Anda di halaman 1dari 6

.

Materi khotbah kali ini merupakan penjabaran dari istilah rahmat dalam ayat Az-Zumar 53 yang
berbunyi:


Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Bahwasannya kita semua dilarang untuk merasa putus asa atas rahmat Allah swt. Bagaimana kita
akan putus asa kalau kita sendiri tidak memahami rahmat itu sendiri. Oleh karena itulah tema
khotbah kali ini akan lebih banyak membicarakan hal tersebut.
Sebuah kisah yang berdasarkan pada hadist Rasulullah saw dari cerita Malaikat Jibril sungguh
dahulu pernah ada seorang hamba (abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling
tinggi di dunia. Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (jibril) sering melaluinya ketika
hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha Kuasa. Gunung itu tidak begitu
luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan makanan dan buah-buahan juga air terjun yang
menyegarkan. Hal itu mempermudah abid menjaga perut dari kekosongan dan memudahkannya
berwudhu sehinga ia selalu dalam keadaan suci.
Di atas gunung yang sangat indah itu, abid hidup selama lima ratus tahun. Ia tidak punya
kegiatan, selain beribadah, bermunajat, dan berdoa, tidak pernah terlintas dibenaknya untuk
berbuat dosa dan mendurhkai-Nya. Salah satu doa yang dikabulkan Allah swt adalah
permohonannya setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya abid
meninggal dunia dalam usia limaratus tahun.
Setelah kematiannya Allah swt berkata kepadanya wahai hambaku karena rahmat-Ku, kau akan
segera aku masukkan ke dalam surga. Mendengar pernyataan tersebut si abid berubah
mukanya, terkesan tidak terima. Karena ia merasa bahwa amal-ibadahnnya selama lima ratus
tahun tanpa dosa lah yang menyebabkannya layak masuk ke surga. Bukan semata karena rahmat-
Nya. Demikian protes abid kepada Allah swt.
Mafhum apa yang dimaksud oleh si abid. Maka segeralah Allah menugaskan seorang malaikat
untuk menghitung dan menimbang seluruh amal-ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa
yang diandalkannya sebagai modal meraih sorga. Kemudian ditimbangnya amal tersebut
dibandingkan dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah swt yang diberikan kepada
abid yang terdapat dalam mata (termasuk di dalamnya kemampuan melihat) saja jauh lebih
berat nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus tahun. Belum nikmat anggota
badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan seterusnya.
Maka sesuai dengan protes yang diajukannya, Allahpun memerintahkan malaikat untuk
menyeret si abid ke dalam neraka. Karena nilai amal-ibadahnya jauh lebih ringan dari pada
rahmat yang terdapat pada mata. Ketika itulah si abid baru sadar ternyata kebergantungannya
pada amal tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia meminta ampunan dan mengakui akan
segala kesalahan dan kesombongannya. Ia terlalu mengandalkan amal ibadahanya dan
mengabaikan rahmat-Nya.
Akhirnya Allah mengampuninya dan sekali lagi menanyakan kepada si abid apakah engkau
masuk surga ini karena amalmu? si abid menjawab tidak ya Allah Tuhanku, sungguh ini
semua karena rahmat-Mu.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Cerita di atas membuktikan betapa hidup manusia ini sangat tergantung pada rahmat Allah swt
sebagai pengatur alam jagad raya. Ia-lah yang menentukan semuanya. Ia berhak melakukan
apapun kepada makhluk-Nya. Sebagai Sang Pencipta, sebagai Sang Maha Kuasa, Dia bebas
menyiksa dan mengganjar siapa saja yang Ia mau. Tidak ada yang dapat membatasi gerak-Nya.
Ketundukan atau kedurhakaan kita kepada-Nya tidaklah mampu menggeser kekuasaannya walau
sedikitpun. Oleh karena itulah hidup semua makhluk ini sungguh-sungguh tergantung paa
rahmatnya, bukan pada kesalehan amal ibadah kita.
Oleh karena itulah kita diajari sebuah doa yang sangat masyhur:
,

Irhamna ya Allah, lianna rahmataka arja lana min jamii amlina. Waghfir lana ya Allah, lianna
maghfiratakan ausau lana min dzunubina.
Ya Allah kasihanilah kami, karena rahmat-Mu lebih kami harapkan dari pada semua amal kami.
Dan ampunilah kami, karena pengampuanan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kami.
Begitulah hendaknya, manusia sebagai hamba yang lemah tidak dibenarkan terlalu merasa aman
dengan amal ibadah yang telah kita kerjakan. Karena hal itu tidak serta merta mampu
menyelamatkan diri kita. Karena keselamatan dan pertolongan itu terkandung dalam rahmat-
Nya.
Dengan kata lain, sungguh merugi jika manusia merasa nyaman dengan tumpukan dan
penjumlahan amal yang telah dilakukannya, dengan harapan amal-ibadah itu akan
menyelamatkannya dari api neraka. Sebuah kisah masyhur dari kitab Nashaihul Ibad karya
Syaikh Nawawi al-Bantani tentang al-Ghazali. Diceritakan bahwa Imam Ghazali tampak dalam
mimpi, maka ia ditanya apa yang Allah lakukan kepadamu? lalu ia menjawab Allah
membiarkanku di hadapan-Nya, kemudian Allah berkata, Kenapa Engkau dihadapkan kepada-
Ku, apa yang engkau bawa? Maka aku (al-Ghazali) menyebutkan segala amal-ibadahku. Tapi
Allah menjawab sesungguhnya Aku tidak menerima semua amal-ibadahmu, kecuali satu amal
pada suatau hari ketika kamu membiarkan sesekor lalat hinggap di atas tintamu dan meminum
tinta itu dari ujung penamu, serta engkau membiarkannya karena kasihan kepada lalat itu.
Kemudia Allah berkata wahai malaikat, bawalah hambaku ini ke surga.
Fragmen Al-Ghazali ini menunjukkan kepada kita bahwa posisi rahmat Allah itu sangat rahasia.
Ia bisa terdapat bentangan amal kita yang tidak kita ketahui persisnya. Beratus-ratus kitab karya
al-Ghazali, bertahun-tahun ibadahnya, tetapi rahmatnya malah terdapat di tinta pada ujung
penanya? Bukankah secara logika ratusan karya itu lebih bernilai? Tidak demikian. Rahmat-Nya
tidak dapat dikalkulasi, diprediksi dan diperinci karena rahmat itu adalah hak prerogatif milik-
Nya.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah
Oleh karena itulah tidak dibenarkan bagi kita untuk menilai rendah sebuah amal ibadah.
Walaupun itu sekedar menghindarkan duri dari tengah jalan. Karena bisa saja amal itu yang
dirahmati Allah swt. Kita tidak boleh meremehkan amal walau sekecil apapun siapa tahu itulah
yang akan menyelamatkan kiat di akhirat nanti Bukankah Sayyidina Umar masuk surga karena
sekedar menyelamatkan burung emprit yang dibelinya dari seorang anak kecil yang menyiksa
burung itu? cerita ini kemudian diabadikan dengan sebutan kitab sfuriyah. Begitu sebaliknya.
Kita tidak dibenarkan pula menyombongkan amal ibadah walau sebesar apapun amal tersebut.
Karena belum tentu amal itu mengandung rahmat-Nya.
Jamaah Jumah yang Disayangi Allah
Dalam konteks kekinian rahmat Allah dapat saja berada dalam amal yang sungguh sepele.
Mungkin saja rahmat itu terletak dalam diri anak-anak jalanan yang mengulurkan tangan ke
hadapan kita, atau di dalam diri pengamen yang menyanyikan lagu sumbang tak jelas suara dan
nadanya. Dan juga mungkin sekali rahmat itu terletak dalam amal kita dalam memberi selembar
kertas koran sebagai alas shalat jumat. wal hasil sekecil apapaun amal itu tidak boleh kita
sepelekan.
Hal ini tentunya akan mengajak kita memandang fenomena akan lebih hati-hati dan tidak mudah
syuud dhann. Janganlah kita mudah buruk sangka dan memandang remeh kepada pekerjaan
orang lain. Tukang sayur yang mangkal setiap pagi, tukang loper koran, tukang ojek dan tukang-
tukang lain yang sering kita nikmati jasanya tanpa kita kenal profilenya dengan dekat, bahkan
seringkali kita jadikan kambing hitam, bisa jadi pekerjaan merekalah yang mengandung rahmat
Allah swt dibandingkan pekerjaan kita.
Akhirul kalam, bahwasannya manusia tidak boleh berputus asa untuk terus memburu rahmat
Allah, karena sesungguhnya rahmat itu amat luasnya, hanya kebanyakan manusia tidak
memahami hikmah dibalik itu semua.
Demikianlah khotbah jumah kali ini semoga membawa banyak manfaat. Minimal meyakinkan
pada diri kita agar tidak mudah memandang remeh pada amal-amal kecil dan juga amal-amal
orang lain.
,


Khutbah II

Anda mungkin juga menyukai