Anda di halaman 1dari 20

MISKONSEPSI MATEMATIKA SISWA

A. Pendahuluan
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yang sangat erat kaitannya
dalam kehidupan sehari-hari adalah mata pelajaran matematika. Berdasarkan
Permendiknas No. 22 Tahun 2006 pemberian mata pelajaran matematika disekolah
dasar dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi dan mengapresiasi ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang
kritis, kreatif dan mandiri.
Dari paparan pentingnya pembelajaran matematika tersebut, terdapat fakta
bahwa pada kenyataannya pembelajaran pada matematika ternyata menjadi pelajaran
yang dihindari oleh sebagian siswa. Pelajaran matematika dianggap sebagai mata
pelajaran yang sulit, serius, dan hanya berisi kumpulan rumus. Sebagaimana pendapat
Turmudi (dalam Wahidin, 2013), matematika merupakan pelajaran yang menakutkan
bagi sebagian siswa, dan menggejala baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA.
Selain itu, sejumlah masalah muncul dalam pembelajaran matematika di
sekolah. Baik itu siswa, orang tua, guru, dan masyrakat pun membenarkan hal
tersebut. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu sekolah atau satu daerah saja,
namun terjadi juga di berbagai belahan dunia (dikutip dari PISA -Programme for
International Student Assessment- dalam Ryan dan Williams, 2007). Lebih
spesifik lagi dalam data PISA tahun 2012 tentang kemampuan Matematika siswa,
rerata Indonesia kurang dari standar minimal yang ditetapkan pada skala
internasional.
Berbagai metode atau model atau strategi diadaptasi pada pembelajaran
matematika guna meningkatkan kualitas dan keterampilan peserta didik untuk
menyelesaikan masalah maatematis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun penggunaannya harus merujuk pada inti permasalahan yang muncul dari
siswa. Miskonsepsi atau kesalahpahaman konsep dalam mentransfer informasi
yang diperoleh siswa ke dalam kerangka kerjanya, merupakan hal yang sering
dijumpai di sekolah dasar, mulai dari permasalahan di kelas rendah tentang

1
bilangan bulat dan operasi hitungnya, hingga permasalahan di kelas tinggi terkait
materi statistika dan peluang.
Miskonsepsi yang berkelanjutan jika tidak ditangani secara tepat dan diatasi sedini
mungkin, akan menimbulkan masalah pada pembelajaran selanjutnya. Sedangkan belajar
matematika perlu sebagai bekal siswa di masa yang akan datang, sehingga pembelajaran
matematika tidak hanya tentang bagaimana siswa terampil melakukan operasi hitung,
namun lebih dari itu, penanaman konsep pun perlu agar siswa memahami makna dari apa
yang ia pelajari. Sayangnya, miskonsepsi ini sering dipandang sebagai ketidakmampuan
kognitif siswa untuk menyerap materi yang ia pelajari. Adapun anggapan lain yaitu
kesalahan jawaban siswa karena masalah prosedural pengerjaan soal tersebut.

B. Pembahasan
1. Definisi Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi
Menurut Gagne (Karso, 2011), konsep adalah ide abstrak yang
memungkinkan kita mengelompokkan benda-benda ke dalam contoh dan bukan
contoh, seperti suatu segitiga dengan yang bukan suatu segitiga, antara bilangan
asli dengan yang bukan bilangan asli, dan seterusnya.
Pemikiran dan pemahaman setiap orang pada suatu konsep bisa saja berbeda-
beda. Meskipun dalam matematika kebanyakan konsep telah mempunyai arti yang
jelas yang telah disepakati oleh para ilmuan matematika, konsepsi siswa masih
bisa berbeda-beda, hal ini bisa dikarenakan karena andanya konsep-konsep yang
telah dimiliki sebelumnya. Berg (1991) mengatakan konsepsi adalah pengertian
atau tafsiran seseorang terhadap suatu konsep tertentu dalam kerangka yang sudah
ada dalam pikirannya dan setiap konsep baru didapatkan dan diproses dengan
konsep-konsep yang telah dimiliki.
Pemahaman siswa sebelum mereka mempelajari konsep secara formal di
sekolah disebut konsepsi awal (prakonsepsi). Ibrahim (2012) menyatakan suatu
prakonsepsi biasanya lebih mudah berubah. Prakonsepsi akan berubah manakala
siswa yang bersangkutan diajari konsep yang sebenarnya. Bila suatu prakonsepsi
tidak mudah berubah, dan orang yang memiliki prakonsepsi tersebut selalu
kembali kepada prakonsepsinya sendiri meskipun telah diperkenalkan dengan
konsep yang benar, hal itu dinamakan miskonsepsi. Hal ini sesuai pendapat

2
Bodner (dalam Suwarto, 2013) bahwasannya miskonsepsi sangat sulit diubah,
karena setiap orang membangun pengetahuannya persis dengan pengalamannya.
Suparno (dalam Suwarto, 2013) mendifinisikan miskonsepsi lebih menditail,
yaitu miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan
konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-
konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.
Siswa berpikir mengenai apa yang ia lakukan dalam berbagai hal.
Misalnya rumus, keterkaitan antar konsep, rasa jenuh dan kesenangan yang
merupakan bagian dari sikap dan pemahaman mereka tentang matematika. Satu
masalah pokok yang sangat serius mengenai sulitnya belajar matematika yaitu
miskonsepsi siswa yang telah diperoleh dari pengalaman siswa sebelumnya
mungkin masih tidak cukup, atau siswa tidak mengingatnya dengan baik. Hal
ini dapat difenisikan sebagai miskonsepsi.
Dikutip dari Oxford Learner‟s Pocket Dictionary edisi keempat:
“Misconception (about) belief or idea that is not based on correct
information.” Miskonsepsi mencakup pemahaman atau pemikiran yang tidak
berlandaskan pada informasi yang tepat. Keabsahan suatu informasi merujuk
pada sumber yang tepat serta disertai bukti-bukti yang otentik. Mengubah
kerangka kerja siswa merupakan kunci tercapainya tujuan untuk memperbaiki
miskonsepsi matematika.
Pines (dalam Allen, 2007) menyatakan bahwa “hubungan antar-konsep
yang diperoleh, bisa jadi tidak tepat dengan beberapa konteks. Ini yang disebut
sebagai miskonsepsi. Sebuah miskonsepsi tidak muncul dengan bebas, tetapi
merupakan kesatuan dari kerangka kerja yang telah ada. Miskonsepsi dapat
diganti atau dihilangkan dengan mengubah kerangka kerja.” Pemahaman
konsep baru yang diperoleh, bisa jadi mendukung, kurang tepat atau bahkan
bertentangan dengan pehamanan konsep sebelumnya. Hal ini didukung oleh
pendapat Gooding dan Metz (2011): “Ketika informasi datang mencapai
lapisan luar celebral untuk dianalisis, otak akan mencoba untuk mencocokkan
berbagai komponen dengan melihat kembali memori yang sudah ia ingat
sebelumnya dengan ciri yang sama.”

3
Dari beberapa definisi miskonsepsi di atas dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi adalah pemahaman yang tidak akurat akan konsep, penggunaan
konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang telah disepakati secara ilmiah oleh
pakar ahli dalam bidang tersebut, ketidak mampuan dalam menghubungkan
konsep awal dengan konsep selanjutnya secara benar dan bersifat resisten atau
sulit diubah.

2. Penelitian yang Relevan


Hasil penelitian Farida (2016) menunjukkan bahwa terdapat miskonsepsi
siswa pada materi bangun datar. Miskonsepsi tersebut terjadi karena siswa hanya
fokus menghafalkan bentuk tanpa memahami hubungan antar bangun datar serta
sifat-sifatnya (Farida, 2016).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nanda
Prasetyorini (2013) yang berjudul “Profil Miskonsepsi Siswa pada Materi Pokok
Pecahan Ditinjau dari Kemampuan Matematika Siswa”. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan rendah paling banyak
mengalami miskonsepsi pada materi pecahan namun miskonsepsi dapat dialami
oleh semua siswa.
Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anisatul Farida (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Miskonsepsi
Siswa Terhadap Simbol dan Istilah Matematika pada Konsep Hubungan Bangun
Datar Segiempat Melalui Permainan dengan Alat Peraga (SD Muhammadiyah 1
Surakarta)”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anisa Farida diketahui bahwa
siswa mengalami miskonsepsi simbol dan istilah matematika pada materi bangun
datar segiempat. Apabia guru dalam menjelaskan konsep hanya dengan metode
ceramah, maka siswa akan mengalami miskonsepsi yang lebih banyak. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Christy Matitaputty (2016) dalam penelitiannya
yang berjudul “Miskonsepsi Siswa dalam Memahami Konsep Nilai Tempat
Bilangan Dua Angka di SD Negeri 179 Palembang pada tahun 2016”. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa siswa yang mengalami
miskonsepsi pada konsep materi menentukan tempat bilangan.

4
3. Bentuk-bentuk Miskonsepsi
a. Prakonsepsi
Konseptualisasi adalah proses pembelajaran yang mengasimilasi
pengalaman baru ke dalam struktur yang memperluas skemata kognitif
dan skemata konseptual. Kerelatifan dalam pemahaman konseptual ini
dapat dilihat dari tingkat fleksibilitas dan dekontekstualisasi. Selama
proses pembelajaran, prakonsepsi mewakili baik overgeneralization
maupun undergeneralization dari konsep matematika. Soedjadi (2000,157),
menyatakan bahwa : ”Miskonsepsi timbul karena adanya prakonsepsi,
prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki seseorang tentang sesuatu obyek.
Konsep awal ini diperoleh seseorang dari pendidikan jenjang formal tertentu.
Konsep awal tentang suatu obyek yang dimiliki oleh seorang anak bisa saja
berbeda dengan konsep yang diajarkan di sekolah dalam obyek yang sama.
Bukanlah hal yang mustahil jika konsep yang diterima seorang anak tidak sama
dengan konsep yang diterima oleh anak lainnya.
b. Undergeneralization
Undergeneralization dinyatakan dalam pemahaman yang terbatas dan
kemampuan terbatas untuk menerapkan konsep-konsep. Pemahaman yang
terbatas ini, menjelaskan berbagai keadaan mengenai pengetahuan siswa pada
saat seluruh ide-ide matematika berkembang. Beberapa ujian/tes dapat
menggambarkan bagaimana pemahaman yang terbatas tersebut merusak
konsepsi kunci-kunci gagasan matematika.
Kasus pada bilangan rasional mungkin salah satu hal yang paling bermasalah
untuk siswa sekolah menengah. Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa
siswa sekolah menengah memahami bilangan rasional hanya sebagai hubungan
bagian-keseluruhan. Bahkan, penafsiran pecahan sebagai hubungan bagian-
keseluruhan hanya merupakan subconcept atau salah satu cara memahami
bilangan rasional.
Subkonsep bilangan rasional lainnya termasuk pecahan yang menampilkan
rasio, perbandingan, pengukuran, dan pengerjaan/operasi hitung.
Konseptualisasi bilangan rasional mencakup baik mengenai diferensiasi
maupun integrasi subkonsep. Sebelum konsep bilangan rasional berkembang
dengan matang, siswa hanya memahami secara terbatas. Maka instruksi pada

5
sistem bilangan harus mampu menjawab permasalah dari undergeneralization
karena ada anggapan jika ciri-ciri tertentu dalam sistem bilangan menghambat
pemahaman umum (Gelman dalam Ben-Hur: 2006).
Pada bidang lain pula ditemukan kesulitan besar pada siswa yang tidak
memahami struktur matematika formal ketika siswa belajar aritmatika yang
melibatkan transisi dari aritmatika ke pemikiran aljabar. Intuisi kuantitatif yang
membantu siswa memahami aritmatika ini menjadi sia-sia karena mereka
mengalihkan pemahaman dari aritmatika ke aljabar. Siswa tidak dapat
melakukan operasi hitung pada bilangan yang tidak diketahui/dirahasiakan,
siswa tidak dapat mengenali bagian-bagian tertentu dalam bentuk umum dan
tidak dapat menerapkan bentuk umum untuk kasus tertentu.
c. Overgeneralization
Kesalahan interpretasi menyebabkan pemahaman yang keliru namun berbeda-
beda cara, seperti pada kasus overgeneralization dan penerapan konsep yang
kurang dipahami dan aturan yang mereka anggap tidak relevan. Guru sekolah
menengah sangat jelas melihat masalah ini bahwa siswa menghadapi perluasan
sistem bilangan, mulai dari bilangan asli menjadi bilangan bulat, dan dari
bilangan bulat ke bilangan rasional, kebingungan operasi dengan angka dan
notasi ilmiah, dan transisi dari aritmatika ke aljabar. Siswa dengan tipe
overgeneralize menganggap bahwa "Anda tidak bisa memiliki lebih sedikit
daripada tidak sama sekali" hingga mereka memahami bilangan bulat dan
pemahaman yang sebelumnya tidak berlaku lagi. Siswa secara khusus
memahami secara berlebihan bahwa hasil operasi hitung selalu lebih besar dari
faktornya.
Contoh overgeneralization yang yaitu pemahaman siswa bahwa perkalian selalu
memunculkan hasil yang lebih besar (atau pembagian selalu memunculkan hasil
yang lebih kecil), misalnya 0,52 pasti lebih besar dari 0,5 dan sebagainya.
d. Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)
Terkadang siswa menemukan permasalahan dalam konteks tugas yang sulit
dipahami yang dinyatakan dengan cara lain daripada apa yang diharapkan, oleh
guru matematika. Ketika guru mennggunakan tehnik pemodelan sebagai cara
untuk menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini
mewakili penggunaan matematika yang kontekstual. Ada pendapat yang
menyatakan mungkin ketika siswa mengalami kesalahan pemodelan, siswa

6
tersebut memiliki pemodelan versi dirinya sendiri pada situasi tersebut, pada
permasalahan dengan pemodelan matematika, kecuali dalam konteks
pembelajaran di sekolah. Transisi dari bentuk informal dan kontekstual
menjadi bahasa matematis yang formal merupakan hal yang sulit namun
sangatlah penting. Pendapat pegagogik menyatakan masalah ini muncul ketika
siswa menerima pengetahuan informal dan ketika dikenalkan dengan bahasa
matematis formal. Contoh pada kehidupan sehari-hari yaitu saat mendengarkan
komentator olahraga mengucapkan „0,32‟ detik ketika mengumumkan hasil
finish dalam acara olahraga. Bahasa informal yang digunakan mungkin
memaknai „0,32‟ sebagai 32 dalam ratusan. Namun hal ini lebih parah lagi
ketika siswa berhadapan dengan desimal yang panjangnya berbeda, misal „0,5‟
dan „0,32‟, siswa akan mengalami miskonsepsi bahwa 0,5 pasti lebih kecil dari
0,32.
e. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)
Ketika siswa mempelajari suatu hal, siswa cenderung tidak mempelajarinya
tidak secara matematis. Hal ini tampak dari perkembangan pengerjaan dari
konsep yang lebih bersifat baku. Dengan menggunakan contoh baku untuk
sebuah konsep yang kita anggap sebagai tipe contoh satu-satunya. Dari sebuah
eksperimen, siswa mengikuti segala hal yang dipaparkan atau dikemukakan
oleh guru. Mintalah siswa anda membayangkan sebuah segi empat. Tanyakan
seperti apa bentuknya? Apakah segi empat itu diletakkan mendatar dengan sisi
panjang yang sejajar horizontal? Apakah tingginya setengah dari sisi panjang
atau justru tingginya tiga kali lebih panjang dari sisi panjangnya? Siswa
menganggap bahwa persegi atau bujur sangkar selalu dalam posisi mendatar
sejajar dengan horizontal, dan pada level yang lebih tinggi mereka menolak
untuk mengakui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, atau persegi
panjang juga merupakan jajargenjang.
Kesalahan contoh baku dapat ditemukan dalam konsep bangun datar dan
bangun ruang pada permasalahan pencerminan atau transformasi, yang terjadi
ketika siswa menggunakan contoh baku pencerminan (atau titik pusat pada
sumbu putar). Pada contoh baku biasanya menggunakan cermin sejajar sumbu
vertikal atau horizontal, dan jika disajikan cermin dalam posisi diagonal maka
bayangan dalam cermin bukan merupakan hasil pencerminannya.

7
f. Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)
Masalah siswa yang paling awal dijumpai ketika mengenal bilangan, yaitu saat
siswa menjawab pertanyaan misalnya „ada berapa banyak kancing?‟ yang
diajukan oleh guru, jawabannya yaitu bilangan terakhir yang diucapkan saat
siswa membilang banyaknya kancing yang disediakan oleh guru, seperti 1, 2,
3, 4,….8. Ketika ditanya kembali „ada berapa banyak kancing?‟ siswa
mungkin berpikir untuk menjumlahkan kancing yang disediakan oleh guru.
Dengan demikian, kata kunci „ada berapa banyak…..‟ merupakan petunjuk
untuk menjumlahkan. Namun proses menjumlahkan ini belum disadari sebagai
bentuk objek yang terdiri dari 8 kancing. Kebanyakan hasilnya diperoleh
dengan cara membilang sejumlah kancing tersebut.
Belajar matematika melibatkan banyak pengolahan antar objek dan kesalahan
pada pembelajaran seringkali dianggap sebagai kesalahan siswa saat
menyelesaikan pengolahan objek „pemisalan‟. Siswa menganggap bahwa 548
menupakan jawaban dari penjumlahan μ – 1452 = 2000. Hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman siswa terhadap soal tidak memadai, terutama pada simbol
sama dengan (=). Siswa pertama-tama memahami tanda sama dengan, sebagai
instruksi untuk menghasilkan bilangan melalui proses aritmatik, contoh: 3 + 5
= ? Proses yang terjadi saat siswa melihat tanda sama dengan, yaitu memproses
3 ditambahkan dengan 5 menghasilkan 8. Lambang sama dengan seharusnya
dimaknai sebagai „setara dengan‟ atau „adalah sama dengan‟. Sehingga 8
setara dengan 3 ditambah 5.
Pada konteks pengukuran panjang, siswa mungkin kesulitan mengidentifikasi
hubungan antara label bilangan dengan cara mengukur yang digunakan.
Dengan demikian, label 5 pada penggaris menunjukkan adanya 5 unit panjang
(misal, sentimeter) yang diukur mencapai label 5, jika diukur dari label nol
pada penggaris. Jelaskan pada siswa bahwa 5 unit tersebut adalah interval
diantara angka-angka pada penggaris yang sebenarnya terdapat enam angka
yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5. Penjelasan tentang hubungan interval ini mungkin dapat
menjelaskan banyaknya kesalahan dalam operasi hitung meskipun masih
menggunakan proses penjumlahan pada garis bilangan. Siswa mungkin
menjawab 18 – 14 = 15 dengan cara menghitung mundur angka 18, 17, 16, 15,
atau menghitung pada garis bilangan tanpa melihat interval diantara bilangan
tersebut.

8
4. Analisis Kesalahan dan Perbaikan serta Contoh Miskonsepsi
a. Kesalahan Dasar, siswa tidak mempunyai pengetahuan tentang
prosedur yang dipergunakan untuk menjawab soal

b. Kesalahan Sistematika, siswa memiliki pengetahuan secara parsial


tentang prosedur, tetapi ia gagal karena salah memahami konsep
kuncinya

1) Kesalahan perataan angka

9
2) Kesalahan “Yang Besar Kurang Yang Kecil” (B-K)

3) Kesalahan “Pemisahan Koma Desimal” (PKD)

4) Kesalahan “Penurunan Angka Desimal” (PAD)

5) Kesalahan Penempatan Koma Desimal pada Perkalian

10
6) Kesalahan Pemisahan yang Dibagi

c. Kesalahan Perhitungan, siswa memiliki pengetahuan cukup tentang


prosedur, tetapi ia membuat kesalahan dalam perhitungan/kurang teliti

Adapun alternatif perbaikan dari contoh tersebut yakni

 Kesalahan Dasar  pembelajaran ulang tentang konsep dan prosedur


secara lengkap

 Kesalahan Sistematika  perbaikan yang mengenai sasaran


berdasarkan identifikasi sumber kesalahan

 Kesalahan Perhitungan  penemuan sendiri kesalahan dapat


dilakukan siswa bila mereka tahu jawaban yang salah

11
5. Identifikasi Miskonsepsi
a. CRI (Certainty of Response Index )
Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi, sekaligus dapat
membedakannya dengan tidak tahu konsep, Saleem Hasan (1999 : 294 - 299)
telah mengembangkan suatu metode identifikasi yang dikenal dengan istilah
CRI (Certainty of Response Index), yang merupakan ukuran tingkat
keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap pertanyaan (soal) yang
diberikan. CRI biasanya didasarkan pada suatu skala dan diberikan bersamaan
dengan setiap jawaban suatu soal. Tingkat kepastian jawaban tercermin dalam
skala CRI yang diberikan, CRI yang rendah menandakan ketidakyakinan
konsep pada diri responden dalam menjawab suatu pertanyaan, dalam hal ini
jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan semata. Sebaliknya CRI yang
tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang tinggi pada diri
responden dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsur tebakan sangat
kecil. Seorang responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dapat
dibedakan secara sederhana dengan cara membandingkan benar tidaknya
jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI)
yang diberikannya untuk soal tersebut.
b. Tes Diagnostik Miskonsepsi
Suwarto (2013) menyatakan tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk
mengetahui kelemahan atau miskonsepsi pada topik tertentu dan
mendapatkan masukan tentang respons siswa untuk memperbaiki
kelemahannya. Tes diagnostik dapat berupa tes pilihan ganda atau tes benar
salah dengan pembetulan (Ibrahim, 2012).
c. Triangulasi data
Untuk mendapatkan data yang valid mengenai miskonsepsi yang dialami
oleh siswa dan penyebabnya, maka dilakukan tringulasi data.Tringulasi
data yaitu dengan membandingkan data hasil analisis hasil tes tertulis
dengan analisis hasil wawancara.

6. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi


Suparno (2005:29), menyatakan secara garis besar penyebab miskonsepsi
dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: (a) Siswa (penyebab yang berasal

12
dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi awal,
kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berfikir dan teman lain), (b)
Guru (penyebab kesalahan guru dapat berupa ketidakmampuan guru,
kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru
dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik), (c) Buku teks (penyebab
miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang
salah dalam buku tersebut), (d) Konteks (penyebab miskonsepsi pada konteks
dapat berubah seperti teman lain, budaya, agama dan bahasa sehari-hari), (e)
Metode mengajar (metode mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu
segi sering memunculkan salah pengertian pada siswa. Seringkali penyebab-
penyebab itu berdiri sendiri, tetapi kadang-kadang saling terkait satu sama lain,
sehingga salah konsep dan pengertiannya menjadi semakin kompleks.
Hal senada juga dikemukakan Rahayu (2011) bahwa miskonsepsi yang
dialami siswa dapat berasal dari pengalaman sehari-hari ketika siswa
berinteraksi dengan lingkungannya.Selain itu, miskonsepsi dapat berasal dari
konsep salah yang diajarkan guru pada jenjang sebelumnya. Sebagaimana
dijelaskan di atas, adanya miskonsepsi dapat menjadi sumber kesulitan siswa
dan menghambat proses belajar, dan pada akhirnya dapat menyebabkan
rendahnya penguasaan konsep dan hasil belajar siswa. Oleh sebab itu, Taber
(dalam Tan et al., 2002) mengemukakan pentingnya mengidentifikasi
miskonsepsi siswa untuk membantu menempatkan kembali pengetahuan awal
(prakonsepsi) mereka menjadi konsep yang dapat diterima secara sains. Lebih
lanjut, Purtadi (2009) menjelaskan bahwa pentingnya mengidentifikasi
miskonsepsi pada siswa dikarenakan konsep-konsep yang salah atau
miskonsepsi tersebut akan mengakibatkan siswa mengalami kesalahan juga
untuk konsep pada tingkat berikutnya atau ketidakmampuan menghubungkan
antarkonsep.

13
7. Upaya Mengatasi Miskonsepsi
a. Menerapkan model pembelajaran CUPs
Iskandar (2015) yang menyatakan bahwa salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi miskonsepsi siswa adalah melalui pembelajaran
konstruktivis. Pembelajaran konstruktivis ini akan melibatkan interaksi
antara pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah siswa miliki
sebelumnya (Sadia, 2014). Selanjutnya, teori konstruktivis Vygotsky
menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang dalam proses belajar
juga dapat terjadi melalui pembelajaran secara kooperatif (Amir &
Risnawati, 2016). Pembelajaran kooperatif inilah yang dapat
mengembangkan cara berpikir dengan berbagi ide, mengaplikasikan
pengetahuan, dan menuntun untuk saling bekerjasama dengan kemampuan
siswa yang berbeda (Slavin, 2005).
Salah satu model pembelajaran konstruktivis dan kooperatif yang dapat
diterapkan dalam belajar matematika adalah model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Model pembelajaran CUPs
pertama kali digunakan untuk mengajar pada pelajaran fisika, tetapi dapat
juga dikembangkan dan dirancang untuk pembelajaran lain seperti kimia,
biologi, dan matematika (Mulhall & McKittrick, 2014).
b. Menerapkan metode pembelajaran delikan (dengar, lihat, kerjakan)
Salah satu metode pembelajaran yang bisa diterapkan untuk mengatasi
miskonsepsi siswa adalah metode pembelajaran delikan (dengar, lihat,
kerjakan). Metode pembelajaran delikan menekankan kegiatan belajar
siswa, dimulai dari kegiatan mendengar, disusul dengan kegiatan melihat,
dan diakhiri dengan kegiatan mengerjakan. Tiga hal tersebut ada dalam satu
kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam metode ini, tugas
guru adalah memberi stimulasi auditif (pendengaran), stimulasi visual
(penglihatan), dan stimulasi motorik (pekerjaan) (Nana Sudjana, 1989 : 97).
Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut pembelajaran akan berlangsung
efektif dan efisien sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya
miskonsepsi

14
c. Menerapkan Peta Konsep
Peta konsep diartikan sebagai alat skematis untuk mempersentasikan suatu
konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi. Proposisi-proposisi
yang terdiri dari beberapa informasi kemudian diorganisasikan menjadi peta
konsep. Melalui peta konsep siswa dapat melihat hubungan antar konsep yang
saling terkait secara jelas sehingga informasi-informasi tersebut menjadi
mudah dipahami dan mudah diingat (James E. Twining, 1991:172).
Dalam peta konsep juga dapat terlihat kaitan-kaitan konsep dalam bentuk
proposisi yang saling berhubungan. Proposisi tersebut disusun secara hirarki
dari yang bersifat umum sampai yang bersifat khusus. Sehingga terjadi belajar
bermakna dalam struktur kognitif siswa (Kadir, 2004:765).Peta konsep dapat
berperan sebagai media pengajaran yang baik dan menarik dikarenakan peta
konsep dapat menyederhanakan materi pelajaran yang kompleks sehingga
memudahkan siswa dalam menerima dan memahami prinsip-prinsip dari suatu
materi pelajaran (Zulfiani, 2008).
Pemetaan konsep menurut Ricardo, dianggap sebagai teknik belajar yang
utama digunakan untuk representasi grafis dari pengetahuan. Teknik ini
sebelumnya dibuat dan dikembangkan di Cornell University dan didasarkan
pada teori "Belajar Bermakna"yang diusulkan oleh Ausubel. Teori ini
mendukung hipotesis bahwa "Faktor yang paling penting dalam belajar adalah
subjek apa yang telah diketahui".
d. Teknik Guru dalam Mengajar
Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi miskonsepsi yakni guru harus
memiliki teknik untuk membantu siswa merekonstruksi dengan konsep yang
tepat. Lochead & Mestre 1988 dalam Allen, menyatakan tekhniknya yaitu:
1. Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kualitatif
Kualitas pemahaman siswa terhadap materi harus diketahui sehingga guru
dapat memperbaiki miskonsepsi tersebut menggunakan metode dan
strategi yang efektif.
2. Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kuantitatif
Banyaknya jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi pun harus
diketahui. Karena bisa jadi penggunaan metode yang kurang tepat pada
pembelajaran sebelumnya menyebabkan banyak bermunculan miskonsepsi
di kelas

15
3. Selidiki dan temukan alasan yang konseptual
Berikan pemahaman yang bertahap dari tiap konsep. Diawali dari hal yang
kongkrit, ikonik dan simbolik (Menurut Ausubel) sesuai tahap berpikir
siswa. Ketiga hal tersebut sangat menunjang ketika guru menghadapkan
siswa dengan menyajikan contoh yang berlawanan dengan
miskonsepsinya. Dari contoh yang berlawanan tersebut akan muncul
penemuan sendiri yang bersifat lebih kuat. Miskonsepsi itu akan
tergantikan ketika terjadi perubahan konsepsi siswa. Berbagai metode atau
model atau strategi atau pendekatan dapat dikembangkan oleh guru sesuai
dengan kondisi kelas.

8. Respon Guru Terhadap Miskonsepsi Siswa


Pemahaman tentang miskonsepsi siswa dan strategi efektif untuk membantu
menghilangkan miskonsepsi tersebut, merupakan aspek penting dalam kemampuan
pedagogikal konten matematika (Mathematic‟s Pedagogical Content Knowledge).
Dalam penjumlahan, guru telah berusaha menggunakan serangkaian cara untuk
menghilangkan miskonsepsi, guru juga harus melakukan pendekatan untuk
menghadapi miskonsepsi yang tidak bisa diacuhkan tersebut. Segera setelah
miskonsepsi terdeteksi, guru harus menentukan strategi apa yang bisa mereka
gunakan. Jika mengajarkan ulang maka ketegasan harus dibuat mengenai apa yang
harus ditekankan/dicirii dan bagaimana cara mengingatnya. Dalam mengalamatkan
miskonsepsi siswa, pendekatan yang digunakan guru mungkin berpusat pada aspek
prosedural atau aspek konseptual. Hiebert dan Lefevre (dalam Cockburn, 2008)
membedakan pengetahuan konseptual yang dijabarkan sebagai cara menumbuhkan
relasi yang baik, sedangkan pengetahuan prosedural memfokuskan pada gambaran
simbolis dan algoritmis. Kurikulum memperhatikan kedua aspek tersebut, salah satu
tantangan pembelajaran yaitu kedua aspek tersebut harus dicapai, permasalahan ini
memburuk apabila guru kurang fasih dalam memahami konsep tema yang dibahas.
(Chick, 2003).
Menyelidiki kemampuan pedagogis guru dan cara yang digunakan oleh guru
merupakan pembuktian yang menantang, karena kemampuan pedagogis muncul
ketika menghadapi kelas yang dikelolanya. Kondisi kelas berubah dari waktu ke
waktu dan berbeda dari satu masalah ke masalah lain sehingga banyak sekali cara
untuk mengobservasi dua orang guru pada kelasnya masing-masing pada saat

16
menggunakan kemampuan pedagogik yang muncul dan membandingkan keduanya
bukanlah hal yang mudah. Untuk pembelajaran berskala besar, diperlukan sumber
rujukan karena mempengaruhi luas cakupan pengujian kemampuan pedagogik.
Penelitian respon guru terhadap miskonsepsi siswa pernah dilakukan oleh Chick
dan Baker pada sembilan orang guru australia. Saat itu partisipan merupakan pengajar
di kelas 5 dan 6 (siswa usia 10-12 tahun). Partisipan telah berpengalaman mengajar
antara 2 hingga 22 tahun, tetapi tidak semua pengalaman mengajar itu hanya pada
kelas 5 atau 6 saja. Penelitian kemampuan pedagogik ini dilakukan dengan cara
melengkapi kuesioner dan wawancara mengenai jawaban yang tertulis dalam
kuesioner. Kuesioner tersebut berisi beberapa butir pertanyaan yang berkaitan dengan
situasi pembelajaran matematika dan cara pandang guru, partisipan menjawab tanpa
batasan waktu dan sumber jawaban. Peneliti mewawancarai partisipan untuk
memperjelas jawaban ambigu atau kesalahan penulisan. Partisipan menjawab empat
butir dari keseluruhan kuesioner. Empat butir pertanyaan didesain untuk
mengeksplorasi bagaimana respon guru pada miskonsepsi siswa, dengan fokus pada
pengurangan algoritma, pembagian pecahan, penjumlahan pecahan, dan keterkaitan
antara luas dan keliling.
Ketika guru memberikan penjelasan atau bagaimana cara mengatasi masalah
siswa dengan tepat, penjelasannya lebih pada kategori konseptual atau prosedural atau
keduanya. Untuk justifikasi bahwa masalah siswa merupakan respon konseptual, maka
harus menggunakan referensi tepat untuk menanamkan prinsip matematika, atau bagi
yang bertentangan kerap kali memberikan teknik prosedural tanpa justifikasi yang
tepat. Pada akhirnya, respon partisipan diuji lebih lanjut untuk memperjelas
identifikasi aspek keterampilan pedagogik dalam penjelasan mereka.

C. Penutup
1. Simpulan
Dapat kita ketahui bahwa miskonsepsi merupakan kesalahan konsep yang tidak
berlandaskan pada informasi yang tepat. Miskonsepsi dapat terjadi karena hubungan
antar-konsep yang tidak saling berkaitan. Adapun miskonsepsi ini erat hubungannya
dengan „prakonsepsi‟, „kerangka alternatif primitif,‟ atau „Ide-ide intuitif naif‟.
Bentuk-bentuk miskonsepsi yaitu prakonsepsi, undergeneralization,
overgeneralization, modelling error, prototyping error, dan process-object error.
Sebagian partisipan (guru) dalam penelitian Chick dab Baker (2007), berupaya

17
mengajarkan ulang siswa agar lepas dari miskonsepsi dengan cara penanaman
konseptual, sebagian lain memfokuskan pada melatih kemampuan prosedural operasi
bilangan, dan sebagian lagi mengajarkan baik dari aspek konseptual maupun
prosedural. Adapun tekhnik yang yang harus dilakukan yaitu guru harus menyelidiki
dan tentukan pemahaman dari segi kualitatif dan kuantitatif, serta menemukan alasan
yang konseptual terkait perkembangan kognitif siswa dan materi yang diajarkan.
2. Saran
Kemampuan memahami tiap konsep dalam matematika tidak bisa diabaikan
begitu saja karena jika terjadi miskonsepsi akan menghambat proses kognitif siswa,
yang mungkin kemampuan tersebut menjadi prasyarat untuk memahami pembelajaran
atau permasalahan selanjutnya. Guru harus merespon dengan baik hambatan siswa
saat pembelajaran sehingga miskonsepsi dapat dihindari atau dihilangkan. Pendekatan
konsetual dan prosedural dapat digunakan sebagai acuan pembelajaran atau remidiasi
miskonsepsi

18
DAFTAR PUSTAKA

Allen, G. D. 2007. Student Thinking. Department of Mathematics. Texas: A&M


University
Amir, Z., & Risnawati. (2016). Psikologi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta:
Aswaja
Andini, Desi. (2011). Miskonsepsi Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika Di
Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Gaja Madha
Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction. Alexandra:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Chick, H. L. dan Baker, M. K. (2005). Investigating Teacher‟s Responses To
Student Misconceptions. University of Melbourne.Mudjiono. (2006).
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Cockburn, A. D. dan Littler G. (2008). Mathematical Misconceptions; A Guide
for Primari Teacher. London: Replika Press.
Dr. Suwarto. 2013. Pengembangan tes Diagnostik dalam Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farida, A. (2016). Analisis Miskonsepsi Siswa Terhadap Simbol dan Istilah
Matematika Pada Konsep Hubungan Bangun Datar Segiempat Melalui
Permainan dengan Alat Peraga. Konferensi Nasional Penelitian Matematika
dan Pembelajarannya (KNPMP I) (pp. 286-295). Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Gooding, J. dan Metz, B. (2011). The Teacher‟s Science Journal. From
Misconception to Conceptual Change, hlmn 34-37.
Hasan, S., D. Bagayoko, D., and Kelley, E. L., (1999), Misconseptions and the
Certainty of Response Index (CRI), Phys. Educ. 34(5), pp. 294 - 299.
Ibrahim, M. 2012. Konsep, Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya:
Unesa University Press
Jauhar, Mohammad. (2011). Implementasi PAIKEM. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.

19
Karso dkk. 2011. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universita Terbuka.
Mahendrawan, Ersam. 2012. Upaya Mengatasi Miskonsepsi Siswa Melalui Metode
Pembelajaran delikan (dengar, lihat, kerjakan) Pada Siswa Kelas VIII Semester
Genap SMP Muhammadiyah 2 Surakarta. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Prasetyorini, Nanda. 2013. Profil Miskonsepsi Siswa Pada Materi Pokok Pecahan
Ditinjau dari Kermampuan Matematika Siswa. ejournal UNESA. 2(1).
Ryan, J. dan Williams, J. (2007). Children‟s Mathematics 4-15; Learning From
Errors and Mosconceptions. UK: Open University Press
Sadia, I. W. (2014). Model-Model Pembelajaran Sains Konstruktivistik.
Singaraja: Graha Ilmu.
Sudjana, Nana. 1989. Model-model Mengajar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
Bandung : Sinar Baru.
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan
Fisika. Jakarta: PT. Grasindo. Iskandar, S. M. (2015). Pendekatan
Pembelajaran Sains Berbasis Konstruktivis. Malang: Media Nusa
Creaticve.
Yuan-Chen, L., Hong-Yan, L., dan Wei-Kai, W. (2002). Mathematic Guide-
Leraning System to the Misconception of Elementary Student. Proceedings
of International Conference on Computers in Education.
Van den Berg, E., (1991), Miskonsepsi Fisika dan Remediasi, UKSW, Salatiga
Wahidin. 2013. Pola dan Kekeliruan Matematika, Tinjauan Terhadap
Kemampuan Penalaran. Prosiding, Vol 1.

20

Anda mungkin juga menyukai