Anda di halaman 1dari 42

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Matematika merupakan disiplin ilmu dan karenanya ilmu ini ada di setiap
jenjang sekolah. Matematika memegang peranan penting dalam bidang
pendidikan. Selain itu, matematika juga dipakai sebagai alat ukur untuk
menentukan kemajuan di suatu negara. Matematika menurut Johnson (dalam
Mulyono, 2012: 202) adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif serta keruangan sedangkan
fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Proses pembelajaran yang
diterapkan pada matematika lebih menekankan pada terbentuknya proses
pengetahuan dan penguasaan konsep, karena kompetensi pengetahuan bukan
hanya sampai memahami secara konseptual tetapi penerapan melalui pengetahuan
prosedural dalam pemecahan masalah matematika , sehingga dalam pembelajaran
matematika siswa sudah mempunyai konsep awal yang sudah diketahui dan
selanjutnya dikembangkan sebagai pembentukan pengetahuan baru. Konsep
merupakan suatu arti yang berbentuk pernyataan abstrak dari suatu kenyataan atau
realita. Konsep inilah yang menjadi acuan dasar untuk memecahkan sebuah
masalah dan mendeskripsikan sebuah objek yang diamati.
Konsepsi awal yang dimiliki individu belum tentu sama dengan konsep
yang dimiliki individu lain karena lingkungan yang berbeda. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007:520). Konsepsi diartikan sebagai ide atau pengertian seseorang
mengenai sesuatu. Konsepsi yang biasa terbentuk dalam lingkungan pendidikan
seperti, konsepsi guru, konsepsi ilmuwan, dan konsepsi siswa. Konsepsi yang
dibawa siswa terkadang tidak sesuai atau bertentangan dengan konsepsi para
ilmuwan. Secara umum konsepsi yang digunakan dalam proses pembelajaran
matematika adalah konsepsi ilmuwan, karena konsep para ilmuwan yang paling
logis dan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Konsepsi-
konsepsi lain yang tidak sesuai atau bertentangan dengan konsepsi para ilmuwan
secara umum disebut miskonsepsi.
2

Menurut Brown (dalam Della, 2015:4) miskonsepsi merupakan penjelasan


suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli.
Fowler (dalam Della, 2015:4) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang
tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-
contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan
hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Berdasarkan pendapat para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi
siswa yang tidak cocok dengan konsep yang benar, pengertian yang tidak akurat
tentang konsep, dan penggunaan konsep yang salah. Berbagai konsepsi yang
sering dilakukan akan mengakibatkan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam
proses belajar yang mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi kurang baik dan
biasanya kesalahan pemahaan konsep bersifat permanen dalam ingatan siswa serta
sulit untuk diluruskan. Oleh karena itu, pemahaman konsep merupakan aspek
penting yang harus dimiliki siswa agar dapat memperoleh suatu pemahaman yang
baik. Miskonsepsi yang sering dilakukan siswa harus segara dibenarkan sesuai
dengan konsepsi para ilmuwan agar tidak mengganggu pemikiran siswa dalam
menerima materi selajutnya serta untuk membantu meningkatkan hasil belajar.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang banyak menyajikan
pengetahuan konkret yang dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
diperlukan adanya pembelajaran yang baik agar tidak menimbulkan miskonsepsi
pada setiap materi pembelajarannya. Deret aritmatika merupakan salah satu materi
matematika yang dikenalkan dan diajarkan di sekolah menengah pertama (SMP).
Materi deret aritmatika lebih mengutamakan keterampilan berfikir untuk dapat
memecahkan masalah yang membutuhkan pemikiran order tinggi yang
menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi.
Miskonsepsi terjadi karena ada faktor penyebab. Peneliti terdahulu telah
membuktikan adanya faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa.
Hasil penelitian Fadillah (2014) tentang penyebab miskonsepsi siswa adalah
sebagai berikut, percaya pada diri sendiri sebesar 56,39%, buku 24,90%, teman
12,80%, guru 3,34%, internet 1,63%, orang tua 0,83%, dan keyakinan 0,10%.
3

Miskonsepsi yang dialami oleh masing-masing individu mempunyai


penyebab yang berbeda-beda. Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan siswa
dibangun atau dikonstruksi oleh siswa sendiri. Proses kontruksi tersebut diperoleh
dari interaksi siswa dengan benda, dan interaksi siswa dengan lingkungan.
Dengan demikian, apabila siswa dalam membangun sebuah konsep tanpa
didampingi oleh sumber informasi yang akurat dan jelas tentunya akan
menciptakan miskonsepsi pada siswa. Guru harus bisa mengetahui sejauh mana
siswa mengalami miskonsepsi. Apabila tidak segera diselesaikan maka akan
menimbulkan masalah pada materi selanjutnya dan pastinya akan dibawa pada
jenjang selanjutnya. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi miskonsepsi di
sekolah menengah pertama untuk mengetahui miskonsepsi apa sajakah yang
dialami oleh siswa.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas judul penelitian ini adalah
“Analisis miskonsepsi siswa dalam melakukan aktivitas conjecturing polamatika
berdasarkan Certainty of Response Index”.
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
a) Bagaimana miskonsepsi siswa berdasarkan Certainty of Response Index ?.
b) Bagaimana proses conjecturing polamatika ?.
c) Bagaimana miskonsepsi siswa dalam melakukan aktivitas conjecturing
polamatika berdasarkan Certainty of Response Index ?.

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu: “Mendeskripsikan miskonsepsi siswa dalam melakukan
aktivitas conjecturing polamatika berdasarkan Certainty of Response Index.”

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
a. bagi guru sekolah menengah pertama, dapat dijadikan sumber informasi
tentang miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga guru mampu mengambil
tindakan untuk mengatasi miskonsepsi.
b. bagi kepala sekolah, sebagai bahan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan
kualitas tenaga pendidik sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan
efisien.
c. bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk melakukan
penelitian lanjutan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
5

BAB 2. TINJUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan beberapa kajian teori yang digunakan dalam
penelitian yaitu: (1) pembelajaran matematika di SMP; (2) konsep; (3) konsepsi;
(4) prakonsepsi dan miskonsepsi; (5) proses conjecturing; (6) penyebab
miskonsepsi; (7) teknik menggali miskonsepsi; (8) deskripsi materi deret
bilangan; (9) penelitian yang relevan; dan (10) kerangka berpikir penelitian.

2.1 Pembelajaran Matematika


Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan tentang bilangan, kalkulasi,
penalaran logik dan fakta-fakta kuantitaif yang memiliki suatu struktur sistematis
(Sunardi, 2012: 1-2). Banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika itu sulit
untuk dipelajari, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menghindari pelajaran
matematika, padahal matematika dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan
membangkitkan minat siswa untuk meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya
tentang kehidupan sehari-hari. Siswa diajarkan untuk mempelajari segala kejadian
atau peristiwa yang terjadi di kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran
matematika.
Hakekat matematika berkenaan dengan ide-ide, stuktur-struktur dan
hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis. Jadi matematika
berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak (Hudoyo, 1979: 96). Objek dasar
yang dipelajari dalam matematika merupakan objek mental atau pikiran (abstrak).
Menurut Ruseffendi (dalam Heruman, 2010: 1) matematika adalah bahasa
simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu
tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari ruang yang tidak
didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Menurut Soedjadi
(dalam Heruman, 2010: 1) matematika yaitu memiliki objek tujuan abstrak,
bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.
Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir siswa yang dapat
meningkatkan pengetahuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan
6

mengkonstruksi pengetahuan barunya sebagai upaya meningkatkan pengetahuan


baru guna meningkatkan penguasaan yang baik terhadap matematika (Susanto,
2013: 186-187).
Dari beberapa pengertian di atas, di dalam pembelajaran matematika
terdapat suatu proses belajar mengajar antara siswa dan guru demi meningkatkan
pemahaman siswa terhadap matematika dalam berbagai konsep, teori, dalil-dalil
yang bersifat abstrak yang tersusun rapi dan penalarannya deduktif.

2.2 Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh atau bukan contoh
(Sunardi, 2012: 4). Menurut Rosser (dalam Dahar,2011: 63) konsep adalah suatu
abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kegiatan dan kejadian yang mempunyai
atribut yang sama. Dahar (2011: 64) konsep adalah suatu abtraksi mental yang
mewakili satu kelas stimulus. Jadi, konsep merupakan suatu abtraksi yang
mewakili kelas stimulus atau kejadian yang memiliki atribut yang sama untuk
mengklasifikasikan suatu objek, apakah termasuk contoh atau bukan contoh.
Konsep tercantum dalam kurikulum merupakan materi terpenting dalam
pelajaran eksakta maupun pelajaran sosial. Satu bentuk gagasan yang mewakili
sesuatu juga merupakan suatu konsep. Konsep digunakan dalam berbagai kegiatan
berkomunikasi dan berfikir.
Kemampuan seseorang dalam menjelaskan objek di sekitarnya dengan
menggunakan bahasa untuk menggolongkan objek ditunjukkan dalam
pembelajaran konsep. Proses pembelajaran siswa akan menemui banyak konsep-
konsep pada ilmu pengetahuan termasuk dalam pembelajaran matematika. Gagne
(dalam Suparno, 2013), menyatakan bahwa belajar konsep merupakan
kemampuan untuk mengidentifikasi stimulus persamaan karakteristik sebagai
anggota suatu golongan.
Konsep sangat penting dalam menyamakan presepsi siswa dengan siswa
lain yang berbeda. Konsep yang tepat membuat siswa dapat merumuskan dan
menyelesaikan suatu masalah. Melalui sebuah konsep menjadikan belajar lebih
7

bermakna. Untuk menguasai sebuah konsep seseorang harus mampu membedakan


antara satu contoh dengan contoh lain.

2.3 Konsepsi
Munurut Berg (dalam Nurlaili 2011: 53) konsepsi adalah pengertian atau
penafsiran seseorang terhadap suatu konsep tertentu dimana setiap konsep yang
baru dimiliki tersebut diproses dan ditetapkan pada kerangka pengetahuan konsep-
konsep yang telah dimiiliki sebelumya. Berg (1991) konsepsi adalah tafsiran
seseorang terhadap suatu konsep tertentu dalam kerangka yang sudah ada dalam
pikirannya dan setiap konsep baru didapatkan serta diproses dengan konsep-
konsep yang dimiliki. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 520) konsepsi
adalah pengertian seseorang mengenai sesuatu.
Berdasarkan pengertian di atas, konsepsi merupakan pemahaman
seseorang untuk menafsirkan suatu konsep yang sudah berada pada pikiran
masing-masing siswa. Pembelajaran matematika memiliki konsep yang jelas,
bahkan sudah disepakati oleh para ilmuwan, tetapi pemahaman konsep yang
dibawa siswa berbeda-beda dan belum tentu sama dengan konsep para ilmuwan.
Konsep yang disampaikan oleh guru kepada siswa harus sesuai dengan konsep
para ilmuan agar terhindar dari kesalahpahaman. Konsepsi yang dimiliki siswa
harus benar agar tidak mengganggu dalam pemahaman konsep yang lain.

2.4 Prakonsepsi dan Miskonsepsi


Menurut Kutluay (2005:1) prakonsepsi adalah sebuah asumsi seseorang
sebelum mendapatkan pembelajaran, prakonsepsi yang dimiliki siswa sangat
penting dalam pembentukan pengetahuan siswa. Siswa sebelum mengikuti
pelajaran di kelas sudah membawa pengalaman yang didapatkan dari interaksi
dengan lingkungan. Hasil interaksi siswa dengan lingkungan melahirkan sebuah
gagasan atau ide. Gagasan yang di dapat dari pengalaman awal ini dinamakan
prakonsepsi. Gagasan yang dibawa belum tentu semuannya benar dan sesuai
dengan konsepsi para ilmuwan sehingga bisa menjadikan miskonsepsi.
8

Pendidikan formal berperan penting dalam membenahi prakonsepsi siswa agar


tidak menjadi miskonsepsi.
Menurut Berg (dalam Fadillah, 2016) miskonsepsi adalah suatu
pertentangan atau ketidakcocokan konsep yang dipahami seseorang dengan
konsep yang dipakai oleh para pakar ilmu yang bersangkutan. Sumaji, dkk.
(2003:54-55) berpendapat miskonsepsi adalah konsepsi yang dimiliki seseorang
berbeda dengan konsep yang diterima oleh para ilmuwan. Fowler (dalam Della,
2015:4) menjelaskan lebih rinci lagi, ia memandang miskonsepsi sebagai
pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah,
klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan
hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.
Perbedaan konsep ini membangun sebuah gambaran dalam pikiran siswa,
akan tetapi gambaran ini tidak sesuai dengan gambaran yang diterima oleh para
ilmuwan. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan
konsep yang benar, pengertian yang tidak akurat tentang konsep, dan penggunaan
konsep yang salah yang tidak sesuai dengan konsepsi yang diterima oleh para
ilmuwan.

2.5 Proses Conjecturing (membuat dugaan)


Tahapan membuat dugaan (Conjecturing) membantu seseorang lebih kritis
dan peka dalam pemecahan masalah, karena selain memberi inspirasi bagaimana
memulai langkah pemecahan maupun rencana pembuktian, menyusun
kemungkinan-kemungkinan yang ada, juga mengarahkan seseorang untuk bekerja
pembuktian formal mengenai asal-usul dari mana gagasan tersebut diperoleh
(Sandoval, 2014). Peneliti memandang perlu mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah dengan teknik memberikan tahapan membuat dugaan
(Conjecturing) terlebih dahulu agar kreativitas siswa lebih berkembang,
menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi.
Kemampuan pemecahan masalah berkaitan erat dengan kemampuan
reasoning, yaitu seseorang harus memahami alasan kenapa dan untuk apa sesuatu
9

itu terjadi. Proses Conjecturing dalam pembelajaran sangat penting untuk


dilakukan karena berkaitan dengan cara berpikir logis siswa. Hal ini didukung
Dunbar & Fugelsang (2006) menyatakan bahwa reasoning dapat menjadi bagian
dari pemecahan masalah. Misalnya, ketika memecahkan suatu masalah baru, kita
sering berpikir mengenai solusinya dengan dikaitkan pada masalah yang serupa.
Proses mengaitkan dengan masalah serupa ini kita sebut sebagai reasoning by
analogy.
Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah seseorang salah satunya
dengan memberikan soal tidak rutin, yakni dengan memberikan soal yang tidak
diketahui bagaimana prosedur penyelesaiannya (Schoen&Oehmke, 1980). Pada
kondisi seperti ini, seseorang akan menyusun conjectur agar bisa memulai bekerja
dan menentukan langkah apa yang seharusnya dia lakukan. Masalah yang baik
terletak pada ide atau gagasan, bukan pada apakah soal tersebut bisa dihitung
dengan atau tanpa alat bantu karena itu hanya persoalan komputasional saja.
Schoen (1980: 2016) menjelaskan bahwa “masalah berada di antara latihan
komputasi dan teka-teki”. Artinya, seseorang yang mahir menghitung tidak berarti
dia seorang pemecah masalah, begitu pun orang yang menebak-nebak. Conjectur
cenderung menggunakan intuisi kemudian coba-coba secara induksi baru setelah
itu mencari pemecahan secara formal dan langkah terakhir ke tahap generalisasi.

2.6 Penyebab Miskonsepsi


Miskonsepsi disebabkan oleh banyak hal. Miskonsepsi yang dialami oleh
masing-masing individu mempunyai penyebab yang berbeda-beda. Fadillah
(2014), tentang penyebab miskonsepsi siswa adalah sebagai berikut, percaya pada
diri sendiri sebesar 56,39%, buku 24,90%, teman 12,80%, guru 3,34%, internet
1,63%, orang tua 0,83%, dan keyakinan 0,10%. Menurut Sriati (dalam Ramadhan,
2017: 13-14) miskonsepsi yang berasal dari siswa dalam mengerjakan soal
matematika secara khusus, adalah:
1) miskonsepsi terjemahan, adalah kesalahan mengubah informasi ke
ungkapan matematika atau kesalahan dalam memberi makna atau
ungkapan matematika;
10

2) miskonsepsi tanda, adalah kesalahan dalam memberikan atau menulis


tanda, operasi, atau notasi;
3) miskonsepsi berhitung, adalah kesalahan menghitung dalam operasi
matematika seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian;
4) miskonsepsi sistematik, adalah kesalahan yang berkenaan dengan urutan
pengerjaan atau ketidaksesuaian jawaban dengan penyelesaian;
5) miskonsepsi konsep, adalah kesalahan memahami gagasan abstrak;
6) miskonsepsi strategi, adalah kesalahan yang terjadi jika siswa memilih
jalan yang tidak tepat yang mengarah ke jalan yang buntu;
Menurut Ramadhan (2017), indikator jenis miskonsepsi yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Indikator jenis Miskonsepsi
No Jenis Miskonsepsi Indikator Miskonsepsi
.
1. Miskonsepsi terjemahan  Siswa tidak mampu memahami atau
mengalami kesalahan dalam membaca
permasalahan
 Siswa tidak menuliskan, kurang
lengkap atau salah dalam menuliskan
apa yang diketahui dan ditanya
 Siswa tidak mampu mengubah
permasalahan kedalam model
matematika

2. Miskonsepsi tanda  Siswa tidaak mampu mengkorelasikan


simbol yang sesuai dengan
penyelesaian permasalahan
 Siswa tidak mampu menegaskan arti
dari lambang-lambang matematika
 Siswa tidak mampu mendeteksi tanda
operasi yang diperlukan

3. Miskonsepsi hitung  Siswa melakukan kesalahan dalam


melakukan perhitungan atau komputasi
 Siswa tidak mampu menerjemahkan
data untuk disubstitusi ke variabel

4. Miskonsepi sistematis  Siswa tidak mampu memutuskan


11

No Jenis Miskonsepsi Indikator Miskonsepsi


.
permasalahan dengan alasan yang logis
 Siswa tidak mampu
mempertimbangkan atau mengalami
kesalahan dalam menuliskan langkah-
langkah yang sesuai dalam
menyelesaikan permasalahan
5. Miskonsepi konsep  Siswa tidak mampu menghubungkan
konsep materi yang seharusnya
digunakan
 Siswa tidak mampu menghubungkan
dengan konsep lain

6. Miskonsepsi strategi  Siswa tidak dapat menentukan rumus


yang harus digunakan
 Siswa menggunakan rumus atau prinsip
yang tepat atau salah rumus

Berdasarkan Tabel 2.1 miskonsepsi disebabkan oleh banyak hal. Secara


umum dapat disebabkan oleh salah satu kriteria indikator tersebut.

2.7 Teknik Menggali Miskonsepsi


Miskonsepsi yang dialami siswa perlu diselesaikan agar tidak terjadi pada
materi selanjutnya yang akan dibawa pada jenjang selanjutnya. Menurut Suparno
(2013:121), ada beberapa cara mengidentifikasi atau mendeteksi miskonsepsi
yaitu.
a. Peta konsep (Concept Maps)
Peta konsep yang mengungkapkan hubungan yang berarti antara konsep-
konsep dan menekankan pada gagasan-gagasan pokok yang disusun hirarkis
dengan jelas dapat digambarkan dalam peta konsep. Miskonsepsi siswa dapat
diidentifikasi dengan melihat apakah ada hubungan antara konsep-konsep itu atau
tidak.
b. Tes multiple choice dengan reasoning terbuka
Tes multiple choice dengan reasoning terbuka dimana siswa harus
menjawab tes pilihan ganda dan menulis alasan mengapa memilih jawaban
tersebut. Jawaban-jawaban siswa yang salah dalam pilihan ganda akan dijadikan
12

bahan tes selanjutnya. Selain itu, beberapa peneliti melakukan wawancara setelah
tes kepada siswa yang bertujuan untuk meneliti bagaimana dan mengapa siswa
berfikir seperti itu.
c. Tes esai tertulis
Tes esai tertulis adalah jenis tes kemampuan belajar yang jawabannya
berupa pembahasan. Tes esai memuat beberapa konsep yang hendak atau yang
sudah diajarkan kepada siswa. Siswa diwawancarai setelah ditemukan
miskonsepsinya untuk mendalami mengapa dan dari mana gagasan siswa didapat.
d. Wawancara diagnosis
Wawancara digunakan sebagai pelengkap dari bentuk instrumen
penelitian, namun wawancara bisa berdiri sendiri sebagai pengungkap terjadinya
miskonsepsi pada siswa. Pedoman wawancara dapat berbentuk bebas atau
terstruktur menurut materi yang akan dikaji. Peneliti bebas bertanya dan siswa
bebas menjawab jika menggunakan wawancara bentuk bebas, sedangkan dalam
wawancara struktur, pertanyaan sudah disiapakan dan disusun berdasarkan
urutannya.
e. Diskusi dalam kelas
Siswa diajak diskusi dan diminta untuk mengungkapkan gagasan tentang
konsep yang telah diajarkan atau yang akan diajarkan. Diskusi di kelas bertujuan
untuk mendeteksi apakah gagasan mereka sudah tepat atau belum. Guru perlu
membantu setiap siswa agar berani berbicara untuk mengungkapkan gagasan
mereka tentang persoalan yang dibahas, sehingga guru dapat mengetahui konsep
alternatif yang ada pada siswa.
f. Praktikum dengan tanya jawab
Praktikum dengan tanya jawab antara guru dan siswa saat melakukan
praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai
miskonsepsi atau tidak. Guru selalu bertanya bagaimana konsep dan bagaimana
siswa menjelaskan persoalan dalam prakatikum.
g. Certainty of Response Index (CRI)
Metode Certainty of Response Index (CRI) dikembangkan oleh Hasan,
dkk. Untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi sekaligus membedakan siswa yang
13

tidak paham konsep. CRI merupakan ukuran tingkat keyakinan atau kepastian
seseorang dalam menjawab suatu pertanyaan yang diberikan. Tayubi (2005:5-6)
CRI didasarkan pada skala dan diberikan bersama dengan setiap jawaban pada
suatu soal. Tingkat keyakinan atau kepastian tercermin pada skala CRI yang
diberikan.
Miskonsepsi atau tidak tahu konsep pada seseorang dapat dibedakan
secara sederhana dengan cara membandingkan benar tidaknya jawaban suatu soal
dengan tinggi rendahnya CRI yang diberikannya untuk soal tersebut. Hasan, dkk.
(1999:296), Jawaban yang benar dan mempunyai nilai rata-rata CRI rendah
menandakan jawaban benar pada siswa merupakan sebuah keberuntungan atau
asal tebak. Jawaban siswa benar dan mempunyai rata-rata CRI tinggi menandakan
siswa tersebut mempunyai atau paham konsep yang benar. Jawaban salah dan
rata-rata CRI rendah, menandakan siswa tidak paham konsep yang benar.
Jawaban siswa salah dan memiliki rata-rata CRI tinggi menandakan siswa
mengalami miskonsepsi.

Hasan, dkk. (1999:294) metode CRI ini digunakan secara universal pada
bidang ilmu pengetahuan, bidang sosial, bidang matematika, maupun bidang
lainnya. Tayubi (2005:6) CRI biasanya digunakan dalam survai yang meminta
responden untuk memberikan derajat kepastian pengetahuan yang dia miliki dari
kemampuannya untuk menentukan jawaban dari suatu pertanyaan (soal). CRI
didasarkan pada suatu skala, sebagai contoh, skala enam (0 – 5) seperti yang
terlihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 CRI dan Kriterianya
Skala Kriteria
0 (Totally guessed
answer)
1 (Almost guess)
2 (Not Sure)
3 (Sure)
4 (Almost certain)
5 (certain)
14

Angka 0 menandakan tidak tahu konsep sama sekali (jawaban ditebak


secara total), sementara angka 5 menandakan kepercayaan diri yang tinggi atas
kebenaran pengetahuan untuk menjawab suatu soal, tidak ada unsur tebakan sama
sekali. Dengan kata lain, ketika seorang responden diminta untuk memberikan
CRI pada setiap jawaban suatu soal, sebenarnya dia diminta untuk memberikan
penilaian terhadap dirinya sendiri atas keyakinan yang dia miliki dalam menjawab
soal tersebut. Tayubi (2005: 8) menginformasikan pengoperasionalan kriteria CRI
yang dinyatakan dengan persentase unsur tebakan dalam menjawab suatu
pertanyaan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Pengoperasionalan Kriteria CRI

Skor Kriteria
0 Jika dalam menjawab soal 100% ditebak
1 Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 75 ≥ 99%
2 Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 50 ≥ 74%
3 Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 25 ≥ 49%
4 Jika dalam menjawab soal persentase unsur tebakan antara 1 ≥ 24%
5 Jika dalam menjawab soal tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%)

CRI memiliki kelemahan seperti teknik maupun metode lainnya. Menurut


Hakim, dkk. (2012 :546) kelemahan CRI yaitu apabila siswa memiliki tingkat
kepercayaan diri yang rendah. Siswa benar-benar memahami suatu konsep dalam
pertanyaan yang diberikan, karena siswa tersebut memiliki tingkat kepercayaan
yang rendah sehingga mempunyai rata-rata nilai CRI yang rendah, siswa tersebut
di kategorikan menebak jawaban dari suatu pertanyaan. Melihat kelemahan yang
dimiliki CRI, maka Hakim, dkk. memodifikasi dengan menambahkan alasan
terbuka pada soal pilihan ganda pada setiap butir soal dengan maksud untuk
mengkategorikan siswa yang memahami konsep dengan baik, tetapi memiliki
nilai CRI yang rendah masuk dalam kategori paham konsep tetapi tidak yakin
dalam menjawab pertanyaan. Jadi pada penelitian Hakim, dkk. Mencoba untuk
15

memoditifikasi instrumen soal yang semula pilihan ganda menjadi pilihan ganda
beralasan dengan mencantumkan skala CRI.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen soal pilihan ganda


dengan menuliskan rumus sebagai tahap awal dalam membuat conjectur yang
disertai skala CRI dari Hakim.

2.8 Deskripsi Materi Deret Bilangan

Jika suku-suku suatu barisan dijumlahkan, disebut deret. Perubahan diantara


suku-suku berurutan ditentukan oleh perbandingan bilangan tertentu.

1) Deret aritmetika

Deret aritmatika atau deret hitung a, a + b, a + 2b, a + 3b, ..., a + (n – 1)b


disebut barisan aritmetika. Bila suku-sukunya dijumlahkan diperoleh deret
aritmetika. Deret adalah: a + (a + b) + (a + 2b) sebelumnya ialah k – b. Suku
sebelumnya lagi k – 2b, sebelumnya lagi k – 3b, dan seterusnya. Bila suku-
suku itu kita jumlahkan, maka jumlah n suku pertama kita sebut “S n”,
diperoleh:

Sn = a + (a + b) + (a + 2b) + (a + 3b) + ... + (k – 2b) + (k – b) + k ... (1)

Sn = k + (k + b) + (k + 2b) + (k + 3b) + ... + (a – 2b) + (a – b) + a ... (2)

Kita jumlahkan (1) dan (2), diperoleh:

2Sn = (a + k) + (a + k) + (a + k) + (a + k) + ... + (a + k) + (a + k) + (a + k)

2Sn = n(a + k)

1
Jadi, jumlah n suku pertama: 2Sn = n(a + k) atau Sn = n(a+k )
2

Karena k = a + (n – 1)b, maka rumus diatas dapat diubah menjadi:

1
Sn = n [ 2 a+ ( n−1 ) ] b
2

Keterangan:

Sn = jumlah n suku pertama n = banyaknya suku


16

a = suku pertama k = suku terakhir

2) Deret geometri

Deret geometri atau deret ukur, a, ar, a 2, a3, ... arn – 1 disebut barisan geometri.
Apabilla suku-sukunya dijumlahkan, diperoleh deret geometri. Deret itu
adalah: a + ar + a2 + a3 + ... + arn – 1. Suku terakhhir dari deret ini adalah ar n – 1.
Suku sebelumya arn – 2, sebelumnya lagi arn – 3, dan seterusnya. Apabila suku-
suku itu dijumlahkan dipperoleh:

Sn = a + ar + a2 + a3 + ... + arn – 3 + arn – 2 + arn – 1 ... (1)

r . Sn = ar + a2 + a3 + ... + arn – 3 + arn – 2 + arn – 1 + arn ... (2)

Kita kurangi (1) dan (2), diperoleh:

Sn – r . Sn = a – arn

(1 – r)Sn = a(1 – rn)

Sn = (a(1 – rn)) / (1 – r); r ≠ 1 ... (1)

Bila r = 1, maka Sn = a + a + a + ... = n a. Karena r ≠ 1, rumus di atas kita bagi


dengan -1, sehingga diperoleh:

Sn = (a(rn – 1) / (r – 1)) ... (2)

Rumus (1) digunakan jika r < 1 dan rumus (2) jika r > 1.
17

2.9 Penelitian yang Relevan


Penelitian yang relevan yang membahas miskonsepsi siswa yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Hasan, dkk. (1999). CRI yang dipakai untuk
menguji 106 mahasiswa yang menempuh mata kuliah mekanika klasik di
perguruan tinggi. Hasilnya dari 36 pertanyaan yang diberikan, mahasiswa
mengalami miskonsepsi pada 18 soal yang diberikan. Indeks CRI yang tinggi
tetapi sebanyak 50% mahasiswa menjawab soal dengan jawaban yang salah.
Sejumlah 18 soal lagi mahasiswa terindikasi tidak paham konsep karena indeks
CRI yang rendah dan mahasiswa menjawab soal dengan jawaban yang salah.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan (2017) diperoleh penelitian
bahwa miskonsepsi yang dialami siswa meliputi kekurangan pengetahuan (lack of
knowledge), menjawab benar dengan menebak (lucky guess), miskonsepsi dan
menguasai konsep dengan baik. Jenis miskonsepsi yang terjadi pada keseluruhan
siswa yang berjumlah 66 siswa dengan persentase miskonsepsi, yaitu (1)
miskonsepsi terjemahan 13,6%; (2) miskonsepsi konsep 7,7%; (3) miskonsepsi
strategi 9,1%; (4) miskonsepi sistematis 10.6%; (5) miskonsepsi berhitung 4,55%;
(6) miskonsepsi tanda 4,5%. Dapat disimpulkan dalam penelitian tersebut siswa
mengalami miskonsepsi dalam menyelesaikan soal matematika berstandar PISA
dengan miskonsepsi terjemahan yang paling banyak dilakukan oleh siswa.
Penelitian lain yang juga berusaha menggali miskonsepsi dilakukan oleh
Liliawati (2009). Diperoleh hasil penelitian bahwa dengan menggunakan CRI
dapat dengan mudah dibedakan siswa yang mengetahui konsep dengan baik,
megalami miskonsepsi, maupun yang sama sekali tidak tahu konsep. Dari
keseluruhan konsep-konsep materi IPBA, cenderung banyak siswa yang
mengalami miskonsepsi yaitu 69%, tidak tahu konsep yaitu 74%, dan tahu konsep
yaitu 30% mengenai materi IPBA.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat kita ketahui bahwa peneliti
menganalisis miskonsepsi siswa berdasarkan CRI (Certainty of Response Index)
18

ditinjau dari beberapa faktor yang mempengaruhi miskonsepsi siswa pada


pelajaran matematika.

2.10 Kerangka Berpikir


Seseorang sudah memiliki gambaran yang di peroleh melalui fenomena-
fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Konsepsi inilah yang menjadi acuan
dasar untuk memecahkan sebuah masalah dan mendeskripsikan sebuah objek
yang diamati. Konsepsi awal yang didapat sebelum masuk pendidikan formal
disebut prakonsepsi.
Siswa mulai mengasimilasi konsep yang dimiliki dengan konsep yang
diajarkan dalam pendidikan formal. Dalam proses asimilasi terkadang malah
membuat siswa memperburuk konsep yang dimiliki sehingga tidak sesuai dengan
konsep para ilmuwan yang diajarkan. Hal inilah yang disebut miskonsepsi. Oleh
karena itu, perlu dilakukan identifikasi miskonsepsi pada siswa SMP agar tidak
menimbulkan masalah pada materi selanjutnya dan jenjang sekolah yang lebih
tinggi.
Identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan tes pilihan ganda
dengan membuat conjectur dari sebuah pola bilangan sebagai alasannya disertai
CRI. Tes pilihan ganda dengan membuat conjectur dari sebuah pola bilangan
disertai CRI digunakan sebagai instrumen karena dapat mengukur pemahaman
siswa secara objektif dan praktis. Soal tes pilihan ganda disertai CRI ini menuntut
siswa menjawab dan memilih tingkat keyakinan terhadap jawaban tersebut.
Jawaban-jawaban siswa akan dijadikan bahan untuk mengelompokkan ke dalam
siswa yang mengalami miskonsepsi, paham konsep, dan tidak paham konsep.
19

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
deskriptif. Arikunto (2013:310) berpendapat penelitian deskriptif tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan
suatu variabel, keadaan, atau fenomena “apa adanya”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah miskonsepsi
siswa sekolah menengah pertama pada pembelajaran matematika materi deret
aritmatika. Jadi penelitian ini akan menggambarkan miskonsepsi siswa pada
pembelajaran matematika.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun 2019/2020.
Tempat penelitian merupakan lokasi atau daerah objek penelitian. Tempat
penelitian adalah SMP Negeri 1 Grujugan Bondowoso dengan beberapa
pertimbangan sebagai berikut.
1) Kesediaan pihak sekolah SMP Negeri 1 Grujugan untuk dijadikan tempat
penilitaan.
2) Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di sekolah tersebut.
3) Siswa SMP Negeri 1 Grujugan memiliki kemampuan matematika yang
heterogen sehingga memungkinkan adanya beberapa indikasi miskonsepsi.
Responden penelitian adalah siswa kelas IX SMP Negeri 1 Grujugan
Bondowoso tahun pelajaran 2019/2020, dengan jumlah siswa sebanyak 31 anak
yang terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 20 siswa perempuan.
Data yang diambil berupa hasil tes pilihan ganda disertai CRI. Sumber
data dalam penelitian ini yaitu siswa kelas IX SMP Negeri 1 Grujugan
Bondowoso.
20

3.3 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian ini dilaksanakan dengan 4 tahapan yaitu pendahuluan,
perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian. Langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut.
a. Pendahuluan
Sebelum melaksanakan penelitian, dilakukan wawancara awal dengan
guru kelas IX untuk mengetahui kondisi awal siswa. Kemudian, meminta daftar
nama siswa kelas IX SMP Negeri 1 Grujugan Bondowoso tahun pelajaran
2019/2020.
b. Perencanaan
1) Menyiapkan instrumen wawancara yang digunakan untuk mengetahui
pendapat responden terhadap pelaksanaan penelitian.
2) Penyusunan instrumen tes berupa soal pilihan ganda beralasan yang
dilengkapi skala CRI.
3) Melakukan validasi instrumen.
4) Menentukan jadwal penelitian.
c. Pelaksanaan
1) Melaksanakan tes berupa pilihan ganda beralasan untuk menggali serta
mengetahui tingkat miskonsepsi siswa yang dilengkapi dengan skala CRI.
2) Mengolah data hasil penelitian
3) Menganalisis data setelah seluruh data telah terkumpul.
4) Menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut, sehingga dapat diperoleh
kesimpulan adakah miskonsepsi yang dialami siswa.
d. Tahap penyelesaian
1) Konsultasi hasil penelitian dengan dosen.
2) Penyusunan laporan disesuaikan dengan Pedomanan Penulisan Karya Ilmiah
Universitas Jember (PPKI UNEJ).
3) Revisi laporan penelitian
21

3.4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah cara
yang dilakukan untuk mendapatkan data atau informasi secara akurat dan relevan.
Metode yang digunakan disesuaikan dengan keadaan dan permasalaahan yang ada
dilapangan. Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, maka digunakan
metode tes. Tes digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa dalam
menyelesaikan soal terkait pokok bahasan deret aritmatika yang disertai dengan
skala CRI
Tes pilihan ganda beralasan yang disertai CRI. Metode ini dipakai untuk
mengukur miskonsepsi seseorang dengan cara melihat alasan dan mengukur
tingkat keyakinan seseorang dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan.
Tingkat keyakinan jawaban terlihat dalam skala CRI pada tiap soal yang
diberikan. Data hasil tes digunakan untuk membedakan antara siswa yang
menguasai konsep, menjawab benar dengan menebak, kekurangan pengetahuan
serta siswa yang tidak tahu konsep atau mengalami miskonsepsi dalam
menyelesaikan soal terkait pokok bahasan deret aritmatika.

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat yang berupa serangkaian pertanyaan atau
latihan yang digunakan untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah
dan hasilnya lebih baik, sehingga mudah diolah. Berikut adalah instrumen
penelitian yang digunakan;
1) Peneliti
Peneliti adalah subyek yang akan melakukan penelitian. Dalam penelitian
deskriptif, peneliti merupakan instrumen utama dalam sebuah penelitian karena
peneliti bertindak sebagai pengelola penelitian sekaligus sebagai instrumen
penelitian.
2) Soal Tes dilengkapi skala CRI
22

Tes adalah instrumen pengumpul data penelitian yang berupa serangkaian


pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur potensi yang dimiliki
individu. Instrumen dalam penelitian ini berupa tes pilihan ganda beralasan yang
disertai CRI untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi pada siswa di setiap
butir soal. CRI yang digunakan memiliki skala mulai dari skala 0 sampai dengan
skala 5. Instrumen ini berfungsi untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada siswa.
Teknik penyusunan instrumen sebagai berikut;
1) Menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator soal.
2) Penyusunan kisi-kisi
3) Penyusunan draft intrumen soal
4) Uji coba instrumen soal
5) Uji coba terhadap responden
3) Lembar validasi
Lembar validasi digunakan untuk menguji kelayakan instrumen penelitian
yakni berupa instrumen tes yang dibuat oleh peneliti.

3.6 Metode Analisis Data


Adapun teknik-teknik pengumpulan data pada penelitian ini sebagai berikut.
(1) Analisis validasi instrumen
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
suatu instrumen. Validasi instrumen dilakukan oleh 2 dosen pendidikan
matematika dan 1 guru matematika SMP Negeri 1 Grujugan. Validator
memberikan penilaian pada masing-masing aspek penilaian. Berikut langkah-
langkah untuk menentukan tingkat kevalidan instrumen.
a. Menghitung rata-rata nilai dari semua validator untuk setiap aspek
penilaian. Rumus yang digunakan dalam mencari validasi adalah sebagai
berikut.
n

∑ V ij
I i= j−1
n
Keterangan:
23

Vij = data nilai dari validator ke-j terhadap indikator ke-i;


j = validator 1, 2, 3;
i = indikator 1, 2, ... (sebanyak indikator);
n = banyaknya indikator
b. Menghitung nilai rata-rata total untuk semua aspek dengan cara
menjumlahkan semua Ii dan dibagi dengan banyaknya aspek. Dapat
dirumuskan sebagai berikut.
n

∑ Ii
V a = i−1
n
Keterangan:
Va = nilai rata-rata total untuk semua aspek;
Ii = rata-rata nilai untuk aspek ke-i;
i = aspek yang dinilai 1, 2, 3;
n = banyaknya aspek
c. Menentukan tingkat kevalidan instrumen dengan merujuk pada nilai V a
dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Tingkat Kevalidan Instrumen
Nilai Va Tingkat kevalidan
1 ≤ Va < 2 Tidak valid
2 ≤ Va < 3 Kurang valid
3 ≤ Va < 4 Valid
Va = 4 Sangat valid

(2) Analisis data hasil tes


Data yang di dapat yaitu data kuantitatif berupa data hasil tes disertai CRI.
Langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian sebagai berikut:
a. Ditentukan nilai CRI pada skala yang disusun
Menganalisis jawaban siswa sehingga dapat menggolongkannya ke dalam
siswa yang paham konsep, mengalami miskonsepsi dan tidak tahu konsep. Tabel
3.2 menunjukkan kriteria penggelompokan yang dikembangkan Hakim, dkk.
(2012:549) untuk setiap jawaban siswa.
24

Tabel 3.2 Pengelompokan Siswa


Jawaban Alasan Skala CRI Keterangan
Benar Benar >2,5 Memahami Konsep
Benar Benar <2,5 Memahami Konsep tetapi tidak yakin pada
jawabannya
Benar Salah >2,5 Miskonsepsi
Benar Salah <2,5 Tidak paham konsep
Salah Benar >2,5 Miskonsepsi
Salah Benar <2,5 Tidak paham konsep
Salah Salah >2,5 Miskonsepsi
Salah Salah <2,5 Tidak paham konsep

b. Melakukan penghitungan persentase nilai penelitian


Menghitung masing-masing bentuk miskonsepsi yang dilakukan oleh siswa
menggunakan rumus sebagai berikut.
n
Pi= X 100 %
N
Keterangan:
Pi = persentase masing-masing bentuk miskonsepsi; i = 1, 2, 3, 4, 5, 6
n = banyaknya siswa yang mengalami miskonsepsi;
N = banyaknya siswa;
c. Proses analisis data tes tertulis penelitian ini akan melalui langkah-langkah
sebagai berikut.
a. Mentranskrip data nilai hasil tes tulis.
b. Mempelajari data yang telah terkumpul.
c. Mereduksi data.
25

d. Melakukan analisis miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan soal deret


aritmatika.
e. Menghitung jumlah presentase bentuuk bentuk miskonsepsi yang
dilakukan siswa.
f. Menarik kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendiddikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Annisa, M., R. Yulinda, dan Kartini. 2017. Identifying The Misconceptions of


Science (IPA) Using CRI (Certanty of Response Index) at The Primary
School Students in Tarakan. Jurnal Ilmu Pendidikan Fisika. 2(2):16-
22.Journal.stkipsingkawang.ac.id/index.php/JIPF/article/view/258/0.
[Diakses pada 17 September 2018].

Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Berg, E.v. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga. Universitas Kristen
Satya Kencana.

Dahar, R. W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Della, V. 2015. Identifikasi Miskonsepsi Pada Materi Pokok Sistem Ekskresi


Manusia Menggunakan Certainty Of Response Indes (CRI) Siswa Kelas
XI IPA SMA N 1 BANGUNTAPAN Yogyakarta.
http://digilib.uinsuka.ac.id/.../1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR
%20PUSTAKA.pdf

KBBI. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Indonesia.

Dunbar, K. & Fugelsang, J. 2006. An Introduction to Cognitive Psychology.


Toronto: Department of Phsycologi, Toronto University.

Fadillah. 2014. Identifikasi Faktor Penyebab Miskonsepsi Siswa Tentang Materi


Biologi di Sma Se-Kota Langsa.
https://text-id.123dok.com/document/q5m6l6jy-identifikasi-faktor-
penyebab-miskonsepsi-siswa-tentang-materi-biologi-di-sma-se-kota-
langsa.html [Diakses pada 20 Desember 2018].
26

Hudoyo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika. Surabaya: Usaha


Nasional.

Heruman. 2010. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya Offset.

Kutluay, Yasin. 2005. Diagnosis of Eleventh Grade Students’ Misconceptions


About Geometric Optic by A Three-Tier Test. Tesis. Middle East
Technical University.
http://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12606660/index.pdf. [Diakses pada 23
Desember 2018].

Liliawati, Winny, dan Ramlan. 2009. Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di


SMA dengan menggunakan CRI (Certainty of Response Index) dalam
Upaya Pebaikan Urutan Pemberian Materi IPBA pada KTSP. Laporan
penelitian pembinaan UPI. Bandung: lembaga Penelitian UPI.

Masyhud, M. S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Jember: Lembaga


Pengembangan Manajemen Dan Profesi Kependidikan (LPMPK).

Nurlaili, E. W. 2012. Analisis Miskonnsepsi Siswa Kelas VII SMP Negeri 16


Surakarta Tahun Ajaran 2011/2012 pada Pembelajaran Matematika
Materi Pokok Segitiga. [Online] https://digilib.uns.ac.id [Diakses pada 20
November 2018].

Ramadhan, M., Sunardi, dan Kurniati. 2017. Analisis Miskonsepsi Siswa dalam
Menyelesaikan Soal Berstandar PISA dengan Menggunakan Certainty of
Response Index (CRI). Jurnal Edukasi Vol 8 (1).

Sandoval, W. 2014. Conjecture Mapping: An Approach to Systematic Educational


Design Research. Journal of the Learning Sciences, 23:1, 18-36, DOI:
10.1080/10508406.2013.778204

Schoen, H.L. and Oehmke, T. 1980. A New Approach to the Measurement of


Problemsolving Skills, in Problem Solving in School Mathematics. Editors:
Krulik, S. and Reys, R.E.. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.

Sudjana, Nana. 2012. Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Sumaji, dkk. 2003. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.

Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.


Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
27

Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar.


Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Tayubi, Y. 2005. Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika


Menggunakan Certainty of Response Index (CRI). Mimbar Pendidikan. 3
(24): 4-9.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25230/3/TRI
%20ADE%20MUSTAQIM-FITK.pdf. [Diakses pada 13 November 2018].
28

Lampiran A. Matriks Penelitian

Judul Rumusan Masalah Variabel Indikator Sumber Data Metode Penelitian


Analisis 1. Bagaimana 1. Miskonsepsi 1.Miskonsepsi : 1. Subjek 1. Jenis penelitian
Miskonsepsi miskonsepsi siswa a. Miskonsepsi siswa sekolah penelitian yaitu Deskriptif
Siswa Dalam siswa 2. Materi menengah pertama pada materi siswa kelas IX Kualitatif
Melakukan berdasarkan Polamatika deret aritmatika dikelompokkan A SMP Negeri 2. Metode
Aktivitas Certainty of 3. Aktivitas ke dalam masing-masing 6 jenis Grujugan 1 pengumpulan
Conjecturing Response Conjecturing miskonsepsi yaitu: Bondowoso data: tes pilihan
Polamatika Index ?. 4. Metode  Miskonsepsi terjemahan, 2. Hasil tes ganda dengan
Berdasarkan 2. Bagaimana Certainty of  miskonsepsi konsep, diagnostik menuliskan
Certainty of proses Response  miskonsepsi strategi, berupa tes rumus sebagai
Response Index conjecturing Index  miskonsepsi sistematik, pilihan ganda tahap awal
polamatika ?.  miskonsepsi tanda, dengan tingkat membuat
3. Bagaimana  miskonsepsi berhitung. keyakinan atau conjectur yang
miskonsepsi b. Tahapan dalam membuat skala CRI di disertai CRI
siswa dalam conjectur yaitu: kelas IX A 3. Analisis data :
melakukan SMPN stastistik
 Membuat conjectur atau
aktivitas Grujugan 1 deskriptif
dugaan,
conjecturing 3. Informasi: Guru persentase.
 menyusun argumen,
polamatika dan siswa kelas
berdasarkan  merumuskan definisi dan IX SMPN Untuk mengetahui
Certainty of generalisasi. Grujuan 1 tingkat persentase
Response c. Rata-rata CRI: 4. Referensi yang miskonsepsi siswa
Index ?.  Jawaban benar dan alasannya relevan ditentukan
benar dengan tingkat keyakinan mengunakan rumus
tinggi (>2,5) maupun rendah sebagai berikut:
(<2,5) maka digolongkan sebagai
siswa yang memahami konsep n
 Jawaban salah dan alasannya Pi= x 100
N
benar atau salah dengan tingkat
29

Judul Rumusan Masalah Variabel Indikator Sumber Data Metode Penelitian


keyakinan tinggi (>2,5) maka
digolongkan sebagai siswa yang Keterangan :
mengalami miskonsepsi. P : persentase
 Jawaban salah dengan alasan masing-masing
benar atau salah dan tingkat bentuk
keyakinan rendah (<2,5) maka miskonsepsi; i
digolongkan kedalam siswa yang = 1- 6
tidak paham konsep n : banyaknya
 Jawaban benar dengan alasan siswa yang
salah dan memiliki tingkat mengalami
keyakinan rendah (<2,5) maka miskonsepsi
digolongkan kedalam siswa yang N : banyaknya
tidak paham konsep siswa
 Jawaban benar dengan alasan
salah dan memiliki tingkat
keyakinan rendah (>2,5) maka
digolongkan kedalam siswa yang
mengalami miskonsepsi
30

Lampiran B. Pedoman Wawancara

Pedoman Wawancara Awal dengan Guru

Nama sekolah : Tanggal :

Nama Guru : Waktu :

Guru Kelas : NUPTK :

No Pertanyaan Jawaban
.
1. Pada semester genap, materi apa
yang menurut bapak sulit untuk
diajarkan kepada siswa kelas IX di
SMPN Grujugan 1?
2. Kesulitan apa yang sering dialami
siswa dalam materi deret
aritmatika?
3. Bagaimana hasil belajar siswa pada
materi deret aritmatika?
4. Dari hasil belajar yang didapat oleh
siswa, pernahkah dilakukan
remidiasi? Seperti apa bentuk
remidiasi yang dilakukan?
31

Lampiran C. Kisi-kisi Instrumen Soal Pilihan Ganda

Konsep Deret Aritmatika

Jenjang Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama

Mata Pelajaran : Matematika

Materi : Deret Aritmatika

Standar Kompetensi : 6. Memahami barisan dan deret bilangan serta penggunaannya dalam pemecahan masalah

Kompetensi Dasar : 6.2 Menentukan suku ke-n barisan aritmatika dan barisan geometri

 Menentukan suku ke-n aturan ditambah atau dikurangi dengan bilangan yang sama.
 Menentukan rumus suku ke-n dengan aturan dikalikan atau dipangkatkan.
 Menentukan barisan bilangan, jika diketahui rumus suku ke-n.

Konsep Indikator Butir soal Jawaban Konsep Alternatif


Deret aritmatika Menentukan 1. Dalam ruang sidang terdapat 15 baris b. 555 a. 385
barisan kursi, baris paling depan terdapat 23 c. 1.110
bilangan, jika kursi, baris berikutnya 2 kursi lebih d. 1.140
diketahui rumus banyak dari baris di depannya. Jumlah
suku ke-n kursi dalam ruangan sidang tersebut
adalah ...

a.385 b. 555 c. 1.110 d. 1.140


32

Konsep Indikator Butir soal Jawaban Konsep Alternatif


Menentukan 2. Perhatikan pola berikut! a. 1.326 b. 1330
suku ke-n aturan c. 1.300
ditambah atau d. 1.362
dikurangi
dengan bilangan 1 2
yang sama

3 4
Tentukan banyaknya lingkaran pada pola
ke-50!
a. 1.326
b. 1.330
c. 1.300
d. 1.362
33

Lampiran D. Soal Pilihan Ganda

LEMBAR SOAL DERET ARITMATIKA


Nama :
No. :

Petunjuk Pengerjaan Soal:


 Bacalah doa sebelum mengerjakan soal.
 Jawablah soal dengan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang
diinginkan
 Tulislah alasan jawaban kamu sesuai dengan langkah-langkah yang terdapat
pada lembar jawaban.
 Setelah itu pilih salah satu tingkat keyakinan (CRI) 0,1,2,3,4,atau 5 dengan
memberikan tanda silang (X) dengan ketentuan;
0 : tidak tahu 3 : yakin
1 : agak tahu 4 : agak yakin
2 : tidak yakin 5 : sangat yakin
 Kerjakan dengan jujur, sesuai dengan kemampuan dan keyakinan.
 Periksa kembali jawabanmu, sebelum dikumpukan.
 Tanyakan jika ada petunjuk atau soal yang kurang jelas.
 Waktu mengerjakan 30 menit.
34

1. Dalam ruang sidang terdapat 15 baris kursi, baris paling depan terdapat 23
kursi, baris berikutnya 2 kursi lebih banyak dari baris di depannya. Jumlah
kursi dalam ruangan sidang tersebut adalah ...

a.385 b. 555 c. 1.110 d. 1.140


Diketahui:.......................................................................................................

Ditanya:..........................................................................................................

Jawab:.............................................................................................................

........................................................................................................................

........................................................................................................................

CRI 0 1 2 3 4 5

2. Perhatikan pola berikut!

1 2 3 4
Tentukan banyaknya lingkaran pada pola ke-50!
a. 1.326 b. 1.330 c. 1.300 d. 1.200

Diketahui:.......................................................................................................

Ditanya:..........................................................................................................

Jawab:.............................................................................................................

........................................................................................................................

CRI 0 1 2 3 4 5
35

Lampiran E. Kunci Jawaban Soal Pilihan Ganda

1. B. 555
 Diketahui:
Banyak barisan kursi (n) = 15
Banyak kursi baris pertama (a) = 23 Miskonsepsi
Beda tiap baris kursi (b) = 2 Terjemahan

 Ditanyakan:
Jumlah kursi (S15) ?

 Jawab:
Sn = n / 2 ( 2a + ( n – 1 ) b)
Miskonsepsi Konsep,
S15 = ( 15 / 2) ( 2 * 23 + ( 15 – 1 ) 2 )
Strategi, Sistematis, Tanda,
S15 = ( 15 – 2 ) ( 46 + 28 ) dan Berhitung
S15 = 15 * 37
S15 = 555

2. A. 1.326
 Diketahui:
a =1
b =1
n = 51 Miskonsepsi
Terjemahan

 Ditanyakan:
Banyaknya lingkaran pada pola ke-50 ?

 Jawab:
Sn = n / 2 ( 2a + ( n – 1 ) b ) Miskonsepsi Konsep,
S51 = 51 / 2 ( 2 * 1 + ( 51 – 1 ) 1 ) Strategi, Sistematis, Tanda,
dan Berhitung
36

S51 = 51 / 2 ( 52 ) Miskonsepsi Konsep,


S51 = 51 * 26 Strategi, Sistematis, Tanda,
S51 = 1.326 dan Berhitung
37

Lampiran F. Lembar Validasi Soal Tes

LEMBAR VALIDASI SOAL

Petunjuk:

1) Berilah tanda cek (√) dalam kolom penilaian yang sesuai menurut
pendapat anda.
2) Berilah saran pada lembar validasi soal tes jika diperlikan.
3) Berilah tanggal, nama, dan tanda tangan pada tempat yang tersedia.

No Aspek
Aspek Yang Diamati Penilaian
. Validasi
1 2 3 4
1. Validasi Isi a. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi terjemahan
b. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi konsep
c. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi strategi
d. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi sistematik
e. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi tanda
f. Soal yang disajikan dapat menggali
indikator miskonsepsi berhitung
g. Maksud soal dirumuskan dengan
jelas
2. Validasi Soal yang digunakan merupakan bentuk
Kontruksi soal deret yang sesuai dengan kenyataan
(rasional)
3. Validasi a. Bahasa soal yang digunakan sesuai
Bahasa dengan kaidah Bahasa Indonesia
b. Pertanyaan soal tidak menimbulkan
penafsiran ganda (ambigu)
c. Pertanyaan soal komunikatif
(menggunakan Bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami)
4. Validasi a. Petunjuk pengerjaan jelas
Petunjuk b. Bahasa petunjuk pengerjaan tidak
menimbulkan penafsiran ganda
(ambigu)
38

Saran revisi:

..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................

Jember, .......................2019

Validator

(..........................................)
39

Pedoman Penilaian

1) Validasi Isi
Untuk aspek nomor 1a.
Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi terjemahan
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi terjemahan
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi terjamahan
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi
terjemahan
Untuk aspek nomor 1b.
Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi konsep
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi konsep
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi konsep
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi konsep
Untuk aspek nomor 1c.
Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi strategi
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi strategi
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi strategi
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi strategi
Untuk aspek nomor 1d.
Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi sistematik
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi sistematik
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi sistematik
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi
sistematik
40

Untuk aspek nomor 1e.


Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi tanda
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi tanda
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi tanda
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi tanda
Untuk aspek nomor 1f.
Skor Indikator
1 Soal tidak dapat menggali indikator miskonsepsi berhitung
2 Satu soal dapat menggali indikator miskonsepsi berhitung
3 Semua soal dapat menggali indikator miskonsepsi berhitung
4 Semua soal sangat dapat menggali indikator miskonsepsi t
berhitung
Untuk aspek nomor 1g.
Skor Indikator
1 Maksud soal tidak dirumuskan dengan jelas
2 Maksud salah satu soal dirumuskan dengan jelas
3 Maksud seluruh soal dirumuskan dengan jelas
4 Maksud seluruh soal dirumuskan dengan sangat jelas

2) Validasi Kontruksi
Untuk aspek nomer 2.
Skor Indikator
1 Soal yang disajikan bukan bentuk soal deret aritmatika yang sesuai
dengan kenyataan (rasional)
2 Salah satu soal yang disajikan merupakan bentuk soal deret
aritmatika yang sesuai dengan kenyataan (rasional)
41

3 Semua soal yang disajikan merupakan bentuk soal deret aritmatika


yang sesuai dengan kenyataan (rasional)
4 Semua soal yang disajikan sangat merupakan bentuk soal deret
aritmatika yang sesuai dengan kenyataan (rasional)
3) Validasi bahasa
Untuk aspek nomer 3a.
Skor Indikator
1 Bahasa soal yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah Bahasa
Indonesia
2 Bahasa soal yang digunakan salah satu soal tidak sesuai dengan
kaidah Bahasa Indonesia
3 Bahasa soal yang digunakan semua soal sesuai dengan kaidah
Bahasa Indonesia
4 Bahasa soal yang digunakan semua soal sangat sesuai dengan
kaidah Bahasa Indonesia
Untuk aspek nomer 3b.
Skor Indikator
1 Pertanyaan soal menimbulkan penafsiran ganda (ambigu)
2 Pertanyaan soal pada salah satu soal menimbulkan penafsiran
ganda (ambigu)
3 Pertanyaan soal pada semua soal tidak menimbulkan penafsiran
ganda (ambigu)
4 Pertanyaan soal pada semua soal sangat tidak menimbulkan
penafsiran ganda (ambigu)
Untuk aspek nomer 3c.
Skor Indikator
1 Semua pertanyaan soal tidak komunikatif (menggunakan bahasa
yang tidak sederhana dan tidak mudah dipahami siswa)
2 Salah satu pertanyaan soal tidak komunikatif (menggunakan
bahasa yang cukup sederhana dan tidak mudah dipahami siswa)
3 Semua pertanyaan soal komunikatif (menggunakan bahasa yang
tidak sederhana dan cukup mudah dipahami siswa)
42

4 Semua pertanyaan soal sangat komunikatif (menggunakan bahasa


yang sederhana dan mudah dipahami siswa)

4) Validasi petunjuk
Untuk aspek nomer 4a.
Skor Indikator
1 Petunjuk pengerjaan tidak jelas
2 Lebih dari tiga petunjuk pengerjaan tidak jelas
3 Kurang dari tga petunjuk pengerjaan tidak jelas
4 Semua petunjuk pengerjaan jelas
Untuk aspek nomer 4b.
Skor Indikator
1 Seluruh bahasa petunjuk pengerjaan menimbulkan makna ganda
(ambigu)
2 Empat sampai enam bahasa petunjuk pengerjaan menimbulkan
makna ganda (ambigu)
3 Satu sampai tiga bahasa petunjuk pengerjaan menimbulkan makna
ganda (ambigu)
4 Seluruh bahasa petunjuk pengerjaan menimbulkan makna ganda
(ambigu)

Anda mungkin juga menyukai