Anda di halaman 1dari 33

TUGAS STASE GASTROENTEROLOGI

PERBEDAAN DIARE KARENA SHIGELLA, AMOEBA, ROTAVIRUS, GIARDIA, KOLERA

Oleh : B. Zanuar Ichsan, S. ked Ermawati Sudarsono, S. ked Rochmadina Suci Bestari, S. ked Kautsar Heridho, S. Ked G0005068 G0005089 G0003172 G0004131

Pembimbing : Prof.Dr.Bambang Soebagyo,dr., Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2010

A. DIARE AKUT

Diare berdasarkan durasinya, dibagi menjadi : 1. Diare akut : berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari)

2. Diare persisten: berlangsung lebih dari 14 hari 3. Diare kronik : berlangsung lebih dari 14 hari dan intermiten (hilang timbul) Diare akut merupakan adanya BAB lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah, berlangsung kurang dari 7 hari, secara mendadak. Perubahan konsistensi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan absorbsi dan sekresi intestinal yang mengakibatkan peningkatan volume air di dalam tinja. Diare paling lama berlangsung kurang dari 14 hari. Diare pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dapat didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi BAB atau perubahan konsistensi tinja menjadi cair yang menurut ibunya abnormal/tidak seperti biasanya. Penyebab Penyakit Diare: 1. Infeksi 1) Golongan bakteri: a) Aeromonas b) Bacillus cereus c) Campylobacter jejuni d) Clostridium perfringens e) Clostridium defficile f) Eschericia coli g) Plesiomonas shigeloides h) Salmonella i) Shigella j) Staphylococcus aureus k) Vibrio cholera l) Vibrio parahaemolyticus m) Yersinia enterocolitica 2) Golongan virus: a) Astrovirus b) Calcivirus c) Enteric adenovirus

d) Virus rota e) Cytomegalovirus* f) Herpes simplex virus*

3) Golongan parasit a) Balantidium coli b) Blastocystis homonis c) Cryptosporidium parvum d) Entamoeba histolytica e) Giardia lamblia f) Isospora belli

g) Strongyloides stercoralis h) Trichuris trichiura *umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita

imunokompromised. 2. malabsorbsi 3. alergi 4. keracunan 5. imunisasi, defisiensi 6. sebab-sebab lain

B. PERBEDAAN DIARE PADA ROTAVIRUS, SHIGELLA, GIARDIA, KOLERA DAN AMOEBA

1. DISENTRI BASILER SHIGELLA a. Etiologi Spesies shigella merupakan bakteri fakultatif anaerob gram negatif yang hanya menginfeksi manusia. Morfologi berbentuk batang, gram negatif, ukuran 0,50,7 m x 2-3 m, tidak berflagel. Ada 4 species Shigella yaitu S. dysentriae, flexneri, bondii dan sonnei. Spesies yang sering menyerang manusia antara lain: Shigella dysentriae, Shigella sonnei, Shigella flexneri. Namun S. Flexneri merupakan penyebab tersering dari disentri basilar endemik pada lokasi yang kurang higien, seperti di negeri berkembang. Keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit ini kemana-mana. Shigellosis epidemik dapat terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan yang tidak dimasak.

Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja. Sekurangnya 140 juta kasus dan hanya 600.000 kematian terjadi akibat disentri basilar pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basilar didapatkan dimana-mana di seluruh dunia, tetapi kebanyakan di temukan di negara-negara sedang berkembang, yang kesehatan lingkungannya masih kurang. b. Patogenesis Transmisinya secara fekal-oral dan bisa disebabkan oleh sejumlah kecil organisme yang tertelan ( 10 organisme yang tertelan pada 10% penderita, dan 500 organisme menyebabkan penyakit pada 50% penderita). Bakteri shigella

menginvasi sel-sel mukosa intestinal, namun tidak selalu melewati lamina propria. Disentri disebabkan oleh bakteri yang melepaskan diri dari fagolisosom sel epitel, bermultiplikasi di dalam sitoplasma, dan kemudian menghancurkan sel host. Shiga toxin manyebabkan kolitis hemoragik dan sindrom heolitik-uremik dengan cara menghancurkan sel-sel endotel di mikrovastulatur kolon dan glomeruli, secara berturut-turut. Sebagai tambahan, artritis kronis sekunder karena S. Flexneri, yang disebut reiter sindrom, dapat disebabkan oleh antigen bakterial, kejadian sindrom ini sangat kuat berhubungan dengan genotipe HLA-B27, namun basis imunologis reaksi ini tidak dimengerti. Patogenesis terjadinya diare oleh Shigella terutama disebabkan

kemampuannya mengadakan invasi melalui membran basolateral ke epitel mukosa usus, berkembang biak di daerah invasi tersebut serta mengeluarkan eksotoksin yang selain merangsang terjadinya perubahan sistem enzim di dalam sel mukosa usus halus (adenil siklase) juga mempunyai sifat sitotoksik. Daerah yang sering diserang adalah ileum terminalis dan usus besar. Akibat invasi bakteri ini terjadi infiltrasi selsel polimorfonuklear dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut, sehingga terjadilah tukak-tukak kecil di daerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah dan plasma protein ke luar dari sel dan masuk ke lumen usus serta akhirnya ke luar bersama tinja. c. Gejala klinis Masa tunas berlangsung dari beberapa jam sampai 3 hari, jarang lebih dari 3 hari. Mulai terjangkit sampai timbulnya gejala khas biasanya berlangsung cepat, sering secara mendadak, tetapi dapat juga timbul perlahan-lahan. Gejala yang timbul bervariasi, yaitu :

1) Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja. 2) Panas tinggi (39,50 - 400 C) 3) Muntah-muntah. 4) Anoreksia. 5) Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB. 6) Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi). Bentuk klinis disentri basilar dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air, muntahmuntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Pada kasus fulminating. gejalanya timbul mendadak dan berat, dengan pengeluaran tinja yang banyak berlendir dan berdarah serta ingin berak terus menerus. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin, dan viskositas darah meningkat

(hemokonsentrasi). Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka dan nyeri, kadang-kadang timbul prolaps. Bila ada hemorroid yang biasanya tidak timbul akan menjadi mudah muncul ke luar. Suhu badan biasanya tidak khas biasanya lebih tinggi dari 390C tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat dan halus, muntah-muntah dan cegukan jarang. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada. Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan umum memburuk, inkontinensia urin dan alvi, gelisah tapi kesadaranmasih tetap baik, kelainan-kelainan menjadi bertambah berat. Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dantindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisa, dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-

lahan, tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama, penyembuhan yang cepat jarang terjadi. Bentuk yang sedang, keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya tidak berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Bentuk yang ringan keluhan-keluhan atau gejala tersebut diatas lebih ringan. Bentuk ysng menahun terdapat serangan seperti bentuk akut secara menahun. Bentuk ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik. d. Diagnosis Diagnosis klinis disentri didasarkan semata-mata pada terlihatnya darah di dalam tinja. Tinja mungkin juga mengandung sel-sel nanah (lekosit

polimorfonuklear) yang terlihat dengan mikroskop dan mungkin mengandung lendir dalam jumlah banyak, gambaran yang terakhir ini mengarah ke infeksi bakteri yang invasive ke mukosa usus (seperti Campylobacter jejuni atau Shigella), akan tetapi gejala ini saja tidak cukup untuk mendiagnosa disentri. Pada beberapa episode Shigellosis, pertama-tama tinja cair kemudian menjadi berdarah setelah 1 atau 2 hari. Diare cair ini kadang-kadang berat dan menyebabkan dehidrasi. Namun biasanya keluarnya tinja berdarah sedikit-sedikit beberapa kali dan tidak sampai dehidrasi. Penderita dengan disentri sering disertai panas, tetapi kadang-kadang suhunya rendah, terutama pada kasus-kasus yang berat. Sakit kram di perut dan sakit di dubur pada waktu defekasi, atau tetanus juga sering terjadi, namun anak kecil tidak dapat menggambarkan keluhan ini. Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis disentri basilar ialah pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab. Pada stadium lanjut dilakukan pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitologi (sigmoidoskopi). Aglutinasi karena agglutinin terbentuk pada hari kedua dengan maksimum pada hari keenam. Pada S. dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50, dan pada S. flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai. e. Komplikasi Beberapa komplikasi yang berat dan kemungkinan fatal dapat terjadi pada waktu disentri, terutama bila penyebabnya Shigella. Keadaan ini meliputi : 1) Dehidrasi 2) Gangguan elektrolit, terutama hiponatremia 3) Kejang (dengan atau tanpa hiperpireksia)

4) Protein loosing enteropathy 5) Sepsis dan DIC 6) Sindoma Hemolitik Uremik 7) Malnutrisi/malabsorpsi 8) Hipoglikemia 9) Prolapsus rektum 10) Artritis reaktif 11) Sindroma Guillain-Barre 12) Ameboma 13) Toksik megakolon 14) Perforasi usus 15) Peritonitis Komplikasi utama disentri adalah kehilangan berat badan dan status gizi yang dengan cepat memburuk. Hal ini disebabkan oleh anoreksia, kebutuhan badan terhadap gizi untuk mengatasi infeksi dan memperbaiki kerusakan usus dan kehilangan protein melalui jaringan yang rusak (misal : hilangnya protein karena enteropati). Kematian karena disentri biasanya disebabkan oleh kerusakan pada ileum dan kolon, komplikasi sepsis, infeksi sekunder (misal : pneumonia) atau gizi buruk. Anak yang baru sembuh dari disentri juga meningkat resiko kematiannya karena infeksi lain, disebabkan buruknya status gizi atau turunnya imunitas. f. Terapi Anak dengan disentri basilar harus dicurigai karena Shigellosis dan diberi pengobatan yang sesuai. Ini disebabkan karena kira-kira 60% kasus disentri yang datang ke sarana kesehatan dan hampir semua kasus berat dan mengancam kehidupan adalah disebabkan Shigella. Empat komponen kunci pengobatan disentri adalah 1) Koreksi dan maintenance cairan dan elektrolit 2) Penilaian dan koreksi terhadap status hidrasi dan keseimbangan elektrolit. Seperti halnya pada kasus diare akut secara umum, ini merupakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan disentri setelah keadaan stabil. 3) Diet. Anak dengan disentri harus diteruskan pemberian makanannya. Berikan diet lunak tinggi kalori dan protein untuk mencegah malnutrisi. Dosis tunggal tinggi vitamin A (200.000 IU) dapat diberikan untuk menurunkan tingkat keparahan disentri, terutama pada anak yang diduga mengalami defisiensi.

Untuk mempersingkat perjalanan penyakit, dapat diberikan sinbiotik dan preparat seng oral. Dalam pemberian obat-obatan, harus diperhatikan bahwa obat-obat yang memperlambat motilitas usus sebaiknya tidak diberikan karena adanya resiko untuk memperpanjang masa sakit. 4) Antibiotika a) Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan mendapatkan terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotika yang tepat akan mengurangi masa sakit dan menurunkan resiko komplikasi dan kematian. b) Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimokasazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari. c) Dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian kotrimoksazol dibandingkan placebo10. d) Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis Cefixime 8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, dosis tunggal IV atau IM Asam nalidiksat 55mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. e) Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll. Bila dalam 2 hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan dan diganti dengan alternatif lain. f) Terapi antiamubik diberikan dengan indikasi : Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja. Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturutturut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri basiler. g) Terapi yang dipilih sebagai antiamubik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik dalam 2-3 hari terapi.

h) Sanitasi. Beritahukan kepada orang tua anak untuk selalu mencuci tangan dengan bersih sehabis membersihkan tinja anak untuk mencegah autoinfeksi.

2. AMEBIASIS a. Etiologi Amebiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Protozoa ini termasuk dalam kelas rhizopoda. Dalam daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai tiga stadium yaitu : (1) Bentuk histolitika ukuran 20-40 m. ektoplasma bening homogen pada tepi sel dan terlihat nyata. endoplasma berbutir halus dan tidak mengandung bakteri/sisa makanan, mengandung sel eritrosit dan inti entamoeba. berkembang biak dengan pembelahan biner di jaringan dan merusak jaringan tersebut sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba histolytica (histo = jaringan, lisis = hancur). patogen pada usus besar, hati paru-paru, otak, kulit dan vagina

Entamoeba histolytica di kolon. Beberapa sedang memakan eritrosit. (Sumber: Robbins Basic Pathology8th Edition:608)

(2) Bentuk minuta ukuran 10-20 m ektoplasma tampak berbentuk pseudopodium dan tidak terlihat nyata endoplasma berbutir kasar, mengandung sisa makanan/bakteri dan

mengandung inti entamoeba tetapi tidak mengandung eritrosit (3) Bentuk kista ukuran 10-20 m

sebagai bentuk dorman pertahanan terhadap lingkungan, dapat hidup lama luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standar di dalam sistem air minum.

Dinding kista dibentuk oleh hialin. Pada kista muda terdapat kromatid dan vakuola Kista immatur : kromosom sausage-like Kista matang 4 nukleus Kista matang merupakan bentuk infektif Entamoeba histolytica Bentuk diagnostiknya berupa kista berinti entamoeba dalam tinja.

b. Epidemiologi Transmisi penyakit ini secara fekal-oral, baik secara langsung melalui tangan maupun tidak langsung melalui air minum atau makanan yang tercemar. Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Carrier biasanya orang sehat. Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negaranegara sedang berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang jelek. Di negara beriklim tropis banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim sedang. Oleh karena itu di negara yang sudah maju dijumpai penderita asimtomatik. Akan tetapi di negara yang sedang berkembang banyak dijumpai penderita simtomatik. c. Patogenesis E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai komensal (apatogen) di usus besar manusia. Jadi protozoa ini tidak selalu menimbulkan penyakit. Bila tidak menyebabkan penyakit, amoeba ini hidup sebagai trofozoit bentuk minuta yang bersifat komensal di lumen usus besar, berkembang biak secara belah pasang. Apabila kondisi mendukung, dapat berubah menjadi patogen (membentuk koloni di dinding usus, menembus mukosa usus, kemudian menimbulkan ulserasi). Bentuk minuta dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk kista. Kista dikeluarkan bersama tinja, dengan adanya dinding tersebut bentuk kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari), di lingkungan lembab (12 hari). Kista mati pada suhu 50C atau dalam keadaan kering. Bentuk trofozoitnya terdiri dari 2 macam, trofozoit komensal (<10 m) dan trofozoit patogen (>10 m).

Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh penderita, sifat keganasan (virulensi) amoeba maupun lingkungannya mempunyai peran. Sifat keganasan amoeba ditentukan oleh strainnya. Strain amoeba di daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasannya tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan mengizinkan. Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muskular akan terjadi perforasi dan peritonitis.

Kista matang tertelan

Kista masuk secara fecal-oral(rute gastrointestinal)

Kista tahan terhadap asam lambung

Dinding kista dicerna pada usus halus

Bentuk minuta menuju ke rongga usus besar

Bentuk histolitika yang patogen

Menginvasi mukosa usus besar

Mengeluarkan sistein proteinase(histolisin)

Nekrosis dengan lisis sel jaringan (lisis)

Menembus lapisan submukosa(kerusakan bertambah)

Menimbulkan luka/ulkus amoeba (Flask-shaped ulcer)

Tinja disentri (tinja yang bercampur lendir dan darah)

d. Gejala Klinis Berdasarkan berat ringannya gejala klinis yang ditimbulkan maka amoebiasis dapat dibagi menjadi : 1) Carrier (cyst passer) Penderita tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena ameba yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan invasi ke dinding usus.

2) Amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan) Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Biasanya penderita mengeluh : Perut kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang Diare ringan 4-5 kali sehari Tinja berbau busuk Kadang tinja bercampur darah dan lendir Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid Tanpa atau disertai demam ringan (subfebril) Kadang-kadang disertai hepatomegali

3) Amebiasis intestinal sedang (disentri amoeba sedang) Keluhan dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, dengan ciri-ciri : Tinja disertai darah dan lendir Perut kram Demam dan lemah badan Hepatomegali yang nyeri ringan

4) Disentri amoeba berat Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi, yaitu dengan ciri-ciri : Diare disertai darah yang banyak Diare >15 kali per hari Demam tinggi (400C-40,50 C) Mual dan anemia

Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan perforasi usus 5) Disentri amoeba kronik Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

e. Diagnosis Amoebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel syndrom, divertikulitis, enteritis regional dan hemorroid interna, sedang disentri amoeba sukar dibedakan dengan disentri basilar (Shigellosis) atau Salmonellosis, kolitis ulserosa dan skistosomiasis. Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan

kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amoebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain pada seorang penderita. Sering amoebiasis terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu apabila penderita amebiasis yang telah mendapat pengobatan spesifik masih tetap mengelus perutnya sakit, perlu dilakukan pemeriksaan lain, seperti endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.

f. Pemeriksaan Penunjang 1) 2) 3) 4) Laboratorium hematologi, kimia klinik Laboratorium mikrobiologi Ultrasonografi Scanning hati

Dari pemeriksaan penunjang pada penderita amoebiasis akan didapatkan : 1) 2) Leukositosis Adanya trofozoit atau kista di dalam feses atau trofozoit di dalam pus hasil aspirasi atau dalam specimen jaringan. Tes diagnostik laboratorium yang paling baik untuk menegakkan diagnosa diare adalah diagnosa laboratorium tinja. Pengambilan tinja harus dilakukan sebelum pemakaian terapi antimikroba. Tinja yang diambil tidak boleh terkontaminasi urin. Jadi, sebaiknya pasien diminta berkemih dahulu sebelum mengeluarkan tinja. Tinja yang telah diambil diawetkan dalam larutan fiksatif polivinil alkohol(PVA) atau metiolat iodium formalin(MIF). Kemudian tinja disimpan pada media transport(dapat berupa media Cary Blair & Stuart atau pepton water). Pemeriksaan mikroskopis: Tinja dioleskan dalam preparat. Tinja diperiksa dengan meneteskan larutan garam fisiologis.

Tutup dengan dek gelas Perhatikan kuman yang terdapat dalam hapusan tersebut. Misalnya, teramati tropozoit yang bergerak cepat ke satu arah dengan menjulurkan pseudopodiainfeksi Entamoeba histolytica. Untuk pemeriksaan lebih jelas, tambahkan lugol teramati kista entamoeba ukuran 5-20 m, inti berwarna coklat tua dengan sitoplasma berwarna kuninginfeksi Entamoeba histolytica.

g. Komplikasi Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi : 1) Komplikasi Intestinal 2) h. Terapi Amoeba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus, maupun di luar usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan. 1) Carrier (cyst passer) Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Di samping itu carrier merupakan sumber infeksi utama. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superfisial, tidak Perdarahan usus Perforasi usus Ameboma Intususepsi

Komplikasi Ektra Intestinal Amebiasis hati Amebiasis pleuropulmonal Abses otak, limpa, dan organ lain Amoebiasis kulit

mencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menimbulkan gangguan peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya : Diloksanit furoat (Diloxanite furoate) Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan amoebisid luminal pilihan. Diyodohidroksikin (Diiodohydroxyquin) Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari Yodoklorohidroksikin (clioquinol) Dosis 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari Karbarson (carbarsone) Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari Bisthmuth glycoarsanilate Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari Klefamid (clefamide) Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari Paromomycin Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar, walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang dapat dipakai adalah : Klorokin difosfat (chloroquin diphosphate) Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x 250 mg, selama 7-12. Metronidazol Dosis 35 x 50 mg/kgBB atau 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari Tinidazol Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 3 hari Omidazol Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari (Iodochloro-hydroxyquin) atau kliokinol

Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri kepala.Tidak dianjurkan yang mengidap penyakit darah, juga pada ibu hamil karena bersifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi bakteri. 2) Amebiasis intestinal ringan sedang Penderita akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Oleh karena didapatkan trofozoit di dalam lumen usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah : Metronidazol Dosis 3 x 750 mg sehari, selama 5-10 hari Tinidazol Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 3 hari Imidazol Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari Oleh karena pada penderita yang sudah sembuh dengan pengobatan metronidazol dapat timbul abses hati dalam jangka waktu 3-4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Diyodohidroksikin Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari Kliokinol atau diloksanid furoat Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari Tetrasiklin Dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari 3) Disentri amoeba berat Penderita ini tidak hanya memerlukan obat amoebisid saja, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti pada disentri amoeba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau dihidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan yang dalam. Tidak diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin

1 mg/kgBB sehari( maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek samping emetin terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita meninggal mendadak. 4) Amoebiasis Ektraintestinal dan Ameboma Penderita abses hati ameba dapat diberi : Metronidazol Dosis 35-50 mg/kg BB atau 3x 500 mg sehari, selama 5 hari Tinidazol Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 3 hari Omidazol Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari Klorokindifosfat Dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari, dilanjutkan dengan 600 mg sehari, selama 4 minggu. Masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroemetin atau emetin dengan dosis seperti tersebut diatas selama 10 hari. Kadang-kadang apabila abses hati sangat besar sukar sembuh. Perlu dipertimbangkan tindakan pungsi abses, untuk mempercepat penyembuhan. Pada amoebiasis

ekstraintestinal lainnya dan ameboma obat-obat tersebut di atas dapat diberikan, kecuali klorokuin. i. Prognosis Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis amoebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi. Pada abses hati amoeba kadang-kadang diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula pada amoebiasis yang disertai penyulit efusi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak amoeba. j. Pencegahan Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan 400C selama 5

menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak bisa membinasakan nkista. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan makanan.

3. DIARE KARENA ROTAVIRUS a. Pendahuluan Rotavirus adalah virus RNA rantai ganda yang temasuk dalam family Reoviridae. Virus ini merupakan penyebab tersering diare yang berat pada bayi dan anak-anak. Pada usia 5 tahun hampir seluruh anak di dunia terinfeksi virus ini minimal satu kali. Meskipun demikian setiap kali infeksi terjadi peningkatan imunitas sehingga infeksi berikutnya tidak menimbulkan manifestasi yang berat, infeksi pada dewasa tidak menimbulkan manifestasi klinis. Ada 7 spesies virus yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Rotavirus A merupakan 90% penyebab infeksi. Transmisinya secara fekal-oral. Virus ini menyerang sel pada usus kecil dan mengeluarkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis dan diare yang berat, dan kadang-kadang menyebabkan kematian oleh karena dehidrasi. Meskipun telah ditemukan sejak tahun 1973, dan menjadi 50% penyebab diare berat di rumah sakit, namun virus ini belum dikenal luas khususnya di negara berkembang. Selain menginfeksi manusia virus ini juga menginfeksi hewan. Lebih dari 500.000 anak berusia di bawah 5 tahun meninggal oleh karena rotavirus tiap tahunnya, dan hampir 2 juta anak menderita diare yang berat. Di USA, rotavirus menyebabkan 2,7 juta kasus diare berat, 60.000 perawatan di rumah sakit, dan 37 kematian tiap tahun. Dinas kesehatan mensosialisasikan penanganan rotavirus dengan terapi rehidrasi oral dan vaksinasi untuk mencegah virus ini. b. Epidemiologi Rotavirus A yang merupakan 90 % penyebab gastroenteritis pada manusia, tersebar endemis di seluruh dunia. Setiap tahun Rotavirus menyebabkan jutaan kasus diare di negara-negara berkembang, hampir 2 juta kasus penyebab perawatan di Rumah Sakit, dan diperkirakan 611.000 penyebab kematian. Di Amerika sendiri, dilaporkan hampir 2,7 juta kasus gastroenteritis oleh karena Rotavirus, 60.000 anak dirawat di rumah sakit, dan 37 orang meninggal oleh karena infeksi virus ini. Peranan utama Rotavirus sebagai penyebab diare, belum diketahui secara luas oleh Instansi Kesehatan khususnya di negara berkembang. Hampir setiap anak terinfeksi

virus ini pertama kali pada umur 5 tahun. Rotavirus menjadi penyebab utama diare yang berat pada bayi dan anak-anak, yakni sekitar 20 % kasus dan 50% penyebab perawatan di rumah sakit. Anak laki-laki mempunyai resiko 2 kali lebih besar untuk di rawat di rumah sakit daripada anak perempuan. Pada negara dengan 4 musim, infeksi Rotavirus terjadi pada musim dingin, sedangkan pada negara dengan iklim tropis infeksi Rotavirus ini dapat terjadi sepanjang tahun, perbedaan ini dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembaban. Jumlah yang diperlukan untuk mengkontaminasi makanan tidak diketahui. Kejadian luar biasa diare Rotavirus sering terjadi pada bayi yang dirawat di rumah sakit, anak kecil yang dititipkan, orang dewasa yang dirawat di rumah. Kejadian luar biasa ini biasanya disebabkan oleh karena kontaminasi air, seperti yang terjadi di Colorado pada tahun 1981. Sampai tahun 2005 tercatat kejadian luar biasa diare Rotavirus terbesar terjadi di Nicaragua. Hal ini terjadi oleh karena diduga adanya mutasi gen rotavirus A, sehinngga tidak dikenali oleh sistem imun tubuh yang lama. Kejadian luar biasa yang hampir sama juga terjadi di Brazil pada tahun 1977. Rotavirus B juga disebut sebagai adult diarrhea Rotavirus (ADRV), menjadi penyebab terjadinya kejadian diare luar biasa yang berat pada ribuan orang dalam berbagai umur di China. Kejadian epidemik ini terjadi oleh karena kontaminasi air minum. Infeksi Rotavirus B ini juga terjadi di India pada tahun 1998, strain penyebabnya dinamakan CAL. Tidak seperti ARDV, strain baru bernama CAL sifatnya epidemik di China, tetapi hasil survey melaporkan adanya penyebaran ke Amerika. Infeksi Rotavirus C sangat jarang menimbulkan diare pada anak di sebagian besar negara, namun demikian kejadian luar biasa infeksi Rotavirus C ini pernah dilaporkan terjadi di Jepang dan Inggris. c. Transmisi Penularan dapat terjadi melalui jalur fekal-oral, kontak dengan tangan, atau benda yang terkontaminasi, dan juga melalui inhalasi. Feces orang yang terinfeksi dapat mengandung 10 triliun virus per gramnya. Hanya 10-100 virus yang diperlukan untuk menginfeksi orang lain. Rotavirus sangat stabil pada lingkungan biasa dan dapat ditemukan sebanyak 1-5 partikel infeksius per US gallon. Sanitasi yang baik, yang bebas dari bakteri dan kuman juga tidak efektif untuk mengeliminasi rotavirus, sebagai bukti jumlah

infeksi rotavitus pada negara dengan standar sanitasi yang tinggi ataupun rendah sama saja.

d. Patogenesis Diare disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan virus. Malabsorbsi terjadi oleh karena kerusakan sel usus (enterocyt). Racun yang diprosuksi Rotavirus berupa protein NSP4 menyebabkan sekresi ion kalsium, mengganggu SGLT1 dalam proses reabsorbsi air, menghambat aktivitas membran silia disakarida, dan kemungkinan mengganggu reflek simpatis parasimpatis usus. Enterocyt yang sehat

mengsekresikan lactase ke usus kecil, intoleransi susu dapat terjadi oleh karena defisiensi lactase dan menjadi gejala khas dari infeksi rotavirus ini, dan kondisi ini dapat berlangsung sampai satu minggu. Diare sedang yang berulang oleh karena pengenalan susu buatan pada anak terjadi oleh karena fermentasi disakarida laktosa oleh bakteri di usus. e. Gejala Klinis Gejala yang didapatkan pada gastroenteritis oleh karena rotavirus antara lain dapat berupa muntah, diare air, dan demam sumer-sumer. Ketika seorang anak terinfeksi virus ini perlu waktu inkubasi selama kurang lebih 2 hari sebelum timbulnya gejala klinis. Dehidrasi lebih sering terjadi pada infeksi rotavirus daripada oleh karena bakteri patogen, dan menjadi penyebab kematian tersering oleh karena infeksi rotavirus ini. Infeksi rotavirus dapat terjadi seumur hidup, infeksi pertama kali menimbulkan gejala, namun infeksi berikutnya tidak menimbulkan gejala oleh karena adanya peningkatan sistem imunitas tubuh. Oleh karena itu, infeksi dengan manifestasi klinis terbanyak pada usia di bawah 2 tahun dan menurun sampai dengan usia 45 tahun. Infeksi pada neonatus biasanya asimtomatik atau infeksi sedang, infeksi yang berat biasanya pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun, juga pada anak yang lebih tua dengan imunokompromis. Oleh karena imunitas yang didapat pada waktu anak, orang dewasa kebal terhadap infeksi rotavirus, diare pada dewasa lebih sering disebabkan hal lain, selain rotavirus, akan tetapi infeksi asimtomatik pada dewasa ini dapat menjadi sumber penularan. Infeksi simptomatis pada dewasa dapat disebabkan rotavirus tipe A dengan serotipe yang lain.

f. Diagnosis Diagnosis infeksi Rotavirus normalnya mengikuti diagnose gastroenteritis yang menyebabkan diare berat. Kebanyakan anak yang masuk rumah sakit dengan gastroenteritis diperiksa untuk infeksi Rotavirus A. Diagnosis yang lebih spesifik dengan mengidentifikasi virus pada tinja pasien dengan menggunakan teknik enzim immunoassay. Ada banyak alat test berlisensi yang beredar di pasaran, yang sensitif, spesifik dan dapat mendeteksi semua serotype Rotavirus A. Metode lain, menggunakan mikoroskop elektron, dan elektroporesis policrylamide gel, digunakan pada laboratorium penelitian. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RTPCR) dapat mendeteksi dan mengidentifikasi semua spesies dan serotype Rotavirus pada manusia. g. Terapi Penatalaksanaan infeksi Rotavirus akut tidak spesifik, meliputi terapi gejala yang ada, dan sangat penting untuk mengatasi dehidrasinya. Berdasarkan berat ringannya diare, terapi meliputi oral rehidrasi baik dengan air putih, air dengan garam, atau air dengan garam dan gula. Pada beberapa infeksi yang berat dengan kondisi yang mengkhawatirkan perlu dirawatinapkan, sehingga cairan dapat

diberikan secara intravena, ataupun melalui nasogastric tube, selain itu kadar elektrolit, dan gula dapat terus dimonitor dengan baik.

4. GIARDIASIS a. Etiologi Giardiasis disebabkan oleh Giardia lamblia. Transmisinya secara fekal-oral. Terdapat 2 stadium dalam daur hidupnya, yaitu: 1) Bentuk tropozoit Pear shape (Bentuk tropozoit bilateral simetris seperti buah jambu monyet yang bagian anteriornya membulat dan bagian posteriornya meruncing. Permukaan dorsalnya cembung (konveks) dan pipih di sebelah ventral), 9-20 m x 5-15 m 2 nukleus di bagian anterior, 8 flagela Aksonema, badan tengah

2) Bentuk kista Ukuran 8-12 m, 4 nukleus Dinding tipis dan kuat dan letaknya terpisah dari dinding kista

Sitoplasma berbutir halus Kista yang baru terbentuk mempunyai 2 inti, yang matang mempunyai 4 inti, letaknya pada 1 kutub. Sewaktu kista dibentuk, tropozoit menarik kembali flagel-flagel ke dalam aksonema sehingga tampak sebagai 4 pasang benda sabit (sisa dari flagel) G.lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal

yeyunum dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Dengan pergerakan flagel yang cepat tropozoit bergerak dari satu tempat ke tempa lain dengan batil isap melekatkan diri pada epitel usus. Tropozoit berkembangbiak dengan cara belah pasang longitudinal. Dalam tinja cair biasanya hanya ditemukan tropozoit. Enkistasi terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat. Bila kista matang tertelan ole hospes, maka terjadi ekskistasi di duodenum, kemudian sitoplasmanya membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga terbentuklah 2 tropozoit. Cara infeksi ialah dengan menelan kista matang.

b. Epidemiologi Manusia adalah hospes alamiah Giardia lamblia. Spesies Giardia dengan morfologi yang sama ditemukan pada berbagai hewan. Parasit ini tersebar kosmopolit, prevalensinya 2-25% atau lebih, tergantung dari golongan umur yang diperiksa dan sanitiasi lingkungan. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas daripada di daerah beriklim dingin. Parasit ini juga ditemukan di Indonesia. Prevalensi yang pernah ditemukan di Jakarta ialah 4,4%. Prevalensinya di Jakarta antara tahun 1983 dan 1990 adalah sebesar 2,9% (194 positif dari 6810 sampel tinja yang dikirim ke bagian Parasitologi FKUI dari penderita di Jakarta). Transmisi terjadi dengan tertelannya kista matang. Makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan tinja, juga lalat atau penjaja makanan merupakan sumber infeksi, tetapi kadang-kadang transisi terjadi karena kontak langsung antara individu yang terinfeksi dengan individu yang tidak terinfeksi seperti pada infeksi cacing kremi (hand-to-mouth).

G.lamblia lebih sering ditemukan pada anak daripada orang dewasa, terutama pada anak berumur 6-10 tahun dari keluarga besar, di rumah yatim piatu dan di sekolah dasar. Terjadinya epidemic giardiasis telah dilaporkan di tempat perawatan anak (day care centers). Pada orang dewasa giardiasis ditemukan pada orang yang bepergian (travelers diarrhea), karena air minum yang terkontaminasi. Karena infeksi G.lamblia terjadi di hutan-hutan di daeah pegunungan di Amerika Serikat pada orang yang berkemah, maka diduga bahwa hewan liar (muskrat, beaver) merupakan sumber G.lamblia yang dapat menginfeksi manusia. G.lamblia juga dianggap sebagai parasit yang ditularkan melalui seks pada kaum homoseksual maupun heteroseksual ang mempraktekkan seks oral-anal. Infeksi G.lamblia juga makin banyak ditemukan pada penderita AIDS. Selain daripada menyebabkan gangguan gastrointestinal, infeksi G.lamblia juga dihubungkan dengan sindrom alergi seperti urtikaria kronik, arteritis retinal dan iridosiklitis pada anak-anak dewasa. c. Patologi Giardia tidak selalu menimbulkan gejala meskipun batil isapnya melekat pada mukosa duodenum dan jejunum. Bila timbul kelainan biasanya hanya berupa iritasi yang disebabkan oleh melekatnya parasit pada mukosa dengan batil isapnya. Lesi berupa vilus yang menjadi lebih pendek dan peradangan pada kripta dan lamina propria, seperti tampak pada sindroma malabsorbi. Tidak diketahui apakah kelainan mukosa oleh Giardia disebabkan faktor mekanik, toksik, atau faktor lainnya. Infeksi Giardia dapat menyebabkan diare, disertai steatorhoe karena gangguan absorbsi lemak. Selain itu, terdapat pula gangguan absorbsi karoten, folat, dan vitamin B12. Produksi enzim mukosa juga berkurang. Penyerapan bilirubin oleh Giardia menghambat aktivase lipase pankreatik. Kelainan fungsi usus kecil ini disebut sindrom malabsorbsi, yang menimbulkan gejala kembung, abdomen membesar dan tegang, mual, anoreksia, feses banyak dan berbau busuk dan mungkin penurunan berat badan.

Flora normalTropozoit dalam tinja cairEnkitasi sepanjang prosesTinja mulai padatKista matang dalam tinja padatEksitasi pada duodenum Proses eksitasi: KistaTropozoitSitoplasma membelahFlagel tumbuh dari Aksonema2 tropozoitmenginvasi usus halus Giardia lamblia tidak menginvasi mukosa, tetapi menyerang vili. Protozoa ini menyebabkan atropi vili yang mengarah pada malabsorpsidiare.

d. Gejala Klinis Giardiasis biasanya asimptomatik. Gejala giardiasis paling banyak terlihat pada orang yang bepergian. Fase inkubasi biasanya berlangsung 9-15 hari. Stadium akut ditandai dengan rasa tidak enak di perut dan diikuti dengan mual dan anoreksia. Dapat muncul demam yang tidak terlalu tinggi dan menggigil. Kemudian diikuti

diare yang encer, berbau tidak enak, dan banyak. Nyeri perut dan buang angina. Stadium ini berlangsung 3-4 hari. Jika tidak diobati maka gejala akan menetap sampai beberapa bulan. Giardiasis kronis dapat menyebabkan malabsorbsi. Gejala giardiasis bervariasi dari orang ke orang, tergantung ukuran tempat melekat parasit, lama infeksi, dan faktor pejamu, individu dan parasit. e. Diagnosis Gejala klinis giardiasis tidak khas. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan bentuk tropozoit dalam tinja encer dan cairan duodenum dan bentuk kista dalam tinj padat. Dalam sediaan basah dengan larutan iodin atau dalam sediaan yang dipulas dengan trikom. Morfologi G.lamblia dapat dibedakan dengan jelas dari protozoa lain. Tropozoit hanya dapat ditemukan dalam tinja segar, sebelum tropozoit mengalami disintegrasi. Teknik konentrasi dapat meningkatkan penemuan kista. Dengan enterotest harus ditelan kapsul gelatin, kemudian mukus usus yang menempel pada kapsul dapat diperiksa secara mikroskopik. Tetapi ditemukannya parasit ini belum membuktikannya sebagai penyebab gejala duodenitis. Tukak lambung, karsinoma, strongloidiasis dan gastroenteritis oleh sebab lain harus disingkirkan dahulu.
f. Komplikasi

1) Gangguan Gatrointestinal, seperti Irritable Bowel Syndrome dan disfungsi saluran empedu 2) Manifestasi Ekstraintestinal 3) Arthritis 4) Manifestasi Dermatologi, berupa pruritus dan urtikaria 5) Manifestasi Okuler, berupa uveitis, retinal arteritis, dan perubahan salt and pepper pada retina. g. Pengobatan Giardiasis dapat diobati dengan metronidazol yang jarang menimbulkan efek samping. Dosis untuk dewasa adalah 3 x 250 mg sehari selama 7hari, dosis anak disesuaikan dengan umur. h. Prognosis Prognosis giardiasis adalah baik bila pengobatannya tepat dan disertai perbaikan lingkugan dan sanitasi.

5. DISENTRI KOLERA a. Etiologi Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Vibrio cholerae. Vibrio cholerae merupakan kuman aerob gram negative dengan ukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4 mm, mudah ditemukan dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan gram sebagai batang-batang pendek sedikit pendek (koma), tersusun berkelompok seperti gerombolan ikan. Terdapat 2 biotipe yaitu klasik dan El Tor. Tiap biotipe dibagi menjadi 2 serotipe yaitu inawa dan ogawa. Diagnosis presumtit dengan mikroskop fluoresensi dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabeli dengan fluoresen. Kuman kolera tumbuh cepat dalam berbagai media selektif seperti agar empedu, agar thiosufate-citrate-bile salt-sucrose (TCBS). Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwarna kuning suram. Identifikasi V. cholera biotipe El Tor penting untuk tujuan epidemiologis. b. Epidemiologi Kolera dapat menyebar sebagai penyakit endemik, epidemik dan pandemik. Sejak tahun 1917 dikenal 7 pandemi yang penyebarannya bahkan mencapai eropa. Vibrio yang bertanggungjawab terjadinya pandemik ke-7 yaitu vibrio cholera O1, biotipe El Tor. Pandemi ke -7 diawali dengan epidemi terjadi di Indonesia terjadi tahun 1961 di sulawesi. Sampai tahun 1992 hanya serotipe V. cholera tipe O1 yang menyebabkan epidemi. Pandemi ke-8 terjadi di bangladesh yang diakibatkan oleh V. cholera O139. c. Patogenesis Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila berhasil melalui pertahanan primer dalam mulut bakteri ini akan cepat mati oleh karena asam lambung yang tidak di encerkan. Jika V. Cholera dapat melewati asam lambung dia akan berkembang di usus halus. Suasana alkali usus halus merupakan medium yang menguntungkan bagi vibrio untuk hidup dan memperbanyak diri. Penempelan vibrio pada usus halus dapat terjadi karena adanya membran protein terluar dan adhesi flagella. V. cholera merupakan bakteri yang invasif, patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin pada sel epitel duodenum dan jejunum sehingga menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit secara masif.

Toksin kolera mengandung dua sub unit yaitu B (binding) dan A (active). Sub unit B terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifik, reseptor GM1 yang terdapat pada sel epitel usus halus sehingga sub unit A dapat menembus membrane sel epitel. Sub unit tersebut memiliki akifitas adenosine diphosphate (ADP) ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang menghambat absorbsi Nacl dan merangsang ekskresi klorida yang menyebabkan hilangnya air, Nacl, kalium dan bikarbonat. Toksin-toksin tambahan yang diketahui terlibat pada patogenesis kolera yaitu Zonula Ocludens Toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction interseluler dan Accessory cholera exotoxin (Ace) yang meningkatkan transpor ion transmembran.
Figure 17-32 Mechanisms of cholera toxin action.

d. Gejala Klinis Kolera dikenal dengan manifestasi diare disertai muntah akut dan hebat akibat enterotoksin yang dihasilkan kuman tersebut. Manifestasi klinis khasnya bisa mengakibatkan dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis metabolik yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat akibat diare sekretorik dan dapat berakhir kematian.

Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis kolera bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dehidrasi berat. Gejala klinis khasnya ditandai dengan diare encer dan banyak tanpa didahului rasa mulas maupun tenesmus. Feces berupa cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk, ataupun amis tapi manis menusuk. Muntah timbul setelah diare tanpa didahului mual, kejang otot dapat menyusul baik dalam bentuk fibrilasi maupun fasikulasi, maupun kejang klonik yang mengganggu. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular. Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan elektrolit serta asidosis. Pasien dalam keadaan lemah lunglai, namun kesadaran relatif baik di banding dengan berat penyakitnya. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi cepat, napas lebih cepat, suara serak seperti bebek manila (vox cholerica), turgor kulit menurun, bibir kering, perut cekung (skafoid), suara peristaltik menurun,ujung jari keriput (washer woman hand), diuresis berangsur berkurang berakhir dengan anuria.

e. Diagnosis Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar menegakkan diagnosis kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan menentukan diagnosis biasanya teradi pada kasus ringan dan sedang, terutama diluar endemik atau epidemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan tinja seperti air cucian beras, suhu badan tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis. Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini, pengobatan harus segera dimulai, tanpa menunggu pemeriksaan bakteriologis. Diare sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera, dapat disebabkan oleh Enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC). Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan diamati dibawah mikroskop lapangan gelap, akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola motilitas seperti shooting star. Untuk pemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pangambilan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali,

atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan presentase hasil positif yang tinggi.

f. Terapi Dengan diketahui patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera saat ini tidak ada masalah dengan pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi simtomatik dan kasual secara simultan. Tata laksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan kehilangan insensibel), serta terapi antimikrobial. Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada dehidrasi yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan rehidrasi harus secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan rehidrasi dapat secara peroral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS). Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral baik pada kasus dehidrasi berat, sedang, maupun ringan.

DAFTAR PUSTAKA

Armon K. Stephenson T, Macfaul R, Eccleston P, Warneke U. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhea management. Arch Dis Child 2001;85:132-42. B. Soebagyo. 2008. Diare akut pada anak. Sebelas Maret University Press Lung E. Acute diarrheal diseases dalam current diagnosis abd treatment in gastroenterology. Ed. Friedman S ; edisi ke 2 New Tork 2003 :McGraw Hill,hal 131-49 Robbins et al. 2007. Basic pathology of disease. Philadelphia. Elsevier Saunders, 18: 833-893

Anda mungkin juga menyukai