Anda di halaman 1dari 24

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

EDISI KEEMPAT - 2009

ONE WORLD ONE HEALTH

Pelatihan Penatalaksanaan Kasus Flu Burung hal 9

Ceramah Klinik Leptospirosis hal 17

Investigasi Vektor DBD di Bumi Perkemahan Cibubur hal 22

Buletin Penyakit Zoonosa


Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI Alamat Redaksi : Gedung C Lantai IV, Ditjen PP & PL Jln. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Telp/Fax 021-4266270 atau Telp. 021-4247608 ext 151, Pelindung Direktur Jenderal PP & PL, Depkes RI Penasihat Sekretaris Ditjen PP & PL, Depkes RI Penanggung Jawab : 1. Direktur PPBB 2. Direktur P2ML 3. Direktur Sepim & Kesma 4. Direktur PL Dewan Redaksi Ketua : Kabag. HOH Wakil Ketua : Kasubdit Zoonosis Anggota : Kasubdit ISPA, Kasubdit Surveilans Epidemiologi, Kasubdit Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat, Kabag PI, Kabag Keuangan, Kabag Umum & Kepegawaian Editor Dr. Widarso HS, MSc, dr. M. Nadhirin, dr. Anas Maruf, drh. Misriyah, M.Epid, dr. Mawari Edy, M.Epid, Martahan Sitorus, SKM, MPH. Kesekretariatan drh. Endang Burni, M.Kes, dr. Chita Septiawati, dr. Sinurtina Sihombing, M.Kes, dr. Tri Setyanti, Agus Sugiarto, SKM., M.Kes, Eka Soni, SKM, MM., dr. Teti Setiawati Mulyaningsih, Muji Yuswanto, S.Kom, Ahmad Abdul Hay, SKM. Redaksi menerima kiriman artikel yang relevan. Artikel diketik dengan format MS.Word , 12 point 1 spasi maksimal 5 halaman A4. Artikel dapat dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail:buletin_ zoonosapppl@yahoo.com,dengan melampirkan foto kopi KTP yang masih berlaku.

Pengantar Redaksi
Pembaca yang budiman, Salam hangat dan sejahtera. Senang rasanya berjumpa kembali dengan pembaca buletin zoonosa edisi keempat, yang merupakan buletin edisi terakhir tahun 2009. Kali ini Buletin zoonosa mengangkat tema utama One World One Health sesuai dengan isu yang diangkat oleh CDC Atlanta pada pertemuan International Ministerial Conference on Avian and Pandemic Inuenza di New Delhi 5 Desember 2007: One World, One Medicine, One Health di dalam menghadapi penyakit dari dunia fauna yang menyebabkan penyakit pada manusia maupun pada hewan beserta gangguan lingkungannya. Merupakan kebahagiaan bagi kami dapat menyebarluaskan informasi pengendalian penyakit zoonosa secara one world one health. Sektor kesehatan, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner melaksanakan tugas terintegrasi sesuai tupoksi dan wewenang secara adil, setara, dan transparan. Edisi ini juga memuat antara lain beberapa naskah tentang penyakit zoonosa seperti rabies, leptospirosis, vektor DBD, Inuenza A Baru H1N1, pelatihan dokter puskesmas di Kabupaten Tangerang, pelatihan dokter puskesmas dan dokter swasta di beberapa provinsi yang mempunyai kasus pada manusia serta inovasi kegiatan pergerakan masyarakat dalam pengendalian u burung. Redaksi selalu mengharapkan masukan baik naskah/artikel yang terkait dengan penyakit zoonosa dengan disertai gambar atau foto untuk perbaikan buletin zoonosa yang kita cintai ini. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca. Semoga buletin ini bermanfaat dan memperluas wawasan kita, amin.

Salam Redaksi

Daftar Isi
Konsep Satu Kesehatan (One Health Concept) Berjangkitnya Rabies di Kabupaten Badung Provinsi Bali dan Upaya Penanggulangannya Modul Pelatihan Tatalaksana Kasus Flu Burung Bagi Dokter Puskesmas dan Dokter Praktek Swasta Pelatihan Penatalaksanaan Kasus Flu Burung Bagi Dokter Puskesmas Berbasis Kompetensi di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan Tanya Jawab Seputar Inuenza A H1N1 Pergerakan Masyarakat Dalam Pengendalian Flu Burung dan Penyakit Bersumber Binatang Lainnya (Kegiatan Inovatif di Lapangan) Mengenal Zoonosis yang Berpotensi Ditularkan Melalui Daging Ceramah Klinik Leptospirosis SKD Leptospirosis di Puskesmas Seluk Beluk Leptospirosis Siklus Penularan Penyakit Pes Alur Kegiatan dan Pemeriksaan Penyakit Pes Investigasi Vektor DBD di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta Timur 22 14 15 17 18 18 20 21 9 11 7 4 3

KONSEP

SATU

KESEHATAN
(One Health Concept)

ada International Ministerial Conference on Avian and Pandemic Inuenza di New Delhi 5 Desember 2007 oleh OIE (Badan Kesehatan Hewan se-Dunia) telah mengangkat isu : One Health Concept didalam menghadapi berbagai penyakit yang bersifat zoonosis. Sementara itu CDC Atlanta mengangkat isu: One World, One Medicine, One Health didalam menghadapi penyakit dari dunia fauna yang menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun pada hewan beserta gangguan lingkungannya. One Health Concept atau Konsep Satu Kesehatan adalah adanya sinergisme pemanfaatan keilmuan antara manusia dan hewan melalui kerjasama yang setara, berkeadilan dan ber-kebenaran antara profesi Dokter dan Dokter Hewan. Seperti dikatakan oleh Perdana Menteri India dalam konferensi 5 Desember 2007 di New Delhi : India support Concept One Health base on an integrated approach in animal and human health yang dapat bersifat : setara, adil dan transparan Oleh karena itu, kerjasama profesi dokter dan dokter hewan perlu ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia sesuai dengan motto PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia): Manusyia mriga satwa sewaka (menyehatkan hewan dan mensejahterakan manusia).

dan Dokter Hewan yang memiliki medical authority atau Kewenangan Medis yang tidak dapat dikerjakan oleh mereka yang tidak memiliki Kewenangan Medis. Kewenangan Medis atau Medical Authority dapat dipergunakan sebagai cikal bakal dari One Health Concept. Indonesia telah memiliki One Health Concept. Untuk menanggulangi penyakit zoonosis (penyakit hewan yang dapat ditularkan kemanusia) telah ditandatangani Piagam Kerjasama antara Dirjen PP&PL, Departemen Kesehatan dan Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian no. .226.9a/ DDI/72 dan no.601/XIV pada 9 Agustus 1972, mengenai Kewenangan Medis pada manusia dimiliki oleh Dokter melalui Departemen Kesehatan dengan Kewenangan Medis Veteriner pada hewan dimiliki oleh Dokter Hewan Departemen Pertanian.

Walaupun telah ditandatangani Piagam Kerjasama tersebut diatas, dalam pelaksanannya baik Departemen Kesehatan maupun Departemen Pertanian tetap saja bekerja secara sektoral pada berbagai kasus zoonosis seperti penyakit Antraks, Rabies, Toksoplasmosis dan lain-lain masing-masing kewenangan Medis bekerja sendiri-sendiri. Bagaimana dengan penyakit Flu Burung ? Jenis penyakit zoonosis Flu-burung khusus : penularan virus H5N1 Flu-burung antar unggas (hewan) dan dari hewan ke manusia serta belum terjadi penularan antar manusia, sehingga diperlukan One Health Concept didalam menghadapi penyakit Flu-burung di Indonesia. Aplikasi one health concept dari penanggulangan Flu Burung antara lain terbentuknya Tim Gerak Cepat (TGC) yang terdiri dari sektor kesehatan dan sektor peternakan, Kominisi Nasional Penanggulangan Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Inuenza (FBPI)
Oleh : dr. drh. Mangku Sitepoe

Penyakit zoonosa dapat dikembangkan menjadi senjata biologis untuk bioterorisme. Demikian juga dalam menghadapi perkembangan teknologi rekayasa genetika (gene revolution) sudah tidak memiliki batas antara manusia dengan hewan misalnya xenotransplantation (transplantasi organ hewan ke manusia yang sudah diidentikkan melalui rekayasa genetika) , dalam pembuatan vaksin rekombinan untuk manusia menggunakan bahan-bahan dari unsur hewan sehingga sudah tidak dijumpai lagi batas-batas antara gen manusia dan hewan. Bagi perkembangan penyebab penyakit yang masih dikategorikan sebagai makhluk hidup atau dapat berkembang biak, pada saat ini meliputi: prion, virus, bakteri dan parasit juga sudah mengalami mutasi sehingga telah menembus melintas batas spesik barier. Satu jenis penyebab penyakit bukan saja menyebabkan penyakit pada jenis-nya saja tetapi telah dapat menyebabkan penyakit kepada berbagai jenis hewan lainnya dan bahkan juga menyebabkan penyakit kepada manusia. Diversikasi perubahan penyebab penyakit dari hanya satu jenis makhluk hidup ke berbagai jenis mahluk hidup lainnya tidak dapat dihadapi hanya dengan satu jenis displin ilmu tetapi harus dihadapi dengan berbagai displine ilmu yang menjadi satu kesatuan. Dalam bidang medis adanya dua profesi yaitu: Dokter

Referensi
1. Anonim. UU no.4 tahun 1984. tentang: Wabah Penyakit Menular. (Epidemic and Contagious Disease in human Law no.4 in the year of 1984).). 2. Anonim. Law of Health no.32 in the year of 1992. 3. Anonim. Dirjen PP&PL, Departemen Kesehatan dan Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian 9 Agustus 1972 no. 226.9a/DDI/72 dan no.601/XIV. 4. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan No.18 tahun 2009 tentang Kesehatan Hewan. -ms-

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

BERJANGKITNYA

DI KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI DAN UPAYA PENANGGULANNGANNYA


Pada Bulletin Penyakit Zoonosa Edisi Kedua bulan Februari 2009 lalu. menampilkan topik utama tentang rabies yang mempertanyakan Darimanakah Rabies di Bali?. Berbagai kemungkinan dikemukakan oleh penulis dan salah satu diantaranya adalah melalui pelabuhan tidak resmi. Karena itulah pada edisi ini kami tampilkan tulisan pelajaran berharga (lesson learn) masuknya rabies ke Bali dan upaya penanggulangannya. Rabies masih merupakan salah satu penyakit zoonosis yang tetap menghantui keamanan dan ketentraman batin masyarakat di Indonesia, hal ini mengingat dari 33 provinsi yang ada, 24 di antaranya sebagai daerah tertular rabies. Sampai saat ini, Bali merupakan provinsi terakhir yang tertular rabies. Di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Pulau Flores, rabies sangat sulit dikendalikan dan sekarang telah bersifat endemis. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dan sulitnya mengimplementasikan program penanggulangan rabies berkaitan dengan kondisi geogra, ekologi anjing, faktor sosial budaya dan terbatasnya jumlah dana yang tersedia. Kebiasaan dan cara masyarakat memelihara anjing di Pulau Flores memiliki beberapa kemiripan dengan masyarakat di Pulau Bali, bedanya di Flores anjing sudah masuk dalam komoditi perdagangan sehingga mobilitas anjing lebih tinggi apabila dibandingkan dengan di Bali. Upaya-upaya penanganan darurat rabies di Bali telah dibahas dalam berbagai workshop dan salah satu keputusan yang bersifat strategis adalah melakukan targeted vaksinasi yang dilaksanakan secara massal dan serentak dengan harapan coverage vaksinasi 100% berkombinasi dengan tindakan targeted eliminasi terhadap anjing liar dan terfokus pada banjar/desa tertular. Agak Terlambat Diketahui Berdasarkan data yang ada baik dari laporan kasus gigitan maupun penanganan pasien kasus gigitan anjing di Puskesmas Kecamatan Kuta Selatan, diduga virus rabies pertama kali masuk ke daerah Kecamatan Kuta Selatan sekitar bulan Mei 2008.
Jumlah Kasus Gigitan Anjing Di Wilayah Kecamatan Kuta Selatan (Mei 2008-Feb 2009)
Data Kasus Gigitan Anjing Kecamatan Kuta Selatan
70 60 50

RABIES
Berdasarkan data sementara yg tersedia, kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan dengan dugaan (suspect) rabies, paling awal terjadi pada tanggal 10 Juni 2008, terjadi di Desa Unggasan. Kasus kematian orang yang memiliki riwayat digigit anjing dan berakhir dengan kematian terbanyak di jumpai di Desa Unggasan (8
Situasi Kasus Gigitandi Pusk esmas Kuta Selatan Mei 08 s/ d15 Peb 09
250 200 150 East 100 50 0

08

08

08

08

t0

'S ep t0

ei 0

Ju ni

N op

kt b

08

D es

09 Ja

Ju li

A gs

Jumlah Kasus Gigitan Anjing Di Wilayah Kecamatan Kuta (Mei 2008-Feb 2009)
Data Kasus Gigitan Anjing Kecamatan Kuta
10 8 6 4 2 0 Mei Jun Jul Agst Sept Okt Bulan Nov Des Jan Feb Kedonganan Tuban Kuta

Jumlah Gigitan

Benoa Ungasan Kutuh Pecatu Tanjung Benoa Jimbaran

40
U

30 20 10 0
Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Bulan

kasus), 2 kasus lainnya masing - masing dijumpai di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu. Mempertimbangkan rata-rata masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 1-2 bulan, maka diperkirakan anjing yang menderita rabies yang dalam masa inkubasi, masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Bali sekitar bulan April-Mei 2008. Jika seandainya anjing rabies masuk jauh sebelum bulan April 2008, mengingat populasi anjing di daerah kasus cukup banyak, maka anjing tertular tersebut akan menggigit cukup banyak anjing dan kasus dugaan rabies pada manusia akan terjadi lebih awal. Di daerah baru, kebanyakan munculnya kasus rabies baru diketahui setelah ada manusia yang menjadi korban. Anjing rabies kemungkinan pertama kali masuk ke Bali yaitu di Desa Unggasan melalui perpindahan anjing rabies yang sedang dalam masa inkubasi yang berasal dan daerah tertular. Perpindahan anjing tersebut mungkin dibawa oleh nelayan tradisional melalul pantai di Desa Kedonganan dengan dalih sebagai penolak bala. Kemungkinan lain, anjing tertular itu masuk mengikuti tuannya karena alasan pindah kerja atau pulang kampung, perlu dipertimbangkan. Meskipun asal muasal masuknya anjing rabies tersebut ke

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Jumlah Gigitan

Pe b

09

Bali sampai saat ini belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi karena rabies telah dikonrmasi keberadaannya secara laboratorium, tidak dapat disangkal bahwa telah ada hewan yang menderita rabies yang masuk ke daerah kasus. Walau kasus gigitan anjing sudah terjadi mulai bulan Mei dan adanya kecenderungan meningkat terus setiap bulan disertai beberapa kasus kematian manusia dengan riwayat pernah digigit anjing, namun laporan resmi baik ke jajaran kesehatan maupun kesehatan hewan serta seluruh pihak terkait terjun ke lokasi kasus baru terjadi tanggal 22 November setelah korban ke-5 (kelima) menunjukkan gejala klinis dan dibawa ke RS Sanglah. Kasus rabies di Bali, baik pada manusia maupun pada anjing, pertama kali baru dikonrmasi secara laboratorium secara berturut-turut pada tanggal 23 dan 28 November 2008. Nampaknya kepedulian dari masyarakat maupun semua pihak (awareness) sangat lemah. Hal ini apakah dikarenakan selama ini Pulau Bali dikategorikan sebagai daerah bebas rabies ? Berkaitan dengan hal ini selanjutnya dilakukan langkah penanggulangan darurat dan penelusuran (tracing) kasus gigitan anjing pada manusia maupun penelusuran (tracing) pemasukan virus tersebut.

Berdasarkan sidik jari virus rabies yang berhasil diisolasi, virus tersebut termasuk dalam satu keluarga dengan virus rabies asal Flores atau Kalimantan atau Sulawesi (Mahardika, 2009) serta sebagian lagi masih dilakukan sequensing / Karakterisasi virus di FKH UGM.
Faktor Risiko Anjing yang menyertai pelayaran tradisional Tingginya demand ikan di Bali--- nelayan dari daerah endemis rabies Diluar entry/ exit point resmi = pelabuhan rakyat Diluar pengawasan karantina hewan
LAW ENFORCEMENT PENETAPAN SEBAGAI KAWASAN KARANTINA HEWAN----- PUSKAWAN SUDAH MENINGKATKAN PENGAWASAN LALU LINTAS HPR

dua kasus terakhir luput dari program vaksinasi. Dari jumlah tersebut, 25 ekor terjadi pada anjing kampung, dan hanya 1 ekor dijumpai pada anjing ras yang dipelihara dengan baik (dalam rumah). Sebanyak 3 ekor dijumpai pada anjing yang dieliminasi di desa/banjar tertular. Daerah tertular terutama dijumpai di daerah Semenanjung Bukit, sebelah selatan Bandara Ngurah Rai, yaitu di Desa: Jimbaran (8 kasus), Unggasan (3 kasus), Kedonganan (2 kasus), Tuban (2 kasus), Pecatu (1 kasus), dan 5 kasus lainnya terjadi di luar Semenianjung Bukit. Kasus rabies yang terjadi di Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar terjadi karena perpindahan anjing dari Semenanjung Bukit sebelum wabah rabies dinyatakan secara resmi. Sementara kasus rabies yang terjadi di Pulau/Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar juga terjadi karena perpindahan anjing dan Semenanjung Bukit setelah wabah rabies dinyatakan secara resmi, berkaitan dengan adanya komplain dari tetangganya. Sekitar satu minggu kemudian di dua desa ini dilaksanakan vaksinasi massal, dan sampai saat ini (5-6 bulan setelah kasus tersebut) tidak dijumpai adanya kasus rabies, diduga siklus rabies sudah terputus. Sementara 2 kasus rabies yang terjadi di Desa Legian, Kecamatan Kuta, sumber penularannya belum dapat ditelusuri. Di desa ini program vaksinasi massal (bahkan saat ini telah dilaksanakan program vaksinasi massal yang kedua), dan program eliminasi selektif dan program Iainnya sudah dilaksanakan. Sampai saat ini (5-6 bulan setelah kasus tersebut), tidak ada indikasi tambahan kasus rabies baru di Desa Legian. Keadaan yang cukup mengkhawatirkan adalah munculnya kasus rabies di Banjar Temacun, Desa Kuta pada tanggal 3 Juni 2009. Desa ini berada dalam radius sekitar 5 Km dari daerah tertular, dan di desa ini juga telah dilakukan program vaksinasi. Berdasarkan tanggal munculnya klinis rabies, dapat diperkirakan bahwa anjing tersebut tertular virus rabies sekitar bulan Maret/April 2009, yang berarti program vaksinasi sudah dilaksanakan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa capaian coverage vaksinasi sekitar 40% belum mampu menghambat penyebaran rabies. Kabupaten Tabanan Waspada

Faktor Risiko
Konsumsi daging anjing (dog meat consumption) Meningkatkan mobilitas HPR ke daerah yang demand tinggi Kendala eliminasi (anjing memiliki nilai ekonomis) PERLU CHECK POINT antar area

Sebaran Daerah Tertular Makin Luas Sampai saat ini hanya anjing yang diketahui tertular rabies dan belum ada hewan lain yang telah dikonrmasi secara laboratorium. Dan 25 ekor anjing yang positif terserang rabies, 3 ekor diantaranya berumur di bawah 6 bulan,

Pada awal bulan Agustus 2009 masyarakat Tabanan mulai dikejutkan dengan adanya laboran 6 kasus gigitan anjing di Banjar Koripan Kaja, Desa Abian Tuwung Kecamatan Kediri pada bulan Mei dan Juli 2009. Kasus lainnya gigitan di Desa Tunjuk pada bulan Juni dan di Desa Buahan Kecamatan Tabanan bulan Juni dan Agustus 2009. Kecuali korban I Nyoman Diadnya yang digigit anjing bulan Juni di Desa Buahan yang akhirnya meninggal dengan klinis rabies pada 22 Agustus 2009 tersebut, semua korban telah di VAR dan anjing yang mengggigit tidak sempat diobservasi maupun diperiksa otaknya karena telah dibunuh dan dikubur pemiliknya. Perkembangan Penanggulangan Hingga awal Agustus 2009, telah ditemukan 26 kasus positif rabies pada anjing di Kabupaten Badung (22 kasus) dan
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Kota Denpasar (3 kasus) dari lebih 210 buah spesimen yang berasal dari kasus gigitan (38 buah), kasus klinis rabies (17 buah) dan hasil eliminasi (156 buah). Dari 38 buah kasus gigitan tersebut, 16 diantaranya menunjukkan positif rabies yang berarti hampir setiap 2 kasus gigitan terdapat 1 positif rabies. Dari 22 kasus positif rabies di Kabupaten Badung tersebut, 19 kasus berlokasi/berada di sebelah selatan Bandara Ngurah Rai dan 3 kasus berada di sebelah utara Bandara (Bandara Ngurah Rai sebagai barier alam). Sebaran daerah tertular berdasarkan hasil pengujian terhadap spesimen otak anjing tersebut yang menunjukkan positif rabies (25 kasus) tersebut diatas, kasus positif rabies terakhir di Kabupaten Badung tanggal 23 Juni 2009 serta kasus positif sebelumnya yaitu tanggal 3 Juni 2009 masih mengkhawatirkan mengingat ke-2 kasus terakhir ini terjadi di Banjar Temacun dan Desa Tuban Kecamatan Kuta yang lokasinya berada di sebelah utara Bandara Ngurah Rai (dalam radius sekitar 5 Km dari daerah tertular pertama). Dari kejadian-kejadian positif rabies pada anjing tersebut diatas menggambarkan bahwa nampaknya virus masih tetap bersirkulasi di wilayah Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan dan belum menyebar/meluas ke wilayah lain. Capaian vaksinasi rabies di seluruh daerah tertular (Kabupaten Badung dan Kota Denpasar) baru mencapai 60.401 ekor (sekitar 40% dari perkiraan/estimasi total populasi anjing yaitu setiap 8,27 orang penduduk terdapat 1 ekor anjing) sehingga belum mampu membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) serta belum dapat menghambat penyebaran rabies. Dari hasil surveilans terhadap pengujian 807 buah serum darah anjing (metode ELISA) setelah 2 (dua) bulan post vaksinasi, bahwa hasil vaksinasi menunjukkan adanya tingkat kekebalan (protektivitas) yang cukup tinggi (diatas 85%), artinya penggunaan vaksin rabies untuk anjing produksi Pusvetma (Rabivet Supra 92) cukup baik dapat menimbulkan daya kebal (protektif) terhadap serangan virus rabies di lapangan. Kendala di Lapangan Cara maupun budaya masyarakat Bali memelihara anjing yang diliarkan maupun sangat banyaknya anjing liar, merupakan faktor resiko utama penularan maupun cepatnya menyebarkan virus rabies di Bali. Tanpa dibarengi peraturan daerah yang memadai yang mengatur antara hak dan kewajiban masyarakat memelihara anjing sangat sulit dapat memberantas rabies di Bali. Disamping itu, masih sangat terbatasnya pelaksanaan program pengendalian populasi anjing liar yang dilaksanakan melalui kegiatan eliminasi secara selektif (hanya terhadap anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies) dan tertarget (anjing liar di desa tertular) sebagai pendukung program vaksinasi massal. Di wilayah Kabupaten Badung baru mencapai 2.984 ekor dan Kota Denpasar sebanyak 2.009 ekor karena adanya resistensi dari sebagian warga masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati hewan kesayangan baik yang berada di dalam negeri khususnya di Bali maupun

Pengendalian populasi HPR Liar yang kurang profesional

yang berada di luar negeri yang melakukan protes melalui Kedutaan besar maupun perwakilan kita yang berada di luar negeri dan mengangkat issu kesejahteraan hewan (animal welfare). Adapun eliminasi anjing liar di kabupaten terancam lain sebanyak 2.707 ekor Pelajaran Berharga Bagi Daerah Lain Apa yang dapat dipetik pelajaran (lesson learn) dari masuknya rabies di Bali yang agak terlambat diketahui/ ditanggulangi (kurang lebih 6 bulan sejak terjadinya awal kasus gigitan anjing) dan selama ini kita pertahankan sekuat tenaga sebagai daerah bebas rabies mengingat Bali sebagai daerah tujuan utama wisata bertaraf internasional serta relatif mudah diketahui adanya wabah penyakit maupun penanggulangannya apabila dilihat dari luas maupun topogra wilayah, tingkat akomodatif/kerjasama yang tinggi dari masyarakat maupun pemuka agama, cukup kuatnya sumberdaya manusia berpendidikan (adanya fakultas kedokteran dan kedokteran hewan Universitas Udayana, Balai Besar Veteriner dan Balai Karantina maupun para praktisi veteriner senior dll). Apabila kita semua tidak mau dikatakan sebagai bangsa keledai yaitu seperti keledai yang terjerambab pada lubang yang sama secara berulang, maka perlu diciptakan sistem peringatan dini (early warning system) yang tangguh yaitu sistem deteksi (early detection), sistem pelaporan (early reporting) dan sistem respons (early respons) secara cepat. Aspek komunikasi, edukasi dan informasi kepada masyarakat atau yang lebih terkenal dengan istilah KIE serta menanamkan faktor kepedulian (awareness) dan menciptakan kegiatankegiatan yang berbasis partisipasi masyarakat sangat diperlukan sehingga dengan wilayah NKRI yang sangat luas ini apabila terjadi kejadian luar biasa dari suatu penyakit secara awal masyarakat dapat segera melaporkan secara berjenjang kepada aparat sehingga dapat segera diketahui oleh dinas teknis yang menangani dan melakukan tindakan penanggulangan secara cepat pula sehingga penyakit tidak sempat menyebar dan membawa korban jiwa maupun harta benda yang lebih banyak. Berbagai upaya telah ditempuh untuk mencegah menyebarnya lebih luas lagi wabah rabies ini di wilayah/ kabupaten lain di Pulau Bali dan berupaya mempercepat penanggulangan wabah rabies di yang ada di 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Badung serta kegiatan surveilans terintegrasi antara bidang kesehatan masyarakat dan

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

kesehatan hewan perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan pelaksanaannya. Dukungan masyarakat yang luas dan tersedianya dukungan dana yang cukup serta terwujudnya koordinasi lintas sektor akan mempercepat implementasi program untuk menuju keberhasilan yaitu mengembalikan Bali terbebas dari ancaman rabies. Pada berbagai kesempatan semua pihak telah bersepakat kiranya Bali dapat segera dibebaskan kembaali dari rabies

pada akhir tahun 2010 nanti. Semoga Tuhan YME mengabulkan doa kita, Amien.
Oleh: Soedarmono dan AA Gde Putra Direktorat Kesehatan Hewan dan Balai Besar Veteriner Denpasar

MODUL PELATIHAN

TATALAKSANA KASUS FLU BURUNG


BAGI DOKTER PUSKESMAS DAN DOKTER PRAKTEK SWASTA
Modul ini dibuat agar dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi dokter Puskesmas dan dokter praktek swasta di provinsi, kabupaten/kota, agar mampu mendiagnosis secara dini suspek Flu Burung. Disamping itu diharapkan materi modul ini juga dapat dijadikan sebagai bahan penyuluhan (KIE) bagi semua pihak dalam rangka mencegah penyakit dan menghindari faktor risiko serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan petugas kesehatan terhadap Flu Burung.
drh. Wilfried Purba, M.Kes. sedang memberikan pengarahan

Kasus Flu Burung pada manusia sejak mulai dilaporkan pada tahun 2006 sampai dengan tahun pertengahan tahun 2009 ini cenderung menurun, rata-rata sebesar 3040% pertahunnya. Berbeda dengan jumlah kasus, angka kematian (Case Fatality Rate) akibat Flu Burung masih berkisar 80-83 %. Tingginya angka kematian tersebut memang harus diteliti lebih lanjut, apakah disebabkan oleh tingkat virulensi virus atau akibat dari penatalaksanaan kasus yang tidak sesuai dengan SOP. Faktor keterlambatan diagnosis suspek Flu Burung di fasilitas kesehatan dan keterlambatan pemberian antiviral dengan oseltamivir, perlu segera diatasi. Keterlambatan tersebut terjadi disamping gejala awal penyakit yang sangat umum, juga karena kurangnya informasi tentang situasi Flu Burung pada unggas dan manusia di wilayah kerja Puskesmas setempat, sehingga para petugas kesehatan/klinisi yang bertugas di Puskesmas, Unit Gawat Darurat atau Poliklinik rumah sakit kurang mengarahkan pemeriksaan klinis terhadap kemungkinan Flu Burung pada pasien yang menunjukkan gejala Inuenza Like Illness (ILI). Pembekalan kepada petugas kesehatan di tingkat Puskesmas atau klinik swasta yang sekarang tumbuh menjamur di semua daerah sangat diperlukan sebagai salah satu upaya menurunkan angka kematian akibat Flu Burung. Berdasarkan alasan tersebut, Subdit Zoonosis bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan Komunitas, Direktorat Bina Yanmedik Dasar, Direktorat Sepim Kesma, Direktorat P2ML, Pusat Promosi Kesehatan, Puslit Biomedis dan Farmasi, RSPI Sulianti Saroso, UPPAI Pusat (Direktorat Kesehatan Hewan) dan BBPK Cilandak, telah menyusun Modul Pelatihan Tatalaksana Kasus Flu Burung Bagi Dokter Puskesmas dan Dokter Praktek Swasta.

Isi Modul Modul Pelatihan Tatalaksana Kasus Flu Burung Bagi Dokter Puskesmas dan Dokter Praktek Swasta ini, telah disusun mengikuti kaidah penyusunan modul yang dapat diberikan sertikat oleh Badan PPSDM Depkes. Struktur program modul adalah sebagai berikut : Dalam modul dilampirkan antara lain daftar RS rujukan dan laboratorium rujukan lengkap dengan kontak person, formulir KLB, formulir rujukan dan sebagainya, untuk memudahkan petugas medis di lapangan dalam penatalaksanaan kasus Flu Burung.
Role play : Simulasi merujuk pasien

Pelaksanaan Pelatihan Kegiatan pelatihan dokter Puskesmas dan dokter swasta dengan menggunakan modul tersebut diatas telah dilaksanakan dengan bantuan dana dari proyek CDC Atlanta di provinsi Jawa Timur sebanyak 2 angkatan dengan total peserta 100 orang. Pelatihan di Provinsi Sumatera Barat juga dilaksanakan sebanyak 2 angkatan (110 peserta). Provinsi Lampung dan Kep.Riau masing-masing satu angkatan. Pada waktu pelaksanaan peserta dibagi menjadi 2 kelas masing-masing 25 30 orang agar sesuai dengan kaidah suatu pelatihan dimana jumlah peserta maksimal adalah 30 orang. Pelatihan di provinsi Sumatera Barat dan Kepri juga diikuti oleh Petugas Peternakan kabupaten/kota, dengan harapan akan meningkatkan hubungan kerja atau jejaring antara puskesmas dan dokter swasta dengan sektor peternakan setempat.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Metode yang digunakan adalah ceramah, tanya jawab, studi kasus secara kelompok, penugasan perorangan serta bermain peran dari sejak menerima pasien, bagaimana merujuk pasien, pemeriksaan pasien di RS rujukan serta bagaimana memerankan petugas di Dinas Kesehatan kabupaten dalam melakukan kegiatan penyelidikan epidemiologi. Kegiatan bermain peran ini menjadi sangat menarik, karena ternyata meskipun para peserta sudah cukup lama praktek secara mandiri maupun di Puskesmas telah melupakan prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi dengan menggunakan Alat pelindung Diri (APD). Waktu pelatihan sesuai dengan jumlah JPL adalah 31 jam, sehingga realisasinya menjadi 4 hari penuh. Lamanya jam yang dibutuhkan sempat membuat para kontributor raguragu apakah dokter praktek swasta akan tertarik dan mau mengikuti keseluruhan proses pelatihan. Belajar pada pengalaman di empat provinsi tersebut diatas ternyata kekhawatiran tadi tidak terbukti sama sekali, karena para

waktunya untuk menjadi fasilitator, dr.Sila Wiweka,SpP (RSPI SS) selalu sabar memberikan materi dan menceritakan pengalamannya kepada para peserta pelatihan dalam perawatan kasus FB. Bahkan peserta pelatihan mendapat bonus materi tentang tatalaksana kasus H1N1 yang saat ini sedang merebak di 24 provinsi di Indonesia. Drg.Rudi dan dr.Luluk dari badan Litbangkes menjelaskan tentang pencegahan dan pengendalian infkesi serta pengambilan dan pengiriman spesimen. Pada waktu pelatihan di provinsi Sumatera Barat, panitia mendapat kejutan dengan datangnya 40 tenaga laboratorium dari rumah sakit rumah sakit di Padang dan Bukittinggi, untuk refreshing bagaimana cara pengambilan spesimen yang adekuat. Narasumber lain adalah dari Pusat Promosi Kesehatan,Depkes, Subdit ISPA dan Subdit Karantina Kesehatan yang membawakan materi tentang risiko terjadinya pandemi, subdit Surveilans membawakan materi surveilans integrasi. Tidak ketinggalan narasumber kesayangan peserta yaitu dr. Erna Tresnaningsih,MOH,PhD,SpOk yang memberikan materi tentang komunikasi interpersonal dokter dan pasien dengan sangat menarik sehingga para peserta enggan untuk mengakhiri jam pelajaran beliau. Pada hari terakhir dibawah pimpinan dari MOT andalan kami yaitu drg.Sitti Mursifah,MARS dan dr.Poppy Trisnawati,MKes, peserta mendapat tugas untuk mempresentasikan laporan hasil kegiatan bermain peran secara kelompok per kabupaten/ kota serta membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) setelah mereka kembali ke tempat tugas masing-masing. Saran Penyelenggaraan Secara umum saran dari peserta pelatihan adalah replikasi pelatihan di Puskesmas lain, serta pelatihan khusus untuk tenaga perawat. Saran lain yang akan kami pertimbangkan adalah praktek lapangan langsung termasuk kunjungan ke RS rujukan. Penutup Modul Pelatihan Tatalaksana kasus Flu Burung bagi Dokter Puskesmas dan Dokter Praktek Swasta saat ini menjadi modul tentang Flu Burung yang paling lengkap dan telah disesuaikan dengan keadaan dan kebijakan pengendalian Flu Burung secara nasional. Mengingat kemampuan dari segi tenaga dan dana maka kami sangat mengharapkan apabila teman-teman di provinsi atau kabupaten/kota lain dapat menyelenggarakan pelatihan dengan menggunakan modul tersebut, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam penyelenggaraan bekerjasama dengan IDI setempat. Ucapan terimakasih kami kepada seluruh kontributor yang tanpa lelah diantara berbagai kesibukan masingmasing bersedia meluangkan waktu untuk menulis materi sesuai dengan bidang kerjanya, menjadi sebuah modul yang sangat berguna bagi teman-teman di lapangan dan kemudian melanjutkan dengan menyampaikan materi pada acara pelatihan. Pada akhirnya semoga upaya pengendalian Flu Burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi inuenza dapat dilaksanakan semaksimal mungkin. Tenaga medis di lapangan tanggap terhadap Flu Burung, mampu mendiagnosa secara cepat dan tepat, dan masyarakat yakin dokternya piawai serta dapat diandalkan.
Oleh : (Subdit Zoonosis, Dit. PPBB)

Keterangan : T : Teori P : Penugasan PL : Praktek Lapangan 1 JPL = 45 menit

dokter praktek swasta yang mengikuti pelatihan sangat bersemangat bahkan ada yang sudah datang satu hari sebelum pelaksanaan agar kondisi badan tetap fresh dari awal sampai akhir pelatihan. Narasumber pelatihan adalah masing-masing Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Peternakan, dr.Rita Kusriastuti,MSc (Direktur PP.BB), dr.Wuwuh (Kasubdit Gadar, Yanmedik Dasar) yang selalu menyempatkan

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

PELATIHAN PENATALAKSANAAN

BAGI DOKTER PUSKESMAS BERBASIS KOMPETENSI DI KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN
diharapkan semua dokter klinik/swasta yang ada di daerah proyek dapat mengikuti sosialisasi tersebut. Karena tingginya kasus dan kematian pada manusia di Tangerang dikhawatirkan dilokasi pilot proyek ini akan menjadi episentrum Pandemi Inuenza, namun melalui upaya Pengendalian dengan penerapan langkah-langkah strategis dari Pemerintah kasus penyakit pada manusia maupun angka kematian pada unggas dapat ditekan namun penyakit ini belum dapat dibebaskan. Belum reda kasus u burung (H5N1) Dunia dikejutkan dengan timbulnya wabah Inuenza Flu Babi di Mexico 13 April 2009 yang kemudian dikenal dengan nama Inuenza A baru H1N1 dan sejak 11 Juni 2009 telah dinyatakan Pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ). Di lokasi Pilot Proyek Pengendalian Flu Burung Tangerang, Inuenza A H1N1 telah menyerang para santri di Pondok Pesantren Babussalam, Kota Tangerang, dan pondok pesantren Al Amanah Al-Gontori, Kota Tangerang Selatan dan Daar El-Qolam di wilayah Kabupaten Tangerang, namun karena kesiapan petugas kesehatan Daerah dan kerjasama dengan Pilot Proyek Pengendalian Flu Burung serta Subdit. Surveilans dan Subdit ISPA juga dibantu Pusat Penelitian Bio Medis dan Farmasi kejadian lebih lanjut dapat diatasi dan dilaporkan tidak terjadi kematian pada manusia. TUJUAN PELATIHAN Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap peserta-latih dalam menangani kasus Flu Burung guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya pandemi Inuenza. KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN SETELAH SELESAI MENGIKUTI PELATIHAN Peserta mampu : Menjelaskan tentang kebijakan pengendalian Flu Burung Menjelaskan tentang Epidemi Flu Burung Menjelaskan surveilans terintegrasi Flu Burung Melakukan tata laksana kasus suspect Flu Burung Melakukan pencegahan dan pengendalian Flu Burung Menjelaskan prosedur rujukan kasus Melakukan penanganan spesimen Menjelaskan risiko terjadinya pandemi inuenza Memberdayakan masyarakat dalam rangka pencegahan u burung. INSTRUKTUR PELATIHAN Drh.Gindo Simanjuntak, MPH, PhD (Kepala Set PP FB)
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

KASUS FLU BURUNG

Drh. Gindo. M. Simanjuntak, MPH. PhD, Kepala Sekretariat Pilot Proyek Flu Burung, Tangerang

URGENSI PELATIHAN Kasus kematian pada manusia akibat H5N1 pertama kali terjadi di Kota Tangerang (2005), sampai saat ini di Indonesia dilaporkan 141 kasus dengan kematian115 orang (CFR 98,7 %) dan telah menyebar di 12 Propinsi (2009) .di Propinsi Banten dilaporkan 30 kasus dengan kematian 27 orang, sedangkan kasus di lokasi Pilot Proyek Pengendalian Flu Burung khususnya di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan terjadi 20 kasus dengan kematian 18 orang. Avian Inuenza muncul pertama kali di Indonesia tahun 2003 hanya menyerang unggas dan telah menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat peternak dan pelaku Industri Peternakan dan telah menyebar di 31 Propinsi di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa terjadinya kasus kematian disebabkan karena terlambatnya suspek/penderita u burung memperoleh pertolongan dan tidak tertutup kemungkinan akibat kurang diterapkannya deteksi dini dan pengobatan dini (early detection and prompt treatment). Salah satu langkah strategis yang diambil guna menekan morbiditas dan mortalitas akibat u burung adalah memperkuat SDM yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat yang dalam hal ini adalah para dokter puskesmas di wilayah kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Pelatihan penatalaksanaan kasus Flu Burung bagi dokter Puskesmas di Daerah Proyek percontohan Pengendalian Flu Burung Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan tanggal 12 15 Agustus 2009 di Bumi Serpong Damai Tangerang diikuti oleh 52 Dokter Puskesmas se-Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dan dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Banten. Bagi dokter klinik/ swasta telah dilaksanakan sosialisasi dan secara bertahap

Dokter Puskesmas Peserta Pelatihan Tata Laksana Kasus F.B

Drh.Wilfried H. Purba, MM, MKes. (Kasubdit Zoonosis Ditjen PP&PL ) Dr.Ida Bagus Sila Wiweka, Sp.P (RSPI Sulianti Saroso) Dr. Mawari Edy, M. Epid (Subdit Surveilans Ditjen PP&PL) Dr. Ira Wignjadiputro ( Subdit ISPA Ditjen PP & PL ) Dr.Oni.T. Prabowo (Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat) Dr.Tintin Martini, Sp.P (RSUD Kab. Tangerang ) Dr. Dewi Lokita ( RSUD Kab.Tangerang ). Bayu Aji, SE, M.Sc. PH (Pusat Promosi Kesehatan) MASTER OF TRAINING (MOT) 1. Hermansyah,SH 2. Oktiningsih,SKM,M.Kes Keduanya dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan Masyarakat Cilandak. Pencapaian kompetensi tersebut melalui pemberian materi pelatihan sbb.: 1. Materi Dasar : Kebijakan dan Situasi Flu Burung pada manusia dan kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Inuenza Kebijakan dan Situasi Avian Inuenza pada unggas. 2. Materi Inti Epidemiologi dan Surveilans terintegrasi Flu Burung Tatalaksana kasus suspect dan prosedur rujukan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Penanganan spesimen dan diagnosis laboratorium Peran Dokter dan risiko terjadinya pandemi 3. Materi Penunjang : BLC (Building Learning Commitment) Rencana Tindak Lanjut PROSES PELATIHAN Jumlah peserta-latih seluruhnya 52 orang dibagi ke dalam 2(dua) kelas @ 26 orang yakni kelas A dan kelas B. Sebagai penanggungjawab proses pembelajaran Kelas A adalah Hermansyah SH selaku MOT, sedangkan kelas B penanggungjawabnya Oktiningsih, SKM, Mkes selaku MOT. Proses pelatihan diawali dengan pre test guna menjajagi seberapa jauh penguasaan pengetahuan peserta tentang u burung, selanjutnya di akhir pelatihan dilakukan post test guna mengukur tingkat kemajuan peserta (progress) dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran yang digunakan

adalah pendekatan cara belajar orang dewasa (andragogy approach). Pada hari pertama diisi dengan materi dasar berupa ceramah singkat interaktif guna memberikan wawasan kebijakan dan dilanjutkan dengan sesi Building Learning Commitment guna mewujudkan dinamika grup dalam proses pembelajaran. Pada hari kedua dan ketiga diisi dengan materi inti yakni materi pelatihan yang harus benar-benar peserta kuasai dalam bentuk ceramah singkat interaktif dilanjutkan dengan demonstrasi, simulasi (role playing) termasuk tehnik pengambilan spesimen dan pengemasan/pengiriman spesimen (apus tenggorokan dan apus hidung). Peserta dibagi ke dalam 4 kelompok @ 6-7 orang per-kelas. Dengan demikian tiap peserta memperoleh kesempatan cukup melakukan pengambilan apus tenggorokan dan hidung. Demikian pula halnya penugasan Komunikasi interpersonal dokter dan pasien sebagian peserta berperan sebagai dokter, pasien, keluarga pasien dan pengamat. Pada hari keempat, peserta melakukan praktek kerja lapangan dengan menggunakan skenario yang telah disusun oleh pihak RSUD Kabupaten Tangerang sebagai tempat PKL. Sebagian peserta berperan sebagai dokter dan pasien suspek u burung dengan menggunakan mobil ambulans, sedangkan sisanya sebagai pengamat. Dengan demikian setiap peserta mampu berimprovisasi selama proses pembelajaran berlangsung (learning by doing). Dari hasil post test dan pre test nampak jelas perbedaan angka signikan, nilai rata-rata pre test dan post test Selain hasil pre dan post test juga dilakukan pengamatan dari hari ke hari penguasaan peserta terhadap materi pelatihan oleh masing-masing MOT dan sewaktu-waktu dilakukan remedial action guna menutup kesenjangan peserta sehingga pencapaian kompetensi masing-masing pesertalatih dapat terwujud dengan baik. Peserta seluruhnya 52 orang dinyatakan lulus dan memperoleh sertikat yang ditandatangani oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kesehatan, dan Direktur P2B2 Ditjen PP dan PL Depkes.
Oleh : drh. Rahman Yusuf Sekretariat Pilot Project Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza

Kunjungan ke Ruangan Isolasi RSUD Tangerang

10

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

TANYA JAWAB

SEPUTAR INFLUENZA
1. Apa yang dimaksud dengan inuenza A Baru H1N1? Inuenza A Baru H1N1 merupakan inuenza (u) yang semula disebut u babi disebabkan oleh virus inuenza tipe A subtipe H1N1 baru strain Meksiko. Virus ini berbeda dengan virus inuenza musiman yang ada selama ini (seasonal inuenza), atau virus inuenza A Baru H1N1 yang pernah menjadi wabah di Spanyol tahun 1918. 2. Apa perbedaan inuenza A Baru H1N1 dengan u biasa atau u burung? Inuenza A Baru H1N1 ditemukan pertama kali 12 April 2009 di Meksiko. Penyakit ini penyebarannya sangat cepat walaupun angka kematiannya di seluruh dunia rendah (0,4%). Pada 25 April 2009 WHO menetapkan Inuenza A Baru H1N1 sebagai PHEIC (Public Health Emergency International Concern) fase tiga. Tanggal 27 April dinaikkan menjadi fase 4, tanggal 29 April dinaikkan lagi menjadi fase 5 dan pada tanggal 11 Juni ditingkatkan lagi menjasi fase -6 (pandemi). Flu biasa atau musiman adalah u yang disebabkan oleh virus u A sub tipe H1N1 (strain Spanyol), H2N2 dan H3N2. Virus ini endemik di beberapa Negara. Di negara dengan 4 musim, u ini angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan inuenza A Baru H1N1 yaitu 5% -15%. Sedangkan u burung disebabkan virus inuenza A H5N1. Virus ini terdapat pada unggas (utamanya ayam dan bebek) tetapi dapat menular ke manusia. Virus ini menular ke manusia melalui air liur, lendir dan kotoran unggas yang sakit. Dapat juga menular melalui udara yang tercemar oleh virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit. Virus inuenza A H5N1 lebih virulen/ganas dibandingkan dengan u lainnya. Angka kematiannya lebih dari 80%. Saat ini penularan u burung H5N1 masih dari unggas ke manusia (fase 3). 3. Bagaimana seseorang dapat tertular inuenza A Baru H1N1? Virus dapat menular dari manusia ke manusia semudah seperti u musiman biasa yang dapat ditularkan lewat paparan percikan ludah (droplet) seorang yang sakit melalui batuk atau bersin yang terhirup atau yang mencemari tangan atau benda-benda yang dipegang penderita.

BARU H1N1

4. Apa saja kategori pasien inuenza A Baru H1N1 ? a. Suspek Seseorang dengan gejala infeksi pernafasan akut (demam dengan suhu tubuh > 38 derajat Celcius atau lebih), mulai dari yang ringan (Inuenza Like Illnes/ILI) sampai pneumonia, ditambah salah satu keadaan di bawah ini : Dalam tujuh hari sebelum sakit kontak dengan kasus konrmasi u A Baru H1N1 yang baru. Dalam tujuh hari sebelum sakit berkunjung ke area yang terdapat satu atau lebih kasus konrmasi u A Baru H1N1 b. Probable Seseorang dengan gejala di atas, disertai hasil pemeriksaaan laboratorium positif terhadap u A Baru H1N1, tapi sub tipenya tidak dapat diketahui dengan menggunakan reagen inuenza musiman. Atau seseorang yang meninggal karena penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang tidak diketahui penyebabnya dan berhubungan secara epidemiologi dengan kasus probable atau konrmasi. c. Konrmasi Seseorang dengan gejala di atas sudah dikonrmasi laboratorium inuenza A Baru H1N1 dengan pemeriksaan satau atau lebih tes : Real Time Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction ( RT PCR ) Kultur virus Peningkatan empat kali antibody spesik inuenza A Baru H1N1 dengan netralisasi tes 5. Bagaimana penyakit Inuenza A Baru H1N1 menular ? Inuenza A Baru H1N1 ditularkan melalui kontak langsung dari manusia ke manusia lewat batuk, bersin atau benda-benda yang pernah bersentuhan dengan penderita, karena itu penyebarannya sangat cepat. Namun angka kematiannya sangat rendah yakni 0,4%. Kematian yang terjadi pada pasien positif inuenza A Baru H1N1 pada umumnya bukan disebabkan karena virus A Baru H1N1 tetapi penyakit lain yang menyertainya seperti orang dalam kondisi lemah, sakit pernafasan, HIV/AIDS, lanjut usia (lansia) serta Balita dengan gizi kurang.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

11

6. Apa gejala seseorang menderita u A Baru H1N1? Gejala u A Baru H1N1 yang dapat sama dengan seperti u biasa (inuenza like-illnes), seperti : demam (> 38oC), batuk, pilek, letih, lesu, sakit tenggorokan mungkin disertai mual, muntah dan diare, bila semakin berat akan mengakibatkan sesak napas yang menyebabkan terjadinya pneumonia sehingga mengakibatkan kematian. 7. Bagaimana cara mencegah penularan Inuenza A Baru H1N1? Menjaga kondisi tubuh tetap sehat diantaranya makan dengan gizi seimbang dan bila perlu tambahkan vitamin/suplemen. Biasakan cuci tangan pakai sabun/antiseptik setelah beraktivitas, Bila batuk atau bersin menutup mulut dan hidung dengan saputangan/tisu. Apabila ada gejala inuenza minum obat penurun panas, gunakan masker dan tidak ke kantor/sekolah atau tempat-tempat keramaian serta istirahat di rumah selama 5 hari. Apabila dalam 2 hari u tidak membaik, segera ke dokter. Hindari kontak atau jaga jarak dengan penderita u 8. Bagaimana pengobatan inuenzA Baru H1N1? Saat ini inuenza A Baru H1N1 sudah melanda dunia (dinyatakan pandemi oleh WHO sejak 11 Juni 2009 hingga sekarang). Di Indonesia juga sudah banyak ditemukan kasus positif. Karena itu, jangan menunggu sakit u tambah berat. Kalau merasa u segera minum obat penurun panas. Bila dua hari u juga tidak membaik segera periksa ke dokter. Apabila ada gejala u berat, dokter akan merujuk ke rumah sakit. Di rumah sakit, mereka yang diduga (suspek) inuenza A Baru H1N1 berat dirawat di ruang isolasi, dan diberikan obat oseltamivir/tamiu. Spesimennya diperiksa di laboratorium rumah sakit/ laboratorium regional dan dikonrmasi di Laboratorium rujukan di Laboratorium Badan Litbangkes Depkes Jakarta. Kalau hasilnya positif, maka pasien dirawat di ruang isolasi selama 7 hari. Setelah kondisinya sehat boleh pulang. 9. Seberapa besar kita harus waspada terhadap penyebaran u A Baru H1N1? Menurut WHO, penyakit ini sangat sulit dibendung

(unstopable). Penyakit ini penularannya sangat cepat, tetapi angka kematiannya (case fatality rate) rendah yaitu diseluruh dunia 0,4%. Kita harus tetap waspada, tetapi tidak perlu panik. Pahami gejalanya, pelajari cara penularannya dan ikuti cara pencegahannya agar kita terhindar dari penularan inuenza A Baru H1N1. 10. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa u A Baru H1N1 telah mencapai fase 6 dalam kewaspadaan pandemi, apa yang perlu Anda lakukan untuk mencegah tertular u A Baru H1N1? Hindari kontak dengan orang yang yang berasal atau baru bepergian dari negara Terjangkit. Apabila sangat diperlukan harus bepergian ke negara terjangkit, lakukan tindakan pencegah yang diperlukan seperti cuci tangan sesering mungkin, menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, hindari kontak dengan orang yang sedang u, dan menggunakan masker . Bila menderita u, segeralah periksa ke klinik terdekat, dokter praktek, Puskesmas, atau Rumah Sakit. Sehingga semakin cepat diperiksa kesehatannya akan semakin cepat mendapatkan pelayanan kesehatan.

11. Apakah di Indonesia sudah ada yang terjangkit u A Baru H1N1 (strain Meksiko)? Pertama kali kasus inuenza A Baru H1N1 masuk ke Indonesia berawal dari luar negeri (kasus impor, kerena tertular di luar negeri). Akibat mobilitas manusia antar negara, kasus di Indonesia semakin banyak. Penularan juga terjadi pada orang-orang yang tidak punya riwayat dari luar negeri. Sampai tanggal 22 Juli, terdapat 239 kasus yang berasal dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimatan Timur, dan Kepulauan Riau. 12. Apakah sudah ada obat atau vaksin yang ampuh untuk Flu Baru H1N1? Sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegahanya. Obat antiviral yang masih efektif untuk pengobatan adalah Oseltamir (Tamiu), dengan catatan segera mendapatkan pengobatan setelah merasa sakit u. 13. Di mana bisa memperoleh obat oseltamivir ?. Oseltamivir atau tamiu adalah obat stok yang dikendalikan oleh pemerintah dan tidak diperjualbelikan. Obat ini hanya tersedia di fasilitas kesehatan yang telah ditetapkan seperti Puskesmas, RS Rujukan dan Dinas Kesehatan maupun Depkes.

12

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

14. Mengapa inuenza A Baru H1N1 disebut Flu Babi? Semula WHO menyatakan bahwa kasus inuenza yang pertama kali berjangkit di Meksiko dan Amerika Serikat disebut sebagai swine u atau u babi. Tetapi setelah dapat diidentikasi virusnya yaitu inuenza A Baru H1N1 yang merupakan gabungan antara virus pada manusia dan virus pada babi. Kendati sudah ditemukan jenis virusnya, istilah u babi lebih populer. 15. Bagaimana penyakit itu masuk ke Indonesia? Walaupun pemerintah sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah agar tidak masuk Indonesia, tetapi karena virus inuenza A Baru H1N1 sudah menular antar manusia maka sangat sulit untuk membendungnya. Bahkan Dirjen WHO juga menyatakan bahwa inuenza A Baru H1N1 unstoppable (tidak bisa dibendung) menyebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. 16. Apa upaya pemerintah dalam menghadapi pandemi u baru H1N1? Upaya kesiapsiagaan menghadapi pandemi inuenza, sudah dilakukan Depkes sejak kasus tersebut muncul pertama kali di Meksiko dan Amerika Serikat. Depkes telah menetapkan langkah kewaspadaan menghadapi pandemi inuenzA Baru H1N1, yaitu : a. Penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan: Pemberlakuan health alert card Penerapan radio practice Pemasangan thermal scanner Penyiapan sarana rujukan bila diperlukan b. Logistik terutama obat dan APD Penyediaan obat tamiu dalam jumlah yang cukup Pendistribusian sampai di tingkat Puskesmas c. Penyiapan Rumah Sakit Kesiapan 100 rumah sakit rujukan Ketersediaan obat Ketersediaan ruang isolasi Petugas kesehatan yang terampil Prosedur diagnosis dan terapi d. Penguatan surveillans epidemiologi Mengintensifkan surveilans Inuenza Like Illness (ILI) di 20 Puskesmas sentinel Mengintensifkan surveilans SARI di 15 Rumah Sakit Sentinel Menambah lokasi sentinel ILI di 25 Puskesmas baru Surveilans Pneumoniadan SARI di sarana kesehatan (Puskesmas & rumah sakit) Intensikasi surveilans di pelabuhan laut dan udara, terutama pelabuhan/bandara internasional Surveilans di masyarakat (desa siaga)

e. Penguatan laboratorium Penetapan Laboratorium Badan Litbangkes untuk konrmasi Mengintensifkan laboratorium regional Pemenuhan reagensia f. Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) Pembuatan spanduk di tempat-tempat umum Pembuatan stiker/pamet/brosur dan media komunikasi lainnya Melakukan jumpa pers dan press release secara berkala Memberikan penjelasan ke masyarakat melalui berbagai media massa cetak dan elektronik Pemberdayaan masyarakat melalui desa siaga

g. Berkoordinasi dengan instansi terkait, otoritas kesehatan negara-negara lain, mematuhi International Health Regulations (IHR). h. Community surveilans yaitu masyarakat yang merasa sakit u agak berat segera melapor ke Puskesmas, sedangkan yang berat segera ke rumah sakit. i. Clinical surveilans yaitu surveilans severe acute respiratory infection (SARI) ditingkatkan di Puskesmas dan rumah sakit untuk mencari kasus-kasus yang berat. Sedangkan kasus-kasus yang ringan tidak perlu perawatan di rumah sakit. 17. Apa yang dapat membunuh virus inuenza A Baru H1N1? Virus inuenza mati dalam suhu 75-100C. Virus ini juga mati setelah bersentuhan dengan zat kimia pembunuh kuman, termasuk klorin, hidrogen peroksida, detergen (sabun), iodofor (antiseptic berbasis iodin), dan alkohol jika digunakan dalam konsentrasi yang tepat untuk waktu tertentu. Misalnya, jel atau tisu basah mengandung alkohol dapat digunakan untuk membersihkan tangan. Gosok jel antiseptik pembersih tangan hingga kering. 18. Dimana masyarakat dapat melapor atau memperoleh informasi tentang inuenza A Baru H1N1 ? Masyarakat dapat menghubungi Posko Kejadian Luar Biasa (KLB) : Telp. (021) 4257125; Fax : (021) 42877588 ; Email : poskoklbp2pl@yahoo.com ;Call Center: (021) 30413700; Website Depkes : www.depkes.go.id dan www.penyakitmenular.info (Smd)
Oleh: Sumardi - Pusat Komunikasi Publik, Depkes RI

* Puskom Publik ( dari berbagai sumber )

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

13

Pergerakan Masyarakat dalam

Pengendalian Flu Burung dan Penyakit Bersumber Binatang


lainnya (Kegiatan Inovatif di Lapangan)
Hasil Pertemuan Konsultasi Program Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang tanggal 2 5 Agustus 2009 di Batam dengan tema Inovasi dalam Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang menghasilkan beberapa kegiatan inovatif di lapangan. Kegiatan inovatif di lapangan yang telah dilakukan salah satunya adalah Pelatihan Fasilitator Pergerakan Masyarakat dalam Pengendalian Flu Burung dan Penyakit Bersumber Binatang yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Alasan mengapa dilakukan kegiatan tersebut adalah:Masalah kesehatan serta kaitannya dengan persoalan lain semakin kompleks. Mulai dari pemanasan global yang menyebabkan munculnya berbagai varian virus baru hingga masalah bencana, tsunami; Tantangan masalah kesehatan bukan hanya berkutat pada isu baru, karena isu-isu mendasar ternyata juga masih harus dihadapi; Informasi & pengetahuan masyarakat tentang berbagai penyakit termasuk Flu Burung masih sangat terbatas, karena penyampaian informasi dan penerimaan belum maksimal; Masyarakat seharusnya mendapatkan informasi dan pengetahuan yang jelas, sehingga mereka sendiri dapat mengetahui cara terbaik untuk mencegah dan menghindari penyakit; Untuk itu perlu adanya gerakan mengoptimalkan potensi masyarakat dalam rangka menyehatkan bangsa. Adapun arah pemikirannya adalah: Mengorganisir & mengembangkan masyarakat pada manusia, kelembagaan yang ada dalam masyarakat; Peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku; Menjadi lebih mandiri dan dapat menolong dirinya sendiri; Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pembelajaran bertahap & berkelanjutan dalam bentuk : peningkatan partisipasi, peran serta yang besar, delegasikan wewenang yang mungkin dan meningkatkan & menggali potensi;Tercapai derajat kesehatan yang lebih baik. Pergerakan Masyarakat dilakukan melalui : a. Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Desa Dilakukan dengan pelatihan sebanyak 1.000 kader. Tugas kader adalah melakukan penyuluhan, networking dan forum komunikasi kader u burung. Diseminasi Informasi Pada Tokoh Agama
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Penyusunan Modul

Pelatihan di Daerah, difasilitasi oleh fasilitator kab / kota, provinsi hanya memantau

Pelatihan mubaligh dengan peserta : MUI, Dewan Masjid Kabupaten/Kota dan Ulama Depag Kab/Kota dengan fasilitator Dinkes, Disnak, MUI, IAIN dan Depag. Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan fasilitator, penyusunan kotbah Jumat dan Qasidahan c. Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat di Sekolah Berintegrasi dengan Program Usaha Kesehatan Sekolah Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan : Pelatihan calon fasilitator, Kasi kurikulum dan guru sekolah terpilih Penyusunan materi bahan ajar Persiapan pelatihan di daerah koordinasi Pelatihan KAIS (Kader Avian Inuenza Sekolah) dan Guru sekolah Monitoring dan evaluasi Tujuan umum adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit avian inuenza pada unggas dan manusia melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat (PPM) di sekolah berintegrasi dengan program usaha kesehatan sekolah (UKS).
Oleh : dr. Irene, MKM (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat), Cipto Aris Purnomo (Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang)

b.

14

MENGENAL

YANG BERPOTENSI DITULARKAN

MELALUI DAGING

ZOONOSIS

Realitas masyarakat di negara berkembang acapkali ditengarai dengan seiring meningkatnya pengetahuan, pendapatan dan kesejahteraan hidup maka kebutuhan pangan hewani semakin meningkat pula. Kesadaran terhadap pentingnya konsumsi protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan sering kali tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang potensi risiko penyakit yang dapat ditularkan melalui bahan pangan hewani khususnya daging atau dikenal sebagai Foodborne zoonosis. Mengapa demikian? Fenomena ini lebih ditangkap sebagai peluang bisnis dengan orientasi kuantitas dibanding dengan aspek kualitas dan keamanannya. Daging sebagai sumber pangan memiliki kandungan protein, lemak, vitamin dan mineral yang tinggi dengan komposisi proporsional sesuai dengan kebutuhan gizi manusia. Disisi lain, tingginya kandungan tersebut ternyata juga sangat baik untuk pertumbuhan mikro-organisme yang berpotensi sebagai sumber penyakit. Untuk mengantisipasi risiko tersebut, perlu kiranya kita mengenal beberapa Foodborne Zoonosis yang sering terjadi ditularkan melalui daging antara lain : Anthrax Agen penyebabnya adalah Bacillus anthracis. Keberadaannya dalam daging berasal dari hewan penderita anthraks. Oleh karena itu hewan penderita anthrax dilarang dipotong, dan sesuai persyaratan teknis hanya hewan sehat saja yang boleh dipotong. Untuk menjaga hal tersebut maka pemotongan hewan wajib dilakukan di rumah potong hewan (RPH) karena di RPH dilakukan pemeriksaan ante-mortem dan postmortem oleh petugas teknis. Penularan yang sering terjadi melalui konsumsi daging sapi, kerbau, kambing atau domba yang tercemar. Penyakit ini pada manusia ditandai dengan gejala demam, rasa nyeri di bagian perut, muntah darah dan diare. Apabila berlanjut, penyakit ini dapat menyebabkan kematian sebagai akibat beredarnya bakteri antraks di seluruh tubuh (septicemia) Salmonelosis Salmonellosis disebabkan oleh bakteri genus Salmonella. Ada 2 macam salmonelosis yaitu salmonellosis tifoidal dan salmonellosis non-tifoidal. Salmonellosis tifoidal disebabkan oleh Salmonella Typhii dan menyebabkan penyakit demam tifoid pada manusia. Salmonelosis non-tifoidal disebabkan oleh semua serotipe dalam genus Salmonella, kecuali Salmonella Typhii. Penularan yang sering terjadi melalui konsumsi daging

ayam / unggas, sapi, kerbau, kambing atau domba yang tercemar. Gejala klinik salmonelosis pada manusia ada 2 macam, yaitu peradangan lambung - usus dan peradangan seluruh tubuh (sistemik). Bentuk peradangan lambung dan usus ditandai dengan gejala klinik yang muncul berupa demam 8 72 jam pasca infeksi, diare biasa hingga berdarah, mual-mual dan muntah. Dalam kondisi normal biasanya pasien dapat sembuh kembali secara alami dalam 7 hari, dan angka kematian yang ditimbulkan tergolong rendah, yaitu 0,1 0,2%. Bentuk sistemik ditandai dengan gejala klinik berupa kenaikan suhu tubuh secara tiba-tiba, sakit kepala yang hebat, kadang-kadang disertai diare ringan, dan kebengkakan limpa. Pada keadaan ini sering dapat ditemukan bakteri dalam darah (bakterimia). Kasus ini terjadi pada lebih dari 50% pasien yang terinfeksi S. cholerae-suis, dengan tingkat kematian 20%. Sistiserkosis Sistiserkosis atau disebut juga Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari species Taenia soleum pada babi, Taenia saginata pada sapi dan Taenia asiatica pada manusia. Larva cacing ini dikenal sebagai sistiserkus yang sering dijumpai dalam daging dan terkonsumsi manusia. Gejala klinis yang ditimbulkannya pada manusia tergantung penyebaran larva pada organ tubuh dan kehebatan investasinya. Bila pada otot ditandai dengan adanya nyeri otot di tempat akumulasi parasit. Bila larva ini dijumpai di otak, larva ini akan menimbulkan
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

15

gangguan fungsional yang hebat. Bila dijumpai di miokardium, akan dapat menyebabkan kegagalan jantung miokardial. Infeksi larva ini secara cerebral akan menyebabkan epilepsi, hidrocephalus, gangguan keseimbangan badan, gangguan penglihatan Toksoplasmosis Agen penyebab penyakitnya adalah Toxoplasma gondii. Perhatian penyakit ini sering lebih diarahkan pada kucing oleh karena dapat berperan sebagai inang denitif maupun antara. Tetapi inang antara lainnya adalah domba, kambing, babi, sapi dan unggas sering kurang mendapat perhatian, sementara pada kenyataannya infeksi utama terjadi melalui konsumsi dagingnya. Penularan infeksi T. gondii pada manusia melalui konsumsi daging mentah atau setengah masak asal hewan yang mengandung sista, khususnya daging babi dan kambing. Toksoplasmosis lebih sering terjadi pada: 1). Pasien dengan sistem imun cacat (penderita immunocomprised), 2). Pasien dalam pengobatan immunosupresif (misalnya penderita kanker), dan 3). Wanita hamil. Gejala infeksi fetus kongenital adalah abortus atau lahir lemah dengan encephalitis atau meningoenchepalitis, hydrocephalus atau microcephalus, chorioretinitis, hepato-splenomegali, ikterus, demam dan setelah beberapa bulan atau tahun berlanjut menjadi tuli dan epilepsi. Gejala infeksi setelah lahir kurang serius, dan dapat sembuh spontan setelah beberapa minggu.

Bagaimana mendapatkan Daging ASUH Tips Belanja Daging Belilah daging di kios atau tempat penjualan yang resmi, karena dagingnya telah diadakan pemeriksaan teknis Pilihlah daging yang masih segar dan bersih (daging sapi beraspek kemerahan cerah, daging ayam beraspek putih kekuningan, konsistensi kenyal/tidak lembek berair) Belilah daging di akhir belanja dan segeralah pulang

Tips Penanganan Daging yang Higienis Sesegera mungkin daging yang telah dibeli diolah/ dimasak Bila akan dimasak lebih dari 4 jam dianjurkan disimpan pada suhu dingin (di bawah 40C) Bila akan disimpan beku, dianjurkan daging dipotong-potong terlebih dahulu sesuai kebutuhan, lalu dimasukan ke dalam kemasan atau wadah tertutup yang bersih kemudian disimpan pada suhu di bawah -180C Cucilah tangan sebelum dan sesudah mengolah / memasak daging Tutup luka dengan plester yang kedap air Hindari berin dan batuk langsung di depan daging Usahkan ruang memasak daging bebas dari insekta (lalat, nyamuk, kecoa, semut) dan rodensia (tikus) Gunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah dan memasak daging. Cuci dengan baik semua peralatan setelah digunakan Tips Penyimpanan Daging

Untuk mengantisipasi berbagai risiko zoonosis tersebut, Ingatlah Daging ASUH Aman : daging tidak mengandung bahaya biologi, kimia dan sik yang dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan manusia Sehat : daging memiliki zat-zat yang dibutuhkan dan berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia Utuh : daging tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain Halal : daging berasal dari hewan yang disembelih dan ditangani sesuai syariat agama Islam

Penyimpanan dingin akan memperpanjang masa simpan daging dengan ketentuan sebagai berikut :

Oleh : drh. Krisnandana - Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Deptan RI

16

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

LEPTOSPIROSIS
SOLO, 13 15 AGUSTUS 2009

CERAMAH KLINIK

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang menjadi masalah kesehatan di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira, dan menurut gejala klinis dibagi menjadi bentuk berat/ ikterik dan ringan/unikterik. Secara umum gejala yang sering timbul adalah demam, nyeri kepala, nyeri otot, khususnya di daerah betis, paha, serta gagal ginjal. Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral termasuk dalam Ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai carrier dari Leptospira. Leptospirosis ditularkan melalui kontak dengan air, lumpur, tanaman yang telah dicemari oleh air seni dari rodent (tikus) dan hewan lain yang mengandung bakteri Leptospira. Jenis bakteri Leptospira yang paling berbahaya bagi manusia adalah yang berasal dari tikus. Dalam upaya pengendalian Leptospirosis, surveilans dan tata laksana merupakan kegiatan yang sangat penting, sehingga para petugas yang melaksanakan kegiatan pengendalian Leptospirosis perlu dibekali tentang surveilans dan tata laksana Leptospirosis dalam bentuk Ceramah Klinik yang dilaksanakan di Solo tanggal 13 15 Agustus 2009. Kegiatan ceramah klinik Leptopirosis ini dibuka oleh Direktur PPBB Ditjen PP & PL Depkes RI dan dihadiri oleh narasumber yang berasal dari RS. Dr. Karyadi Semarang, RS dr. Soetomo Surabaya, RSUD Tarakan, dan Balitvet Bogor. Peserta daerah sebanyak 37 orang yang tiap provinsi diwakili 4 orang, meliputi 2 orang pengelola program di Dinas Kesehatan provinsi, 1 dokter RS dan 1 orang tenaga Laboratorium yang meliputi 10 provinsi, yaitu: Dinas Kesehatan Provinsi Sumut dan RSUP Adam Malik; Dinas Kesehatan Provinsi Riau dan RSUD Arin Ahmad; Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel dan RS M. Husein; Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan RSCM; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan RS Hasan Sadikin; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; Dinas Kesehatan Provinsi DIY dan BBTKL Yogyakarta; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan RS dr. Soetomo; Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dan RSUP dr. Wahidin; Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim dan RSUD A Wahab Sjahranie. Panitia pelaksana Kegiatan Ceramah Klinik Leptospirosis ini berjumlah 8 orang dengan rincian sebagai berikut : 5 orang panitia pusat, 3 orang panitia lokal. Dari hasil pertemuan ini diperoleh rangkuman/ rekomendasi sebagai berikut: 1. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosa

Foto narasumber bersama dengan peserta ceramah Klinik Leptospirosis

2.

3.

4.

yang masih merupakan masalah kesehatan dan harus mendapatkan perhatian karena sering tidak terdiagnosis (under diagnosis) dan tidak terlaporkan (under reported). Terdapat keterkaitan antara Leptospira, air serta hewan reservoir (terutama tikus), sehingga memerlukan peran lintas sektor dan lintas program dalam pengendalianya . Diagnosis Leptospirosis berdasarkan gambaran klinis, faktor risiko , data epidemiologi dan laboratorium. Dalam gambaran klinis akan ditemui gejala yang khas (Weills syndrome), banyak faktor risiko yang mempengaruhi terutama kegiatan surveilannya, kendala dalam mendapatkan data epidemiologi serta pemeriksaan laboratorium untuk gold standard (MAT) memerlukan waktu lama. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis cepat (RDT), pemeriksaan serologi (MAT); pemeriksaan kultur (belum ada yang sanggup), dan pemeriksaan molekuler (PCR). Perlu diusulkan ke Balitbangkes untuk mengembangkan metode penegakan diagnosis klinik dan laboratorium yang murah dan cepat seperti pemeriksaan antigen yang dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Komunitas Leptospirosis sudah mendesak untuk dibentuk baik di pusat maupun di daerah yang memiliki peran membangun jejaring pengendalian Leptospirosis. Mengamanahkan kepada Ditjen PP-PL Depkes : a. Membentuk jejaring kerja pengendalian Leptospirosis dengan tujuan membangun sistem surveilans, memadukan upaya-upaya pengendalian dan pengembangan diagnosis sehingga menjadi salah satu program prioritas nasional. b. Buku Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kasus penanggulangan Leptospirosis di Indonesia agar direvisi sesuai keadaan sekarang dengan ditandatangani Menteri Kesehatan, dan juga
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

17

c.

merevisi SK Menkes no 1479/Menkes/SK/X/2003 tanggal 23 Agustus 2003 tentang Pedoman penyelenggaran sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Pemeriksaan MAT dikembangkan di RS Pendidikan lain, BBTKL-PPM dan BBLK dengan RS Kariadi Semarang dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor sebagai narasumber.

5.

6. 7.

Perlu dilakukan pemetaan terhadap Leptospirosis (perlu data Leptospirosis) sebagai bahan perencanaan dalam pengendalian Leptospirosis. Perlu dikembangkan metode untuk pemeriksaan terhadap lingkungan untuk Leptospira. Dalam rangka memperoleh data yang akurat, pada tahun mendatang akan dibentuk sentinel surveilans berbasis laboratorium.

Oleh : (Subdit Zoonosis, Dit. PPBB)

SKD Leptospirosis di Puskesmas


Pengamatan pada saat : Musim hujan, banjir, pasang dll

PENGOBATAN LEPTOSPIROSIS a. Rehidrasi. b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. c. Pengobatan sistomatik. d. Pengobatan Antibiotik. Untuk gejala ringan : 1. Doksisiklin 2 x 100 mg 4 x 500-750 mg 4 x 500 mg

Ditemukan Kasus

2. Ampicilin 3. Amoxicillin

Diobati & ambil spesimen Untuk gejala sedang / berat Neg Leptospirosis Positif Leptospirosis 1. Penicillin G 2. Amoxicillin 3. Eritromisin 4. Sefalosporin / Quinolone Lapor ke Dinkes PE Lama pemberian antibiotik selama 7 hari 4 x 1,5 juta IU 4 x 1000 mg 4 x 500 mg

Gambar : Sistem Kewaspadaan Dini Leptospirosis di Puskesmas

SELUK BELUK

LEPTOSPIROSIS
yang tidak mendapat semua gejala itu. Ada penderita Leptospirosis yang lebih lanjut mendapat penyakit parah, termasuk penyakit Weil yakni kegagalan ginjal, sakit kuning (menguningnya kulit yang menandakan penyakit hati) dan perdarahan masuk ke kulit dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak atau Meningitis dan perdarahan di paru-paru pun dapat terjadi. Kebanyakan penderita yang sakit parah memerlukan rawat inap dan Leptospirosis yang parah malah ada kalanya merenggut nyawa. Gejala dimulai dengan demam menggigil, pegal linu (terutama betis dan punggung), nyeri kepala, nyeri tenggorokan, batuk kering, mual-muntah, sampai mencretmencret. Ini terjadi di awal masa inkubasi

Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang menyerang hewan dan manusia. Bakteri ini berbentuk spiral dan dapat hidup didalam air tawar selama lebih kurang satu bulan. Tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Gejalanya Gejala dini Leptospirosis umumnya adalah demam, sakit kepala parah, nyeri otot, merah, muntah dan mata merah. Aneka gejala ini bisa meniru gejala penyakit lain seperti selesma, jadi menyulitkan diagnosa. Malah ada penderita

18

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Pada masa stadium lanjut, akan muncul gejala seperti penyakit kuning. Ini dikarenakan leptospira telah menyerang hati. Gejalanya kulit dan putih mata menjadi kekuningan, mata merah layaknya sedang sakit mata, adakalanya disertai pendarahan, dan kulit pun meruam merah. Jika diperiksa dengan stetoskop, dokter akan mendengarkan bunyi paru-paru yang abnormal. Gejala klinis leptospirosis Stadium pertama Demam tinggi, menggigil Sakit kepala Malaise (Lesu/Lemah) Muntah Konjungtivitis (radang mata), yang khas : Conjuctival Suusion. Rasa nyeri otot betis dan punggung Gejala gejala diatas akan tampak antara 4 9 hari Stadium kedua Terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama Apabila deman dan gejala gejala lain timbul, kemungkinan akan terjadi meningitis Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat Diagnosis Seorang dokter mungkin mencurigai Leptospirosis pada seorang yang bergejala, biasanya 1-2 minggu setelah terkena. Peneguhan penyakit ini biasanya dengan contoh darah yang akan menyatakan apakah terkena kuman ini. Untuk diagnosa pada umumnya diperlukan 2 kali contoh darah selang 2 minggu. Ada kalanya kuman bisa dibiakkan dari darah, cairan tulang punggung ke otak dan air seni. Dampak jangka panjang Penyembuhan penyakit Leptospirosis ini bisa lambat. Ada

Pada kehamilan : Keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati Pada selaput otak : bisa menimbulkan gejala nyeri kepala, kejang-kejang, leher kaku, dan penurunan kesadaran.

Cara Penyebaran Kuman Leptospira biasanya memasuki tubuh lewat luka atau lecet kulit, dan kadang-kadang lewat selaput di dalam mulut, hidung dan mata. Berbagai jenis binatang bisa mengidap kuman Leptospira di dalam ginjalnya. Penyampaiannya bisa terjadi setelah tersentuh air kencing hewan itu atau tubuhnya. Tanah, lumpur atau air yang dicemari air kencing hewan pun dapat menjadi sumber infeksi. Makan makanan atau minum air yang tercemar juga kadang-kadang menjadi penyebab penyampaiannya. Cara Penularan Manusia terinfeksi bakteri leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan penderita leptospirosis. Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospirosa. Masa inkubasi dari bakteri ini adalah selama 4 19 hari. Karena terdapat banyak jenis kuman Leptospira yang berlainan, mungkin saja seorang terkena jenis yang lain dan mendapat Leptospirosis lagi. Leptospirosis dapat ditularkan kepada orang lain misalnya penularan lewat kelamin atau air susu ibu, meskipun jarang. Kuman Leptospira dapat ditularkan lewat air seni selama berbulan-bulan setelah terkena Binatang yang umumnya terkena Berbagai binatang menyusui bisa mengidap kuman Leptospira. Yang paling biasa adalah jenis tikus, anjing, binatang kandang dan asli, babi kandang maupun hutan, kuda, kucing dan domba. Binatang yang terkena mungkin sama sekali tak mendapat gejalanya atau sehat walaat Yang beresiko tinggi Yang menghadapi bahaya adalah yang sering menyentuh binatang atau air, lumpur, tanah dan tanaman yang telah dicemari air kencing binatang. Beberapa pekerjaan memang lebih berbahaya misalnya pekerjaan petani, dokter hewan, karyawan pejagalan serta petani tebu dan pisang. Aneka kegemaran yang menyangkut sentuhan dengan air atau tanah yang tercemar pun bisa menularkan Leptospirosis misalnya berkemah, berkebun, berkelana di hutan, berakit di air berjeram dan olahraga air lainnya. Jika sampai jatuh sakit, bagaimana? Jika jatuh sakit dalam minggu-minggu setelah mungkin terkena air seni binatang atau berada di lingkungan tercemar, laporkanlah hal itu kepada dokter. Pengobatan Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti : Penicillin dan turunannya
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

Ket. Gambar : Conjuctival Suffusion pada pasien Leptospirosis

yang mendapat sakit mirip kelelahan menahun selama berbulan-bulan. Ada pula yang lagi-lagi sakit kepala atau tertekan. Ada kalanya kuman ini bisa terus berada di dalam mata dan menyebabkan bengkak mata menahun. Komplikasi leptospirosis Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6 Pada Ginjal : Gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian. Pada Jantung : Berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak Pada paru paru : Batuk darah, nyeri dada, sesak napas Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata ( konjungtiva )

19

(Amoxylline) Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine, Doxycycline Segera berobat ke dokter terdekat Pada umumnya Leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau penicillin. Berhubung ujicobanya makan waktu dan penyakitnya mungkin parah,dokter mungkin mulai memberi antibiotika itu sebelum meneguhkannya dengan ujicoba. Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai sejak dini.

Pencegahan Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan. Menjaga kebersihan lingkungan Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang. Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung. Menghindari pencemaran oleh tikus. Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus. Meningkatkan penangkapan tikus . Hindarkanlah berenang di dalam air yang mungkin dicemari dengan air seni binatang.

Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air terutama sebelum bersentuhan dengan tanah, lumpur atau air yang mungkin dicemari air kencing binatang. Pakailah sepatu bila keluar terutama jika tanahnya basah atau berlumpur. Pakailah sarung tangan bila berkebun. Halaulah binatang pengerikit dengan cara membersihkan dan menjauhkan sampah dan makanan dari perumahan. Jangan memberi anjing jeroan mentah. Cucilah tangan dengan sabun karena kuman Leptospira cepat mati oleh sabun, pembasmi kuman dan jika tangannya kering.

Bersangkutan dengan pemeliharaan binatang, pencegahannya diantaranya yaitu : Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air. Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau perisai mata, jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang mungkin terkena, terutama jika ada kemungkinan menyentuh air seninya. Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di dalam maupun digugurkan atau dagingnya. Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah menangani apa pun yang mungkin terkena. Jangan makan atau merokok sambil menangani binatang yang mungkin terkena. Cuci dan keringkan tangan sebelum makan atau merokok. Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan.
Oleh : Prawito - Puskom Publik

SIKLUS PENULARAN PENYAKIT PES


FLEA

Wild Rodents

Wild Rodents Primary Pneumonic Plague

(Wild Rodents cycle)

Domestic Rodents

8
FLEA

FLEA
May progress to

M
Secondary Pneumonic Plague

FLEA
(Domestic cycle)

M
Bubonic Plague

Domestic Rodents

20

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

ALUR KEGIATAN DAN PEMERIKSAAN PENYAKIT PES


a) Alur Kegiatan Surveilans Vektor Pes
Pengamatan

Daerah Fokus

Daerah Terancam

Bekas Daerah Fokus

Trapping - 1 x /bl selama 5 hr berturut-turut - 2 mgg sekali bila ada kasus/transmisi pes sampai 2 periode berikutnya berturutturut negatif

Trapping - 4 x /th selama 5 hr berturut-turut - 2 mgg sekali bila ada kasus/transmisi pes sampai 2 periode berikutnya berturutturut negatif

Trapping - 1 atau 2 tahun sekali dgn spot survei - indikasi adanya rat fall

Pemeriksaan bakteriologis rat fall Positif Y. pestis

Pengambilan serum rodent positif Peningkatan surveilans rodent (ekstra trapping)

Pengumpulan pinjal

Pooling pinjal Yersinia pestis

- F1 umum > 2 - F1 khusus > 1 - Ditemukan Y. pestis Daerah fokus pes

Dusting

Duspring/Dusting

Monitoring kerentanan pinjal thd insektisida 1 th / 1x

Catatan : Bila F1 > 2 tetapi masih belum melebihi pola max daerah tersebut, maka tidak perlu dusting Bila F1 > 2 dan melebihi pola max. perlu dusting

b) Alur Kegiatan Surveilans pada Manusia


Pengamatan gejala awal tersangka pes

Daerah fokus - pengamatan aktif - pengamatan pasif

Daerah terancam - pengamatan pasif (Puslu/PKM)

Daerah bekas fokus pes - pengamatan pasif (Puslu/PKM)

Tanda 2 khusus - Panas tanpa sebab yang jelas (fever unknown origin) - Batuk darah akut - Bubo Tersangka Pes

Pengobatan - Tersangka pes

Pengambilan spesimen 1. Darah 2. Cairan bubo 3. Sputum

Penyelidikan epid. pencarian tersangka lain - Radius 200 m - Waktu 2 x masa inkubasi (2mgg)

Pemeriksaan lab

Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan bakteriologi

Hasil tes negatif

Hasil tes positif - Titer < 1/128 --> terapi propilaxis - Titer > 1/128 --> terapi penderita pes - Serokonversi --> naik 4 kali lipat (terapi penderita pes)

Hasil test negatif

Hasil test positif

Konfirmasi pes - Terapi penderita pes

1. Profilaksis treatment - Pes bubo --> kontak penderita / serumah - Pes paru --> semua penduduk dusun isolasi penduduk 2. Penyuluhan massal 3. Perbaikan lingkungan

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

21

c) Alur Pemeriksaan Laboratorium Spesimen Manusia dan Tikus


SPESIMEN

Manusia

Hewan

Mati

Hidup

Tikus

Kucing Anjing Kelinci

Sumsum tulang

Biopsi / Autopsi : hati, limpa

CSF

Darah

Bubo Sputum CSF

Mati

Hidup

- Smear FA/ - Wayson - Biakan - Hewan percob/ uji biologis

- Uji biologis - Smear - Biakan - Ha/HI - Elisa

Limpa Hati Paru Jantung

Pinjal

Darah

Mikroskopis

Biakan

Serologi

Mis. zoo

d) Alur Pemeriksaan Spesimen Lapangan (Tikus)

Spesimen Lapangan Tikus

Tikus Hidup

Tikus Mati

Darah

Pinjal

Sediaan hapus Pewarnaan Gram/Wayson

Serum darah Test PHA / HI

Pooling & Identifikasi Inokulasi pd 4 mencit Jika mati (hati, limpa & paru)

1. Di lapangan 2. Di perangkap (jaringan/sumsum dr tulang paha)

FA

Inokulasi pada 2 mencit

Jika mati Kultur Blood agar & McConkey Koloni tersangka FA Kultur Blood agar & McConkey FA

Pewarnaan Gram/Wayson

Phage Test

Uji Kimia

BHI Koloni tersangka

Pewarnaan Gram

Phage Test

Uji Kimia

22

BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

INVESTIGASI VEKTOR DBD


Di Bumi Perkemahan Pramuka, Cibubur, Jakarta Timur Tgl. 12 13 Oktober 2008

Lubang kayu dan kloset menjadi tempat potensial perindukan vector DBD

I.

Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk penular (vektor), yaitu nyamuk Aedes. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang sampai saat ini belum ditemukan obat atau vaksinnya. Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur pada tanggal, 18 26 Oktober 2008 akan digunakan pertemuan Penggalang tingkat ASEAN, untuk menunjang kegiatan tersebut dan mengantisipasi faktor resiko penyakit DBD, perlu dilakukan investigasi vektor DBD pada berbagai jenis Tempat Penampungan Air (TPA) dilingkungan yang berpotensi memjadi sumber untuk berkembang biak vektor. II. Tujuan kegiatan 1. Untuk mengetahui jenis Tempat Penampungan Air (TPA) yang potensial 2. Untuk mengetahui jenis species vektor di lokasi 3. Melakukan Pengendalian jentik dan nyamuk vektor pada jenis TPA, pada lingkungan potensial vektor DBD di seluruh sektor Kempi terkait

jenis yaitu : 1. Kempi I terdapat pada jenis TPA - Bak mandi = 1 positif jentik - Lubang kloset = 36 positif jentik - Lubang Kayu = 0 positif jentik 2. Kempi II terdapat pada jenis TPA - Bak mandi = 7 positif jentik - Lubang kloset = 85 positif jentik - Ember = 4 positif jentik - Lubang kayu = 1 positif jentik 3. Kempi III terdapat pada jenis TPA - Bak mandi = 3 positif jentik - Lubang kloset = 49 positif jentik - Ember = 0 positif jentik - Lubang kayu = 1 positif jentik 4. Kempi IV terdapat pada jenis TPA - Bak mandi = 3 positif jentik - Lubang kloset = 68 positif jentik - Ember = 1 positif jentik - Lubang kayu = 1 positif jentik V. Kesimpulan a. Jentik yang umumnya ditemukan pada lubang kloset dan TPA lainnya dari sektor I IV setelah dilakukan identikasi ternyata species tersebut adalah Ae. aegypty dan Ae. albopictus sebagai vektor DBD. b. Dari hasil survei yang telah dilaksanakan Lubang kloset sangat potensial menjadi sumber tempat perindukan vektor DBD.

III. Metoda 1. Survei larva d i l a k u k a n Lubang kayu potensial untuk berkembangpada masing- biak vektor DBD masing Kempi (Area Kemah Pramuka) dengan cara Single Larva Metod, larva yang terdapat pada jenis TPA yang sama diambil (sample) beberapa ekor untuk pemeriksaan dengan cara Miskroskopis dilaboratorium Subdit Pengendalian Vektor, Ditjen PP & PL, Depkes agar diketahui jenis species vektor DBD. 2. Abatisasi dilakukan pada 4 (empat) lokasi lingkungan Kempi (sektor) yang akan digunakan yaitu masing-masing dilakukan penaburan Anti larva (Jentika) agar larva yang hidup di penampungan air seperti ; Tonggak Kayu, Bak Mandi, Ember, kloset dan lainnya tidak dapat berkembang-biak dan mati. IV. Hasil yang diperoleh Setelah dilakukan pemeriksaan pada sektor kempi jentik Aedes ditemukan pada masing-masing

VI. Saran a. Pada TPA yang ditemukan jentik perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala agar pada acara tertentu tidak bermasalah dengan faktor resiko penyakit. b. Saat MCK tidak digunakan dalam jangka lama perlu dilakukan abatisasi (penaburan anti larva) agar jentik vektor tidak dapat berkembang-biak. c. Perlu diwaspadai bahwa pada saat musim hujan, lubang-lubang kayu juga dapat berpotensi sebagai tempat perindukan vektor DBD dan agar lubang tersebut ditimbun atau diberi larvasida (anti larva).
Oleh : Sarjono Tenaga Fungsional Entomolog Kesehatan Editor Ka Subdit Pengendalian Vektor
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA EDISI KEEMPAT 2009

23

Selamat
kepada

DR. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, .Dr. PH


DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua dan

IND ONESIA SEHA T 2010

Terima Kasih
kepada

DR. dr. Siti Fadilah Supari Sp.JP(K)


Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu atas bimbingannya selama ini

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal PP & PL 2009

PEMBERITAHUAN
Untuk pengiriman Data Kasus Penyakit Zoonosis dan Laporan KLB dapat dikirimkan melalui : 1. Pos : Subdit Zoonosis, Dirjen PP & PL Jl. Percetakan Negara No. 29 Gd. C Lt. 4 Jakarta Pusat 10560 2. Fax : 021-4266270 3. Email : subditzoonosis@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai