Anda di halaman 1dari 114

Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

31
REKONSTRUKSI PEMAHAMAN KONSEP PEMBAGIAN PADA SISWA
BERKEMAMPUAN RENDAH
Qodri Ali Hasan
Pend. Matematika FKIP-UNPAR
alhasan851@gmail.com

Abstrak
Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan pemahaman konsep.
Operasi pembagian adalah pengetahuan prosedural, namun dalam prosedur pembagian
sebenarnya terdapat konsep-konsep matematika yang apabila dipahami akan mampu
membawa siswa kepada pemahaman formal, sehingga pemahaman terhadap operasi
pembagian tidak hanya sampai pada pemahaman instrumental saja. Penelitian ini bertujuan
mengetahui konstruksi pemahaman konsep pembagian pada siswa berkemampuan rendah
melalui aktivitas mandiri. Siswa diberikan soal cerita yang dalam pemecahannya perlu
melakukan operasi pembagian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif,
Peneliti merupakan isntrumen utama pada penelitian ini, subjeknya 1 orang siswa kelas V
berkemampuan rendah, pada SDN Percobaan Palangkaraya, dimana siswa sudah pernah
diajarkan operasi pembagian. Validitas data dilakukan dengan triangulasi waktu. Hasil dari
penelitian ini adalah pemahaman siswa terhadap operasi pembagian masih pada taraf
instrumental meski belum lengkap dalam arti siswa masih sering melakukan kesalahan dalam
mengunakan operasi pembagian. Sedangkan untuk pemahaman relasional tidak tampak pada
siswa. Siswa memahami konsep pembangian sebagai bagian-bagian yang terpisah.
Kata kunci: Rekonstruksi, Pemahaman konsep, Pembagian

PENDAHULUAN
Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide,
proses, dan penalaran (Ruseffendi, 1980:148). Pada tahap awal matematika terbentuk dari
pengalaman manusia dalam dunia empiris, kemudian pengalaman tersebut diproses di dalam
dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif
sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.
Menurut Sembiring (dalam TIM Penulis Pakerti, 2000), karakteristik utama matematika
terletak pada disiplin atau pola berpikir yang sering disebut sebagai penalaran matematika yaitu
konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkhis, terstruktur, logis, sistematis, dan konsisten
mulai dari konsep yang paling sederhana sampai konsep yang paling kompleks. Jika konsep
yang paling dasar tidak dipahami dengan baik maka pembentukan konsep-konsep selanjutnya
akan semakin sulit, untuk itu mampu materi awal matematika sangat perlu dipahami oleh siswa
dengan baik dan benar.
Abstraksi merupakan proses pembentukan konsep dalam struktur kognitif siswa. Hasil
abstraksi adalah konsep-konsep yang ada dalam kognitif siswa. Proses/hasil abstraksi berada
dalam struktur kognitif, sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Yang dapat diamati dari
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
32
proses/hasil suatu abstraksi adalah representasi eksternal dari konsep. Dengan demikian
representasi eksternal suatu konsep akan menentukan pemahaman siswa terhadap suatu konsep.
Berbicara tentang abstraksi, ada dua pendapat tentang abstraksi yaitu abstraksi menurut
pendekatan kognitif klasik dan non klasik. Pada psikologi kognitif klasik, ciri utama abstraksi
menurut Rosch (Hershkowitz dan Dreyfus, 2001) ialah pencarian hal-hal sama dari suatu
himpunan contoh konkret dan kategori yang sesuai. Sedangkan psikologi non klasik abstraksi
merupakan aktivitas reorganisasi vertikal konsep matematika yang telah dikonstruk sebelumnya
menjadi sebuah struktur matematika yang baru.
Bruner (Hudojo, 1988) menggunakan pendekatan kognitif klasik pada abstraksi siswa.
Ia membuat model representasi abstraksi yang terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap ikonik,
enaktif dan simbolik. Pada taraf enaktif siswa melakukan aktivitas belajar dengan menggunakan
objek secara langsung. Siswa menggunakan alat untuk berinteraksi langsung dengan
lingkungannya. Tahap ini dapat disebut sebagai model konkret. Tahap kedua adalah tahap
ikonik. Pada tahap kedua ini, anak mencoba untuk memanipulasi benda konkret kemudian
dibentuk dalam pikiran bayangan mental benda tersebut. Anak tidak lagi melakukan manipulasi
secara langsung terhadap objek fisik. Tahap ketiga adalah tahap simbolik. Pada tahap ini siswa
sudah melakukan kegiatan dengan menggunakan simbol-simbol secara langsung.
Piaget (Tall, 1990) mengemukakan teori tiga bagian tentang abstraksi yaitu, pertama
abstraksi empiris yang memfokuskan tentang cara anak mengkonstruksi arti sifat-sifat objek.
Kedua abstraksi empiris semu yang memfokuskan pada cara anak mengkonstruksi arti sifat-sifat
aksi pada objek. Ketiga abstraksi refleksif yang memfokuskan pada ide tentang aksi dan operasi
menjadi objek tematik dari pemikiran atau asimilasi, yang berkaitan dengan kategorisasi operasi
mental dan abstraksi terhadap objek mental. Hasil dari refleksif ini ialah skema pengetahuan
pada setiap tahapan perkembangan dan abstraksi refleksif mencarikan skema dari pola aksi yang
berkaitan.
Istilah abstraksi (Hershkowitz dan Dreyfus, 2001) digunakan baik untuk proses maupun
hasil. Untuk membedakan keduanya digunakan istilah proses abstraksi disatu sisi, dan entitas
yang dihasilkan pada sisi lain. Pada dasarnya abstraksi siswa itu unik. Secara umum Soedjadi
(2005) mengatakan bahwa perkembangan kemampuan kognitif siswa dimulai dengan hal-hal
yang konkret secara bertahap mengarah ke hal yang abstrak. Abstraksi seseorang yang
dilakukan untuk mengkonstruk konsep matematika lebih bersifat personal. Proses ini
dipengaruhi oleh struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang tersebut (Widada,
2003).
Dalam artikelnya yang terkenal, Relational and Instrumental Understanding (Skemp,
1976), menyatakan pemahaman relasional didefinisikan sebagai knowing what to do and why
dan pemahaman instrumental didefinisikan sebagai rules without reasons. Pada tahun 1987,
Skemp merevisi pengkategorian dan definisinya tentang pemahaman dengan memasukkan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
33
komponen pemahaman formal, di samping pemahaman instrumental dan pemahaman relasional.
Skemp mendefinisikan: Instrumental understanding is the ability to apply an appropriate
remembered rule to the solution of a problem without knowing why the rule works. Relational
understanding is the ability to deduce specific rules or procedures from more general
mathematical relationships. Formal understanding .is the ability to connect mathematical
simbolysm and notation with relevant mathematical ideas and to combine these ideas into
chains of logical reasoning (Skemp, 1987). Dari definisi ini terlihat bahwa istilah knowing
dalam definisi sebelumnya, diganti dengan istilah ability. Jadi menurut Skemp, pemahaman
merupakan kemampuan (ability).
Skemp mengolongkan pemahan siswa berdasarkan kemampuan yang dimiliki siswa,
siswa dikatakan mampu memahami secara instrumental jika siswa mampu mengingat kembali
hal hal yang masuk dalam tingkat ini adalah pengetahuan tentang fakta dasar, istilah,
menggunakan hal-hal yang bersifat rutin.
Tingkat selanjutnya adalah pemahaman relasional. Dalam tingkatan ini siswa sudah
mampu menerapkan dengan tepat suatu ide matematika yang bersifat umum pada hal-hal yang
khusus atau pada situasi baru.
Tingkat selanjutnya adalah pemahaman formal. Dalam tingkat ini siswa mampu
menguraikan suatu masalah menjadi bagian-bagian yang lebih rinci, serta mampu memahami
hubungan antara bagian-bagian tersebut. Disamping itu juga siswa mampu memadukan bagian-
bagian secara logik menjadi suatu pola struktur baru, memberi pertimbangan terhadap suatu
situasi, ide, metode berdasarkan patokan atau kriteria. Indikasi dari kemampuan ini antara lain
siswa mampu mengaitkan secara logis, membuktikan, menemukan, mengelompokan,
menyimpulkan, mengkritik, merumuskan, memvalidasi, dan menentukan.
Skemp (1987) menulis to understand something means to assimilate it into an
appropriate schema. Jadi terlihat adanya perbedaan antara pemahaman dengan memahami
sesuatu. Pemahaman dikaitkan dengan kemampuan (ability), dan memahami sesuatu
dikaitkan dengan asimilasi dan suatu skema yang cocok (an appropriate schema). Skema
diartikan oleh Skemp sebagai grup konsep-konsep yang saling terhubung, masing-masing
konsep dibentuk dari abstraksi sifat-sifat yang invarian dari input sensori motor atau dari konsep
lainnya. Hubungan antara konsep-konsep ini dikaitkan oleh suatu relasi atau transformasi.
Selanjutnya, dikatakan bahwa skema ini digunakan tidak hanya ketika kita memiliki
pengalaman sebelumnya terkait dengan situasi sekarang, tetapi juga digunakan ketika kita
memecahkan masalah tanpa memiliki pengalaman tentang situasi sekarang.
Untuk mengkomunikasikan dan memikirkan konsep matematika, kita harus
merepresentasikannya dalam beberapa cara. Komunikasi memerlukan penyajian eksternal
(ilustrasi nyata), memilih kata-kata dalam percakapan yang mudah dipahami, memilih simbol-
simbol, gambar-gambar, atau objek nyata (Lesh, Post, dan Behr, 1987). Pada sisi lain, untuk
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
34
memikirkan ide-ide (konsep) matematika, kita perlu menyajikan ide-ide tersebut secara internal,
dengan cara memberi kesempatan memikirkan untuk menelaah apa saja yang terkandung dalam
ide.
Penggunaan representasi eksternal oleh guru dalam mengkomunikasikan ide-ide
matematika bertujuan untuk mempengaruhi terbentuknya representasi internal yang konsisten
dengan konsep di dalam pikiran anak. Pemilihan jenis representasi eksternal dalam
pembelajaran konsep kepada anak bergantung kepada tingkatan kelas atau perkembangan
kognitif anak. Pada tingkat pendidikan sekolah, konsep-konsep matematika umumnya mudah
direpresentasikan secara visual atau melalui formula tertentu.
Teori pemahaman yang diajukan oleh Hiebert dan Carpenter didasari atas tiga asumsi.
Pertama, pengetahuan direpresentasikan secara internal dan representasi internal ini terstruktur.
Kedua, terdapat relasi antara representasi internal dan representasi eksternal. Ketiga,
representasi internal saling terkait (Hiebert dan Carpenter, 1992). Ketika relasi representasi
internal dari gagasan/ide/konsep dikonstruk, relasi itu akan menghasilkan kerangka
pengetahuan. Kerangka pengetahuan tersebut tidak serta merta terbentuk, tetapi terbentuk secara
alami. Menurut Kosslyn dan Hatfield (Hiebert dan Carpenter, 1992), sifat alami representasi
internal dipengaruhi dan dibatasi oleh sifat alami representasi eksternal.
Ide bahwa pemahaman dalam matematika adalah membangun koneksi antara
gagasan/ide, fakta, atau prosedur bukanlah hal yang baru. Gagasan ini merupakan suatu tema
yang selalu menarik dan eksis dari tokoh-tokoh klasik di dalam literatur pendidikan matematika
seperti Brownell, Fehr, Mclellan dan Dewey, Polya, Van Engen, Wertheimer dan sering muncul
di dalam diskusi tentang pemahaman dan penyajian matematika (Hiebert dan Carpenter, 1992).
Banyak dari mereka sepakat bahwa pemahaman dalam belajar matematika melibatkan
pengenalan hubungan antara potongan-potongan informasi.
Ketika relasi antara representasi internal dikonstruk, mereka membangun suatu
kerangka pengetahuan. Adalah tidak mungkin menjelaskan secara tepat bagaimana kerangka
representasi internal tersebut. Hiebert dan Carpenter mengajukan suatu metaphora bagi
kerangka representasi internal tersebut, yaitu kemungkinan kerangka tersebut terstruktur secara
vertikal-hirarkis. Jika kerangka tersebut terstruktur secara vertikal-hirarkis maka suatu
representasi menjadi bagian dari representasi lainnya.
Hiebert dan Carpenter (1992) menjelaskan pertumbuhan pemahaman menggunakan
istilah adjoining dan reorganizing pada kerangka yang sudah ada. Adjoining dapat terjadi
ketika siswa memiliki kesadaran akan ide matematika pada pertama kali. Reorganizing terjadi
ketika siswa berusaha memahami ide matematika tersebut, siswa menelusuri/mencari koneksi
ke dalam representasi mental yang ada. Salah satu hasil yang mungkin terjadi dari proses ini
adalah koneksi dari ide baru ke representasi mental yang tidak berkaitan/berelasi (unrelated
mental representation).
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
35
Penguasaan operasi hitung dasar pada bilangan cacah menjadi sangat penting karena
operasi ini akan menjadi dasar bagi mereka yang mau belajar matematika, karena tanpa
kemampuan berhitung tidak memungkinkan seseorang untuk belajar matematika. Di antara
operasi hitung yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, konsep pembagian
adalah yang paling sulit untuk dipelajari (John, 1988:107). Demikian pentingnya operasi hitung
dalam belajar matematika tentunya pemahaman operasi hitung perlu mendapatkan perhatian.
Peneliti bermaksud mengidentifikasi profil abstraksi siswa dalam merekonstruksi
pemahaman konsep pembagian dengan latar siswa kelas V SD/MI yang berkemampuan tinggi.
Pada pelaksanaan penelitian profil abstraksi menggunakan abstraksi non klasik. Hal ini
dilakukan karena pada abstraksi non klasik proses abstraksi tidak harus melibatkan objek-objek
konkret.
Abstraksi dipilih karena proses abstraksi akan dapat digunakan untuk membantu
mengetahui bagaimana sajian eksternal materi pembagian dalam membantu konstruksi
pemahanan siswa, sehingga proses abstraksi menjadi salah satu fokus dalam penelitian
pendidikan matematika (Hershkowitz, Scwarz, dan Dreyfus: 2001).
Penelitian ini akan mendeskripsikan profil abstraksi siswa berkemampuan rendah dalam
merekonstruksi pemahaman konsep pembagian sebagai proses maupun hasil, tentang bagaimana
siswa merekonstruksi konsep pembagian. Untuk mengobservasi abstraksi tersebut digunakan
dengan mengenali, merangkai, dan mengkonstruk.
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan-
pertanyaan penelitian adalah : Bagaimana profil abstraksi siswa SD yang berkemampuan rendah
dalam merekonstruksi pemahaman konsep pembagian ? Sedangkan tujuannya untuk mengetahui
profil abstraksi siswa SD yang berkemampuan rendah dalam merekonstruksi pemahaman
konsep pembagian. Sedangkan manfaat dari hasil penelitian in memberikan kontribusi terhadap
perkembangan pembelajaran dalam pemahaman kemampuan prosedural, khususnya melakukan
pada operasi pembagian.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif dengan data
utama berupa kata-kata. Metode kualitatif dipilih karena untuk mengetahui tahap-tahap
kemampuan siswa merekonstruksi pemahaman konsep pembagian. Istrumen utama penelitian
ini adalah peneliti.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksankan mulai 2 Oktober Desember 2011. Tempat penelitian adalah
SDN Percobaan Palangkaraya.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
36
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 1 siswa sekolah dasar kelas V SD percobaan
palangkaraya yang berkemampuan rendah (hasil tes awal 69), yang sudah mempelajari materi
pembagian, sedangkan penentuan subjek dipilih oleh guru kelas dari siswa yang mempunyai
kemampuan komunikasi baik. Kemampuan siswa dilihat berdasarkan tes matematika dimana
soal tes matematika digunakan adalah soal-soal tes matematika. Sebelum digunakan soal-soal
tes akan dilakukan uji coba untuk mencari validitas dan reliabilitas soal.
Prosedur Penelitian
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan wawancara berbasis
tugas. Cara yang digunakan adalah wawancara klinis dan direkam dengan audio visual.
Pertanyaan dalam wawancara klinis termasuk pertanyaan pengetahuan dan pertanyaan tingkah
laku. Audio visual digunakan untuk merekam informasi jawaban lisan dan prilaku subjek yang
dapat ditangkap melalui audio dan visual. Dengan cara ini akan didapatkan data yang direkam.
Secara garis besar wawancara berbasis tugas yaitu subjek diberikan tugas yaitu soal non
rutin. Berdasarkan hasil yang diperoleh, subjek diwawancarai secara klinis untuk mengetahui
tentang apa, bagaimana dan mengapa yang berkaitan dengan permasalahan yang diberikan dan
hasilnya serta kemungkinan yang muncul dari dampak pertanyaan yang diajukan. Jika hasil
wawancara menunjukan subjek sudah sampai pada tahap pemahaman formal, maka wawancara
pada subjek tersebut tidak perlu dilakukan pemberian tugas dengan melibatkan benda-benda
konkret.
Pertanyaan dapat diajukan: pertama, jika pewawancara memerlukan informasi
tambahan tentang respon subjek sebelumnya; kedua subjek diminta kritis, merefleksi,
mengevaluasi, atau memberikan contoh, misalnya dengan stimulus mengapa? Sebagai contoh
mengapa kamu lakukan dari nilai tempat yang terbesar?, ketiga, subjek diminta menghubungkan
jawaban subjek dengan hubungan sebab akibat.
Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlikan adalah pemahaman siswa mengenai operasi pembagian. Untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan instrumen utama, yaitu peneliti sendiri.
Selain instrumen utama tersebut, dibuat instrumen pendukung yang lain berupa: (1) Instrumen
Tes Hasil Belajar, (2) Instrumen Tugas Pembagian, dan (3) Instrumen Pedoman Wawancara.
Teknik Analisa Data
Analisis data diawali dengan trasnkrip data dari hasil rekaman audio visual. Transkrip
data terdiri dua tugas atau lebih yaitu tugas satu sebagai pengungkap data proses rekonstruksi
dan data tugas selanjutnya untuk validasi data tugas 1. Transkrip terdiri dari tiga kelompok data
yaitu kelompok pertanyaan, kelompok jawaban dan prilaku responden. Langkah kedua adalah
reduksi data dengan langkah awal membandingkan traskrip data yang diperoleh dengan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
37
rekaman audio visual. Reduksi data dilakukan dengan membuat rangkuman inti. Langkah ketiga
menyusun data dalam satuan-satuan dengan melakukan pengelompokan data yang diperoleh
sesuai dengan tujuan penelitian. Langkah keempat yaitu kategorisasi data dilakukan dengan cara
mengelompokan data yang mempunyai keterkaitan dengan jelas seperti data mengenai atribut-
atribut dalam pembagian, data tentang pembagi dan lain-lain. Langkah kelima dilakukan
pengkodean data yang terkumpul. Proses analisis dilakukan setelah wawancara selesai. Analisis
difokuskan pada aktivitas mengenali, merangkai dan mengkonstruk.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui profil abstraksi subjek berkemampuan rendah (SR) dalam
merekontruksi pemahaman konsep pembagian diberikan soal non rutin yang pemecahannya
memerlukan operasi pembagian. Soal non rutin tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lantai ruang kelas ukuran 6m x 8m, akan dipasangi keramil ukuran 40 cm x 40 cm
sehingga diperlukan 300 keramik. Agar selesai dalam 4 hari diperlukan 2 tukang untuk
memasangnya. Serta kecepatan tukang memasang keramik sama.
a. Berapa keramik yang dipasang dalam satu hari?
b. Berapa keramik yang dapat dipasang oleh satu tukang dalam satu hari?
c. Karena sesuatu hal pemasangan keramik pada hari ketiga tidak dilakukan, berapa
tukang yang harus ditambahkan agar pemasangan tetap selesai pada hari keempat?
Jawaban yang diberikan oleh SR adalah a. 14. b. 7 dan c. Tidak dijawab . Hasil coretan
perhitungan SR dari 300 : 14 adalah

Jawaban yang diberikan a. 14 adalah nilai pada 6141 hasil 14 diperoleh dengan alasan
karena jika dibagi maka hasil yang diperoleh harus lebih kecil dari 300 serta bilangan 14 adalah
yang terbesar diantara 6, 14 dan 1. (siswa mengatadan dia tidak yakin jawabannya benar dengan
alasan dia sering salah kalau mengerjakan matematika).
a. Mengenali
Subjek SR mengenali hampir fakta, prinsip dan konsep yang menjadi prasyarat pada
operasi pembagian. Fakta, prinsip dan konsep dikenali SR ketika masih dalam keadaan fakta,
konsep atau prinsip yang berdiri sendiri. Hal tersebut ditunjukan dengan mampu melakukan
prosedur ataupun mampu menunjukan ciri-ciri dari konsep menunjukan konsep tersebut ketika
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
38
diwawancarai. Namun SR sama sekali tidak tahu alasan kenapa prosedur itu demikian, SR
selalu mengatakan dia melakukan karena cara itu yang diajarkan oleh gurunya.
Diantara fakta, prinsip maupun konsep yang berkaitan dengan operasi pembagian
hanya konversi nilai yang tampaknya kurang dikenal SR, namun SR konversi nilai dengan
istilah yang berbeda-beda dalam setiap operasi. Dalam penjumlahan konversi dikenal dengan
istilah menyimpan, demikian pula dalam perkalian namun dalam pengurangan dikenal dengan
meminjam dan dalam pembagian dengan menurunkan.
Dalam operasi pembagian fakta, konsep dan prinsip ada beberapa yang tidak dikenal
SR. dalam 3 operasi hitung yang menjadi konsep prasyarat operasi pembagian ada beberapa
yang tidak dikenal SR. Penjumlahan, SR mampu melakukan dengan benar ketika
menjumlahkan demikian pula perasi penjumlahan yang dilakukan dalam operasi perkalian,
namun SR tidak mampu mengenali operasi penjumlahan pada operasi pembagian, sehingga SR
mengatakan bahwa hasil bagi pada pembagian bersusun bukan merupakan hasil penjumlahan
hasil pembagian pada tiap tingkatan melainkan cara penulisan hasil memang yang atas
diletakkan paling muka. Perkalian, operasi perkalian dikenal SR. Dalam operasi pembagian
operasi perkalian dikenali SS ketika ia malakukan kelipatan bilangan yang dekat dengan yang
akan ia bagi. Untuk operasi pengurangan yang terdapat pada operasi pembagian SR juga
mengenali, namun prosedur penguraangan yang ada dalam operasi pembagian agak
membinggungkan SR. ketika belajar pengurangan SR beranggapan bahwa dua bilangan yang
paling kanan harus disejajarkan, namun dalam operasi pembagian dalam melakukan
pengurangan antara bilangan yang dibagi dengan hasil perkalian pembagi dan hasil bagian kiri
yang disejajarkan.
Sifat-sifat operasi yaitu sifat komutatif, sifat asosiatif dan sifat distributif hanya sifat
komutatif yang dikenal oleh SR, namun dalam operasi pembagian menurut SR tidak satupun
dari ketiga sifat tersebut digunakan. SR mengatakan bahwa ketiga sifat tidak tahu apakah dalam
operasi pembagian sifat-sifat operasi hitung itu juga digunakan. SR juga mengatakan bahwa
operasi pembagian bersusun kebawah adalah bukan operasi pembagian bersisa yang diulang-
ulang, sampai pembagian menjadi tidak bersisa atau sampai pembagian menemukan pola hasil.
SR mengatakan operasi pembagian bersusun kebawah adalah operasi pembagian yang
digunakan untuk membagi apabila bilangannya besar. Demikian pula SR mengatakan tidak tahu
apakah dalam operasi pembagian, pembagian bisa dilakukan dari satuan yang terkecil.
Konsep nilai tempat. SR sudah mengenal konsep nilai tempat. Dalam operasi
pembagian konsep nilai itupun tidak dikenali pada hasil perkalian antara pembagi dan bayaknya
kelipatan pembagi. Oleh SR nilai kelipatan dari pembagi dilihat terpisah dari operasi
pembagian. SR tetap mengatakaan itu adalah satuan meski sebenarnya ia melakukan operasi
pengurangan pada nilai tempat ratusan. SR masih agak ragu pada aturan meletakkan kelipatan
dari pembagi untuk menguranggi bilangan yang dibagi. Keraguan ini timbul karena ketika
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
39
diajarkan operasi pembagian bilangan dengan satuan terkecil diletakan sejajar, namun dalam
operasi pembaian penulisan itu menurutnya tidak harus dilakukan. Dalam operasi pembagian
tampaknya konsep nilai tempat pada diri SR belum terjadi akomodasi.
Konsep konversi. Dalam pembelajaran matematika di SD/MI konsep konversi diajarkan
berkaitan dengan satuan pengukuran. Dalam perhitungan yang tidak melibatkan satuan
pengukuran konsep konversi disajikan dalam bentuk yang berbeda-beda misalnya istilah
menyimpan dikenal ketika ia melakukan konversi ke satuan lebih tinggi pada operasi perkalian
dan penjumlahan. Pada operasi pengurangan konversi dikenal dengan nama meminjam. Ini
dilakukan untuk mengkonversi dari nilai tempat yang lebih besar ke nilai tempat yang lebih
kecil. Dalam pembagian konversi dikenalkan dengan istilah menurunkan.
SR mengaku belum diajar algoritma pembagian. SR tidak pernah diberitahu bahwa
pembagian bersisa dan pembagian tanpa sisa itu sebenarnya algoritma pembagian. Dalam
pembagian SR mengenal dua istilah pembilang dan penyebut. Namun ketika kepada SR
ditanyakan berapa yang dibagi, berapa pembaginya, berapa hasilnya dan berapa sisanya SR
mampu menyebutkan dengan benar. Ini berarti SR mengenali atribut-atribut dalam operasi
pembagian.
Konsep kelipatan yang digunakan untuk mencari hasil pada setiap tingkat sudah dikenal
pula oleh SR. dalam operasi pembagian SR menggunakan konsep kelipatan untuk mencari
bilangan hasil bagi, dimana hasil bagi ditunjukan dengan banyaknya kelipatan dari pembagi,
dimana banyaknya kelipatan ditentukan dengan dua prinsip yaitu kelipatan adalah kelipatan
pembagi yang terbesar dan lebih kecil dari bilangan yang dibagi. Meski SR kadang masih
melakukan kesalahan dalam menentukan kelipatan ini, namun kesalahan tersebut lebih
dikarenakan kemampuan SR membilang dimana SR seringkali terlihat dalam membilang di
menggunakan jari tangan. Sehingga untuk bilangan lebih besar dari sepuluh kesalahan
membilang mungkin sekali dilakukan.
Perbandingan dua bilangan juga sudah dikenal SR. SR mengatakan dalam bentuk urutan
dari yang kecil, maka bilangan yang muncul duluan adalah lebih kecil. dalam operasi
pembagian SR menggukan konsep perbandingan untuk menentukan banyaknya kelipatan dari
pembagi. Dengan demikian konsep perbandingan dalam operasi pembagian telah terjadi
akomodasi dalam diri SR.
b. Merangkai
Pada tahap merangkai adalah adalah siswa mencoba-coba mengunakan fakta, prinsip atau
konsep untuk memecahkan memecahkan masalah. Siswa dikatakan melakukan aksi merangkai
apabila siswa memilih beberapa struktur matematika sebelumnya yang telah ia ketahui untuk
digunakan dalam matematika yang lebih kompleks.
Dari hasil wawancara dan pengamatan selama melakukan penelitian, aktivitas merangkai
tampak beberapa kegiatan merangkai yang dilakukan oleh SR. Ketika menuliskan kelipatan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
40
pembagi sebagai pengurang yang akan dibagi, SR menuliskan bilangan tersebut dengan
mensejajarkan bagian kanan, namun ketika ditanya boleh tidak bilangan tersebut digeser, SR
mencoba mengeser bilangan tersebut. Namun ketika melakukan pengurangan sisa yang
didapatkan masih cukup besar SR jadi ragu apakah penulisan kelipatan boleh dilakukan dengan
mensejajarkan sisi kanan, sehingga akhirnya SR mengaku tidak tahu apakah kelipatan pembagi
boleh digeser atau tidak pada saat akan melakukan pengurangan.
Selama mengerjakan tugas konsep yang ada dalam diri SR kebanyakan sudah dalam
kontruksi jadi. Meskipun demikian SR masih ragu dan mengatakan tidak tahu alasan pada sata
ditanya kenapa diturunkan, ia hanya mengetahui bahwa prosedur pengerjaannya memang
seperti itu. SR juga kurang menginggat sifat-sifat pada operasi hitung, ia hanya mampu
menunjukan 1 sifat operasi hitung yaitu sifat komutatif. Sedang sifat yang lain SR mengaku
lupa. Hasil bagi bukan merupakan penjumlahan hasil dari tiap-tiap tingkat namun hasil
pembagian dodapatkan dari menuliskan hasil banynya kelipatan dan ditulis berjajar kearah
kanan. Meski SR tidak memakai hasil tersebut karena melihar kenyataan bahwa operasi yang ia
lakukan memperoleh hasil lebih besar dari bilangan pembagi.
SR tidak pernah mencoba melihat apakah sifat itu berlaku atau tidak, baik secara konkret
dengan mengunakan peraga maupun benda-benda yang dapat dimanupulasi dalam pembagian
maupun dalam bentuk formal. ketika SR membagi 300 dengan 4, pada tingkat pertama ia
memperoleh hasil 6 (yang seharusnya 7), demikian pula pada tingkat kedua ia memperoleh
hasil 14 dan pada tingkat ketiga ia memperoleh hasil 1, SR hanya menuliskan hasil-hasil
tersebut berjajar kesebelah kanan. Namun ketika mau memakai hasil perhitungan pada
pemecahan masalah ia menyadari bahwa hasil yang ia peroleh lebih besar dari 300 akhirnya SR
memakai pada tingkat ke 2 yaitu 14.
c. Konstruksi
Tahap konstruksi adalah dimana siswa mengunakan rangkaian secara konsisten untuk
memecahkan masalah tersebut. Siswa dikatakan melakukan aksi mengkontruksi apabila siswa
mampu memilih beberapa struktur matematika sebelumnya yang telah ia ketahui untuk
digunakan dalam matematika yang lebih kompleks. Serta mengunakannya secara konsisten dari
rangkaian-rangkaian struktur yang pernah ia gunakan.
Pada pengamatan selama penelitian tampak SR sudah mengunakan operasi pembagian
secara konsisten. Dalam rekontruksi konsep membagi terlihat kontruksi konsep yang ada selalu
ia gunakan cara yang sama. Meski banyak hal yang belum benar dalam memahami operasi
membagi, namun secara instrumental konsep tersebut sudah cukup besar peluang untuk
mendapatkan hasil yang benar dari hasil pembagian.
SR mengenal hampir semua semua prasyarat operasi pembagian baik berupa konsep,
prinsip dan prosedur yang diperlukan dalam melakukan opeasi pembagian, namun ada beberapa
prasyarat yang menurut SR tidak tahu apakah dalam operasi pembagian bersusun kebawah sifat
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
41
tersebut belaku dalam operasi pembagian. Sifat-sifat operasi tidak ada dalam operasi pembagian
sehingga SR tidak mengenal operasi pembagian bersusun kebawah adalah operasi pembagian
bersisa yang dilakukan berulang-ulang dengan mengunakan sifat distributif. Ketidak tahuan ini
memang tidak mengakibatkan pemakaian operasi pembagian dalam mengkalkulasi menjadi
salah.
Secara garis besarnya beberapa pemahaman prosedur pembagian yang kurang benar pada
SR adalah sebagai berikut :
- SR tidak tahu apakah operasi pembagian bersusun kebawah adalah operasi operasi
pembagian bersisa yang diulang-ulang sampai pada operasi tanpa sisa atau membentuk
suatu pola pada hasil atau bukan. (ketidak tahuan pada hal ini tidak akan mempengaruhi
hasil pemakaian operasi pembagian sebagai prosedur membagi, hanya saja jika untuk
terjadi pada konsep lain seperti membagi pada basis non sepuluh, bentuk fungsi dan lain
sebagainya tentu proses asimilasi dan akomodasi akan akan lebih sulit)
- Operasi pembagian dilakukan dari bilangan dengan nilai tempat terbesar dipahami SR
melalui contoh-contoh yang diberikan guru. SR tidak mengetahui alasan kenapa hal
tersebut dilakukan dari nilai tempat yang terbesar (operasi pembagian bisa dilakukan dari
nilai tempat mana saja. Operasi pembagian yang dilakukan dari nilai tempat yang terbesar
akan memberikan prosedur yang paling singkat untuk menemukan hasil. Jadi ketidak
tahuan ini tidak akan mempengaruhi pada hasil operasi bagi)
- Pada hasil operasi pembagian dengan cara bersusun kebawah, hasil diperoleh bukan
dengan menjumlahkan hasil pada setiap tingkat. (jika siswa melakukan penentuan kelipatan
maka hasil operasi akan salah, dan sisini SR melakukan kesalahan. Andaikan SR
memahami nilai tempat dan memahami bahwa hasil tiap tingkatan dijumlahkan ia akan
memperoleh nilai hasil pembagian yang benar yaitu 60 + 14 + 1 = 75)
- Dalam operasi pembagian sifat-sifat sifat komutatif, assosiatif dan distributif tidak
digunakan

KESIMPULAN DAN SARAN
Siswa SR mengenali hampir semua struktur matematika yang merupakan prasyarat
operasi pembagian. Siswa mengenal operasi perkalian, penjumlahan, pengurangan. Siswa juga
mengenal konsep nilai tempat, konversi, perbandingan, serta kelipatan. Sedangkan sifat operasi
siswa hanya mengenal sifat komutatif.
Rekontruksi konsep pembagian siswa SR, Kelipatan digunakan untuk menemukan nilai
pembagi, konversi digunakan untuk melakukan operasi pembagian pada sisa, perbandingan
digunakan untuk mencari banyaknya kelipatan ketika. Sedangkan operasi perkalian dan
pengurangan merupakan prosedur yang dilakukan untuk mencari nilai-nilainya. Namun SR
tidak tahu alasan dari kenapa hal tersebut dilakukan.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
42
Semua pemahaman SR mengenai hal tersebut hanyalah sebatas procedural saja, sehingga
siswa hanya paham secara instrumental dari struktur-struktur tersebut pada operasi pembagian.
Disamping itu SR juga mengatakan dalam operasi pembagian ada 3 jenis yaitu operasi
pembagian tanpa sisa, operasi pembagian dengan sisa dan operasi pembagian untuk bilangan
yang besar.
Disarankan pada guru SD/MI agar dalam mengajarkan operasi hitung khususnya operasi
pembagian keterkaitan antar konsep maupun perubahan bentuk dari representasi perlu
dijelaskan sehingga siswa bisa mengerti kenapa hal tersebut dilakukan demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Ausubel, D.P. (1968). Educational Psychology A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart,
and Winston.
Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Good. (1973). Dictionary of Education. New York: Mc Grow Hill Book.
Hudoyo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi: Prespektif Pembelajaran Alternatif-
Kompetitif. Program Pasca Sarjana, IKIP Malang. 4 April 1998.
John L. & Marks. (1988). Metode Mengajar Matematika untuk Sekolah Dasar. (Terjemahan
Bambang Sumantri). Jakarta: Erlangga.
Kasbolah. K. (1998). Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: Proyek Pendidikan Guru
Sekolah Dasar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kennedy. L. M. Tipps. & Stave, (1994). Guiding Childrens Learning of Matematics, Bellmont,
California: WadsworthPublishing Company.
Madya, S. (1994). Pedoman Penelitian Tindakan. Jogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP
Jogyakarta.
Mc Niff, J. (1992). Action Research Principles and Practice. New York: Chapman and Hall,
Inc.
Ruseffendi, E.T. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud.
Skemp, R.R. (1975). The Psychology of Learning Matematics. Hormondworth: Penguin Book.
Suherman, E., Tarmudi, Suryadi, D., Herman, T., Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah,
Rohayati, A. T. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Konmtenporer. Badung:
JICA-Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
43
Sutawidjaya. (1998). Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. (tidak dipublikasikan).
Makalah untuk Mahasiswam Pasca Sarjana, Program Studi Matematika SD. IKIP
Malang.
Surtini, S. (2000). Pendekatan CPSA untuk Membantu Siswa Kelas III di SDN Mangunsari 3
Kotamadya Salatiga Memecahkan Masalah Perkalian Bilangan Cacah. Tesis tidak
dipublikasikan. Malang: PPS UM.
Tim Pelatihan Proyek PGSM, 1999. Penelitian Tindakan Kelas , Jakarta: Depdikbud.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
44
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
(NUMBERED HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
MINAT BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS XI IPA 3 SMA
NEGERI 8 SURAKARTA
Aulia Dewi Maharani, Mardjuki, Dwi Maryono
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jl.Ir.Sutami No 36 A Kentingan Surakarta

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan Minat belajar matematika pada siswa kelas XI
IPA 3 menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together).
Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2
siklus, setiap siklusnya terdiri dari : perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi,
analisis dan refleksi. Pada siklus I dan II dilaksanakan dalam 8 kali pertemuan di mana tiap
akhir siklus dilakukan tes untuk mengukur prestasi. Penelitian ini menggunakan 2 indikator
yakni: minat belajar matematika dan prestasi belajar. Indikator minat belajar tercermin dari
aktivitas belajar siswa di kelas yang diamati oleh observer dan guru pengampu mata pelajaran
Matematika. Indikator prestasi belajar dilihat dari hasil tes akhir siklus di setiap akhir
siklusnya. Observasi awal menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran langsung
diperoleh fakta bawah masih terdapat 40% siswa yang mendapat nilai dibawah KKM yang
ditetapkan yaitu 70. Selain itu minat belajar matematika pada siswa di kelas rata-rata 34,19%
berdasarkan indikator minat belajar matematika antara lain: perasaan senang sebesar 40%,
kesadaran sebesar 20%, tanggung jawab sebesar 36%, perhatian sebesar 41,65% dan
kesungguhan sebesar 33,3%. Dari hasil penelitian menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT diperoleh data pada siklus I dan II yaitu : 1) meningkatnya minat belajar
matematika pada siklus I dengan rata-rata 60,6% dan pada siklus II menjadi rata-rata 75,41%.
2) meningkatnya prestasi belajar matematika pada siswa dapat dilihat dari nilai tes akhir
siklus I dengan ketuntasan KKM sebesar 60% dan nilai tes akhir siklus II dengan ketuntasan
KKM sebesar 88%. Jadi diperoleh kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT mampu meningkatkan minat belajar dan prestasi belajar matematika
pada siswa kelas XI IPA 3.
Kata Kunci : Pembelajaran kooperatif, NHT, minat belajar, PTK

PENDAHULUAN
Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan suatu negara
di dunia. Negara yang mengabaikan pendidikan matematikanya sebagai prioritas utama akan
tertinggal dari segala bidang, dibanding negara lainnya yang memberikan tempat bagi
matematika sebagai subyek yang sangat penting.
Bagaimana dengan perkembangan Matematika di Indonesia? Hasil penelitian tim
Programme of International Student Assessment (PISA) 2001 menunjukkan Indonesia
menempati peringkat ke-9 dari 41 negara pada kategori literature matematika.
Rendahnya prestasi belajar disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor tersebut
antara lain: metode pembelajaran yang cenderung Teacher Centered. Suasana belajar yang
demikian, menyebabkan kebosanan pada diri siswa dan secara langsung berimbas pada
rendahnya minat belajar pada siswa. Rendahnya minat belajar inilah yang semakin memberikan
image sulit terhadap mata pelajaran matematika. Minat belajar ini sangat mempengaruhi
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
45
motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika,yang mencangkup perhatian dan
kesungguhannya untuk memahami matematika secara baik.
Upaya untuk meningkatan prestasi belajar di Indonesia tidak pernah berhenti. Berbagai
terobosan baru terus dilakukan oleh pemerintah melalui Depdiknas. Upaya itu antara lain dalam
pengelolaan sekolah, peningkatan sumber daya tenaga pendidikan, pengembangan/penulisan
materi ajar, serta pe-ngembangan paradigma baru dengan metodologi pengajaran.
Realitas di lapangan dalam praktik pada beberapa pembelajaran masih mengabaikan
gagasan, konsep dan kemampuan berfikir siswa (Sofan Amri, 2010:4). Guru masih
mendominasi pembelajaran yang di kelas, sementara siswa tidak banyak berperan dan terlibat
secara pasif, mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada mencari dan menemukan
sendiri pengetahuan, ketrampilan serta sikap yang mereka butuhkan.
Pembelajaran matematika di sekolah disarankan menggunakan tipe PAIKEM
(Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan) agar siswa gemar matematika. Hal
ini diharapkan mampu membangun keaktifan pada diri siswa dalam belajar. Dalam
pembelajaran dengan tipe PAIKEM, siswa terlibat dalam pembelajaran sehingga merasa senang,
tumbuh minat belajar yang baik terhadap mata pelajaran matematika. Minat belajar matematika
yang baik akan berdampak terhadap prestasi belajar.
Berdasarkan hasil observasi di SMA Negeri 8 Surakarta tahun pelajaran 2011/2012
terdapat fakta bahwa ketuntasan belajar sebesar 40% (ulangan pada pokok bahasan Limit).
Rata-rata minat belajar matematika sebesar 35,2%. Hal ini didasarkan pada indikator minat
belajar matematika antara lain: perasaan senang sebesar 40%, kesadaran sebesar 20%,
tanggung jawab sebesar 36%, perhatian sebesar 44% dan kesungguhan sebesar 36%. Dari hasil
observasi selama proses pembelajaran dan hasil observasi lapangan dapat ditarik kesimpulan
sementara bahwa masalah yang ada pada kelas XI IPA 3 SMA Negeri 8 Surakarta antara lain:
1. Rendahnya minat belajar matematika pada siswa yang berdampak pada motivasi belajar.
Hal ini dapat dilihat dari catatan lapangan yakni siswa hanya menjawab mengerti, saat guru
usai menerangkan materi.
2. Proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang cenderung Teacher Centered yang belum
melibatkan seluruh siswa. Hal ini terlihat pada pembelajaran yang hanya mentranfer ilmu
secara langsung yang diberikan guru kepada siswa tanpa memperhatikan suasana belajar
dan kondisi siswa.
3. Ketuntasan belajar siswa masih rendah terbukti nilai ulangan pada pokok bahasan limit
yakni 40% (nilai di atas KKM).
4. Kurangnya pemantauan guru secara dalam terhadap siswa yang masih mengalami kesulitan
dalam memahami materi(saat proses pembelajaran berlangsung).
5. Kurangnya penghargaan guru atas kerja keras yang dilakukan siswa sehingga motivasi
belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika menjadi rendah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
46
Sehubungan dengan hal di atas, maka peneliti mempunyai beberapa alasan untuk mencari
solusi agar dalam pembelajaran matematika dapat berlangsung dengan efektif dan
menyenangkan. Peneliti mencoba untuk meningkatkan minat belajar matematika pada siswa
yang nantinya akan berdampak pada pencapaian prestasi belajar yang optimal.
Salah satu alternatif model pembelajaran kooperatif yang diharapkan mampu mengatasi
permasalahan di SMA Negeri 8 Surakarta adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together. Kelebihan dari model pembelajaran ini adalah: banyak menuntut keterlibatan
siswa terutama dalam kerja kelompok, pemantauan guru dapat dilakukan secara mendalam
terhadap kesulitan yang dialami oleh siswa serta menuntut kesiapan siswa dalam mem-
presentasikan jawaban hasil diskusi dari kelompok. Selain itu, tipe NHT (Numbered Head
Together) juga dapat menumbuhkan daya saing yang wajar dan positif antar kelompok serta
mampu menciptakan suasana belajar yang lebih menarik dan tidak membosankan
Dari beberapa permasalahan dan solusi yang ditawarkan diatas maka peneliti melakukan
penelitian yakni penerapan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together sebagai
upaya meningkatkan minat belajar matematika pada siswa kelas XI IPA 3 Tahun Pelajaran
2011/2012.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sarwiji S (2009 : 11),
menyatakan penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang bersifat reflektif. Kegiatan
penelitian berangkat dari permasalahan riil yang dihadapi oleh guru dalam proses belajar
mengajar, kemudian direfleksikan alternatif pemecah masalahnya dan ditindaklanjuti dengan
tindakan-tindakan nyata yang terencana dan terukur. Hal terpenting dalam PTK adalah tindakan
nyata (action) yang dilakukan guru (dan bersama pihak lain) untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam proses belajar mengajar.
Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 8 Surakarta tahun ajaran
2011/2012. Materi yang dipakai pada penelitian ini adalah sub bab materi turunan, yang terdiri
dari : pendefinisian turunan pada satu titik, teorema-teorema turunan pada fungsi aljabar dan
trigonometri, persamaan garis singgung kurva dan kemonotonan pada fungsi. Tehnik
pengumpulan data dilakukan melalui : observasi, tes dan dokumentasi.
Validitas data pada prestasi belajar digunakan validitas isi oleh guru pengampu mata
pelajaran dan dosen untuk tes akhir siklus serta pada minat belajar matematika digunakan
triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang bebeda (Lexy J. Moleong, 1999 :178).
Triangulasi sumber disini dengan cara membandingkan data dari hasil observasi dua orang yang
berbeda yakni guru kelas dan mahasiswa.
Analisis yang dipakai pada penelitian ini mengacu pada prestasi belajar dan minat belajar
matematika pada siswa yang ada di setiap pertemuan pada siklusnya. Pada minat belajar dipakai
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
47
beberapa indikator yang dipakai yakni : perasaan senang, kesadaran, perhatian, tanggung jawab,
kesungguhan serta pada prestasi belajar digunakan tes akhir siklus. Pada akhir siklus dapat
dilakukan analisis mengenai pengamatan selama proses pembelajaran yakni pada minat belajar
matematika dan keterlaksanaan pembelajaran serta analisa ketuntasan belajar terhadap tes akhir
siklus. Indikator keberhasilan pada minat belajar matematika sebesar 75% dan prestasi belajar
sebesar 75%. Untuk mengetahui perubahan hasil tindakan, jenis data bersifat kuantitatif,
dianalisis menggunakan rumus data kuantitatif dalam penelitian tindakan kelas.(Gugus,
1999/2000:1) yakni:
% 100

=
BaseRate
BaseRate PostRate
P
Keterangan :
P = Presentasi peningkatan
Post Rate = Nilai rata-rata sesudah tindakan
Base Rate = Nilai rata-rata sebelum tindakan
Siklus pelaksanaan PTK dilakukan melalui empat tahap, yakni : (1) perencanaan
tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi dan (4) analisis dan refleksi
tindakan yang dapat digambarkan pada Gambar 1.
Proses pembelajaran dilaksanakan dalam 2 siklus,yakni siklus I dan siklus II. Hal ini
dikarenakan pada siklus I, belum mencapai indikator keberhasilan proses pembelajaran yang
ditetapkan. Pada setiap siklus yang terdiri dari : perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi
dan evaluasi serta analisis dan refleksi. Pembelajaran dilaksanakan menggunakan model
pembelajaraan kooperatif tipe NHT yakni melalui diskusi kelompok dan presentasi satu siswa
yang telah ditunjuk secara acak oleh guru untuk mewakili kelompok mereka dalam
menyelesaikan soal-soal yang ada pada lembar kerja.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus I
a. Perencanaan
Perencanaan yang dilakukan dalam tindakan ini terdiri dari : penyusunan RPP dan tes
akhir siklus, penyusunan lembar observasi indikator minat belajar matematika dan
keterlaksanaan pembelajaran, penyusunan lembar kerja dan ringkasan materi.
b. Pelaksanaan tindakan I.
Pelaksanaan tindakan dilakukan dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan 1 dan 2 yang diisi
oleh pemberian materi dan diskusi kelompok berdasarkan prosedural model pembelajaran
kooperatif tipe NHT, pertemuan 3 diisi oleh tambahan materi tergadap materi yang masih
diangggap sukar oleh siswa (di luar jam pelajaran) dan pertemuan 4 diisi oleh tes akhir siklus I.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
48



Observasi terhadap minat belajar matematika dan keterlaksanaan proses pembelajaran
dimulai dari pertemuan 1 sampai 2 sejak diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Pada pertemuan 4 hanya pengamatan terhadap tes akhir siklus I yang digunakan sebagai
cerminan terhadap prestasi belajar siswa semenjak diterapkan model pembelajaran kooperatif
tipe NHT.
c. Observasi dan Evaluasi
Observasi dibagi menjadi 2 yakni terhadap hasil observasi minat belajar matematika dan
hasil prestasi belajar yang ada pada siswa. Hasil pengamatan tersebut antara lain sebagai berikut
Minat belajar matematika tercermin pada aktivitas belajar siswa di kelas, baik sebelum dan
sesudah diberi tindakan. Pada Tabel 1, kita dapat melihat prosentase minat belajar matematika
pada pra siklus ( sebelum tindakan) dan siklus I (setelah diberikan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT) sebagai berikut:
Tabel 1 Prosentase Minat Belajar Matematika
No Kegiatan yang diamati

Prosentase
Pra Siklus Siklus I
1. Perasaan Senang 40% 57%
2. Kesadaran 20% 56,98%
3. Tanggung Jawab 36% 62%
4. Perhatian 41,65% 52,72%
5. Kesungguhan 33,3% 73,3%
Rata-rata indikator minat belajar matematika pada siklus I sebesar 60,81%
Gambar 1. Siklus Penelitian Tindakan Kelas
(Suhardjono dalam Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Sapardi, 2007 : 74)
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
49
Berdasarkan Tabel 1 diatas kita dapat mengevaluasi mengenai pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap minat belajar matematika sebagai berikut :
1. Pada saat guru memperkenalkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT, antusiasme
siswa di awal pembelajaran cukup tinggi. Namun selang beberapa menit saat
pembelajaran memasuki materi yang akan dibahas, antusiasme itu ikut turun. Hal ini
membuktikan kesungguhan dan perasaan senang siswa terhadap mata pelajaran
matematika masih rendah.
2. Pada saat guru menerangkan materi yang akan dibahas melalui power point hanya
beberapa siswa yang mencatat keterangan-keterangan yang belum ada pada modul yang
di berikan oleh guru. Hal ini menunjukkan kesadaran dan perhatian siswa terhadap mata
pelajaran matematika yang masih rendah.
3. Pada saat diskusi kelompok berlangsung, hanya beberapa siswa yang memiliki
kecerdasan tinggi yang malah mengerjakan sendiri. Hal ini dikarenakan teman satu
kelompoknya hanya menunggu jawaban saja. Dari sini kita bisa mengetahui tanggung
jawab siswa terhadap mata pelajaran matematika masih rendah.
Rata-rata pencapaian indikator minat belajar matematika pada siklus I sebesar 60,81%. Hal ini
berarti indikator keberhasilan pada minat belajar matematika belum tercapai, sehingga perlu
diadakan perbaikan pada siklus berikutnya.
Prestasi belajar tercermin pada ketuntasan belajar siswa selama proses pembelajaran
berlangsung baik sebelum dan sesudah diberi tindakan. Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM)
yang dipakai adalah 70, dengan rata-rata nilai pra siklus sebesar 63,6 dan pada siklus I sebesar
78,5. Ketuntasan belajar siswa dapat dilihat pada Tabel 2, yakni sebagai berikut:

Tabel 2 Prosentase Ketuntasan Belajar pada siswa

Indikator Nilai
Pra Siklus Siklus I
Jumlah
siswa
Prosentase
(%)
Jumlah
Siswa
Prosentase
(%)
KKM 10 40 15 60
< KKM 15 60 10 40
Jumlah 25 100 25 100

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil sebagai berikut. Ketuntasan belajar pada siswa
sebelum dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT yakni 40% dan setelah dikenai model
pembelajaran kooperatif tipe NHT yakni 60%. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya
kesungguhan dan kesadaran pada siswa untuk mau belajar matematika. Ini tercermin dari masih
rendahnya prosentasi siswa yang mencatat, bertanya pada materi yang belum jelas, menjawab
pertanyaan yang diajukan guru, dan mandiri dalam mengerjakan tes. Banyak siswa yang tidak
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
50
berusaha dengan keras menyelesaikan masalah yang diberikan guru, namun hanya menunggu
jawaban dari temannya.
Dengan ketuntasan belajar yang masih sebesar 60%, berarti indikator keberhasilan pada
prestasi belajar belum tercapai, sehingga perlu diadakan perbaikan pada siklus berikutnya
mengacu pada temuan-temuan selam observasi.

d. Analisis dan Refleksi
Dari analisis terhadap minat dan prestasi belajar matematika pada siklus I, Peneliti
mengadakan refleksi sebagai langkah untuk bergerak dan memperbaiki pada siklus berikutnya.
Refleksi yang akan ditindaklanjuti antara lain sebagai berikut ini :
1. Guru memantau lebih mendalam mengenai aktivitas belajar siswa selama proses
pembelajaran. Hal yang paling ditekankan adalah guru bisa menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan dan mampu memberi motivasi belajar pada siswa yang diakomodasi
oleh model pembelajaran kooperatif tipe NHT. (awal hingga akhir proses pembelajaran)
2. Pada aspek kesadaran yang masih rendah, guru memberikan waktu yang lebih lama lagi
dalam sesi tanya jawab yakni di awal pembelajaran maupun saat diskusi antar kelompok
berlangsung. Hal ini guru mencoba memberikan soal yang berbeda namun tetap satu type
kepada siswa-siswa yang memiliki nilai di bawah KKM.
3. Pada aspek perhatian yang masih rendah, guru memberikan pertanyaan yang lebih banyak
kepada siswa yang memiliki nilai di bawah KKM. Pertanyaan yang diberikan berupa soal
yang sesuai materi maupun mengenai materi pendukung lain yang sudah dipelajari siswa.
4. Pada saat diskusi kelompok berlangsung, guru mencoba membangun kerja sama dengan
observer. Kerjasama tersebut yakni ketika terdapat siswa dalam satu kelompok yang
melakukan aktivitas belajar lain atau hanya menunggu jawaban dari teman yang lain,
akan memberikan teguran keras yakni mengerjakan soal-soal dalam lembar kerja
sebanyak 10 kali
5. Guru lebih memberikan waktu cukup lama pada sesi tanya jawab. Hal ini dimaksudkan
supaya siswa mampu mengkomunikasikan kesulitannya dalam memahami pelajaran.
6. Guru lebih banyak memberikan motivasi kepada siswa agar lebih rajin belajar.
7. Guru memberikan kewajiban kepada siswa-siswa yang nilainya belum mencapai KKM
dengan mengikuti jam tambahan.
Siklus II
Mengacu pada refleksi yang ada pada siklus I, maka akan dilakukan perbaikan-
perbaikan pada siklus II. Hal ini dimaksudkan agar pencapaian indikator keberhasilan yang
sudah ditetapkan dapat tercapai, melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.


Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
51
a. Perencanaan
Perencanaan yang dilakukan dalam tindakan ini terdiri dari : penyusunan RPP dan tes
akhir siklus, penyusunan lembar observasi indikator minat belajar matematika dan
keterlaksanaan pembelajaran, penyusunan lembar kerja dan ringkasan materi.
b. Pelaksanaan tindakan II
Pelaksanaan tindakan dilakukan dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan 1 dan 2 yang diisi
oleh pemberian materi dan diskusi kelompok berdasarkan prosedural model pembelajaran
kooperatif tipe NHT, pertemuan 3 diisi oleh tambahan materi terhadap materi yang masih
diangggap sukar oleh siswa (di luar jam pelajaran) dan pertemuan 4 diisi oleh tes akhir siklus II.
Observasi terhadap minat belajar matematika dan keterlaksanaan proses pembelajaran
dimulai dari pertemuan 1 sampai 2 sejak diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Pada pertemuan 4 hanya pengamatan terhadap pelaksanaan tes akhir siklus II yang digunakan
sebagai cerminan terhadap prestasi belajar siswa semenjak diterapkan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT.
c. Observasi dan Evaluasi
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, dilakukan perbaikan-perbaikan pada siklus II
sebagai berikut:
- Pada aspek perhatian telah diadakan perbaikan, dengan adanya pemantauan lebih lanjut
selama proses pembelajaran yakni dengan menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan. Hal ini bertujuan agar siswa tetap memiliki fokus selama proses
pembelajaran dan diskusi berlangsung.
- Pada aspek kesadaran telah diadakan perbaikan, dengan mencoba memberi waktu yang lebih
luas dalam sesi tanya jawab terhadap materi yang masing dianggap sukar.
- Aspek yang banyak menyumbang minat belajar matematika adalah tanggung jawab dan
kesungguhan , hal ini diperlihatkan siswa selama siklus I dan siklus II. Hal ini sangat
terlihat pada tanggung jawab siswa dalam menyelesaikan soal-soal dalam lembar kerja
dan kesungguhan siswa mengerjakan tugas mandiri serta mengerjakan tes akhir siklus.
- Guru memotivasi siswa secara kontinu saat proses pembelajaran berlangsung maupun
setelah proses pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan cara adanya diskusi saat pembelajaran
dan diskusi secara mandiri antar siswa setelah pembelajaran usai terutama pada siswa yang
masih memiliki nilai dibawah KKM.
- Guru memberikan banyak soal-soal yang nantinya akan dipakai saat pembelajaran
berlangsung dan mengajak siswa untuk bersedia mengerjakan sendiri sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.
- Guru memberikan catatan-catatan kesalahan yang dilakukan oleh beberapa siswa yang
memilliki nilai dibawah KKM.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
52
Hasil observasi terhadap minat dan prestasi belajar matematika pada siswa setelah
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) pada
subpokok bahasan persamaan garis singgung pada kurva dan fungsi monoton naik dan turun
menggunakan konsep turunan pertama dalam pembelajaran pada Siklus II dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Prosentase Minat Belajar Matematika
No Kegiatan yang diamati

Prosentase
Siklus I Siklus II
1. Perasaan Senang 57% 73,25%
2. Kesadaran 57,98% 70,325%
3. Tanggung Jawab 62% 89,5%
4. Perhatian 52,72% 67,325%
5. Kesungguhan 73,3% 76,65%

Tabel 4. Prosentase Ketuntasan Belajar pada siswa

Indikator Nilai
Siklus I Siklus II
Jumlah
siswa
Prosentase
(%)
Jumlah
Siswa
Prosentase
(%)
KKM 15 60 22 88
< KKM 10 40 3 12
Jumlah 25 100 25 100

Berdasarkan hasil diatas diperoleh rata-rata indikator minat belajar matematika pada
siklus II yakni 75 dam ketuntasan belajar pada siklus II sebesar 88% dari jumlah total siswa.
Sehingga indikator keberhasilan ketuntasan belajar sudah dicapai yakni 75% jumlah total
siswa. Hal ini berarti tindakan pada Siklus II sudah berhasil, sehingga tidak perlu ada tndakan
lebih lanjut lagi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada mata pelajaran matematika dan
pembahasan dapat ditarik simpulan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT mampu meningkatkan minat belajar matematika dan
prestasi belajar pada siswa yaitu sebagai berikut.
a. Setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT(Numbered Head Together)
mampu meningkatkan minat belajar matematika pada siswa kelas XI IPA 3 dengan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
53
prosentase minat belajar matematika pada pra siklus yakni sebesar 34,19%, siklus I yakni
sebesar 60,6% dan siklus II yakni 75,41%.
b. Setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT(Numbered Head Together)
mampu meningkatkan prestasi belajar matematika pada siswa kelas XI IPA 3 dengan rata-
rata prestasi belajar dan prosentase ketuntasan pada proses pembelajaran matematika pada
pra siklus yakni sebesar 63,36 dengan ketuntasan sebesar 40%, siklus I yakni sebesar 78,36
dengan ketuntasan sebesar 60% dan siklus II yakni sebesar 83,6 dengan ketuntasan sebesar
88%.

DAFTAR PUSTAKA
Budiyono.2003.Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta : UNS Press.
Daryanto.2010. Belajar dan Mengajar. Bandung :Yrama Widya.
Ekawarna.2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Gaung Persada Press.
Lexy J.Moleong.1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Mohammad Nur.2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Pusat Sains dan Matematika
UNESA.
Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Redja Mudyahardjo.2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Robert E.Slavin.2008. Cooperative Learning : Teori, Riset, dan Praktik. Bandung : Nusa Indah.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaid.2006. Strategi Belajar Mengajar Konsep dan Makna
Pembelajaran. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Sarwiji Suwandi.2009. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah.
Surakarta : Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS.
Yulaelawati Ella.2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Pakar Raya.



Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
54
EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN STAD DAN TPS PADA MATERI
PERSAMAAN GARIS LURUS DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF

Muhammad Noor Kholid
1)
, Tri Atmojo Kusmayadi
2)
, Imam Sujadi
3)

1)
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMS
Jalan Ahmad Yani Tromol Pos 1 Surakarta 5710
2)
Fakultas MIPA UNS
Jalan Ir Sutami 36 A Surakarta
3)
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jalan Ir Sutami 36 A Surakarta

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh masing-masing
kategori model pembelajaran, gaya kognitif, dan interaksinya terhadap prestasi belajar
matematika siswa pada materi pokok persamaan garis lurus.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan desain faktorial 32.
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri se-Kabupaten Blora
semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
stratified cluster random sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 330 siswa.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes kemampuan awal, tes
prestasi belajar matematika, dan tes gaya kognitif siswa. Uji coba instrumen meliputi validitas
isi, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan reliabilitas. Uji prasyarat meliputi uji normalitas
menggunakan metode Lilliefors dan uji homogenitas variansi menggunakan metode Bartlett.
Uji keseimbangan menggunakan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama. Uji hipotesis
menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama.
Berdasarkan pengujian hipotesis, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Model
pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan prestasi belajar matematika lebih baik
dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran konvensional,
serta model pembelajaran kooperatif tipe TPS memberikan prestasi belajar matematika lebih
baik dibandingkan model pembelajaran konvensional. (2) Prestasi belajar matematika siswa
dengan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika
siswa dengan gaya kognitif field dependent. (3) Pada siswa dengan gaya kognitif field
independent dan field dependent model pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan
prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS
dan model pembelajaran konvensional, serta model pembelajaran kooperatif tipe TPS
memberikan prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan model pembelajaran
konvensional. (4) Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD, TPS dan konvensional
prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field independent lebih baik
dibandingkan prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field dependent.

Kata kunci: STAD, TPS, Konvensional, Field Independent, Field Dependent.
PENDAHULUAN
Masalah yang melatar belakangi penelitian ini yaitu masih rendahnya prestasi belajar
matematika siswa. Realita ini didasari oleh data prestasi matematika pada ajang internasional.
Hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007, prestasi
matematika siswa Indonesia berada di peringkat 36 dari 48 negara. Data hasil Programme for
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
55
International Student Assesment (PISA) tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 61
dari 65 negara.
Selain berdasar pada ajang internasional, rendahnya prestasi belajar siswa juga
ditemukan diruanglingkup nasional yakni pada siswa SMP Negeri di kabupaten Blora. Menurut
pengakuan guru SMP Negeri di Kabupaten Blora, pemahaman siswa pada materi pokok
persamaan garis lurus tergolong rendah. Hal ini didukung oleh data dari Badan Standar Nasional
Pendidikan yang menyatakan bahwa daya serap siswa SMP Negeri di Kabupaten Blora masih
rendah antara lain: persentase penguasaan konsep siswa dalam menentukan gradien garis lurus
dengan persamaan ax + by + c = 0 sebesar 53,67%, menentukan persamaan sebuah garis pada
sebuah grafik sebesar 35,37%, dan menentukan grafik dari persamaan suatu garis sebesar
29,42%.
Melihat masalah ini, pendidik harus segera melakukan perbaikan kualitas pembelajaran
sebab materi yang dipelajari siswa di jenjang SMP akan membantu siswa memahami materi
pelajaran ketika siswa melanjutkan ke tingkat SMA bahkan pada jenjang Universitas. Hal ini
yang mendorong peneliti untuk melakukan sebuah penelitian yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi terhadap masalah ini.
Rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor. Fakor tersebut
misalnya model pembelajaran yang diterapkan guru, tingkat motivasi siswa, gaya belajar siswa,
kondisi psikologis, kondisi kesehatan, gaya kognitif, dan lain-lain. Di SMP Negeri Se-
Kabupaten Blora, masih banyak guru menggunakan model konvensional dalam pembelajaran.
Pada pembelajaran konvensional, secara otoriter guru menguasai kelas dengan menggunakan
metode ceramah, guru masih menjadi peran utama di kelas dan siswa jarang diberikan
kesempatan untuk mengkomunikasikan kesulitan yang dialami kepada siswa lain yang dianggap
lebih mampu ataupun kepada guru.
Hal ini yang mendorong peneliti untuk menawarkan inovasi model pembelajaran yatu
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Ada berbagai macam model
pembelajaran kooperatif. Mengingat guru di Kabupaten Blora masih asing dalam penerapan
model pembelajaran kooperatif sehingga diasumsikan guru masih belum banyak memahami
sintaks pembelajaran kooperatif, peneliti memilih model pembelajaran kooperatif yang mudah
diterapkan oleh guru anatara lain model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams
Achievement Divisons (STAD) dan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS).
Selain itu, peneliti juga menggunakan model pembelajaran konvensional yang dianggap sebagai
acuan keberhasilan eksperimentasi model pembelajaran kooperatif.
Diduga gaya kognitif juga berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa.
Gaya kognitif merupakan kemampuan individu dalam berpikir, mengingat, memecahkan
masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya yang
bersifat konsisten dan berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama. Gaya kognitif field
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
56
dependent dan field independent merupakan tipe gaya kognitif yang mencerminkan cara analisis
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Siswa dengan gaya kognitif field
dependent cenderung menerima suatu pola sebagai suatu keseluruhan. Siswa sulit untuk
memfokuskan pada satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-bagian
yang berbeda. Sebaliknya, siswa dengan gaya kognitif field independent lebih menunjukkan
bagian-bagian terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisis pola ke dalam
komponen-komponennya.
Siswa dengan gaya kognitif field dependent mampu menemukan kesulitan dalam
memproses, namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan
konteksnya. Siswa tersebut akan dapat memisahkan stimulus dalam konteksnya, tetapi
persepsinya lemah ketika terjadi perubahan konteks. Sementara itu, siswa dengan gaya kognitif
field dependent cenderung mengerjakan tugas secara tidak berurutan dan merasa efisien bekerja
sendiri.
Dalam proses pembelajaran, siswa dengan gaya kognitif field dependent dan field
independent memiliki perbedaan karakter yang mencolok. Witkin dalam Desmita (2009: 149)
mempresentasikan beberapa karakter pembelajaran siswa dengan gaya kognitif field dependent
dan field independent. Karakter pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.
Field Dependent Field I ndependent
a. Lebih baik pada materi pembelajaran
dengan muatan sosial
b. Memiliki struktur, tujuan dan
penguatan yang didefinisikan secara
jelas
c. Lebih terpengaruh kritik
d. Memiliki kesulitan besar untuk
mempelajari materi terstruktur
e. Mungkin perlu diajarkan bagaimana
menggunakan mnemonic (teknik
untuk mengingat informasi yang
sangat sulit untuk diingat kembali)
f. Cenderung menerima organisasi
yang diberikan dan tidak mampu
untuk mengorganisasi kembali
g. Mungkin memerlukan instruksi lebih
jelas mengenai bagaimana
memecahkan masalah
a. Mungkin perlu bantuan
memfokuskan perhatian pada
materi dengan muatan sosial
b. Mungkin perlu diajarkan
bagaimana konteks untuk
memahami informasi sosial
c. Cenderung memiliki tujuan diri
yang terdefinisikan dan penguatan
d. Tidak terpengaruh kritik
e. Dapat mengembangkan
strukturnya sendiri pada situasi tak
terstruktur
f. Biasanya lebih mampu
memecahkan masalah tanpa
instruksi dan bimbingan eksplisit

Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
57
Uno dalam Desmita (2009: 149) menyatakan bahwa dalam situasi sosial, siswa dengan
gaya kognitif field dependent umumnya lebih tertarik mengamati kerangka situasi sosial,
memahami wajah atau cinta orang lain, tertarik pada pesan-pesan verbal dengan social content,
dan lebih memperhitungkan kondisi sosial eksternal sebagai feeling. Siswa dengan gaya kognitif
field dependent ini cenderung bersikap lebih baik, hangat, mudah bergaul, ramah, responsive,
selalu ingin tahu lebih banyak dibandingkan siswa dengan gaya kognitif field independent.
Sebaliknya, siswa dengan gaya kognitif field independent dalam situasi sosial cenderung
merasakan adanya tekanan dari luar, dan menanggapi situasi secara tidak sensitif.
Mencermati uraian diatas peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut.
a. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan prestasi belajar matematika
lebih baik dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran
konvensional, serta model pembelajaran kooperatif tipe TPS memberikan prestasi belajar
matematika lebih baik dibandingkan model pembelajaran konvensional.
b. Prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field independent lebih baik
dibandingkan prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field dependent.
c. Pada siswa dengan gaya kognitif field independent dan field dependent, model pembelajaran
kooperatif tipe STAD memberikan prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan
model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran konvensional, serta model
pembelajaran kooperatif tipe TPS memberikan prestasi belajar matematika lebih baik
dibandingkan model pembelajaran konvensional.
d. Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS, prestasi belajar matematika siswa
dengan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika
siswa dengan gaya kognitif field dependent.
e. Pada model pembelajaran konvensional, prestasi belajar matematika siswa dengan gaya
kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika siswa dengan
gaya kognitif field dependent.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri Se-Kabupaten Blora propinsi Jawa Tengah
semester ganjil tahun ajaran 2011/2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental
semu.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri Se-
Kabupaten Blora tanpa melibatkan SMP Negeri RSBI maupun SBI. Sampling dilakukan dengan
teknik stratified cluster random sampling sedemikian sehingga terpilih sampel sebagai berikut.
a SMP Negeri 2 Cepu sebagai SMP Negeri dari kelompok atas dengan kelas VIII F sebagai
kelas STAD, kelas VIII C sebagai kelas TPS, dan kelas VII D sebagai kelas konvensional.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
58
b SMP Negeri 1 Ngawen sebagai SMP Negeri dari kelompok sedang dengan kelas VIII B
sebagai kelas STAD, kelas VIII D sebagai kelas TPS, dan kelas VIII C sebagai kelas
konvensional.
c SMP Negeri 2 Tunjungan sebagai SMP Negeri dari kelompok bawah dengan kelas VIII C
sebagai kelas STAD, kelas VIII B sebagai kelas TPS, dan kelas VIII D sebagai kelas
konvensional.
Data dikumpulkan dengan menggunakan metode tes dengan instrumen tes kemampuan
awal, tes GEFT, dan tes prestasi belajar matematika. Instrumen pertama yakni tes kemampuan
awal pada materi pokok faktorisasi suku aljabar.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Instrumen pertama yang diujikan adalah tes kemampuan awal. Sebelum tes diujikan
kepada kelas sampel, terlebih dahulu tes diujicobakan untuk mengetahui validitas isi, memilih
soal dengan tingkat kesukaran sedang, memilih soal dengan daya pembeda yang baik dan
memastikan bahwa instrumen tersebut reliabel. Sebelum menguji keseimbangan, terlebih dahulu
dilakukan uji prasyarat yakni uji normalitas dan uji homogenitas variansi. Uji normalitas
menggunakan metode Lilliefors. Sedangkan uji homogenitas variansi menggunakan metode
Bartlett. Dari kedua hasil uji disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal dan memiliki variansi homogen. Karena uji prasyarat terpenuhi maka dapat dilakukan
uji keseimbangan dengan menggunakan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama. Hasil
uji keseimbangan menggunakan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama diperoleh F
obs
=
3,0139 dengan F
0,05;2;327
= 3,0356. Karena F
obs
lebih dari F
0,05;2;327
maka H
0
diterima. Hal ini
berarti bahwa kelompok eksperimen I, II, dan kontrol mempunyai kemampuan awal yang sama.
Selanjutnya peneliti mengukur gaya kognitif siswa dengan instrument tes GEFT. Oleh
karena instrumen merupakan instrumen yang telah baku dan valid, terlebih dahulu tes
diujicobakan untuk mengetahui validitas aspek bahasa, apakah sekiranya bahasa yang
digunakan dalam tes sudah dipahami oleh siswa SMP serta apakah bahasa yang digunakan
dalam tes sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berikutnya
dilakukan eksperimentasi selama enam kali pertemuan. Instrumen ketiga adalah instrumen tes
prestasi belajar matematika pada materi pokok persamaan garis lurus. Sama halnya dengan
instrumen tes kemampuan awal, sebelum tes diujikan kepada kelas sampel, terlebih dahulu tes
diujicobakan untuk mengetahui validitas isi, memilih soal dengan tingkat kesukaran sedang,
memilih soal dengan daya pembeda yang baik dan memastikan bahwa instrumen tersebut
reliabel.
Selanjutnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi terhadap data prestasi
belajar matematika dan dinyatakan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal serta
memiliki variansi homogen. Karena uji prasyarat terpenuhi, dilanjutkan dengan uji hipotesis
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
59
dengan menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Berikut hasil rangkuman
analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama.
Sumber JK dk RK F
obs
F
tabel
Keputusan
A 12421,7180 2 6210,8590 27,9860 3,0236 H
0
ditolak
B 2930,4048 1 2930,4048 13,2044 3,8703 H
0
ditolak
AB 124,0226 2 62,0113 0,2794 3,0236 H
0
diterima
Galat 71904,3681 324 221,9271 - - -
Total 87380,5135 329 - - - -

Berdasarkan rangkuman tersebut, H
0A
ditolak yang artinya terdapat perbedaan pengaruh
antara masing-masing model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika siswa. Karena
pada penelitian ini menggunakan tiga model pembelajaran, sehingga untuk mengetahui model
mana yang memberikan pengaruh berbeda dilakukan uji komparasi ganda dengan metode
Scheffe. Hasil uji komparasi ganda disajikan dalam tabel berikut.
H
0
F
obs
2F
(0,05;2;301)
Keputusan
TPS STAD
= 16,6027 6,0472 H
0
ditolak
KONV STAD
= 56,7756 6,0472 H
0
ditolak
KONV TPS
= 11,8135 6,0472 H
0
ditolak

Untuk menentukan model pembelajaran yang memberikan pengaruh lebih baik, cukup
dilihat dan dibandingkan rata-rata marginal masing-masing model. Disimpulkan bahwa model
STAD (73,9286) lebih baik dibanding model TPS (65,7615) dan konvensional (58,8257), serta
model TPS lebih baik dibanding model konvensional.
Sama halnya dengan H
0A
, H
0B
juga ditolak yang artinya ada perbedaan pengaruh antar
masing-masing gaya kognitif terhadap prestasi belajar siswa. Karena dalam penelitian ini gaya
kognitif hanya dilibatkan dalam dua kategori, untuk menentukan kategori mana yang lebih baik,
cukup dilihat dan dibandingkan rata-rata marginalnya. Disimpulkan bahwa siswa dengan gaya
kognitif field independent (69,9858) lebih baik dibandingkan dengan siswa dengan gaya
kognitif field dependent (63,2381).
Selanjutnya dari hasil uji hipotesis dinyatakan bahwa H
0AB
diterima yang artinya tidak
terdapat interaksi anatara model pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
60
matematika. Dapat dikatakan bahwa pada masing-masing model pembelajaran, pengaruh gaya
kognitif konsisten terhadap prstasi belajar dan pada masing-masing gaya kognitif, pengaruh
masing-masing model pembelajaran konsisten terhadap prestasi belajar.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pada siswa
kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Blora, khususnya pada materi pokok persamaan garis
lurus.
a. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memberikan prestasi belajar matematika lebih
baik dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran
konvensional, serta model pembelajaran kooperatif tipe TPS memberikan prestasi belajar
matematika lebih baik dibandingkan model pembelajaran konvensional.
b. Prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field independent lebih baik
dibandingkan prestasi belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field dependent.
c. Pada siswa dengan gaya kognitif field independent dan field dependent, model pembelajaran
kooperatif tipe STAD memberikan prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan
model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran konvensional, serta model
pembelajaran kooperatif tipe TPS memberikan prestasi belajar matematika lebih baik
dibandingkan model pembelajaran konvensional.
d. Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD, TPS, dan konvensional, prestasi belajar
matematika siswa dengan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi
belajar matematika siswa dengan gaya kognitif field dependent.

DAFTAR PUSTAKA
Abu, R. B. dan Flowers, J. 1997. The Effects of Cooperative Learning Methods on
Achievement, Retention, and Attitudes of Home Economics Students in North
California. Journal of Vocational and Technical Education. Vol. 13. No. 2. pp. 47-56.
Adesoji, F.A dan Ibraheem, T.A. 2009. Effects of Student Teams Achievement Divisions
Strategy and Mathematics Knowledge on Learning Outcomes in Chemical Kinetics. The
Journal of International Social Research. Vol. 2/6. Winter. pp. 15-25.
Agus Suprijono. 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Anita Lie. 2002. Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
61
Balfakih, Nagib M.A. 2003. The Effectiveness of Student Teams-Achievement Divisions
(STAD) for Teaching High School Chemistry in The United Arab Emirates.
International Journal of Science Education. Vol. 25. No. 5. pp. 605-624.
Bostic, Jeff Q. 1988. Cognitive Styles: Their Consolidation and Relationship, Beyond Cognitive
Developmental Level and Critical Thinking Ability, to Understanding Science.
Dissertation. Texas: Texas Tech University.
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Carss, Wendy Diane. 2007. The Effects of Using Think-Pair-Share During Guided Reading
Lessons. Thesis. Waikato: The University of Waikato.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Erman Suherman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.
Henry Suryo Bintoro. 2010. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS pada
Materi Pokok Fungsi Ditinjau dari Kreativitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri di Kota
Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis. Surakarta: Univeristas Sebelas Maret.
Ika Krisdiana. 2009. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams
Achievement Divisions) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Aktivitas
Belajar Peserta Didik pada Pokok Bahasan Persamaan dan Fungsi Kuadrat Kelas X
SMA di Kota Madiun. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Maasz, J. 2005. A New View of Mathematics Will Help Mathematics Teachers. Adults
Learning Mathematics International Journal. Vol. 1 (1). pp. 618.
Moertiningsih. 2011. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw yang
Dimodifikasi Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten
Grobogan. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Purwoto. 2003. Strategi Pembelajaran Mengajar. Surakarta: UNS Press.
Rini Susilowati. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams
Achievement Divisons (STAD) dan Think-Pair-Share (TPS) pada Pokok Bahasan Relasi
dan Fungsi Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri di Sukoharjo.
Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sadirman A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Saifuddin Azwar. 2000. Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Slavin. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sutratinah Tirtonegoro. 1984. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta: Bina
Aksara.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
62
Syaiful Bahri Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha
Nasional.
Tabrani. 1991. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya.
W.S. Winkel. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
Yatim Riyanto. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Zakaria, E., Iksan, Z. 2007. Promoting Cooperative Learning in Science and Mathematics
Education: A Malaysian Perspective. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education. Vol. 3(1). pp. 35-39.
Zakaria, E., Chin. L. C., Daud, M. Y. 2010. The Effects of Cooperative Learning on Students
Mathematics Achievement and Attitude towards Mathematics. Journal of Social
Science. Vol. 6 (2). pp. 272-275.


Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
63
PEMBELAJARAN REMEDIAL PADA PELAJARAN MATEMATIKA
SEMESTER I KELAS VII SMP NEGERI 15 PURWOREJO
TAHUN PELAJARAN2010/2011
Eka Novarina
1)
, Budiyono
2)
, Teguh Wibowo
3)

1,2)
Program Pasca Sarjana Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, e-mail: novarinaeka14@yahoo.com
3)
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo
Jl. KH. Ahmad Dahlan 6

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa setelah diberi pembel-
ajaran remedial lebih tinggi dari hasil belajar siswa sebelum diberi pembelajaran remedial
pada pelajaran matematika. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 15
Purworejo tahun pelajaran 2010/2011 sebanyak 148 siswa. Sampel penelitian berjumlah 30
siswa. Teknik sampling yang digunakan proportional cluster random sampling. Instrumen
pengumpulan data menggunakan dokumentasi dan tes. Dokumentasi yang digunakan daftar
kumpulan nilai rapor semester I siswa SMP Negeri 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
Tes yang digunakan tes evaluasi yang telah memenuhi validitas dan reliabilitas instrumen.
Teknik pengolahan data yang digunakan korelasi product moment dan t-test. Hasil pengolah-
an data menunjukkan rerata hasil belajar siswa sebelum diberi pembelajaran remedial sebesar
66,93 dan standar deviasi sebesar 2,5. Rerata setelah diberi pembelajaran remedial sebesar
60,47 dan standar deviasi 23,84. Pengujian menggunakan t-test menunjukkan hasil belajar
siswa setelah diberi pembelajaran remedial lebih rendah dari hasil belajar siswa sebelum di-
beri pembelajaran remedial secara signifikan pada pelajaran matematika.
Kata kunci: pembelajaran remedial
PENDAHULUAN
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) menganut prinsip belajar tuntas.
Maksudnya selesai pembelajaran siswa harus menguasai standar kompetensi (SK) atau
kompetensi dasar (KD) yang telah ditetapkan. Menurut Cece Wijaya (2007: 44), pada umumnya
dalam setiap pembelajaran ditemukan tiga kelompok siswa ditinjau dari waktu yang diperlukan
dalam memahami suatu materi pelajaran, pertama siswa cepat, kedua siswa rerata, ketiga siswa
lamban. Dalam pelaksanaannya tidak semua siswa mencapai ke-tuntasan pada akhir
pembelajaran. Siswa yang tidak mencapai ketuntasan pada akhir pem-belajaran dan dinyatakan
belum tuntas terhadap suatu kompetensi tertentu perlu mendapatkan bantuan. Pada
kenyataannya, siswa yang dinyatakan belum tuntas tidak diberikan perlakuan yang dapat
membantu siswa mengatasi kesulitan belajarnya. Perlakuan yang diberikan hanya berupa
pengulangan ujian yang hanya bertujuan untuk meningkatkan nilai.
Siswa kelas VII merupakan siswa dengan masa peralihan dari pemahaman materi
secara nyata menuju pemahaman materi secara semi abstrak. Bagi siswa yang tidak me-nguasai
dengan baik kompetensi dasar matematika pada jenjang sekolah dasar (SD), akan mengalami
kesulitan memahami materi pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Pada tahap ini,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
64
apabila ditemui kesulitan belajar pada siswa, hendaknya segera ditangani agar dapat
melanjutkan proses belajar pada semester dan kelas berikutnya.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa setelah di-
beri pembelajaran remedial lebih tinggi dari hasil belajar siswa sebelum diberi pembelajaran
remedial pada pelajaran matematika semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran
2010/2011? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hasil bel-ajar siswa
setelah diberi pembelajaran remedial lebih tinggi dari hasil belajar siswa se-belum diberi
pembelajaran remedial pada pelajaran matematika semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo
tahun pelajaran 2010/2011. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi siswa dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi kesulitan belajar pelajaran matematika
yang mereka hadapi sehingga dapat memperbaiki cara belajar matematika ke arah yang lebih
baik.
2. Bagi guru, pertama menjadi bahan acuan dalam menyusun rencana dan melaksanakan
pembelajaran remedial pelajaran matematika yang sesuai. Kedua, masukan dalam usaha
untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
3. Bagi kepala sekolah sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menyelenggarakan
pembelajaran remedial secara terprogram dan terjadwal agar hasil yang diperoleh dari
pembelajaran remedial lebih optimal.
Pembelajaran remedial merupakan salah satu alternatif perlakuan yang diberikan oleh
guru terhadap siswa yang belum mencapai ketuntasan hasil belajar pada waktu yang telah
ditentukan. Menurut User Usman dan Lilis Setiawati (1993: 103), remedial berarti bersifat
menyembuhkan, membetulkan ataupun membuat menjadi baik. Pembelajaran remedial
merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk mem-perbaiki prestasi
belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan (Ditbin SMA, 2008: 2). Dengan
kata lain, remedial diperlukan bagi peserta didik yang belum men-capai kemampuan minimal
yang telah ditetapkan. Dari beberapa pengertian di atas, pem-belajaran remedial adalah suatu
perlakuan yang diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai ketuntasan hasil belajar
pada waktu yang telah ditetapkan dengan tujuan agar peserta didik tersebut dapat mencapai
ketuntasan hasil belajar.
Pembelajaran remedial menurut Sri Wardhani (2008

: 36), minimal mencakup 3


kegiatan, yaitu:
a. analisis kesulitan/kelemahan siswa;
b. pelayanan pembelajaran remidi secara formal/informal; dan
c. penilaian kemajuan belajar setelah pelayanan pembelajaran remidi.
Pelaksanaan program remedial dapat ditempuh dengan dua cara. Dua cara ini dapat dilaku-kan
secara terpisah maupun bersama-sama. Dalam Pedoman Pembelajaran Tuntas (Depdiknas,
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
65
2003: 21), cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan pembelajaran remedial adalah
sebagai berikut.
a. Pemberian bimbingan secara khusus dan perorangan bagi siswa yang belum atau meng-alami
kesulitan dalam penguasaan KD tertentu. Cara ini merupakan cara yang mudah dan
sederhana untuk dilakukan karena merupakan implikasi dari peran guru sebagai tutor.
b. Pemberian tugas-tugas atau perlakuan (treatment) secara khusus, yang sifatnya pe-
nyederhanaan dari pelaksanaan pembelajaran biasa.
Menurut Nana Sudjana (1989: 49), hasil belajar adalah ukuran yang menyatakan
tingkat pencapaian siswa dalam pembelajaran yang dapat diketahui melalui penguasaan
indikator-indikator yang telah ditetapkan. Menurut Muhibbin dalam Nana Sudjana (1989: 49),
bahwa hasil belajar adalah penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai siswa sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Sri Wardhani (2008

: 21), ke-tuntasan belajar


setiap indikator yang telah di-tetapkan dalam suatu kompetensi dasar ber-kisar antara 0-100%,
tetapi kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Eksperimen dilakukan dengan
cara membandingkan hasil belajar matematika sebelum dan setelah diberi pembelajaran
remedial. Pada penelitian ini hanya terdapat satu kelompok yang diberi perlakuan dan se-
lanjutnya diteliti hasilnya.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP N 15 Purworejo yang terletak di desa Kledung
Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo. Penelitian dimulai bulan November 2010 sampai
dengan bulan September 2011.
Target/Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun
pelajaran 2010/2011 dengan nilai rapor pelajaran matematika semester I kurang dari 75
sebanyak 148 siswa. Populasi terdiri dari beberapa subpopulasi/kelompok dengan setiap sub-
populasi/kelompok akan diwakili dalam penelitian, maka sampel diambil secara proportional
cluster random sampling. Menurut S. Margono (2005: 128), proportional random sampling
adalah teknik pengambilan sampel yang menunjuk pada perbandingan penarikan sampel dari
beberapa subpopulasi yang tidak sama jumlahnya. Menurut S. Margono (2005: 127), cluster
random sampling adalah teknik pengambilan sampel apabila populasi terdiri dari kelompok-
kelompok individu atau cluster. Setiap subpopulasi diambil sampel yang besar kecilnya
mengikuti proporsi besar kecilnya subpopulasi.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
66
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 siswa kelas VII SMP N 15 Purworejo dengan
nilai rapor semester I untuk pelajaran matematika kurang dari 75. Berikut tabel rincian proporsi
sampel penelitian.
Tabel 1. Daftar Proporsi Siswa sebagai Sampel






Prosedur
Alur pelaksanaan penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut.














Gambar 1. Bagan Alur Pelaksanaan Penelitian
Pembelajaran remedial yang dilakukan mencakup materi pelajaran matematika
semester I kelas VII. Materi matematika semester I kelas VII terdiri dari tiga materi. Setiap satu
materi selesai diberikan dalam dua kali pertemuan pembelajaran remedial. Pada pertemuan
ketiga dilakukan tes evalusi. Setelah ketiga materi dievalusi, hasil evaluasi tersebut dicari
reratanya sebagai hasil akhir. Rincian perlakuan pada pembelajaran remedial ini digambarkan
ke dalam bagan berikut.
Kelas Proporsi Banyak Siswa
A
22
148
4
B
31
148
6
C
31
148
6
D
32
148
7
E
32
148
7
Pengambilan data berupa nilai rapor semester I kelas VII SMP
Negeri 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011

Siswa dengan nilai rapor mata pelajaran
matematika < 75 sebagai populasi
sebanyak 148 siswa


Siswa dengan nilai
matematika 75

Dengan menggunakan teknik sampling,
diperoleh sampel sebanyak 30 siswa.
9
Sampel diberi perlakuan berupa
pembelajaran remedial
Tes
Evaluasi
Analisis
Data
Penarikan
Kesimpulan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
67






















Gambar 2. Bagan Alur Perlakuan Pembelajaran Remedial
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ada dua. Metode tersebut
yaitu metode dokumentasi dan tes.
1. Metode Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan cara melakukan pengambilan data hasil belajar
matematika semester I kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
Pengambilan data dilakukan dengan mengambil data dari daftar kumpulan nilai rapor semester I
kelas VII SMP Negeri 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
2. Metode Tes
Metode tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar setelah mendapatkan
pembelajaran remedial. Instrumen tes berbentuk uraian dan disusun berdasarkan indikator-
indikator yang telah ditetapkan.
Instrumen dalam penelitian ini berbentuk soal uraian. Soal uraian ini disusun ber-
dasakan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Penelitian ini menggunakan tes yang di-
berikan pada setiap akhir pembelajaran suatu SK. Uji validitas instrumen menggunakan korelasi
product moment memakai angka kasar. Validitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah
validitas butir soal. Validitas ini untuk mengetahui butir-butir soal yang akan di-gunakan dan
tidak digunakan. Dalam penelitian ini, digunakan pengujian reliabilitas meng-gunakan internal
Evaluasi
Evaluasi
Rerata III
Rerata II
Rerata I
Evaluasi
Pertemuan II
Pertemuan I
Pertemuan II
Pertemuan I Materi II
Pertemuan II
Pertemuan I Materi I
Materi III
Rerata IV
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
68
consistency. Pengujian ini dilakukan dengan cara mengujicoba instrumen sekali saja, kemudian
data yang diperoleh dianalisis. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk soal
uraian, sehingga untuk menghitung koefisien reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha.
Menurut Nunnaly dan Kaplan dan Saccuzo dalam Sumarna Surapranata (2006: 114), koefisien
reliabilitas 0,7 sampai 0,8 cukup tinggi untuk suatu penelitian dasar.
Sehubungan dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi sebelum peneliti me-
nentukan teknik pengolahan data yang digunakan, maka dilakukan uji prasyarat terlebih dahulu.
Uji prasyarat yang dilakukan adalah uji normalitas. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan
terhadap nilai remedial matematika semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun 2010/2011.
Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji normalitas dengan metode Lilliefors.
Teknik Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan t-test dua sampel berkorelasi. Sampel
yang berkorelasi tersebut adalah nilai matematika sebelum dan setelah diberi pem-belajaran
remedial. Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut.

0
: Hasil belajar siswa setelah diberi pembelajaran remedial lebih rendah atau sama dengan
hasil belajar siswa sebelum diberi pem-belajaran remedial pada pelajaran matematika
semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.

: Hasil belajar siswa setelah diberi pembelajaran remedial lebih tinggi dari hasil belajar
siswa sebelum diberi pembelajaran remedial pada pelajaran matematika semester I kelas
VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
Dari hipotesis yang telah dikemukakan tersebut, digunakan uji satu pihak, yaitu uji pihak kanan
dengan = 0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengumpulan data, diperoleh nilai rapor pelajaran matematika dan nilai
remedial matematika semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
Data nilai rapor diperoleh dengan metode dokumentasi, sementara data nilai remedial diperoleh
dengan menggunakan metode tes. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam Tabel 2.
Data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan data. Adapun langkah-
langkah dalam pengolahan data sebagai berikut.
1. Uji Normalitas
Jumlah responden pembelajaran remedial sebanyak 30 siswa, sehingga diperoleh nilai

(daerah kritik) dengan taraf kesalahan 5% sebesar 0.161. Tabel 3 menyajikan tabel
penolong untuk menghitung uji normalitas nilai remedial pelajaran matematika semester I kelas
VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.


Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
69
Tabel 2. Daftar Nilai Rapor Pelajaran Matematika dan Nilai Remedial Matematika

No Kode Sampel
Nilai Rapor Pelajaran
Matematika
Nilai Remedial Pelajaran
Matematika
1. SPR. 01 71 88
2. SPR. 02 66 43
3. SPR. 03 65 47
4. SPR. 04 65 25
5. SPR. 05 65 72
6. SPR. 06 71 33
7. SPR. 07 69 63
8. SPR. 08 65 75
9. SPR. 09 72 85
10. SPR. 10 65 90
11. SPR. 11 65 67
12 SPR. 12 66 48
13 SPR. 13 66 53
14 SPR. 14 66 64
15 SPR. 15 74 34
16 SPR. 16 70 58
17 SPR. 17 65 81
18 SPR. 18 65 85
19 SPR. 19 65 57
20 SPR. 20 68 73
21 SPR. 21 68 21
22 SPR. 22 65 79
23 SPR. 23 66 48
24 SPR. 24 65 37
25 SPR. 25 67 60
26 SPR. 26 65 82
27 SPR. 27 65 0
28 SPR. 28 67 55
29 SPR. 29 67 92
30 SPR. 30 69 99



Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
70
Tabel 3.
Daftar Penolong untuk Perhitungan Uji Normalitas Nilai Remedial Matematika
Semester I Kelas VII SMP N 15 Purworejo Tahun Pelajaran 2010/2011
No.

60
24.83

F (

) S (

) F (

) - S (

)
1. 0 -2,42 0,0078 0,0333 0,0255
2. 21 -1,57 0,0581 0,0667 0,0084
3. 25 -1,41 0,0793 0,1000 0,0207
4. 33 -1,09 0,1379 0,1333 0,0046
5. 34 -1,05 0,1469 0,1667 0,0198
6. 37 -0,93 0,1762 0,2000 0,0238
7. 43 -0,68 0,2483 0,2333 0,0150
8. 47 -0,52 0,3015 0,2667 0,0348
9. 48 -0,48 0,3156 0,3333 0,0177
10. 48 -0,48 0,3156 0,3333 0,0177
11. 53 -0,28 0,3897 0,3667 0,0230
12. 55 -0,20 0,4207 0,4000 0,0207
13. 57 -0,12 0,4522 0,4333 0,0189
14. 58 -0,08 0,4681 0,4667 0,0014
15. 60 0,00 0,5000 0,5000 0,0000
16. 63 0,12 0,5478 0,5333 0,0145
17. 64 0,16 0,5636 0,5667 0,0031
18. 67 0,28 0,6103 0,6000 0,0103
19. 72 0,48 0,6844 0,6333 0,0511
20. 73 0,52 0,6985 0,6667 0,0318
21. 75 0,60 0,7257 0,7000 0,0257
22. 79 0,76 0,7764 0,7333 0,0431
23. 81 0,85 0,8023 0,7667 0,0356
24. 82 0,89 0,8133 0,8000 0,0133
25. 85 1,01 0,8438 0,8667 0,0229
26. 85 1,01 0,8438 0,8667 0,0229
27. 88 1,13 0,8708 0,9000 0,0292
28. 90 1,21 0,8869 0,9333 0,0464
29. 92 1,29 0,9015 0,9667 0,0625
30. 99 1,57 0,9418 1,0000 0,0582
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
71
Pada daftar tabel penolong dapat diketahui

= Maks F(

) - S(

) sebesar 0,0625
dibulatkan sampai tiga angka di belakang koma menjadi 0,063. Daerah kritik
0,05;30
= 0,161 ;
DK = {L L > 0,161};

= 0,063 DK, sehingga diputuskan bahwa


0
diterima.
Kesimpulan-nya sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

2. Menguji Hipotesis dengan t-test
Untuk menguji hipotesis pada penelitian ini digunakan t-test. Langkah-langkah yang
dilakukan untuk menguji hipotesis menggunakan t-test adalah sebagai berikut.
a. Menghitung rerata, simpangan baku, dan varians.
Untuk membantu dalam menggunakan t-test terlebih dahulu dihitung rerata, simpangan
baku, dan varians. Dari tabel 2, dapat dihitung rerata, simpangan baku, dan varians hasil belajar
matematika sebelum dan setelah diberi pembelajaran remedial. Rerata, simpangan baku, dan
varians disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.
Daftar Rerata, Simpangan Baku, dan Varians Data
Statistik
(ukuran sampel)
Nilai Rapor
Pelajaran
Matematika (X)
Nilai Remedial
Pelajaran
Matematika (Y)
Rerata 66,93 60,47
Simpangan Baku 2,50 23,84
Varians 6,25 568,35

b. Menghitung nilai koefisien korelasi product moment.
Korelasi antara nilai pelajaran matematika sebelum dan setelah diberi pembel-ajaran
remedial dihitung menggunakan korelasi product moment. Untuk meng-hitung korelasi terlebih
dahulu dibuat tabel pe-nolong sebagai berikut.
Tabel 5.
Daftar Penolong Menghitung Nilai Koefisien Korelasi Product Moment

Kode
Sampel
Nilai Sebelum
Pembelajaran
Remedial (X)
Nilai Setelah
Pembelajaran
Remedial (Y)
x y
2

2
xy
SPR. 01 71 88 4 28 16 784 112
SPR. 02 66 43 -1 -17 1 289 17
SPR. 03 65 47 -2 -13 4 169 26
SPR. 04 65 25 -2 -35 4 1225 70
SPR. 05 65 72 -2 12 4 144 -24
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
72
SPR. 06 71 33 4 -27 16 729 -108
SPR. 07 69 63 2 3 4 9 6
SPR. 08 65 75 -2 15 4 225 -30
SPR. 09 72 85 5 25 25 625 125
SPR. 10 65 90 -2 30 4 900 -60
SPR. 12 66 48 -1 -12 1 144 24
SPR. 13 66 53 -1 -7 1 49 7
SPR. 14 66 64 -1 4 1 16 -4
SPR. 15 74 34 7 -26 49 676 -182
SPR. 16 70 58 3 -2 9 4 -6
SPR. 17 65 81 -2 21 4 441 -42
SPR. 18 65 85 -2 25 4 625 -50
SPR. 19 65 57 -2 -3 4 9 6
SPR. 20 68 73 1 13 1 169 13
SPR. 21 68 21 1 -39 1 1521 -39
SPR. 22 65 79 -2 19 4 361 -38
SPR. 23 66 48 -1 -12 1 144 12
SPR. 24 65 37 -2 -23 4 529 46
SPR. 25 67 60 0 0 0 0 0
SPR. 26 65 82 -2 12 4 144 -24
SPR. 27 65 0 -2 -60 4 3600 120
SPR. 28 67 55 0 -5 0 25 0
SPR. 29 67 92 0 32 0 1024 0
SPR. 30 69 99 2 39 4 1521 78
Jumlah -2 4 182 16150 41

Dari Tabel 5, dapat dihitung korelasi product momentnya,

= 0,024 (di-bulatkan
sampai tiga angka di belakang koma). Nilai

tersebut kemudian di-bandingkan dengan


nilai

. Nilai

dengan N = 30 dan taraf kesalahan 5% adalah 0,361. Nilai

<
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
73

. Hal ini berarti


0
diterima, tidak ada hubung-an antara hasil belajar matematika sebelum
dan setelah diberi pembelajaran remedial.
c. Memasukkan nilai-nilai yang telah dicari ke dalam rumus t-test.
Pada perhitungan sebelumnya, telah ditemukan nilai-nilai yang diperlukan untuk
menghitung t. Selanjutnya nilai-nilai tersebut dimasuk-kan ke dalam rumus t, sehingga
diperoleh t = 1,480 (dibulatkan sampai tiga angka di belakang koma).
d. Menentukan kriteria daerah penerimaan dan penolakan hipotesis
Untuk menentukan kriteria daerah penerimaan dan penolakan hipotesis dicari nilai

.
Nilai

dengan dk = 58 dan taraf kesalahan sebesar 5%, nilai

yang mendekati adalah


1,671.
e. Mengambil kesimpulan
Dari langkah (c) sampai (d) berturut-turut diperoleh

= 1,671 dan

= 1,480.
Jadi

<

, maka
0
diterima.
Hasil perhitungan nilai

, diperoleh

= 0,024 <

= 0,361. Hasil ini me-


nunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara hasil belajar matematika sebelum dan se-telah
diberi pembelajaran remedial. Perhitungan menggunakan t-test mendapatkan nilai

=
1,480. Dengan taraf kasalahan 5 % dan uji satu pihak, maka diperoleh nilai

= 1,671.
Dengan demikian

<

, menurut kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis,


0

diterima yang artinya hasil belajar siswa setelah diberi pembelajaran remedial lebih rendah atau
sama dengan hasil belajar siswa sebelum diberi pembelajaran remedial secara signifikan pada
pelajaran matematika. Setelah diberi pembelajaran remedial, hasil belajar dalam sampel tidak
meningkat. Hasil belajar setelah pembelajaran remedial secara klasikal justru cenderung
menurun.
Peneliti menduga bahwa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar
matematika siswa setelah diberi pembelajaran remedial, baik faktor intern maupun faktor
ekstern dan faktor dari peneliti. Faktor intern berasal dari diri siswa yang menjadi sampel
misalnya faktor psikologis siswa pada saat pembelajaran remedial. Faktor ekstern berasal dari
lingkungan saat pembelajaran remedial, misalnya waktu pelaksanaan remedial yang
dilaksanakan di akhir jam pelajaran, sehingga kondisi siswa tidak dalam keadaan yang
mendukung.
Faktor dari peneliti adalah peneliti tidak melakukan beberapa langkah awal dalam
pembelajaran remedial. Peneliti tidak melakukan analisis khusus kesulitan belajar siswa secara
individual, sehingga pembelajaran remedial yang diberikan berupa bimbingan secara klasikal
bukan bimbingan secara khusus dan perorangan. Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran
remedial sama untuk semua peserta remedial. Evaluasi yang diguna-kan, seharusnya menurut
ciri-ciri pembelajaran remedial tidak bersifat seragam dan kelompok. Hal ini menyebabkan
tidak semua sampel penelitian memperoleh ketuntasan hasil belajar setelah pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
74
remedial. Meski begitu, pembelajaran remedial tetap bisa menjadi alternatif pilihan dalam usaha
membantu siswa yang belum mencapai ke-tuntasan hasil belajar pada waktu yang ditentukan
(akhir pelajaran). Pembelajaran remedial yang terprogram dan terjadwal dengan baik serta
perlakuan yang tepat pada setiap peserta remedial sesuai dengan kesulitan belajarnya akan
membantu siswa peserta remedial memperoleh ketuntasan hasil belajar.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan hasil penelitian pembelajaran remedial pada pelajaran matematika semester I
kelas VII diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa sebelum diberi
pembelajaran remedial dan setelah diberi pembelajaran remedial pada pelajaran matematika
semester I kelas VII SMP N 15 Purworejo tahun pelajaran 2010/2011.
Peneliti memberikan saran yang diharapkan dapat memberikan masukan agar men-jadi
lebih baik. Berikut beberapa saran yang diberikan oleh peneliti.
1. Bagi guru, pertama disarankan terlebih dahulu menganalisis penyebab siswa tidak mencapai
ketuntasan hasil belajar pada waktu yang telah ditentukan (akhir pembelajaran). Analisis
kesulitan belajar siswa membantu guru dalam menentukan bantuan belajar yang tepat dalam
pembelajaran remedial. Kedua, disarankan untuk tidak menaikkan nilai siswa yang masih
memperoleh hasil belajar yang rendah setelah diberi pembel-ajaran remedial.
2. Bagi kepala sekolah, pertama disarankan dapat menyusun pelaksanaan program remedial
secara terpadu dan terjadwal. Hal ini agar pelaksanaan pembelajaran remedial dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Kedua, disarankan agar tidak
mengharuskan guru menaikkan hasil belajar siswa setelah diberi pembel-ajaran remedial.
3. Bagi peneliti yang ingin meneliti hasil belajar setelah pembelajaran remedial, disaran-kan
untuk meneliti pembelajaran remedial secara utuh dan terperinci. Penelitian tidak hanya
meneliti pembelajaran remedial dengan cara melakukan pembelajaran ulang dengan
penyederhanaan materi dan memberikan bimbingan belajar secara klasikal. Pembelajaran
remedial didahului menganalisis kesulitan belajar siswa kemudian mem-berikan bimbingan
secara individual.

DAFTAR PUSTAKA
Cece Wijaya. 2007. Pendidikan Remedial: Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya
Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya
Depdiknas. 2003. Pedoman Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning). Jakarta: Depdiknas
DPMU
Ditbin SMA. 2008. Sistem Penilaian KTSP: Panduan Penyelenggaraan Belajar Tuntas. Jakarta:
Depdiknas
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
75
Nana Sudjana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Sri Wardhani. 2008

. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Yogyakarta: Pusat


Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Ke-pendidikan Matematika
______. 2008

. Standar Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan


Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika
Sumarna Surapranata. 2006. Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes.
Bandung: Remaja Rosdakarya
User Usman dan Lilis Setiawati.1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosda Karya
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
76
PENGOPTIMALAN KARAKTER POSITIF SISWA SD, SMP, DAN SMA/SMK
DENGAN LEARNING STYLE KINESTETIK MENGGUNAKAN MEDIA
TRAVEL GAME UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
MATEMATIKA SISWA
Ika Wulandari
SMK N 2 WONOSARI, GUNUNGKIDUL, DIY.
Jl. KH. Agus Salim, Wonosari, e-mail : ariensuharyono@yahoo.co.id


Abstrak
Makalah ini mengangkat topik pemanfaatan media Travel Game dalam
mengoptimalkan karakter positif siswa SD, SMP, dan SMA/SMK yang memiliki
learning style kinestetik. Tujuan makalah ini adalah untuk membuka wacana
tentang pentingnya mefasilitasi siswa pada jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK yang
memiliki Learning Style Kinestetik menggunakan permainan edukasi (diantaranya:
Travel Game).
Tema makalah ini diangkat dengan latar belakang data hasil penelitian yang
relevan, serta survei di lapangan yaitu: (1) Pembelajaran dengan menerapkan
permainan edukasi dapat meningkatkan karakter positif, (2) Pembelajaran dengan
menerapkan permainan edukasi dapat meningkatkan prestasi belajar matematika
siswa, (3) Pembelajaran dengan menerapkan permainan edukasi dapat
mengoptimalkan prestasi belajar siswa yang memiliki learning style kinestetik, (4)
Masih banyak kendala dalam pemanfaatan permainan edukasi pada saat KBM, (5)
Siswa dengan Learning Style kinestetik belum terakomodasi/ terfasilitasi dengan
baik sehingga hasil belajarnya belum optimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan memaparkan: (1)
Pentingnya mengoptimalkan karakter positif dengan memfasilitasi siswa yang
memiliki learning style kinestetik, (2) Proses merancang permainan edukasi
(Travel Game), (3) proses pelaksanaan game saat KBM, (4) kendala dan solusi
pelaksanaan permainan edukasi (Travel game) di sekolah. Dengan memahami
permasalahan ini diharapkan guru menjadi trampil dan berinovasi untuk
memfasilitasi siswa ber-Learning Style Kinestetik agar karakter positifnya optimal
sehingga prestasinyapun maksimal.

Kata Kunci : Learning style, kinestetik, travel game, karakter positif, prestasi belajar
matematika.

PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran matematika adalah proses yang kompleks. Proses dan output
pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya: keberagaman latar belakang siswa
didik (karakteristik psikologis, gaya belajar, tingkat kecerdasan, jenis kelamin, dll), sarana dan
prasarana, kurikulum, guru, media, metode, dan evaluasi pembelajaran. Guru matematika
hendaknya menyadari bahwa siswa hadir di sekolah dengan beragam potensi. Salah satu tugas
guru adalah memfasilitasi agar masing-masing potensi tersebut dapat berkembang secara
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
77
optimal. Sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Terdapat tiga fungsi pendidikan nasional, yaitu: (1) fungsi pertama mengembangkan
kemampuan, hal ini berarti bahwa peserta didik memiliki potensi yang sangat besar sehingga
pendidikan di Indonesia harus mampu memfasilitasi agar kemampuan tersebut dapat
berkembang dengan optimal, (2) fungsi kedua membentuk watak, berarti bahwa pelaksanaan
pendidikan nasional harus diarahkan untuk membentuk watak peserta didik, (3) fungsi ketiga
peradaban bangsa mengandung pengertian bahwa untuk dapat membangun dan menciptakan
sebuah bangsa yang beradab, Indonesia membutuhkan manusia-manusia yang terdidik.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, maka guru dituntut mampu memfasilitasi peserta
didik untuk mengoptimalkan potensi serta mengembangkan karakter positif dalam dirinya
sehingga terbentuk watak yang berbudi pekerti luhur. Artinya guru sebagai pendidik
mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Guru mempunyai andil dalam
pembentukan karakter siswa, serta mengoptimalkan potensi siswa, bukan hanya sekedar
penyampai materi di kelas.
Berdasarkan hasil penelitian (Brandt, 1988), pembelajaran akan menghasilkan output
terbaik apabila: (1) Apa yang dipelajari siswa secara pribadi bermakna, (2) Apa yang dipelajari
siswa bersifat menantang, (3) Apa yang dipelajari sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektual siswa, (4) Siswa dapat belajar dengan cara mereka sendiri (learning style), memiliki
pilihan, dan merasa di kontrol, (5) Siswa menggunakan apa yang telah diketahui untuk
membangun pengetahuan baru, (6) Siswa memiliki kesempatan untuk berinteraksi sosial, (7)
Siswa mendapatkan umpan balik membantu, (8) Siswa memperoleh dan menggunakan strategi,
(9) Siswa mengalami iklim emosional yang positif dan menyenangkan, dan (10) Lingkungan
kondusif yang mendukung pembelajaran. Dengan demikian guru perlu merancang pembelajaran
agar dapat diterima dengan baik oleh siswa, yaitu pembelajaran yang bermakna dan
menyenangkan sesuai tingkat berfikir dan potensi masing-masing siswa.
Setiap pribadi peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakter
berpengaruh pada gaya belajar (learning style), tingkat kesiapan (readiness), dan ketertarikan
(interest) dari masing-masing peserta didik. Pada umumnya guru mendisain proses KBM
dengan tanpa memperhatikan perbedaan yang ada pada diri siswa, sehingga setiap siswa
mendapat perlakuan yang sama dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
78
yang tidak memperhatikan perbedaan potensi / keadaan dalam diri siswa, diantaranya: gaya
belajar (learning style), tingkat kesiapan (readiness), dan ketertarikan (interest) akan
menimbulkan masalah / kesulitan belajar pada siswa sehingga output tidak maksimal. Bahkan
menurut ika & laela (2011) proses pembelajaran yang tidak memperhatikan perbedaan potensi
peserta didik akan mengakibatkan matinya karakter positif siswa, sehingga pembelajaran
menjadi mandul (gagal).
Dapat dipahami bahwa umumnya siswa masih mendapatkan sumber, proses, dan evaluasi
pembelajaran yang sama di kelas, padahal setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda.
Siswa dengan tingkat kesiapan rendah (low) , tentu akan berbeda dalam menerima penjelasan
guru dibandingkan dengan siswa dengan tingkat kesiapan sedang (medium) atau tinggi.
Demikian pula siswa dengan Learning style visual, visual reading, serta kinestetik, akan berbeda
tingkat & cara penyerapan materi dibandingkan dengan siswa yang memiliki learning style
auditory. Menurut Franklynn Chernin (2011) seseorang akan lebih berhasil dalam belajar
dengan mengoptimalkan learning style pribadinya. Perbedaan Learning Style akan terlihat jelas
pada tabel berikut:

Orang dengan Preferensi Visual kuat
Suka mengatur ruang dan pekerjaan, mengingat apa yang dilihat daripada apa yang
didengar.
Perlu melihat "gambaran keseluruhan" [peta konsep] sebelum mereka memiliki gagasan
yang jelas.
Merespon pemetaan warna, seni, tetapi mengalami kesulitan untuk mengatakannya.
Pandai mengorganisasi, pandai mengatur rencana / strategi.
Lebih baik menunjukkan daripada memberitahu Anda secara lisan. Anda membutuhkan
instruksi lisan yang berulang-ulang [karena Anda mudah lupa dengan informasi secara
lisan].
Orang dengan kuat Preferensi Visual Reading
Menikmati membaca dan lebih suka membaca daripada dibacakan
Sering membaca ( dengan diam ); menulis ulang catatan, ide-ide.
Mengingat petunjuk tertulis dengan baik.
Menyukai handout, senang menggunakan kamus, manual, teks; memvisualisasikan ejaan
kata
Lebih memilih informasi dalam kata-kata sebagai lawan grafik, diagram

Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
79
Orang dengan Preferensi Auditory kuat
Berbicara sendiri, ingin berbicara melalui masalah, membaca keras-keras, sering
menggerakkan bibir dan mengucapkan kata-kata yang mereka baca; sering mengulangi
kata-kata
Umumnya pembicara yang baik; berbicara dalam pola berirama, mengingat apa yang
didengar
Tidak bisa memvisualisasikan dengan baik; mengeja lebih keras; menanggapi pola-pola
suara, pidato, music
Menemukan kesulitan dalam menulis; banyak bicara; kesulitan membaca bahasa tubuh
Orang dengan Preferensi Kinestetik yang kuat
Perlu banyak aktivitas, tidak bisa duduk diam untuk waktu yang lama; suka praktek
Suka terlibat secara fisik dengan bahan; menghafal dengan berjalan kaki dan melihat
Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca; banyak gerakan
Umumnya memiliki tulisan tangan yang berantakan.
Menanggapi gerakan, gerak tubuh, menari; ingin selalu beraktivitas
Mengalami kesulitan mengingat tempat kecuali mereka sudah benar-benar berada di sana
Sumber: Franklynn Chernin (2011)
Berdasarkan perbedaan Learning Style pada tabel di atas, dapat dipahami bahwa tidak
semua siswa dapat menerima pembelajaran dengan mudah hanya dengan ceramah, atau hanya
dengan membaca buku / bagan. Kesulitan yang dialami guru matematika pada umumnya saat
menghadapi siswa dengan Learning Style Kinestetik. Berdasarkan hasil observasi pada tingkat
SD, SMP, maupun SMA/SMK Siswa dengan Learning Style Kinestetik cenderung akan
membuat gaduh di kelas, karena memiliki karakter tidak bisa diam dalam waktu yang relatif
lama, serta memerlukan aktivitas fisik (praktek) untuk memahami sesuatu. Jika keadaan tersebut
dibiarkan terus-menerus, tentu hasil belajar siswa dengan Learning Style Kinestetik tidak akan
seoptimal siswa Auditori yang mampu menyerap pelajaran dengan baik saat diterapan metode
ceramah. Demikian pula siswa dengan Learning Style Visual dan Visual Reading, tidak akan
mencapai output yang sama jika tidak di dukung dengan media yang sesuai.
Konsep belajar akhir-akhir ini didekati dengan paham konstruktivistik, yang meyakini
bahwa belajar merupakan hasil konstruksi sendiri oleh siswa sebagai hasil dari interaksinya
terhadap lingkungan belajar. Guru berperan sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing yang
mendesain pembelajaran menjadi efektif bagi siswa. Proses pembelajaran yang efektif dapat
dicapai dengan pemilihan pendekatan, metode, serta media pembelajaran yang tepat agar
mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, dan menyenangkan, serta bermakna bagi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
80
siswa. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemanfaatan media pembelajaran sangat
membantu proses asimilasi dan akomodasi dalam pengkonstruksian ilmu pengetahuan dalam
diri siswa sendiri. Media pembelajaran yang dimaksud dapat berupa: buku teks, modul,
overhead transparansi, film, video, televisi, slide, hypertext, web, alat peraga, dan permaianan
(game) tradisional ataupun moderen. Menurut Daryanto (2010; 5), secara umum media
pembelajaran memiliki kegunaan, antara lain: (1) Memperjelas pesan agar tidak terlalu
verbalistis, (2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra, (3) Menimbulkan
gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar, (4) Memungkinkan
anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan kinestetiknya.
Salah satu game yang dapat memfasilitasi siswa dengan Learning Style yang beragam
adalah Travel Game. Fungsi game ini selain untuk memfasilitasi siswa dengan Learning Style
Kinestetik, juga mampu mengakomodasi Learning Style visual, visual reading, maupun
auditory.
PERANCANGAN PERMAINAN EDUKASI TRAVEL GAME
Permainan adalah setiap kontes antara para pemain yang berinteraksi satu sama lain dengan
mengikuti aturan-aturan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Travel game adalah
salah satu media pembelajaran berupa permainan dengan perlengkapan utama dua dadu berlabel
angka dan operasinya, papan permainan, kartu soal, kunci jawaban kartu soal, serta kunci
jawaban soal operasi dua dadu. Travel Game diadopsi oleh Prof. Allan White seorang dosen di
University of Westtern Sydney dari artikel Games in Senior High Math Classes dalam jurnal
The Mathematics Teacher yang ditulis oleh Gilman, Rowe and Hildenberger pada tahun 1976.
Prof. Allan White mencoba mengadaptasikan Travel Game pada berbagai kelas. Pada
prakteknya permainan ini dapat di rancang dengan mudah, murah, efisien, dan dapat diterapkan
pada berbagi jenjang (SD, SMP, & SMA/SMK). Travel Game didesain untuk meninjau kembali
(mengingat kembali), serta mengasah skill (drill) materi pembelajaran sebelumnya.
Perangkat Travel Game terdiri dari:
1. Dua Dadu yang berlabel angka/huruf yang memuat operasi soal matematika. Misalkan sisi-
sisi dadu pertama berlabelkan: sin, cos, dan tan, maka dadu kedua berlabelkan sudut-sudut
yang diinginkan soal (misalkan:
0 0 0 0 0 0
270 , 180 , 90 , 60 , 45 , 30 dan ).
2. Kartu Soal yang memuat soal yang lebih kompleks tentang kompetensi dasar yang sama.
Kartu soal terdiri dari 20 kartu, yaitu 14 Kartu Soal, dan 4 Kartu berisi aturan yang
meminta pemain maju atau mundur dari posisi semula.
3. Papan permainan, untuk meletakkan bidak (representasi pemain), untuk START hingga
langkah terakhir yaitu FINISH.
4. Lembar kunci jawaban untuk soal pada Kartu Soal dan Dua dadu utama.

Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
81
Langkah-langkah bermain Travel Game:
1. Letakkan bidak pada kotak yang terletak pada START.
2. Untuk memindahkan bidak (maju menuju FINISH) harus melempar dadu dan memberikan
jawaban yang benar.
3. Pemain berikutnya (yang tidak sedang bermain) memegang kunci jawaban untuk
memastikan jawaban si pemain benar atau salah.
4. Jika jawaban si pemain salah maka ia tetap tinggal di tempat, serta jika benar maka maju 1
langkah.
5. Apabila pemain sampai pada kotak Ambil Kartu maka pemain mengambil Kartu Soal
teratas dan menjawab soalnya. Jika benar maju 1 langkah, jika salah maka berhenti di
kotak tersebut (semula).
6. Pemain yang sampai pada FINISH adalah pemenangnya.

Prof. Allan Withe (2003) memberi rambu-rambu agar pemanfaatan media game ini dapat
optimal, yaitu:
1. Permainan ini digunakan untuk tujuan tertentu, bukan hanya untuk mengisi waktu
senggang, meskipun fleksibel dapat digunakan saat jam istirahat (di luar jam KBM).
2. Jumlah pemain untuk satu perangkat lebih baik dua atau empat siswa, sehingga tidak
terlalu lama menunggu giliran main.
3. Hindari waktu penyelesaian permainan yang pendek sehingga terdapat beberapa winners
dan loosers.
4. Gunakan hanya 5-6 jenis aturan permainan dasar sehingga memiliki sejumlah aturan yang
mudah diingat pemain.
5. Rancangan Travel Game dapat dijadikan tugas untuk anak-anak sebagai Proyek di akhir
Standar Kompetensi yang diajarkan.

Berikut ini diberikan contoh Perangkat Travel Game yang diterapkan pada Materi
Trigonometri, untuk SMK Kelas XI, dengan kompetensi dasar menentukan dan menggunakan
nilai perbandingan trigonometri suatu sudut.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
82
Contoh Perangkat Travel Game
Materi Trigonometri, untuk SMK Kelas XI.
KD. 4.1: Menentukan dan menggunakan nilai perbandingan trigonometri suatu sudut.
PLAYING CARDS (KARTU SOAL)
1
value of

sin 390
0
2
value of

cos 405
0
3
value of

tan 420
0
4
value of

sin 450
0
5
value of

sin 750
0
6
value of

cos 765
0
7
value of

tan 780
0
8
value of

cos 810
0
9
value of

sin 720
0
10
value of

cos 1.080
0
11
value of

tan 1440
0
12
value of

tan 1800
0
13
value of

cos 360
0
14
value of

sin 0
0
15
GO AHEAD
TWO
SPACES
16
GO BACK
THREE
SPACES
17
GO TO THE
NEAREST
CARD BOX AND TAKE
ANOTHER CARD
(FORWARD OR
BACKWARD)
18

CHANGE PLACES
WITH THE
LAST
PLAYER
19

CHANGE
PLACES
WITH ANY
PLAYER
20


GO BACK FOUR
SPACES




Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
83
DICE ANSWER SHEET TG.1
DICE sin cos tan=
cos
sin
sec =
cos
1
cosec =
sin
1
cotan =
sin
cos

0
30
2
1
3
2
1
3
3
1
3
3
2
3
2
=
2
3
3
3
=
0
45
2
2
1
2
2
1

1
2
2
2
= 2
2
2
=
1
0
60
3
2
1

2
1

3
2
3
3
2
3
2
= 3
3
1
3
1
=
0
90
1 0
0
1
=TD
0
1
=TD
1
1
0
= 0
0
180
0 -1
1
0

= 0
-1
0
1
=TD
0
1
= TD
0
270
-1 0
0
1
= TD
0
1
=TD
-1
1
0

= 0
Jangan Menyerah! takhlukan matematika, sampai ia mencintai Anda. @_ 02092011
[ ariensuharyono@yahoo.co.id ]

CARD ANSWERS
NO ANSWER NO ANSWER
---***catatan***---
Trigonometri
1 sin [360
0
.1 + 30
0
] =
2
1
8 cos [360
0
.2 + 90
0
] = cos 90
0
= 0
1. Merasionalkan
penyebut
b
b
a
b
b
x
b
a
b
a
=
=

2. 0
0
=
k
,
R k e = ,& 0
3.
i terdefinis tidak
k
=
0

4. Tano =
o
o
cos
sin

5. cotano =
o
o
sin
cos

2
cos [360
0
.1 + 45
0
]=
2
2
1

9 sin [360
0
.2 + 0
0
] = sin 0
0
= 0
3
tan [360
0
.1 + 60
0
] = 3
10 cos [360
0
.3 + 0
0
] = cos 0
0
= 1
4 sin [360
0
.1 + 90
0
] = 1 11 tan [360
0
.4 + 0
0
] = tan 0
0
= 0
5 sin [360
0
.2 + 30
0
] =
2
1
12 tan [360
0
.5 + 0
0
] = tan 0
0
= 0
6
cos [360
0
.2 + 45
0
]=
2
2
1

13 cos [360
0
.1 + 0
0
] = cos 0
0
= 1
7
tan [360
0
.2 + 60
0
]= 3
14 Sin 0
0
= 0
Catatan Spirit Injection:
Perioditas Trigonometri
A A n sin ) 360 . ( sin
0 0
= +
A A n cos ) 360 . ( cos
0 0
= +
A A n tan ) 360 . ( tan
0 0
= +
Dengan Asli Bilangan n e
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan jenius,
maka sujud syukur kupanjatkan dengan berkarya
dan terus belajar.
Tidak ada yang lebih berharga dari sebuah
kejujuran yang diperjuangkan sepenuh jiwa, dengan
keberanian yang teguh.
With luve_(Arien_Zebua)@ 2 september 2011

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
84
GAME BOARD (PAPAN PERMAINAN)

FINISH

FINISH

FINISH

FINISH

SELECT
A
CARD

SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD

SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD


SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD

SELECT
A
CARD

SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD
SELECT
A
CARD


START

START

START

START

Nb: Papan permainan ini dapat dimodifikasi agar lebih menarik untuk siswa SD. Namun untuk
siswa SMA/SMK papan ini cukup efisien, sederhana, dan fleksibel.

Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
85
KENDALA DAN SOLUSI PELAKSANAAN GAME PADA SAAT KBM
Penggunaan media pembelajaran kususnya permainan (game) tidak selalu berjalan mulus.
Tidak semua guru matematika menyadari pentingnya memfasilitasi siswa dengan media
seoptimal mungkin. Disadari bahwa tidak mudah mengelola pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Setiap anak diharapkan difasilitasi dan dibimbing untuk belajar sesuai dengan kecepatan
belajarnya, karakter dan gaya belajarnya, serta bakat dan minatnya. Pada saat yang sama guru
harus mempersiapkan materi belajar serta metode yang berbeda-beda sesuai potensi dan
karakter siswa didiknya. Fakta dilapangan terungkap bahwa terkadang saat pengawas
mengadakan supervisi di kelas, maka guru akan mendesain pembelajaran yang sesuai dengan
keinginan pengawas (sesuai teori yang ideal), namun guru tidak meyakini apa yang telah
dilaksanakannya. Kemudian saat supervisi berakhir, maka guru kembali mempraktekkan
pembelajaran konvensional yang diyakininya. Umumnya guru tahu tentang kebenaran teori
ideal pendidikan yang sedang berkembang, namun belum meyakininya karena banyak
mengalami kesulitan dalam mempraktekkannya. Namun bagi guru yang telah terbuka
wawasannya dan menyadari peran dan fungsinya sebagai fasilitator, maka tentu akan berusaha
seoptimal mungkin untuk memperhatikan perbedaan potensi dalam diri siswa didiknya.
Permainan Travel Game memuat nilai-nilai pembelajaran kooperative, interaksi sosial,
pantang menyerah, rasa ingin tahu, jujur, teliti, sportif, serta memberikan kesempatan
meningkatkan kemampuan memori (mengingat) dalam watu relatif singkat. Karakter positif
siswa dapat berkembang secara alamiah, fleksibel, dan dalam kondisi yang menantang
sekaligus menyenangkan. Permainan ini dapat diterapkan pada berbagai jenjang yaitu SD, SMP,
dan SMA/SMK.
Beberapa protes terungkap dari sebagian guru yang belum meyakini manfaat game ini,
serta lebih memandang pada efek negatifnya. Menurut beberapa guru yang kurang setuju,
bahwa permainan sudah tidak cocok diberikan pada siswa SMA/SMK karena sudah berada pada
tahap operasi abstrak, selain itu praktek permainan saat KBM menimbulkan kegaduhan yang
akan mengganggu kelas lain. Protes tersebut mudah dipahami, karena belum mengetahui tujuan
dan manfaat permainan untuk siswa SMA/SMK. Permainan / praktek untuk siswa SMA/SMk
bukan untuk mengkongkretkan yang abstrak, melainkan untuk memfasilitasi siswa dengan
Learning Style Kinestetik. Selain itu permainan ini bermanfaat untuk mengembangkan karakter
positif yang didapat saat bekerjasama dan berkompetisi dengan pemain lainnya. Berdasarkan
hasil observasi, permainan ini bukan hanya menyenangkan bagi siswa ber-Learning Style
Kinestetik, melainkan juga Visual, Visual reading, dan Auditori. Namun demikian protes
tersebut justru mengundang reaksi positif bagi perkembangan pembelajaran dengan
menggunakan game. Prof. Allan Withe memberi solusi agar mempraktekkan pembelajaran
dengan permainan di luar kelas, untuk menghindari kegaduhan di dalam kelas. Serta
menawarkan (mengajak) guru-guru matematika untuk bergabung bersama siswa untuk bermain
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
86
Travel Game, sehingga menyadari kesenangan dan tantangan apa yang dihadapi siswa sehingga
mereka menikmati pembelajaran yang berlangsung.

KESIMPULAN DAN DISKUSI
Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru dituntut mampu memfasilitasi peserta didik untuk
mengoptimalkan potensi serta mengembangkan karakter positif dalam dirinya sehingga
terbentuk watak yang berbudi pekerti luhur..
2. Berdasarkan hasil penelitian (Brandt, 1988), pembelajaran akan menghasilkan output
terbaik apabila: (1) Apa yang dipelajari siswa secara pribadi bermakna, (2) Apa yang
dipelajari siswa bersifat menantang, (3) Apa yang dipelajari sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa, (4) Siswa dapat belajar dengan cara mereka sendiri
(learning style), memiliki pilihan, dan merasa di kontrol, (5) Siswa menggunakan apa yang
telah diketahui untuk membangun pengetahuan baru, (6) Siswa memiliki kesempatan untuk
berinteraksi sosial, (7) Siswa mendapatkan umpan balik membantu, (8) Siswa memperoleh
dan menggunakan strategi, (9) Siswa mengalami iklim emosional yang positif dan
menyenangkan, dan (10) Lingkungan kondusif yang mendukung pembelajaran. Maka guru
diharapkan kreatif dan inovatif dalam mendesain pembelajaran yang bermakna dan
menyenangkan (joyfull learning dan meaningfull).
3. Setiap siswa memiliki perbedaan karakter yang meliputi: kesiapaan siswa (readiness),
learning style, interest. Hendaknya guru memperhatikan dan memfasilitasinya agar siswa
dapat optimal mengembangkan potensinya.
4. Salah satu cara mendesain pembelajaran dengan kondisi menantang sekaligus
menyenanngkan adalah dengan menggunakan media game edukasi. Salah satu game
edukasi yang fleksibel dapat diterapkan pada berbagai jenjang pendidikan serta mampu
mengakomodasi perbedaan Learning Style adalah permainan Travel Game.
5. Kendala dalam apikasi di lapangan: (1) Guru tidak yakin akan manfaat permainan bagi
siswa SMA/SMK; (2) Permainan di kelas menimbulkan kegaduhan. Solusi yang
ditawarkan: (1) Memberi penjelasan secara ilmiah teoritis tentang manfaat dan tujuan
permainan pada siswa SMA/SMK, (2) Menjelaskan karakter positif siswa yang
dikembangkan dalam permainan (jujur, sportif, rasa ingin tahu, dll); (3)Mengajak guru
bergabung dan bersama-sama memainkannya dengan siswa; (4) Melaksanakan
pembelajaran di luar kelas; (4) Mengadakan sosialisasi dan pelatihan membuat travel game
untuk berbagai jenjang.
6. Jika Guru tidak memahami tugasnya, serta tidak membuka wawasannya untuk terus belajar
mengembangkan diri dan berinovasi, sangat mungkin yang terjadi bukanlah proses
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
87
membangun karakter positif, melainkan justru pembunuhan karakter secara massal di
kelas. (Ika wulandari & Laela Sagita; 2011). Dengan terus mengadakan inovasi dan
pembaharuan, diharapkan pembelajaran matematika akan sukses sesuai tujuan yang ingin
dicapai.

DAFTAR PUSTAKA
Brandt, R. (1998). Powerful learning. Alexandria, VA: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Chernin, Franklynn. (2011). Appreciating Learning Style: Differences and Preferences Think
About How You Like To Learn.
Daryanto. (2010). Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai Tujuan
Pembelajaran.Yogyakarta: Gava Media.
Ika wulandari & Laela sagita. (2011). Pembelajaran Matematika dengan Differentiated
Instruction untuk Menghidupi Karakter Positif Siswa. Makalah Semnas Matematika &
Pendidikan Matematika UNY: 3 Desember 2011.
Laela sagita & Ika wulandari. (2011). Pendekatan Pembelajaran Differentiated Instruction
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Makalah Semnas Matematika & Pendidikan
Matematika UNS: 26 November 2011.
Sri Anitah. (2011). Media Pembelajaran. Surakarta: UNS Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
White, A. L., & Hastings, J. (2003). An innovative and inspiring context for maximizing
mathematical value of lessons at sny level: The Travel Game. Reflekctions 28(1), 31-5.
ISSN 0156-7799.
White, A. L. (2002). The Travel Game: An adaptable context for adding mathematical value to
lessons at sny level. In C. Vale, J. Roumeliotis, & J. Horwood (Eds.) Valuing
mathematics in society, (pp.294-302). Brunswick Melb: M. A. V. ISBN1-876677-29-5.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
88
AKTIVITAS METAKOGNISI DALAM MEMECAHKAN MASALAH
PEMBUKTIAN LANGSUNG DITINJAU DARI GENDER DAN KEMAMPUAN
MATEMATIKA
Gatut Iswahyudi
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta

Abstrak
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan aktivitas metakognisi
mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian langsung dalam bidang analisis
berdasarkan langkah-langkah Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan gender. Secara
lebih spesifik, tujuan khusus paparan ini adalah untuk mendeskripsikan perbandingan
aktivitas-aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian langsung
ditinjau dari gender dan kemampuan matematika.
Paparan ini merupakan sebagian hasil yang dilakukan penulis berdasarkan hasil
penelitian kualitatif eksploratif tentang aktivitas metakognisi terhadap empat subjek penelitian
yaitu mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika tinggi, mahasiswa perempuan
dengan kemampuan matematika tinggi, mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika
rendah, Peneliti mempelajari dan mengungkap proses metakognisi mahasiswa dalam
memecahkan masalah pembuktian berdasarkan langkah-langkah Polya. Pengungkapan proses
metakognisi dilakukan pada setiap tahap pemecahan masalah, yaitu tahap memahami
masalah, tahap membuat rencana pemecahan masalah, tahap melaksanakan rencana
pemecahan masalah serta tahap melakukan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan rencana
pemecahan masalah. Selanjutnya dengan menggunakan metode wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur akan diungkap tentang aktivitas metakognisi mahasiswa dalam
memecahkan masalah pembuktian langsung.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada setiap tahap pemecahan
masalah Polya, mahasiswa berkemampuan matematika tinggi, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki keterlaksanaan metakognisi yang sangat lengkap. Namun tingkat
kelengkapan aktivitas metakognisi mahasiswa laki-laki lebih tinggi. Di pihak lain
keterlaksanaan metakognisi mahasiswa berkemampuan matematika rendah, baik laki-laki
maupun perempuan berada pada tingkat yang rendah, variasi keterlaksanaan aktivitas
metakognisinya jauh lebih rendah dibandingkan mahasiswa dengan kemampuan matematika
tinggi. Namun pada mahasiswa perempuan maupun laki-laki dengan kemampuan matematika
rendah memiliki variasi aktivitas metakognisi yang sama.

Kata Kunci : Metakognisi, Pembuktian, Kemampuan Matematika, Gender


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses berpikir dalam pemecahan masalah merupakan hal penting yang perlu mendapat
perhatian pendidik terutama untuk membantu peserta didik agar dapat mengembangkan
kemampuannya memecahkan masalah baik dalam konteks dunia nyata maupun dalam konteks
matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Lester (dalam Gartman dan Freiberg, 1993)
bahwa tujuan utama mengajarkan pemecahan masalah dalam matematika adalah tidak hanya
untuk melengkapi peserta didik dengan sekumpulan keterampilan atau proses, tetapi lebih
kepada memungkinkan peserta didik berpikir untuk dirinya sendiri.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
89
Berpikir untuk dirinya sendiri berkaitan dengan kesadaran siswa terhadap
kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara yang mungkin ditempuh dalam
memecahkan masalah. Proses menyadari dan mengatur berpikir sendiri tersebut, dikenal sebagai
metakognisi, termasuk didalamnya adalah berpikir tentang bagaimana membuat pendekatan
terhadap masalah, memilih strategi yang digunakan untuk menemukan pemecahan, dan bertanya
kepada diri sendiri tentang masalah tersebut (Gartman dan Freiberg, 1993).
Pemecahan masalah yang efektif dapat diperoleh dengan memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk menerapkan strategi metakognitif ketika menyelesaikan soal (McLoughlin
dan Hollingworth, 2003). Terlaksananya proses metakognitif dalam pemecahan masalah
merupakan salah satu faktor menarik yang banyak diperhatikan oleh kalangan peneliti
pendidikan. Hal tersebut disebabkan keuntungan yang dapat diperoleh ketika pemecahan
masalah dilakukan dengan melibatkan kesadaran terhadap proses berpikir serta kemampuan
pengaturan diri, sehingga memungkinkan terbangunnya pemahaman yang kuat dan menyeluruh
terhadap masalah disertai alasan yang logis. Pemahaman semacam ini merupakan sesuatu yang
selalu ditekankan ketika berlangsung pembelajaran matematika di semua tingkatan pendidikan,
karena kesesuaiannya yang kuat dengan pola berpikir matematika.
Terkait dengan masalah dalam matematika, masalah dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu masalah menemukan (to find) dan masalah membuktikan (to prove). Masalah
menemukan adalah suatu jenis masalah yang tujuannya akan dicari dan prosesnya diperlukan.
Masalah membuktikan adalah masalah yang tujuannya sudah ditentukan tetapi prosesnya
diperlukan. Diantara masalah tersebut, masalah membuktikan merupakan bagian yang sangat
penting dalam matematika. Matematika dikembangkan melalui teorema-teorema yang yang
dibuktikan kebenarannya. Sehingga pengetahuan tentang cara pembuktian sangat dibutuhkan
dalam belajar matematika.
Didasarkan pada metode yang digunakan, pembuktian dalam matematika dapat
dikelompokkan pembuktian langsung, dan pembuktian tidak langsung. Jenis-jenis pembuktian
yang termasuk pembuktian tidak langsung adalah pembuktian dengan kontradiksi dan
pembuktian dengan kontraposisi. Beberapa cara pembuktian lain dalam matematika adalah
pembuktikan dengan induksi matematika, pembuktian dengan contoh penyangkal.
Berdasarkan pengalaman penulis pada pelaksanaan pendidikan dan latihan profesi guru
dalam rangka program sertifikasi guru, kemampuan guru dalam masalah pemecahan
pembuktian masih sangat rendah. Banyak teorema-teorema sederhana yang tidak mampu
dibuktikan guru secara benar. Terkait dengan rendahnya kemampuan dalam memecahkan
masalah pembuktian, ini juga terjadi pada sebagian besar mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP UNS yang merupakan calon guru. Rendahnya kemampuan dalam
memecahkan masalah pembuktian ini tergambar pada rendahnya prestasi belajar pada
matakuliah-matakuliah yang memiliki karakteristik dengan struktur deduktif aksiomatik yang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
90
ketat seperti analisis real dan struktur aljabar. Kemampuan memecahkan masalah pembuktian
merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang belajar matematika
pada perguruan tinggi..
Dalam memecahkan masalah pembuktian, diperlukan kemampuan dalam melakukan
proses penemuan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam proses penemuan
cara untuk mencapai tujuan diperlukan kesadaran tentang proses berpikir yang dilakukan tahap
demi tahap untuk mengontrol kebenaran langkah-langkah yang dilakukan. Kesadaran tentang
proses berpikirnya sendiri ini dikenal sebagai salah satu bentuk kemampuan metakognisi. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam memecahkan masalah pembuktian tidak dapat terlepas dengan
kemampuan metakognisi.
ONeil & Brown (1997) mengemukakan bahwa metakognisi adalah proses berpikir
seseorang tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk
memecahkan suatu masalah. Kemudian, Nur (2000) berpendapat bahwa metakognisi
berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka
menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Selanjutnya Flavel (Nur, 2004)
memberikan definisi yang lebih lengkap tentang metakognisi sebagai pengetahuan seseorang
berkenaan dengan proses dan produk kognitifnya atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
proses dan produk tersebut. Metakognisi berhubungan dengan pemonitoran aktif dan
pengendalian yang konsekuen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan pengendalian
dalam hubungannya dengan tujuan kognitif.
Berdasarkan pengertian dan komponen metakognisi seperti yang diungkapkan beberapa
ahli di atas, berarti kemampuan metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan
mengontrol proses berpikir yang dilakukan oleh peserta didik dalam memecahkan suatu
masalah, dan tentu juga pada pemecahan masalah pembuktian sehingga tujuan pemecahan dapat
tercapai dengan lebih efektif dan efisien. Metakognisi merupakan pengetahuan, kontrol, dan
evaluasi peserta didik terhadap proses berpikirnya sendiri, termasuk pengetahuan tentang diri,
tugas, dan strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah matematika. Artinya seseorang
yang melibatkan metakognisinya dalam memecahkan masalah akan dapat mengendalikan
dirinya untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan atau tidak melakukan sesuatu yang
merugikan dalam memecahkan masalah.
Berkenaan dengan fakta bahwa pemecahan masalah selalu melibatkan kegiatan kognitif
seseorang, akan mengakibatkan adanya perbedaan pada kemampuan tiap-tiap orang dalam
memecahkan masalah, demikian pula pada pemecahan masalah pembuktian. Suatu masalah
yang menantang dan cukup sulit bagai seseorang, mungkin merupakan masalah yang sederhana
bagi orang lain. Pada proses membuktikan, terdapat perbedaan tentang cara dan prosedur antara
memecahkan pembuktian secara langsung dan pembuktian secara tidak langsung. Pada
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
91
pemecahan pembuktian seseorang dituntut untuk dapat menetapkan jenis pembuktian yang akan
digunakan dan pilihan ini akan mempengaruhi cara dan prosedur pembuktian yang dilakukan.
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap mahasiswa laki-laki dan perempuan pada
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS Surakarta dalam rentang waktu beberapa
tahun ini terdapat fenomena yang cukup menarik. Pada kurun waktu lima tahun terakhir ini jauh
berbeda dengan pada masa sebelumnya di mana prestasi belajar mahasiswa berjenis kelamin
laki-laki cenderung lebih baik. Demikian juga dengan komposisi banyaknya mahasiswa, pada
saat ini banyaknya mahasiswa berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada mahasiswa
berjenis kelamin laki-laki. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti.
Beberapa penelitian untuk menguji bagaimana perbedaan gender berkaitan dengan
pembelajaran matematika, laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan menggunakan
variabel-variabel termasuk kemampuan bawaan, sikap, motivasi, bakat, dan kinerja (Goodchild,
& Granholm, 2007). Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh faktor gender (pengaruh
perbedaan laki-laki-perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis
dalam otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi, bahwa anak
perempuan, secara umum, lebih unggul dalam bidang bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-
laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan-kemampuan keruangan yang
lebih baik (Geary, Saults, Liu, 2000). Perbedaan karakteristik berpikir laki-laki dan perempuan
seperti yang disampaikan Kartini Kartono (1977), menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
lebih rasional dalam menghadapi masalah dibanding perempuan, laki-laki pada umumnya
mempunyai kemampuan berpikir abstrak, menyeluruh sedangkan perempuan cenderung
berpikir nyata dan praktis. Dari perbedaan cara berpikir tersebut tentu akan mempengaruhi
penggunaan kognisi atau metakognisi yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Oleh karena
itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana peran gender dalam
penggunaan kognisi atau metakognisi.
Dari uraian yang sudah dikemukakan di atas, dapat diketahui betapa pentingnya
kemampuan metakognisi dimiliki oleh seseorang pada semua tingkat pendidikan. Pendidik
dalam hal ini dapat mendorong peserta didik untuk memiliki kemampuan tersebut melalui
serangkaian kegiatan pembelajaran. Agar guru dapat membangkitkan kemampuan metakognisi
peserta didik, pendidik sendiri harus punya kemampuan metakognisi dan punya pemahaman
yang memadai tentang proses metakognisi dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan
suatu penanaman kesadaran kepada para guru atau calon guru tentang proses metakognisi yang
mestinya dilaksanakan dalam memecahkan masalah matematika secara umum dan secara
khusus dalam memecahkan masalah pembuktian.



Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
92
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan penelitian yaitu
Bagaimanakah perbandingan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah
pembuktian langsung pada pokok bahasan limit dan kekontinuan berdasarkan langkah-langkah
Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan gender?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana
dikemukakan di atas, yaitu untuk negetahui perbandingan aktivitas metakognisi mahasiswa
dalam memecahkan masalah pembuktian langsung pada pokok bahasan limit dan kekontinuan
berdasarkan langkah-langkah Polya ditinjau dari kemampuan matematika dan perbedaan
gender.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan
matematika terutama berkaitan dengan proses metakognisi dalam memecahkan masalah
pembuktian, yaitu:
1. Sebagai pengembangan teori metakognisi, khususnya dalam memecahkan masalah
pembuktian.
2. Sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Perguruan Tinggi, khususnya
agar dapat mendorong mahasiswa memahami proses metakognisi yang perlu
dikembangkan dalam pemecahan masalah pembuktian.
Batasan Istilah
Untuk memperjelas masalah penelitian ini, perlu dikemukakan pendefinisian beberapa
istilah yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Metakognisi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyadari dan kemampuan
mengatur proses kognisi diri sendiri, yang meliputi kesadaran tentang kognisi (awareness
about cognition) dan, kontrol atau pengaturan proses kognisi (control or regulation of
cognition processes).
2. Masalah adalah soal yang jawabnya tidak dapat dilakukan secara rutin, namun untuk
sampai pada jawaban yang benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.
3. Masalah pembuktian adalah soal yang berkaitan dengan pembuktian dalam mata kuliah
analisis real, khususnya pada pokok bahasan limit dan kekontinuan.
4. Memecahkan masalah adalah proses menerapkan bermacam-macam keterampilan dan
tindakan kognitif terhadap suatu masalah, yang bertujuan untuk mendapatkan solusi yang
benar dari masalah tersebut.
5. Langkah-langkah Polya adalah tahap-tahap pemecahan masalah yang meliputi, tahap
memahami masalah (understanding the problem), tahap memikirkan rencana (devising a
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
93
plan), tahap melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan tahap memeriksa kembali
jawaban (looking back).
6. Proses metakognisi adalah rangkaian aktivitas metakognisi yang dilakukan seseorang
dalam pemecahan masalah yang meliputi tiga bagian, yaitu bagian awal (Developing a
plan of action), bagian inti (Maintaining monitoring the plan), bagian akhir (Evaluating
the plan action).
7. Metakognisi dalam memecahkan masalah berdasar langkah-langkah Polya adalah
kemampuan untuk menyadari dan kemampuan mengatur proses kognisi diri sendiri, yang
meliputi kesadaran tentang kognisi (awareness about cognition) dan, kontrol atau
pengaturan proses kognisi (control or regulation of cognition processes) dalam
memecahkan masalah yang tahap-tahap pemecahan masalah yang meliputi, tahap
memahami masalah (understanding the problem), tahap memikirkan rencana (devising a
plan), tahap melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan tahap memeriksa kembali
jawaban (looking back).
8. Mahasiswa dalam tulisan ini adalah mahasiswa calon guru pada Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP UNS.
9. Kemampuan matematika adalah kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah mata kuliah
kelompok bidang matematika, yang dinyatakan dengan IPK mahasiswa pada matakuliah-
matakuliah kelompok bidang matematika.
10. Masalah pembuktian langsung adalah masalah pembuktian terhadap kebenaran pernyataan
pq, dengan cara menunjukkan terdapat pernyataan-pernyataan r
1
, r
2
r
3
r
4
... r
n

sedemikian sehingga dipenuhi p r
1
r
2
r
3
r
4
... r
n
q bernilai benar.

KAJIAN TEORI
Pengertian Metakognisi
Sampai saat ini, belum tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi
metakognisi. Hal ini disebabkan banyaknya jenis pengetahuan dan proses berbeda masuk dalam
istilah metakognisi (Panaoura dan Philippou, 2001). Namun secara umum terdapat kesamaan
hakekat diantara pendapat-pendapat tentang metakognisi yang diberikan. Gambaran tentang
perbedaan tersebut antara lain ditunjukkan oleh perbedaan pandangan antara dua orang pelopor
studi tentang metakognisi yaitu Flavell dan Brown. Flavell cenderung memandang metakognisi
dari aspek pengetahuan tentang kognisi seseorang, sementara Brown cenderung memandang
metakognisi sebagai proses mengatur kognisi seseorang.
Meski Flavell dan Brown memiliki kecenderungan pandangan berbeda tentang
metakognisi, namun keduanya berpandangan bahwa metakognisi mencakup dua aspek yang
saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Flavell mengemukakan bahwa
metakognisi terdiri dari (1) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (2)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
94
pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experience or regulation) (Flavell,
1979; Livingston, 1997). Di sisi lain, Brown juga membagi metakognisi menjadi: (1)
pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), dan (2) pengaturan kognisi
(regulation of cognition) (Gay, 2002).
Selanjutnya akan ditinjau definisi secara konseptual tentang metakognisi. Secara
sederhana metakognisi didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi tentang
kognisi seseorang (Nelson, 1992; Livingston, 1997; Gama, 2004). Terdapat beberapa definisi
tentang metakognisi yang berkembang dalam bidang psikologi kognitif, diantaranya Flavell
(Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan: metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami
dan memantau berpikirnya sendiri dan asumsi serta implikasi kegiatan seseorang.
Metacognition as the ability to understand and monitor ones own thoughts and the
assumptions and implications of ones activities. Pendapat ini menekankan metakognisi
sebagai kemampuan untuk memahami dan memantau kegiatan berpikir, sehingga proses
metakognisi tiap-tiap orang akan berbeda menurut kemampuannya.
Sementara itu, Brown (Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan metakognisi sebagai
suatu kesadaran terhadap aktivitas kognisi diri sendiri, metode yang digunakan untuk mengatur
proses kognisi diri sendiri dan suatu penguasaan terhadap bagaimana mengarahkan,
merencanakan, dan memantau aktivitas kognitif. Metacognition as an awareness of ones own
cognitive activity; the methods employed to regulate ones own cognitive processes; and a
command of how one directs, plans, and monitors cognitive activity. Pendapat Brown ini
menekankan metakognisi sebagai kesadaran terhadap aktivitas kognisi, dalam hal ini
metakognisi berkaitan dengan bagaimana seseorang menyadari proses berpikirnya. Kesadaran
tersebut akan terwujud pada cara seseorang mengatur dan mengelola aktivitas berpikir yang
dilakukannya.
Panaoura dan Philippou (2001) mengemukakan metakognisi berkaitan dengan
kesadaran dan pemantauan sistem kognitif diri sendiri dan memfungsikan sistem tersebut.
Metacognition refers to awareness and monitoring of ones own cognitive system and the
functioning of this system. Definisi ini tampaknya telah menggabungkan dua definisi
sebelumnya yakni definisi oleh Flavell dan Brown dengan menegaskan bahwa metakognisi
berkaitan dengan kesadaran dan pemantauan sistem berpikir yang dilakukan, dan bagaimana
sistem tersebut berfungsi sesuai yang diharapkan.
Definisi metakognisi yang berbeda dikemukakan oleh Taylor dalam Pierce (2003),
sebagai suatu penilaian tentang apa yang telah seseorang ketahui, bersamaan dengan suatu
pengertian yang benar terhadap tugas belajar dan pengetahuan serta keterampilan apa yang
dibutuhkan, dikombinasikan dengan kelincahan membuat perhitungan yang benar tentang
bagaimana menerapkan pengetahuan strategis seseorang pada situasi tertentu, dan
melakukannya secara efisien dan reliabel, metacognition as an appreciation of what one
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
95
already knows, together with a correct apprehension of the learning task and what knowledge
and skills it requires, combined with the agility to make correct inferences about how to apply
ones strategic knowledge to a particular situation, and to do so efficiently and reliably.
Definisi yang dikemukakan Taylor ini merupakan salah satu versi lain dari penggabungan
definisi oleh Flavell dan Brown, yakni metakognisi dipandang sebagai kesadaran sesorang
tentang seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan suatu hal, dan
bagaimana mengelola pengetahuan tersebut untuk diterapkan pada situasi tertentu.
Gambaran lebih jelas tentang metakognisi dapat dipahami dalam pengertian yang
dikemukakan oleh Flavell (1985) dalam Nur (2000: 73) sebagai berikut:
Metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk
kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk
tersebut. Metakognitif berhubungan, salah satu diantaranya, dengan pemonitoran
aktif dan pengendalian yang konsekwen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan
pengendalian ini dalam hubungannya dengan tujuan kognitif, pada mana proses-proses
tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.

Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana
seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses
belajarnya sendiri. Anderson & Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan
metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan
pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai
pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif.
Sedangkan Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang kognitif terdiri dari
informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang siswa tentang proses berpikirnya sendiri
disamping pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi
pembelajaran tertentu. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa
membuat suatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan mengingat
sejumlah besar informasi baru.
Sedangkan pengalaman metakognitif meliputi penggunaan startegi-strategi metakognitif
atau regulasi metakognitif (Brown dalam Livington, 1997). Sejalan dengan itu, Nur (2000)
menjelaskan bahwa pemonitoran kognitif adalah kemampuan siswa untuk memilih,
menggunakan, dan memonitor strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar
mereka sendiri maupun dengan situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya
kegiatan pemonitoran kognitif ini, Winkel (1996: 48) mengemukakan bahwa:
Biarpun siswa diberikan berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam
menyelesaikan problem tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi-strategi itu dapat
digunakan terhadap segala macam problem. Akhirnya siswa harus menyerap strategi-
strategi itu, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang cocok dengan masalah A
dan mana yang cocok dengan masalah B. Dengan kata lain, fleksibelitas dalam berpikir
di pihak siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat ideal.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
96
Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika
Memecahkan masalah tidak hanya merupakan suatu tujuan dari belajar matematika,
tetapi juga merupakan alat utama untuk menghadapi masalah-masalah yang lain. Pemecahan
masalah merupakan bagian integral dari matematika, bukan merupakan bagian terpisahkan dari
matematika. Dalam memecahkan masalah, siswa harus didorong untuk merefleksikan pikiran
mereka sehingga mereka dapat menerapkan dan menyesuaikan strategi mereka untuk
menghadapi masalah lain dan dalam konteks lainnya. Dengan memecahkan masalah
matematika, siswa memperoleh cara berpikir, mempunyai rasa ingin tahu dan ketekunan,
kepercayaan diri dalam situasi yang asing. Pemecahan masalah membantu mereka di luar
kelas matematika.
Stanic & Kilpatrick (1988: 15) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemukan di waktu sebelumnya. Ini menunjukkan
bahwa suatu tugas merupakan masalah bergantung kepada individu dan waktu. Artinya suatu
tugas merupakan masalah bagi seseorang, tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi
orang lain. Demikian pula suatu tugas merupakan masalah bagi seseorang pada suatu saat,
tetapi bukan merupakan masalah lagi bagi orang itu pada saat berikutnya, bila orang itu telah
mengetahui cara atau proses mendapatkan pemecahan masalah tersebut.
Menurut Polya (1973), masalah terbagi menjadi dua, yaitu masalah menemukan
(problem to find), dan masalah membuktikan (problem to prove). Masalah untuk menemukan
merupakan suatu masalah teoretis atau praktis, abstrak atau konkrit. Bagian utama dari masalah
menemukan antara lain: apa yang dicari? Apa saja data yang diketahui? bagaimana syaratnya?
Sedangkan masalah membuktikan merupakan masalah untuk menunjukkan apakah suatu
pernyataan benar atau salah, atau tidak keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menjawab pertanyaan apakah pernyataan itu benar atau salah? Bagian utama dari masalah ini
adalah hipotesis dan konklusi suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Khusus dalam pemecahan masalah matematika, salah satu yang banyak dirujuk adalah
pentahapan oleh Polya (1973), yang mengemukakan empat tahapan penting yang perlu
dilakukan yaitu:
1. Memahami masalah (understanding the problem)
2. Memikirkan rencana (devising a plan)
3. Melaksanakan rencana (carrying out the plan)
4. Memeriksa kembali jawaban (looking back)
Langkah-langkah pemecahan masalah oleh Polya tersebut, merupakan langkah yang
memberikan dampak cukup penting terhadap pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah.
Meskipun demikian, Polya (dalam Gama, 2004) tidak menggunakan istilah metakognisi pada
hasil pemikirannya, tetapi menyebutnya sebagai berpikir tentang proses (thinking about the
process).
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
97
Peranan Gender dalam Belajar Matematika
Menurut Heymans (dalam Kartini Kartono, 1989) perbedaan antara laki-laki dan
perempuan terletak pada sifat-sifat sekunderitas. emosional dan aktivitas dari fungsi-fungsi
kejiwaan. Pada wanita fungsi sekunderitas tidak terletak di bidang intelektual, tetapi pada
perasaan, sehingga nilai perasaan dan pengalarnan-pengalaman jauh lebih lama mempengaruhi
struktur kepribadiannya, jika dibandingkan dengan nilai perasaan laki-laki. Perempuan
merealisasi dengan respon-respon yang lebih kuat dan lebih emosional dari pada laki-laki.
Perempuan pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetail. Umpamanya saja pada masalah
ilmiah perempuan lebih konsekuen dan lebih akurat (persis) daripada laki-laki. Pada
perempuan akan membuat catatan dan diktat-diktat pelajaran lebih lengkap dan teliti daripada
laki-laki, tetapi biasanya catatan-catatan tadi kurang kritis.
Lebih lanjut Kartini Kartono (1989), menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan
antara laki-laki dan perempuan antara lain: perempuan pada umumnya perhatiannya tertuju
pada hal-hal yang bersifat konkrit, praktis, emosional dan personal, sedangkan kaum laki-laki
tertuju pada hal-hal yang yang bersifat intelektual, abstrak dan objektif.
Perbedaan gender ini juga menjadikan orang berpikir apakah cara belajar, cara berpikir,
atau proses konseptualisasi juga berbeda menurut jenis kelamin. Dengan demikian perbedaan
gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Pengaruh perbedaan gender dalam mempelajari matematika dan sains memperoleh perhatian
dalam riset pendidikan sejak awal 1980-an ketika dominasi laki-laki dalam matematika dan
sains ditemukan dalam beberapa penelitian. Hal ini diringkas oleh Benbow & Stanley, 1988;
Halpern, 1986; Hyde, Fennema, & Lamon, 1990; Reis & Park, 2001. Setelah itu beberapa
penelitian menunjukkan hasil berbeda. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan bahwa
perbedaan gender tidak berperan dalam kesuksesan belajar, dalam arti tidak dapat disimpulkan
dengan jelas apakah laki-laki atau perempuan lebih baik dalam belajar matematika (Hightower,
2003), dan fakta menunjukkan bahwa ada banyak perempuan yang sukses dalam karir
matematikanya.
Dalam beberapa penelitian lain, ditemukan bahwa bukan hanya adanya perbedaan
kemampuan dalam matematika yang didasari oleh faktor gender, tetapi cara memperoleh
pengetahuan matematika juga terkait dengan perbedaan gender. Keitel (1998), Pinto (1998),
dan Susento (2006), menunjukkan bahwa gender mempunyai hubungan yang erat dengan
pembelajaran matematika. Sebagai contoh, Keitel (1998) menyatakan, Gender, social, and
cultural dimensions are very powerfully interacting in conceptualizations of mathematics
education,....


Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
98
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini mendiskripsikan proses metakognisi yang dilakukan oleh mahasiswa
dalam memecahkan masalah pembuktian pada matakuliah analisis real berdasarkan langkah-
langkah Polya dengan mengungkap secara mendalam respon siswa. Terkait dengan hal tersebut
maka penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Mahasiswa diberi soal tentang masalah
pembuktian. Soal terdiri dari satu soal yang harus dikerjakan dengan pembuktian langsung dan
satu soal yang harus dikerjakan dengan pembuktian langsung. Dalam mengerjakan soal,
mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal berdasarkan tahap-tahap pemecahan masalah
Polya, selanjutnya pada akhir tiap tahap dilakukan wawancara untuk mengungkap aktivitas
metakognisi pada tahap tersebut. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan berupa kata-kata,
maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sehingga penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
kualitatif-eksploratif.
Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mahasiswa yang akan dipilih sebagai subjek adalah
mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah Analisis real I. Pada tahap pertama, dipilih dua
kelompok subjek, yaitu subjek dengan kemampuan matematika tinggi dan subjek dengan
kemampuan matematika rendah. Pengelompokan subyek ini didasarkan pada Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) mahasiswa pada mata kuliah-mata kuliah matematika yang telah dicapainya
sebelum menempuh mata kuliah analisis real I. Mahasiswa dikelompokkan dalam kategori
kemampuan matematika tinggi, jika IPK yang diperoleh lebih besar dari atau sama dengan 3,0.
Mahasiswa dikelompokkan dalam kategori kemampuan matematika rendah, jika IPK yang
diperoleh lebih kecil dari 2,0.
Tahap berikutnya, terhadap masing-masing kelompok ini dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan gender sehingga diperoleh empat kelompok subjek yaitu kelompok mahasiswa
laki-laki dengan kemampuan matematika tinggi, kelompok mahasiswa laki-laki dengan
kemampuan matematika rendah, kelompok mahasiswa perempuan dengan kemampuan
matematika tinggi, dan kelompok mahasiswa perempuan dengan kemampuan matematika
rendah.
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan instrumen
lembar tugas penyelesaian masalah matematika, dan pedoman wawancara. Dalam hal ini
peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan akhirnya
sekaligus menjadi pelapor hasil penelitian. Sedangkan instrumen lembar tugas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah instrumen lembar tugas pemecahan masalah pembuktian. Instrumen
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
99
lembar tugas ini divalidasi oleh ahli, yang terdiri atas satu orang ahli pendidikan matematika
dan satu orang ahli dalam bidang matematika kelompok bidang analisis.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data diakukan dengan cara subyek diberi lembar tugas
pemecahan masalah pembuktian, kemudian untuk setiap tahapan dalam meyelesaikan masalah
berdasarkan tahapan Polya diadakan wawancara untuk mengetahui aktivitas metakognisi yang
dilakukan. Data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dan disusun transkip wawancara
tersebut untuk selanjutnya dilakukan analisis terkait dengan aktivitas metakognisi yang
dilakukan. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran
metakognisi siswa. Dari hasil pekerjaan siswa, pengamatan dan wawancara dapat dilihat
karakteristik metakognisi siswa.
HASIL PENELITIAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang sudah diperoleh, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
a. Pada mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika tinggi,
1. Pada tahap memahami masalah subjek subjek sadar akan (1) pengetahuan yang dapat
membantu, (2) arah/tujuan, (3) langkah-langkah, (4) apa yang dipahami merupakan bagian
yang penting, (4) lama waktu, (6) apa yang dilakukan, (7) berada pada jalan yang benar, (8)
langkah-langkah selanjutnya, (9) adanya informasi penting, (10) ketepatan cara, (11) cara
pemahaman masalah, (12) dapat menerapkan cara pemahaman masalah pada masalah yang
lain, (13) perlunya kembali pada tahap awal dalam memahami masalah.
2. Pada tahap merencanakan pemecahan masalah, subjek sadar akan (1) pengetahuan-
pengetahuan yang diperlukan, (2) hal-hal yang dipikirkan sebelum merencanakan, (3) data
lain yang mungkin sesuai, (4) apa yang harus dilakukan, (5) sudah merasa berada pada jalan
yang benar, (6) langkah-langkah, (7) informasi penting yang harus diing, (8) ketepatan
langkah, (9) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang
diharapkan, (10) sadar sudah memperhitungkan semua hal yang penting.
3. Pada tahap melaksanakan pemecahan masalah, subjek sadar tentang (1) pengetahuan
awal yang dibutuhkan, (2) arah dari apa yang dilakukan, (3) hal-hal yang dipikirkan, (4)
tentang data lain yang mungkin sesuai, (5) apa yang harus dilakukan pada saat
melaksanakan rencana pemecahan masalah, (6) sudah merasa berada pada jalan yang benar,
(7) langkah-langkah lanjutan, (8) informasi penting yang harus, (9) ketepatan langkah
pelaksanaan rencana, (10) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu
seperti yang diharapkan, (11) merasa dapat menerapkan cara pelaksanaan rencana
pemecahan masalah pada masalah yang lain, (12) perlunya kembali pada tahap awal.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
100
4. Pada tahap mengevaluasi, subjek sadar (1) tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan, (2)
tentang arah pemecahan masalah, (3) tentang hal-hal yang dipikirkan, (4) tentang apa yang
harus, (5) sudah merasa berada pada jalan yang benar, (6) langkah-langkah lanjutan, (7)
tentang informasi penting, (8) akan ketepatan langkah, (9) bahwa evaluasi dilakukan akan
menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan, (10) dapat menerapkan cara pelaksanaan
evaluasi terhadap masalah yang lain, (11) perlunya kembali pada tahap awal dalam
melaksanakan evaluasi.
b. Pada mahasiswa perempuan dengan kemampuan matematika tinggi,
1. Pada tahap memahami masalah subjek subjek sadar akan (1) pengetahuan yang dapat
membantu, (2) arah/tujuan, (3) langkah-langkah, (4) apa yang dipahami merupakan bagian
yang penting, (4) lama waktu, (6) apa yang dilakukan, (7) berada pada jalan yang benar, (8)
langkah-langkah selanjutnya, (9) adanya informasi penting, (10) ketepatan cara, (11) cara
pemahaman masalah, (12) dapat menerapkan cara pemahaman masalah pada masalah yang
lain,
2. Pada tahap merencanakan pemecahan masalah, subjek sadar akan (1) pengetahuan-
pengetahuan yang diperlukan, (2) hal-hal yang dipikirkan sebelum merencanakan, (3) data
lain yang mungkin sesuai, (4) apa yang harus dilakukan, (5) sudah merasa berada pada jalan
yang benar, (6) langkah-langkah, (7) informasi penting yang harus diing, (8) ketepatan
langkah, (9) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang
diharapkan.
3. Pada tahap melaksanakan pemecahan masalah, subjek sadar tentang (1) pengetahuan awal
yang dibutuhkan, (2) arah dari apa yang dilakukan, (3) hal-hal yang dipikirkan, (4) tentang
data lain yang mungkin sesuai, (5) apa yang harus dilakukan pada saat melaksanakan
rencana pemecahan masalah, (6) sudah merasa berada pada jalan yang benar, (7) langkah-
langkah lanjutan, (8) informasi penting yang harus, (9) ketepatan langkah pelaksanaan
rencana, (10) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang
diharapkan, (11) merasa dapat menerapkan cara pelaksanaan rencana pemecahan masalah
pada masalah yang lain, (12) perlunya kembali pada tahap awal.
4. Pada tahap mengevaluasi, subjek sadar (1) tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan, (2)
tentang arah pemecahan masalah, (3) tentang hal-hal yang dipikirkan, (4) tentang apa yang
harus, (5) sudah merasa berada pada jalan yang benar, (6) langkah-langkah lanjutan, (7)
tentang informasi penting, (8) akan ketepatan langkah, (9) bahwa evaluasi dilakukan akan
menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan, (10) dapat menerapkan cara pelaksanaan
evaluasi terhadap masalah yang lain,
c. Pada mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika rendah,
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
101
1. Pada tahap memahami masalah subjek subjek sadar akan (1) pengetahuan yang dapat
membantu, (2) arah/tujuan, (3) langkah-langkah, (4) apa yang dipahami merupakan bagian
yang penting, (4) lama waktu, (6) apa yang dilakukan, (7) cara pemahaman masalah,
2. Pada tahap merencanakan pemecahan masalah, subjek sadar akan (1) pengetahuan-
pengetahuan yang diperlukan, (2) hal-hal yang dipikirkan sebelum merencanakan, (3)
langkah-langkah, (4) informasi penting yang harus diingat, (5) ketepatan langkah.
3. Pada tahap melaksanakan pemecahan masalah, subjek sadar tentang (1) pengetahuan awal
yang dibutuhkan, (2) arah dari apa yang dilakukan, (3) hal-hal yang dipikirkan, (4) tentang
data lain yang mungkin sesuai, (5) apa yang harus dilakukan pada saat melaksanakan
rencana pemecahan masalah, (6) informasi penting yang harus, (7) ketepatan langkah
pelaksanaan rencana, (8) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti
yang diharapkan,
4. Pada tahap mengevaluasi, subjek sadar (1) tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan, (2)
tentang arah pemecahan masalah, (3) tentang hal-hal yang dipikirkan, (4) sudah merasa
berada pada jalan yang benar, (5) tentang informasi penting, (6) bahwa evaluasi dilakukan
akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan.
d. Pada mahasiswa laki-laki dengan kemampuan matematika rendah,
1. Pada tahap memahami masalah subjek subjek sadar akan (1) pengetahuan yang dapat
membantu, (2) arah/tujuan, (3) langkah-langkah, (4) apa yang dipahami merupakan bagian
yang penting, (4) lama waktu, (6) apa yang dilakukan, (7) cara pemahaman masalah,
2. Pada tahap merencanakan pemecahan masalah, subjek sadar akan (1) pengetahuan-
pengetahuan yang diperlukan, (2) hal-hal yang dipikirkan sebelum merencanakan, (3)
langkah-langkah, (4) informasi penting yang harus diingat, (5) ketepatan langkah.
3. Pada tahap melaksanakan pemecahan masalah, subjek sadar tentang (1) pengetahuan awal
yang dibutuhkan, (2) arah dari apa yang dilakukan, (3) hal-hal yang dipikirkan, (4) tentang
data lain yang mungkin sesuai, (5) apa yang harus dilakukan pada saat melaksanakan
rencana pemecahan masalah, (6) informasi penting yang harus, (7) ketepatan langkah
pelaksanaan rencana, (8) pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti
yang diharapkan,
4. Pada tahap mengevaluasi, subjek sadar (1) tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan, (2)
tentang arah pemecahan masalah, (3) tentang hal-hal yang dipikirkan, (4) sudah merasa
berada pada jalan yang benar, (5) tentang informasi penting, (6) bahwa evaluasi dilakukan
akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada setiap tahap
pemecahan masalah Polya, mahasiswa berkemampuan matematika tinggi, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki keterlaksanaan metakognisi yang sangat lengkap. Namun tingkat
kelengkapan aktivitas metakognisi mahasiswa laki-laki lebih tinggi. Di pihak lain
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
102
keterlaksanaan metakognisi mahasiswa berkemampuan matematika rendah, baik laki-laki
maupun perempuan berada pada tingkat yang rendah, variasi keterlaksanaan aktivitas
metakognisinya jauh lebih rendah dibandingkan mahasiswa dengan kemampuan matematika
tinggi. Namun pada mahasiswa perempuan maupun laki-laki dengan kemampuan matematika
rendah memiliki variasi aktivitas metakognisi yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Bartle, Robert G and D.R. Sherbet, 1994. Introduction to real analysis, second edition, John
Willey & sons, New York
De Corte, E., 2003, Intervention Research: A Tool for Bridging the Theory Practice Gap in
Mathematics Education, Proceedings of the International Conference, The
Mathematics Education into the 21st Century Project, Brno Czech Republic.
Flavell, J. H., 1979, Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive
Developmental Inquiry, in Nelson, T. O. (Ed), 1992, Metacognition, Allyn and
Bacon, Boston.
Gama, C. A., 2004, Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment,
D. Phil Dissertation, University of Sussex
Julan Hernadi, 2008, Metode Pembuktian dalam Matematika, UAD, Yogyakarta
Livingstone, J. A., 1997, Metacognition: An Overview, http://www.gse.buffalo.edu/fos/shuel/
cep564/metacog.html
Nelson, T. O., 1992, Metacognition; Core Readings, Allyn and Bacon, Boston.
NCREL, (1995), Metacognition - Thinking about thinking - Learning to learn
http://members.iinet.net.au/metacognition.htm
Panaoura, A., and Philippou, G., 2004, Young Pupils Metacognitive Abilities in Mathematics in
Relation to Working Memory and Processing Efficiency, www.ucy.ac.cy, Download
tanggal 12 November 2007
Panaoura, A., and Philippou, G., 2005, The Measurement of Young Pupils Metacognitive
Ability in Mathematics: The Case of Self-Representation and Self-Evaluation,
www.ucy.ac.cy, Download tanggal 12 November 2007.
Polya, G., 1973, How To Solve It, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New
Jersey.
Schoenfeld, A. H., 1980, Heuristic in the Class Room, dalam Krulik S., dan Reys, R. E. (Ed),
Problem Solving in School Mathematics, NCTM, Virginia.
Soedjadi, R., 2000, Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
103
PENGARUH KETIDAKTERLAKSANAAN AKTIVITAS METAKOGNISI
DALAM MEMECAHKAN MASALAH PEMBUKTIAN SECARA
KONTRADIKSI PADA MAHASISWA BERKEMAMPUAN MATEMATIKA
RENDAH
Gatut Iswahyudi
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta

Abstrak
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan tentang pengaruh
ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah
pembuktian secara kontradiksi dalam bidang analisis pada mahasiswa berkemampuan
matematika rendah. Secara lebih spesifik, tujuan khusus paparan ini adalah untuk
mendeskripsikan pengaruh ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam
memecahkan masalah pembuktian secara kontradiksi dalam bidang analisis pada mahasiswa
berkemampuan matematika rendah pada saat memecahkan masalah.
Paparan ini merupakan sebagian hasil yang dilakukan penulis berdasarkan hasil
penelitian kualitatif eksploratif tentang keterlaksanaan dan ketidakterlaksanaan aktivitas
metakognisi terhadap dua subjek penelitian yaitu seorang mahasiswa laki-laki dan seorang
mahasiswa perempuan dengan kemampuan matematika rendah, Peneliti mempelajari dan
mengungkap proses metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian
berdasarkan langkah-langkah Polya. Pengungkapan proses metakognisi dilakukan pada setiap
tahap pemecahan masalah, yaitu tahap memahami masalah, tahap membuat rencana
pemecahan masalah, tahap melaksanakan rencana pemecahan masalah serta tahap melakukan
evaluasi terhadap hasil pelaksanaan rencana pemecahan masalah. Selanjutnya dengan
menggunakan metode wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur akan diungkap
tentang keterlaksanaan dan ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam
memecahkan masalah pembuktian secara kontradiksi dan pengaruhnya terhadap pemecahan
masalah.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada setiap tahap pemecahan
masalah Polya, keterlaksanaan metakognisi mahasiswa berkemampuan matematika rendah,
baik laki-laki maupun perempuan berada pada tingkat yang rendah, dan memiliki variasi
aktivitas metakognisi yang sama. Namun terdapat perbedaan dalam menyelesaikan masalah.
Mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan upaya penyelesaian masalah dibandingkan
mahasiswa laki-laki. Mahasiswa perempuan tampak berusaha mengekploitasi kemampuannya
agar dapat menyelesaikan masalah tidak peduli dengan kesadarannya akan kebenaran langkah
pemecahannya. Mahasiswa laki-laki tampak segera menyerah jika mengalami kesulitan dan
tidak punya kesadaran untuk menopang langkah penyelesaian masalah lebih lanjut.

Kata Kunci : Metakognisi, Pembuktian, Kemampuan Analisis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses menyadari dan mengatur berpikir siswa sendiri tersebut, dikenal sebagai
metakognisi, termasuk didalamnya adalah berpikir tentang bagaimana siswa membuat
pendekatan terhadap masalah, memilih strategi yang digunakan untuk menemukan pemecahan,
dan bertanya kepada diri sendiri tentang masalah tersebut (Gartman dan Freiberg, 1993).
Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa metakognisi memainkan peran penting
dalam pemecahan masalah serta dalam perolehan dan penerapan keterampilan belajar pada
berbagai bidang penemuan (Flavell, 1979, Panaoura dan Philippou, 2005). Siswa yang mampu
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
104
menyerap pelajaran matematika pada tingkatan paling tinggi dan memperoleh informasi tentang
latihan dalam strategi metakognitif (yaitu perencanaan, pemantauan, dan evaluasi belajarnya
sendiri) memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatur belajarnya (Chamot, Dale, OMalley
dan Spanos, 1992).
Pemecahan masalah yang efektif dapat diperoleh dengan memberi kesempatan kepada
siswa untuk menerapkan strategi metakognitif ketika menyelesaikan soal (McLoughlin dan
Hollingworth, 2003).
Terlaksananya proses metakognisi dalam pemecahan masalah merupakan salah satu
faktor menarik yang banyak diperhatikan oleh kalangan peneliti pendidikan. Hal tersebut
disebabkan keuntungan yang dapat diperoleh ketika pemecahan masalah dilakukan dengan
melibatkan kesadaran terhadap proses berpikir serta kemampuan pengaturan diri, sehingga
memungkinkan terbangunnya pemahaman yang kuat dan menyeluruh terhadap masalah disertai
alasan yang logis. Pemahaman semacam ini merupakan sesuatu yang selalu ditekankan ketika
berlangsung pembelajaran matematika di semua tingkatan pendidikan, karena kesesuaiannya
yang kuat dengan pola berpikir matematika.
Terkait dengan masalah dalam matematika, masalah dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu masalah menemukan (to find) dan masalah membuktikan (to prove). Masalah
menemukan adalah suatu jenis masalah yang tujuannya akan dicari dan prosesnya diperlukan.
Masalah membuktikan adalah masalah yang tujuannya sudah ditentukan tetapi prosesnya
diperlukan. Diantara masalah tersebut, masalah membuktikan merupakan bagian yang sangat
penting dalam matematika. Matematika dikembangkan melalui teorema-teorema yang yang
dibuktikan kebenarannya. Sehingga pengetahuan tentang cara pembuktian sangat dibutuhkan
dalam belajar matematika.
Didasarkan pada metode yang digunakan, pembuktian dalam matematika dapat
dikelompokkan pembuktian langsung, dan pembuktian tidak langsung. Jenis-jenis pembuktian
yang termasuk pembuktian tidak langsung adalah pembuktian dengan kontradiksi dan
pembuktian dengan kontraposisi. Beberapa cara pembuktian lain dalam matematika adalah
pembuktikan dengan induksi matematika, pembuktian dengan contoh penyangkal.
Dari uraian yang sudah dikemukakan di atas, dapat diketahui betapa pentingnya
kemampuan metakognisi dimiliki oleh siswa pada semua tingkat pendidikan. Guru dalam hal ini
dapat mendorong siswa untuk memiliki kemampuan tersebut melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran. Agar guru dapat membangkitkan kemampuan metakognisi siswa, guru sendiri
harus punya kemampuan metakognisi dan punya pemahaman yang memadai tentang proses
metakognisi dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan suatu penanaman kesadaran
kepada para guru atau calon guru tentang proses metakognisi yang mestinya dilaksanakan dalam
memecahkan masalah matematika secara umum dan secara khusus dalam memecahkan masalah
pembuktian.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
105
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap mahasiswa laki-laki dan perempuan pada
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS Surakarta dalam rentang waktu beberapa
tahun ini terdapat fenomena yang cukup menarik. Pada kurun waktu lima tahun terakhir ini jauh
berbeda dengan pada masa sebelumnya di mana prestasi belajar mahasiswa berjenis kelamin
laki-laki cenderung lebih baik. Demikian juga dengan komposisi banyaknya mahasiswa, pada
saat ini banyaknya mahasiswa berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada mahasiswa
berjenis kelamin laki-laki. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti.
Beberapa penelitian untuk menguji bagaimana perbedaan gender berkaitan dengan
pembelajaran matematika, laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan menggunakan
variabel-variabel termasuk kemampuan bawaan, sikap, motivasi, bakat, dan kinerja (Goodchild,
& Granholm, 2007). Beberapa peneliti percaya bahwa pengaruh faktor gender (pengaruh
perbedaan laki-laki-perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis
dalam otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi, bahwa anak
perempuan, secara umum, lebih unggul dalam bidang bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-
laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan-kemampuan keruangan yang
lebih baik (Geary, Saults, Liu, 2000). Perbedaan karakteristik berpikir laki-laki dan perempuan
seperti yang disampaikan Kartini Kartono (1977), menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
lebih rasional dalam menghadapi masalah dibanding perempuan, laki-laki pada umumnya
mempunyai kemampuan berpikir abstrak, menyeluruh sedangkan perempuan cenderung
berpikir nyata dan praktis. Dari perbedaan cara berpikir tersebut tentu akan mempengaruhi
penggunaan kognisi atau metakognisi yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Oleh karena
itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana peran gender dalam
penggunaan kognisi atau metakognisi.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan penelitian yaitu
bagaimana pengaruh ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan
masalah pembuktian secara kontradiksi dalam bidang analisis pada mahasiswa berkemampuan
matematika rendah.. Dengan mendasarkan pada ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi
pada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang berkemampuan matematika rendah, akan dicari
pengaruhnya dalam pemecahan masalah pembuktian secara kontradiksi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana
dikemukakan di atas, yaitu untuk mengetahui pengaruh ketidakterlaksanaan aktivitas
metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian secara kontradiksi dalam
bidang analisis pada mahasiswa berkemampuan matematika rendah dengan mendasarkan pada
ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi pada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang
berkemampuan matematika rendah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
106
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan
matematika terutama berkaitan dengan proses metakognisi dalam memecahkan masalah
pembuktian, yaitu:
1. Sebagai pengembangan teori metakognisi, khususnya dalam memecahkan masalah
pembuktian.
2. Sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Perguruan Tinggi, khususnya
agar dapat mendorong mahasiswa memahami proses metakognisi yang perlu
dikembangkan dalam pemecahan masalah pembuktian.
KAJIAN TEORI
Pengertian Metakognisi
Secara sederhana metakognisi didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau
kognisi tentang kognisi seseorang (Nelson, 1992; Livingston, 1997; Gama, 2004). Terdapat
beberapa definisi tentang metakognisi yang berkembang dalam bidang psikologi kognitif,
diantaranya oleh Flavell dan Brown. Flavell mendefinisikan: metakognisi sebagai kemampuan
untuk mengerti dan memantau berpikir sendiri dan asumsi serta implikasi dari kegiatan
seseorang, metacognition as the ability to understand and monitor ones own thoughts and the
assumptions and implications of ones activities (Lee dan Baylor, 2006). Sementara itu, Brown
mendefinisikan metakognisi sebagai suatu kesadaran terhadap aktifitas kognisi seseorang,
metode yang digunakan untuk mengatur proses kognisi seseorang dan suatu penguasaan
terhadap bagaimana mengarahkan, merencanakan, dan memantau aktivitas kognitif
metacognition as an awareness of ones own cognitive activity; the methods employed to
regulate ones own cognitive processes; and a command of how one directs, plans, and
monitors cognitive activity (Lee dan Baylor, 2006).
Berdasarkan definisi di atas, penulis mendefinisikan metakognisi sebagai kemampuan
untuk menyadari kognisi sendiri dan kemampuan mengatur proses kognisi sendiri. Dengan
demikian, terdapat dua sisi penting dari metakognisi, yaitu (1) kesadaran tentang kognisi
(awareness about cognition) dan, (2) kontrol atau pengaturan proses kognisi (control or
regulation of cognition processes). Kesadaran tentang kognisi sendiri meliputi penilaian
tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui, seta metode yang digunakan untuk mengatur
proses kognisi. Sedangkan pengaturan proses kognisi meliputi mengarahkan, merencanakan dan
memantau aktifitas kognisi.
Pada penerapannya, Kirsh (2004) mengemukakan bahwa metakognisi khususnya dalam
bidang pendidikan, berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan berhubungan dengan
perencanaan, pemantauan, evaluasi dan perbaikan kemampuan bekerja (performa). Pada
penelitian ini, metakognisi cakupannya dibatasi pada tiga komponen yaitu perencanaan,
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
107
pemantauan, dan refleksi. Ketiga kompunen ini merupakan satu rangkaian dan saling terkait
dalam aktifitas metakognisi.
Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika
Memecahkan masalah tidak hanya merupakan suatu tujuan dari belajar matematika,
tetapi juga merupakan alat utama untuk menghadapi masalah-masalah yang lain. Pemecahan
masalah merupakan bagian integral dari matematika, bukan merupakan bagian terpisahkan dari
matematika. Dalam memecahkan masalah, siswa harus didorong untuk merefleksikan pikiran
mereka sehingga mereka dapat menerapkan dan menyesuaikan strategi mereka untuk
menghadapi masalah lain dan dalam konteks lainnya. Dengan memecahkan masalah
matematika, siswa memperoleh cara berpikir, mempunyai rasa ingin tahu dan ketekunan,
kepercayaan diri dalam situasi yang asing. Pemecahan masalah membantu mereka di luar kelas
matematika.
Stanic & Kilpatrick (1988: 15) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemukan di waktu sebelumnya. Ini menunjukkan
bahwa suatu tugas merupakan masalah bergantung kepada individu dan waktu. Artinya suatu
tugas merupakan masalah bagi seseorang, tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi orang
lain. Demikian pula suatu tugas merupakan masalah bagi seseorang pada suatu saat, tetapi
bukan merupakan masalah lagi bagi orang itu pada saat berikutnya, bila orang itu telah
mengetahui cara atau proses mendapatkan pemecahan masalah tersebut.
Menurut Polya (1973), masalah terbagi menjadi dua, yaitu masalah menemukan
(problem to find), dan masalah membuktikan (problem to prove). Masalah untuk menemukan
merupakan suatu masalah teoretis atau praktis, abstrak atau konkrit. Bagian utama dari masalah
menemukan antara lain: apa yang dicari? Apa saja data yang diketahui? bagaimana syaratnya?
Sedangkan masalah membuktikan merupakan masalah untuk menunjukkan apakah suatu
pernyataan benar atau salah, atau tidak keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menjawab pertanyaan apakah pernyataan itu benar atau salah? Bagian utama dari masalah ini
adalah hipotesis dan konklusi suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Khusus dalam pemecahan masalah matematika, salah satu yang banyak dirujuk adalah
pentahapan oleh Polya (1973), yang mengemukakan empat tahapan penting yang perlu
dilakukan yaitu:
1. Memahami masalah (understanding the problem)
2. Memikirkan rencana (devising a plan)
3. Melaksanakan rencana (carrying out the plan)
4. Memeriksa kembali jawaban (looking back)
Langkah-langkah pemecahan masalah oleh Polya tersebut, merupakan langkah yang
memberikan dampak cukup penting terhadap pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
108
Meskipun demikian, Polya (dalam Gama, 2004) tidak menggunakan istilah metakognisi pada
hasil pemikirannya, tetapi menyebutnya sebagai berpikir tentang proses (thinking about the
process).
Pada penelitian ini, langkah pemecahan yang dijadikan acuan dalam memecahkan
masalah untuk diperhatikan adalah yang dikembangkan oleh Polya. Pilihan ini didasarkan pada
pandangan penulis bahwa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan Polya telah dikenal
luas dan langkah-langkahnya mudah dilakukan, sehingga dalam mengamati proses pemecahan
masalah yang dilakukan, dapat ditinjau secara lebih detail dan diharapkan dapat
mengungkapkan proses metakognisi yang terjadi.
Metakognisi dalam Pemecahan Masalah Matematika
Bila dicermati langkah-langkah yang dikembangkan oleh Polya, De Corte, dan
Schoenfeld di atas, tampak bahwa pemecahan masalah dilaksanakan berdasarkan pada adanya
pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition) dan pengaturan kognisi (regulation of
cognition). Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah dipandang sebagai keadaan
yang saling mempengaruhi dan kompleks antara kognisi dan metakognisi. Brown (dalam
Panaoura & Philipou, 2004) mengemukakan bahwa ketarampilan atau kemampuan metakognisi
yang esensial bagi setiap pemecah masalah yang efisien meliputi kemampuan dalam: (1)
perencanaan (planning), meliputi pendugaan hasil, dan penjadwalan strategi, (2) pemantauan
(monitoring), meliputi pengujian, perevisian, dan penjadwalan ulang strategi yang dilakukan,
dan (3) pemeriksaan (checking), meliputi evaluasi hasil dari pelaksanaan suatu strategi
berdasarkan kriteria efisiensi dan efektifitas.
Sejalan dengan pandangan Brown, Cohors-Fresenborg & Kaune (2007)
mengelompokkan aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1)
perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Demikian
juga NCREL (1995) mengelompokkan metakognisi ke dalam tiga elemen dasar yaitu (1) tahap
pengembangan rencana (developing a plan of action), (2) tahap pemantauan (monitoring the
plan of action), dan (3) tahap pemeriksaan (evaluation the plan action). Selanjutnya NCREL
menyebut tiga tahap tersebut sebagai tahap sebelum, selama dan sesudah. Dalam penelitian ini,
terkait dengan adanya istilah yang hampir sama maka tiga tahap aktivitas metakognisi ini
disebut sebagai (1) bagian awal, (2) bagian inti, dan (3) bagian akhir.
Sebagai panduan dalam pengamatan proses metakogisi, peneliti membuat tabel dengan
menggabungkan pengkategorian aktifitas metakognisi oleh Cohors-Fresenborg dan Kaune
(2007) dan pengkategorian strategi metakognitif NCREL (1995). Tabel tersebut kemudian
dilengkapi dengan pembagian aktifitas metakognisi pada setiap langkah pemecahan masalah
sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah oleh Polya (1973). Hasil penggabungan
tersebut, menghasilkan sebuah tabel proses metakognisi dalam pemecahan masalah matematika.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
109
Berikut rangkuman aktivitas metakognisi dan indikator penggunaan metakognisi dalam
memecahkan masalah matematika, sesuai dengan langkah yang diusulkan oleh Polya.
Indikator Proses metakognisi dalam memecahkan masalah matematika, sesuai dengan langkah
yang diusulkan oleh Polya

Pembuktian Dalam Matematika
Di dalam matematika, bukti adalah serangkaian argumen logis yang menjelaskan
kebenaran suatu pernyataan. Argumen-argumen ini dapat berasal dari premis pernyataan itu
sendiri, teorema-teorema lainnya, definisi, dan akhirnya dapat berasal dari postulat dimana
sistem matematika tersebut berasal. Yang dimaksud logis di sini, adalah semua langkah pada
setiap argumen harus dijustifikasi oleh langkah sebelumnya. Jadi kebenaran semua premis pada
setiap deduksi sudah dibuktikan atau diberikan sebagai asumsi.
Dalam artikel making mathematics yang berjudul Proof,
(http:/www2.edc.org/makingmath) dijelaskan bahwa bukti dalam matematika meliputi what is
proof, why do we prove, what do we prove, dan how dowe prove. Sedangkan terkait motivasi
dalam melakukan pembuktian, paling tidak terdapat enam motivasi mengapa orang
membuktikan, yaitu to establish a fact with certainty, to gain understanding, to communicate an
idea to others, for the challenge, to create something beautiful, toconstruct a large
mathematical theory.
Julan (2007) membagi jenis pembuktian dalam sembilan kategori yaitu (1) Bukti
langsung, (2) Bukti tak langsung (3) Bukti kosong, (4) Bukti trivial, (5) Bukti dengan
kontradiksi, (6) Bukti eksistensial, (7) Bukti ketunggalan, (8) Bukti dengan contoh penyangkal
(counter example), (9) Bukti dengan induksi matematika. Namun demikian pada hakekatnya
penggolongan yang dilakukan Julan ini dapat diringkas menjadi tiga jenis, yaitu (1) Bukti
langsung, (2) Bukti tidak langsung, dan (3) Bukti dengan induksi matematika. Kemudian bukti
tidak langsung dapat dibagi lagi menjadi bukti dengan kontradiksi dan bukti dengan
kontraposisi. Hal ini sesuai pendapat Bartle (1994) bahwa teknik pembuktian dapat
dikategorikan ke dalam tiga jenis yaitu (1) Bukti langsung, (2) Bukti tidak langsung, dan (3)
Bukti dengan induksi matematika.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini mendiskripsikan proses metakognisi yang dilakukan oleh mahasiswa
dalam memecahkan masalah pembuktian pada matakuliah analisis real berdasarkan langkah-
langkah Polya dengan mengungkap secara mendalam respon siswa. Terkait dengan hal tersebut
maka penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Mahasiswa diberi soal tentang masalah
pembuktian. Soal terdiri dari satu soal yang harus dikerjakan dengan pembuktian langsung dan
satu soal yang harus dikerjakan dengan pembuktian langsung. Dalam mengerjakan soal,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
110
mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal berdasarkan tahap-tahap pemecahan masalah Polya,
selanjutnya pada akhir tiap tahap dilakukan wawancara untuk mengungkap aktivitas
metakognisi pada tahap tersebut. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan berupa kata-kata,
maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sehingga penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
kualitatif-eksploratif.
Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mahasiswa yang akan dipilih sebagai subjek adalah
mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah Analisis real I. Pada tahap pertama, dipilih dua
kelompok subjek, yaitu subjek dengan kemampuan matematika tinggi dan subjek dengan
kemampuan matematika rendah. Pengelompokan subyek ini didasarkan pada Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) mahasiswa pada mata kuliah-mata kuliah matematika yang telah dicapainya
sebelum menempuh mata kuliah analisis real I. Mahasiswa dikelompokkan dalam kategori
kemampuan matematika tinggi, jika IPK yang diperoleh lebih besar dari atau sama dengan 3,0.
Mahasiswa dikelompokkan dalam kategori kemampuan matematika rendah, jika IPK yang
diperoleh lebih kecil dari 2,0.
Tahap berikutnya, dipilih masing-masing satu orang mahasiswa brjenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang memiliki kemampuan matematika rendah sebagai subjek penelitian.

Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan instrumen
lembar tugas penyelesaian masalah matematika, dan pedoman wawancara. Dalam hal ini
peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan akhirnya
sekaligus menjadi pelapor hasil penelitian. Sedangkan instrumen lembar tugas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah instrumen lembar tugas pemecahan masalah pembuktian. Instrumen
lembar tugas ini divalidasi oleh ahli, yang terdiri atas satu orang ahli pendidikan matematika
dan satu orang ahli dalam bidang matematika kelompok bidang analisis.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data diakukan dengan cara subyek diberi lembar tugas
pemecahan masalah pembuktian, kemudian untuk setiap tahapan dalam meyelesaikan masalah
berdasarkan tahapan Polya diadakan wawancara untuk mengetahui aktivitas metakognisi yang
dilakukan. Data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dan disusun transkip wawancara
tersebut untuk selanjutnya dilakukan analisis terkait dengan aktivitas metakognisi yang
dilakukan. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran
metakognisi siswa. Dari hasil pekerjaan siswa, pengamatan dan wawancara dapat dilihat
karakteristik metakognisi mahasiswa. Pada akhirnya diperoleh ketidakterlaksanaan aktivitas
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
111
metakognisi mahasiswa, dan berdasarkan hasil pekerjaan tertulis dilakukan analisis pengaruh
ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian
secara kontradiksi pada saat memecahkan masalah.
HASIL PENELITIAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang sudah diperoleh, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu :
1. Ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa laki-laki dan pengaruhnya terhadap
pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Pada tahap memahami masalah, subjek tidak sadar tentang pengetahuan yang dapat
membantu dalam memahami masalah, tidak sadar tentang arah/tujuan dalam memahami
masalah, tidak sadar tentang apa yang dipahami merupakan bagian yang penting dalam
rangka memahami masalah, tidak sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam
memahami masalah, tidak sadar bahwa sudah merasa berada pada jalan yang benar saat
memahami masalah, tidak sadar tentang informasi penting yang harus diingat, tidak
sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam memahami masalah
dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah
pada saat mengalami kesulitan dalam memahami masalah, tidak sadar atas ketepatan
cara dan langkah pemahaman masalah dilakukan, tidak sadar dapat melakukan langkah
pemahaman terhadap masalah dengan cara berbeda, tidak sadar dapat menerapkan cara
pemahaman masalah seperti ini pada masalah yang lain, tidak sadar tentang perlunya
kembali pada tahap awal dalam memahami masalah. Banyaknya variasi aktivitas
metakognisi yang tidak teramati pada tahap ini besar kemungkinan disebabkan
kurangnya pengetahuan subjek pada materi pemecahan masalah. Hal ini menyebabkan
proses pemecahan masalh yang dilakukan tidak terarah dan subjek tidak yakin dapat
memecahkan masalah dengan benar.
b. Pada tahap memikirkan rencana tindakan, subjek tidak sadar tentang pengetahuan apa
saja yang diperlukan dalam merencanakan pemecahan masalah, tidak sadar tentang hal-
hal yang dipikirkan sebelum merencanakan pemecahan masalah tersebut akan
mengarah pada suatu tindakan tertentu, dan telah dapat diperoleh sesuatu yang
bermanfaat dari data yang diketahui untuk memecahkan masalah, tidak sadar tentang
adanya data lain yang mungkin sesuai untuk menentukan konsep-konsep tak diketahui
yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, tidak sadar tentang lama waktu
yang dipergunakan dalam menencanakan pemecahan masalah, tidak sadar tentang
perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam merencanakan pemecahan masalah
dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah
pada saat mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah, tidak sadar akan ketepatan
langkah perencanaan pemecahan masalah yang dilakukan, tidak sadar bahwa semua
data yang diketahui sudah sudah dipergunakan untuk memecahkan masalah, tidak sadar
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
112
merasa telah melakukan langkah perencanaan pemecahan terhadap masalah tersebut
dengan cara berbeda, tidak merasa dapat menerapkan cara perencanaan pemecahan
masalah seperti ini pada masalah yang lain, tidak sadar perlunya kembali pada tahap
awal dalam merencanakan pemecahan masalah. Banyaknya variasi aktivitas
metakognisi yang tidak teramati pada tahap ini besar kemungkinan disebabkan
kurangnya pengetahuan subjek pada materi pemecahan masalah. Hal ini menyebabkan
proses pemecahan masalh yang dilakukan tidak terarah dan subjek tidak yakin dapat
memecahkan masalah dengan benar.
c. Pada tahap melaksanakan rencana tindakan, subjek tidak sadar tentang pengetahuan
awal yang dibutuhkan untuk membantu melaksanakan rencana tindakan pemecahan
masalah yang diberikan, tidak berpikir tentang data lain yang mungkin sesuai untuk
menentukan konsep-konsep tak diketahui yang dapat digunakan dalam melaksanakan
rencana pemecahan masalah, tidak sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam
melaksanakan pemecahan masalah, tidak sadar bahwa pada saat merencanakan
pemecahan masalah sudah merasa berada pada jalan yang benar, tidak sadar tentang
langkah-langkah lanjutan yang harus dilakukan, tidak sadar tentang perlunya melakukan
penyesuaian langkah dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan cara lain
yang berbeda, tidak sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat
mengalami kesulitan dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, tidak sadar
bahwa pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang
diharapkan, tidak sadar merasa telah melakukan langkah pelaksanaan rencana
pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara berbeda, tidak merasa dapat
menerapkan cara pelaksanaan rencana pemecahan masalah seperti ini pada masalah
yang lain, tidak sadar perlunya kembali pada tahap awal dalam melaksanakan rencana
pemecahan masalah untuk memenuhi kekurangan yang dirasakan. Seperti pada dua
tahap sebelumnya, banyaknya variasi aktivitas metakognisi yang tidak teramati pada
tahap ini besar kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan subjek pada materi
pemecahan masalah. Hal ini menyebabkan proses pemecahan masalh yang dilakukan
tidak terarah dan subjek tidak yakin dapat memecahkan masalah dengan benar.
d. Pada tahap mengevaluasi dengan meneliti kembali penyelesaian, subjek tidak sadar
tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan untuk membantu melaksanakan evaluasi
terhadap pemecahan masalah yang dilakukan, tidak sadar tentang hal-hal yang
dipikirkan sebelum melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah
tersebut akan mengarah pada suatu tindakan tertentu, dan telah dapat diperoleh sesuatu
yang bermanfaat dari data yang diketahui untuk memecahkan masalah, tidak sadar
tentang adanya hal lain yang terkait dengan evaluasi pelaksanaan pemecahan masalah,
tidak sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam melaksanakan evaluasi
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
113
terhadap pemecahan masalah, tidak sadar tentang informasi penting yang harus diingat
pada saat melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah, tidak sadar
tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam melaksanakan evaluasi
terhadap pelaksanaan pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar
perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam
melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah, tidak sadar merasa
dapat melakukan langkah pelaksanaan evaluasi terhadap pemecahan terhadap masalah
tersebut dengan cara berbeda, tidak merasa dapat menerapkan cara pelaksanaan evaluasi
terhadap pelaksanaan pemecahan masalah seperti ini pada masalah yang lain. Seperti
pada tiga tahap sebelumnya, banyaknya variasi aktivitas metakognisi yang tidak
teramati pada tahap ini besar kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan subjek
pada materi pemecahan masalah. Hal ini menyebabkan proses pemecahan masalh yang
dilakukan tidak terarah dan subjek tidak yakin dapat memecahkan masalah dengan
benar.
3. Ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi mahasiswa perempuan dan pengaruhnya
terhadap pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
a. Pada tahap memahami masalah subjek tidak sadar tentang perlunya melakukan
penyesuaian langkah dalam memahami masalah dengan cara lain yang berbeda, tidak
sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam
memahami masalah, dan tidak sadar dapat melakukan langkah pemahaman terhadap
masalah dengan cara berbeda. Hal ini mungkin terjadi subjek yakin bahwa langkah
dalam memahami masalah yang dilakukan sudah benar sehingga tidak merasa perlu
untuk melakukan penyesuaian langkah dalam memahami masalah dengan cara lain yang
berbeda, melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam
memahami masalah, dan melakukan langkah pemahaman terhadap masalah dengan cara
berbeda. Dampak dari ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi pada tahap memahami
masalah ini adalah kemungkinan terjadinya kesalahan pada tahap-tahap pemecahan
masalah berikutnya jika terjadi kesalahan pada tahap pemahaman masalah tanpa
menyadari perlunya melakukan penyesuaian langkah, melakukan penyesuaian langkah
pada saat mengalami kesulitan, dan melakukan langkah pemahaman terhadap masalah
dengan cara berbeda.
b. Pada tahap memikirkan rencana tindakan, subjek tidak sadar tentang lama waktu yang
dipergunakan dalam menencanakan pemecahan. Hal ini mungkin disebabkan subjek
masih ragu tentang kemampuannya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Subjek juga
tidak sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam merencanakan
pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar perlunya melakukan
penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah, dan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
114
tidak sadar merasa telah melakukan langkah perencanaan pemecahan terhadap masalah
tersebut dengan cara berbeda. melakukan penyesuaian langkah dalam memikirkan
rencana tindakan dengan cara lain yang berbeda, melakukan penyesuaian langkah pada
saat mengalami kesulitan dalam memikirkan rencana Ketidakterlaksanaan aktivitas
metakognisi ini terjadi seperti saat subjek memahami masalah. Hal ini mungkin terjadi
subjek yakin bahwa langkah yang dipikirkan sudah benar sehingga tidak merasa perlu
untuk melakukan langkah memikirkan rencana tindakan terhadap masalah dengan cara
berbeda. Pada tahap ini subjek tidak merasa dapat menerapkan cara perencanaan
pemecahan masalah seperti ini pada masalah yang lain dan tidak sadar perlunya kembali
pada tahap awal dalam merencanakan pemecahan masalah. Hal ini mungkin disebabkan
merasa tidak yakin akan kebenaran langkah yang dipikirkan. Dampak dari
ketidakterlaksanaan pada tahap memikirkan masalah di atas adalah adanya
kemungkinan terjadinya kesalahan pada tahap-tahap pemecahan masalah berikutnya
jika terjadi kesalahan pada tahap pemahaman masalah tanpa menyadari perlunya
melakukan penyesuaian langkah, melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami
kesulitan, dan melakukan langkah pemahaman terhadap masalah dengan cara berbeda,
serta kembali pada tahap awal dalam merencanakan pemecahan saat memikirkan
rencana tindakan.
c. Pada tahap melaksanakan rencana tindakan, subjek tidak sadar tentang lama waktu yang
dipergunakan dalam melaksanakan pemecahan masalah. Hal ini mungkin disebabkan
subjek masih ragu tentang kemampuannya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Subjek juga tidak sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam
melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar
perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam
melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan tidak sadar merasa telah melakukan
langkah pelaksanaan rencana pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara
berbeda. Ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi ini terjadi seperti saat subjek
memahami masalah dan memikirkan rencana tidakan. Hal ini mungkin terjadi subjek
yakin bahwa langkah yang dipikirkan sudah benar sehingga tidak merasa perlu untuk
melakukan penyesuaian langkah dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah
dengan cara lain yang berbeda, melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami
kesulitan dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan melakukan langkah
pelaksanaan rencana pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara berbeda.
Dampak dari ketidakterlaksanaan aktivitas metakognisi ini, pada hakekatnya tidak
mempengaruhi proses pemecahan masalah asalkan langkah pemecahan masalahnya
sudah benar, namun jika ada kesalahan proses pemecahan masalah akan berakibat pada
hasil pemecahan masalahnya.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
115
d. Pada tahap mengevaluasi dengan meneliti kembali penyelesaian, subjek tidak sadar
tentang adanya hal lain yang terkait dengan evaluasi pelaksanaan pemecahan masalah.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan subjek tentang apa saja yang
terkait dengan evaluasi. Namun ketidaksadaran tentang hal ini tampak tidak
mempengaruhi proses evaluasi yang dilakukan. Ketidakterlaksanaan aktivitas
metakognisi yang lain pada tahap melaksanakan evaluasi, yaitu subjek tidak sadar
tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam melaksanakan evaluasi
terhadap pelaksanaan pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda, tidak sadar
perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam
melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah, tidak merasa dapat
melakukan langkah pelaksanaan evaluasi terhadap pemecahan terhadap masalah
tersebut dengan cara berbeda. Ketidakterlaksanaan ini sama dengan yang terjadi pada
tahap melaksanakan rencana tindakan, demikian juga kemungkinan sebab dan
dampaknya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada setiap tahap pemecahan masalah
Polya, keterlaksanaan metakognisi mahasiswa berkemampuan matematika rendah, baik laki-laki
maupun perempuan berada pada tingkat yang rendah, dan memiliki variasi aktivitas
metakognisi yang sama. Namun terdapat perbedaan dalam menyelesaikan masalah. Mahasiswa
perempuan lebih banyak melakukan upaya penyelesaian masalah dibandingkan mahasiswa laki-
laki. Mahasiswa perempuan tampak berusaha mengekploitasi kemampuannya agar dapat
menyelesaikan masalah tidak peduli dengan kesadarannya akan kebenaran langkah
pemecahannya. Mahasiswa laki-laki tampak segera menyerah jika mengalami kesulitan dan
tidak punya kesadaran untuk menopang langkah penyelesaian masalah lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Bartle, Robert G and D.R. Sherbet, 1994. Introduction to real analysis, second edition, John
Willey & sons, New York
De Corte, E., 2003, Intervention Research: A Tool for Bridging the Theory Practice Gap in
Mathematics Education, Proceedings of the International Conference, The
Mathematics Education into the 21st Century Project, Brno Czech Republic.
Flavell, J. H., 1979, Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive
Developmental Inquiry, in Nelson, T. O. (Ed), 1992, Metacognition, Allyn and
Bacon, Boston.
Gama, C. A., 2004, Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment,
D. Phil Dissertation, University of Sussex
Julan Hernadi, 2008, Metode Pembuktian dalam Matematika, UAD, Yogyakarta
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
116
Livingstone, J. A., 1997, Metacognition: An Overview, http://www.gse.buffalo.edu/fos/shuel/
cep564/metacog.html
Nelson, T. O., 1992, Metacognition; Core Readings, Allyn and Bacon, Boston.
NCREL, (1995), Metacognition - Thinking about thinking - Learning to learn
http://members.iinet.net.au/metacognition.htm
Panaoura, A., and Philippou, G., 2004, Young Pupils Metacognitive Abilities in Mathematics in
Relation to Working Memory and Processing Efficiency, www.ucy.ac.cy, Download
tanggal 12 November 2007
Panaoura, A., and Philippou, G., 2005, The Measurement of Young Pupils Metacognitive
Ability in Mathematics: The Case of Self-Representation and Self-Evaluation,
www.ucy.ac.cy, Download tanggal 12 November 2007.
Polya, G., 1973, How To Solve It, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New
Jersey.
Schoenfeld, A. H., 1980, Heuristic in the Class Room, dalam Krulik S., dan Reys, R. E. (Ed),
Problem Solving in School Mathematics, NCTM, Virginia.
Soedjadi, R., 2000, Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.


Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
117
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG BERBASIS
PETA KONSEP (DALAM TINJAUAN LANGKAH R & D THIAGARAJAN)

Henny Ekana Chrisnawati, dkk
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran matematika
dengan berupa modul yang menerapkan peta konsep. Sejalan dengan penelitian tersebut,
maka penelitian ini merupakan suatu penelitian pengembangan dengan prosedur
pengembangan perangkat yang digunakan adalah prosedur 4D yang dikembangkan oleh
Thiagarajan, yang meliputi tahap-tahap Define (Pendefinisian), Design (Perencanaan),
Develop (Pengembangan), dan Disseminate (Pendesiminasian)
Subyek penelitian pengembangan tersebut adalah siswa SMK Warga Surakarta kelas
XH. Dan metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket respon siswa terhadap
perangkat pembelajaran ( modul persamaan dan pertidaksamaan linear maupun kuadrat).
Hasil dari penelitian ini adalah (1) telah dikembangkan perangkat pembelajaran berupa
modul dengan menerapkan tahapan pengembangan perangkat pembelajaran 4D Thiagarajan
(2) dari hasil validasi isi, draft bahan ajar tersebut layak digunakan dengan revisi (3) hasil
angket respon siswa tentang tentang komponen mengajar ( dalam hal ini adalah diberikannya
bahan ajar berupa modul ), 90.7% siswa menyatakan senang (4) Pendapat siswa tentang
keterbacaan lembar kegiatan/ modul (bahasanya) 74.4 % siswa menyatakan mudah dimengerti
(5) hasil angket respon siswa tentang kejelasan urutan kerjanya 76.7 % siswa menyatakan
jelas, dan (6) dari segi variasi contoh soal dan tingkat kesulitannyanya 60.4 % siswa
menyatakan baik.

Kata Kunci: Peta Konsep, pengembangan perangkat pembelajaran, Thiagarajan

PENDAHULUAN
Belajar matematika pada dasarnya merupakan proses yang diarahkan pada suatu tujuan,
yakni kemampuan seseorang dalam memfungsionalkan materi matematika secara praktis
maupun secara konseptual. Secara konseptual artinya dapat mempelajari matematika lebih
lanjut, sedangkan secara praktis artinya mampu menerapkan matematika pada bidang-bidang
lain. Belajar matematika bukan hanya sekedar mengingat bagaimana langkah-langkah
penyelesaian suatu masalah, apa rumusnya dan masalah perhitungan/komputasinya. Namun bila
kita perhatikan bagaimana kegiatan transfer ilmu dalam pembelajaran matematika, adalah masih
didominasi oleh guru. Sebagian guru cenderung mengajarkan langkah/cara menyelesaikan suatu
masalah, prosedur yang nanti akan dicontoh oleh siswa jika menyelesaikan masalah yang
sejenis. Akibatnya siswa menjadi terbiasa dengan pertanyaan: rumus matematika yang
digunakan apa untuk menyelesaikan masalah tersebut? Siswa tidak terbiasa bertanya mengapa
cara yang digunakan demikian?
Sebagai contoh materi sistem persamaan linear dua variabel. Tujuan pembelajaran pada
materi tersebut adalah siswa dapat menentukan penyelesaian dari suatu system persamaan linear
dua variabel yang diberikan. Dari hasil wawancara dengan beberapa siswa di SMK Warga
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
118
Surakarta, kebanyakan siswa tidak mengerti apa yang dimaksud dengan penyelesaian dalam
hal tersebut, yang siswa pahami bahwa mereka harus mencari/menghitung berapa x dan y.
Siswa langsung berpikir apakah metode eliminasi ataukah subtitusi ataukah gabungan yang
nanti akan digunakan? Bagaimana langkah-langkah untuk mencari harga x dan y?
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Siswa yang benar-benar mengerti dan mampu
menerapkan pengetahuannya, harus berusaha memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya,
mencari sesuatu untuk dirinya sendiri dan bergelut dengan ide-idenya. Menurut Herman
Hudoyo (1988), belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan baru. Soekahar (1992) menyatakan bahwa belajar
matematika adalah belajar berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang dianut menurut
aturan yang logis. Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang belajar matematika jika pada diri
seseorang tersebut terjadi perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika, misal
terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan mampu menerapkan dalam kehidupan nyata.
Sehubungan dengan pentingnya peranan matematika, maka sudah seharusnya segala
permasalahan pada proses pembelajaran matematika ditangani dengan baik. Pendidik perlu
mempersiapkan suatu fasilitas pembelajaran yang terprogram agar peserta didik mencapai
ketuntasan belajar yang diharapkan.
Salah satu prinsip penting psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya memberi siswa
pengetahuan dengan cara penyampaian informasi kepada siswa, namun siswalah yang
seharusnya membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran
guru berperan memberikan dukungan. Kesempatan pada siswa untuk menerapkan ide-idenya
dan strategi dalam belajar. Dalam belajar yang didasarkan pada paham konstruktivis, siswa
diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalan belajar secara sadar, dan guru
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin :1994).
Dari permasalahan di atas, perlu kiranya dipikirkan fasilitas apakah yang bisa
dikembangkan untuk siswa belajar matematika. Modul merupakan salah satu sarana dalam
pembelajaran yang berupa bahan ajar yang bersifat sistematis dan didesain di dalamnya untuk
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Menurut I Wayan
Santyasa , Modul adalah suatu cara pengorganisasian materi pelajaran yang memperhatikan
fungsi pendidikan. Strategi pengorganisasian materi pembelajaran mengandung squencing yang
mengacu pada pembuatan urutan penyajian materi pelajaran, dan synthesizing yang mengacu
pada upaya untuk menunjukkan kepada pebelajar keterkaitan antara fakta, konsep, prosedur dan
prinsip yang terkandung dalam materi. Sedangkan pengertian modul berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia online (pusatbahasa.diknas.go.id) adalah komponen dari suatu sistem yang
berdiri sendiri, tetapi menunjang program dari sistem itu; unit kecil dari satu pelajaran yang
dapat beroperasi sendiri; kegiatan program belajar-mengajar yang dapat dipelajari oleh murid
dengan bantuan yang minimal dari guru pembimbing, meliputi perencanaan tujuan yang akan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
119
dicapai secara jelas, penyediaan materipelajaran, alat yang dibutuhkan, serta alat untuk penilai,
mengukur keberhasilanmurid dalam penyelesaian pelajaran.
Dari teori di atas, modul yang disusun secara sistematis, ternyata menjadi sarana
pembelajaran yang bersifat individual, dimana siswa dapat belajar dengan menggunakan modul
secara mandiri sesuai dengan kecepatan masing-masing. Dan modul menjadi media
pembelajaran yang efektif untuk menyampaikan informasi dari guru ke siswa.
Untuk itu, penulis ingin mengembangkan perangkat pembelajaran yang berupa modul
pada materi persamaan/pertidaksamaan linear maupun kuadrat yang berbasis pada peta konsep
dengan menerapkan langkah pengembangan model dan perangkat pembelajaran 4D dari
Thiagarajan dalam tinjauan validitas isi.
Peta konsep atau peta pembelajaran adalah cara dinamik untuk menangkap butir-butir
pokok informasi. Novak, J.D & Grown D.B (1984) dalam Ratna Wilis Dahar (1989)
memberikan gambaran peta konsep seperti peta jalan. Konsep digambarkan sebagai nama
tempat sedang hubungan digambarkan sebagai jalan, maksudnya adalah hubungan di antara
konsep seperti rute perjalanan antar tempat. Lebih lanjut Novak, J.D & Grown D.B (dalam
Ratna Wilis Dahar (1989) juga menggunakan kiasan untuk peta konsep seperti seberkas jaring.
Dari dua kiasan di atas, dapat disimpulkan pemetaan konsep adalah cara penyajian konsep
dalam bentuk kaitan atau hubungan antar konsep sehingga seseorang dapat melihat keterpaduan
antar konsep tersebut.
Ratna Wilis Dahar (1989) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut : (1)
Penyajian peta konsep adalah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-
proposisi dalam suatu topik pada bidang studi. (2) Peta konsep merupakan gambar yang
menunjukkan hubungan konsep-konsep dari suatu topik pada bidang studi (3) Bila dua konsep
atau lebih digambarkan dibawah suatu konsep lainnya, maka terbentuklah suatu hirarki pada
peta konsep itu. Dengan membuat peta konsep pembelajaran menjadi lebih bermakna, karena
siswa telah mampu membuat kaitan dari konsep baru ataupun konsep yang telah dimilikinya
secara terstruktur.
Untuk uji coba perangkat pada tahap pengembangan dilaksanakan di SMK Warga
Surakarta, dengan pertimbangan sebagian siswa SMK memiliki sikap yang kurang positif
terhadap mata pelajaran matematika. Anggapan bahwa matematika tidak digunakan dalam
dunia kerja mereka kelak membuat minat belajar siswa akan matematika kurang. Sebagai
pertimbangan penelitian Hobri (2002), bahwa bahwa hampir tiap pembelajaran matematika
diberikan, rata-rata 15% siswa SMK Se-kotatif Jember tidak mengikuti pembelajaran. Hal
inilah yang menjadi pertimbangan penulis, bahwa perlu kiranya guru menciptakan suasana
belajar didukung dengan sarana/media belajar yang membuat siswa mampu belajar dengan baik
dan menyenangkan. Untuk itu salah satu alternatif yang dapat direncanakan oleh guru adalah
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
120
adanya sarana belajar yang dapat dimanfaatkan oleh siswa secara mandiri karena kecepatan
siswa dalam memahami suatu konsep berbeda antar masing-masing individu.
Rumusan Permasalahan
Bagaimana bentuk dan format pengembangan perangkat pembelajaran yang berupa modul
pada materi persamaan/pertidaksamaan linear maupun kuadrat yang berbasis pada peta konsep
dengan menerapkan langkah pengembangan model dan perangkat pembelajaran 4D dari
Thiagarajan dalam tinjauan validitas isi.

PEMBAHASAN
Adalah menjadi tugas seorang pendidik untuk menciptakan suasana mengajar, suatu
sistem pembelajaran yang mampu membuat siswa termotivasi hingga tercapai tujuan
pembelajaran. Guru dituntut untuk kreatif membangun suatu sistem pembelajaran termasuk
memfasilitasi siswa untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar. Sistem pembelajaran
terdiri atas input, proses dan output. Tahap penelitian pengembangan dari suatu sistem
pembelajaran dapat dianalisis dari tugas pokok seorang guru yaitu mulai dari merancang
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran dan melakukan evaluasi pembelajaran.
Dalam makalah ini, bagian input dari sistem pembelajaran yang akan dilakukan analisis adalah
sarana prasarana dan perangkat pendukung pembelajaran yang berupa modul. Komponen input
pembelajaran (menurut Endang Mulyatingingsih (2012) terdiri dari karakterisitik peserta didik,
karakteristik guru, dan sarana prasarana dan perangkat pendukung pembelajaran.
Rincian prosedur pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian 4D
menurut Thiagarajan (1974) terdiri atas 4D ( define, design, development dan dissemination).
Menurut Endang Mulyatingingsih (2012) , dalam perkembangannya lebih lanjut penelitian dan
pengembangan model 4D juga sering digunakan dalam penelitian dan pengembangan bahan ajar
seperti modul, LKS dan buku ajar. Tahapan 4D Thiagarajan dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil pengembangan perangkat pembelajaran yang berupa modul dari materi persamaan/
pertidaksamaan linear dan kuadrat yang menerapkan peta konsep adalah sebagai berikut :
1. Tahap Define
Thiagarajan membagi tahap design dalam 5 kegiatan, yaitu: front and end analysis, learner
analysis, task analysis, task analysis, concept analysis dan specifying instructional objectives.
Menurut Endang Mulyatingingsih (2012), dalam konteks pengembangan bahan ajar (dalam
hal ini modul), tahap pendefinisian dilakukan dengan cara:
(a) Analisis Kurikulum
Analisis kurikulum digunakan untuk menetapkan pada kompetensi yang mana bahan ajar
tersebut akan dikembangkan. Dari hasil analisis kurikulum berdasar Permen 22 2006 tercantum
bahwa salah satu standar kompetensi siswa SMK pada mata pelajaran matematika adalah
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
121
Front-end analysis
Learner analysis
Task analysis
Concept analysis
Specification of objectives
Specification of
objectives
Creterion test
construction
Media
Selection
Format
Selection
Initial design
Creterion test
construction
Initial
design
Expert approsial
Developmental
testing
memecahkan masalah berkaitan sistem persamaan dan pertidaksamaan linier dan kuadrat, maka
penulis mengembangkan modul dari standar kompetensi tersebut.

Tahap Definisi Tahap Design





Tahap Develop







Gambar 1. Diagram alir tahapan 4D Thiagarajan.

(b) Analisis karakteristik peserta didik
Analisis ini digunakan untuk menelaah tentang karakteristik siswa yang sesuai dengan
rancangan dan pengembangan pembelajaran. Siswa SMK pada usianya, berdasar
perkembangan kognitif menurut Piaget anak usia 11 tahun keatas berada pada tingkat
perkembangan intelektual operasi formal. Pada periode ini anak mampu menggunakan
operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks.
Sedangkan menurut Flavell (dalam Ratna Wilis Dahar, 1988) anak pada periode
operasional formal telah mampu berpikir adolesensi yaitu hipotesis-deduktif, mampu
berpikir proposisional, dan mampu berpikir kombinatorial, yaitu berpikir meliputi semua
kombinasi benda-benda, gagasan-gagasan, atau proposisi-proposisi yang mungkin. Latar
belakang pengetahuan siswa saat menempuh bangku SMP adalah siswa sudah pernah
mendapat materi-materi penunjang yang diperlukan untuk mempelajari materi tersebut,
seperti operasi bilangan bulat maupun bilangan real, operasi aljabar. Materi
persamaan/pertidaksamaan linear maupun kuadrat, bukanlah materi yang baru untuk siswa,
karena di bangku SMP, siswa juga sudah mendapatkan materi tersebut. Namun menjadi
sangat penting jika siswa tidak mengetahui keterkaitan dari dan antar konsep matematika,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
122
atau beranggapan matematika SMP dan SMK terpisah. Hal tersebut menjadikan
matematika tidak bermakna untuk siswa.
Berdasar hal tersebut maka modul pembelajaran yang akan digunakan disetting dengan
menerapkan peta konsep.
(c) Analisis materi
Pada tahapan ini, menurut Endang Mulyatiningsih, analisis materi dilakukan dengan
mengidentifikasi materi utama yang perlu diajarkan, mengumpulkan dan memilih materi
yang relevan dan menyusunnya kembali secara sistematis.
Adapun pemetaan materi yang telah disusun oleh penulis adalah :
Mata Pelajaran : Matematika
Materi : 1. Persamaan Linier Satu Variabel
1. Pertidaksamaan Linier Satu variabel
2. Sistem Persamaan Linier Dua Variabel
3. Persamaan Kuadrat
4. Pertidaksamaan Kuadrat
Prasyarat : Operasi hitung aljabar, sistem bilangan real






















Permasalahan yang berkaitan dengan sistem persamaan dan pertidaksamaan linier dan
kuadrat


Persamaan dan pertidaksamaan
Linier Satu Variabel
Permasalahan Persamaan Linier
Dan Pertidaksamaan linier
Permasalahan Persamaan dan
pertidaksamaan kuadrat
Penyelesaian SPLDV
dengan Metode
subtitusi
Persamaan Kuadrat
Pertidaksamaan
Kuadrat
Persamaan Linier Dua
Variabel
Penyelesaian SPLDV
dengan metode
eliminasi
Penyelesaian SPLDV
dengan Metode
Campuran
Menyusun PK baru,
jika diketahui akar-
akarnya
Penyelesaian PK
dengan rumus abc
Penyelesaian PK dengan
kuadrat sempurna
Penyelesaian PK
dengan faktorisasi
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
123
(d) Merumuskan tujuan
Adapun tujuan pembelajaran dan kompetensi yang akan diajarkan kepada siswa adalah
sebagai berikut :
Tujuan Umum:
Siswa mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan dan
pertidaksamaan linier dan kuadrat
Tujuan Khusus:
1) Siswa mampu menentukan himpunan penyelesaian persamaan dan
pertidaksamaan linier satu variabel
2) Siswa mampu menyelesaikan sistem persamaan linier 2 variabel
3) Siswa mampu menentukan menentukan himpunan penyelesaian persamaan dan
pertidaksamaan kuadrat
4) Siswa mampu menerapkan persamaan kuadrat dalam pemecahan masalah

2. Tahap Design
Thiagarajan membagi tahap design dalam 4 kegiatan, yaitu: constructing criterion
referenced test, media selection, format selection, initial design.
Dalam konteks pengembangan modul, pada tahap ini penulis telah membuat prototype(
rancangan produk awal )/ draft 1 dari bahan ajar yang sesuai dengan dengan kerangka isi hasil
analisis kurikulum dan materi yang disesuaikan dengan penggunaan peta konsep dalam kegiatan
pembelajaran siswa.
Sebelum produk draft 1yang berupa modul tersebut dilanjutkan ke tahap selanjutnya,
maka draft 1 tersebut divalidasi oleh 4 validator. Validasi yang digunakan adalah validasi isi,
yakni dengan cara membuat tabel spesifikasi indikator yang memasangkan setiap aspek dalam
tujuan pembelajarannya. Kemudian hasil penilaian dari ahli berupa masukan-masukan dijadikan
sebuah acuan dalam merevisi sehingga pada akhirnya diperoleh instrumen yang valid.
Ketiga validator yang memvalidasi produk bahan ajar tersebut adalah dosen di Prodi
Pendidikan Matematika, FKIP, UNS dan seorang guru matematika dari SMK Warga Surakarta.
Berdasarkan hasil validasi, draft 1 modul masih perlu direvisi. Beberapa masukan dari validator
adalah:
Perlunya kejelasan gambar yang sesuai dengan keadaan nyata/ sesuai konsep.
Perlunya kejelasan/ penguatan dalam langkah-langkah penyelesaian siswa sehingga
penerapan peta konsep pada modul siswa tampak.
Revisi dari segi bahasa dan tata tulis



Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
124
3. Tahap Development
Thiagarajan membagi tahap ini dalam dua kegiatan, yakni expert appraisal dan
developmental testing. Menurut Endang Mulyatiningsih (2012), dalam konteks pengembangan
bahan ajar, tahap pengembangan dilakukan dengan cara menguji isi dan keterbacaan
modul/buku ajar tersebut kepada pakar yang terlibat pada saat validasi rancangan dan peserta
didik yang akan menggunakan bahan ajar tersebut. Hasil pengujian ini kemudian akan
dilakukan revisi sebagai draft II.
Dari hasil uji coba terbatas pada siswa kelas XH SMK Warga Surakarta, yang terdiri atas
43 siswa, diperoleh hasil analisis angket respon tentang modul sebagai berikut :
1. Pendapat siswa tentang komponen mengajar ( dalam hal ini adalah diberikannya bahan ajar
berupa modul ), 90.7% siswa menyatakan senang.
2. Pendapat siswa tentang keterbacaan lembar kegiatan/ modul (bahasanya), kejelasan urutan
kerjanya, dan variasi soalnya.
Keterangan Ya (%) Tidak (%)
Apa Komentar Anda terhadap lembar kerja yang
Anda gunakan
- Apakah bahasanya mudah dimengerti?
- Apakah Urutan Kerjanya jelas?



- Bagaimana variasi dan tingkat kesulitannya


74.4
76.7




25.6
23.3
Baik (%) Kurang
Baik (%)
60.4 39.6

Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa respon siswa dengan diberikannya
dan digunakannya modul materi persamaan/pertidaksamaan linear dan kuadrat sangat baik.
Hampir semua siswa menyatakan kesenangannya. Dari segi bahasa dan urutan kerjanya siswa
juga memberikan respon yang baik. Sementara pada variasi contoh dan tingkat kesulitannya 60
% siswa menyatakan baik. Namun beberapa siswa menyarankan diberikan lebih banyak variasi
contoh langkah penyelesaian masalah.

SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil analisis penelitian dan pengembangan dengan menerapkan langkah-langkah 4D
(define, design, development dan dissemination) Thiagarajan, dapat disimpulkan bahwa
rancangan perangkat pembelajaran berupa produk modul persamaan dan pertidaksamaan linear
maupun kuadrat yang berupa draft II dapat digunakan untuk tahap berikutnya
Mengajar adalah tugas utama seorang guru. Dalam mengajar guru berperan sebagai
fasilitator yang memfasilitasi peserta didiknya untuk memperoleh pengalaman mengajar dan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
125
membantu siswanya mencapai tujuan belajarnya dengan baik. Untuk itu perlu kiranya guru
merancang suatu sistem pembelajaran yang memperhatikan input, proses dan output. Bahan ajar
yang berupa modul sebagai sarana /media siswa untuk belajar mandiri, serta karakteristik siswa
haruslah menjadi pertimbangan guru dalam mengembangkan suatu sistem pembelajaran.
Membuat matematika menjadi bermakna juga menjadi tugas seorang guru. Peta konsep, dengan
membuat hubungan konsep/materi yang satu dengan yang lain, membuat siswa mampu
mengkaitkan antar konsep sehingga kebermaknaan dalam belajar matematika tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Suarman Situmorang 2005. Pembelajaran Matematika Realistik di Kelas VIII [ Topik
Persamaan Garis Lurus] [ on line]. Diambil dari
https://sites.google.com/site/adisuarman tanggal 20 Oktober 2012
Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mcraw-Hill.
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.
Eggen, P.D. dan Kauchak, D.P. 1997. Strategies For Teacher Teaching Content And Thingking
Skills. Boston: Allyn & Bacon.
Endang Mulyatiningsih. 2011. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Yogyakarta:
Alfabeta, CV
Grinnel , RM. 1988. Social Work Research and Evaluation. Canada : FE Peacock Publisher,Inc
Gronlund. 1982. Constructing Achievement Test. Englewood Cliffs : Prentice Hall
Herman Hudoyo. 1988. Belajar Mengajar Matematika. P2LPTK. Dirjen Dikti. Jakarta
Hobri. 2002. Efektifitas Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda di SMK Se-Kotatit Jember.
Jember: FKIP Universitas Jember
Joyce. B and Weil. M. 1992. Models of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.
Kartika Budi.1990. Peta dan Pemetaan Konsep Serta Peranannya dalam Kegiatan Belajar IPA (
Sains). Yogyakarta : Widya Darma
Linn, R.L. (Ed.) (1989). Educational measurement. (3rd ed.). New York: Macmillan
Publishing Company.
Mudhofir. 1987. Teknologi Instruksional. Bandung : Remaja Rosdakarya
Mohamad Nur, Prima Retno Wikandari dan Bambang Sugiarto. 1999. Teori Belajar. Surabaya:
University Press.
Nur, Muhammad. 1998. Teori Pembelajaran Sosial. IKIP Surabaya
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Rita Nurhayati. 2003. Efektivitas Pembelajaran Interaktif Dalam Pembelajaran Matematika
Pada Pokok bahasan Persamaan Kuadrat Di Kelas 1 SMU
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
126
Slavin . 1994. Cooperative Learning, Theory and Practice 4
th
edition. Allyn and Bacon
Publishers
Soekahar. 1992. Dasar- Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yogyakarta. BPFE
Soekamto, T, Winataputra dan Saripudin, U. 1996. Teori Belajar dan Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan Aktifitas
Instruksional Dirjen Dikti Diknas.
Sudiyatno. (2010). Pengembangan Model Penilaian Komprehensif Unjuk Kerja Siswa Pada
Pembelajaran Berbasis Kompetensi di SMK Teknologi Industri. Diambil 19 Oktober
2012 dari staff.uny.ac.id/sites/default/files/1311873958/disertasi/pdf
Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka
Cipta
Thiagarajan, S & Semmel, D. S & Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Training
Teacher of Expentional Children. Bloomington: Indiana University.
Trianto. 2007. Model-model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher








Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
127
PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN BAHAN AJAR
MATA PELAJARAN MATEMATIKA SMA
UNTUK SISWA CERDAS ISTIMEWA
DI KELAS AKSELERASI

Mardiyana, Riyadi, Imam Sujadi, Yanuar dan Candra
Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
E-mail: mardiyana@lycos.com dan HP.081578731438

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) merumuskan kebutuhan kurikulum dan bahan ajar
mata pelajaran matematika SMA kelas akselerasi bagi peserta didik cerdas istimewa, (2)
mengembangkan model kurikulum dan bahan ajar mata pelajaran matematika SMA kelas
akselerasi.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan Research and Development
dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar mata pelajaran matematika SMA kelas
akselerasi. Teknik Pengumpulan data adalah wawancara dan analisis dokumen.
Dari hasil analisis kebutuhan pada penelitian tahap pertama secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa perlu dikembangkan kurikulum dan bahan ajar mata pelajaran matematika
SMA untuk kelas akselerasi yang disesuaikan dengan karakteristik anak cerdas istimewa.
Prototipe model kurikulum yang dikembangkan berdasarkan analisis kebutuhan dan teori-teori
pendukung yang meliputi 7 tahap yaitu: (1) Analisis SK-KD Matematika SMP & SMA untuk
menetukan SK-KD yang mampatkan, (2) Mengidentifikasi SK-KD Matematika berdasarkan
taksonomi Bloom, (3) Mengeskalasi SK-KD Matematika, (4) Menentukan SK-KD Essensial,
(5) Memetakan SK-KD, (6) Mengorganisasikan SK-KD ke dalam struktur satu catur wulan, (7)
Menentukan Alokasi waktu dalam catur wulan. Selain 7 tahap di atas ada empat konsep dasar
yang digunakan dalam memodifikasi kurikulum Matematika untuk siswa cerdas istimewa yaitu
modifikasi (1) konten, (2) proses, (3) produk, (4) lingkungan belajar.

Kata kunci: pengembangan kurikulum matematika berdiferensiasi, cerdas istimewa,
akselerasi.


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih
banyak bersifat klasikal massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani
sebanyak-banyanya jumlah siswa. Kelemahan yang tampak dari penyelenggaraan pendidikan
seperti ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan individual siswa diluar kelompok siswa
normal. Padahal hakikat pendidikan yang sebenarnya adalah untuk memungkinkan siswa
mengembangkan potensi kecerdasan dan bakatnya lebih optimal. Siswa dengan kemampuan dan
kecerdasan luar biasa cenderung lebih cepat memahami pelajaran sehingga terkadang merasa
bosan, oleh karena itu diperlukan layanan atau program khusus.
Salah satu realisasi pendidikan, sebagai amanat konstitusi adalah layanan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Program percepatan belajar (PPB) atau akselerasi
sebagai salah satu pilihan program layanan khusus pendidikan nasional. Program akselerasi
memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan waktu belajar dari enam tahun
menjadi lima tahun pada jenjang SD dan tiga tahun menjadi dua tahun pada jenjang SMP dan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
128
SMA. Tujuan umum program akselerasi ini adalah memberikan layanan kebutuhan siswa yang
memiliki karakteristik khusus pada segi potensi intelektual dan bakat istimewa agar terlayani
sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Program akselerasi memiliki muatan positif pada pendidikan secara umum. Karena
menawarkan suatu diferensiasi model pendidikan dengan menempatkan anak didik sesuai
kemampuannya. Tujuan operasional program akselerasi adalah memaksimalkan potensi siswa
yang potensial agar terlayani dengan baik dan tidak mengalami underachievement. Untuk
melayani siswa yang cerdas istimewa agar tidak tejadi underachievement diperlukan sebuah
konsep kurikulum yang baik dan benar-benar akan mengakomodasi semua potensi siswa.
Pentingnya kurikulum dalam pengoptimalisasian potensi siswa cerdas istimewa dapat
disikapi dengan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
kecerdasan siswa. Maka dari itu untuk mengembangkan kurikulum mata pelajaran matematika
bagi siswa cerdas istimewa diperlukan kajian yang mendalam tentang karakteristik siswa cerdas
istimewa itu sendiri. Ha ini dilakukan agar kurikulum yang dirancang benar-benar dapat
mengakomodir potensi matematika siswa. Menurut Sandra L, Berger dalam Van Tassel Baska
(1988) An effective curriculum for students who are gifted is essentially a basic curriculum
that has been modified to meet their needs, the unique characteristic of the students must serve
as the basis for decisions on how the curriculum shaoul be modified. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Jason Matthew Lai (2007: 30) yang menyatakan bahwa the mathematics curriculum in
the gifted Education Programme is differentiated in content, process, product and learning
environtment.Dari dua pendapat ini menjelaskan bahwa kurikulum yang efektif bagi siswa
cerdas istimewa adalah kurikulum yang di modifikasi isi, proses, produk dan lingkungan
belajarnya.
Matematika sangat penting bagi siswa cerdas dan berbakat istimewa dalam abad
otomatisasi dan teknologi ini. Banyak kompetensi matematika yang dibutuhkan dalam dunia
kerja ataupun industri saat ini seperti kompetensi daya nalar, berpikir kreatif, pemecahan
masalah, berlogika atau kompetensi-kompetensi matematika lain yang sudah di aplikasikan
dalam dunia komputer. Siswa cerdas istimewa dengan bakat dan potensi yang di atas rata-rata
siswa dengan kecerdasan rata-rata diharapkan mampu mengembangkan semua kompetensi
matematikanya untuk selanjutnya dapat mengaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu.
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa program layanan khusus untuk siswa cerdas
istimewa sudah seharusnya dimaksimalkan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Keadaan
ideal yang diharapkan dari siswa cerdas istimewa untuk mengoptimalisasi semua potensi yang
ada pada siswa benar-benar terealisasi. Dalam pembelajaran matematika siswa cerdas istimewa
juga harus mendapatkan perhatian khusus agar potensi yang dimiliki oleh siswa dapat
tereksplorasi dan menjadi pondasi yang kuat untuk mempelajari matematika pada tingkat lanjut.
Agar semua kompetensi matematika dan aplikasinya dalam kehidupan nyata dapat dikuasai
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
129
oleh siswa cerdas istimewa maka diperlukan sebuah desain kurikulum yang dapat meng-cover
semua kebutuhan siswa cerdas istimewa dalam belajar matematika.
Pelaksanaan penelitian ini dimotivasi oleh beberapa masalah yang berkaitan dengan
kondisi kurikulum mata pelajaran matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk siswa
cerdas istimewa yang sudah ada. Pertama, penelitian tentang penyusunan kurikulum
berdiferensiasi mata pelajaran matematika SMA untuk siswa cerdas istimewa masih sangat
terbatas. Selama ini telah ada kurikulum mata pelajaran matematika SMA untuk siswa cerdas
istimewa tetapi belum mengacu pada panduan penyelenggaran pendidikan untuk siswa cerdas
istimewa, kurikulum yang sudah ada terlalu menitik beratkan pada beban belajar siswa cerdas
istimewa yang terlalu banyak sehingga banyak siswa cerdas istimewa yang mengalami
underachievement. Hasil nyata penelitian ini adalah tersusunnya model kurikulum mata
pelajaran matematika SMA pada kelas akselerasi yang secara efektif akan digunakan untuk
mengembangkan potensi siswa cerdas istimewa dalam mempelajari matematika di sekolah.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian ini dirinci sebagai
berikut:
1. Bagaimana profil kebutuhan kurikulum dan bahan ajar mata pelajaran matematika SMA
pada kelas akselerasi?
2. Bagaimana rancangan model kurikulum dan bahan ajar mata pelajaran matematika SMA
untuk kelas akselerasi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Merumuskan profil kebutuhan kurikulum dan mata pelajaran mata pelajaran matematika
SMA kelas akselerasi bagi siswa cerdas istimewa.
2. Mengembangkan model kurikulum mata pelajaran matematika SMA kelas akselerasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Guru
Hasil pengembangan model kurikulum mata pelajaran matematika ini dapat digunakan
guru sebagai rambu-rambu atau pedoman dalam membelajarkan matematika kepada siswa
cerdas istimewa.
2. Bagi Siswa
Siswa cerdas istimewa yang berada pada kelas akselerasi dapat belajar matematika sesuai
potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Mendapatkan penangan dan porsi khusus dari
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
130
guru dalam belajar matematika sesuai dengan hasil pengembangan kurikulum mata pelajaran
matematika yang telah dikembangkan.
3. Bagi LPTK
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai contoh kajian pengembangan model
kurikulum mata pelajaran matematika di LPTK pada jurusan atau program studi pendidikan
matematika. Hasil penelitian ini sangat relevan dengan beberapa mata kuliah yang ada dalam
kurikulum seperti Kajian Kurikulum dan Pengembangan Kurikulum dan bahan Ajar
(Curriculum and Materials Development.)
4. Bagi Stakeholder Pendidikan.
Hasil pengembangan kurikulum matematika SMA pada kelas akselerasi untuk siswa
cerdas istimewa ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan stake holder dalam
mengambil suatu kebijakan, terutama yang berhubungan dengan pengembangan kurikulum.
5. Bagi Peneliti lain.
Dapat digunakan sebagai rujukan untuk melakukan penelitian yang sejenis dan dapat
memperkaya khasanah keilmuan yang terkait dengan pengembangan kurikulum matematika
SMA untuk siswa cerdas istimewa.

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Surakarta dan SMAN 3 Surakarta serta di
Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UNS.
Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuan utama penelitian ini maka penelitian pengembangan kurikulum
matematika SMA untuk siswa cerdas istimewa ini termasuk ke dalam jenis penelitian
Educational research and development atau biasa disingkat (R & D). Borg dan Gall (1983) dan
Gall, dkk. (2003) mendefinisikan Educational research and development sebagai, a process
used to develop and validate educational products ... that are ready for operational use in the
schools (Borg dan Gall, 1983:772), yaitu suatu model penelitian untuk mengembangkan dan
mengecek berbagai produk yang siap pakai di sekolah. Menurur Gay, Mills, dan Airasian (2009:
18) dalam bidang pendidikan tujuan utama penelitian dan pengembangan bukan untuk
merumuskan atau menguji teori, tetapi untuk mengembangkan produk-produk yang efektif
untuk digunakan di sekolah-sekolah.
Prosedur Penelitian
Gall, et al. (2003: 569) menyebutkan tujuan R & D sebagai to design new products
and procedures, which then are systematically field tested, evaluated and refined until they meet
specified criteria of effectiveness, quality, or similar standard Rumusan tujuan tersebut juga
menyiratkan prosedur penelitian yang meliputi perancangan (design), pengujian lapangan (field-
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
131
tested) dan penyempurnaan (evaluated and refined) sehingga produk yang dihasilkan memenuhi
kriteria efektifitas, kualitas atau standar tertentu. Borg dan Gall (1983: 771) menawarkan
prosedur serupa a cycle in which a version of the product is developed, fieldtested, and
revised on the basis of field-tested data, yaitu suatu siklus yang meliputi pengembangan suatu
jenis produk, uji coba produk tersebut di lapangan, dan kemudian perbaikan produk berdasarkan
hasil uji coba lapangan. Prosedur baku yang dikembangkan Borg dan Gall (1983: 775) terdiri
dari sepuluh langkah mulai dari pengumpulan data sampai pada diseminasi produk.
Prosedur penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap eksplorasi, tahap pengembangan
dan tahap uji coba.
Data dan Sumber Data
Data tahap eksplorasi ini adalah informasi tentang ihwal kurikulum mata pelajaran
Matematika yang digunakan untuk siswa akselerasi, fitur-fitur yang ada serta efektifitasnya
dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika bagi siswa cerdas istimewa. Data ini
dikumpulkan dari berbagai sumber berikut.
a) Stakeholder penyelenggaraan program akselerasi di SMA Surakarta.
b) Kegiatan belajar mengajar matematika di kelas akselerasi di SMA 1 Surakarta dan SMA 3
Surakarta.
c) Dokumen, meliputi kurikulum mata pelajaran matematika, silabi mata pelajaran matematika,
bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, program tahunan, program semesteran dan
pemetaan standar Isi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap pengembangan dilaksanakan dengan mengadaptasi prosedur penelitian tindakan
untuk menyusun dan memperbaiki kualitas kurikulum matematika di kelas akselerasi yang
sudah ada. Pemilihan ini didasarkan atas argument Will Carr (dalam McNiff, 1992: 2) tentang
tujuan action research .bringing improvement in social life as in education setting, yaitu
mengusahakan perbaikan dalam kehidupan sosial seperti dalam konteks pendidikan. Termasuk
dalam upaya ini adalah memperbaiki kualitas kurikulum matematika di kelas akselerasi. Tahap
pengembangan dilaksanakan dengan mencobakan prototipe kurikulum matematika
berdiferensiasi yang dimodifikasi berdasarkan konten, proses, produk, dan lingkungan belajar.
Untuk keperluan pengembangan, 1 unit kurikulum matematika berdiferensiasi
dikembangkan dengan menerapkan modifikasi konten, proses, produk dan lingkungan belajar
bersdasarkan hasil kajianteori dan studi pendahuluan pada tahap eksplorasi. Uji coba di kelas ini
dilakukan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan prototipe kurikulum matematika
berdiferensiasi. Temuan tahap pengembangan ini digunakan untuk penyusunan akhir dan
penyempurnaan prototipe kurikulum matematika berdiferensiasi yang menjadi tujuan R & D ini.
Tahap pengembangan ini dilaksanakan dalam empat langkah berikut:
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
132
a) Penyusunan prototipe kurikulum matematika berdiferensiasi berdasarkan modifikasi konten,
proses, produk dan lingkungan belajar.
b) Penyajian kurikulum di kelas akselerasi
c) Pencermatan hasil penyajian kurikulum matematika berdiferensiasi, dan
d) Perbaikan prototipe kurikulum berdasarkan temuan ujicoba di kelas.
Penerapan keempat langkah ini dirancang sebagai mekanisme untuk dapat mencermati
efektifitas dan memperoleh masukan pemakaian kurikulum sesuai dengan kondisisi siswa dan
guru kelas akselerasi sehingga tujuan pengembangan bakat dan potensi matematika siswa kelas
akselerasi dapat dicapai dengan efektif.
Adapun rincian pelaksanaan tiap langkah adalah sebagai berikut.
a). Penyusunan Prototipe Kurikulum
Kegiatan awal tahap pengembangan ini berupa penyusunan draf awal prototipe
kurikulum. Langkah ini dilaksanakan dengan Menentukan tujuan kurikulum untuk siswa
cerdas dan berbakat istimewa pada kelas akselerasi, Menentukan Landasan pengembangan
kurikulum pada kelas akselerasi, memetakan materi pelajaran matematika, menentukan
alokasi waktu yang ditempuh untuk tiap-tiap materi pokok, menganalisis Standar
Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) pada silabus Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Matematika SMP dan Matematika SMA, mengidentifikasi SK & KD SMA dan
memilih SK & KD yang akan dimasukkan dalam silabus matematika di kelas akselerasi.
Kegiatan ini juga meliputi telaah kondisi guru dan siswa kelas akselerasi serta kurikulum
matematika yang digunakan di kelas akselerasi. Rambu-rambu perancangan ini merupakan
hasil penelitian eksploratif.
b). Penyajian kurikulum matematika berdiferensiasi di kelas akselerasi
Langkah kedua adalah pelaksanaan uji coba dengan mengembangkan proses
pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan. Setelah prototipe kurikulum mata
pelajaran matematika untuk siswa cerdas istimewa disusun, kemudian dilakukan serangkaian
pengujian terhadap prototipe kurikulum mata pelajaran matematika tersebut. Rangkaian uji
coba prototipe ini berada dalam tahap evaluasi formatif sebagaimana dijelaskan di atas
dengan prosedur (1) review ahli, (2) evaluasi satu-satu, (3) evaluasi kelompok kecil, dan(4)
uji coba lapangan.
c). Pencermatan Hasil Penyajian Kurikulum
Pencermatan penyajian prototipe kurikulum dilakukan oleh dua orang pengamat
(observer), peneliti dan MW Guru SMA 1 Surakarta yang juga mengajar dikelas akselerasi
tersebut.. Kedua observer memerankan peran partisipasi pasif. Pengamatan dilakukan
dengan membuat catatan tentang pelaksanaan rencana yang sudah dibuat dalam kurikulum
yang menerapkan proses pembelajaran matematika yang berorientasi modifikasi berpikir
matematika tingkat tinggi dengan memodifikasi konten, proses, produk dan lingkungan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
133
belajar. Untuk melengkapi data dan keperluan dokumentasi, peneliti juga membuat
rekaman video dengan enggunakan MP4 yang diletakkan di meja guru. Dari rekaman
tersebut dibuat transkripsi interaksi guru dan siswa yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk mencermati ulang apa yang terjadi di kelas. Peneliti juga merekam beberapa bagian
PBM dengan kamera digital sebagai bahan diskusi dan dokumentasi. Berdasarkan
observasi, transkripsi, catatan observasi, maupun penjelasan guru penyaji, peneliti
mencermati penerapan rancangan yang ada pada kurikulum diferensiasi dalam
pengembangan pengalaman belajar di kelas. Pemahaman tersebut juga dicocokkan dengan
beberapa teeori relevan serta pengalaman penyususunan kurikulum matematika untuk
siswa cerdas dan berbakat istimewa yang baik untuk untuk mencapai tujuan pembelajaran
di kelas akselerasi yang di inginkan.
d). Penyempurnaan Draf Kurikulum
Masukan yang diperoleh dari pakar dan stakeholder serta masukan yang diperoleh dari
hasil pengamatan kelas digunakan untuk menyempurnakan unit prototipe kurikulum yang
telah disajikan. Pelaksanaan penyempurnaan juga melibatkan narasumber dan guru
kolaborator melalui serangkaian diskusi. Dalam diskusi ini peneliti menyampaikan
rancangan penyempurnaan berdasarkan hasil observasi dan refleksi peneliti peroleh kepada
narasumber sebagai bahan pertimbangan penyempurnaan prototipe kurikulum.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Temuan dari tahapan eksplorasi menunjukkan bahwa kurikulum mata pelajaran
matematika SMA pada kelas akselerasi belum sepenuhnya menggunakan prinsip differensiasi
yang meliputi differensiasi konten, proses, produk dan lingkungan belajar. Pemadatan materi
matematika SMA yang seharusnya diselesaikan 3 tahun menjadi 2 tahun belum optimal, hal ini
terlihat dari beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) matematika yang
sudah diajarkan di SMP masih diajarkan dengan alokasi waktu yang banyak di kelas akselerasi.
Bahkan di SMA 3 Surakarta belum terdapat kurikulum matematika khusus untuk kelas
akselerasi disamping itu Guru juga masih menggunakan silabus matematika kelas reguler yang
mengacu pada KTSP. Dari kurikulum matematika yang sudah digunakan di SMA 1 maupun
SMA 3 Surakarta pada program kelas akselerasi, belum ada kurikulum matematika yang secara
proporsional dan integrative mengakomodasi potensi siswa cerdas dan berbakat istimewa yang
belajar di kelas akselerasi.
Saran
Berdasarkan telaah penelitian tahap eksplorasi dan pengembangan kurikulum matematika
berdifferensiasi untuk siswa cerdas istimewa dan berbakat istimewa pada kelas akselerasi
beberapa saran untuk peneliti lain adalah sebagai berikut.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
134
a. Pada tahap persiapan, peran kolaborasi sangat menentukan. Tantangan pertama dalam
melaksanakan R & D di lembaga pendidikan lain adalah membangun kolaborasi yang baik
dengan pejabat institusi serta para guru. Jika yang diperlukan dari pejabat adalah izin
pelaksanaan yang relatif lebih mudah diselesaikan, kolaborasi dengan guru memerlukan
pendekatan yang lebih hati-hati dan sering kali memerlukan kesabaran yang tinggi.
Mengingat peran guru kolaborator, khususnya guru penyaji kurikulum, sangat menentukan.
Dengan demikian pemilihan guru kolaborator harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Selain pendekatan resmi melaui izin pendekatan secara pribadi lebih menentukan. Dengan
demikian pemilihan guru kolaborator perlu memperhatikan kompetensi akademik, pedagogik
serta sosialnya. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek maka peneliti dapat membangun
komunikasi yang baik tentang apa yang terjadi dalam masa penyusunan dan ujicoba
kurikulum.
b. Dalam penyusunan kurikulum matematika, peneliti perlu mencermati rambu-rambu
pengembangan kurikulum berdasarkan KTSP, pengembangan kurikulum untuk siswa cerdas
stimewa dan sumber-sumber lain yang terkait dengan kebutuhan yang dihadapi siswa.
Pehaman yang mendalam ini diperlukan untuk dapat merumuskan tujuan, cakupan materi
serta kegiatan pembelajaran yang sesuai. Kurikulum matematika yang mengakomodasi
potensi siswa cerdas istimewa sehingga tidak terjadi underachievement
c. Mengingat kurikulum matematika berdifferensiasi dipakai sebagai sumber pegangan guru
dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, kualitas bahasa harus diperhatikan. Jika
memungkinkan penyusun dapat mencari penasihat linguistik untuk meningkatkan mutu
bahasanya.

DAFTAR PUSTAKA
Borg, W.R. & Gall, M.D. Gall. (1989). Educational Research : An introduction, fifth edition.
New York: Longman.
Kay L. Gibson and Linda M. Mitchel. (2005). Critical Curriculum components in programs for
young gifted learners. International Education Journal, 6(2), 164-169: Shannon Research
Press.
Rickey, Rita C. Klein. (2007). Design and Development Research. London: Lawrence Erlbaum
Associates. Inc.
Sandra. L, Berger. (1991). Differentiating Curriculum for Gifted Students. Gifted Child
Quarterly, 28(4), 116-191.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
135
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN INTUISI SISWA

Bonita Hirza
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Univ.Muhammadiyah Palembang
Jln. A. Yani 13 Ulu Palembang, email: bonitahirza@yahoo.com


Abstrak
Dalam pembelajaran matematika, tidak cukup kalau hanya mengajarkan bagaimana
menyelesaikan permasalahan matematika, yang lebih penting adalah bagaimana siswa mampu
menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan
permasalahan matematika. Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan
tersebut perlu dikembangkan kemampuan intuisi dalam memecahkan masalah matematika.
Untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis perlu dilakukan pembelajaran matematika
realistik.

Kata kunci: Intuisi, Pembelajaran Matematika Realistik

PENDAHULUAN
Dalam Permendiknas RI No. 41 tahun 2007 disebutkan bahwa proses pembelajaran
pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan
masalah yang sesuai dengan situasi mengajar dan sekaligus melibatkan peran aktif siswa dalam
proses pembelajarannya.
Dalam pembelajaran matematika, tidak cukup kalau hanya mengajarkan bagaimana
menyelesaikan permasalahan matematis, yang lebih penting adalah bagaimana siswa mampu
menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan
matematika. Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan dalam
memecahkan masalah matematis perlu dikembangkan kemampuan intuisi.
Untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis perlu dilakukan pembelajaran
matematika realistik.
Pembelajaran Matematika Realistik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang sejalan dengan pandangan Piaget dan berlandaskan pada filsafat konstruktivis,
memandang bahwa pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi
dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil konstruksi siswa yang sedang belajar.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
136
KAJIAN PUSTAKA
1) Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan teori pembelajaran matematika
yang dikembangkan di Belanda. Teori ini berangkat dari pendapat Fruedenthal bahwa
matematika merupakan aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran
matematika tidak dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan masalah,
mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran (Gravemeijer dalam
Hadi 2003). Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima
pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan
berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention)
matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
Menurut Van de Hevel-Panhuizen (2000) bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan
matematika. Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada
keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu,
perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimliki anak pada kehidupan sehari-
hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.
PMR adalah pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan
menempatkan kenyataan dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran (Freudenthal,
1973). Jadi pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya
diikuti dengan contoh-contoh soal. Namun, sifat-sifat, defnisi, teorema itu diharapkan
ditemukan kembali oleh siswa.
Kegiatan PMR dalam pembelajaran di kelas, dimulai dari masalah kontekstual dan
memberi kebebasan kepada siswa untuk dapat mendeskripsikan, menginterpretasikan dan
menyelesaikan masalah kontekstual tersebut dengan caranya sendiri sesuai dengan pengetahuan
awal yang dimiliki. Proses penjelajahan, penafsiran, dan penemuan kembali dalam PMR
menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal yang diinspirasi oleh cara-cara
pemecahan informal yang digunakan oleh siswa (Freudenthal, 1991).
Menurut Gravemeijer (1994) dalam pembelajaran matematika realistik terdapat tiga
prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Ke tiga prinsip
tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical
phenomenology dan (3) self-developed models.
1. Guided reinvention and progressive mathematizing.
Menurut Gravemeijer (1994), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi
kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika
ditemukan.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
137
Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi
pelajaran.
Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian
informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur
penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah
kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta
mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika
secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing)
2. Didactical Phenomenology.
Gravemeijer (1994) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika
yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan
yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran
dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive
mathematizing.
3. Self-developed models.
Gravemeijer (1994) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah
kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang
berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika
formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya
melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang
sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.
Secara operasional, tiga prinsip tersebut di atas dijabarkan menjadi lima karakteristik
pembelajaran matematika realistik. Menurut Soedjadi (2001) pembelajaran matematika
realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan
keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian
materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan
dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke
tingkat abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep
didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan
siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat
memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
138
Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika
realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat
kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang
belajar secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan
konsep itu dari satu orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya
diberi keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruksikan
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan
permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah diakrabi
siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam
pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini
guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu
memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme
sosial (Atwel, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997) yaitu Zone
of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding.
ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap
awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Bantuan
tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah kedalam langkah-
langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial disebut pendekatan konstruktivis
sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan
mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah oleh
manusia. Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pengalaman
informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan.
Karakteristik pendekatan konsruktivis sosial ini sangat sesuai dengan karakteristik PMR.
Pendekatan dalam PMR bertolak dari masalah-masalah kontekstual, siswa aktif, guru
berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, siswa
dengan bebas mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu membandingkan
ide-ide tersebut dan membimbing siswa mengambil keputusan tentang ide terbaik untuk mereka.
Hasil penelitian di Belanda memperlihatkan bahwa PMR telah menunjukkan hasil yang
memuaskan (Becher & Selter, 1996). Bahkan Beaton (1996) merujuk pada laporan TIMSS
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
139
(Third International Mathematics and Science Study) bahwa berdasar penilaian TIMSS, siswa
Belanda memperoleh hasil yang memuaskan baik dalam ketrampilan komputasi maupun
kemampuan pemecahan masalah. Dilaporkan oleh beberapa literatur (Streefland, 1991;
Gravemeijer, 1994; dan Romberg & de Lange, 1998) bahwa PMR berpotensi dalam
meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika.
Proses pengembangan konsep dan ide matematika yang dimulai dari dunia real oleh de
Lange (1996) disebut Matematisasi Konsep. Model skematis proses belajar ini digambarkan
sebagai berikut:
Dunia Real


Matematisasi Matematisasi
dalam Aplikasi dan Refleksi

Abstraksi dan
Formalisasi

Gambar 1. Model Skematis Proses Belajar
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik mempunyai konsepsi tentang siswa
sebagai berikut (Hadi, 2005)
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajarnya selanjutnya;
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri;
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam
pengalaman;
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
Titik awal proses belajar dengan pembelajaran matematika realistik menekankan pada
konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-ide
matematis. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut
dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan pengetahuan baru
tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Peran guru hanya
fasilitator belajar. Idealnya, guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. Guru
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
140
harus memberi kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar
dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan real.
Upaya mengaktifkan siswa dapat diwujudkan dengan cara (i) mengoptimalkan
keikutsertaan unsur-unsur proses mengajar belajar, dan (ii) mengoptimalkan keikutsertaan
seluruh sense siswa. Pengoptimalan seluruh sense siswa sangat terkait dengan bagaimana siswa
merespon setiap persoalan yang dimunculkan guru dalam kelas, baik respon secara lisan, tertulis
atau bentuk-bentuk representasi lain seperti demonstrasi. Selain itu untuk mengoptimalkan
keikutsertaan seluruh sense siswa juga diperlukan komunitas matematika yang kondusif, dalam
arti bahwa lingkungan belajar yang memperbincangkan tentang matematika tersebut harus
mampu membangkitkan setiap siswa untuk berpartisipasi aktif.
2) Intuisi Matematis
Intuisi adalah sebuah kata yang hampir semua orang pernah mengatakannya. Dalam
kehidupan sehari-hari, orang sering menggunakan kata intuisi. Ada yang memaknai intuisi
sebagai angan-angan atau imajinasi, ada yang mengartikan intuisi sebagai perasaan, ada yang
menyatakan bahwa intuisi serupa dengan feeling, dan banyak lagi pengertian intuisi yang dapat
ditelusuri dalam percakapan kita sehari-hari dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari, intuisi dipahami secara beragam dan tidak ada kesepakatan umum
terhadap pengertian intuisi tersebut.
Dalam bidang psikologi, psikolog Jung menyatakan bahwa intuisi adalah salah satu
fungsi kognitif diantara tiga fungsi lainnya, yaitu: thinking, feeling, dan sensation (Henden.
2004). Dalam Zeev dan Star (2002), ahli matematika, Hadamard, menyatakan bahwa intuisi
merupakan cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi.
Di dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary, Tenth Edition intuisi didefinisikan
sebagai pemahaman atau kognisi segera (immediate apprehension or cognition).
Di dalam The Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman
segera (immediate apprehension). Makna kata segera (immediate) adalah tidak membutuhkan
inferensi, tidak membutuhkan/memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan (ability)
mendefinisikan istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran/jastifikasi, tidak
membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali.
Di dalam Dictionary of Psychology (Reber), intuisi didefinisikan sebagai sebuah cara
memahami atau mengetahui yang bersifat langsung dan segera dan terjadi tanpa kesadaran
pemikiran atau pertimbangan (a mode of understanding or knowing characterized as direct and
immediate and occurring without conscious thought or judgment).
Definisi intuisi yang disajikan dalam kamus on-line di atas menunjukkan bahwa
pandangan terhadap intuisi cukup beragam; ada yang memandang intuisi sebagai sebuah
kemampuan memperoleh pengetahuan, namun demikian, ada yang memandang intuisi sebagai
proses pemahaman atau proses kognisi yang tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
141
istilah-istilah yang terkait dengan pemahaman terhadap sesuatu. Pada sisi lain, terdapat
kecenderungan bahwa intuisi bersifat segera, tidak menggunakan inferensi dan hasilnya
dianggap/diyakini benar sehingga orang yang mengguunakan intuisi merasa tidak perlu
melakukan pembuktian atau jastifikasi.
Dari beberapa definisi intuisi yang dirujuk dari kamus tersebut, terlihat bahwa intuisi
merupakan kognisi atau proses mental dalam memahami sesuatu, atau dalam menerima
pengetahuan. Proses mental ini bersifat langsung, segera, dan tidak membutuhkan pembenaran
atau jastifikasi.
Menurut Fischbein (1982, 1983, 1999) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang
memiliki ciri-ciri tertentu. Fischbein menggunakan istilah intuisi ekivalen dengan pemerolehan
pengetahuan intuitif; Intuisi dipandang sebagai suatu tipe kognisi. Pengetahuan yang dibangun
melalui proses mental ini disebut pengetahuan intuitif. Intuisi didefinisikan sebagai kognisi
segera (immediate cognition) dan berkarakteristik (1) direct, self-evident, (2) intrinsic certainty,
(3) perseverance dan coerciveness, (4) extrapolativeness, (5) global (globality) dan implisit
(implicitness).
Istilah intuisi matematis berarti intuisi yang digunakan untuk memahami konsep, fakta,
operasi, dan prinsip matematika, atau intuisi yang digunakan untuk memecahkan atau
menyelesaikan masalah matematis (Yohanes, 2007).
Pengertian intuisi matematis bergantung kepada dua pandangan, yaitu pengertian intuisi
matematis dalam pandangan intuisionis klasik dan dalam pandangan intuisionis inferensial.
Menurut pandangan intuisionis klasik, intuisi matematis adalah kemampuan memahami
dan memecahkan masalah matematis secara langsung tanpa memerlukan penalaran matematika
formal. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat diuji, didukung atau dipahami
secara intelektual. Pengetahuan intuitif tidak praktis dan tidak dapat diterapkan, serta bersifat
apriori dan tidak bergantung dari pengetahuan sebelumnya (Ben Zeev, 2002). Selanjutnya
dikatakan bahwa, intutionis klasik memandang intuisi sebagai a special contact with prime
reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.
Pandangan intuisionis inferensial berbeda dengan pandangan intuisionis klasik.
Menurut pandangan intuisionis inferensial, intuisi adalah suatu bentuk penalaran yang dipandu
oleh interaksi antara orang yang bernalar dan lingkungannya. Intuisi merupakan hasil dari
pengalaman sebelumnya dan penalaran. Intuisi adalah keyakinan beralasan yang diperoleh
secara sekejap berkat serangkaian penarikan kesimpulan yang berlangsung cepat dan tidak
disadari. Intuisi bisa keliru karena tergantung pada pengalaman (Zeev, 2002). Pandangan ini
sesuai dengan pandangan filosof seperti Ewing dan Bunge (Zeev dan Star, 2002) yang
menyatakan intuisi merupakan produk penalaran dan pengalaman belajar sebelumnya.
Selanjutnya, Bunge menyatakan bahwa intuisi adalah hipotesis yang diuji orang dengan
melakukan pertimbangan probabilistik.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
142
Menurut Fischbein (1993) kesan adanya kecepatan, keterarahan, dan keyakinan akan
suatu solusi matematika merupakan hasil model yang memungkinkan penarikan kesimpulan
berdasarkan pengetahuan implisit. Proses yang menghasilkan intuisi bekerja secara diam-diam
dan tanpa kesadaran, tetapi merupakan proses yang sama yang memungkinkan penalaran
matematis secara eksplisit. Melalui proses latihan dan pengenalan, anak dapat dikembangkan
intuisinya. Intuisi dapat dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan (Zeev, 2002).
Menurut Fischbein (1993), ada dua macam intuisi, yaitu intuisi primer dan intuisi
sekunder. Intuisi primer adalah intuisi yang dilandasi oleh pengetahuan sehari-hari yang
diperoleh di luar sekolah, sedangkan intuisi sekunder adalah intuisi yang dilandasi oleh
pengetahuan formal di sekolah.
Fujita (2004) menjelaskan beberapa hal mengenai pentingnya intuisi dalam
pembelajaran geometri, yaitu:
a. Geometri merupakan bidang matematika yang paling banyak dikaitkan dengan intuisi.
b. Piaget dan Van Hiele memandang Pemikiran Intuitif sebagai hal penting dalam model-
model mengenai tahap-tahap perkembangan awal.
c. Kalangan pendidik memandang bahwa intuisi mempunyai peranan penting dalam
pembelajaran geometri. Penalaran geometrik menggunakan aspek figural dan aspek
konseptual.
Fischbein menyatakan bahwa melalui proses pelatihan dan familiarisasi, individu dapat
mengembangkan intuisi baru. Jadi, dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa intuisi dapat
dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan.
Menurut Kant, (Marsigit,2004) matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika konsep
matematika dikontruksi berdasarkan intuisi keruangan dan waktu. Konstruksi konsep
matematika berdasar intuisi ruang dan waktu akan menghasilkan matematika sebagai ilmu yang
bersifat sintetik a priori.
Oleh Kant, metode sintetik dilawankan dengan metode analitik dan konsep a priori
dilawankan dengan a posteriori. Jika matematika dikembangkan hanya dengan metode
analitik maka tidak akan dihasilkan (dikontruksi) konsep baru, dan yang demikian akan
menyebabkan matematika hanya bersifat sebagai ilmu fiksi.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis perlu
dilakukan pembelajaran matematika realistik.

DAFTAR PUSTAKA
Epp, S. (1994). The Role of Proof in Problem Solving. New Jersey: Hillsdale.
Fischbein, E. (1993). The Interaction between The Formal and The Algorithmic and The
Intuitive Components in a Mathematical Activity. The Netherlands: Kluwer.
Pendidikan Matematika 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012
143
Freudenthal, H. (1973). Mathematics as an Educational Task. Dordrecht: Reidel.
Fujita, T., Jones K., and Yamamoto, S. (2004). The Role of Intuition in Geometry Education:
Learning fron The Teaching Practise in The Early 20
th
Century. Paper Presented at The
10
th
Internatioal Congress on Mathematical Education.
Lange, Jan de. (1996) Assesment: No Change Without Problems. The Netherlands: Freudenthal
Institute.
Mitzel, H.E. (1982). Encyclopedia of Educational Research (5
ed
). New York: Macmillan.
Panhuizen, Van de Heuvel. 2000. Mathematics Education in The Netherlands a Guided Tour.
Dari http://www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties.html.
Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Yohanes, Rudi Santoso. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk
Mengaktifkan Otak Kanan. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Universitas Negeri Surabaya.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 1
144

Anda mungkin juga menyukai