Anda di halaman 1dari 42

8

BAB II LEVEL MIKROSKOPIK DALAM BUKU TEKS KIMIA SMA, PEMBELAJARAN, DAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

2.1 Konsep Menurut Rosser (Dahar, 1996) konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubunganhubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda, maka orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Sejalan dengan itu, Sagala (2005) menyatakan bahwa konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi, dan berfikir abstrak. Konsep dapat mengalami perubahan sesuai dengan fakta dan pengetahuan baru yang diperoleh seseorang. Secara singkat dapat kita katakan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulus-stimulus. Adapun ciri-ciri konsep Ilmu Pengetahuan Alam adalah sebagai berikut (Dahar, 1996): 1) Konsep merupakan buah pikiran yang dimiliki oleh seseorang dan dapat merupakan simbol. 2) Konsep diambil dari hasil pengamatan manusia terhadap benda, peristiwa, dan fakta.

3) Konsep adalah hasil pikiran abstraksi manusia yang dirangkum dari berbagai pengalaman. 4) Konsep merupakan kaitan fakta-fakta atau pola dari fakta-fakta. 5) Konsep dapat mengalami perubahan jika ditemukan fakta-fakta baru yang menyimpang dari fakta-fakta sebelumnya. Disebutkan Nasution (2005), bila seseorang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas, atau kategori, maka ia telah belajar konsep. Gagne (Dahar, 1996) membagi konsep dalam dua kategori, yaitu konsep konkret dan konsep terdefinisi. Konsep konkret dapat diperoleh melalui observasi atau pengamatan, sedangkan konsep terdefinisi adalah gagasan yang diturunkan dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa abstrak. Konsep terdefinisi yang diturunkan dari objek-objek abstrak ini disebut juga dengan konsep mikroskopik (Effendy, 2002). Sastrawijaya (1988) mengatakan bahwa kimia penuh dengan konsep-konsep yang dapat diaplikasikan dalam ranah mikroskopik. Gejala kimia yang dapat diamati pada tingkat makroskopik dijelaskan dengan perilaku dan sifat-sifat atom pada level mikroskopik. Metode yang digunakan dalam pembelajaran melalui representasi mikroskopik, dan pemahaman tingkat molekuler merupakan hal yang sangat mendasar dalam kimia (Nakhleh, et al., 1996). Banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak, menyebabkan adanya kecenderungan bahwa konsep-konsep tersebut akan dapat dipahami dengan baik oleh anak-anak yang telah mampu berfikir abstrak. Namun, kemampuan untuk berfikir abstrak tersebut hanya merupakan sebagian dari kemampuan yang

10

diperlukan untuk mempelajari kimia. Kemampuan lain yang diperlukan dalam mempelajari kimia diantaranya adalah kemampuan menghafal, kemampuan matematis, dan kemampuan visual-spatial. Jika siswa tidak memiliki kemampuankemampuan tersebut, dikhawatirkan mereka akan mendapat kesulitan dalam mempelajari kimia dan pemahaman konsep kimia yang tidak tepat sehingga mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Informasi tentang konsep-konsep yang harus diajarkan pada siswa dengan umur tertentu atau kelas tertentu, dapat diturunkan dari sejumlah sumber, termasuk penulis-penulis buku-buku pelajaran (buku teks), pengembanganpengembangan kurikulum, pengetahuan dan pengalaman guru itu sendiri, dan anak-anak atau siswa itu sendiri. Seorang penulis buku telah menemukan konsepkonsep yang menurut mereka sesuai bagi para siswa dalam bidang studi itu pada tingkat sekolah dan kelas tertentu. Jumlah konsep-konsep yang disajikan dan ketepatan uraian atau definisi dari konsep-konsep berbeda dari buku ke buku (Dahar, 1996). Markle (Dahar, 1996) mengemukakan bahwa kerap kali bukubuku itu menyajikan konsep-konsep yang tidak lengkap, atau menggunakan

konsep-konsep yang lain yang mungkin para siswa tidak kenal, untuk menjelaskan atau mendefinisikan suatu konsep baru.

2.2 Konsepsi dan Miskonsepsi 2.2.1 Definisi Konsepsi dan Miskonsepsi Konsepsi diartikan sebagai suatu kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal (Dykstra dalam Saptono, 1997). Sedangkan menurut

11

Syauki (2000) konsepsi siswa adalah kemampuan pemahaman dan aplikasi konsep yang dimiliki oleh siswa. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsepsi adalah kemampuan seseorang dalam menafsirkan suatu konsep. Walaupun para ilmuwan telah menyepakati dan mendefinisikan arti konsep, masing-masing orang dapat menafsirkan konsep dengan cara sedikit berbeda. Selama tafsiran tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran para ilmuwan, maka orang tersebut tidak dinyatakan salah konsepsi atau miskonsepsi. Namun apabila tafsiran seseorang bertentangan dengan tafsiran para ilmuwan maka orang tersebut dikatakan mengalami salah konsep atau miskonsepsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan van den Berg (Haffan, 2001), bahwa miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami sebuah konsep yang menunjuk pada konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu.

2.2.2 Sumber-Sumber Miskonsepsi Penyebab miskonsepsi siswa, bisa berasal dari luar dan dari dalam diri siswa tersebut. Peneliti miskonsepsi menemukan beberapa hal yang menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa diantaranya yaitu siswa, guru, konteks, buku teks, dan metode mengajar (Suparno, 2005). Dalam hal ini, akan dibahas mengenai penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa, guru, dan buku teks. a. Siswa Penyebab miskonsepsi bisa berasal dari diri siswa itu sendiri. Menurut filsafat konstruktivisme, adanya miskonsepsi menunjukkan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh siswa sendiri. Berg (1991) mengungkapkan bahwa terjadinya miskonsepsi dapat disebabkan oleh gagasan-gagasan yang muncul dari pikiran siswa yang bersifat pribadi. Miskonsepsi yang berasal dari siswa dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain:

12

1) Konsep awal siswa Sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di sekolah, siswa sudah mempunyai konsep awal tentang suatu bahan pelajaran. Apabila konsep awal yang dimiliki siswa mengandung miskonsepsi, maka konsep awal ini akan menyebabkan miskonsepsi pada materi-materi selanjutnya, sampai kesalahankesalahan itu diperbaiki. Konsep awal siswa bisa didapat dari beberapa hal misalnya dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalamannya sendiri di lingkungannya. Miskonsepsi akan lebih banyak terjadi jika yang

mempengaruhi pembentukan konsep awal siswa tersebut mempunyai banyak miskonsepsi. 2) Pemikiran asosiatif siswa Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang bisa menyebabkan miskonsepsi (Marioni dalam Suparno, 2005). Perbedaan pengertian suatu kata yang sama antara siswa dengan guru dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru pada pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena kata dan istilah itu mempunyai arti lain dalam kehidupan mereka sehari-hari. 3) Reasoning yang tidak lengkap atau salah Menurut Comins (Suparno, 2005), miskonsepsi juga dapat disebabkan reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Tidak lengkapnya informasi atau data yang diperoleh, bisa menyebabkan alasan yang tidak lengkap pula. Hal ini akan berakibat pada siswa pada saat menarik kesimpulan. Siswa akan salah menarik kesimpulan dan ini akan menyebabkan

13

miskonsepsi. Selain tidak lengkapnya informasi yang diperoleh, alasan yang salah juga dapat terjadi karena logika yang salah dalam mengambil kesimpulan atau menggeneralisasi, sehingga terjadi miskonsepsi. 4) Tahap perkembangan kognitif siswa Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digelutinya dapat menyebabkan miskonsepsi siswa. Pada umumnya, siswa yang masih dalam tahap operational concrete akan sulit untuk menangkap suatu bahan yang abstrak dan sering salah mengerti tentang konsep tersebut. Siswa yang masih dalam tahap operational concrete, berpikir berdasarkan halhal yang konkret, nyata yang dapat dilihat oleh indra. Untuk itu, agar konsep ketidakpastian tersebut dapat dikonstruksi oleh siswa, maka perlu disajikan dalam contoh yang konkret. Dalam ilmu kimia, objek konkret dalam level mikroskopik harus diganti dengan model, misalnya model atom atau model molekul (Sastrawijaya, 1988). Walaupun model yang disajikan seringkali tidak dapat mencakup keutuhan abstraksi, namun dengan adanya model, diharapkan akan membantu siswa memahami konsep kimia secara utuh. Effendy (2002) menyatakan bahwa konsep kimia pada umumnya merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan gambaran mikroskopik dari objek atau peristiwa kimia. 5) Kemampuan siswa Perbedaan kemampuan siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Siswa yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari suatu bidang

14

tertentu, sering mengalami kesulitan untuk menangkap konsep yang benar pada proses belajar. 6) Minat belajar Siswa yang tidak tertarik pada suatu bidang studi tertentu, biasanya kurang berminat untuk mempelajarinya dan kurang memperhatikan penjelasan guru pada saat proses belajar. Akibatnya mereka akan lebih mudah salah menangkap dan menimbulkan miskonsepsi. b. Guru Miskonsepsi siswa dapat terjadi karena guru kurang menguasai bahan pelajaran atau salah dalam memahami pelajaran. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dian Finatri (2007) ditemukan bahwa ternyata guru masih mengalami miskonsepsi dalam memahami level mikroskopik pada konsep larutan. Bila miskonsepsi ini diteruskan kepada siswa yang menganggap apa-apa yang diberikan guru selalu benar, maka siswa akan mengalami miskonsepsi yang sangat kuat dan biasanya sulit diperbaiki. Miskonsepsi pada guru ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu, pendidikan dan pelatihan guru yang kurang dan buku referensi yang kurang menunjang pengetahuan guru. c. Buku Teks Buku teks berfungsi sebagai penunjang kegiatan belajar-mengajar dalam mata pelajaran tertentu. Semakin baik kualitas suatu buku teks maka semakin sempurna pengajaran mata pelajaran yang ditunjangnya. Buku teks mengenai kimia yang bermutu tentu akan meningkatkan kualitas pengajaran kimia.

15

Greene dan Petty (Tarigan, 1986) telah menyusun cara penilaian buku teks dengan sepuluh kriteria. Apabila suatu buku teks dapat memenuhi 10 persyaratan yang diajukan maka dapat dikatakan buku teks tersebut berkualitas. Butir-butir yang harus dipenuhi oleh suatu buku teks, yang tergolong dalam kategori berkualitas tinggi diantaranya ialah harus memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya dan harus dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya. Sarana-sarana khusus yang ada dalam suatu buku teks dapat menolong para pembaca untuk memahami isi buku teks. Sarana seperti skema, diagram, matriks, gambar-gambar ilustrasi, dan sebagainya berguna sekali dalam mengantar pembaca ke arah pemahaman isi buku. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa buku teks ternyata dapat menyebabkan miskonsepsi (Renner dalam Suparno, 2005). Penyebab miskonsepsi biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah. Kalimat-kalimat yang digunakan kaku, kurang mengalir, kering, dan tidak komunikatif. Buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa yang sedang belajar juga dapat menumbuhkan miskonsepsi karena mereka sulit menangkap isinya. Akibatnya, mereka hanya menangkap sebagian atau bahkan tidak mengerti sama sekali. Pengertian yang tidak utuh ini dapat menimbulkan miskonsepsi yang besar, terlebih bila siswa menghadapi persoalan yang lebih luas dan mendalam. Selain itu, sering kali buku-buku yang ada tidak dilengkapi dengan visualisasi. Siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir visual-

16

spatialnya, padahal kemampuan ini merupakan kemampuan yang cukup penting untuk memahami konsep kimia selain kemampuan hafalan dan hitungan. Sebagai akibatnya, siswa belum bisa berpikir visual-spatial yang sesuai dengan konsep kimia yang sedang dipelajari dan siswa akan mengembangkan imajinasinya sendiri yang mungkin sesuai dengan pendapat ilmuwan atau bisa juga bertentangan (tidak sesuai atau mengalami miskonsepsi).

2.2.3 Cara Mendeteksi Miskonsepsi Sebelum menangani miskonsepsi yang dialami siswa, maka kita perlu mengetahui apa saja miskonsepsi yang terjadi itu dan darimana miskonsepsi tersebut didapat. Oleh karena itu, diperlukan cara mendeteksi miskonsepsi tersebut. Ada beberapa alat yang sering digunakan oleh peneliti dan guru diantaranya peta konsep, tes multiple choice dengan reasoning terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanya jawab (Suparno, 2005). Dalam penelitian ini, alat yang digunakan untuk meneliti pemahaman level mikroskopik siswa adalah tes esai tertulis dilengkapi dengan penggambaran model partikel yang memuat beberapa konsep dalam materi sifat koligatif larutan. Dari tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa dan dalam hal apa siswa tersebut mengalami miskonsepsi.

17

2.3. Level Mikroskopik dalam Kimia Level pemahaman pada mata pelajaran kimia terdiri dari level makroskopik, mikroskopik, dan simbolik (gambar 2.1). Johnstone menyatakan bahwa konsep IPA dan tiga level cara mamahami IPA, menjadikan IPA sulit dipelajari. Ia juga mengatakan tiga level pemahaman ini tidak hanya khas untuk kimia, tapi juga untuk biologi dan fisika. Hanya saja kimia lebih sering menggunakan lambang matematik, rumus, dan persamaan untuk memperlihatkan hubungan level makroskopik dan mikroskopik (Gabel, 1999).

Makroskopik

Sub-mikro (partikulat)

Simbolik

Gambar 2.1. Tiga Tingkatan Pemahaman Kimia (Johnstone dalam Gabel, 1999).

Menurut Dori, J.Y, et al. (2002), level makroskopik adalah level sensor di mana subjek materi dapat dilihat, dipegang, atau dicium dan juga meliputi beberapa perubahan warna atau massa. Level simbolik merupakan terjemahan dari pengalaman dan kegiatan eksperimen atau level mikroskopik ke dalam simbolsimbol, persamaan reaksi dan rumus-rumus, sedangkan level mikroskopik mempresentasikan tentang susunan dan pergerakan partikel-partikel zat dalam suatu fenomena yang tidak langsung teramati (Raviolo, 2001). Ketiga jenis level

18

representasi ini memiliki keterkaitan satu sama lain, di mana level mikroskopik berfungsi untuk menjelaskan level makroskopik dan menjembatani kedua level lainnya dalam memahami suatu konsep. Pemahaman pada level mikroskopik dalam pelajaran kimia di sekolah seringkali diabaikan. Padahal, gejala kimia yang dapat diamati pada level makroskopik dapat dijelaskan dengan perilaku dan sifat-sifat atom pada level mikroskopik. Walaupun sudah banyak siswa yang melakukan praktikum kimia (makroskopik), namun mereka terkadang tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya (mikroskopik) dalam percobaan yang mereka lakukan tersebut. Banyak siswa yang mengalami kesulitan mempelajari level pemahaman simbolik dan molekuler dalam kimia (Wu, 1997). Berdasarkan penelitian empiris (e.g., Ben-Zvi, Eylon, & Silberstein, 1987; Ben-Zvi, Eylon, & Silberstein, 1988; Griffiths & Preston, 1992) menunjukkan bahwa level mikroskopik dan simbolik merupakan kesulitan teristimewa pada siswa karena level ini invisibel dan abstrak sedangkan pikiran siswa mengandalkan informasi sensori motorik yang dialami oleh pancainderanya (Wu, 1997). Untuk membantu siswa memahami kimia pada tiga level tersebut, para peneliti telah mengusulkan variasi pada pendekatan instruksional (Wu, 1997), seperti menggabungkan aktivitas laboratorium ke dalam pelajaran di kelas (Johnstone & Letton, 1990), menggunakan model konkret (Copolo & Hounshell, 1995), dan menggunakan teknologi sebagai media pembelajaran (Barnea & Dori, 1996). Diantara beberapa pendekatan ini, penggunaan model konkret dan

19

teknologi sebagai media pembelajaran nampaknya lebih menjanjikan untuk membantu siswa dalam memahami level mikroskopik yang bersifat abstrak.

2.4. Peranan Model Mikroskopik dalam Pembelajaran Menurut Hoffman & Laszlo (1991), suatu konsep mikroskopik akan menjadi representasi makroskopik bila penjelasan tentang level mikroskopik tersebut menjadi sesuatu yang diamati; misalnya pergerakan elektron yang terdistribusi dalam molekul. Berbagai fenomena alam yang berhubungan dengan level mikroskopik dapat dijelaskan dengan menggunakan model yang telah dibuat atau dikembangkan oleh para ahli ilmu pengetahuan. Model dalam IPA bersifat hipotesis. Selama semua orang tidak bisa melihat benda aslinya, maka model yang lama tidak boleh ditinggalkan atau disalahkan. Model akan terus berkembang berdasarkan data yang baru (Barke dalam Sopandi, 2006). Setiap pemodelan yang ditampilkan disesuaikan dengan fenomena yang akan dijelaskan. Suatu pemodelan tidak selalu dapat diterapkan dalam menjelaskan berbagai fenomena. Sehingga model-model yang ada pada saat ini setiap saat bisa ditolak, diperbaharui atau dimodifikasi sesuai dengan data yang ada. Model-model yang lama masih tetap bisa digunakan dan tidak bisa disalahkan jika model yang terbaru juga masih bersifat teoritis atau masingmasing model tepat digunakan sesuai dengan fenomena yang dapat dijelaskannya (Barke dalam Sopandi, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stork (1988) ternyata siswa tingkat XII belum dapat berfikir secara operasional formal, sehingga masih

20

diperlukan bantuan berupa visualisasi konkret dalam proses pembelajarannya. Namun, tidak semua pemodelan yang diterapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Terkadang pemodelan yang digunakan untuk menjelaskan suatu konsep menimbulkan miskonsepsi pada siswa, hal ini disebabkan karena siswa dibiarkan berimajinasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya, dan tingkat pemahaman siswa yang kurang sesuai dengan tingkat perkembangan

diusianya. Siswa belum bisa membedakan antara model dengan kenyataan pada model-model yang digunakan dalam pembelajaran. Selain itu guru kurang menekankan esensi model yang digunakan dalam menjelaskan suatu konsep bahwa setiap model berbeda dengan yang aslinya (Barke dalam Sopandi, 2006). Kemampuan guru dalam membuat pemodelan dalam menjelaskan suatu konsep dapat menimbulkan miskonsepsi. Dari penggunaan pemodelan yang kurang sesuai dan yang dapat menyebabkan miskonsepsi tersebut akan mempengaruhi pemahaman siswa dalam mempelajari konsep-konsep selanjutnya. Miskonsepsi ini akan tertanam kuat dalam pemahaman siswa dan perlu upaya tertentu untuk memperbaikinya.

2.6. Analisis Level Mikroskopik pada Materi Sifat Koligatif Larutan Air murni membeku pada suhu 0oC, namun larutan yang mengandung 15% NaCl membeku pada -10oC. Begitu pula ketika zat terlarut yang tidak mudah menguap dilarutkan ke dalam air, larutannya akan mendidih pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan air murni. Fenomena ini sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Di negara berhawa dingin mudah terjadi salju apabila

21

musim dingin. Salju merupakan masalah yang serius karena dapat mengganggu transportasi, sebab salju yang menutup jalan akan mengakibatkan jalan sangat licin dan dapat menyebabkan kendaraan tergelincir. Untuk mencairkan salju di jalanan, maka dilakukan penaburan CaCl2. Penambahan CaCl2 akan

menyebabkan titik beku (titik lebur) air akan turun di bawah 0oC. Misalnya dengan penambahan garam titik beku air akan menjadi -10oC, maka pada suhu 6oC air hujan belum berubah menjadi salju, dan salju yang ada di jalanan akan segera mencair bila ditaburi CaCl2. Larutan merupakan campuran homogen antara dua atau lebih zat. Salah satu sifat yang diakibatkan adanya zat terlarut dalam suatu larutan dikenal sebagai sifat koligatif. Fenomena yang terjadi di atas disebabkan karena adanya pengaruh sifat ini. Kata koligatif berasal dari kata latin colligare yang berarti berkumpul

bersama, karena sifat ini bergantung pada pengaruh kebersamaan (kolektif) semua partikel. Jadi, sifat koligatif larutan hanya dipengaruhi oleh jumlah partikel zat terlarut di dalam larutan, dan tidak bergantung pada jenis atau sifat partikel zat terlarut. Sifat koligatif larutan meliputi penurunan tekanan uap (P), kenaikan titik didih (Tb), penurunan titik beku (Tf) dan tekanan osmotik ( ). A. Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit 1. Penurunan Tekanan Uap Jika ke dalam suatu ruangan tertutup dimasukkan pelarut murni pada suhu tertentu, sebagian pelarut akan menguap. Uap yang dihasilkan menimbulkan tekanan tertentu yang disebut tekanan uap jenuh pelarut murni (P0). Pada saat

22

penguapan, sejumlah tertentu molekul dalam cairan memiliki energi kinetik yang cukup untuk meninggalkan permukaan. Molekul-molekul bergerak dari cairan ke ruang kosong. Molekul-molekul dalam ruang di atas cairan segera membentuk fasa uap. Saat konsentrasi molekul dalam fasa uap meningkat, beberapa molekul kembali ke fasa cair, suatu proses yang disebut pengembunan. Keadaan kesetimbangan dinamis tercapai ketika laju penguapan (molekul pelarut meninggalkan cairan) dan pengembunan (molekul pelarut kembali ke cairan) menjadi sama. Pada saat inilah timbul tekanan uap jenuh. Jika kedalam pelarut tersebut dimasukkan zat terlarut yang sukar menguap hingga terbentuk larutan, maka tekanan yang ditimbulkan oleh uap jenuh pelarut dari larutan disebut tekanan uap jenuh larutan (P). Adanya zat terlarut yang sukar menguap menyebabkan jumlah fraksi molekul pelarut di permukaan berkurang, sehingga menghambat pelarut untuk menguap dan menyebabkan jumlah partikel uap pelarut yang terbentuk berkurang. Untuk menjaga kesetimbangan, maka hanya sedikit molekul uap pula yang kembali memasuki cairan. Hal ini menyebabkan tekanan uap larutan lebih kecil dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murninya, artinya terjadi penurunan tekanan uap.

23

Gambar 2.2. Model Mikroskopik Penguapan Air

Gambar 2.3. Model Mikroskopik Penguapan pada Larutan

24

Dari percobaan yang dilakukan Raoult, dapat disimpulkan sebagai berikut : Tekanan uap jenuh larutan sama dengan fraksi mol pelarut dikalikan dengan tekanan uap jenuh pelarut murni. Hukum Raoult hanya berlaku untuk zat terlarutnya yang sukar menguap (nonvolatile).

Keterangan: P = tekanan uap jenuh larutan P0 = tekanan uap jenuh pelarut murni
P

Xp = fraksi mol zat pelarut

Tekanan uap jenuh larutan lebih kecil daripada tekanan uap jenuh pelarut murninya, maka terjadi penurunan tekanan uap jenuh (P).

Keterangan: P = penurunan tekanan uap jenuh Xt = fraksi mol zat terlarut

25

Tabel 2.1. Penurunan Tekanan Uap Jenuh (P) Berbagai Jenis Larutan Nonelektrolit dalam Air pada 20oC*) Tekanan uap jenuh Fraksi mol zat Zat terlarut terlarut jenuh Air murni Glikol Glikol Urea Urea 0,01 0,02 0,01 0,02 17,54 mmHg 17,36 mmHg 17,18 mmHg 17,36 mmHg 17,18 mmHg 0,18 mmHg 0,36 mmHg 0,18 mmHg 0,36 mmHg larutan tekanan uap Penurunan

*) Michael Purba. (2000). Kimia 2000 3A tengah semester tahun pertama SMU kelas III.
Jakarta. Erlangga.

Fraksi mol adalah perbandingan banyaknya mol suatu zat yang ada dalam campuran tersebut. Fraksi mol tidak memiliki satuan dan dinotasikan dengan X. Untuk menentukan fraksi suatu larutan, misalnya larutan A dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan : Xt = fraksi mol zat terlarut nt = jumlah mol zat terlarut np = jumlah mol pelarut Xp = fraksi mol zat pelarut

26

Gambar 2.4. Larutan Urea dengan Fraksi Mol Urea 0,1 Contoh soal: Pada suhu 25oC tekanan uap benzena murni adalah P0 = 0,1252 atm. Andaikan 0,0499 mol naftalena (nt), C10H8, dilarutkan dalam 1 mol benzena (np), hitunglah penurunan tekanan uap larutan! Jawab: Dik: P0 = 0,1252 atm np = 1 mol nt = 0,0499 mol Dit: P = ? Jawab: Xt = ____nt____ = __0,0499 mol__ = 0,05 nt + np 1 + 0.0499 mol

Jadi, penurunan tekanan uap larutan sebesar 0,00626 atm

27

Soal-Soal! 1) Apa yang dimaksud penurunan tekanan uap? 2) Mengapa jika dimasukkan zat terlarut yang sukar menguap ke dalam pelarut (contoh larutan gula) akan menyebabkan penurunan tekanan uap? 3) Tekanan uap air pada 100oC adalah 760 mmHg. Berapakah tekanan uap larutan glukosa 18% pada 100o C? (Ar H = 1; C = 12; O = 16)?

2. Kenaikan Titik Didih Tekanan uap suatu zat cair akan meningkat bila suhu dinaikkan sampai zat itu mendidih. Suatu zat cair dikatakan mendidih bila tekanan uapnya sama dengan tekanan udara di atas cairan (tekanan udara luar). Jika ke dalam cairan yang mendidih ditambahkan zat yang sukar menguap maka tekanan uap larutan yang terbentuk akan lebih rendah dari tekanan uap pelarut murninya. Bila ditinjau secara mikroskopik dapat dikatakan bahwa adanya partikel zat terlarut akan mengurangi fraksi molekul pelarut yang akan menguap sehingga jumlah partikel pelarut yang meninggalkan cairan dengan yang kembali ke cairan berkurang pada saat titik didih pelarut. Akibatnya, agar larutan itu mendidih diperlukan tambahan suhu untuk menyamakan tekanan uap larutan dengan tekanan udara luar. Dengan demikian, larutan akan mendidih pada suhu lebih tinggi dari suhu didih pelarut murni. Gejala ini yang disebut sebagai kenaikan titik didih.

28

Gambar 2.5. Model Mikroskopik Titik Didih Pelarut

Gambar 2.6. Model Mikroskopik Titik Didih Larutan

29

Gambar 2.7. Diagram PT air dan larutan (Silberberg, 2006)

Pada gambar 2.7, diperlihatkan kurva tekanan uap air dan tekanan uap larutan yang mengandung zat terlarut yang sukar menguap. Perhatikan bahwa pada suhu tertentu, tekanan uap larutan akan lebih rendah daripada pelarut murninya yaitu air. Juga perhatikan bahwa tekanan uap larutan akan mencapai 1 atm pada temperatur yang lebih tinggi daripada tekanan uap pelarut murni. Dengan kata lain, titik didih larutan akan lebih tinggi daripada pelarut murninya. Jumlah kenaikan titik didih pada diagram dinyatakan dengan tanda Tb dan penambahan ini disebut kenaikan titik didih. Besarnya kenaikan titik didih, Tb (relatif terhadap titik didih pelarut murni) larutan berbanding lurus dengan molalitas larutan. Maka kenaikan titik didih (Tb) dapat dirumuskan sebagai berikut :

30

Dengan : Tb = kenaikan titik didih (oC) m = molalitas (mol/Kg)

Kb = tetapan kenaikan titik didih molal (oC/m) Tabel 2.2. Daftar Tetapan Kenaikan Titik Didih Molal Beberapa Pelarut*) Pelarut Air Benzena Karbon tetraklorida etanol Titik Didih (OC) 100,0 80,1 76,8 78,4 Kb 0,52 2,53 5,02 1,22

*) sumber: Yayan S. (2003). Kimia Dasar 2. Bandung: Alkemi Grafisindo Press Molalitas (m) menyatakan banyaknya zat terlarut dalam setiap 1000 gram pelarut. Untuk menentukan molalitas (m) suatu larutan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan : m = kemolalan g = massa zat terlarut (gram) Mr = massa molekul relatif P = massa pelarut (gram)

31

Gambar 2.8. Larutan Glukosa 1 Molal

Contoh soal: Tentukan kenaikan titik didih larutan yang mengandung 18 gram glukosa (Mr = 180) dalam 500 gram air dengan Kb air = 0,52oC/m! Dik: g = 18 gram Mr = 180 P = 500 gram Kb = 0,52oC/m Dit: Tb Jawab:

m = 0,2 mol kg-1 Jadi, harga kenaikan titik didihnya adalah:

32

Soal-soal! 1) Jika 36 g glukosa dilarutkan dalam 2 kg air (Mr glukosa = 180 dan Kb air = 0,52oC/m), tentukan titik didih larutan glukosa yang terbentuk! 2) Jika terdapat larutan urea dengan kadar 2,4% (diketahui Mr urea = 30 dan Kb air = 0,52oC/m), tentukan titik didih larutan urea tersebut! 3) Jika 9 g glukosa dilarutkan dalam 100 g asam asetat (diketahui Mr glukosa = 180, titik didih asam asetat = 118,3oC, dan Kb asam asetat = 3,07oC/m), tentukan titik didih larutan glukosa dalam asam asetat tersebut!

3. Penurunan Titik Beku Perubahan dari cair menjadi padat disebut pembekuan. Titik beku suatu cairan adalah suhu pada saat laju pembentukan fasa cair dan pembentukan fasa padat berada dalam kesetimbangan. Untuk membeku suatu cairan melepaskan energi sedangkan untuk mencair suatu padatan menyerap energi.

33

Gambar 2.9. Model Mikroskopik Titik Beku Air Es Titik beku air murni pada tekanan 760 mmHg adalah 0oC. Jika ke dalam air tersebut dimasukan zat terlarut yang sukar menguap sehingga membentuk larutan, kemudian didinginkan ternyata pada suhu 0oC larutan tersebut belum membeku. Hal ini disebabkan karena partikel zat terlarut menghambat molekul pelarut untuk membentuk fasa padat yang teratur. Agar semua molekul pelarut membentuk fasa padat yang teratur maka suhu harus diturunkan, sehingga terjadi penurunan titik beku larutan. Ketika suhu diturunkan maka akan terjadi keseimbangan kembali antara jumlah molekul pelarut yang membentuk fasa padat dan molekul pelarut yang membentuk fasa cair. Ketika terjadi pembekuan larutan, hanya molekul pelarut yang membeku menjadi padatan sedangkan partikel zat terlarutnya tidak

34

ikut membeku bersama molekul pelarut. Pada temperatur ini, kedua fasa yaitu fasa cair dan fasa padatnya berada dalam kesetimbangan.

Gambar 2.10. Model Mikroskopik Titik Beku Larutan Gula Di negara yang memiliki musim dingin, suhu udara dapat mencapai di bawah titik beku normal air, sehingga diperlukan zat yang dapat menurunkan titik beku air dalam radiator mobil yang disebut zat anti beku.

35

Tabel 2.3. Data Tetapan Penurunan Titik Beku Molal*) Pelarut Air, (H2O) Benzen, (C6H6) Etanol, C2H6O Kloroform, CHCl3 Titik beku/oC 0,00 5,50 -144,60 -63,50 Kf/(oC m-1) 1,86 5,12 1,99 4,68

*) sumber: sumber: Yayan S. (2003). Kimia Dasar 2. Bandung: Alkemi Grafisindo Press

Maka penurunan titik beku dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan: Tf = penurunan titik beku (oC) m = molalitas (mol/Kg)

Kf = tetapan penurunan titik beku molal (oC/m)

Contoh soal: Tentukan penurunan titik beku larutan yang mengandung 0,2 mol kg-1dengan Kf air = 1,86oC/m! Dik: m = 0,2 mol kg-1 Kf air = 1,86oC/m! Dit: Tf

36

Jawab:

Soal soal! 1) Sebanyak 45 g glukosa (Mr = 180) dilarutkan dalam 400 gram air. Jika diketahui Kb air = 1,86oC/m, tentukan titik beku larutan glukosa! 2) Diketahui larutan urea 0,5 molal membeku pada suhu -0,9oC. Berapakah titik beku dari larutan urea 1 m? 3) Diketahui larutan urea 0,5 molal membeku pada suhu -0,9oC. Berapakah titik beku dari larutan glukosa 1 m?

4. Tekanan Osmotik Osmosis adalah proses spontan perpindahan molekul pelarut dari pelarut murni ke larutan melalui membran semipermeabel atau perpindahan molekul pelarut dari larutan yang lebih encer ke larutan yang lebih pekat melalui membran semipermiabel. Membran semipermiabel adalah selaput yang dapat dilalui molekul-molekul pelarut tetapi tidak dapat dilalui oleh zat terlarut (menahan zat terlarut). Beberapa contoh osmosis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya: ketimun yang ditempatkan dalam cairan garam akan kehilangan airnya akibat osmosis sehingga terjadi pengerutan; wortel menjadi lunak karena

37

kehilangan air akibat menguap, ini dapat dikembalikan dengan merendam wortel tersebut dalam air.

Gambar 2.11. Model Mikroskopik Proses Tekanan Osmotik Pada suatu percobaan, digunakan sebuah tabung U (gambar 2.11) dengan diberikan membran semipermeabel untuk memisahkan larutan gula dengan air. Membran semipermeabel hanya dapat dilalui oleh molekul air dari kedua arah. Namun arah laju perpindahan molekul air dari larutan gula lebih kecil dibandingkan laju perpindahan molekul air ke larutan gula (gambar A). Oleh karena itu, volume larutan menjadi lebih besar dan konsentrasinya menjadi lebih kecil.

38

Akibat adanya kenaikan volume larutan, maka ada tekanan yang akan menekan keluar molekul air dari larutan melalui membran. Tekanan pada larutan di titik ini, akan berbanding lurus dengan tinggi cairan, h. Pada kesetimbangan, laju molekul air yang ditekan keluar dari larutan sama dengan laju molekul air yang masuk (gambar B). Tekanan pada saat kesetimbangan ini dinamakan tekanan osmotik ( ), yang diartikan sebagai tekanan yang diperlukan untuk menjaga perpindahan molekul air dari pelarut air menuju larutan (gambar C). Harga tekanan osmotik berbeda untuk setiap konsentrasi. Hal ini terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.4. Data Percobaan Tekanan Osmotik Larutan Gula Pada Berbagai Konsentrasi*) Volume (mL) Larutan Mengandung Tekanan Osmotik (atm) 1 gram Sukrosa 100 50 36,5 25 16,7 0,70 1,34 2,0 2,74 4,04

*) Michael Purba. (2000). Kimia 2000 3A tengah semester tahun pertama SMU kelas III.
Jakarta. Erlangga.

Pada tahun 1887, J.H. Vant Hoff menemukan hubungan tekanan osmotik larutan encer sesuai dengan persamaan gas ideal. = MRT

39

Dengan : = tekanan osmotik (atm) M = molaritas (mol/L) R = tetapan gas (0,082 L atm/mol L) T = suhu mutlak (K)

Contoh Soal: Berapakah tekanan osmotik larutan sukrosa 0,0010 M pada 25oC? Jawab:

Soal-soal! 1) Tentukan tekanan osmotik larutan yang tiap liternya mengandung 0,6 gram urea pada suhu 25oC (Mr urea = 60)! 2) Berapa gram glukosa (Mr = 180) diperlukan untuk membuat 500 mL larutan dengan tekanan osmotik 1 atm pada suhu 25oC?

B. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit Dari hasil pengamatan, ternyata sifat koligatif elektrolit lebih besar

daripada nonelektrolit mengapa? Sifat koligatif tergantung dari jumlah partikel. Zat elektrolit dapat terionisasi dalam larutan sehingga menghasilkan jumlah

40

partikel lebih banyak daripada zat nonelektrolit. Dengan demikian sifat koligatif elektrolit lebih besar bila dibandingkan nonelektrolit. Jika 0,01 mol Urea dilarutkan dalam 1 kg air maka kemolalan partikel zat terlarut adalah 0,01 molal. Jika 0,01 molal NaCl dilarutkan dalam air, maka NaCl akan terionisasi menjadi 0,01 mol ion Na+ dan 0,01 mol ion Cl- sehingga kemolalan total partikel terlarut 0,02 mol. Hal itu menunjukkan sifat koligatif larutan NaCl (elektrolit) dua kali lebih besar daripada sifat koligatif urea (nonelektrolit) pada konsentrasi yang sama.

Gambar 2.12. Model Mikroskopik Larutan Elektrolit (a) dan Larutan Nonelektrolit (b) Perbandingan antara harga sifat koligatif elektrolit dengan nonelektrolit disebut faktor vant hoff (i). i = 1 + (n 1) Dengan : i = faktor vant hoff n = jumlah koefisien kation dan anion = derajat ionisasi Adanya faktor vant hoff ini, membedakan harga sifat koligatif antara larutan elektrolit dengan nonelektrolit. Perbedaan rumus perhitungan sifat

41

koligatif antara larutan elektrolit dengan larutan nonelektrolit dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5. Rumus Sifat Koligatif Non Elektrolit dan Elektrolit Sifat koligatif Penurunan tekanan uap (P) Kenaikan titik didih (Tb) Penurunan titik beku (Tf) Tekanan osmotik ( ) Nonelektrolit Elektrolit

42

Berdasarkan materi di atas, maka konsep-konsep tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Label Level Level Makroskopik Visualisasi Level Mikroskopik Konsep Mikroskopik Adanya zat terlarut yang sukar menguap menyebabkan jumlah fraksi molekul pelarut di permukaan berkurang, sehingga menghambat model mikroskopik penguapan air Penurunan Bila diukur dengan barometer, larutan gula pelarut untuk tekanan memiliki tekanan uap yang lebih rendah menguap dan uap dibandingkan dengan air murni. menyebabkan jumlah partikel uap pelarut yang terbentuk berkurang. Untuk menjaga kesetimbangan, maka hanya model mikroskopik penguapan pada larutan sedikit molekul urea uap pula yang kembali

Level Simbolik

Keterangan: P = penurunan tekanan uap jenuh Xt = fraksi mol zat terlarut

43

Label Konsep

Kenaikan titik didih

Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik memasuki cairan. Hal ini menyebabkan tekanan uap larutan lebih kecil dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murninya, artinya terjadi penurunan tekanan uap. Bila diukur dengan termometer, titik didih adanya partikel larutan gula lebih tinggi daripada titik didih air zat terlarut akan murni. akan mengurangi fraksi molekul pelarut yang akan menguap sehingga jumlah partikel model mikroskopik titik didih pelarut murni pelarut yang meninggalkan cairan dengan yang kembali ke cairan berkurang. Akibatnya, agar

Level Simbolik

Dengan : Tb = kenaikan titik didih (oC) m = molalitas (mol/Kg) Kb = tetapan kenaikan titik didih molal (oC/m)

44

Label Konsep

Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik larutan itu mendidih diperlukan tambahan suhu untuk menyamakan tekanan uap larutan dengan tekanan udara luar. Dengan demikian, larutan model mikroskopik titik didih larutan akan mendidih pada suhu lebih tinggi dari suhu didih pelarut murni. Gejala ini yang disebut sebagai kenaikan titik didih.

Level Simbolik

45

Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Label Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Konsep Mikroskopik Penurunan Es krim memiliki titik beku lebih rendah Adanya partikel titik beku dibandingkan dengan air murni. zat terlarut yang sukar menguap menghambat molekul pelarut untuk membentuk fasa padat yang teratur. Agar semua molekul pelarut membentuk fasa model mikroskopik pembekuan air es padat yang teratur maka suhu harus diturunkan, sehingga terjadi penurunan titik beku larutan. Ketika suhu diturunkan maka akan terjadi keseimbangan kembali antara jumlah molekul pelarut yang membentuk fasa Model mikroskopik titik beku larutan gula

Level Simbolik

Keterangan: Tf = penurunan titik beku (oC) m = molalitas (mol/Kg) Kf = tetapan penurunan titik beku molal (oC/m)

46

Label Konsep

Osmosis

. Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik padat dan molekul pelarut yang membentuk fasa cair. ketimun yang ditempatkan dalam cairan garam Osmosis adalah akan kehilangan airnya akibat osmosis proses spontan perpindahan molekul pelarut dari pelarut murni ke larutan melalui membran semipermeabel atau perpindahan molekul pelarut dari larutan yang lebih encer ke larutan yang lebih pekat melalui membran model mikroskopik proses osmosis semipermiabel

Level Simbolik

= MRT

47

Label Konsep Tekanan osmotik

. Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik Data Percobaan Tekanan Osmosis Larutan Akibat adanya Gula kenaikan volume pada Berbagai Konsentrasi larutan yang disebabkan oleh Volume (mL) peristiwa osmosis, Larutan maka ada tekanan Tekanan Osmosis Mengandung yang akan (atm) 1 gram menekan keluar Sukrosa molekul air dari 100 0,70 larutan melalui 50 1,34 membran. 36,5 2,0 Tekanan pada Model mikroskopik proses tekanan osmotik 25 2,74 larutan di titik ini, 16,7 4,04 akan berbanding lurus dengan Dari data di atas, dapat diperoleh kesimpulan tinggi cairan, h. bahwa semakin pekat suatu larutan maka Pada semakin besar tekanan osmotiknya kesetimbangan, laju molekul air yang ditekan keluar dari larutan sama dengan laju molekul air yang masuk (gambar B). Tekanan pada

Level Simbolik

= MRT

Dengan : = tekanan osmotik (atm) M = molaritas (mol/L) R = tetapan gas (0,082 L atm/mol L) T = suhu mutlak (K)

48

Label Konsep

Sifat koligatif larutan elektrolit

. Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik saat kesetimbangan dinamakan tekanan osmotik ( ) Kenaikan titik didih larutan garam lebih besar Jika 0,01 mol daripada larutan glukosa pada konsentrasi yang Urea dilarutkan sama dalam 1 kg air maka kemolalan partikel zat terlarut adalah 0,01 molal. Jika 0,01 molal KCl (a) dilarutkan dalam air, maka KCl akan terionisasi menjadi 0,01 mol ion K+ dan 0,01 mol ion Clsehingga kemolalan total partikel terlarut (b) 0,02 mol. Hal itu model mikroskopik larutan elektrolit (a) dan menunjukan sifat larutan nonelektrolit (b) koligatif larutan

Level Simbolik

Rumus sifat koligatif larutan elektrolit Penurunan tekanan uap

Kenaikan titik didih

Penurunan beku

titik

49

Label Konsep

Tabel 2.6. Matriks Materi Sifat Koligatif Larutan Level Visualisasi Level Mikroskopik Level Makroskopik Mikroskopik KCl (elektrolit) dua kali lebih besar daripada sifat koligatif urea (nonelektrolit).

Level Simbolik Tekanan osmotik

Anda mungkin juga menyukai