1. Pengertian Diare
Menurut Depkes RI (2010), diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat
berupa air saja yang frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih dalam
sehari).
Menurut Widjaja (2008), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat
kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi berak lebih
dari biasanya (3 atau lebih per hari) yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi
tinja dari penderita (Depkes RI, Kepmenkes RI tentang pedoman P2D, Jkt, 2008).
c. Manifestasi klinis
Secara klinis diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan yaitu :
Koleriform, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja.
Disentriform, pada diare di dapat lendir kental dan kadang-kadang darah.
d. Penatalaksanaan
Pada orang dewasa, penatalaksanaan diare akut akibat infeksi, terdiri dari empat
hal penting yang perlu diperhatikan, adalah:
Jenis cairan
Pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit. Diberikan cairan RL, bila tidak
tersedia dapat diberikan cairan NaCl isotonic ditambah satu ampul Na bikarbonat
7,5% 50 ml.
Jumlah cairan
Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang dikeluarkan.
Kehilangan cairan tubuh dapat dihitung dengan cara, yaitu:
Skor (15) x 10% x kg BB x 1 liter
Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa dapat dipilih oral atau iv.
Jadwal pemberian cairan
Jawdal pemberian cairan berdasarkan metode Daldiyono, diberikan pada 2 jam
pertama. Selanjutnya dilakukan penilaian kembali status hidrasi untuk
memperhitungkan kebutuhan cairan.
2) Diare kronik
Diare kronik ditetapkan berdasarkan kesepakatan, yaitu diare yang berlangsung
lebih dari tiga minggu. Ketentuan ini berlaku bagi orang dewasa, sedangkan pada
bayi dan anak ditetapkan batas waktu dua minggu.
a. Etiologi
Diare kronik memiliki penyebab yang bervariasi dan tidak seluruhnya diketahui.
b. Patofisiologi
Proses terjadinya diare dipengaruhi dua hal pokok, yaitu konsistensi feses dan
motilitas usus, umumnya terjadi akibat pengaruh keduanya. Gangguan proses
mekanik dan ensimatik, disertai gangguan mukosa, akan mempengaruhi pertukaran
air dan elektrolit, sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang terbentuk. Diare
kronik dibagi tiga, yaitu:
Diare osmotic
Dijelaskan dengan adanya faktor malabsorpsi akobat adanya gangguan absorpsi
karbohidrat, lemak atau protein, dan tersering adanya malabsorpsi lemak.
Diare sekretorik
Terdapat gangguan transpor akibat adanya perbedaan osmotik intralumen dengan
mukosa yang besar sehingga terjadi penarikan cairan dan elektrolit ke dalam
lumen usus dalam jumlah besar serta bentuk fesesnya akan seperti air.
Diare inflamasi
Diare inflamasi adalah diare dengan kerusakan dan kematian enterosit disertai
peradangan serta fesesnya berdarah.
c. Penatalaksanaan
Rehidrasi: oralit, cairan infus ( RL/NaCl).
Antipasmodik: papaverin (3xsehari), mebeverine (3-4 tab/hari), propantelin
bromid (3x15 mg/hari).
Obat anti diare
Obat antimotilitas dan sekresi usus : Laperamid 4 mg per oral (dosis awal)
lalu tiap diare cair diberikan 2 mg dengan dosis maksimal 16 mg/hari,
difenoksilat 4x 5 mg (2 tab), dan kodein fosfat 15-60 mg tiap 6 jam.
Obat anti diare yang mengeraskan tinja dan absorpsi zat toksin, yaitu: arang/
charcoal aktif 1-2 tab.
b. Komplikasi Sistematik
Hipoglikemia
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada shigellosis dibanding penyebab
disentri lain hipoglikemia sangat berperan dalam menimbulkan kematian
hipoglikemia terjadi karena gagalnya proses glukoneogenesis secara klasik
menifestasi klinis. Hipoglikemia adalah kaki tangan berkeringat dingin, tachikardi
dan letargik. Hipoglikemia berat dapat menimbulkan perubahan kesadaran dan
kejang. Tetapi gejala ini akan tersamar kalau diketemukan komplikasi lain jadi
pada tiap disentri dengan komplikasi harus diperiksa kadar glukosa darahnya.
Diagnosis ditegakkan melalui pengukuran kadar gula darah.
Hiponatremia
Komplikasi ini juga banyak terjadi pada Shigellosis dibanding penyebab lain.
Hiponatremia muncul akibat gangguan reabsorpi natrium di usus, kematian pasien
dengan hipogelikemia sering dibanding hiponatremia. Manifesrasi klinis
hiponatrea adalah hipotonia dan apati, Kalau berat dapat menimbulkan kejang.
Tetapi gejala ini juga akan bersamar kalau diketemukan komplikasi lain, jadi
pada tiap disentri dengan komplikasi harus diperiksa kadar natrium darahnya.
Idealnya, sekaligus diperiksa juga kadar kalium darah.
Sepsis
Komplikasi ini paling sering menyebabkan kematian dibandingkan
komplikasi lainnya data dari ICCDR menunjukkan 28,8 % dari 239 kasus kematian
akibat Shigellosis meninggal karena sepsis. Pengertian sepsis saat ini telah berubah,
dulu sepsis didefinisikan sebagai bakteriemia yang disertai gejala klinis. Sekarang
bakteriemia tidak lagi merupakan persyaratan diagnosis sepsis. Asalkan
Ditemukan manifestasi umum infeksi yang disertai gangguan fungsi organ multipel
sudah dianggap ada sepsis, gangguan fungsi organ multipel dapat ditimbulkan
mediator kimiawi, endotoksin, eksotoksin atau septikemianya sendiri manifestasi
umum/ganguan fungsi organ multipel ini dapat berupa hiperpireksi, cutis marmoratae
(akibat distensi kapiler), menggigil, gaduh gelisah, proteinuria dan lain sebagainya.
Yang paling menonjol terjadinya gangguan sirkulasi yang menimbulkan syok
septik. Gangguan fungsi organ multipel ini akan berlanjut menjadi gagal organ
multipel, syok menjadi ireversibel, Gagal organ multipel hampir selalu diikuti
kematian, Syok septik sangat sulit diobati, jadi untuk mencegah kematia kita
harus mengambil tindakan intensif pada tahap awal dimanabaru muncul tanda
umum infeksi yang berat dan gangguan fungsi organ belum menonjol.
Bakteriemia pada disentri dengan sepsis jarang yang disebabkan langsung oleh
shigella/kuman penyebab disentri lain, lebih banyak disebabkan invasi bakteri
enterik. Jadi dalam memilih antibiotik disamping memberikan antibiotik yang
dapat membunuh penyebab disentrinya, kita juga harus memberikan antibiotik yang
dapat mengatasi bakteri enterik yang berinvasi ini.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis gejala umum infeksi serta
gangguan fungsi organ multipel dibantu dengan temuan pemeriksaan penunjang
leukopenia atau leukositosis, disertai hitung jenis yang bergeser ke kiri adanya
granulasi toksi trombositepenia anemia dan CFP positif juga terjadi ganguan faktor
pembekuan: penurunan kadar protrombin fibrinogen, faktor VIII serta manifestasi
disseminated intravascular coagulation (DIC) dan bakteriemia.
Kejang dan Ensephalopati
Kejang yang muncul pada disentri tentu saja dapat berupa kejang demam
sederhana (KDS), tetapi kejang dapat merupakan bagian dari ensefalopati,
dengan kumpulan gejala hiperpireksi penurunan kesadaran dan kejang yang dapat
membedakannya dengan KDS, ensefalopati muncul akibat toksin Shiga/ Sit diagnosis
ditegakkan berdasarkan temuan klinis.
Sindrom Uremik Hemolitik
Sindrom ini ditandai dengan trias anemi hemolitik akibat mikroangiopati,
gagal ginjal akut dan trombositopeni. Anemia hemolitik akut ditandai dengan
ditemukannya fragmentosit pada sediaan hapus, Gagal ginjalakut ditandai oleh
oliguria perubahan kesadaran dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Trombositopea dapat meninbulkangajala perdarahan spotan. Manifestasi perdarhan
juga daa disebabkan oleh mikroangiopati,yang dapat berlanjut menjadi
Dissemination Intravasculair Coagulation (DIC) kematian dapat disebabkan oleh
terjadinya gagal ginjalakut dan gagal jantung. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan klinis serta pemeriksaan penunjang untuk memastikan adanya
trombositopenia, anemia hemolitik akut, serta peningkatan kadar ureum/
kreatinin. Pada keadaan yang berat bisa menyebabkan kematian karena gagal ginjal.
Pneumonia
Komplikasi pneumoni bisa juga terjadi pada disentri terutama yang disebabkan
oleh Shigella. Dari laporan ICDDRB pada penderita yang meninggal karena
disentri, 32% ditemukan pneumoni setelah dilakukan otopsi diagnosis ditegakkan
sesuai standar yang berlaku.
Kurang Energi Protein (KEP)
Disentri terutama karena shigella bisa menyebabkan gangguan gizi atau kurang
energi protein (KEP) pada anak yang belum nya gizinya baik hal ini bisa terjadi
karena masukkan yang kurang pemakaian kalori yang meningkat karena proses
radang dan hilang nutrein, khususnya protein selama diare dipihak lain kurang
energi protein (KEP) sendiri mempermudah terjadinya disentri. Desentri yang
terjadi selama atau sesudah menderita campak sangat cepat menimbulkan KEP.
Diagnosis ditegakkansesuai standar. Pengukuran berat badan serta kadar albumen
darah secara berkala dapat menggambarkan derajat progresi timbulnya Kurang Energi
Protein (KEP).
8. Pencegahan penyakit Diare
Tujuan pencegahan adalah untuk tercapainya penurunan angka kesakitan diare
dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sarana sanitasi. Salah satu
pencegahan yg dapat dilakukan adalah dengan perilaku hidup bersih dan sehat.
Beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, diantaranya
adalah:
a. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia
dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh
bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan.
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan
zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.
Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4x lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan
pertama kehidupan mempunyai resiko terkena diare 30x lebih besar.
b. Menggunakan air bersih yang cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui fecal-oral,
kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk melalui makanan, minuman atau benda
yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan yang wadah atau
tempat makan-minum yang dicuci dengan air tercemar. Masyarakat dapat
mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air bersih dan
melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan
di rumah.
c. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare.
d. Menggunakan Jamban
Penggunaan jamban sangat berdampak besar dalam penurunan resiko terhadap
penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus mebuat jamban dan
seluruh anggota keluarga harus buang air besar di jamban tersebut.
e. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit. SPAL yang tidak
memenuhi syarat akan menimbulkan bau, menganggu estetika dan dapat menjadi
tempat perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis untuk daerah yang endemis
filaria. Bila ada saluran pembuangan air limbah di halaman, secara rutin harus
dibersihkan, agar limbah dapat mengalir, sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak
sedap dan tidak menjadi tempat perindukan nyamuk.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. 2002. Buku Kader Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga. Edisi XVII. Jakarta: Kerjasama Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Edisi Jilid 4. Jakarta: Media Aescalapius
FKUI.
Ngastiah, Setiawan. 1997. Buku keperawatan anak sakit. Jakarta: EGC.
Noer HMS, Waspdji S, Rachman AM, dkk. 2001. Buku aja Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare Edisi ketiga, Depkes RI, Direktorat Jenderal
PPM dan PL tahun 2010.