

11

berdasar kaidah-kaidah ilmiah merupakan dasar yang sangat relevan


bagi penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan. Selama ini
sistem informasi untuk pengambilan kebijaksanaan di bidang
konservasi
sangat
didasarkan
pada
prinsip
kehati-hatian
(precautionary principle) dan intuisi. Dalam kondisi dimana informasi
yang akurat sangat kurang, prinsip tersebut sangat relevan untuk
dilakukan, namun sistem informasi akurat perlu dikembangkan agar
pengambilan keputusan dapat lebih berdasar kaidah-kaidah ilmiah.
Selanjutkan akan dikembangkan metode Non Detrimental Finding
dalam menetapkan kuota pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
6. Penyempurnaan

dan

pengembangan
undangan.

peraturan

perundang-

Sistem peraturan perundang-undangan merupakan dasar melakukan


tindakan sehari-sehari agar strategi pengelolaan keanekaragaman
hayati dapat sesuai dengan tujuan konservasi keanekaragaman
hayati.
Beberapa
peraturan
perundangan
perlu
segera
disempurnakan karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
jaman dan beberapa hal masih belum diatur secara baik dalam sistem
peraturan perundangan.
Undang-undang No. 5 tahun 1990 memerlukan revisi terutama pada
pengaturan yang berhubungan dengan pembagian status hukum
species, pengaturan terhadap masing-masing status species,
pengenaan sanksi terhadap aturan bagi setiap status species,
pengaturan mengenai pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat,
dan sebagainya.
7. Mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders.
Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh
pemerintah saja tetapi harus dilaksanakan oleh seluruh unsur
masyarakat termasuk pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah,
dan masyarakat sekitar habitat maupun masyarakat secara luas.
Kerja sama ini perlu dikembangkan ke arah kerja sama mengenai
teknis-teknis konservasi, perbaikan sistem administrasi pemerintahan
yang ramah terhadap lingkungan, penegakan hukum, sistem
informasi, dan sebagainya. Selain itu, pengembangan jaringan kerja
perlu diarahkan bagi pembinaan masyarakat sekitar hutan/ habitat
dalam pengembangan sosial ekonomi yang berdampak pada semakin
efektifnya konservasi.
8. Mengembangkan potensi SDM di bidang pengelolaan konservasi
species, genetik dan penegakan hukum (law enforcement).
Dalam memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan era
perdagangan bebas dan teknologi informasi, serta prediksi terjadinya
krisis hidupan liar dalam jangka 50 tahun yang akan datang, maka
diperlukan sumber daya manusia yang profesional bagi pengelolaan

12

konservasi termasuk penegakan hukumnya. Profesionalisme sumber


daya manusia untuk pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati
perlu dikembangkan melalui sistem rekrutmen dan mutasi yang
terarah dengan pola pelatihan yang berkesinambungan mulai dari
pelatihan konservasi bagi pegawai baru (freshers training), pelatihan
bagi pejabat struktural, pelatihan bagi pejabat fungsional konservasi
dan pelatihan bagi petugas penegakan hukum mengenai konservasi
dan kejahatan dalam bidang hidupan liar (wildlife crimes), serta
pelatihan bagi pegawai lain dan masyarakat umum tentang
konservasi.
e.

PENUTUP

Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan


terlihat dari cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati tersebut
yang menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan
ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pemanfaatannya yang berpegang
kepada prinsip menghindari bahaya kepunahan dan atau menghindari
penurunan potensi pertumbuhan populasi tumbuhan dan satwa liar.
Upaya pengendalian peredaran tumbuhan dan satwa liar perlu terus
ditingkatkan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Untuk
memperoleh hasil terebut perlu dikembangkan kerjasama antara
pemangku kepentingan (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Karantina,
Direktorat Jenderal PHKA dan kepolisian sejalan dengan perkembangan
modus operandi perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi undangundang melalui Collaborative Management.

13

Anda mungkin juga menyukai