Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
Ambar Rukmini
Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
ABSTRACT
Fermented foods are important components of diets in many parts of the world, among them is
Indonesia. In many cases such products make an important contribution to the diet of the people as a
source of protein, calorie and vitamins. In Indonesia, the traditional fermented foods are regularly
consumed by millions of people since times unknown; thus the traditional fermented foods contribute
significantly to the nutrition of Indonesian people.
Various traditional fermented foods have been developed in Indonesia included Yogyakarta.
However, the information about composition of Yogyakarta’s traditional fermented foods were rarely
found. Therefore, so difficult to calculate the nutrition requisites from that foods for somebody. This
paper provide some Yogyakarta’s traditional fermented foods composition are sold in Pasar Ngasem,
consist of calorie, protein, carbohydrate, fat and ash.
PENDAHULUAN
Disamping sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya. Tidak
hanya kebudayaan secara fisik saja yang berkembang di Yogyakarta, tetapi juga dalam hal
makanan. Hingga kini, makanan khas Yogyakarta yang cara pembuatannya secara turun
temurun diwariskan oleh nenek moyang, sehingga disebut sebagai makanan tradisional
Yogyakarta, masih disukai orang dari berbagai pelosok wilayah, baik dalam maupun luar
negeri. Namun sayang, informasi tentang komposisi gizi makanan tradisional tersebut belum
banyak diketahui hingga sekarang, bahkan pustaka mengenai hal tersebut sulit diperoleh. Hal
tersebut terjadi karena penelitian dan publikasi mengenai makanan tradisional belum banyak
dilakukan. Oleh karena itu, penulis telah melakukan penelitian pendahuluan mengenai hal
tersebut, khususnya makanan fermentasi tradisional Yogyakarta yang dijual di Pasar Ngasem.
Lokasi tersebut dipilih karena letaknya dekat dengan Kraton. Diketahui, bahwa tradisi Kraton
Yogyakarta sampai saat ini masih terasa kuat, termasuk dalam hal makanannya. Oleh karena
itu, diduga bahwa di Pasar Ngasem dapat diperoleh makanan tradisional yang jenisnya lebih
lengkap dibanding dengan tempat lainnya. Dengan dilakukannya penelitian tentang komposisi
gizi makanan fermentasi tradisional ini, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
akan informasi mengenai hal tersebut.
Makanan fermentasi tradisional telah lama dikonsumsi oleh penduduk Indonesia.
Banyak sekali jenis makanan fermentasi tradisional asli Indonesia (Winarno, 1981). Sampai
saat ini, produk tersebut masih disukai, sehingga tetap eksis di pasaran. Menurut Hong
(1981), beberapa hal yang menyebabkan masih bertahannya pengolahan makanan melalui
cara fermentasi tradisional adalah :
1. Dapat mengawetkan bahan-bahan nabati maupun hewani yang bersifat mudah rusak.
2. Dapat memperkecil volume bahan.
3. Dapat menghilangkan faktor-faktor yang tidak dikehendaki pada bahan mentahnya.
1
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-01
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
BAHAN PENELITIAN
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai jenis makanan
fermentasi tradisional yang dijual di Pasar Ngasem Yogyakarta. Bahan lain yang digunakan
yaitu reagensia untuk analisa protein dan lemak.
METODA PENELITIAN
Mula-mula dilakukan survei untuk memperoleh data jenis-jenis makanan fermentasi
tradisional yang dijual di Pasar Ngasem Yogyakarta serta jumlah penjualnya. Setelah data
tersebut terkumpul, kemudian ditentukan sampel yang akan diambil. Penentuan sampel
2
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-01
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
dilakukan secara acak sempurna. Setelah disampling, maka sampel dianalisis secara kimia
untuk mengetahui komposisi gizinya, meliputi penentuan :
a. Kadar air, dengan metoda oven (AOAC, 1990).
b. Kadar protein, dengan metoda semi-mikro Kjeldahl (AOAC, 1990).
c. Kadar lemak, dengan metoda Soxhlet (AOAC, 1990).
d. Kadar abu, dengan metoda gravimetri (AOAC, 1990).
e. Kadar karbohidrat (by different).
Hasil analisis kimia tersebut digunakan untuk menghitung nilai kalori tiap jenis makanan
fermentasi tradisional yang teridentifikasi.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, jenis makanan fermentasi tradisional
yang dijual di Pasar Ngasem Yogyakarta serta komposisi gizinya disajikan pada tabel berikut:
Tabel : Komposisi gizi makanan fermentasi tradisional Pasar Ngasem Yogyakarta
3
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-01
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
dan growol pada dasarnya hampir sama, yaitu terjadi secara spontan oleh mikroorganisme
yang terdapat dalam air rendaman singkong. Pada proses fermentasi tersebut, terjadi hidrolisis
pati, selulosa dan pektin menjadi asam-asam organik, sehingga gatot dan growol mempunyai
rasa dasar masam. Sedangkan pada tape, proses fermentasi yang terjadi mengakibatkan
hidrolisis pati menjadi alkohol. Pada pembuatan gatot dan growol, mikroorganisme yang
dominan adalah bakteri-bakteri Lactobacillus, Leuconostoc, Streptococcus, Pediococcus dan
Micrococcus, sedangkan pada pembuatan tape adalah jamur Saccharomyces cereviseae.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa kecuali karbohidrat dan kalorinya, komposisi gizi
gatot, growol dan tape singkong hampir sama.
Tape ketan merupakan produk makanan fermentasi tradisional berbahan baku beras
ketan. Proses pembuatannya sama dengan pembuatan tape singkong. Perbedaan nilai kalori
dan protein pada kedua produk tersebut terjadi karena perbedaan komposisi bahan bakunya.
Beras ketan memang mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding dengan
singkong.
Tempe merupakan makanan hasil fermentasi tradisional berbahan baku kedelai
dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur
kompak dan flavor spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur
yang menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut. Terjadinya degradasi komponen-
komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik setelah fermentasi
(Kasmidjo, 1989/1990).
Tempe telah dikembangkan sejak sebelum abad ke-16 oleh orang Jawa, terutama dari
daerah Kerajaan Mataram. Pada jaman tersebut, tempe dibuat dari kedelai hitam (Astuti,
1995). Dalam perkembangannya, bahan baku untuk pembuatan tempe mengalami perubahan
setelah Cina memperkenalkan perdagangan kedelai kuning untuk pembuatan tempe maupun
tahu. Tempe juga dapat dibuat dari berbagai polong-polongan seperti lamtoro, kecipir, koro
dan sebagainya. Teknologi pengolahan tempe telah berkembang ke berbagai belahan dunia
karena dari beberapa kajian yang dilakukan terbukti bahwa tempe merupakan makanan
bergizi, mudah dicerna dan diserap tubuh, mengandung zat-zat yang bersifat antiinfeksi,
antioksidan dan hipolipidemik serta sangat bermanfaat bagi kesehatan (Karyadi dan Hermana,
1995). Tempe dapat diolah lebih lanjut menjadi makanan untuk penggunaan khusus, misalnya
sebagai makanan bayi, untuk menanggulangi masalah kurang kalori protein (KKP) dan untuk
menurunkan kadar kolesterol darah.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan, jenis tempe yang dijual di Pasar Ngasem
Yogyakarta adalah tempe benguk, gembus dan kedelai. Tempe benguk merupakan makanan
hasil fermentasi tradisional dengan bahan baku berupa biji koro benguk. Tempe benguk
memang tidak sepopuler tempe kedelai. Namun demikian, tempe benguk cukup diminati
konsumen karena kekhasan rasanya serta kekenyalan teksturnya. Menurut Anonim (1979)
dalam Haryoto (2000), biji koro benguk mengandung protein 24,0% ; lemak 3,0% dan
karbohidrat 55,0%. Setelah menjadi tempe (tempe mentah, belum diolah lebih lanjut)
mempunyai komposisi protein 10,2% ; lemak 1,3% dan karbohidrat 23,2%. Dibandingkan
data tersebut, penelitian ini menunjukkan bahwa pengolahan tempe benguk menjadi makanan
siap konsumsi (baik dalam bentuk tempe benguk bacem maupun besengek) dapat
meningkatkan kandungan gizinya. Proses pembuatan besengek menyebabkan kandungan
4
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-01
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
lemaknya menjadi lebih tinggi karena pada pengolahan tersebut dilakukan penambahan
santan kelapa yang merupakan sumber lemak. Sedangkan jika dibacem, protein dan
karbohidratnya lebih tinggi karena adanya penambahan gula merah.
Tempe gembus merupakan tempe yang dibuat dari ampas tahu. Istilah gembus
menggambarkan keadaan fisik/teksturnya. Seperti diketahui, tahu dibuat dari sari kedelai
yang telah digiling secara basah, kemudian disaring dan diperas. Ampas sisa proses
penyaringan dan pemerasan tersebutlah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
tempe gembus. Bahan tersebut masih kaya akan minyak, sehingga mempunyai rasa gurih.
Akan tetapi, dari sudut nilai gizinya, tempe gembus hampir tidak menyumbang nutrien yang
penting (Kasmidjo, 1989/1990). Pengolahan dengan cara dibacem maupun digoreng tepung
ternyata dapat meningkatkan nilai gizinya.
Tempe kedelai merupakan jenis tempe yang paling populer dan banyak diproduksi.
Proses fermentasi yang dilakukan terhadap biji kedelai dalam pembuatan tempe, tidak hanya
mampu meningkatkan nilai gizinya saja, tetapi nilai biologis dan PER (Protein Efficiency
Ratio) tempe juga lebih tinggi dibanding kedelai tanpa fermentasi (Kasmidjo, 1989/1990).
Oleh sebab itu, tempe kedelai sering digunakan dalam terapi penanggulangan KKP. Tempe
kedelai mentah mempunyai komposisi : kadar air 64% ; protein 18,3% ; lemak 4% ;
karbohidrat 12,7% dan abu 1%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengolahan tempe
kedelai menjadi berbagai produk siap konsumsi seperti tempe bacem, goreng garit, goreng
tepung maupun kripik, dapat meningkatkan nilai gizinya. Tertinggi jika dibuat kripik,
kemudian digoreng garit atau menggunakan tepung, dan terendah jika dibacem. Proses
pengolahan dengan menggunakan minyak goreng mampu meningkatkan kadar lemak dan
nilai kalorinya dalam jumlah sangat tinggi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.
AOAC, Washington, D.C.
Astuti, M. 1995. Sejarah Perkembangan Tempe. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional :
Pengembangan Tempe dalam Industri Pangan Modern. Yogyakarta, 15-16 April 1995.
Haryoto. 2000. Tempe Benguk. Kanisius, Yogyakarta.
Hong, L.G. 1981. Nutritional Aspects of Fermented Foods in Indonesia, An Overview. Proceedings
of a Technical Seminar : Traditional Food Fermentation as Industrial Resources in
ASCA Countries. Medan, 9-11 February 1981.
5
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-01
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
Karyadi, D. dan Hermana. 1995. Potensi Tempe untuk Gizi dan Kesehatan. Makalah disampaikan
pada Simposium Nasional : Pengembangan Tempe dalam Industri Pangan Modern,
Yogyakarta, 15-16 April 1995.
Kasmidjo, R.B. 1989/1990. Tempe : Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya.
PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1981. The Nutritional Potential of Fermented Foods in Indonesia. Proceedings of a
Technical Seminar : Traditional Food Fermentation as Industrial Resources in ASCA
Countries. Medan, 9-11 February 1981.