Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN
PUSTAKA

II. 1. Tinjauan Teori

II.1.1. Miskonsepsi Matematika

1. Definisi Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi

Dalam setiap pembelajaran, konsep merupakan suatu hal mutlak yang


harus diperhatikan siswa untuk menguasai materi pelajaran. Menurut Dahar
(2011, hal. 62) konsep merupakan dasar dari proses mental yang lebih tinggi
untuk merumuskan prinsip dan generalisasi. Konsep tersebut menyediakan skema
terorganisasi untuk mengasimilasi stimulus baru dan menentukan hubungan di
dalam dan di antara kategori-kategori. Selaras dengan itu, Arifin (2009, hal. 21)
mendefinisikan konsep sebagai suatu obyek dasar, baik dapat didefinisikan atau
tidak, dinyatakan dalam ide abstrak yang memungkinkan kita dapat membedakan
sesuatu termasuk contoh obyek tersebut atau bukan.

Setiap individu pasti memiliki stimulus yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya, oleh karena itu kemungkinan konsep yang diterima pun berbeda
sesuai dengan stimulus dan pengalamannya masing-masing. Meski begitu,
perbedaan penerimaan konsep tersebut bukanlah hal yang harus dicemaskan,
karena selama makna dari konsep tersebut merujuk pada hal dan teori yang benar
maka konsep yang dimiliki pun tidak akan menyimpang. Menurut Lestari &
Yudhanegara (2017, hal. 81) indikator kemampuan pemahaman konsep matematis
yaitu: (a) menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari, (b) mengklasifikasikan
objek-objek berdasarkan konsep matematika, (c) menerapkan konsep secara
algoritma, (d) memberikan contoh atau kontra contoh dari konsep yang dipelajari,
(e) menyajikan konsep dalam berbagai representasi, dan (f) mengaitkan berbagai
konsep matematika secara internal atau eksternal.
Pembelajaran konsep yang baik adalah dengan mengaitkan konsep
tersebut dalam kehidupan nyata. Pengenalan konsep pada tahap awal tidak
dilakukan dengan pengenalan konsep secara formal, tetapi dilakukan secara
perlahana-lahan mulai dari memanipulasi benda-benda konkrit atau mengaitkan
konsep dengan lingkungan sekitar siswa (Murdiana, 2015, hal. 2). Konsep yang
dimiliki setiap orang diperoleh dengan dua cara, yaitu melalui pembentukan
konsep dan melalui asimilasi konsep. Menurut Dahar (2011, hal. 64)
pembentukan konsep merupakan proses induktif, bila anak dihadapkan pada
stimulus lingkungan ia mengabstraksi sifat atau atribut tertentu yang sama dari
berbagai stimulus dengan mengikuti pola contoh/ aturan, sedangkan asimilasi
konsep merupakan proses deduktif yang membuat anak-anak akan belajar arti
konseptual baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria konsep,
kemudian saling menghubungkannya dengan gagasan relevan yang sudah ada
dalam struktur kognitifnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Isleyen &
Tevfik (2003, hal. 92) bahwa konsep dapat diartikan sebagai persepsi karakteristik
dari sebuah peristiwa dan pengalaman hidup individu dalam dunia nyata.

Konsepsi adalah pengertian atau penafsiran seseorang terhadap konsep


tertentu, setiap konsep yang dimiliki tersebut diproses dan ditetapkan pada
kerangka pengetahuan dan konsep-konsep yang telah dimiliki sebelumnya.
Sou’yb (1997, hal. 19) mengungkapkan bahwa seseorang berpikir dan
mengungkapkan jalan pikirannya melalui pengertian-pengertian, pengertian dalam
pemikiran itulah yang disebut dengan konsepsi. Berdasarkan pengertian menurut
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsepsi merupakan proses pemikiran
setiap individu terhadap suatu konsep tertentu yang mampu membuat seseorang
menafsirkan makna/arti dari konsep yang dipelajarinya.

Konsepsi ini merupakan suatu hal yang sangat penting, termasuk dalam
bidang pendidikan, karena melalui pemahaman konsep yang benar maka
pengetahuan tersebut mampu terimplementasi dengan baik sesuai dengan kaidah.
Oleh karena itu, konsepsi yang dibentuk setiap individu harus dipantau secara
intens oleh ahli dalam bidangnya, karena pemahaman konsep yang salah akan
berpengaruh negatif terhadap pengetahuan konsep tersebut.
Kesalahan dalam memahami konsep biasa dikenal dengan istilah
miskonsepsi. Miskonsepsi adalah hasil dari kurangnya pemahaman dalam suatu
kasus maupun kesalahan penerapan aturan atau genealisasi matematis (Spooner,
2002, hal. 3). Disamping itu Ojose (2015, hal. xii) mengungkapkan bahwa
misconceptions are misunderstandings and misinterpretations based on incorrect
meanings, there are due to 'naive theories' that impede rational reasoning of
students. Selaras dengan itu, Suparno (2005, hal. 4) mengemukakan hal yang
sama bahwa miskonsepsi atau salah konsep merujuk pada suatu konsep yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang di terima oleh para pakar
dalam bidang itu.

Miskonsepsi sering juga dikenal dengan konsep alternatif. Maksud dari


konsep alternatif yaitu suatu konsep yang dikonstruk sendiri oleh siswa
berdasarkan pengalamannya sebagai alternatif dari konsep yang sebenarnya,
sehingga kesalahan konstruk yang mungkin saja terjadi dapat menyebabkan
miskonsepsi. Sebagian besar guru tidak menyadari kesalahpahaman konsep yang
dimiliki siswa, mereka cenderung mengajar matematika sesuai dengan struktur
logisnya tanpa menyadari keseimbangan sudut pandang psikologis siswa yang
menganggap konsep tersebut benar (Luneta & Makonye, 2010, hal. 36). Jenis
miskonsepsi yang dialami siswa dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan
yang tidak benar antar konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif
(Suparno, 2005, hal. 4). Biasanya secara umum siswa mengalami kesalahan dalam
dua bentuk, yaitu kesalahan konseptual dan kesalahan eksekusi. Kesalahan
konseptual terkait dengan kurangnya pemahaman siswa, sedangkan kesalahan
eksekusi terjadi ketika melakukan upaya memecahkan masalah dengan prosedur
yang tidak lengkap.

2. Miskonsepsi Matematika

Matematika merupakan ilmu tentang segala sesuatu yang berkaitan


dengan pengukuran (termasuk kalkulasi), bentuk-bentuk, pola-pola, dan struktur-
struktur, serta penalaran logis yang dikembangkan secara deduktif (Arifin, 2009,
hal. 10). Dalam penjelasan yang sama disebutkan bahwa matematika adalah hasil
dari membaca pesan alam. Bilangan, garis, operasi, fungsi, dan seterusnya adalah
merupakan konsep-konsep abstrak yang didapatkan dari memperhatikan
fenomena alam (Manfaat, 2010, hal. 88). Pada dasarnya matematika terbagi
menjadi dua, yaitu matematika terapan dan matematika murni. Dalam matematika
terapan biasanya konsep yang dipelajari belum terlalu kompleks dan banyak
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam matematika murni
konsep yang dipelajari hampir semuanya bersifat abstrak dan kompleks, sehingga
dalam pemahamannya memerlukan kemampuan berpikir mendalam.

Matematika menjadi pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan


dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pengetahuan di dunia, hal ini
sesuai dengan pendapat Milansari (2017, hal. 2) bahwa matematika merupakan
ilmu yang mempunyai objek kajian abstrak yang universal dan mendasari
perkembangan teknologi modern serta memiliki peranan dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Obyek matematika adalah fakta, konsep, operasi, dan prinsip
yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis,
dengan salah satu cirinya adalah adanya penalaran yang logis (Sriyanto, 2013, hal.
20). Menurut Hidayat, Sugiarto, & Pramesti (2013, hal. 40) guru merupakan
pengarang skenario sekaligus sutradara ang megatur jalanna proses belajar
mengajar di kelas, sedangkan siswa merupakan faktor yang harus memiliki
kemampuan, motivasi, dan kesiapan yang memadai untuk mengikuti proses
belajar mengajar di kelas sehingga diharapkan mampu menyelesaikan
permaslaahan matematika yang diwujudkan dalam soal-soal mengenai materi
yang dibahas. Akan tetapi karena hampir keseluruhan materi matematika bersifat
abstrak, tidak semua siswa mampu menguasai materi yang disampaikan guru,
bahkan tak jarang siswa mengalami kesalahan konsep dalam memahami materi
yang diajarkan.

Miskonsepsi matematika merupakan suatu kesalahan dalam memahami


konsep yang terdapat di bidang matematika. Miskonsepsi dalam matematika bisa
berupa kesalahan sistematika pemecahan masalah, kesalahan memahami materi,
hingga kesalahan menyatakan simbol-simbol atau angka. Umumnya miskonsepsi
matematika terjadi karena adanya kesulitan belajar yang dialami siswa dan
kurangnya keterlibatan aktif siswa untuk mengkonfirmasikan pengetahuan yang
didapatkannya dengan guru. Kesulitan belajar dapat berwujud sebagai suatu
kekurangan dalam satu atau lebih bidang akademik, baik dalam mata pelajaran
yang spesifik atau dalam berbagai keterampilan yang bersifat lebih umum
(Abdurrahman, 2009, hal. 9). Akibat kesulitan belajar tersebut, siswa membuat
konsep alternatif yang diiinterpretasikan sendiri tanpa mencari tahu kebenarannya,
sehingga terjadilah miskonsepsi. Miskonsepsi matematika dapat menjadi
persoalan serius jika tidak segera ditindaklanjuti, sebab hal ini berhubungan
langsung dengan perkembangan pengetahuan siswa. Jika siswa memperoleh
konsep yang salah, maka pengetahuan siswa selanjutnya juga akan berpotensi
salah. Oleh karena itu setiap pengajar harus peduli dengan perkembangan siswa,
khususnya dari segi penyampaian dan penerimaan konsep.

3. Penyebab Miskonsepsi

Sebab-sebab terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran yakni


sebagai berikut: (Dahar, 2011, hal. 154)

a. Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung


mendasarkan berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi
masalah.
b. Dalam banyak kasus, anak hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu
dalam suatu situasi. Hal ini terjadi karena anak cenderung
menginterpretasikan suatu fenomena dari segi sifat absolut benda-benda,
bukan dari segi interaksi antara unsur-unsur suatu sistem.
c. Anak cenderung memperhatikan perubahan daripada situasi diam.
d. Bila anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung
mengikuti aturan kausal linier.
e. Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi, gagasan anak
lebih inklusif dan global.
f. Anak kerapkali menggunakan gagasan yang berbeda untuk
menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara
yang sama.

Dalam pendapat lain Liliawati & Ramalis (2009, hal. 160)


mengungkapkan penyebab miskonsepsi secara lebih jelas seperti berikut ini:
a. Kondisi siswa: miskonsepsi yang berasal dari siswa itu sendiri terjadi
karena asosiasi siswa terhadap istilah sehari-hari yang kurang tepat,
sehingga siswa menafsirkan sendiri pengalaman-pengalaman yang mereka
miliki.
b. Guru: apabila terdapat kemungkinan guru tidak memahami konsep dengan
baik, kemudian kesalahan pemahaman tersebut diteruskan kepada siswa,
maka hal tersebut akan membuat siswa mengalami miskonsepsi. Faktor
lainnya juga dapat terjadi akibat ketidakmampuan dan ketidakberhasilan
guru dalam menampilkan aspek-aspek esensi dari konsep yang
bersangkutan serta ketidakmampuan menunjukan hubungan antar konsep
pada situasi yang tepat.
c. Metode mengajar: penggunaan metode belajar yang tidak tepat,
pengungkapan aplikasi yang salah dari konsep yang bersangkutan, serta
penggunaan alat peraga yang tidak mewakili secara tepat terhadap konsep
yang digambarkan dapat pula menyebabkan miskonsepsi pada diri siswa.
d. Buku: salah satu faktor terjadinya miskonsepsi yang berasal dari buku
yaitu gambar, diagram, serta penggunaan bahasa yang terlalu sulit dan
kompleks. Tidak semua siswa mampu mencerna dengan baik apa yang
tertulis dalam buku, akibatnya siswa menyalah artikan maksud dari isi
buku tersebut.
e. Konteks: dalam hal ini penyebab khusus dari miskonsepsi yaitu berasal
dari lingkungan, seperti penggunaan bahasan dalam kehidupan sehari-hari,
teman, serta keyakinan dan ajaran agama.

Berdasarkan sebab-sebab di atas, penyebab paling umum yang


membentuk miskonsepsi yaitu berasal dari siswa itu sendiri. Dalam hal ini banyak
dibahas bahwa siswa cenderung menggunakan gagasan/ pemikirannya sendiri
yang berbeda dengan cara berpikirnya para ilmuwan untuk mengkonstruksi
konsep yang belum dipahaminya, sehingga hasil dari pemahamannya tersebut
tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada. Hal ini selaras dengan yang
diungkapkan Fitria (2014, hal. 49) bahwa miskonsepsi dapat timbul karena konsep
awal siswa yang sudah salah atau karena siswa tidak mampu menghubungkan
konsep dasar yang membangun dengan suatu konsep yang sedang dipelajari.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa tidak semua hasil pembelajaran
konstruksi yang dilakukan siswa itu positif, karena dalam pembelajaran
konstruksivisme dibutuhkan peran guru sebagai fasilitator untuk membangun
pengetahuan yang benar.

4. Cara Mendeteksi Miskonsepsi

Terdapat banyak cara digunakan untuk mendekteksi miskonsepsi siswa.


Upaya deteksi ini dilakukan untuk mengetahui letak miskonsepsi yang dialami
siswa dan darimana siswa mendapatkan pengetahuannya tersebut. Guna mnegatasi
miskonsepsi diperlukan adanya alat yang tepat dan efektif dalam menentukan
letak miskonsepsi siswa. Beberapa alat yang efektif digunakan para ahli untuk
mendekteksi miskonsepsi yaitu: (Istiyani, 2017, hal. 16)

a. Peta konsep: digunakan untuk menghubungkan konsep-konsep dengan


gagasan pokok ang disusun secara hirarki dengan jelas dalam rangka
mendeteksi miskonsepsi siswa yang digambarkan melalui peta konsep
dengan melihat proporsi yang salah dan tidak adanya hubungan yang
lengkap antar konsep
b. Tes multiple choice dengan reasoning terbuka: pertanyaan berupa pilihan
ganda dengan alasan terbuka untuk menentukan jawaban dari suatu
pertanyaan dengan memilih opsi yang tersedia kemudian memberikan
alasan secara lisan maupun tertulis dari jawaban yang dipilihnya.
c. Tes Esai Tertulis: berisi konsep dari materi yang akan atau telah dipelajari
untuk dijawab secara langsung oleh siswa tanpa menetapkan opsi dalam
pertanyaan. Melalui tes esai ini akan terlihat bagaimana proses berpikir
siswa dalam memahami dan mengisi soal yang diujikan.
d. Wawancara diagnosis: pertanyaan mengenai konsep tertentu yang
ditanyakan secara langsung kepada siswa. Melalui wawancara ini siswa
diajak untuk menyampaikan hasil pemikiran dan gagasan mengenai
konsep tersebut.
e. Diskusi dalam kelas: melalui forum diskusi siswa diminta untuk
mengungkapkan gagasan-gagasan yang dimilikinya mengenai konsep
tertentu, sehingga akan terlihat gagasan yang diutarakan tersebut sesuai
dengan konsep yang benar atau tidak.
f. Praktikum dengan tanya jawab: pada mulanya disajikan suatu pertanyaan
mengenai penguasaan konsep yang dimiliki siswa, kemudian dilakukan
suatu praktikum untuk melihat pemahaman siswa, hasil praktikum tersebut
akan dijelaskan melalui kegiatan tanya jawab antara guru dan siswa.

Pada penelitian ini alat pendeteksi miskonsepsi yang digunakan adalah


tes multiple choice dengan reasoning terbuka berupa four-tier diagnostic test (tes
pilihan ganda bertingkat empat). Melalui alat deteksi tersebut diharapkan mampu
menetapkan miskonsepsi apa saja yang dialami siswa dan seberapa besar
miskonsepsi yang dimilikinya.

II.1.2. Four-Tier Diagnostic Test

Untuk mengetahui miskonsepsi siswa, dilakukan suatu tes diagnostik


miskonsepsi agar dapat diketahui penyebab dan letak miskonsepsi yang dialami
siswa selama pembelajaran. Pada hakikatnya tes merupakan suatu alat yang berisi
serangkaian tugas yang harus dikerjakan siswa untuk mengukur aspek perilaku
tertentu (Astutik, 2018, hal. 11). Salah satu tes untuk mengetahui miskonsepsi
tersebut yaitu four-tier diagnostic test. Diagnosis merupakan suatu istilah yang
diadopsi dari bahasa medis, Makmun (2007, hal. 307) menjelaskan bahwa
diagnosis merupakan upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa
yang dialami seseorang melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai
gejala-gejalanya. Pada dasarnya, selain mengidentifikasi latar belakang dan
karakteristiknya, diagnostik juga merupakan implikasi suatu usaha untuk
meramalkan kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.

Four-tier diagnostic test merupakan suatu pengembangan dari three-tier


diagnostic test dengan ditambahkannya tingkat keyakinan siswa dalam memilih
jawaban dan alasan (Samsudin, Sholihat, & Nugraha, 2017, hal. 176). Dalam
suatu tes yang mengandung pertanyaan, format four-tier test terdiri dari jawaban
dari jawaban pertanyaan (tier-1), tingkat keyakinan terhadap jawaban (tier-2),
alasan terkait jawaban (tier-3), dan tingkat keyakinan terhadap alasan (tier-4).
Keunggulan yang dimiliki four-tier test yaitu: (Samsudin, Sholihat, &
Nugraha, 2017, hal. 177)

a. Dapat membedakan tingkat keyakinan jawaban dan tingkat keyakinan


alasan yang dipilih siswa, sehingga dapat menggali lebih dalam tentang
kekuatan dan pemahaman konsep siswa.
b. Dapat mendiagnosis miskonsepsi yang dialami siswa lebih dalam.
c. Dapat menentukan bagian-bagian materi yang memerlukan penekanan
lebih.
d. Dapat merencanakan pembelajaran yang lebih baik untuk mengurangi
miskonsepsi siswa.

Menurut hasil penelitian pengembangan Saepuzaman, Samsudin, &


Zulfikar (2017, hal. 46) kategori miskonsepsi siswa berdasarkan jawaban pada
four-tier diagnostic test dapat dilihat pada Tabel II.1 berikut:

Tabel II.1
Kriteria Level Konsepsi Four-tier Diagnostic Test

No Tier-1 Tier-2 Tier-3 Tier-4 Kategori


1 Benar Yakin Benar Yakin U
2 Benar Yakin Benar Tidak
3 Benar Tidak Benar Yakin
4 Benar Tidak Benar Tidak
5 Benar Yakin Salah Yakin
6 Benar Yakin Salah Tidak
7 Benar Tidak Salah Yakin PU
8 Benar Tidak Salah Tidak
9 Salah Yakin Benar Yakin
10 Salah Yakin Benar Tidak
11 Salah Tidak Benar Yakin
12 Salah Tidak Benar Tidak
13 Salah Yakin Salah Yakin M
14 Salah Yakin Salah Tidak
15 Salah Tidak Salah Yakin NU
16 Salah Tidak Salah Tidak
Terdapat tier yang tidak dijawab atau menjawab lebih
17 UC
dari satu tier
Keterangan:
U : Understand (Siswa memiliki konsepsi yang baik)
PU : Partial Understanding (Siswa memiliki konsepsi yang tidak utuh)
M : Misconception (Siswa memiliki miskonsepsi)
NU : Not Understand (Siwa tidak paham konsep)
UC : Uncode (Tidak dapat dilakukan koding)

II.1.3. Gaya Kognitif

1. Definisi Gaya Kognitif

Teori kognitif menekankan pada pentingnya pikiran-pikiran sadar anak


dalam memperoleh informasi. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa
kemampuan kognitif merupakan sesuatu fundamental yang membimbing tingkah
laku anak (Desmita, 2015, hal. 45). Melalui kemampuan kognitif, anak dipandang
sebagai pribadi yang aktif membangun pengetahuannya sendiri terhadap
pembelajaran-pembelajaran yang terjadi disekitarnya.

Menurut Hall & Lindzney (2015, hal. 130) gaya kognitif merupakan
konsistensi pribadi dalam menggunakan salah satu strategi khusus. Dalam strategi
tersebut seseorang dapat mempertajam maupun menumpulkan perkiraan-
perkiraan yang mereka buat untuk menentukan suatu hal. Selaras dengan itu
disebutkan bahwa gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar,
baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap
terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan
belajar (Uno, 2012, hal. 185). Dalam pengertian yang sama, Susanto (2015, hal.
36) mendefinisikan gaya kognitif sebagai cara yang khas dalam pemfungsian
kegiatan perseptual (kebiasaan memberikan perseptual, menerima, menangkap,
merasakan, menyeleksi, mengorganisasikan stimulus) dan kegiatan intelektual
(menginterpretasi, mengklasifikasi, mengubah bentuk informasi intelektual).
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut, gaya kognitif merupakan suatu
karakteristik/ kebiasaan individu saat belajar yang relatif konsisten, baik dalam
menerima, mengolah, maupun menginterpretasikan informasi yang
didapatkannya.

Dalam hal ini gaya kognitif merupakan suatu karakteristik perilaku. Jadi,
setiap individu yang memiliki gaya kognitif sama belum tentu memiliki
kemampuan yang sama. Akan tetapi sebaliknya, individu yang memiliki gaya
kognitif berbeda kemungkinan perbedaan kemampuannya juga sangat besar. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Uno (2012, hal. 186) bahwa gaya kognitif
menunjukan adanya variasi antar individu dalam pendekatannya terhadap satu
tugas, tetapi variasi itu tidak menunjukkan tingkat intelegensi atau kemampuan
tertentu. Lebih lanjut Uno (2012, hal. 187) memaparkan gaya kognitif seseorang
dapat memperlihatkan variasi individu dalam hal perhatian, penerimaan informasi,
mengingat, dan berpikir yang muncul atau berbeda di antara kognisi dan
kepribadian. Gaya kognitif seseorang cenderung bersifat stabil, tetapi belum tentu
tidak dapat berubah. Dalam hal ini gaya kognitif merupakan bagian dari gaya
belajar, sehingga yang ditekankan dalam pemrolehan pengetahuannya terletak
pada prosesnya.

Gaya kognitif memiliki tempat yang sangat penting dalam proses


pembelajaran karena merupakan salah satu karakter yang dimiliki siswa dalam
variabel kondisi pembelajaran, disamping karakeristik siswa lainnya yang
meliputi, bakat, minat, motivasi, sikap, kemampuan berpikir, dan lain-lain (Uno,
2012, hal. 189). Oleh karena itu, mengetahui gaya kognitif merupakan hal yang
dapat membantu individu untuk mengembangkan potensinya maupun
memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang kurang mendukung dalam proses
pembelajaran.

2. Macam-macam Gaya Kognitif

Woolfolk (1993, hal. 129) membedakan gaya kognitif berdasarkan


dimensinya, yaitu (a) perbedaan aspek psikologis, yang terdiri dari field
independence (FI) dan field dependence (FD), (b) waktu pemahaman konsep,
yang terdiri dari gaya impulsive dan gaya reflective. Sementara itu Keefe (1987,
hal. 8) mengelompokan gaya kognitif berdasarkan gaya dalam menerima
informasi (reception style) serta gaya dalam pembentukan konsep dan retensi
(concept formation and retention style).

Pengelompokan gaya kognitif berdasarkan dimensi gaya kognitif yang


dikaji dari beberapa hasil penelitian yaitu: (Uno, 2012, hal. 187-188)

a. Gaya kognitif dalam menerima informasi, meliputi: (a) Conceptual


modality preference, yaitu gaya kognitif yang berkaitan dengan
kebiasaan dan kecenderungan seseorang dalam menggunakan alat
inderanya, khususnya kemampuan melihat gerakan secara visual atau
spasial, pemahaman auditory atau verbal; (b) Field independent- field
dependent, yaitu gaya kognitif yang mencerminkan cara analisis
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan; (c) Scanning, gaya
yang menggambarkan kecenderungan seseorang dalam menitikberatkan
perhatiannya pada suatu informasi; (d) Strong and weakness
automatization, gaya yang merupakan gambaran kapasitas seseorang
untuk menampilkan tugas secara berulang-ulang.
b. Gaya kognitif dalam pembentukan konsep dan retensi, meliputi: (a)
Breath of categorization, yang berkaitan dengan kesukaan seseorang
dalam menyusun kategori konsep secara luas dan sempit; (b) Leveling
sharperning, berkaitan dengan perbedaan seseorang dalam pemrosesan
ingatan; (c) Reflective-impulsif, berkaitan dengan waktu seseorang dalam
memahami suatu konsep.
3. Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif

Gaya kognitif reflektif atau impulsif menunjukkan the tendency to reflect


over alternative solution possibilities, in contrast with the tendency to make an
impulsive selection of a solution in problems with high respons uncertainty
(Nasution, 1992, hal. 97). Selaras dengan itu, menurut Arifin (2009, hal. 53-54),

“Gaya kognitif reflektif adalah gaya kognitif siswa yang cenderung lebih
lambat dalam memberikan reaksi terhadap stimulus yang diberikan
karena memerlukan waktu untuk memikirkan stimulus yang diterimanya,
sedangkan gaya kognitif impulsif adalah gaya kognitif siswa yang
cencerung memberikan reaksi dengan cepat terhadap stimulus yang
diterimanya tanpa perenungan yang mendalam.”
Siswa dengan gaya impulsif cenderung menghafal semua bahan yang
diajarkan, sedangkan siswa dengan gaya reflektif melakukan proses seleksi.
Hutami (2018, hal. 11) menjelaskan bahwa gaya kognitif reflektif dan impulsif
menunjukkan sifat sistem kognitif yang mengkombinasi waktu pengambilan
keputusan dan kinerja dalam situasi pemecahan masalah yang mengandung
ketidakpastian tingkat tinggi. Seorang siswa yang lambat dalam memecahkan
masalah , tetapi cenderung teliti dan benar, maka termasuk siswa yang memiliki
gaya kognitif reflektif. Akan tetapi siswa yang cepat dalam memecahkan masalah,
tetapi cenderung salah biasaya memiliki gaya kognitif impulsif.

Biasanya anak berkesulitan belajar cenderung memiliki gaya kognitif


yang lebih impilsif. Hal tersebut karena gaya kognitif yang impulsif menjadi
penyebab dari timbulnya problema yang bukan hanya bersifat akademik, tetapi
juga perilaku. Oleh karena itu diperlukan pemrolehan latihan untuk merespon
suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang hati-hati.

4. Matching Familiar Figure Test (MFFT)

Gaya kognitif reflektif-impulsif dapat diselidiki dengan tes yang


memperlihatkan suatu gambar, seperti bentuk geometris, desain rumah, mobil,
dan gambar lainnya (Nasution, 1992, hal. 97-98). Tes tersebut biasa dikenal
dengan MFFT (Matching Familiar Figure Test) yang merupakan suatu tes untuk
mengukur kecepatan kognitif siswa, sehingga mampu mengklasifikasikan gaya
kognitif siswa. Tes dalam MFFT berupa pilihan ganda, dalam hal ini siswa
diminta untuk memilih gambar yang paling tepat sesuai dengan gambar yang
tersaji pada soal. Cara mengukur tes MFFT dilihat dari waktu mengerjakan dan
tingkat keakuratan jawaban. Pada tes klasifikasi gaya kognitif ini siswa
dikelompokan menjadi empat, yaitu kelompok siswa yang cepat dan cermat (fast
accurate), kelompok siswa cepat dan tidak cermat (impulsive), kelompok siswa
lambat dan cermat (reflective), dan kelompok siswa lambat dan tidak cermat (slow
innecurate). (Hutami, 2018, hal. 11)

Pada mulanya MFFT dibuat oleh Jerome Kagan untuk mengukur gaya
kognitif reflektif vs impulsif dengan menyajikan satu gambar standar dan 6
gambar variasi. Selanjutnya Warli mengembangan MFFT tersebut untuk usia
sekolah menengah ke atas dengan menyajikan satu gambar standar dan 8 gambar
variasi. Pengembangan MFFT ini didasarkan atas alasan bahwa tingkat berpikir
siswa saat ini sudah berbeda/ jauh lebih tinggi.

Instrumen MFFT yang dikembangkan oleh Warli telah teruji


kevalidannya. Instrumen ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. MFFT terdiri sari satu gambar standar atau asli dan delapan gambar variasi,
banyaknya soal berjumlah 13 butir.
b. Hanya terdapat satu gambar variasi yang sama dengan gambar standar.

c. Perbedaan antara gambar standar dan gambar variasi tidak terlalu mencolok.
d. Gambar standar terletak pada baris yang berbeda dengan gambar variasi.
Dalam menggunakan MFFT, data yang harus dicatat meliputi banyaknya
waktu yang digunakan siswa untuk menjawab seluruh soal yang disimbolkan
dengan (t) dan kebenaran jawaban yang diberikan disimbolkan dengan (f).
Pemilihan siswa impulsif yaitu dengan memilih siswa pada golongan cepat dalam
mengerjakan semua soal MFFT (t7.28 menit) yang mempunyai jawaban benar
f7, sedangkan untuk memilih siswa reflektif yaitu dengan memilih siswa pada
golongan lambat dalam mengerjakan semua soal MFFT (t7.28 menit) yang
mempunyai jawaban benar f7.

II.1.4. Tinjauan Materi Fungsi

1. Relasi dan Fungsi

Relasi dari himpunan A ke himpunan B adalah aturan pemasangan atau


pengaitan anggota-anggota A dengan anggota-anggota B. Terdapat tiga cara untuk
menyatakan relasi, yaitu himpunan pasangan berurutan, grafik, dan diagram
panah.

Beberapa istilah yang erat kaitannya dengan relasi yaitu:

a. Domain atau daerah asal suatu relasi adalah himmpunan tak kosong suatu
relasi yang didefinisikan.
b. Kodomain atau daerah kawan suatu relasi adalah himpunan tak kosong yang
merupakan pasangan dari domain yang didefinisikan.
c. Range atau daerah hasil adalah himpunan bagian dari kodmain yang
anggotanya memenuhi relasi yang didefinisikan.

Relasi dari himpunan A ke himpunan B disebut fungsi atau pemetaan jika


dan hanya jika setiap unsur (anggota) dalam himpunan A berpasangan tepat satu
dengan unsur (anggota) dalam himpunan B.

Terdapat tiga sifat-sifat fungsi, yaitu sebagai berikut:


a. Fungsi surjektif, fungsi f : A → B merupakan fungsi surjektif atau fungsi onto
jika dan hanya jika daerah fungsi f sama dengan himpunan B atau R f =B
merupakan fungsi into atau fungsi ke dalam jika dan hanya jika daerah hasil
fungsi f merupakan himpunan bagian murni dari himpunan B atau R f ∈ B .
b. Fungsi Injektif, fungsi f : A → B disebut injektif atau fungsi satu-satu jika
dan hanya jika untuk tiap a 1 , a2 ∈ A dan a 1 ≠ a2 berlaku f ( a1 ) ≠ f ( a2 ) .
c. Fungsi Bijektif, fungsi f : A → B disebut fungsi bijektif jika fungsi f
merupakan fungsi surjektif dan injektif.

Fungsi terdiri dari beberapa jenis seperti berikut ini:

a. Fungsi konstan: f ( x )=h ; hkonstanta, x ∈ R


b. Fungsi identitas: f ( x )=x ; x ∈ R
c. Fungsi linear: f ( x )=ax+ b ; x ∈ R ; a . b konstanta
d. Fungsi kuadrat: f ( x )=ax 2+ bx+ c ; a ∈ R ; a , b , c konstanta
e. Fungsi polinom: f ( x )=an x n+ an−1 x n−1 +a n−2 x n−2+ …+ax +a 0 ; an , an−1 ,… a0
konstanta; a n ≠ 0
g(x)
f. Fungsi rasional: f ( x )= ;h ( x )≠ 0 : x ∈ R
h (x )
2. Operasi pada Fungsi
a. Penjumlahan dan pengurangan: jika f (x) dan g(x ) masing-masing
merupakan fungsi, maka berlaku ( f ± g ) ( x )=f ( x ) ± g ( x ) .
b. Perkalian: jika f (x) dan g(x ) masing-masing merupakan fungsi, maka
berlaku ( f × g ) ( x ) =f ( x ) × g ( x ) .
c. Pembagian: jika f (x) dan g(x ) masing-masing merupakan fungsi, maka

berlaku ()f
g
( x )=
f (x )
g (x)
dengan g(x )≠ 0.

d. Perkalian dengan konstanta: jika f (x) fungsi dan k adalah konstanta, maka
berlaku ( k × f ) ( x )=k × f ( x ) .
¿
e. Perpangkatan: jika f (x) merupakan fungsi, maka berlaku f ( x )=[ f ( x) ] .
''

3. Komposisi Fungsi
Jika f (x) dan g(x ) suatu fungsi yang memenuhi Df ∩ R g ≠ ∅ maka
susunan dari f oleh g dikatakan fungsi komposisi yaitu f komposisi g dan
ditulis sebagai ( f o g )=f ( g ( x ) )dengan Df o g ={ x ∈ Dg|g(x )∈ Df } .

Untuk menjelaskan nilai fungsi komposisi terhadap komponen


pembentuknya, dapat dilakukan dengan dua cara berikut ini:

a. Dengan menentukan rumus komposisinya terlebih dahulu kemudian


mensubstitusikan nilainya
b. Dengan mensubstitusikan secara langsung nilai pada fungsi yang akan
dicari.

Sifat komposisi fungsi yaitu:

a. ( f o g )( x ) ≠(g o f )(x ) atau tidak bersifa komutatif.


b. ( f o ( g o h ) ) ( x )=( ( f o g ) o h)(x ) atau bersifat asosiatif.
c. ( f o I ) ( x )=( I o f ) ( x )=f (x) atau merupakan sifat identitas.
4. Fungsi Invers

Fungsi f : A → B mempunyai fungsi invers f −1 : B → A jika dan hanya jika


f merupakan fungsi bijektif. Jika f −1 adalah fungsi invers dari f , maka untuk
setiap x ∈ Df dan setiap y ∈ R f berlaku y=f ( x ) ↔ x=f −1 ( y ).

Caara menentukan fungsi invers dari suatu fungsi dapat dilakukan


dengan langkah berikut ini:

a. Buatlah pemisalan f ( x )= y pada persamaan.


b. Persamaan tersebut disesuaikan dengan f ( x )= y , sehingga ditemukan fungsi
dalam y dan nyatakanlah x=f ( y ).
c. Gantilah y dan x sehingga f ( y )=f ( x)−1.

Sifat fungsi invers yaitu:

a ( f o f −1 ) ( x )=( f −1 o f ) ( x )=I (x)


−1
b ( f −1 ( x )) −f (x)
5. Fungsi invers dari fungsi komposisi
Misalkan (f o g)(x ) merupakan fungsi komposisi dari f (x) dan g(x ),
maka invers dari fungsi komposisi (f o g)(x ) adalah ( f o g )−1 ( x ) =( g−1 o f −1 ) (x)
berlaku juga untuk komposisi (g o f )(x ) adalah ( g o f )−1 ( x ) =( f −1 o g−1 ) (x).

II. 2. Kajian Penelitian Relevan

Terdapat beberapa penelitian relevan yang dijadikan acuan dalam


penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan Fitri Nurul Sholihat, Ahmad Samsudin, dan


Muhamad Gina Nugraha pada tahun 2017 dari Departemen Pendidikan
Fisika FMIPA UPI. Penelitian tersebut berjudul “Identifikasi Miskonsepsi
dan Penyebab Miskonsepsi Siswa Menggunakan Four-Tier Diagnostic Test
pada Sub-Materi Fluida Dinamik: Azas Kontinuitas.” Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa siswa mengalami miskonsepsi pada sub-materi
azas kontinuitas sebesar 28%, siswa yang paham sebagian sebesar 35%, siswa
yang paham konsep sebesar 6%, siswa yang tidak paham konsep sebesar
30%, dan siswa yang tidak dapat dikodekan 0%. Miskonsepsi yang terjadi
umumnya disebabkan oleh logika siswa yang kurang tepat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa four-tier
diagnostic test merupakan suatu instrumen yang akurat untuk mendeteksi
level pemahaman konsep siswa, sehingga dapat mengukur persentase siswa
yang mengalami miskonsepsi.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dyah Prihastuti Nanda Hutami pada tahun
2018, mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas jember. Judul
penelitiannya yaitu “ Analisis Miskonsepsi Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Barisan dan Deret Berdasarkan Certainty of Response Index (CRI) Ditinjau
dari gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif.” Hasil penelitiannya menunjukan
siswa yang mengalami miskonsepsi sebesar 22,1%, siswa yang menguasai
konsep sebesar 35,3%, siswa yang tidak menguasai konsep sebesar 14,7%,
dan siswa yang menjawab dengan cara menebak sebesar 30%. Kemudian
siswa dengan gaya kognitif reflektif memenuhi penguasaan konsep sebesar
31,4%, sementara siswa dengan gaya kognitif impulsif mengalami
miskonsepsi sebesar 11,8%.
Berdasarkan penelitian di atas, Certainty of Response Index (CRI) merupakan
instrumen yang dapat mendeteksi miskonsepsi siswa. Selain itu dapat
diketahui bahwa siswa impulsif memiliki miskonsepsi yang lebih tinggi dari
pada siswa reflektif.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Asbar pada tahun 2017, mahasiswa
Pendidikan Matematika Universitas Negeri Makassar. Penelitiannya berjudul
“Analisis Miskonsepsi Siswa pada persamaan dan Pertidaksamaan Linear
Satu Variabel dengan Menggunakan Three Tier Test.” Hasil penelitian
tersebut menunjukan siswa mengalami miskonsepsi dengan persentase 30%,
fals positive 7%, dan fals negative 11%. Penyebab miskonsepsi yang dialami
siswa sebagian besar berasal dari pemahaman siswa dan metode pembelajaran
guru.
Dari hasil penelitian tersebut, three tier test terbukti dapat mendeteksi level
miskonsepsi siswa. Penyebab dari miskonsepsi tersebut berasal dari pihak
siswa dan guru.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Kakoma Luneta dan Paul J. Makonye pada
tahun 2010 dengan judul “Learner Errors and Misconceptions in Elementary
Analysis: A Case Study of a Grade 12 Class in South Africa.” Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami kelas 12
disebabkan karena lemahnya konsep kalkulus yang mereka miliki dan
prakonsepsi siswa sat mengkonstruksi pengetahuannya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa miskonsepsi diakibatkan karena
hasil konstruksi siswa yang tidak tepat, sehingga mempengaruhi prakonsepsi
yang dimilikinya.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Dhika Asri Fitriani pada tahun 2017,
mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surakarta.
Penelitiannya berjudul “Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pembelajaran
Matematika Materi Pokok Bangun Ruang Dimensi Tiga Ditinjau dari
Kecerdasan Visual-Spasial Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Klaten Tahun
Ajaran 2012/2013.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa dengan
kecerdasan visual-spasial tinggi tidak mengalami miskonsepsi, siswa dengan
kecerdasan visual-spasial sedang mengalami miskonsepsi teoritikal dan
korelasional, sedangkan siswa dengankecerdasan visual-spasial rendah
mengalami miskonsepsi teoritikal, klasifikasional, dan korelasional.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan kecerdasan visual-spasial yang
dimiliki siswa mempengaruhi pemahaman siswa dalam memahami konsep
pada materi bangun ruang dimensi tiga.

Berdasarkan kelima hasil penelitian yang pernah dilakukan, terdapat


beberapa kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis
sehingga dapat disajikan dalam Tabel II.2 berikut ini:

Tabel II.2
Tinjauan Penelitian Relevan

Nama Peneliti, Judul, Bentuk (Skripsi, Tesis, Jurnal, dll),


No A B C
Tahun Terbit

1 Fitri Nurul Sholihat, Ahmad Samsudin, & Muhamad Gina


Nugraha, Identifikasi Miskonsepsi dan Penyebab Miskonsepsi
  .-
Siswa Menggunakan Four-Tier Diagnostic Test pada Sub-
Materi Fluida Dinamik: Azas Kontinuitas, Jurnal, 2017.

2 Dyah Prihastuti Nanda Hutami, Analisis Miskonsepsi Siswa


dalam Menyelesaikan Soal Barisan dan Deret Berdasarkan
 - 
Certainty of Response Index (CRI) Ditinjau dari gaya Kognitif
Reflektif dan Impulsif, Skripsi, 2018.

3 Asbar, Analisis Miskonsepsi Siswa pada persamaan dan



Pertidaksamaan Linear Satu Variabel dengan Menggunakan - -

Three Tier Test, Jurnal, 2017.

4 Kakoma Luneta dan Paul J. Makonye, Learner Errors and


Misconceptions in Elementary Analysis: A Case Study of a - -

Grade 12 Class in South Africa, Jurnal, 2010.

5 Dhika Asri Fitriani, Analisis Miskonsepsi Siswa pada


Pembelajaran Matematika Materi Pokok Bangun Ruang
Dimensi Tiga Ditinjau dari Kecerdasan Visual-Spasial Siswa  - -
Kelas X SMA Negeri 1 Klaten Tahun Ajaran 2012/2013,
Jurnal, 2017.

6 Aas Uswatun Hasanah, Analisis Miskonsepsi Siswa pada


Materi Fungsi Menggunakan Four-Tier Diagnostic Test   
Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif, Skripsi, 2019.
Keterangan:

A = Analisis miskonsepsi siswa

B = Four-tier Diagnostic Test

C = gaya Kognitif Reflektif- Impulsif

Berdasarkan Tabel II.1 tidak ada penelitian yang sama persis dengan
masalah yang diteliti penulis, karena dalam hal ini penulis memfokuskan pada
analisis miskonsepsi menggunakan four-tier diagnostic test ditinjau dari gaya
kognitif reflektif dan impulsifnya.

II. 3. Kerangka Pikir

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat berguna


untuk melatih kemampuan kognitif siswa. Dalam pembelajarannya dibutuhkan
daya logika dan analisis yang kuat, karena pelajaran ini sarat akan makna-makna
yang bersifat abstrak. Berdasarkan hal tersebut, matematika harus dipelajari
secara sistematis dengan pondasi awal yang tepat, yaitu pada pemahaman
konsepnya sebab konsep dalam matematika merupakan hal fundamental yang
sangat berpengaruh terhadap pembentukan pengetahuan siswa selanjutnya.

Pada umumnya siswa memiliki kemampuan yang beragam dalam


menerima dan menggali pengetahuannya. Keberagaman tersebut diakibatkan
karena perbedaan karakteristik setiap siswa dalam mencerna pelajaran, sehingga
hal ini memungkinkan pengetahuan yang diterimanya juga berbeda. Hal tersebut
juga banyak terjadi dalam pemahaman konsep matematika, pemahaman konsep
yang tidak sesuai dengan kebenaran ilmu pengetahuan disebut dengan
miskonsepsi. Biasanya miskonsepsi disebabkan karena siswa sudah memiliki
prakonsepsi yang salah sejak awal, hal lainnya biasa juga terjadi karena siswa
mengkonstruk sendiri pengetahuan yang didapatkannya dari lingkungan
sekelilingnya tanpa mengkonfirmasikan kebenarannya kepada ahli.

Miskonsepsi yang dialami siswa akan menghambat proses pembelajaran,


khususnya dalam memecahkan persoalan matematika. Akibat konsep yang
dibawanya sudah salah, otomatis hal tersebut akan berimbas terhadap
pengetahuan selanjutnya, sehingga secara tidak langsung membuat prestasi
belajarnya kurang memuaskan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu tes diagnostik
untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa, dalam hal ini peneliti
menggunakan four-tier diagnostic test. Berdasarkan tes tersebut akan diketahui
persentase siswa yang memahami konsep, yang tidak memahami konsep, dan
yang mengalami miskonsepsi.

Selain itu, karena pemahaman konsep erat kaitannya dengan faktor


kognitif siswa, maka peneliti juga bermaksud membandingkan miskonsepsi yang
dialami siswa ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsifnya, yakni gaya
kognitif berdasarkan waktu dan ketepatan memahami konsep. Klasifikasi gaya
kognitif ini didapatkan melalui instrumen MFFT, kemudian hasilnya dianalisis
terhadap tes diagnostik miskonsepsi yang dijawab siswa. Dengan begitu maka
siswa dapat memperbaiki cara pemahaman konsep untuk menyelesaikan masalah
tersebut agar dapat meminimalisir atau bahkan mengatasi miskonsepsi tersebut.

Adapun bagan alur kerangka pikir peneliti dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar II.1 berikut ini:

Reflektif MFFT Impulsif

Gaya Kognitif
mempengaruhi

Pengetahuan

Prakonsepsi siswa Konstruksi pengetahuan


yang salah yang salah

Miskonsepsi

Four-tier Diagnostic Test


Gambar II.1
Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai