KAJIAN
PUSTAKA
Setiap individu pasti memiliki stimulus yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya, oleh karena itu kemungkinan konsep yang diterima pun berbeda
sesuai dengan stimulus dan pengalamannya masing-masing. Meski begitu,
perbedaan penerimaan konsep tersebut bukanlah hal yang harus dicemaskan,
karena selama makna dari konsep tersebut merujuk pada hal dan teori yang benar
maka konsep yang dimiliki pun tidak akan menyimpang. Menurut Lestari &
Yudhanegara (2017, hal. 81) indikator kemampuan pemahaman konsep matematis
yaitu: (a) menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari, (b) mengklasifikasikan
objek-objek berdasarkan konsep matematika, (c) menerapkan konsep secara
algoritma, (d) memberikan contoh atau kontra contoh dari konsep yang dipelajari,
(e) menyajikan konsep dalam berbagai representasi, dan (f) mengaitkan berbagai
konsep matematika secara internal atau eksternal.
Pembelajaran konsep yang baik adalah dengan mengaitkan konsep
tersebut dalam kehidupan nyata. Pengenalan konsep pada tahap awal tidak
dilakukan dengan pengenalan konsep secara formal, tetapi dilakukan secara
perlahana-lahan mulai dari memanipulasi benda-benda konkrit atau mengaitkan
konsep dengan lingkungan sekitar siswa (Murdiana, 2015, hal. 2). Konsep yang
dimiliki setiap orang diperoleh dengan dua cara, yaitu melalui pembentukan
konsep dan melalui asimilasi konsep. Menurut Dahar (2011, hal. 64)
pembentukan konsep merupakan proses induktif, bila anak dihadapkan pada
stimulus lingkungan ia mengabstraksi sifat atau atribut tertentu yang sama dari
berbagai stimulus dengan mengikuti pola contoh/ aturan, sedangkan asimilasi
konsep merupakan proses deduktif yang membuat anak-anak akan belajar arti
konseptual baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria konsep,
kemudian saling menghubungkannya dengan gagasan relevan yang sudah ada
dalam struktur kognitifnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Isleyen &
Tevfik (2003, hal. 92) bahwa konsep dapat diartikan sebagai persepsi karakteristik
dari sebuah peristiwa dan pengalaman hidup individu dalam dunia nyata.
Konsepsi ini merupakan suatu hal yang sangat penting, termasuk dalam
bidang pendidikan, karena melalui pemahaman konsep yang benar maka
pengetahuan tersebut mampu terimplementasi dengan baik sesuai dengan kaidah.
Oleh karena itu, konsepsi yang dibentuk setiap individu harus dipantau secara
intens oleh ahli dalam bidangnya, karena pemahaman konsep yang salah akan
berpengaruh negatif terhadap pengetahuan konsep tersebut.
Kesalahan dalam memahami konsep biasa dikenal dengan istilah
miskonsepsi. Miskonsepsi adalah hasil dari kurangnya pemahaman dalam suatu
kasus maupun kesalahan penerapan aturan atau genealisasi matematis (Spooner,
2002, hal. 3). Disamping itu Ojose (2015, hal. xii) mengungkapkan bahwa
misconceptions are misunderstandings and misinterpretations based on incorrect
meanings, there are due to 'naive theories' that impede rational reasoning of
students. Selaras dengan itu, Suparno (2005, hal. 4) mengemukakan hal yang
sama bahwa miskonsepsi atau salah konsep merujuk pada suatu konsep yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang di terima oleh para pakar
dalam bidang itu.
2. Miskonsepsi Matematika
3. Penyebab Miskonsepsi
Tabel II.1
Kriteria Level Konsepsi Four-tier Diagnostic Test
Menurut Hall & Lindzney (2015, hal. 130) gaya kognitif merupakan
konsistensi pribadi dalam menggunakan salah satu strategi khusus. Dalam strategi
tersebut seseorang dapat mempertajam maupun menumpulkan perkiraan-
perkiraan yang mereka buat untuk menentukan suatu hal. Selaras dengan itu
disebutkan bahwa gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar,
baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap
terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan
belajar (Uno, 2012, hal. 185). Dalam pengertian yang sama, Susanto (2015, hal.
36) mendefinisikan gaya kognitif sebagai cara yang khas dalam pemfungsian
kegiatan perseptual (kebiasaan memberikan perseptual, menerima, menangkap,
merasakan, menyeleksi, mengorganisasikan stimulus) dan kegiatan intelektual
(menginterpretasi, mengklasifikasi, mengubah bentuk informasi intelektual).
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut, gaya kognitif merupakan suatu
karakteristik/ kebiasaan individu saat belajar yang relatif konsisten, baik dalam
menerima, mengolah, maupun menginterpretasikan informasi yang
didapatkannya.
Dalam hal ini gaya kognitif merupakan suatu karakteristik perilaku. Jadi,
setiap individu yang memiliki gaya kognitif sama belum tentu memiliki
kemampuan yang sama. Akan tetapi sebaliknya, individu yang memiliki gaya
kognitif berbeda kemungkinan perbedaan kemampuannya juga sangat besar. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Uno (2012, hal. 186) bahwa gaya kognitif
menunjukan adanya variasi antar individu dalam pendekatannya terhadap satu
tugas, tetapi variasi itu tidak menunjukkan tingkat intelegensi atau kemampuan
tertentu. Lebih lanjut Uno (2012, hal. 187) memaparkan gaya kognitif seseorang
dapat memperlihatkan variasi individu dalam hal perhatian, penerimaan informasi,
mengingat, dan berpikir yang muncul atau berbeda di antara kognisi dan
kepribadian. Gaya kognitif seseorang cenderung bersifat stabil, tetapi belum tentu
tidak dapat berubah. Dalam hal ini gaya kognitif merupakan bagian dari gaya
belajar, sehingga yang ditekankan dalam pemrolehan pengetahuannya terletak
pada prosesnya.
“Gaya kognitif reflektif adalah gaya kognitif siswa yang cenderung lebih
lambat dalam memberikan reaksi terhadap stimulus yang diberikan
karena memerlukan waktu untuk memikirkan stimulus yang diterimanya,
sedangkan gaya kognitif impulsif adalah gaya kognitif siswa yang
cencerung memberikan reaksi dengan cepat terhadap stimulus yang
diterimanya tanpa perenungan yang mendalam.”
Siswa dengan gaya impulsif cenderung menghafal semua bahan yang
diajarkan, sedangkan siswa dengan gaya reflektif melakukan proses seleksi.
Hutami (2018, hal. 11) menjelaskan bahwa gaya kognitif reflektif dan impulsif
menunjukkan sifat sistem kognitif yang mengkombinasi waktu pengambilan
keputusan dan kinerja dalam situasi pemecahan masalah yang mengandung
ketidakpastian tingkat tinggi. Seorang siswa yang lambat dalam memecahkan
masalah , tetapi cenderung teliti dan benar, maka termasuk siswa yang memiliki
gaya kognitif reflektif. Akan tetapi siswa yang cepat dalam memecahkan masalah,
tetapi cenderung salah biasaya memiliki gaya kognitif impulsif.
Pada mulanya MFFT dibuat oleh Jerome Kagan untuk mengukur gaya
kognitif reflektif vs impulsif dengan menyajikan satu gambar standar dan 6
gambar variasi. Selanjutnya Warli mengembangan MFFT tersebut untuk usia
sekolah menengah ke atas dengan menyajikan satu gambar standar dan 8 gambar
variasi. Pengembangan MFFT ini didasarkan atas alasan bahwa tingkat berpikir
siswa saat ini sudah berbeda/ jauh lebih tinggi.
a. MFFT terdiri sari satu gambar standar atau asli dan delapan gambar variasi,
banyaknya soal berjumlah 13 butir.
b. Hanya terdapat satu gambar variasi yang sama dengan gambar standar.
c. Perbedaan antara gambar standar dan gambar variasi tidak terlalu mencolok.
d. Gambar standar terletak pada baris yang berbeda dengan gambar variasi.
Dalam menggunakan MFFT, data yang harus dicatat meliputi banyaknya
waktu yang digunakan siswa untuk menjawab seluruh soal yang disimbolkan
dengan (t) dan kebenaran jawaban yang diberikan disimbolkan dengan (f).
Pemilihan siswa impulsif yaitu dengan memilih siswa pada golongan cepat dalam
mengerjakan semua soal MFFT (t7.28 menit) yang mempunyai jawaban benar
f7, sedangkan untuk memilih siswa reflektif yaitu dengan memilih siswa pada
golongan lambat dalam mengerjakan semua soal MFFT (t7.28 menit) yang
mempunyai jawaban benar f7.
a. Domain atau daerah asal suatu relasi adalah himmpunan tak kosong suatu
relasi yang didefinisikan.
b. Kodomain atau daerah kawan suatu relasi adalah himpunan tak kosong yang
merupakan pasangan dari domain yang didefinisikan.
c. Range atau daerah hasil adalah himpunan bagian dari kodmain yang
anggotanya memenuhi relasi yang didefinisikan.
berlaku ()f
g
( x )=
f (x )
g (x)
dengan g(x )≠ 0.
d. Perkalian dengan konstanta: jika f (x) fungsi dan k adalah konstanta, maka
berlaku ( k × f ) ( x )=k × f ( x ) .
¿
e. Perpangkatan: jika f (x) merupakan fungsi, maka berlaku f ( x )=[ f ( x) ] .
''
3. Komposisi Fungsi
Jika f (x) dan g(x ) suatu fungsi yang memenuhi Df ∩ R g ≠ ∅ maka
susunan dari f oleh g dikatakan fungsi komposisi yaitu f komposisi g dan
ditulis sebagai ( f o g )=f ( g ( x ) )dengan Df o g ={ x ∈ Dg|g(x )∈ Df } .
Tabel II.2
Tinjauan Penelitian Relevan
Berdasarkan Tabel II.1 tidak ada penelitian yang sama persis dengan
masalah yang diteliti penulis, karena dalam hal ini penulis memfokuskan pada
analisis miskonsepsi menggunakan four-tier diagnostic test ditinjau dari gaya
kognitif reflektif dan impulsifnya.
Adapun bagan alur kerangka pikir peneliti dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar II.1 berikut ini:
Gaya Kognitif
mempengaruhi
Pengetahuan
Miskonsepsi