Gereja Patekosta
EL-ASAH
Syalom,
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan atas berkatNya kepada kita sekalian.
Setiap Lembaga ataupun Instansi dalam melaksanakan kegiatannya tidak terlepas dari
Visi Dan Misi yang telah ditentukan. Visi dan Misi menjadi arah langkah perjalanan
suatu Organisasi atau Instansi. Apa Visi dan Misi gereja? Sebagai lembaga keagamaan
mempunyai Visi dan Misi yang terkait dengan maksud Tuhan bagi Gereja. Kadang-
kadang Gereja terbuai dengan keadaan diri sendiri sehingga menjadi semacam “getto”
atau terpana seperti murid Tuhan Yesus ketika menyaksikan kenaikanNya ke surga.
Padahal tugas panggilan Gereja mewujudkan Syallom di tengah dunia. Gereja adalah
lembaga yang hidup yang beraktivitas dalam gerak yang dinamis, agar mampu berkiprah
di tengah masyarakat. Kemampuan Gereja baik Pendeta, Pengurus maupun segenap
jemaat untuk beraktivitas di tengah masyarakatt merupakan awal dari Eksistensi Gereja
dan sebagai pintu gerbang bagi pengenalan bagi Visi dan Misi Gereja.
Gereja sebagai lembaga moral mempunyai tugas bersama dengan lembaga agama yang
lain untuk mewujudkan masyarakat yang lahir batin, jauh dari penyakit masyarakat
(pekat) yang sekarang ini tengah melanda. Gereja sebagai lembaga ilahi mempunyai
tugas yang tertuang dalam Tri tugas gereja yaitu Persekutuan (Koinonia), Kesaksian
(Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Kemampuan Gereja menjalin persekutuan diantara
jemaat dan antar umat Kristen di sekitarnya merupakan bentuk terlaksananya Tugas
Koinonia. Kemampuan jemaat mewujudkan cinta kasih kepada sesama, menunjukkan
perilaku yang seturut dengan Kristus merupakan wujud terlaksananya Marturia, dan
kemampuan jemaat untuk berbagi dengan sesama dan kepeduliannya terhadap
lingkungan merupakan bentuk terlaksananya tugas Diakonia.
Dengan HUT ke 25 GPdI El-Asah Condongcatur, pertama saya ikut bersyukur kepada
Tuhan atas karunia perjalanan Gereja El-Asah Condongcatur sudah memasuki tahun ke
25. Tentu perjalanan itu masih jauh, karena gereja didirikan sampai kedatangan Kristus.
Namun pengingatan dalam bentuk ibadah pengucapan syukur saat ini merupakan bentuk
kesadaran dan respon yang indah dari segenap Jemaat El-Asah Condongcatur.
An Kepala,
Pembinas Kristen
Kita patut untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia
Dan rahmay-Nya yang telah dilimpahkan dalam hidup ini, khususnya bagi keluarga besar
GPdi El-Asah Condongcatur. Oleh sebab kebaikan Dan kemurahan Tuhan maka keluarga
besar jemaat GPdI El-Asah Condongcatur bisa merayakan HUT ke-25 berdirinya gereja
Tuhan di sana.
Perjalanan waktu 25 tahun tentu bukanlah perkara yang mudah. Banyak sudah
pergumulan, perjuangan, tantangan dan air mata yang tertumpah selama ini, namun kalau
sampai hari ini jemaat GPdI El-Asah masih berdiri dengan tegar Dan kokoh semua itu
semata-mata karena pertolongan Dan pembelaan serta penyertaan Tuhan saja.
Dengan diselenggarakannya HUT ke-25 kami dari Majelis Daerah GPdI Daerah Istimewa
Yogyakarta berharap jemaat GPdI El-Asah semakin bertumbuh dalam pengenalan akan
Tuhan Yesus Kristus secara benar sehingga makin bertambah hikmat dan
kebijaksanaannya; semakin diperkenan Allah Dan manusia; semakin bertambah-tambah
bilangan jiwa-jiwa yang diselamatkan untuk kemuliaan dan kebesaran nama Tuhan Yesus
Kristus Gembala Agung Dan Kepala Gereja Kita.
Akhir kata, segenap pengurus Majelis Daerah GPdI Daerah Istimewa Yogyakarta
mengucapkan selamat berbahagia Dan sukacita dalam merayakan HUT ke-25 GPdI El-
Asah Condongcatur.
“Ever Onward Never Retreat”, Immanuel. Tuhan beserta seluruh keluarga besar jemaat
GPdI El-Asah Condongcatur.
Segala puji, hormat Dan syukur patut kita naikkan bagi kemuliaan nama Tuhan kita,
Yesus Kristus. Oleh karena kasih Dan anugrah-Nya, maka pada hari ini kita dapat
berkumpul bersama-sama delam rangka Ibadah Pengucapan Syukur memperingati HUT
ke – 25 GPdI El-Asah Condongcatur-Yogyakarta Dan pengembalaan Pdt. Sanuel
Tandiassa, MA.
Kami mengucapkan selamat datang Dan berterimakasih atas perhatian Dan kehadiran
dari Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memenuhi
undangan kami ini. Perlu kami sampaikan kepada Bapak/Ibu/Saudara/i bahwa
sehubungan dengan HUT ke-25 ini, kami telah menyelenggarakan beberapa kegiatan
seperti:
Lomba Lukis Dan Mewarnai untuk anak-anak.
Diselenggarakan pada hari Rabu, tanggal 17 Agustus 2005, pukul 10.00 – 13.00
WIB. Diikuti oleh + 70 anak. Acara ini dimeriahkan pula dengan lomba makan
kerupuk (mata ditutup Kain) Dan jalan berpasangan membawa balon dengan
kepala, pesertanya adalah bapak-bapak Dan pemuda.
Kebaktian Penyegaran Rohani. Diselenggarakan pada hari Kamis, Tanggal 1
September 2005, pukul 17.30 WIB. Dilayani oleh Pdt. Mance Maniku – Blitar
(Komisi Penginjilan Pusat GPdI), tema yang dipilih adalah “BEKERJALAH
SELAGI HARI SIANG”
Sepeda Dan Jalan Gembira. Diselenggarakan pada hari Jumat, tanggal 2
September 2005 pukul 06.30 WIB.
Ibadah Pengucapan Syukur. Diselenggarakan pada hari Jumat, tanggal 2
September 2005 pukul 17.30 WIB. Dilayani oleh Pdt. Doddy Prasodjo – Solo,
tema yang dipilih adalah “SEGALA SESUATU DARI, OLEH DAN KEPADA
DIA”
Bakti Sosial dalam bentuk donor darah yang dirncanakan pada hari Minggu,
tanggal 4 September 2005, pukul 10.00 WIB.
Bejo Santoso, SE
Ketua Umum
6
RIWAYAT
GPDI EL-ASAH
CONDONG CATUR
PENGANTAR
Senja hari, pukul 16.00, tgl 20 Agustus, dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya
1980, di jalan Mawar I /216, dalam sebuah rumah tipe sederhana yang terbuat dari asbes,
sekelompok orang yang terdiri dari anak-anak kecil dan beberapa orang dewasa, berkumpul
dan duduk bersila di atas tikar. Lagu-lagu berirama gembira dinyayikan silih berganti. Tepuk
tangan yang kompak, dan bunyi gitar akustik yang serasi membuat suasana perkumpulan itu
terasa menyenangkan dan mengakrabkan.
Di wajah-wajah yang polos dan sederhana, kebahagiaan dan sukacita tampak sangat
jelas. Lagu demi lagu, nyanyian ganti nyanyian yang dilantunkan terus menerus dengan nada-
nada sukacita, membuat mereka terlihat seakan-akan hidup tanpa masalah. Sesekali, tengah-
tengah suasana sukacita itu terdengar seruan; Haleluyah! Halelyuah! Puji Tuhan! Amin!.... dan
suasana sukacitapun semakin membara seolah api disiram minyak.
Tiba-tiba keadaan menjadi sangat hening, hanya sebuah suara yang terdengar amat
lembut mengucapkan kata-kata doa. Bahasanya sangat sederhana namun mampu menyentuh
kalbu. Sejurus kemudian seorang pria, yang kental dengan logat bahasa Sulawesi Selatan,
membacakan sebuah teks Kitab suci. Ia mengajak mereka untuk merenungkan dan
menghayati ayat-ayat suci itu. Tanpa dikomando, diakhir bacaan, mereka serempak
menjawab: ‘A mi i i n.......!’
Sebuah lagu yang bernada permohonan dan kepasrahan terdengar kembali. Mereka
mengatur posisi duduk dalam suasana kusuk. Ada isak tangis terdengar sayup-sayup.
8
Beberapa orang mengangkat tangan dengan gemetar, seakan menanti dan berharap sesuatu
akan turun dari Yang di Atas. Dan derai air matapun tak dapat dibendung.
“ Bapa, kami datang kepada-Mu” . . . Sebuah kalimat doa dari seorang pria dengan
logat yang khas, seakan mewakili mereka mengungkapkan isi hati kepada Yang di Atas. Kata
demi kata, kalimat disambung kalimat terucap dengan wajah yang menengadah, dan dengan
kedua belah tangan terangkat bak seseorang yang sedang menyerahkan sesuatu kepada DIA.
Akhirnya. . . A m i n. . . . tanda selesai.
Itulah sekilas urutan peristiwa sederhana yang menjadi awal berdirinya Gereja
Pantekosta El-Asah di Pemrumnas Condong Catur, Jogjakarta, yang dirintis, dan didirikan
oleh Pdt. S. Tandiassa bersama kawan-kawan.
9
PRA -PERINTISAN
Acara ibadah sederhana atau persekutuan doa yang diadakan di di rumah keluarga
Raden Petrus Soemardjo yang terletak di Jl. Mawar Perumnas Condong Catur tersebut di
atas merupakan kegiatan ibadah pertama kalinya, yang dijadikan sebagai titik awal berdirinya
Gereja Pantekosta EL-Asah Condong Catur. Tentu saja pelaksanaan ibadah yang pertama ini
di dahului dengan beberapa peristiwa dan juga berbagai kegiatan, serta memakan waktu yang
cukup panjang. Semua peristiwa dan kegiatan yang mendahului pelaksanaan ibadah tersebut
dikatagorikan sebagai pra – perintisan.
1. Pengenalan lokasi.
Pada tanggal 3 Juli 1979, seorang remaja, Bambang Edi Susanto, anak Bp. Wahidi,
warga jemaat Pantekosta GPdI Lempuyangan Jogjakarta, yang tinggal di Jln. Cempaka
PERUMNAS Condong Catur, meninggal dunia. Sebagai seorang pengerja yang
kebetulan ditempatkan di GPdI Lempuyangan,
saya ditugaskan oleh Pdt. R Gideon Sutrisno
untuk melayani upacara penguburan dan acara-
acara doa penghiburan sesudahnya, yang
diadakan sesuai dengan tradisi lokal (Jawa),
hari ketiga, hari ke empat puluh, dan hari ke
seratus.
Peristiwa kedukaan dan acara doa-doa
tradisional yang mengikutinya tersebut secara
langsung memperkenalkan lokasi Perumnas
kepada saya, dan juga menjadi kesempatan-kesempatan bagi saya - tanpa disengaja -
untuk mengenal lebih banyak anggota-anggota Pantekosta yang berdomisili di Perumnas
Condong Catur.
2. Survei Lokasi
Kunjungan-kunjungan dalam rangka pelayanan seperti yang disebutkan di atas tadi,
secara perlahan menumbuhkan perhatian dan ketertarikan dalam diri saya kepada lokasi
Perumnas Condong Catur. Di samping itu tentu secara imani saya meyakini bahwa ada
Tuhan yang mempunyai rencana agung dan yang mengatur serta menetapkan segala sesuatu di
balik setiap peristiwa yang terjadi
Memasuki tahun 1980, mulai muncul gagasan untuk mengadakan persekutuan doa
bagi jemaat Pantekosta di Perumnas Condong Catur, seiring dengan semakin seringnya
saya mengadakan kontak dengan beberapa anggota jemaat yang kebetulan tinggal di
lokasi ini. Gagasan ini ditindaklanjuti dengan mencoba mengadakan survei secara berkala
ke kompleks Perumnas.
Survei lokasi selama beberapa waktu itu ternyata memberikan hasil yang saya
dianggap cukup menjadi dasar untuk memulai atau merintis sebuah kelompok
persekutuan jemaat baru di Perumnas Condong Catur. Maka usaha dan kegiatan
perintisanpun mulai direncanakan.
10
Perintisan
Jumlah anggota yang ada ini dianggap sudah cukup untuk memulai sebuah
persekutuan doa. Maka pada tanggal 20 Agustus 1980, pukul 16.00 dimulailah sebuah
persekutuan yang pertama kali di rumah Keluarga R. Petrus Soemardjo, yang
terletak di Jl. Mawar I/216 Perumnas Condong Catur.
Ibadah ini dihadiri hanya oleh sebagian dari
anggota-anggota keluarga yang tersebut di atas, dan
kebanyakan adalah anak-anak, sehingga ibadah pertama ini
terdiri dari anak-anak dan orang-orang dewasa. Perayaan
Natal 1980 merupakan perayaan Natal pertama kalinya bagi
jemaat Pantekosta di Perumnas Condong Catur, juga
dilaksanakan di tempat yang sama.
Ketika itu transportasi umum dari dan ke kota
Jogjakarta masih sangat sulit. Di dalam kota sendiri baru ada angkutan kota yang disebut Colt
Kampus, dan itupun jam beroperasi dan jangakaunnya sangat terbatas. Jalur untuk masuk ke
kompleks Perumnas hanya dari arah Ambarukmo, dengan melewati jalan kampung yang di
kiri kanannya masih berupa hutan bambu.
Setiap kali datang ke Perumnas untuk melayani,
saya naik Colt umum dari Ambarukmo. Ketika itu
kelompok ‘Gali’ di Jogjakarta masih meraja lela, sehingga
mereka masih leluasa melakukan pemerasan, bahkan di
depan orang banyak. Setiap kali naik Colt dari Ambarukmo
ke Perumnas, saya dengan dua atau tiga orang penumpang
yang sudah duduk di mobil, dipaksa untuk membayar
kursi-kursi yang kosong, kalau tidak, si gali akan memaksa
penumpang turun.
Ibu Soemardjo sedang ibadah di rumahnya.
11
Tetapi bagi saya perayaan Natal kali ini dibayang-bayangi maut. Ketika saya dan teman-teman,
diantaranya Heru Jatmiko, Sianny Irawati, bersama beberapa remaja dari Perumnas sedang
mempersiapkan panggung untuk perayaan Natal, sebuah musibah menimpa saya, kaki kanan saya
tertusuk paku usuk kayu yang sudah karatan. Ibu-ibu mengobati secara tradisional dengan cara
menyiram dan merendam kaki saya dengan air panas. Saya bisa bertahan sampai sore dan menyambut
tamu-tamu. Tetapi pada saat ibadah perayaan Natal akan dimulai, badan saya mulai terasa panas, dan
gemetar. Saya berusaha untuk bertahan, akan tetapi ketika kaki saya yang tertusuk paku mulai terasa
kaku,saya sudah tidak kuat lagi lalu saya berbisik kepada kedua teman saya, Heru Jatmiko dan Sianny,
dan atas inisiatif mereka saya di bawah ke RS Betesda dengan Vespa. Tetapi di Betesda ketika itu tidak
ada dokter yang akan menyuntik, sehingga kami harus kembali ke Perumnas mencari dokter. Pada saat
itulah baru saya tahu keadaan saya yang sebenarnya, ketika dokter berkata jika terlambat satu jam lagi,
saya tidak bisa tertolong.
Acara perayaan Natal yang dipimpin Pdt. R. Gideon Sutrisno selesai, dan semua orang pulang
dengan semangat hidup baru, sambil mebawa berkat-berkat rohani melalui perayaan Natal yang cukup
meriah dalam ukuran waktu itu, dan sayapun pulang dengan membawa luka di kaki, serta hati yang
penuh kecemasan karena bayangan-bayangan maut masih terus menghantui pikiran saya.
Setelah Natal 1981, jumlah jemaat yang beribadah semakin bertambah, dengan
aktifnya semua jemaat dan pemuda remaja di dalam ibadah-ibadah umum pada hari minggu.
Dan konsekuensinya, ruangan untuk beribadah di rumah keluarga Sutianto pun tidak
memadai lagi. Kemudian kami menyepakati untuk mencari sebuah rumah kontrakan. Kami
mengontrak sebuah rumah milik Sutrisno di Gorongan (Ring Road) untuk 2 tahun. Pda
tahun 1981, semua kegiatan ibadah, termasuk kebaktian sekolah minggu di Jl. Mawar,
dipindahkan ke Gorongan. Di tempat ini beberapa keluarga menggabungkan diri antara lain:
Pada awal tahun 1983, keluarga Sutianto membeli sebidang tanah berukuran 8 X 40
di dusun Dero ( sekarang Jl. Candi Gebang) dan meminjamkan sebagian tanah tersebut, yaitu
4 X 12 untuk tempat Ibadah, dan pada tahun itu juga proyek pembangunan tempat ibadah
yang berukuran 4 X 12 segera dimulai. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 28
Maret 1983, oleh Pdt. R. Gideon Sutrisno dan kepala dusun Dero, dan peresmian
dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 1983, juga oleh Pdt. R. Gideon Sutrisno dan kepala
dusun Dero. Selanjutnya, pada bulan itu juga, prakatis seluruh kegiatan gereja sudah
dipindahkan dari Gorongan ke gedung gereja yang baru.
Pada tahun 1986, sebagian tanah keluarga Sutianto, yang terletak di bagian belakang
gereja, kami beli dan membangun sebuah rumah di atasnya dengan ukuran 8 X 13 M – yang
kami tempati sampai sekarang ini. Lalu pada tahun 1994, sisa tanah milik keluarga Sutianto,
yang terletak dibagian selatan (kiri) gereja, kami lunasi, sehingga sejak saat itu status
kepemilikan atas tanah yang berukuran 8 X 40 beralih.
13
PERKEMBANGAN
Akan tetapi rupanya Tuhan merencanakan sesuatu yang berbeda dari yang kami rencanakan.
Pada bulan Juli tahun 1996, setelah melalui beberapa proses, keluarga Basuki Nugroho,
dalam hal ini orang tua Ibu Sianny (sekarang ibu gembala), membeli sebidang tanah seluas
800 M 2 yang terletak dusun Dero, tepatnya disebelah utara gedung Gereja Pantekosta
Condong Catur. Melalui kesepakatan keluarga, tanah keluarga tersebut dipinjamkan
14
kepada kami untuk digunakan membangun gedung gereja. Maka rencana pembangunan
gedung gerejapun berubah, baik lokasinya – maupun ukurannya.
Setelah selesai seluruh proses perizinan, maka pada tahun 1996, proyek
pembangunan gedung gereja yang baru dimulai, dengan ukuran 11 X 33 M. Adapun
anggaran pembangunan gedung gereja - dalam hal ini pengeluaran sampai pada pertengahan
tahun 1997 - Rp 225.000.000,- ( dan 70 % dari dana tersebut berasal dari keluarga Basuki
Nugroho).
Pada akhir tahun 1997, gedung gereja yang baru, sudah bisa digunakan sebagai
tempat beribadah, walaupun ketika itu masih bersifat darurat, karena pintu-pintu dan jendela-
jendelanya belum ada bahkan lantainya pun masih dari semen. Sementara kegiatan-kegiatan
ibadah dilaksanakan, proses pemnyelesaian pembangunan gedung masih terus berlangsung,
bahkan sampai sekarang ini, Agustus 2005.
Dua puluh lima tahun Gereja Pantekosta
El-Asah Condong Catur telah melakukan misi
pelayanan. Pertumbuhan jemaat selama kurun
waktu itu lebih bersifat alamiah. Artinya,
pertambahan jumlah anggota gereja lebih
disebabkan oleh perpindahan jemaat, baik itu
berupa perpindahan dari suatu tempat ke daerah
Condong Catur dan sekitarnya, maupun
perpindahan dari gereja-gereja lain. Dan sesuai
dengan data jemaat pada awal tahun 2005, jumlah anggota tetap menunjukkan angka 200
lebih.
Adapun kegiatan-kegiatan gereja saat ini terdiri dari:
1. Ibadah umum hari munggu; pukul 08.00 dan 17.00
2. Ibadah Sekolah Minggu, Minggu pukul 8.30.
3. Ibadah Wanita, pada hari selasa pukul 18.00
4. Persekutuan di wilayah di perumahan-perumahan hari kamis 18.00
5. Ibadah Pemuda –Remaja hari Sabtu pukul 17.30.
Atas: Koor EL-Asah dan bawah hamba-hamba Tuhan GPdI sedang memuji Tuhan dalam acara
NATAL MD XX se DIY, 1998
15
PENUTUP
Samuel
menyenangkan tetapi juga yang sangat menyedihkan,
termasuk liku-liku perjuangannya untuk
mempertahankan kehidupan sebagai anak keluarga
yang petani.
Samuel kecil begitu sedih, karena hasil kerjanya seperti sia-sia saja...., baju
baru yang baru saja dibelinya pun hilang dibawa gerobak.
Sering kali orang berpikir bahwa kehidupan Samuel sebagai seorang hamba
Tuhan sangat mudah, tetapi ketika saya mulai menjalami kehidupan
bersamanya, saya baru sadar bahwa semua itu rupanya telah dimulai sejak
masa kecilnya.
Pada tahun 1999 saya bertemu dengan mantan gembalanya di Tana Toraja,
Bp. Pdt. Obed Payung. Beliau yang mengetahui persis kehidupan keluarganya.
Pdt Obed menceritakan kepada saya sepenggal cerita masa kecil Samuel yang
nakal.
Katanya Samuel lebih sering tinggal di gereja sepulang sekolah dari pada di
rumah karena ia paling malas disuruh-suruh ibunya untuk membantu di dapur
atau mengurusi adik-adiknya. (Berbeda dengan kakaknya, Pdt. Beltsazar
Tandiassa, yang sekarang melayani di GPdI Jatiwaringin, Jakarta Timur, yang
menjadi anak kesayangan ibunya karena beliau rajin menolong ibunya).
Sampai malam hari, Samuel belum juga kembali ke rumahnya, bahkan sampai
keesokan harinya Samuel masih belum ditemukan dan tidak seorangpun
mengetahui ia berada di mana. Gembalanya, yang juga sangat gelisah, masuk
20
Pdt. Obed menceritakan kepada saya kisah Samuel ini sepertinya sambil lalu
saja pada waktu itu. Tetapi cerita beliau ini tertanam dalam hati dan pikiran
saya, yang pada waktu itu juga sedang bimbang dalam menjalani kehidupan
sebagai istri seorang Pdt. GPdI
Saya sering merasa sangat berat dan sering putus asa menjalani kehidupan
ini sebagai istri gembala sidang, atau istri seorang hamba Tuhan. Hati saya
giris menghadapi dan melihat kenyataan-kenyataan kehidupan Samuel sebagai
seorang gembala GPdI. Namun pada akhirnya saya sadar bahwa saya tidak
mungkin menolak jalan kehidupannya sebagai seorang hamba Tuhan, dan saya
harus menerimanya seutuhnya. Pengenalan akan rencana Tuhan itu mengubah
kehidupan saya juga untuk melayani Tuhan dengan penuh kerelaan hati dan
sukacita.
Ada hal lain yang, walaupun telah sering kali terjadi, tetapi masih sering juga
mengejutkan diri saya. Samuel mempunyai kebiasaan memberi baju kepada
orang-orang lain. Yang membuat saya terpana adalah ketika tiba-tiba ada
orang lain yang memakai hemnya, atau celana panjangnya. Kalau memberi
memang dia jarang memberitahu kepada saya (alasannya alkitabiah dan tidak
bisa membuat saya ngomel: Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah
diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Matius 6:3,)
Setiap kali kalau pulang dari daerah-daerah tasnya makin ringan, karena
sebagian pakaiannya telah dibagi-bagikan pada sesama hamba Tuhan.
berangkat ke sana hanya dengan berbekal empat helai baju dan tiga celana
panjang, termasuk sehelai celana polisi pemberian kakaknya, Pdt. Yunus. itu
Bagi Samuel waktu itu celana polisi sudah sangat bagus.
Masa lalunya memang nampak pahit tetapi saya tahu itu semua dikerjakan
oleh Tuhan. Seperti Nabi Samuel yang tinggal di Bait Allah sejak kecil,
Samuel, sejak masa sekolah minggu sampai pergi ke Sekolah Alkitab,
hidupnya juga lebih banyak tinggal di gereja dari pada di rumah orang tua.
Sesudah sekolah Alkitab ia tinggal di gereja menjadi pengerja selama 7
tahun, sebelum akhirnya menjadi gembala, sampai sekarang ini.
Apakah karena namanya adalah Samuel sehingga sejak kecil ia lebih suka
hidup di lingkungan bait Allah seperti Nabi Samuel.... ? Walahualam......
22