Anda di halaman 1dari 22

REVISI MAKALAH Psikologi Forensik

Police Psychology : Chapter 5,6, & 7


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Forensik

Disusun Oleh: Paras Sundanis 190110100043

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2013

Chapter 5 : Hostage Negotiation


Dalam kondisi suatu perampokan atau terorisme, biasanya terdapat sandera sebagai alat tukar antara pihak kepolisian dengan pelaku. Pada situasi tersebut ada satu bagian penting dalam kepolisian yang dapat membantu memecahkan masalah ini yaitu seorang hostage negotiator yang bertugas untuk bernegosiasi dengan pelaku, yang selanjutnya akan dibahas dalam bab ini.

A Brief History of Hostages Negotiation


Negosiasi sandera merupakan area spesialisasi yang tergolong baru dalam kepolisian dan hal ini dipicu oleh kejadian pada tahun 70-an dimana sering terjadi pembajakan pesawat yang dikategorikan menjadi 2: pemerasan atau didasari politik. Dalam hal ini penegak hukum harus bernegosiasi dengan teroris untuk mencegah kerusakan pesawat yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa. Kasus paling terkenal yang menjadi sejarah negosiasi sandera adalah pada saat olimpiade musim panas 1972 dan kedua terjadi pada saat 1973 dimana NYPD baru saja membentuk tim negosiator sandera. Kesuksusan kedua kasus tersebut sekarang yang kita kenal sebagai negosiasi sandera.

Team Member Selection and Structure


Sifat kepribadian pada seorang negosiator yang baik adalah memiliki kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan untuk beradaptasi pada perubahan yang dinamis, memiliki kapasitas simpati yang baik, percaya diri, emosi stabil, ekstroversi, dan liberal (Gettys dan Elam, 1988; Strentz, 2006). Sifat ini menjadi contoh kandidat ideal, tetapi Louden (2004) menemukan bahwa hampir pada semua proses seleksi jauh dari formalitas yang ada dan hasilnya tidak dapat menentukan apakah terdapat orang yang memenuhi sifat ideal tersebut. Negosiator yang sukses adalah mereka yang dapat berpikir kritis dan membuat rapport dengan penjaga sandera atau semacamnya yang akan dapat menghasilkan hilangnya nyawa.

Team Diversity
Suatu istilah yang telah diterima secara negative dalam kepolisian adalah hiring diversity. Hal ini telah diasosiasikan dengan tindakan afirmatif, mempromosikan karena ras atau jenis kelamin berlawanan dengan mereka yang pantas, lebih memilih kandidat yang tidak cocok, dan mempromosikan karena kebutuhan komunitas dalam kepolisian dan agensi. Tetapi ketika menyangkut negosiasi sandera, keberagaman sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan sangat memukinkan tim negosiator terdiri atas berbagai macam rasa tau jenis kelamin untuk menemukan kebutuhan dari pelaku. Anggota tim dan ketua harus mengenali terdapat berbagai macam kebudayaan dan hal ini lah yang akan membantu mereka disaat krisis. Keberagaman dari sudut pandang kepraktisan tidak selalu ideal atau memungkinkan; penyandera tidak dapat memilih negosiator, ataupun tidak selamanya dengan latar belakang etnis yang sama akan selalu berhasil. Thomas (2008) berpendapat bahwa polisi akan cenderung berpikir bahwa hukum tetaplah hukum, padahal proses negosiasi yang terjadi melibatkan banyak emosi. Dengan adanya keberagaman ini maka terdapat pemahaman sudut pandang lain yang akan sangat membantu dalam proses negosiasi. Mereka akan lebih mengerti penyandera jika negosiator berasal dari suku etnis yang sama karena dapat memahami nilai yang terdapat pada kebudaya suku etnis tersebut. Jadi, ada 2 hal yang dipertimbangkan dalam negosiasi: (1) demografis dari daerah yuridiksi agensi, (2) komposisi tim dari berbagai budaya agar dapat memahami sudut pandang penyandera.

Negotiator Skill Sets


Kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang negosiator adalah active listening atau secara aktif mau mendengarkan, dapat menggunakan pernyataan empati dengan baik, kemampuan untuk paraphrasing dan memiliki pengetahuan luas. Mereka juga harus paham bahwa krisis tidak terjadi secara tunggal tetapi berhubungan satu sama lain dan menciptakan suatu dinamika. Keberhasilan juga bergantung kepada pengetahuan negosiator pada keberhasilan dan kegagalan hidup. Negosiator yang baik adalah mereka yang memiliki pengalaman berlebih dalam kepolisian dan memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut pada situasi (Herndon, 2009; Poolis, 2007; Volpe, Cambria, McGowan, & Honeyman, 2006).

Active Listening Active listening diartikan sebagai salah satu keingingan dan kebtuhan untuk mendengarkan dan memahami, hal ini meliputi 6 kemampuan untuk negosiator kepolisian: 1. kesadaran kepada hal detail dan pernyataan masalah pada penyandera; 2. tidak bias dan tidak menghakimi pesan dan masalah dari penyandera, 3. mempertimbangkan dari informasi yang ada; 4. menanyakan pertanyaan untuk mengklarifikasi informasi, maksud, kebutuhan, dan atau motivasi; 5. mampu menyimpulkan informasi dengan paraphrasing untuk mengkonfirmasi bahwa negosiator telah menyimak dan memahami permintaan penyandera untuk membuat rapport dengan seseorang yang memiliki krisis; 6. dan mempertajam penemuan dengan atasan secara aktif serta terlibat dalam proses keputusan. Terkadang terjadi situasi circling atau berputas-putar yaitu ketika informasi penyandera telah ditunjukan ketika berdialog tetapi tidak disadari atau tidak ditangani dengan efektif oleh negosiator jadi bahkan setelah topik berakhir, penyandera kembali pada informasi tersebut, mencari rekognisi dan resolusinya (Knudson, 1999). Empathy Statements Menggunakan pernyataan empati sangat penting dalam situasi krisis karena hal tersebut menyebabkan negosiator melihat krisis dari sudut pandang penyandera. Rogers (1961) mengartikan empati sebagai pemahaman akurat empatik pada dunia klien sebagaimana terlihat dari dalam. Untuk merasakan dunia pribadi klien seperti dunia tersebut miliki diri sendiri, tetapi tanpa menghilangkan kualitas sebagaimana. Mead (1993) mengartikan empati sebagai kapasitas untuk menjaga peran darai orang lain dan mengambil prespektif alternative. Hogan (1969) mengartikan sebagai kemampuan untuk perihatin intelektual atau imajinatif pada kondisi lain atau pikiran yang lain. Kulis (1991) mengidentifikasi kategori pada pernyataan empati dan hal tersebut dapat dilakukan semua jika sesuai dengan waktu. Pernyataan empati hanya akan dapat digunakan ketika tahapan telah masuk kepada dialog mendalam.

High empathy statements menangkap informasi dan perasaan yang bermana dengan perasaan di dalam. Pada tingkat ini empati digunakan secara hemat untuk bergerak menghentikan negosiasi. Negosiator harus darpat memasuki dan berbagi kehidupan pribadinya. Pelaku harus mau menerima informasi dan memprosesnya secara tepat. Jika tidak negosiasi akan terlihat lemah dan tidak efektif.

Medium empathy statements menangkap informasi dan perasaan pada permukaan saja,, tetapi menghindari probing mendalam. Mereka tidak sedalam yang high dan dapat digunakan berulang. Negosiasi pada tingkat ini memiliki alur yang bebeas dan bertujukan lebih produktif,

Low empathy statements mengeliminasi jebakan pelaku yang mengacu dari dialog. Sebenarnya hal ini merugikan karena sudut pandang pelaku sepenuhnya tidak dimengerti. Ini dapat menyebabkan kerusakan, karena pelaku berharap adanya pengertian dari negosiator

Paraphrasing Paraphrasing adalah mengutip inti dari pernyataan pelaku, bukan kepada emosinya, dimana membuat negosiator menguji pemahamannya pada komunikasi yang terjadi (Kanel, 2002; Slatkin, 2010). Negosiator memeberikan pertanyaan ketika paraphrasing, dimana memberikan kesempatan kepada pelaku unutuk mengklarifikasi maksud dari pernyataannya. Kemampuan-kemampuan ini bukan suatu komponen individual, melainkan terjalin satu sama lain kerena proses dari negosiasi bersifat dinamis dan terus berubah-ubah. Yang terpenting adalah menjadi satu kesatuan dengan tim, dimana ketika seseorang bernegosiasi yang lain dapat membantu dengan mencarikan informasi yang dapat menunjang proses negosiasi. Jika ingin merupakan proses tim, terdapat negosiator utama, negosiator kedua untuk membantu menganalsisi komunikasi, menjabarkan kontak yang terekam, yang berinisiasi kontak, dan konten pada percakapan serta coordinator intelgen (Regini, 2002; Terestre, 2005).

The Importance of Training


Seperti yang dibahas sebelumnya, pengalaman sangatlah penting demi kesuksesan dalam bernegosiasi. Seringnya berlatih dan mengasah kemampuan negosiasi merupakan hal yang

penting untuk keberhasilan negosiasi. Pelatihan seharusnya menemkankan perkembangan kemampuan yang dibutuhkan dalam negosiasi.

The Psychology of Hostage Negotiation


Stages of a Critical Incident Setiap peristiwa kritis membahas beberaapa fase atau tahapan sebelum dibawa kepada suatu solusi. Tahapan pada peristiwa kritis tidak tertulis karena negosiator berhadapan dengan perilaku 2 kelompok yang berbeda, penyandera dan yang disandera. Dinamika antara kedua kelompok ini terpisah ketika proses negosiasi berlangsung, terutama jika sandera agresif atau menderita dari suatu kondisi medik/mental yang dapat memperburuk keadaan. Tahapannya adalah sebagai berikut:
Tahap 1 Panik: hal ini terjadi pada awal peristiwa dan merupakan waktu kritis karena yang terjadi adalah penyandera ingin mengatur sandera, sedangkan sandera berusaha mencari jalan keluar. Sandera akan dalam kepanikan ketika mereka diberitahukan mereka disandera. Pada fase ini sandera menilai, menganalisis, dan menentukan tindakakan yang tepat. Mereka juga mengalami ketakutan, kecemasan, marah, dan kurangnya pengendalian diri. Bagaimanapun juga, bagi penyandera, motivasi merekalah yang menentukan apakah mereka sebetulnya juga panic atau tidak. Jika penyandera tersebut adalah kriminal dan tindakan kriminal mereka terganggu, tujuan mereka adalah untuk melarikan diri. Dalam kasus ini penyandera akan mengalami juga kecemasaan, marah, dan ketakutan yang dialami sandera. Dalam emosi ini mereka mengembangkan rencana tindakan mereka dan menciptakan pengendalian pada sandera. Jika ini meruapakan kasus terorisme maka kejadian ini telah diatur sedimkian rupa dan perilaku yang tidak dijelaskan adalah sanderannya tersebut. Perlu diperhatikan juga penyandera dapat membunuh sandera untuk mendapatkan kendali sandera lain. Tahap 2/ Ketenangan yang menggelisahkan: disini batas dari pertarungan terlihat jelas. Polisi telah menciptakan perimeter dan mereka telah berusaha untuk membuat kontak dengan penyandera. Penyandera telah mengamankan sandera dan dalam suatu proses mengembangkan rencana tindakan berikutnya juga membentuk daftar tuntutan. Proses ini sangat riskan, dengan penyandera ingin negosiator memahami siapa yang memiliki kendali. Peran negosiator adalah untuk menentukan apakah ada sandera yang terluka atau membutuhkan pertolongan medis dan untuk menemukan kebutuhan dari sandera dan

penyandera. Tujuannya adalah menstabilisasi situasi dan mengurangi tingkat stress serta kecemasan pada penyandera. Disini active listening dimulai dan negosiator menciptakan rapport dan derajat kepercayaan. Tahap 3/fase negosiasi: Huber (2006) menjelaskan bahwa proses negosiasi merupaka proses memberi dan diberi antara individual yang mencari solusi dari suatu konflik dan elemen penting dalam proses negosiasi adalah tawar menawar, dimana untuk bertukar bantuan untuk dapat secara sukses menyelesaikan proses negosiasi. Tawar menawar penting karena untuk mendapatkan fondasi dimana negosiator dapat melepaskan tahanan untuk suatu makanan dan perawatan medis. Dalam kepolisian, terdapat beebrapa batas dari proses negosiasi, dan yang utama adalah hukum. Untuk negosiator, penting untuk mengetahui kejahatan apa yang telah dilakukan agar mereka dapat merespon secara tepat untuk meng-inquiry penyandera. Variable yang mempengaruhi negosiasi dari perspektif penegak hukum adalah kebijakan departemen, kejahatan yang dilakukan pada situasi tersebut, motivasi dari penyandera, cedera atau kematian dari sandera, kemampuan untuk bernegosiasi atau tawar menawar, dan status kesehatan mental dari penyandera. Jika fase ini telah sukses, maka ada potensi untuk bergerak kepada solusi damai; jika tidak maka dibutuhkan solusi bersiasat. Tahap 4/resolusi: resolusi damai tanpa hilangnya nyawa dan cedera merupakan yujuan utama dari kasus penyanderaan. Jika terselesaikan secara damai, penyadera dan negosiator telah menemukan kesamaan yang membuat mereka lanjut ke proses berikutnya dan sandera akan dilepaskan terlebih dahulu, kemudian solusi berubah menjadi taktik untuk menangkap penyadera. Solusi taktik ini dapat dijelaskan dengan menyerahkan kasus kepada SWAT. Jika negosiasi telah meluas, maka SWAT harus menyusun rencana untuk masuk ke dalam siatuasi dengan 2 tujuan: pengembalian sandera dan membangun kendali dengan penyandera. Kendali pada penyandera dapat terjadi jika penyandera menyerah atau petugas menggunakan kekuatan mematikan untuk melindungi mereka sendiri atau sandera. Solusi taktik terjadi karena mereka merasa penyandera telah memutuskan bahwa tidak ada jalan keluar selain membunuh sandera atau bunuh diri; penyadera secara terus-menerus mengubah tuntutan, dan tuntutan tersebut sulit untuk dipenuhi; stabilitas dan keadaan mental penyadera aneh dan tidak dapat diprediksi; negosiator menemukan kebuntuan dan dialo penyandera terulang, menolak untuk menjawab negosiator; atau ditentukan bahwa sandera dalam keadaan berbahaya.

The Psychology of Hostage Takers


Buku ini telah mengidentifikasi 6 kategori umum dari tipe penyandera: kriminal, sakit mental, teroris dengan motivasi politis/agama, kekerasan domestic, narapidana, atau kombinasi (Blau, 1994; Butler, Leitenberg, & Fuselier , 1993; Herndon, 2009; Miller, 2007). Dengan kategori tersebut akan lebih mudah untuk menemukan motivasi penyanderaaan. Namun, negosiator juga harus tetap terbuka dan flexible dengan kemungkinan yang dapat terjadi. Penyebab dari situasi krisis ini dimulai dari pengaktivan suatu pemicu dari kejadian, penyandera melihat penyanderaan ini sebagai usaha terakhir, dimana penyadera tidak dapat mengatasi atau terlalau lelah karena usaha untuk mengatasi telah gagal (Veechi, Van Hasslet, & Romano, 2005). Beck (1999) menjelaskan proses mencapai titik jenuh sebagaimana koalisi dari suatu kepribadian dan lingkungan sosial, yang membuat kluster antisosial yang membuat penyadera sangat sensitive, kaku, dan keras kepala. Mereka berpikir bahwa pihak berwenang berusaha mengatur mereka, dan aksi mereka itu tercea; orang lain memanipulasi dan membuang mereka; orang luar yang mereka percayai meyakiti mereka; dan paranoia. Dan reaksi mereka adalah melawan walaupun hal tersebut bahkan hanya imajinasi mereka saja. Tugas negosiator adalah membantu penyadera mengidentifikasi pemicu tersebut dan menyatakan bahwa hal tersebut hanya bayangan mereka saja.
The Terrorist

Sangat berbahaya karena system kepercayaan mereka sudah sangat ekstrim. Akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.
Mentally Disordered

Sering pada proses negosiasi dibutuhkan jasa konsultan kesehatan mental unutk membantu mereka mengidentifikasi keadaan penyandera apakah terdapat penyakit mental atau tidak. Ada terdapat beberapa penyakit yang biasanya ditemukan dalam proses negosiasi, yaitu schizophrenia, paranoia, bipolar, antisocial, borderline, histrionic, narcissistic, avoidantdependent, dan organic brain disorder/dementia (Miller, 2007). James dan Gilliland (2005) menyingkatnya menjadi schizophrenia, depression, kepribadian inadequate, antisocial, dan borderline. Perlu diperhatikan juga bahwa terdapat kondisi psikologis yang berbeda antara remaja dan orang dewasa. Apapun yang terjadi pada penyadera, tugas dari negosiator adalah

menstabilitasikan situasi dan menemukan kesamaan pendapat yang dapat mengakhiri penyanderaan. Ada sejumlah sifat kepribadian yang umum ditemukan pada penyandera: paranoia, delusi, halusinasi, perilaku tidak teratur, cemburu, marah, mengamuk, kurangnya control impuls, pola pikir dan system kepercayaan yang kaku, idelaisasi, dan proyeksi. Hal ini bisa saja disebabkan oleh minuman keras dan obat-obatan. Wilson (1993) mengemukakan beberapa alasan penyandera melakan tindakan tersebut: merasa terisolasi, reaksi terhadap situasi yang tidak dapat ditoleransi, ketidak berdayaan, hilangnya orang yang dikasihi, sejarah kepasifan, dan capai dengna perasaan benci yang ia pendam. Tugas negosiator adalah mencari jangkar untuk dapat tawar menawar dengan membahas keluarga dari penyandera.

Kesimpulan
Psikologi negosiasi penyanderaan membutuhkan beberapa keterampilan yang lebih dari hanya sekedar belajar di perguruan tinggi. Dibutuhkan juga latihan dan pengalaman demi menunjang kesuksesan negosiasi. Terdapat beberapa variable yang dapat mempengaruhi proses negosiasi, seperti budaya, status mental penyandera, penggunaan obat-obatan/minuman keras, dan motivasi dari penyandera. Kunci dari suksesnya negosiasi penyanderaan adalah menyesuaikan keinginan pelaku; menstabilisasi keadaan; dan mengaplikasikan kemampuan dari active listening, empati, paraphrasing, dan pengetahuan. Negosiator harus dapat menemukan jangkar emosional yang memeliki makna penting bagi penyandera daripada krisis itu sendiri.

Tambahan Revisi
Yang terpenting dari psikologi negosiasi adalah bukan negosiator atau siapa yang melakukan negosiasi, tetapi adalah ilmu dari psikologi negosiasi tersebut.

Chapter 6: Interview and Interrogation


The Psychology of Interviewing
Interaksi berhadapan dapat membuat pewawancara dapat melihat bahasa non-verbal seperti gesture yang dapat membantu interpretasi hasil wawancara. Detecting Deception Polisi pewawancara mengaku bahwa mereka dapat mendeteksi kebohongan berdasarkan pergerakan mata, postur, perubahan nada suara, ekspresi wajah, posisi kepala, dan aksi lainnya. Tapi menurut penelitian yang ada sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan apakah polisi yang mewawancarai itu dapat mendeteksi kebohongan dengan pewawancara biasa. Kunci untuk bisa mendeteksi penipuan sangat banyak: pengetahuan pada kasus tersebut, informasi yang diketahui sebelumnya seperti hasil pemeriksaan lab dan pernyataan saksi, setting wawancara, kealamiahan wawancara, mood atau sikap yang diwawancara, latar belakang atau tingkat dari pelatihan investigator, dan kemampuan untuk membangun rapport. Foster dan Marshall (1994) percaya bahwa terdapat perilaku yang secara tidak sadar dilakukan yang menjadi penentu apakah orang tersebut berbohong atau tidak. Hal ini didukung Walters (2003) yang menyatakan bahwa terdapat kebocoran perilaku yang merupakan respon dari fight-or-flight stress. Terdapat penggunaan polygraph atau alat untuk mendeteksi kebohongan dengan cara mendeteksi detak jantung dan nada suara. Alat ini digunakan dengan cara memberikan beberapa pertanyaan terkait dengan kasus dan biasanya bisa berulang kali. Vrij (2009) berpendapat bahwa masalah yang ditemukan dari pewawancara adalah mereka terlalu mengandalkan bahasa non-verbal untuk mendeteksi penipuan daripada hasil olahan dari verbal itu sendiri. Kebudayaan dan kepecayaan juga dapat mempengaruhi pendeteksian penipuan ini. Vrij, Mann, Kristen, dan Fisher (2007) menemukan 3 cara wawancara polisi penuduhan, pengumpulan informasi, dan analisis perilaku menentukan bahwa bentuk terbaik dari wawancara polisi adalah pengumpulan informasi. Hal ini karena memerlukan acuan verbal untuk mendeteksi kebohongan dan lebih mengolah data yang disampaikan oleh yang diwawancara. Tekanan yang dihasilkan wawancara penuduhan membuat hasil jadi lebih bias.

Oleh karena itu cara mewawancarai sangat memnetukan hasil dari assessment yang diwawancarai, terutama jika ingin melihat respon non-verbal. Personality Types Sangat penting untuk bergerak lebih dari taktik untuk menjelaskan tipe kepribadian, asosiasi mood, dan filter/karaktersitik yang mereka tunjukan ketika wawancara berlangsung. Berikut beberapa tipe kepribadian atau reaksi yang dimunculkan ketika wawancara berlangsung: The Feeler or Introverted Personality: perasa mengatasi stressnya secara internal dan mencari homeostatis, atau penyemibang yang dapat diperoleh dari kestabilasasi melalui tawar menawar jika penting. Walters (2003) menyatakan bahwa proses informasi si perasa berdasarkan internalisasi emosi dan observasi yang dapat dijabarkan sebagai persepsi. The analyzer, extravert E Personality, or Logic Dominant Personality: tipe ini dapat mengekspresikan berbagai emosi, tetapi berbeda dengan dengan perasa, tipe ini sangat kognitif dalam menalar, penolakan emosi (Foster dan Marshall, 1994; Walters, 2003). Foster dan Marshall (1994) menyatakan bahwa si analisis sangat rasional dan hanya isu yang relevan pada tipe ini yang membutuhkan menalar dan berpikir logika. The Driver or Active Extravert E: tipe ini energetic dan perlakuannya terlihat demonstrative; si pendorong/aktif ekstrovert ini harus dikendalikan atau mencari pusat perhatiannya. Walters (2003) menjelaskan bahwa si pendorong impulsive edngan kemampuan untuk mengubah topic atau pola berpikirnya secara cepat, dan ketika merespon stress, tipe ini akan lebih impulsive. Tipe pola berpikir ini untuk menyerang sumber stress yang dapat dijelaskan sebagai amarah. The Elistis or Ego-Dominant Extravert: tipe ini menerima dirinya sebagai orang yang berbakat dan melebihi rata-rata. Tipe kepribadian ini tidak memiliki rencana untuk menyerah dan tidak siap jika mengalami kegagalan. Ketika stress tipe ini cederung depresi. Sebenarnya dari tipe kepribadian tersebut, sama seperti seorang negosiator, kita tidak menutup kemungkinan akan hal lain yang dapat terjadi. Oleh karena itu dituntut ke flexibelitas

dan keterbukaan dengan kondisi apapun yang dapat terjadi. Yang terpenting adalah proses persiapan dan pemahaman dengan pelaku atau orang yang diwawancarai tersebut.

False Confessions
Semua orang pastinya tidak akan mau mengakui kesalahan yang mereka tidak pernah perbuat. Namun, pada situasi ini, wawancara yang dilakukan dapat mengintimidasi sehingga dapat mendorong hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti mengakui kesalahan yang tidak diperbuat agar wawancara tersebut selesai. Polisi dapat menggunakan suatu trik agar yang diwawancara tersebut dapat mengaku. Batas dari hal ini adalah membuat ancaman, yang dapat menyebabkan paksaan, yang dapat diasaosiakan kesalahan pengakuan. Sangat penting untuk mengatur intergritas pada fakta kejahatan yang tersembunyi dan membuat tersangka menjabarkan detail dari kejahatan yang jauh dari sesuai.

Eyewitness Testimony
Dari sudut pandang penyelidik, penting untuk memahami tiap kesaksian yang memberikan informasi, membuat penyelidik menyusun teka-teki dari kejadian yang sebenarnya terjadi (Brewer, Weber, & Semmler, 2007; Hardy & Heyes, 1999; Karpadis, 2003). Malpass, Ross, Meissner, dan Marcon (2009) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi kesaksian termasuk persepsi, ingatan, kognisi, dan penghakiman. Namun, polisi sendiri kadang mempengaruhi atau menginterupsi kesaksian dengan menyediakan foto bukti atau pelaku. Polisi harus berhati-hati untuk membuat hal tersebut tidak bias. Begitu juga dengan cara membariskan pelaku, karena saksi harus memilih salah satu dari pelaku-pelaku tersebut walaupun bisa saja pelaku bukan diantara dari mereka yang hadir. Ketika berurusan dengan kesaksian dan korban, penyelidik secara ideal menemui langsung mereka di tempat kejadian atau membuat mereka menjelaskan hubungan mereka dengan insiden tersebut. Penyelidik harus menyadari akibat dari insiden tersebut yang mungkin akan mempengaruhi kesaksian. Terakhir, penyelidik juga harus memiliki penyelidik independen hadir untuk membariskan korban/saksi.

Kesimpulan
Wawancara penyelidikan diatur oleh beberapa aturan, tetepai polisi masih memiliki permasalahan dengan pembatas legal yang berhubungan dengan keputusan Miranda. Penelitian menunjukkan bahwa polisi percaya dengan memperoleh pengakuan merupakan aspek penting pada wawacara penyelidikan, ketika sebenarnya yang penting adalah informasi dan penemuan fakta. Walau penjurian masih belum pasti karena berhubungan dengan kemampuan penyelidik untuk mendeteksi kebohongan, dan metode yang digunakan, wawancara dapat memperoleh informasi penting. Bagaimana pun juga kunci dari wawancara yang baik adalah kemampuan untuk memahami pelaku dan menemui orang yang dibutuhkan melalui empati, active listening, dan menanyakan pertanyaan terbuka.

Chapter 7: The Psychology of Threat Assessment


Targeted Violence
Targeted violence atau target kekerasan merupakan istilah yang dikembangkan pada tahun 1992 yang dikemukakan oleh organisasi rahasia dalam Exceptional Case Study Project (ECSP) yang mengartikan sebagai kejadian kekerasan dimana penyerang memilih target mereka untuk melakukan aksi kekerasannya. Aksi ini dapat diaplikasikan diberbagai aksi kekerasan baik premediasi dan direncanakan. Target kekerasan ini tidak hanya sebatas kepada orang saja tetapi juga bisa sebuah organisasi.

Motivations
Kita sering memiliki pemikiran sedikit mengenai pikiran pelaku sebelum kejahatan terjadi; oleh karena itu tugas penyelidik lah untuk mengkonstruksi motif dibalik kejahatan berdasarkan bukti yang ada. Tetapi kejahatan bertarget merupakan pengecualian, karena terdapat perencanaan yang dilakukan terlebih dahulu dan tujuan pelaku adalah sebuah pernyataan perngakuan. Pesan yang diberikan melalui bentuk komunikasi dan moti yang jelas termasuk penolakan; perbedaan ideology; keinginan untuk menyombongkan diri, paranoid, delusi, psikiotik, atau pikiran mengamuk; mencari kekuatan/pengendalian; atau alasan unik personal dari pelaku.

Terrorism
The Typologies of Terrorism

Tidak ada tanda-tanda khusus yang mendakan bahwa seseorang itu adalah seorang teroris. Gurr (1989) menemukan 4 tipologi dari terorisme, deimana bedarasarkan ideologis kepercayaan atau politik pada suatu kelompok dan anggotanya: (1) Vignilante terrorism, dimana mencakup tindakan yang di inisiasikan oleh kelompok tertentu ke kelompok lainnya dengan oposisi perubahan sosial. (2) Insurgent terrorism, meliputi tindakan grup tertentu dengan tokoh public atau institusi dengan tujuan perbuhan radikal politik. (3) Transnational terrorism, meliputi insiden internasial dimana direncanakan dan dilatih yang bertempat disuatu Negara dan menyerang di tempat lainnya. (4) State terrorism, dimana tipe terorisme yang dekat berhubungan

dengan penyerangan pemerintah dengan wargnaya sendiri dengan tujuan untuk membangun kendali absolut atau mengakhiri perbedaan pendapat politik. Post (2007) mengkategorikan terorisme menjadi 3 kategori utama political, criminal, dan patologikal, dengan terorisme politik yang lebih detail dan memiliki banyak subkategori. Kategori dari terorisme politik adalah sayap kiri, sayap kanan, isu pemisahan Negara, agama, dan lainnya.
Right Wing Extremist/Terror Organizations

Kategeori ini biasanya berada di Amerika Serikat. Ideology kelompok ini lebih kepada ras kaukasia, pencekalan lesbian dan homoseksual, kebencian atas pemerintah dan ketidak percayaan kepada media massa (Gurr, 1998; Laquer, 1999; Smith, 1994; White, 2006). Laquer (1999) menyatakan bahwa kelompok ini sangat terorganisir dan sering terbagi beberapa cabang, tetapi idelogis mereka menjadi katalis dalam perkembangan tiap individu atau kelompok kecil.
Left-Wing Extremist/Terror Organizations

Kategori inini memiliki 2 tujuan yaitu revolusi sosial dan/atau pemisahan sosial. Idelogis mereka berdasarkan komunisme. Hal ini sangat kontras dengang sayap kanan tetepi yang menjadi persamaan adalah mereka sama-sama ingin adanya perubahan ekstrim pada system pemerintahan sekarang dan memiliki ideology yang kuat sebagai dasar pergerakkannya. Kelompok ini kuat pada tahun 1960-an dan 1970-an
Religious Extremists/Terror Organizations

Agama merupakan salah satu area yang menjadi pusat dari motivasi kelompok dan system kepercayaan terorisme. Kategori ini mengaku bahwa mereka berjalan dengan jalan Tuhan dan kehendak-Nya. Ketika mengaplikasikan ekstrimis agama, lebih baik menyatakan bahwa terdapat berbagai macam derajat fanatisme dan terdapat berbagai macam doktrin yang berbeda diseluruh dunia ini (Laqueur, 1999).
Single-Issues Extremism/Terror Organizations

Teroris ini memiliki ketertarikan pada isu tertentu seperti lingkungan, hukim aborsi, dan hak asasi hewan. Hampir dari seluruh kelompok teroris ini mengadopsi filosofi organisasi tanpa adanya pemimpin.

The Psychology of Terrorism

Terdapat berbagai macam perbedaan system kepercayaan yang terjadi pada tiap kategori. Setiap orang yang mengikuti oranganisasi tersebut tidak dapat dinyatakan memiliki penyakit mental dan tidak ada pula bukti biologis yang menyatkaan hal tersebut. Penelitian pada psikologi teroris tidak meperlihatkan adanya psikopatologi dan bahkan mereka terlihat sangat normal (Goodin, 2006; Laqueur,1999; McCauley, 2007; Post, 1998). Tujuan dari terorisme adalah mengubah system kepercayaan individu pada kelompok tersebut. Bahaya dari perubahan tersebut adalah individu tersebut tidak dapat memikirkan tentang dirinya sendiri. Terdapat 3 tipe ekstrimis berdasarkan kebutuhan psikologisnya: (1) kelompok fight-flight, dimana mereka menjustifikasi eksistensinya berdasarkan ancaman yang diterima, (2) kebergantungan kelompok, yang mengikuti arahan dari pengeruh pemimpinnya, dan (3) kelompok berpasangan, yang percaya tindakan mereka akan menimbulkan messiah baru. Grossman (1995) menjelaskan kekuatan komitmen dari kelompok terorisme sangat kuat ketika masa perang; dibandingkan dengan pemeliharaan diri, rasa penghargaan untuk mengikuti perintah adalah yang terpenting bagi anggotannya. Kelompok ini terlihat tidak terpimpin seakanakan mereka mengikuti kata hati mereka. Janis (1972) mengemukakan bahwa kelompok ini terpengaruh oleh pemikiran kelompok yang mengacuhkan alternative dan membuat keputusan irasional, termasuk rasa kemanusiaan terhadapp kelompok lain. Dinamika kelompok tersebut dalam istilah psikologis disbut sebagai lingkaran proyeksi. System kepercayaan/ideologi membuat kelompok tersebut memproyeksikan seluruh sikap negative dari dia sebagai musuh kelompok tersebut. Tidak adaanya rasa kemanusiaan musuh mereka membuat teroris untuk meminimalisisr dampak trauma atau dampak dari tindakan mereka. Pemikiran kelompok dapat menyebabkan dan menguatkan kohesi dan ini membuat persespsi ketidakadilan yang terjadi hampir diseluruh kelompok teroris. Pemikiran tersebut terjadi pada kevakuman dan menyebabkan persepsi realitas yang salah. Symptom dari pemikiran kelompok merupakan ilusi dari ketidak berdayaan, usaha pengumpulan untuk merasionalisasikan diri, kepercayaan moral yang tidak dapat disatukan, stereotype pemimpin musuh, tekanan langsung, mendeviasikan penyaringan diri, ilusi pada kebulatan suara, dan pemnunjukkan diri dengan perlindungan pikiran (Janis, 1972). Aksi mereka bukan merupakan hal yang

menyebabkan terorisme tersebut , tetapi tentang kelompok itu sendiri, dan ideology mereka merasionalisasikan aksi terorisme (Bergman, 2003; Martin, G., 2007; Post, 1998).

Stalking
Walaupun, peneliti sulit untuk mengartikan penguntit karena banyakan komponen psikologis, tetapi terdapat elemen universal yang terdapat pada penguntit: 1. Dengan sengaja, niat tidak baik, dan berulang mengkuti, pelecehan, atau cyberstalked oleh orang lain dan/atau 2. Membuat suatu ancaman 3. Dengan tujuan menggantikan korban atau relative kornan dalam alasan ketukan pada melukai fisik dinyatakan sebagai penguntitan. Aksi tersebut tidak hanya terbatas pada orang dengan delusional obsesif. Aksi penguntitan ini bisa saja dihasilkan dari perpisahan sebelah pihak sehingga orang yang ditinggalkan tersebut masih tidak terima dan mulai untuk menguntit korban. Korban dilihat sebagai property yang dapat dikendalikan oleh penguntit. Pelaku merasa memiliki kepemilikan terhadap korban. Jika terdapat kekerasan dalam hubungan itu merupakan salah satu indikasi untuk penguntitan dan hal ini menimbulkan attachment yang tidak sehat.
The Psychology of Stalking

John Bowlby (1988) mengemukakan teori attachment dimana perilaku tersebut orang tersebut mencari kenyamanan dalam kedekatan dari orang lain yang menerima dapat mengatasi dengan isu yang ia rasakan seperti stress, kelelahan, dan kesakitan yang berlebihan. Jika mereka terpisah orang tersebut dapat merasa stress dan cemas. Solusi sehat dari kecemasan ini adalah memperoleh homeostatis dengan memperoleh objek stabilitas atau menerima kehilangan dan move on. Teradapat 4 attachment terkenal, yaitu secure attachment, preoccupied attachement, fearful-avoidance attachment , dan dismissing-avoidant attachment. Tidak ada dari attachment tersebut yang berlangsung selamanya, hal ini karena pasti disuatu titik orang dapat mandiri. Baum mengemukakan, 3 kategori lain pada penguntit dan peleceh yang teridentifikasi, yaitu

pelaku yang mengetahui korban, pelaku yang merupakan orang asing, dan pelaku yang tidak diketahui. Threat Management Unit (TMU) mengemukann juga jenis kategori, yaitu: 1. Intimate: dimana terdapat kekerasan domestik yang dilakukan saat menjalin hubungan. Motivasi penguntit adalah untuk memaksa mantan pasangannya tersebut balik menjalin hubungan atau mencari pembalasan dengan membuat hidup mantan pasangannya tersebut menderita/ 2. Brief dating: tidak terdapat kekerasan dan salah satu pasangan memutuskan bahwa hubungan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Di kasus tertentu, orang yang tersinggung tersebut merasa hilangnya kendali dan rasa kerusakan pada citra dirinya, dimana langsung berkoresponden Bartholomew (1990) yang

menyebabkan preoccupied attachment pada pelaku. Jika suatu penyakit mental terdapat pada orang tersebut, maka persepsi dan kemarahan di perbesar secara eksponensial dengan adanya penguntitan fisik dan/atau ancaman untuk melukai. 3. Nonintimate workplace: dapat bisa dijelaskan sebagai pekerja yang telah dipecat. Karyawan tersebut mengincar atasannya atau rekan kerjanya atau kombinasi hal tersebut sebagai sumber permasalahan yang terjadi. 4. Workplace adoration: ketika suatu karyawan kagum kepada karywan lain tetapi saran yang ia berikan kepadanya ditolak. 5. Non-intimate relationship: jika dikategorikan dalam Baum, pelaku merupakan orang yang mengetahui korban. Biasanya terjadi karena perbedaan persepsi atau karena saran yang ia berikan ditolak. Love obsessional adalah tipe yang paling berbahaya. Hal ini dijelaskan sebagai kurang terbentunya hubungan dan jerat dengan kategori orang asing dan orang yang tidak diketahui. Subkategori termasuk: 1. Famous/public figure love obsessional meliputi hampir pada semua penguntit yang tidak pernah memiliki hubungan yang sehat. Perlaku dari kluster ini berhubungan dengan preoccupied attachment. Pelaku dalam kasus ini percaya bahwa orang yang dikuntit mengetahui pelaku, dan mereka percaya bahwa mereka dapat menjalin

hubungan intim. Penguntit memulai dengan membuat surat penggemar atau terus berusaha menghubungi korban. 2. Ordinary/common citizen love obsessional: melibatkan penguntit yang perilakunya mulai ketika ia mendapatkan kontak korban melalui suatu sumber. Baum dkk (2009) mengkategorisasikannya pelaku sebagai orang asing atau tidak diketahui. Biasanya penguntit mulai menghubung mereka walaupun hal ini dinyatakan tidak berbahaya dari obsesi sederhana, biasanya karena perlakuannya lebih kepada melecehkan daripada menguntit secara fisik. DSM-IV-TR menjelaskan bahwa mereka merasa delusional memiliki hubungan yang ideal dengan korban, berlawanan dengan yang romantic realistis. Untuk mendapatkan hubungan tersebut, pelaku berusaha untuk mendapatkan perhatian korban, bahkan dengan menguntit. Kelompok ini sangat agersif, walaupun dapat menyebabkan kekerasan fisik. False victimization syndrome merupakan kategori Zona yang terakhir. Mereka berusaha mencari perhatian dan merasa penguntit itu salah.

School Shootings
Perilaku penembakkan ini biasanya terjadi karena tekanan di sekolahnya, seperti penindasan. Karena pelaku tidak dapat meregulasi emosinya dan merasa hukuman yang pantas bagi temannya tersebut adalah melakukan penembakkan di sekolah.
Social Learning and Modeling

Penembakan di sekolah ini dapat dijelaskan dengan teori social learning dari Bandura (1973). Hal ini terlihat bahwa para pelaku biasanya meniru dari tokoh-tokoh yang tidak benar seperti gangster, rapper, tokoh dalam video game, dan sebagainya. Mereka melihat mereka memiliki suatu kesuksesan dengan melakukan kekerasan. Oleh karena itu arahan dari orang tua sangat penting untuk mencegah hal tersebut.
The Psychology of School Shooting

Vossekuil (2002) menyatakan 71 persen dari penyerang merasa terancam, terlecehkan, tertindas, diserang, maupun disakiti oleh teman sekelasnya. Self-image dari penyerang sudah rusak karena penindasan tersebut dan tidak ada hal yang dapat menyebuhkan hal tersebut selain

melakukan penyeragan di sekolah. Beck (1999) berpendapat terdapat interaksi antara kepribadian dengan lingkungannya. Karena ia merasa tertindas, pelaku menjadi agresif sebagai tindakan self-defence dan keinginan untuk mengendalikan atau membalas penindasan tersebut. Pelaku merasa kewalahan dengan permasalahan yang dihadapinya sehingga penyaluran yang dilakukan adalah menyerang teman sekolahnya tersebut.

Penyerang telah merasa ditindas, dikucilkan, dan dianggap sebagai terasingkan oleh teman sekelasnya

pelaku memikirkan dan merasa perubahan dari frustasi menjadi kemarahan. penyerang menyalahkan sekolah

Penyerang merasa bahwa dia telah kehilangan kendali dan butuh untuk mengembalikan rasa pada dirinya dan rasa hormat dari temannya. Dia mempelajari penyerangan sekolah di tempat lain

penyerang merencanakan dan mendokumentasi kan aksinya yang berupa khayalan kekerasan

Jika tidak terdapat intervensi, pelaku melancarkan aksi,

Threat Assessment
Threat assessment adalah kemampuan untuk memprediksi kejahatan bertarget, pelecehan seksualm atau penyerangan secara cyber agar dapat mencegah tindakan tersebut terjadi. Terdapat 3 fungsi dari dari threat assessment program adalah: mengidentifikasi pelaku, menilai resiko dari kejahatan di waktu tertentu, dan mengatur pelaku kejahatan dan ancaman pelaku kejahatan yang dilakukan kepada korban.

Prediksi

Prediksi yang dilakukan bisa berasal dari wawancara, atau data sejarah dari pelaku. Hasil psikotes juga dapat membantu untuk memprediksi ancaman yang akan datang. Terdapat 4 hasil untuk memprediksi: salah positif, dimana prediksi adanya ancaman terbukti salah, salah negative, dimana prediksi tidak adanya ancaman terbukti salah, benar positif, tidak ada ancaman terbukti benar, dan terakhir adalah benar negative, terdapat ada ancaman dan terbukti benar.

Kesimpulan
Jadi terdapat berbagai macam kejahatan secara sengaja dengan menargetkan seseorang, organisasi, bahkan pemerintah. Bentuk kejahatan tersebut dapat berupa terorisme, penguntitan, bahkan penyerangan sekolah. Untuk itulah dibutuhkan threat assessment untuk dapat memprediksi kejahatan hal tersebut dan mencegah hal tersebut terjadi.

Tambahan Revisi
Semua perilaku di dalam bab ini berhubungan dengan konsep psikologi yang berasal dari Melayu yaitu Amok. Amok merupakan suatu gangguan kepribadian dimana terpendamnya emosi negative atau tidak disalurkan sehingga menyebabkan suatu saat ketika orang tersebut tidak dapat memendam lagi emosi tersebut, ia meledak atau menyalurkan emosi negative dengan cara berteriak atau bisa juga melakukan hal-hal ekstrim lainnya misalnya membunuh. Tujuan dari threat assessment ini adalah agar kedepannya bisa memprediksi dan mengantisipasi amok dan kejahatan yang terjadi pada bab ini.

Anda mungkin juga menyukai