Anda di halaman 1dari 61

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang

disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut.Virus hepatitis merupakan penyebab

terbanyak dari infeksi tersebut.Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju(Juffrie, 2010). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini

identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 5 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, dan E(Juffrie, 2010). Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania dan Amerika Selatan.WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95% Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis.Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C sembuh setelah fase akut. Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen pada sel hati dari penderita yang terinfeksi

HBV. Dahulu HDV dianggap sebagai bagian dari HBV, namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi protein penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari HBV (HBsAg) dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik (ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama dengan kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan air minum kota yang tercemar tinja.Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum diketahui penyebabnya. 1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah: A. B. Untuk mengetahui macam-macam hepatitis virus. Untuk mengetahui bagaimana etiologi, cara penularan,

patofisiologis, manifestasi klinis, penegakkan diagnosa, komplikasi dan penatalaksanaan dari hepatitis virus. 1.2.2 Manfaat A. Manfaat praktis: Untuk penulis, menambah wawasan tentang penyakit hepatitis virus. B. Manfaat teoritis: Membantu pembaca agar lebih mengetahui tentang hepatitis virus (etiologi, cara penularan, patofisiologis, manifestasi klinis, penegakkan diagnosa, komplikasi dan penatalaksanaan). Sebagai referensi bagi pembaca tentang hepatitis virus (etiologi, cara penularan, patofisiologis, manifestasi klinis, penegakkan diagnosa, komplikasi dan penatalaksanaan).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Sistem Hepatobilier 2.1.1 Anatomi Hepar Hepar bertekstur lunak, lentur dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat dibawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleur, pulmo, pericardium dan cor. Facies visceralis atau posteroinferior membentuk cetakan visera yang letaknya berdekatan sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus, gaster, duodenum, flexura coli dextra serta vesica biliaris. (Snell,2006) Hepar adalah organ tubuh terbesar, terdiri dari dua lobus utama (kanan dan kiri) dan dua apendiks lobus kanan yang lebih kecil (kuadratus dan kaudalis).Hepar memiliki pasokan darah ganda yang unik; vena porta menyalurkan darah vena dari usus dan limpa, dan arteri hepatika mengalirkan darah arteri.Pembuluh darah masuk melalui porta hepatis di permukaan inferior lobus kanan. Darah vena dialirkan keluar oleh vena hepatika kiri dan kanan, yang bergabung dengan vena kava inferior di bawah atrium kanan (Latief, 2002) Duktus hepatikus kiri dan kanan menyatu di luar porta hepatis untuk membentuk duktus hepatikus komunis.Kandung empedu berada di suatu alur di bawah lobus kanan dan dihubung-kan ke duktus hepatikus komunis oleh duktus sistikus. Duktus biliaris komunis dibentuk oleh penyatuan duktus hepatikus komunis dan duktus sistikus (Latief, 2002) Porta hepatis atau hilus hepatis terdapat pada facies visceralis dan terletak diantara lobus caudatus dan lobus quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat ini terdapat ductus hepaticus dextra dan sinistra, ramus dextra dan sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica serta serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa

tetapi hanya sebagian ditutupi oleh peritoneum. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis pada masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Didalam ruangan diantara lobulus-lobulus terdapat canalis hepatica yang berisi cabang-cabang arteri hepatica, vena porta hepatica dan sebuah cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis. (Snell,2006)

Gambar 1 Anatomi Hepar (Snell, 2006) 2.1.2 Histologi Hepar Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hepatikus (hati). Di bagian tengah setiap lobulus terdapat senuah vena sentralis, yang dikelilingi secara radial oleh lempeng sel hati (lamina hepatocytica), yaitu hepatosit, dan sinusoid ke arah perifer. Disini, jaringan ikat membenuk canalis porta atau daerah porta (spatium portale), tempat terdapatnya cabang-cabang arteri hepatica, vena porta hepatis, duktus biliaris dan

pembuluh limfe. Pada manusia, dapat ditemukan 3-6 daerah porta setiap lobulus. (Eroschenko,2007) Darah arteri dan darah vena dari daerah porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hati saat mengalir ke arah vena sentralis. Dari sini, darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena hepatica yang keluar dari hati dan masuk ke vena cava inferior. (Eroschenko,2007) Sinusoid hati adalah saluran darah yang melebar dan berliku-liku dilapisi oleh lapisan tidak utuh sel endotel berfenestra yang juga menunjukan lamina basalis yang berfori dan tidak utuh. Sinusoid hati dipisahkan dari hepatosit dibawahnya oleh spatium perisinusoideum subendotelial. (Eroschenko,2007) Akibatnya, zat makanan yang mengalir di dalam sinusoid memiliki akses langsung melalui dinding endotel yang tidak utuh dengan hepatosit. Struktur dan jalur sinusoid yang berliku di hati memungkinkan pertukaran zat yang efisien antara hepatosit dan darah. Selain sel endotel, sinusoid hati mengandung makrofag yang disebut sel kupfer, terletak di sisi luminal sel endotel. (Eroschenko,2007) Lobulus adalah unit struktual tradisional untuk parenkim hepar. Setiap lobulus mengelilingi sebuah cabang terminal vena hepatika (vena sentralis) dan dibatasi oleh traktus portal yang mengangkut trias duktus biliaris interlobularis serta cabang vena porta dan arteri hepatika.Hepatosit yang tersusun linear me-mancar dari vena sentralis ke arah perifer lobulus, berkontak erat dengan ruang sinusoid yang mengangkut darah dari venula porta dan arteriol hepar ke arah vena sentralis (Alpers, 2006). Unit fungsional hepar adalah asinus Rappaport, yang ber-pusat di trias porta dan diperfusi oleh pembuluh aferen yang meluas dari trias melintasi zona dengan kandungan oksigen dan nutrien yang semakin menurun menuju ke perifer mikrosirkulasi di sekitar vena terminalis sentralis. Zona sentral (peri-porta) asinus (zona 1 dan 2) sangat aktif dalam proses oksidatif penghasil energi, sedangkan daerah perivenula di perifer (zona 3) lebih bergantung pada glikolisis dan paling rentan terhadap cedera iskemik atau toksik (Alpers, 2006).

Parenkim hepar mengandung beberapa jenis sel. Hepatosit membentuk mayoritasnya (sekitar 60%).Sinusoid dilapisi oleh sel endotel gepeng dengan tonjolan protoplasmik halus yang banyak (Alpers, 2006).

Gambar 2. Histologi Hepar (Eroschenko,2007)

Hepatosit mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus disebut kanalikulus biliaris yang terletak di antara hepatosit. Kanalikulus menyatu ditepi lobulus hati di daerah porta sebagai duktus biliaris. Duktus biliaris kemudian mengalir ke dalam duktus hepatikus yang lebih besar yang membawa empedu keluar dari hati. Di dalam lobulus hati, empedu mengalir di dalam kanalikulus biliaris ke duktus biliaris ke daerah porta, sementara darah dalam sinusoid mengalir ke dalam vena sentralis. Akibatnya, empedu dan darah tidak bercampur. (Eroschenko,2007)

2.1.3

Anatomi Vesica biliaris Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan bawah (facies visceralis) hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi air. Vesica biliaris dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus vesica bliliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar,

penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung cartilago costalis IX dextra. (Snell,2006) Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum vesica biliaris melanjutkan diri sebagai ductus cysticus yang berbelok ke dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis untuk membentuk ductus choledochus. (Snell,2006)

Gambar 3. Anatomi Kantung Empedu (Snell, 2006)

2.1.4

Histologi Vesica Biliaris Kantung empedu adalah organ kecil berongga yang melekat pada permukaan bawah hati. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir ke dan disimpan didalam kantung empedu. Empedu keluar dari kantung empedu melalui duktus sistikus dan masuk ke duodenum melalui duktus biliaris comunis menembus papila doudeni major, sutu tonjolan mirip jari di dinding duodenum ke dalam lumen. Kantung empedu bukan

merupakan kelenjar karena fungsi utamanya adalah menampung dan memekatkan empedu dengan menyerap kandungan airnya. Empedu dicurahkan ke dalam saluran pencernaan akibat rangsangan hormon setelah makan. Bila kantung empedu kosong, mukosanya membentuk banyak lipatan yang dalam. (Eroschenko, 2007)

Gambar 4. Kantung Empedu (Eroschenko, 2007)

2.2 Fisiologi Sistem Hepatobilier 2.2.1 Pengaturan Sekresi Empedu Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hati : (1) Bagian awal disekresikan oleh sel-sel fungsional utama hati, yaitu sel hepatosit. Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat-zat organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli biliaris kecil yang terletak di antara sel-sel hati. (2) Kemudian, empedu mengalir didalam kanalikuli menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli mengeluarkan empedu ke dalam duktus biliaris terminal dan kemudian secara progresif ke dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikeluarkan ke dalam duodenum atau dialihkan dalam hitungan menit

sampai beberapa jam melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu.Dalam perjalanannya melalui duktus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi hati ditambahkan ke dalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini berupa larutan-larutan ion-ion natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel epitel sekretoris yang mengelilingi duktulus dan duktus. Sekresi kedua ini kadang meningkatkan jumlah empedu total sampai 100 persen. Sekresi kedua ini dirangsang terutama oleh sekretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah ion bikarbonat tambahan sehingga menambah jumlah ion bikarbonat dalam sekresi pankreas (untuk menetralkan asam yang dikeluarkan dari lambung ke duodenum).Kebanyakan absorpsi kandung empedu ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terdifusi lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sampai maksimal 20 kali lipat. Tabel I. Komposisi Empedu Empedu Hati Empedu pada Kandung Empedu Air Garam Empedu Bilirubin Kolesterol Asam lemak Lesitin 2+ + 0,04 g/dl 0,1 g/dl 0,12 g/dl 0,04 g/dl 145,04 mEq/L 5 mEq/L 0,3 g/dl 0,3 sampai 0,9 g/dl 0,3 sampai 1,2 g/dl 0,3 g/dl 130 mEq/L 12 mEq/L 97,5 g/dl 1,1 g/dl 92 g/dl 6 g/dl

10

2+ 3

5 mEq/L 100 mEq/L 28 mEq/L

23 MeQ/l 25 mEq/L 10 mEq/L

Dalam proses pemekatan di kandung empedu, air dan elektrolit dalam jumlah besar ( kecuali ion kalsium ) direabsorbsi oleh mukosa kandung empedu. Pada dasarnya semua zat lain, terutama garam empedu dan zat-zat lemak kolesterol dan lesitin tidak direabsorbsi. Karena itu, menjadi sangat pekat dalam empedu di kandung empedu.Ketika makanan mulai dicerna di dalam traktus gastrointestinal bagian atas, kandung empedu mulai dikosongkan, terutama sewaktu makanan berlemak mencapai dudenum sekitar 30 menit setelah makan. Mekanisme pengoasongan kandung empedu adalah kontraksi ritmis dinding kandung empedu, tetapi pengosongan yang efektif juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi, yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis ke dalam duodenum. Sejauh ini rangsangan yang paling paten menyebabkan kontraksi kandung empedu adalah hormon kolesistokinin. Hormon ini adalah hormon yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim pencernaan oleh sel-sel asinar pankreas. Rangsangan untuk memasaukkan kolesistokinin ke dalam darah dari mukosa duodenum terutama adalah kehadiran makanan berlemak dalam duodenum.(Sherwood,2011) Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang secara kurang kuat oleh serabut-serabut saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik usus. Keduanya adalah saraf yang sama yang meningkatkan motilitas dan sekresi dalam bagian lain traktus gastrointestinal bagian atas.Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respons terhadap perangsangan kolesistokonin yang terutama dicetuskan oleh makanan berlemak. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat lemak dalam

11

jumlah banyak yang berarti dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam. (Guyton,2007) Sekresi empedu dapat ditingkatkan oleh mekanisme kimiawi, hormon dan saraf : 1. Mekanisme kimiawi (garam empedu) Setiap bahan yang meningkatkan sekesi empedu oleh hati disebut koleretik. Koleretik paling kuat adalah garam empedu itu sendiri. Di antara waktu makan, empedu disimpan di kandung empedu, tetai sewaktu makan empedu disalurkan ke dalam duodenumoleh kontraksi kendung empedu. Setelah ikut serta dalam pencernaan dan penyerapan lemak, garam empedu direabsorpsi dan dikembalikan oleh sirkulasi enterohepatik ke hati, tempat zat-zat ini bekerja sebagai koleretik poten untuk merangsang sekresi empedu lebih lanjut. 2. Mekanisme hormon (sekretin) Selain meningkatkan skresi NaHCO3 cair oleh pankreas, sekretin juga merangsang peningkatan sekresi empedu alkalis cair oleh duktus biliaris tanpa disertai oleh peningkatan setara garam-garam empedu. 3. Mekanisme saraf (saraf vagus) Stimulasi vagus pada hati berperan kecil dalam sekresi empedu fase sefalik pencernaan, yang mendorong peningkatan aliran empedu hati bahkan sebelum makanan mencapai lambung atau usus. (Sherwood,2011)

2.2.2

Metabolisme Bilirubin Normal Bilirubin adalah suatu pigmen empedu kuning yang merupakan produk pemecahan heme yang terutama terbentuk dari degradasi hemoglobin eritrosit di dalam sel retikuloendotelial, namun juga terbentuk dari pemecahan pigmen heme lainnya, seperti sitrokom. Dalam kondisi faali orang dewasa sehat, setiap jam, 1-2 x 108 eritrosit dihancurkan. Oleh karena itu, dalam 1 hari, seorang dengan berat badan 70kg mempertukarkan sekitar 6gr hemoglobinnya. Jika hemoglobin

12

dihancurkan,

globin

akan

diuraikan

menjadi

asam-asam

amino

pembentuknya yang kemudian dapat digunakan kembali, dan besi heme memasuki kompartemen besi. Bagian porfirin yang bebas-besi juga diuraikan, terutama di sel retikuloendotel hati, limfe, dan sumsum tulang belakang. Pada saat heme yang berasal dari protein heme mencapai sistem oksigenase, besi tersebut biasanya telah dioksidasi menjadi bentuk feri, yang membentuk hemin. Sistem heme oksigenase adalah sistem yang dapat diinduksi oleh substrat. (Guyton, 2007) Bilirubin merupakan suatu alat yang sangat bernilai dalam mendiagnosis penyakit darah hemolitik dan berbagai tipe penyakit hati. Apabila sel darah merah sudah habis masa hidupnya(rata-rata 120 hari) dan menjadi terlalu rapuh untuk bertahan dala sistem sirkualsi, membran selnya pecah dan hemoglobin yang lepas difagositosis oleh jaringan makrofag di seluruh tubuh. Hemoglobin pertama kali dipecah menjadi globin dan heme, dan cincin heme dibuka untuk memberikan besi bebas yang ditranspor ke dalam darah oleh transferin, dan rantai lurus dari empat inti pirol yaitu substrat yang nantinya akan dibentuk jadi pigmen empedu. Pigmen pertama yang dibentuk adalah biliverdin, tetapi pigmen ini dengan cepat direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara bertahap dilepaskan dari makrofag ke dalam plasma. Bilirubin bebas dengan segera bergabung sangat kuat dengan albumin plasma dan ditranspor dalam kombinasi ini melalui darah dan cairan interstisial. Sekalipun berikatan dengan protein plasma, bilirubin ini masih di sebut bilirubin bebas.

13

Gambar 5. Metabolisme Bilirubin (Guyton, 2007) Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase: prehepatik, intrahepatik,dan pascahepatik masih relevan, walaupun di perlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase yaitu: 1. Pembentukan bilirubin 2. Transpor plasma 3. Liver uptake 4. Konjugasi 5. Ekskresibilier

14

FasePrahepatik 1. Pembentukan bilirubin, sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasa ldari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein hem lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem di pecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim heme oksigenase. Enzimlain, biliverdinreduktase, mengubah

biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikulo endotelial (mononuklirfagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. 2. Transpor plasma, bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tidak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba padat empat ikatan dengan albumin. FaseIntrahepatik 1. Liver uptake, proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. 2. Konjuagasi, bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukuronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil-transferse menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asamglukuronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap

15

fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk namun kegunaanya tidak jelas. FasePascahepatik Ekskresi bilirubin, bilirubin konjugasi dikeluarkan kedalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk kedalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut pada empedu cair. Ikterus terjadi jika keseimbangan antara produksi dan

pengeluaran bilirubin terganggu oleh satu atau lebih mekanisme berikut ini : 1. 2. 3. 4. 5. Produksi bilirubin yang berlebihan Penurunan penyerapan oleh hati Gangguan konjugasi Penurunan ekskresi hepatoseluler Gangguan aliran empedu (Guyton, 2007)

2.3 Korelasi Klinis dengan Infeksi Hepatitis Virus 2.3.1 Mekanisme patofisiologi Ikterus Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi : 1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan. 2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati. 3. Gangguan konjugasi bilirubin. 4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama,sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.

16

2.3.2

Pembentukan Bilirubin secara berlebihan Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus

hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal ( sterositosis herediter ), anti body dalam serum ( Rh atau autoimun ), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran ( limpa dan peningkatan hemolisis ). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang ( talasemia, anemia persuisiosa, porviria ). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus. 2.3.3 Gangguan Pengambilan Bilirubin Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada protein penerima. Beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan beberapa zat warna

kolesistografik. (Marks,2000) 2.3.4 Gangguan Konjugasi Bilirubin Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.

17

Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau ( gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm ) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin ( foto isumerisasi ) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulFemobarbital ( Luminal ) yang meningkat aktivitas glukororil transferase sering kali pada penderita ini. 2.3.5 Penurunan Ekskresi Bilirubin Terkonjugasi Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktorfaktor Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan dapat menghilang ikterus

hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.

18

2.4 Jenis-jenis hepatitis virus Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini

identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih b aik. Terdapat sedikitnya 5 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, dan E(Juffrie, 2010).

2.4.1

Hepatitis A

2.4.1.1 Etiologi HAV adalah virus yang mengandung RNA, berdiameter 27nm yang adalah anggota famili Picornavirus. Virus ini diisolasi pada mulanya dari tinja penderita yang terinfeksi. Strain HAV laboratorium telah

diperbanyak pada biakan jaringan. Infeksi akut didiagnosis dengan mendeteksi imunoglobulin (Ig)M, antibodi (IgM) (anti-HAV) dengan radioimunoassay atau jarang, dengan mengidentifikasi partikel virus dalam tinja. (Nelson,2000) 2.4.1.2 Cara Penularan Hepatitis A hanya menyebabkan hepatitis akut. Penyakit ini jauh lebih mungkin bergejala pada orang dewasa; kebanyakan infeksi pada anak sebelum umur 5 tahun tidak bergejala atau mempunyai manifestasi nonspesifik, ringan. Penularan HIV hampir selalu dengan kontak dari orang ke orang. Penyebaran terutama dengan rute fekal-oral; penularan perkutan merupakan kejadian yang jarang dan penularan ibu-neonatus tidak dikenali sebagai wujud epidemiologis. Infeksi HAV selama kehamilan atau pada saat persalinan tidak tampak menimbulkan komplikasi kehamilan atau penyakit klinis pada neonatus. Infektivitas ludah, urin, dan semen manusia belum diketahui. (Nelson,2000) Di Amerika Serikat, kenaikan risiko infeksi ditemukan pada rumah tangga, pusat-pusat perawatan harian, kontak rumah tangga anak pada pusat-pusat perawatan harian, dan populasi homoseksual. Wabah dari sumber yang lazim dibawa makanan atau air telah terjadi, termasuk beberapa akibat dari kerang yang terkontaminasi. Ekskresi virus melalui

19

tinja terjadi pada akhir masa inkubasi, mencapai puncaknya tepat sebelum mulainya gejala, dan adalah minimal pada minggu sesudah mulai ikterus. Rata-rata masa inkubasi HAV sekitar 4 minggu.(Nelson,2000) 2.4.1.3 Patogenesis Respon akut hati terhadap HAV serupa dengan respon akut empat virus hepatitis yang lain. Seluruh hati terlibat nekrosis, paling mencolok pada daerah sentrilobuler, dan bertambah selularitas, yang adalah dominan pada daerah porta. Arsitektur lobularnya tetap utuh, walaupun terjadi degenerasi balon dan nekrosis sel parenkim pada mulanya. Perubahan lemak jarang. Reaksi radang sel mononuklear difus menyebabkan perluasan dalam saluran porta, sering ada proliferasi duktus tetapi cedera saluran empedu tidak sering ditemukan. Hiperplasia sel Kupfer difus ada dalam sinusoid bersama dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dan eosinofil. Neonatus berespon terhadap cedera hati dengan membentuk sel raksasa. Pada hepatitis fulminan terjadi destruksi total parenkim, hanya membiarkan jaringan pengikat sehat. Pada 3 bulan sesudah mulai hepatitis akut akibat HAV, hati biasanya secara morfologis normal.(Nelson,2000) Sistem organ lain dapat terkena selama infeksi HAV. Limfonodi regional dan limpa mungkin membesar. Sumsum tulang mungkin hipoplastik sedang, dan telah dilaporkan ada anemia aplastik. Jaringan usus halus mungkin menunjukkan perubahan pada struktur villi, dan ulserasi saluran cerna dapat terjadi terutama pada kasus yang mematikan. Pankreatitis dan miokarditis akut jarang dilaporkan, dan keterlibatan ginjal, sendi, dan kulit dapat akibat dari kompleks imun dalam

sirkulasi.(Nelson,2000) Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme. Jejas pertama pada hepatitis A diduga merupakan sitopatik. Tanpa

memandang mekanisme jejas awal terhadap hati, cedera dari lima hepatitis virus nyata dalam tiga cara. Pertama merupakan refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin aminotransferase (ALT, dahulu serum glutamat piruvat transaminase) dan aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum glutamat-oksaloasetat transaminase) ke dalam aliran darah.

20

ALT lebih spesifik pada hati daripada AST, yang juga dapat naik sesudah cedera pada eritrosit, otot skelet, atau sel miokardium. Tingginya kenaikan tidak berkorelasi dengan luasnya nekrosis hepatoseluler dan nilai prognostik kecil. (Nelson,2000) Pada beberapa kasus, penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan hasil yang jelek jika penurunan terjadi bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu protrombin yang memanjang (prothrombine time = PT). Kombinasi temuan ini menunjukkan bahwa cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim lain, laktat dehidrogenase bahkan kurang spesifik terhadap hati daripada AST dan biasanya tidak membantu dalam evaluasi cedera hati. Hepatitis virus juga disertai dengan ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk maupun indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase serum, 5'nukleotidase, -glutamil transpeptidase, dan urobilinogen semua dapat merefleksikan cedera terhadap sistem biliaris. (Nelson,2000) Kelainan sintesis protein oleh hepatosit digambarkan oleh kenaikan PT. Karena protein ini waktu paruhnya pendek, PT adalah indikator cedera pada hati yang sensitif. Albumin serum adalah protein serum lain yang dibuat hati, tetapi waktu paruhnya yang panjang membatasi relevansinya untuk pemantauan cedera hati akut. Kolestasis menyebabkan penurunan kumpulan asam empedu usus dan pengurangan penyerapan vitamin larut-lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan perubahan pada karbohidrat, ammonia dan metabolisme

obat.(Nelson,2000) 2.4.1.4 Manifestasi Klinis Mulainya infeksi HAV biasanya mendadak dan disertai oleh keluhan sistemik demam, malaise, mual, muntah, anoreksia dan perut tidak enak. Prodromal ini mungkin ringan dan sering tidak terlihat pada bayi dan anak pra-sekolah. Diare sering terjadi pada anak, tetapi konstipasi lebih lazim pada orang dewasa. Ikterus dapat juga begitu tidak kentara pada anak kecil (muda) sehingga ia dapat terdeteksi hanya dengan uji laboratorium. Bila

21

terjadi, ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi sesudah gejalagejala sistemik. Berbeda dengan infeksi HAV pada anak, kebanyakan infeksi HAV pada orang dewasa bergejala dan dapat berat. Gejala-gejala infeksi HAV meliputi nyeri kuadran kanan atas, urin berwarna gelap, dan ikterus. Lama gejala-gejala biasanya kurang dari 1 bulan, dan nafsu makan, toleransi berlebihan, dan perasaan sehat perlahan-lahan kembali. Hampir semua penderita dengan infeksi HAV akan sembuh sempuma, tetapi kumat dapat terjadi selama beberapa bulan. Hepatitis fulminan yang menyebabkan kematian jarang, dan infeksi kronis tidak

terjadi.(Nelson,2000) 2.4.1.5 Penegakkan Diagnosa Diagnosis infeksi HAV harus dipikirkan bila ada riwayat ikterus pada kontak keluarga, teman, teman sekolah, teman bermain perawatan harian, atau personel sekolah atau jika anak atau keluarga telah berwisata ke daerah endemik. Diagnosis dibuat dengan kriteria serologis, biopsi hati jarang dilakukan. Anti-HAV terdeteksi pada mulainya gejala-gejala hepatitis A akut dan menetap seumur hidup (Gambar 1). Infeksi akut didiagnosis dengan adanya IgM anti-HAV, yang dapat terdeteksi selama 3-12 bulan; sesudahnya IgG anti-HAV ditemukan. Virus terekskresi pada tinja dari 2 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah mulainya penyakit. Kenaikan hampir secara universal ditemukan pada ALT, AST, bilirubin, alkali fosfatase 5'-nukleotidase, dan -glutamil transpeptidase dan tidak membantu membedakan penyebab. PT harus selalu diukur pada anak dengan hepatitis untuk membantu menilai luasnya cedera hati;

pemanjangannya adalah tanda serius yang mengharuskan rawat inap di rumah sakit.(Nelson,2000)

22

Gambar 5. Pola respon terhadap infeksi virus hepatitis A (HAV) (IgM = imunoglobulin M; IgG = imunoglobulin G) 2.4.1.6 Diagnosis Banding Kemungkinan penyebab hepatitis agak bervariasi menurut umur. Ikterus fisiologis, penyakit hemolitik dan sepsis pada neonatus biasanya dibedakan dengan mudah dari hepatitis. Segera sesudah masa neonatus, infeksi tetap merupakan penyebab penting hiperbilirubinemia, tetapi penyebab metabolik dan anatomik (atresia biliaris dan kista koledokhus) juga harus dipikirkan. Pemasukan sayuran berpigmen pada diet bayi dapat menyebabkan karotenemia, yang dapat terancukan dengan

ikterus.(Nelson,2000) Pada masa bayi dan anak selanjutnya, sindrom hemolitik-uremik pada mulanya dapat terancukan dengan hepatitis. Sindrom Reye dan seperti-Reye datang dengan cara yang sama dengan hepatitis fulminan akut. Ikterus juga dapat terjadi pada malaria, leptospirosis, dan brusellosis dan pada infeksi berat pada anak yang lebih tua, teruiama pada mereka yang dengan gangguan maligna atau yang dengan imunodefisiensi. Batu empedu dapat menyumbat drainase-empedu dan menimbulkan ikterus pada remaja serta pada anak dengan proses hemolitik kronis. Hepatitis mungkin merupakan tanda awal penyakit Wilson, kistik fibrosis, defisiensi 1antitripsin, dan sakit muntah Jamaika. Hati mungkin dilibatkan pada penyakit vaskuler kolagen termasuk lupus eritematosus

sistemik.(Nelson,2000)

23

2.4.1.7 Penatalaksanaan Obat-obatan, termasuk overdosis asetaminofen, asam valproat, dan berbagai hepatotoksin, dapat disertai dengan gambaran seperti hepatitis. Obat-obatan ditoleransi baik pada anak sehat yang dapat menyebabkan disfungsi hati pada anak dengan penyakit tertentu.(Nelson,2000) 2.4.1.8 Pencegahan Perkembangan vaksin virus yang dimatikan dengan formalin, aman dan amat imunogenik baru-baru ini menandai kemajuan besar pada pencegahan hepatitis A. Vaksinasi anak muda (kecil) didaerah endemik tidak perlu karena penyakit hampir selalu tidak bergejala atau ringan dan memberikan imunitas seumur hidup. Di negara industri, vaksinasi anak risiko tinggi mungkin bermanfaat karena anak ini dapat menjadi pengidap penyakit dan dapat menginfeksi saudara-saudaranya yang lebih tua dan orangtuanya yang berisiko lebih tinggi untuk penyakit yang lebih berat. Vaksinasi akan bernilai khusus pada wisatawan tidak terpajan dari negara maju bila mereka berwisata ke daerah endemik hepatitis A.(Nelson,2000) Tindakan hati-hati enterik harus diamati pada penderita yang terinfeksi yang dirawat inap yang tidak bisa menahan tinja atau yang ada dalam diaper. Cuci tangan yang teliti diperlukan, terutama sesudah mengganti diaper dan sebelum mempersiapkan atau memberi makanan. Orang-orang yang terinfeksi HAV menular selama sekitar 1 minggu sesudah mulai ikterus. Kita tidak perlu mengisolasi anak yang lebih tua, yang bisa diawasi, tetapi tinja dan benda-benda yang terkontaminasi tinja harus ditangani dengan tindakan hati-hati, dan cuci tangan yang ketat harus dipraktekkan. (Nelson,2000) Kumpulan Ig baku efektif dalam memodifikasi manifestasi klinis infeksi HAV. Nilai profilaktiknya terbesar bila diberikan awal pada masa inkubasi dan menurun sesudahnya. Pedoman untuk profilaksis hepatitis A pada (Tabel 1). Ig dianjurkan untuk semua individu rentan yang berwisata ke negara yang sedang berkembang. Kontak rumah tangga yang tidak diimunisasi harus mendapat satu dosis intramuskulersesegera mungkin sesudah pemajanan. Ini efektif dalam mencegah hepatitis klinis, walaupun

24

infeksi masih dapat terjadi. Pemberian Ig lebih dari 2 minggu sesudah pemajanantidak terindikasi.(Nelson,2000) Tabel 2. Profilaksis Hepatitis A Variabel Sebelum Pemajanan (Wisatawan ke Daerah Endemik) < 3 bulan perjalanan Ig : 0,02 mL/kg Vaksin* 3 bulan perjalanan Ig : 0,06 mL/kg setiap 4-6 bulan Vaksin* Sesudah Pemajanan Kontak rumah tangga dan intim Perawatan pengawasan Wabah sumber biasa Kontak secara kebetulan Ig : 0,02 mL/kg dalam 2 minggu Tidak ada harian atau perawatan Ig : 0,02 mL/kg dalam 2 minggu Ig : 0,02 mL/kg dalam 2 minggu Dosis

Ig tidak secara rutin dianjurkan untuk pajanan sporadis,bukan rumah tangga (misal, proteksi personel rumah sakit atauteman sekolah). Pemberian Ig massal pada anak sekolah telahdigunakan ketika epidemi terpusat di sekolah. Bila HAV terjadi di pusat perawatan anak dengan anak yang belum dilatihbertoilet sendiri, harus diberikan pada semua anak dan personel. Juga dianjurkan diberi Ig pada anggota keluarga dari anak yang masih dalam diaper (popok).(Nelson,2000)

25

2.4.1.9 Komplikasi Anak-anak hampir selalu sembuh dari infeksi HAV. Jarang, hepatitis fulminan dapat terjadi, dimana kenaikan kadar bilirubin serum progresif disertai dengan kenaikan awal dalam aminotransferase yang disertai dengan turunnya ke nilai normal atau rendah. Fungsi sintesis hati menurun dan PT menjadi memanjang, sering disertai dengan perdarahan. Albumin serum turun, menimbulkan edema dan asites. Ammonia biasanya naik dan sensorium menjadi berubah, memburuk dari mengantuk ke pingsan (stupor) dan kemudian koma dalam. Pemburukan pada penyakit stadium akhir dan kematian dapat terjadi pada kurang dari 1 minggu, atau dapat berkembang lebih buruk.(Nelson,2000)

2.4.2

Hepatitis B

2.4.2.1 Etiologi Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam famili Hepadnaviridae. Nama famili Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA (Soemoharjo S., 2008). Virus Hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus Hepatitis B yang utuh berukuran 42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid dibagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang sebagian berantai ganda dengan bentuk sirkular. Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah yaitu virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus (HBsAg). Ukuran kapsul virus berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament (Soemoharjo S., 2008).

26

2.4.2.2 Cara Penularan Penyakit VHB dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua kelompok usia secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengendung virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari VHB adalah parenteral. Semula penularan VHB diasosiasikan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari VHB makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena VHB dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita, misalnya melalui: darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu ibu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karen itu dikenal cara penularan perkutan dan non perkutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal (Hadi, 2000). 1. Penularan horizontal Cara penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap hepatitis B kepada individu yang masih rentan. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir (Soemoharjo S., 2008). a. Melalui Kulit Ada dua macam penularan kulit yaitu penularan kulit yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parental), misalnya melalui suntikan, transfusi darah, atau pemberian produk yang berasal dari darah dan tattoo. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit. b. Melalui Selaput Lendir Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata, dan selaput lendir kelamin. Melalui selaput lendir mulut dapat terjadi pada mereka yang menderita sariawan atau selaput lendir mulut

27

yang terluka. Melalui selaput lendir kelamin dapat terjadi akibat hubungan seks heteroseksual maupun homoseksual dengan pasangan yang mengandung HbsAg positif yang bersifat infeksius. 2. Penularan vertikal Penularan infeksi VHB dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal, selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau postnatal. Penelitian menunjukan bahwa sebagian besar bayi yang tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada usia perinatal yaitu pada saat terjadi proses persalinan. Karena itu bayi yang mendapat penularan vertikal sebagian besar mulai terditeksi HbsAg pada usia 3-6 bula yang sesuai denga masa tunas infeksi VHB yang sering didapatkan. Penularan yang terjadi pada masa perinatal dapat terjadi melalui cara maternofetal micro infusion yang terjadi pada waktu terjadi kontraksi uterus (Soemoharjo S., 2008). 2.4.2.3 Patogenesis Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah pertikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi retriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel Nk dan NK-T (Aru W. Sudoyo, 2007) Untuk proses eradiksi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik. Yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan permukaan dinding Antigen Preenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan

28

kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Neccrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) (Aru W. Sudoyo, 2007). Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel T CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti HBc dan antiHbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHb bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Bukti pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg (Aru W. Sudoyo, 2007). Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien makan infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka infeksi VHB menetap. Proses eliminasi VHB pleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya muatan VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dengan genom sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadapa antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidotipe, fsktor kelamin atau hormonal (Aru W. Sudoyo, 2007). Salah satu peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi NHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus

29

yang dilahirkan oleh ibu HbsAg dan HbcAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin melalui invasi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB (Aru W. Sudoyo, 2007). 2.4.2.4 Manifestasi Klinis Infeksi hepatitis B yang akut akan terjadi dalam waktu 30 sampai 180 hari setelah virus memasuki tubuh. Kebanyakan tanpa gejala klinis yang khas. Pada sebagian pasien menunjukan gejala klinis yang klasik seperti dimulai dengan gejala prodromal atau gejala pertama yang dirasakan oleh pasien adalah demam tidak terlalu tinggi, rasa tidak selera makan, mual, dan kadang-kadang muntah. Juga akan terjadi rasa lemas, sakit kepala, rasa takut dengan cahaya, sakit menelan, dan flu. Gejalagejala ini memang sangat mirip denga flu, sehingga disebut dengan flu like syndrome. Satu sampai dua minggu kemudian barulah timbul kuning pada seluruh badan penderita. Saat inilah biasanya penderita berobat karena merasa ada kelainan pada tubuhnya yang berwarna kuning. Kuning ini diikuti oleh perubahan gambaran laboratorium fungsi hati yang biasanya meningkat. Fungsi hati ini biasanya digambarkan oleh kenaikan SGOT dan SGPT. Satu sampai lima hari sebelum badan kuning, keluhan kencing seperti teh pekat dan warna buang air besar yang pucat seperti diliputi lemak juga dirasakan oleh penderita (Dienstaq. dkk, 2004). Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi. Pada fase ini, badan kunign berangsur kembali normal dan juga ukuran hati akan kembali normal. Rentang waktunya biasanya 2-12 minggu untuk mencapai resolusi. Pada fase ini, kenaikan fungsi hati secara laboratorium akan berangsur-angsur mancapai normal kembali. Hepatitis B akut yang tidak ada komplikasi, akan mengalami resolusi lengkap berkisar 3 sampai 4 bulan (Dienstaq. dkk, 2004).

30

Bila fungsi hati tidak mencapai normal dalam waktu 6 bulan atau lebih, inilah yang dikatakan dengan hepatitis B kronis. Tetapi hanya 5% saja yang menderita hepatitis B akut akan menjadi hepatitis B kronis. Selebihnya, infeksi hepatitis B kronis berasal dari waktu masa janin yang dilahirkan oleh ibu-ib yang positif menderita hepatitis B, terutama di daerah endemis seperti Indonesia. Yang penting disini adalh mencegah proses kronisita menjadi komplikasi yang lebih serius (Dienstaq. dkk, 2004).

2.4.2.5 Penegakkan Diagnosa Oleh karena penderita hepatitis B seringkali tanpa gejala maka diagnosis seringkali hanya bisa ditegakkan dengan pemeriksaan

laboratorium. Kadangkala baru dapat diketahui pada waktu menjalani pemeriksaan rutin atau untuk pemeriksaan dengan penyakit-penyakit yang lain (Soemoharjo S., 2008). Tes laboratorium yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah: 1. Tes antigen-antibodi virus Hepatitis B: a. HbsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B) Merupakan material permukaan/kulit VHB. HBsAg

mengandung protein yang dibuat oleh sel-sel hati yang terinfesksi VHB. Jika hasil tes HBsAg positif, artinya individu tersebut terinfeksi VHB, karier VHB, menderita hepatatitis B akut ataupun kronis. HBsAg bernilai positif setelah 6 minggu infeksi VHB dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil tetap setelah lebih dari 6 bulan berarti hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau pasien menjadi karier VHB. HbsAg positif makapasien dapat menularkan VHB. b. Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg) Merupakan antibodi terhadap HbsAg. Keberadaan antiHBsAg menunjukan adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg bernilai positif berarti seseorang pernah mendapat

31

vaksin VHB ataupun immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat kekebalan dari ibunya. Anti-HbsAg posistif pada individu yang tidak pernah mendapat imunisasi hepatitis B menunjukkan bahwa individu tersebut pernah terinfeksi VHB. c. HbeAg Yaitu antigen envelope VHB yang berada di dalam darah. HbeAg bernilai positif menunjukkan virus VHB sedang aktif bereplikasi atau membelah/memperbayak diri. Dalam keadaan ini infeksi terus berlanjut. Apabila hasil positif dialami hingga 10 minggu maka akan berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Individu yang memiliki HbeAg positif dalam keadaan infeksius atau dapat menularkan penyakitnya baik kepada orang lain maupun janinnya. d. Anti-Hbe Merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang

diproduksi oleh tubuh. Anti-HbeAg yang bernilai positif berati VHB dalam keadaan fase non-replikatif. e. HbcAg (antigen core VHB) Merupakan antigen core (inti) VHB, yaitu protein yang dibuat di dalam inti sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan protein dari inti VHB. f. Anti-Hbc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B) Merupakan antibodi terhadap HbcAg. Antibodi ini terdiri dari dua tipe yaitu IgM anti HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti HBc tinggi menunjukkan infeksi akut. IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc negatif menunjukkan infeksi kronis pada seseorang atau orang tersebut penah terinfeksi VHB. 2. Viral load HBV-DNA. Apabila positif menandakan bahwa

penyakitnya aktif dan terjadi replikasi virus. Makin tinggi titer HBVDNA kemungkinan perburukan penyakit semakin besar. 3. Faal hati. SGOT dan SGPT dapat merupakan tanda bahwa penyakit hepatitis B-nya aktif dan memerlukan pengobatan anti virus.

32

4. Alfa-fetoprotein (AFP), adalah tes untuk mengukur tingkat AFP,yaitu sebuah protein yang dibuat oleh sel hati yang kanker. 5. USG (ultrasonografi), untuk mengetahui timbulnya kanker hati. 6. CT (computed tomography) scan ataupun MRI (magnetic resonance imaging), untuk mengetahui timbulnya kanker hati. 7. Biopsi hati dapat dilakukan pada penderita untuk memonitor apakah pasien calon yang baik untuk diterapi antivirus dan untuk menilai keberhasilan terapi.

2.4.2.6 Penatalaksanaan Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan

kortikosteroid tidak efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut HVB (Dienstag, 2005). Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma hepatoseluler dapat dicegah (Dienstag, 2005). Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for Study of the Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat terapi antiviral bila nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama lebih dari 6 bulan, terdapat replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA positif). Sebaiknya biopsi hati dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk mengetahui derajat kerusakan hati. Interferon dan lamivudin telah disetujui untuk digunakan pada terapi hepatitis B kronis. Bila hanya memakai interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu) dianjurkan diberikan selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan lamivudin tersendiri diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6

33

bulan bila telah terjadi konversi HBeAg menjadi anti Hbe (Dienstag, 2005). Tabel 3. Pengobatan infeksi VHB

(Mauss. Dkk, 2013)

2.4.2.7 Pencegahan Vaksinasi VHB rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989 (Aru W. Sudoyo, 2007). Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit hemodialisis), dan penderita penyakit darah (Aru W. Sudoyo, 2007). Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan denga HbsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih

memungkinkan terjadinya infeksi VHB. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibodi juga turun. Lebih tua

34

umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan otot (Aru W. Sudoyo, 2007). 1. Uji saring sebelum vaksinasi Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, mutiple sex partnee, dan kontak erat dengan penderita VHB. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1%20% dengan anti-HBc positif dan 80% dari merekaa memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif (Aru W. Sudoyo, 2007). 2. Pemeriksaan paska Vaksinasi Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan

pemeriksaan paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular malalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HbsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi VHB pada umur 12 bulan (Aru W. Sudoyo, 2007). 3. Penanganan nonresponden Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak muncul atau anti-HBs-nya kurang dri 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun dilakukan

penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: a. Pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HbsAg b. Pemberian vaksin VHB bersama-sama T-helper cell peptide

35

c. Pemberian kombinasi HbsAg dengan HbcAg d. Transfer limfosit dari responder Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah hal-hal tersebut diatas kurang

bermanfaat.sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberikan vaksinasi sebelum penyakitnya lnjut dan menjalani sialisis (Aru W. Sudoyo, 2007).

Gambar 5. Indikasi dan Rencana Dosis Vaksin dan Imunoglobulin Hepatitis B (Wahab, 2000)

2.4.2.8 Komplikasi Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif, perawatan pendukung yang ditujukan untuk

36

mempertahankan penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-satunya pilihan lain (Julfina, 2007). Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa2b tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18 tahun atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV. Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBeAg pada kapiler glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang (Julfina, 2007).

2.4.3

Hepatitis C

2.4.3.1 Etiologi Hepatitis C adalah penyakit liver menular yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C (HCV). HCV merupakan virus RNA helai tunggal yang telah diklasifikasikan sebagai genus tersendiri dalam famili Flaviviridae. HCV adalah virus terbungkus, ukuran 50-60 nm yang ditularkan terutama oleh darah atau produk-produk darah, pengggunaan obat intravena, dan kontak sosial. Masa inkubasi berkisar 15-160 hari, dengan rata-rata sekitar 50 hari (Price, 2005). HCV sekarang dikenal sebagai penyebab hampir semua kasus yang didapat secara parenteral dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai hepatitis non-A, non-B. Sebelum ditemukan virus hepatitis C, dunia medis mengenal 2 jenis virus sebagai penyebab hepatitis, yaitu virus hepatitis A (VHA) dan virus hepatitis B (VHB). Namun, terjadi peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus tersebut dan tidak dapat dikenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis non-A, non-B (hepatitis NANB). Hepatitis NANB mempunyai sifat yang menyerupai hepatitis B yaitu didapatkan umumnya pasca transfusi darah. Infeksi HCV merupakan masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus menjadi hepatitis kronik yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati (Nelson, 2000).

37

HCV memiliki 6 genotipe dan lebih dari 50 subtipe. Genotip genotip yang berbeda mempunyai perbedaan distribusi geografi. Genotipe 1a dan 1b paling banyak di Amerika, kira-kira 75% dari kasus. Genotip 2, 3 dan 4 hanya 30% dari kasus. Di Jepang dan Cina tipe 2 lebih sering dijumpai , tipe 3 sering dijumpai di Eropa dan Inggris, tipe 4 banyak ditemui di Timur Tengah dan Afrika. Tipe 5 banyak di Afrika dan sedikit di Amerika Utara, jenis tipe 6 banyak ditemukan di Hongkong dan Macau (Sulaiman, 2004). 2.4.3.2 Cara Penularan Hepatitis C biasanya menular melalui hubungan darah ke darah. HCV dapat menyebar dari darah orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang lain melalui cara (Tim Horn and James, 2005): 1. Pemakaian Obat-Obatan IV Biasanya terjadi pada pengguna narkoba dengan cara suntikan (IDU). Pengguna narkoba suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain secara bergantian berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. 2. Seksual Prevelensi penularan HCV melalui hubungan seksual sangat rendah. HCV tidak menular melalui air mani atau cirn vagina kecuali yang mengandung darah. Namun perlu

diperhatikan, bila terdapat infeksi menular seksual seperti herpes atau hubungan seks yang dilakuakan dengan cara meningkatkan resiko luka pada selaput mukosa sehingga menimbulkan penularan dari darah ke darah. Penularan infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual dan tidak menggunakan kondom. 3. Penularan dari ibu ke bayi Penularan HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam maupun operasi. Pecahnya ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya penularan HCV. Pada penelitian ditemukan bahwa resiko bayi tertular HCV melalui ibu yang

38

menderita HCV sebanyak 5%. Fakor risiko ini meningkat 2 kali lebih tinggi pada ibu yang terinfeksi ko-infeksi dengan HIV. Hepatitis C tidak menular dengan cara menyusui. Namun hal yang perlu diperhatikan dan dipastikan saat menyusui adalah puting susu ibu tidak terdapat luka atau berdarah, karena hal tersebut dapat memungkinkan penularan walaupun hal ini belum dibuktikan dengan nyata tentang dimulainya penyakit. Tindakan operasi caesar juga tidak dianjurkan pada ibu dengan HCV kronis. Bila ibu menderita infeksi HIV bersama dengan infeksi HCV, maka kemungkinan tertular bagi bayi akan lebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada ibu yang hanya menderita infeksi HCV saja. Dihipotesiskan bahwa ibu yang mengidap HIV mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih tinggi menyebabkan mudahnya penularan secara verikal, 4. 5. Transfusi darah yang tidak diskrining. Pajanan dalam kerja Perkiraan risiko penularan dalam kerja sangat bervariasi. Biasanya risiko ini terjadi setelah terjadi luka atau penusukan jarum dari pasien yang memiliki RNA positif hepatitis C ke petugas kesehatan. Risiko terjadi lebih tinggi apabila luka tersebut dalam dan pada jarum terdapat darah. Dalam penelitian prospektif yang besar didapatkan 4.403 petugas kesehatan ditemukan terpapar dengan tingkat transmisi keseluruhan 0,31%, sementara penilain lain dari 25 penelitian yang lebih kecil dilaporkan sebesar 1,9% dari 2.357 paparan.

2.4.3.3 Patogenesis Kerusakan sel hati akibat HCV atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Pada HCV, sebanyak 85% dapat berkembang menjadi infeksi kronik dan 15%

39

berkembang menjadi infeksi akut. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya dipengaruhi oleh kualiatas respon imun seluler yang berperan penting terhadap infeksi HCV tersebut hilang atau menjadi persisten (Nathalie Boyer and Patrick Marcellin, 2000). Sel T CD4+ dan sitokinin diduga berperan penting dalam imunopatogenesis hepatitis C kronik. Sel T CD4+ berpolarisi menjadi sel T tipe 1 (Th1) dan sel T tipe 2 (Th2). Th1 berperan dalam sekresi interleukin 2 (IL-2) dan interferon yang akan memberikan stimulus untuk mengembangkan respon host imun antiviral termasuk sitotoksik TLimfosit (CTL) dan aktifasi sel NK. Th2 menghasilkan IL-4 dan IL-10 yang akan meningkatkan produksi antibodi dan mengatur repon Th1 (Nathalie Boyer and Patrick Marcellin, 2000). Pada infeksi akut yang terjadi adalah respon Th1 yang kuat namun lemah atau bahkan tdak ada respon Th2. Sedangkan, pada infeksi kronis, repon Th1 lemah tapi memiliki respon yang kuat pada Th2. Th1 memberikan efek sangat penting untuk perlindungan terhadap infeksi. Th2 membeikan efek inhibitor pada sistem imun pasien dan menyebabkan terjadinya infeksi HCV yang persisten (Nathalie Boyer and Patrick Marcellin, 2000). Reaksi CTL spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh HCV pada infeksi akut. Pada infeksi kronis, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi dihati tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HCV sehingga kerusakan hati berjalan terus menerus (Rino A Gani, 2006). Progresivitas hepatitis akut menjadi kronis disebabkan oleh beberaa faktor diantaranya (Nathalie Boyer and Patrick Marcellin, 2000): 1. Faktor yang berhubungan dengan virus, yaitu viral load dan genotipe. 2. Faktor yang berhubungan dengan host (status imun, usia dan alkohol)

40

Pada status imun biasanya terjadi pada penderita dengan imunosupresi (HIV). Pada penelitian terbaru menunjukkan bahwa cangkok hati memberikan lebih besar progresif penyakit hepar kronis daripada insiden pasien yang terduga sirosis. Sedangakan pada alkohol, menyebabkan fibrosis dan sirosis. Pada peminum alkohol yang berat memberikan resiko tinggi terhadap kanker hepatoseluler. Hal ini dikarenakan adanya perubahan respon imun dan toksik alkohol. Pada usia tua, hal ini dikarenakan memiliki faktor lesi histologis yang parah.

2.4.3.4 Manifestasi Klinis Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejalagejala di bawah ini mungkin samar, misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut kanan atas, hilang selera makan, sakit perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar sedikit. Beberapa pasien didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris. (Bell B, 2009) Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena infeksi. (Sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 17) Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun dan penderita dengan koinfeksi HBV (Hernomo K, 2003, hal. 22) Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang menjadi penyakit hati menahun. Infeksi HCV dinyatakan kronik kalau deteksi RNA HCV dalam darah menetap sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B. Gejala awal

41

tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus. ( PPHI, 2003, hal 21) Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat disbanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra hepatik. (Hernomo K, 2003, hal 20) Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang biasanya disebabkan kemampuan HCV untuk menginfeksi sel-sel limoid sehingga menganggu respon sistem imunologis seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan hepatitis C kronik (Mauss S, et al ,2009, p.45)
1. Hepatitis C akut.

Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat.Perkiraan masa inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 2-30 minggu.Anak maupun dewasa yang terkena infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan.Sehingga dapatdikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang.Pada penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus.Pada pemeriksaan LFT, harga ALT dapat meningkat sampai 10 kali harga normal.Antibodi terhadap HCV (anti HCV) mungkin belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian

menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan.(Juffrie, 2010)

42

2. Hepatitis C kronis Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut

berkembang menjadi kronis.Mekanisme mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum

diketahui.Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatalgatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepaik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut(Juffrie, 2010) 3. Sirosis hati Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis

berlangsung dalam dua atau tiga dekade.Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara 20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%.Gejala klinis sangat minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya progresifitas penyakit yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi Laki-laki Derajat fibrosis pada saat biopsi awal Status imunologi Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV 6. 7. 8. Infeksi genotip 1 Adanya quasi-species Overload besi

43

9.

Konsumsi alkohol Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum

adalah baik sampai terjadinya dekompensasi. Fattovich dkk mendapatkan dari 384 penderita sirosis kompensasi, survival ratenya mencapai 96%, 91%, dan 79% untuk waktu 3, 5, dan 10 tahun. Niederau dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis C kronis mendapatkan bahwa apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5-year survival rate kurang dari 50%.Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati.Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6 bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.(Juffrie, 2010) 4. Karsinoma hepatoselular Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan sekitar l%4%.Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie memperkirakan bahwa antara l,9%-6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi HCC setelah 10 tahun(Juffrie, 2010)

2.4.3.5 Penegakkan Diagnosa 1. Pemeriksaan Biokimia Pada pemeriksaan darah terlihat adanya peningkatan bi-lirubin, alkali fosfatase dan transaminase. Serum transami-nase terutama Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) terjadi kenaikan yang bervariasi, kemudian menurun diatas nilai normal atau terus meningkat berfluktuasi, kadang-kadang naik dan kadang-ka-dang turun tidak menentu. Pada umumnya gejala klinis hepatitis virus C akut su-kar dibedakan dengan gejala hepatitis virus B dan infeksi virus akut lainnya,dan lebih dari 50% penderita menunjukkan peningkatan tes

44

faal hati. Pada hepatitis C akut peningkatan ALT ter-jadi 7-8 minggu setelah infeksi dan peningkatan bisa mencapai 10 - 15 kali nilai normal (Dani Brataatmadja, 2003). Yang khas adalah pada hepatitis virus C kronis dimana pola peningkatan enzim ALT (SGPT) yang bersifat polifasik, turun naik (seperti yo yo) selama 6 bulan atau lebih. Puncak peningkatan SGPT umumnya tidak setinggi hepatitis B, sedangkan peningkatan enzim-en-zim lainnya mirip dengan hepa-titis virus B (Dani Brataatmadja, 2003). Sebelum ditemukannya petanda serologis yang spesifik, apabila terjadi kenaikan serum transaminase sedikitnya dua ka-li diatas nilai normal pada dua kali pemeriksaan secara terpisah memiliki nilai diagnostik yang penting yaitu apabila tidak ditemukan adanya sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim tersebut jelas antara lain adanya paparan oleh bahan toksik, obatobatan atau secara serologis terhadap adanya infeksi hepatitis lain (Dani Brataatmadja, 2003). 2. Screening Test Pemeriksaan Antibody spesifik yaitu Anti HCV bisa dilakukan dengan cara RIA (Ra-dio Immuno Assay) atau EIA (= ELISA/Enzyme Linked Immuno Assay). Cara tersebut dengan an-tigen utama C 100-3 yang disin-tesis melalui rekayasa DNA ter-hadap kultur ragi. Antigen yang telah dilapiskan pada fase pa-dat, kemudian direaksikan de-ngan antibodi yang terdapat da-lam serum. Pengukuran dilaku-kan dengan antigen kedua yang telah dilabel. Antibodi terhadap HCV yang dinilai adalah Im-munoglobulin anti HCV (Dani Brataatmadja, 2003). a. Tes anti-HCV ELISA gene-rasi pertama hanya memakai satu antigen saja yaitu C 100-3. Tes ini kurang sensitif (sensitivitasnya adalah 80%-90% dibandingkan dengan generasi kedua). Hasil positif palsu untuk tes generasi pertama dapat terjadi pada penderita dengan hipergam-maglobulinemia dan adanya faktor rheumatoid. ELISA generasi kedua selain antigen C 100-3,

45

digunakan pula dua antigen tambahan yaitu protein C-22 dan C33 dari inti (core) dan NS-3 protein. Tes anti HCV generasi kedua ini lebih sensitif dan lebih spesifik dalam mende-teksi antibodi infeksi hepati-tis virus C (sensitivitas men-dekati 99%). ELISA generasi ketiga telah dilakukan pada tahun 1994 dengan penambahan NS-5, terbukti anti HCV generasi ketiga lebih sensitif diban-dingkan dengan generasi sebelumnya. Tes ini memakai serum atau plasma yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi dengan bead yang telah dilapisi dengan antigen HCV. Bila terdapat antibodi didalam serum, maka immu-noglobulin penderita akan terikat dengan bead tadi dan dapat dideteksi. b. Recombinant Immunoblot As-say (RIBA). Suatu tes terhadap protein virus C hepatitis yaitu de-ngan cara Recombinant Immunoblot Assay (RIBA) yang prinsipnya adalah suatu immunoelektroforesis untuk mendeteksi antibodi virus C hepatitis. RIBA berupa strip Nitro-cellulose yang mengandung pitapita (bands) yang dilapisi antigen-antigen spesifik dan kemudian direaksikan dengan serum pasien. Walaupun RIBA lebih spesifik dari ELISA, RIBA bukan merupakan True Confirmation Test karena menggunakan antigen yang sama seperti yang digunakan pada tes ELISA, terutama C 100-3. Lebih tepat bila tes RIBA disebut sebagai Supplemental Test. Sebenarnya Anti HCV baru positif sekitar 15 minggu setelah infeksi terjadi, sehingga mengakibatkan Hepatitis C akut jarang terdiagnosis dan diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HCV RNA dengan metode PCR pada permulaan penyakit. Anti HCV pa-da umumnya akan menghilang dengan sembuhnya penyakit.

46

Kurang lebih 70-85% he-patitis C akut akan berkembang menjadi hepatitis C kronik, dan pada keadaan ini Anti-HCV tidak akan menghilang. Sebelum dilakukan uji saring, Anti HCV terdapat pada 80 90% penderita hepatitis pasca transfusi. Perjalanan penyakit Hepatitis C yang cenderung menjadi sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler membuat uji saring darah donor sangat berguna karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C sebanyak 50 80%. (Zuraida , 2000). Tes penyaring untuk hepatitis C perlu dilakukan pada (Dani Brataatmadja, 2003): Penderita yang pernah mendapat transfusi darah atau produk darah sebelum adanya ELISA generasi kedua. Penderita haemofilia. Pasien yang telah di hemodialisis. Anak dari ibu penderita hepatitis C. Pernah atau masih menggunakan obat-obat intravena. Donor transplantasi organ maupun jaringan. Tes ELISA merupakan tes yang terbaik untuk penyaring karena mudah dilakukan dan tidak terlalu mahal. Hasil tes dapat dipercaya pada kebanyakan pasien immunokompeten yang mereplikasi hepatitis C virus. Tes ini kurang sensitif pada pasien hemodialisis dan immunokompromais. Pada uji saring bank darah positif palsu bisa terjadi pada 25% donor dan perlu dilakukan supplemental test seperti RIBA. Apabila perlu maka dilanjutkan dengan HCV RNA kualitatif untuk konfirmasi Anti HCV yang positif tersebut (Dani Brataatmadja, 2003). Pada populasi risiko tinggi dimana diduga menderita HCV, ELISA yang positif harus dikonfirmasi dengan tes RNA kualitatif. Pada pasien dengan hepatitis akut, tes ELISA harus dilakukan dulu. Kalau tes hepatitis A dan B negatif, maka harus dilakukan tes HCV RNA kualitatif (Dani Brataatmadja, 2003).

47

Pada pasien hepatitis kronis tanpa diketahui sebabnya dengan ELISA negatif terutama pasien hemodialisis dan immunokompromais, harus dilakukan tes HCV RNA. Sebenarnya terdapat dua macam anti HCV, yaitu IgM Anti HCV dan IgG Anti HCV. Selama infeksi HCV akut, antibodi yang pertama terdeteksi adalah IgM Anti HCV yang ke-mudian akan berkurang dengan timbulnya IgG Anti HCV. Namun IgM Anti HCV seringkali menetap apabila infeksi menjadi kronis dan ini menandakan adanya replikasi aktif dari virus. (Setiabudi, 1996). Peneliti lain menyatakan bahwa kepentingan pemeriksa-an IgM Anti HCV masih diragukan karena pada kenyataan-nya IgM Anti HCV ditemukan pada 50 93% Hepatitis C Akut tetapi juga pada 5070% penderita Hepatitis C Kronis. Oleh karena itu IgM Anti HCV tidak dapat dipakai seba-gai petanda serologis yang dapat dipercaya pada infeksi Hepatitis C Akut (Pawlotsky, 1999). 3. Pemeriksaan HCV-RNA Pemeriksaan Anti HCV merupakan pemeriksaan antibodi, maka pemeriksaan antigen dilakukan dengan memeriksa HCV-RNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan HCV-RNA kualitatif lebih banyak dipakai sebagai tes konfirmasi sedangkan cara kuantitatif lebih ba-nyak dilakukan sebelum dan untuk memantau terapi. Salah satu Consensus Statement dari EASL (1999) menyatakan bahwa pemeriksaan Genotipe HCV dan HCV RNA kuantitatif hanya direkomendasikan sebelum pengobatan interferon (Dani Brataatmadja, 2003). Manfaat pemeriksaan HCV RNA diantaranya adalah untuk menentukan tingkat aktivitas penyakit secara kuantitatif pada penderita hepatitis C kronis, membantu menentukan prognosis setelah pengobatan dengan -interferon, mengukur respon penderita hepatitis C kronis terhadap pengobatan -interferon dan merupakan

pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan fungsi hati, sejarah

48

klinis dan studi serologis dalam evaluasi hepatitis C (Dani Brataatmadja, 2003). Satu-satunya cara untuk menentukan adanya viremia adalah dengan deteksi HCV-RNA menggunakan cara Reversed Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Cara ini amat sensitif dan memungkinkan de-teksi HCV-RNA walaupun jum-lahnya amat kecil. Pada fase a-wal infeksi virus hepatitis C, HCV-RNA adalah satusatunya petanda yang menentukan ada-nya infeksi virus hepatitis C. HCV-RNA sangat erat hubungannya dengan viremia, dibandingkan dengan penetapan anti-HCV. HCV-RNA dapat pula menentukan derajat infektivitas meskipun perlu dicatat bahwa sensitivitas dari PCR tidak mu-tlak dalam menyingkirkan infeksi (Dani Brataatmadja, 2003). 4. Pemeriksaan Biopsi Hati Pemeriksaan lain seperti Biopsi hati mungkin diperlukan untuk mengetahui derajat kerusakan hati, peradangan ataupun komplikasi seperti sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Juga pemeriksaan Ultranono-graphy hati maupun Alpha Feto Protein seringkali diperlukan (Dani Brataatmadja, 2003). 5. Petanda Serologis Infeksi
Hepatitis C Akut

Dengan masa inkubasi se-kitar 7 minggu (226 minggu) gejala hepatitis C akut pada umumnya ringan dan hanya sekitar 20 % yang ikterus dengan di-sertai gejala lain seperti malaise, nausea, nyeri perut kanan atas diikuti urin berwarna tua dll., sehingga diagnosis klinis hepatitis C akut jarang dan sulit dibuat tanpa pemeriksaan serologis (Dani Brataatmadja, 2003). Petanda pertama dari infeksi virus hepatitis C yaitu HCV RNA yang dapat dideteksi dengan PCR 12 minggu sesudah terpapar dan kadarnya terus meningkat. Anti HCV antibody da-pat dideteksi pada fase akut pa-da kebanyakan kasus tetapi pada beberapa kasus baru timbul sesudah beberapa minggu (Dani Brataatmadja, 2003).

49

Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) akan meningkat sebelum timbul gejala klinik dan puncaknya bisa sampai 10 X normal meskipun pada umumnya tidak setinggi pada Hepatitis A atau B akut sedangkan peningkatan aktivitas enzim-enzim lain mirip hepatitis B. (R. Amirudin, 1998). Pada penderita self-limited hepatitis kadar serum ALT menjadi normal dan serum HCV RNA tidak terdeteksi lagi sedangkan Anti HCV antibody a-kan menurun tetapi bisa terde-teksi sampai bertahuntahun (Dani Brataatmadja, 2003). Hanya sekitar 15% pasien hepa-titis C akut yang sembuh total, kebanyakan (50-85%) akan men-jadi kronis.

Gambar 6. Penanda Hepatitis C Akut (Patrick Marcellin, l999)

Hepatitis C Kronis Terdapat dua pola HCV kronis yaitu tergantung dari tingginya ka-dar ALT serum (Dani Brataatmadja, 2003). a. Hepatitis C kronis dengan ALT serum yang normal.

50

Terjadi pada sekitar 25% kasus dimana ALT serum normal sedangkan HCV RNA terdeteksi. Meskipun pada umumnya asimptomatis, menganggap pasien kelompok ini sebagai Carrier HCV sehat dapat menyesatkan dan penggunaan istilah ini harus dihindari (P. Marcellin,1999). b. Hepatitis C Kronis dengan ALT Serum yang meningkat Pada 75% pasien hepatitis C termasuk golongan ini dan keadaan ini ada 2 macam yaitu : Hepatitis C Kronis ringan (mild) dan Hepatitis C kronis sedang sampai berat (mo-derate to severe).

Perubahan serologik pada infeksi HCV ditandai dengan timbulnya HCV RNA pada fase dini, sebelum terjadinya peningkatan aktivitas serum transa-minase yaitu ALT = SGPT yang karakteristik fluktuatif (seperti yo-yo) untuk beberapa bulan atau tahun. Kalau ALT meningkat maka pe-ningkatannya antara 2-8 kali di-atas normal dan kalaupun peningkatannya sangat tinggi umumnya bersifat sementara dan kemudian akan menurun kembali (Dani Brataatmadja, 2003). HCV RNA sudah positif rata-rata 1-2 minggu sesudah infeksi HCV, kemudian disusul dengan timbulnya Anti-HCV yang rata-rata baru timbul 18 minggu setelah infeksi atau transfusi darah dan bisa terde-teksi sampai bertahun-tahun (Dani Brataatmadja, 2003). Perjalanan hepatitis virus C akut 50% akan menjurus kronik, dan 20% akan menjurus kearah sirosis yang kemudian dapat berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Waktu rata-rata untuk timbulnya sirosis pada HCV adalah sekitar 20 tahun (Dani Brataatmadja, 2003).

51

Gambar 7. Penanda hepatitis C kronis (Patrick Marcellin, l999)

2.4.3.6 Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mengeiminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotipe VHC adalah 1 dan 4, maka terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu. Pasien berumur 60 tahun, Hb <10 g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <10.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal juga tidak diindikasikan mnggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi (Rino A Gani, 2006). Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kai seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap pembelian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG)catau Peginterferon diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kgBB (peginterferon 12 KD) atau 180 ug (peg-interferon 40 KD). Pemberian interveron diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pasien dengan

52

berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari, dan >70 kg 1200 mg setiap hari dibagi 2 kali pemberiian (Rino A Gani, 2006). Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavrin, perlu dilakukan pemerksaab RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HC resisten terhadap pengobatan yang tidak akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan interferon. 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan pemeriksaan RNA HCV kualitatif. Bila RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respon virologik yang menetap dan RNA HCV kembali positif, pasien dianggap kambuh. Mereka yang kambuh dapat kembali diberikan nterferon dan ribavirin dengan dosis yang lebih besar (Rino A Gani, 2006) Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan HCV akut pada anak. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin adalah 8, 12, 15 mg/kgBB perhari. Pada penderita hepatitis C kronis yang mengaami infeksi dengan HIV, konsentarsi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung lebih progresif, pemberian peg-interferon bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik (IDAI, 2012).

2.4.3.7 Komplikasi Risiko hepatitis fulminan adalah rendah pada HCV, tetapi risiko hepatitis kronis paling tinggi pada virus hepatitis. Pravelnsi didapatkan bahw hepatitis C memberikan respon yang lambat hingga beberapa tahun. 5-15% pasien dengan hepatitis kronis dapat menjadi sirosis hati dalam lebih dari 20 tahun. 4-9% pasien dengan sirosis dapat menyebabkan liver failure. 2-5% pasien akan berkembang menjadi hepatocellular carcinoma (SIGN, 2006). Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai sejak virus hepatitis C masuk ke dalam darah dan terus beredar dalam darah menuju hati, menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel, lalu berkembang biak. Hati menjadi meradang dan sel hati mengalami kerusakan dan terjadi

53

gangguan fungsi hati dan mulailah perjalanan infeksi virus hepatitis C yang panjang (Sulaiman HA , 2004). Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dapat menghilangkan virus tersebut dari tubuhnya secara spontan namun mayoritas penderita penyakit ini menjadi kronis. Umumnya infeksi akut HCV tidak member gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenal karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menemukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV. Dari beberapa laporan, infeksi hepatitis C akut didapat adanya gejala malaise, mual-mual, dan ikerus. ALT meninggi sampai beberapa kali diata batas atas normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L (Rino A Gani, 2000). Infeksi akan menjadi kronis pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses keruskan hati berjalan terus. Hilangnya HCV setelah terjadi hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlikan waktu 20-30 tahu untuk terjadi sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik. Progresivitas hepatitis kronik akan menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor yaitu asupan alkohol, koinfeksi dengan virus hepatitis B atau HIV (Rino A Gani, 2000).

Gambar 8. Perjalanan dan Komplikasi Hepatitis C

54

2.4.4

Hepatitis D

2.4.4.1 Etiologi Virus hepatitis D (HDV), virus binatang yang diketahui paling kecil, dianggap kurang sempurna karena ia tidak dapat menghasilkan infeksi tanpa bersamaan dengan infeksi HBV. Virus berdiameter 36-nm tidak mampu membuat selaput proteinnya sendiri; selaput sebelah luarnya tersusun dari kelebihan HBsAg dari HBV. Core virus sebelah dalamadalah RNA sirkuler helai-tunggal, yang mengekspresikan antigen HDV (Berhman, 2000).

2.4.4.2 Cara Penularan Infeksi HDV tidak dapat terjadi tanpa HBV sebagai virus

pembantu.Ditemukan dua pola infeksi.Penularan biasanya terjadi dengan kontak intrafamilial atau intim pada daerah prevalensi yang tinggi, yang terutama adalah negara yang sedang berkembang.Pada daerah prevalensi rendah, seper-ti Amerika Serikat, rute perkutan adalah jauh lebih lazim.Infeksi hepatitis D tidak lazim pada anak di Amerika Serikat tetapi harus dipikirkan bila hepatitis fulminan terjadi. Di Amerika Serikat, infeksi HDV ditemukan paling sering pada penyalahguna obat parenteral, hemofilia, dan orang-orang yang berpindah dari Itali Selatan, bagian timur Eropa, Amerika Selat-an, Afrika, dan Timur Tengah. Masa inkubasi untuk superin-feksi HIV sekitar 2-8 minggu; dengan infeksi bersama, masa inkubasi sama dengan masa inkubasi infeksi HBV(Berhman, 2000).

2.4.4.3 Patogenesis Berbeda dengan HBV, HDV menyebab-kan cedera secara langsung melalui mekanisme sitopatik.Ba-nyak dari kasus hepatitis B yang paling berat tampak karena infeksi kombinasi dengan HBV dan HDV.Infeksi bersama HBV dan HDV terjadi paling sering pada daerah berprevalensi tinggi. Mekanisme patogenesis kedua adalah superinfeksi dari orang yang menderita HBV kronis, yang adalah lebih sering di ne,gara maju(Berhman, 2000).

55

Gambar 9. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV

2.4.4.4 Manifestasi Klinis Gejala-gejala infeksi hepatitis D adalah serupa tetapi biasanya lebih berat daripada gejala-gejala hepatitis virus lain. Akibat klinis karena infeksi HDV tergan-tung pada mekanisme infeksi.Pada infeksi bersama, hepatitis akut, yang jauh lebih berat daripada karena HBV saja, adalah lazim, tetapi risiko untuk hepatitis kronis rendah.Pada superinfeksi, penyakit akut jarang, sedang hepatitis kronis lazim.Namun, risiko hepatitis fulminan tertinggi pada super-infeksi.Hepatitis D harus dipikirkan pada setiap anak yang mengalami gagal hati akut(Berhman, 2000). Gambaran klinis infeksi HDV tergantung pada mekanisme

infeksi.Pada koinfeksi gejala klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja.Namun untuk menjadi hepatitis kronis

kemungkinannya adalah rendah.Pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV

56

Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau hepatitis santa marta(Juffrie, 2010)

2.4.4.5 Penegakkan Diagnosa Virus belum diisolasi, dan tidak ada antigen dalam sirkulasi yang telah dikenali.Diagnosis dibuat dengan mendeteksi antibodi IgM terhadap HDV; antibodi terhadap HDV sekitar 2-4 minggu sesudah infeksi bersama dan sekitar 10 minggu sesudah superinfeksi.Assay RRP untuk RNA virus tersedia tetapi hanya sebagai alat penelitian(Berhman, 2000).

Gambar 10. Perubahan serologis dan biokimia pada koi-nfeksi HDV

57

Gambar 11. Perubahan serologis dan kimia pada superinfeksi HDV

2.4.4.6 Penatalaksanaan Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV.Penggunaan interferon-alfa pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum(Juffrie, 2010)

2.4.4.7 Pencegahan
Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi HDV

58

2.4.5

Hepatitis E

2.4.5.1 Etiologi Virus hepatitis E (HEV) belum diisolasi tetapi telah diklon dengan menggunakan tehnik molekuler.Virus RNA ini tidak terbungkus, bentuk bulat dengan tonjolan-tonjolan dan serupa dengan kalisivirus.Infeksi disertai dengan pelepasan partikel 27-34-nm dalam tinja(Berhman, 2000). 2.4.5.2 Cara Penularan Hepatitis E adalah bentuk epidemik dari apa yang secara formal disebut hepatitis non-A, non-B. Infeksi ditularkan secara enterik, prevalensi tertinggi telah dilaporkan di subbenua India, Timur Tengah, dan Asia Tenggara, terutama pada daerah dengan sanitasi buruk. Di Amerika Serikat satu-satunya kasus yang dilaporkan telah ada pada orang-orang yang telah mengunjungi atau beremigrasi dari daerah endemik. Rata-rata masa inkubasi adalah sekitar 40 hari (kisa-ran, 15-60 hari)(Berhman, 2000). 2.4.5.3 Patogenesis HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral (Juffrie, 2010)

59

2.4.5.4 Manifestasi Klinis Penyakit klinis pada hepatitis E adalah serupa dengan penyakit klinis hepatitis A, virus yang ditularkan secara enterik lain, tetapi sering lebih berat.Kedua virus menghasilkan hanya penyakit akut; penyakit kronis tidak terjadi. Disamping menyebabkan penyakit yang lebih berat daripada HAV, hepatitis E mengenai penderita yang lebih tua, dengan insiden puncak antara 15 dan 34 tahun. Perbedaan klinis penting lain adalah bahwa HEV mempunyai angka fa-talitas tinggi pada wanita hamil(Berhman, 2000).

2.4.5.5 Penegakkan Diagnosa Teknologi DNA rekombinan telah menimbul-kan perkembangan antibodi terhadap partikel HEV, tetapi uji serologis belum tersedia secara komersial.Antibodi IgM terhadap antigen virus menjadi positif sesudah sekitar satu minggu sakit(Berhman, 2000). Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara: 1. 2. 3. 4. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibodyblocking assay. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan El A; IgM anti HEV ditemukan satuminggu timbulnya gejala klinis. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja

2.4.5.6 Pencegahan Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV. Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk mencegah infeksi HEV

60

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh virus, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Dengan kemajuan teknologi di bidang biologi molekular saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 5 jenis virus penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama, bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian serta memiliki penatalaksanaan dan komplikasi yang berbeda-beda. Virus hepatitis A, C, D, dan E adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA.

3.2

Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam referat ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul ini. Penulis berharap para pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya referat ini dan penulisan referat di kesempatan berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

61

DAFTAR PUSTAKA

Dienstag, Jules L. 2005. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all.In Harrisons : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical Publishing Division. Hadi, Sujono. 2000. Hepatologi. Mandar Maju, Bandung Julfina, Bisanto. 2007. Hepatitis virus Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM. Jakarta. Mauss, Stefan. Dkk, 2013. Hepatology edition 2013. Flaying Publisher. Germany Misnadiarly. 2007. Mengenal, Menaggulangi, Mencegah & Mengobati Penyakit Hati (Liver) Edisi 1. Pustaka Obor Populer. Jakarta Soemoharjo S. 2008.Hepatitis Virus B. Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai