Anda di halaman 1dari 8

Marilah kita senantiasa berusaha untuk meningkatkan takwa kepada Allah dengan

sungguh-sungguh agar hidup ini menjadi semakin berkualitas bagi diri dan
masyarakat seiring dengan bertambahnya usia, seiring dengan perubahan yang
selalu terjadi pada diri kita, dan seiring dengan dinamika keadaan yang melingkupi
kita.

Konsep siklus hidup dalam Islam menghendaki kehidupan hari ini harus lebih baik
dibanding dengan kemarin dan kehidupan esok harus lebih baik dibanding dengan
hari ini.

Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran untuk menghadapi hari
esok. Allah berfirman:

"Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS. Al-Hasyr: 18)

Hari ini kita berada pada puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Padang Arafah, rukun
haji yang tidak bisaditinggalkan (alhajju ‘arafah).

Keniscayaan yang tidak dapat ditawar sehingga mereka yang sakitpun kita bawa ke
sini lewat safari wukuf.

Siapa yang melewatkan wukuf di Arafah maka tidak sah ibadah hajinya.

Ini memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari ada hal hal
yang mau tidak mau harus kita jalankan untuk kepentingan tertentu, suka tidak suka
siapapun orangnya ia harus tunduk melaksanakan suatu kewajiban.

Kehidupan kita sehari-hari selalu diwarnai dengan apa yang harus dilakukan, apa
yang harus ditinggalkan, apa yang dianjurkan dan apa yang sebaiknya ditinggalkan
agar hidup menjadi nyaman dalam interaksi dengan sesama manusia, selalu damai
dan terhindar dari konflik yang merugikan.

Jika kewajiban sudah diabaikan, jika larangan sudah diterjang tanpa merasa
bersalah dan jika anjuran untuk berbuat baik tak didengar lagi, maka keseimbangan
tatanan masyarakat akan terganggu dan kita berada dalam goncangan yang
merugikan masyarakat secara luas.

Di padang Arafah ini kita bersimpuh dengan pakaian ihram, selembar kain tak
berjahit yang dililitkan ke tubuh kita, laksana mayat yang akan menghadap sang
Khalik, tak membawa atribut, pangkat, dan kedudukan serta status sosial.

Prinsip persamaan derajat dan kedudukan (al musawah) inilah yang tercermin dalam
ibadah haji.

Kita diajarkan untuk tidak mementingkan ego masing-masing dan sebaliknya peduli
kepada urusan banyak orang.
Kita bisa berbagi dengan sesama, menolong mereka yang lemah, menunjukkan jalan
bagi mereka yang tersesat, berbagi kesempatan di tengah segala sesuatu yang serba
sempit dan terbatas.

Kita dibiasakan untuk menahan diri dari dorongan syahwatiyah dalam rangka makin
mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

Pada akhirnya, kita semuanya hanya membawa selembar kain kafan untuk
menghadap Ilahi dan pada saat ini kita diajarkan tentang kesadaran terhadap hal ini.

Terhadap kematian yang sering kita takutkan atau kita lupakan atau pura-pura lupa
dan tidak mau mengingatnya.

Kita dibiasakan untuk meningkatkan ketundukan pada kehendak Allah, menekan ego
masing-masing dan membiasakan diri untuk hidup apa adanya, bukan hidup apa-apa
ada dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya.

ita diminta sebanyak-banyaknya berzikir mengingat Allah agar hati menjadi tenang,
damai, khusyu’, dan itulah sesungguhnya puncak kebahagiaan sejati manusia tatkala
diri ini merasa begitu dekat kepada Allah, selalu mengingat-Nya dalam setiap situasi
dan akhirnya mampu berakhlak dengan akhlak Allah (takhallaqu bi-akhlaaqillah)
yang terefleksikan dalam perilaku sehari-hari yang santun, taat pada aturan, dan
berakhlak mulia dengan sesamanya.

Ketenangan jiwa tersebut sesungguhnyadapat dicapai melalui zikir sebagaimana


firman-Nya:

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hari mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram."

Berzikir untuk menyadari betapa kita ini kecil dan bukan apa-apa di depan
kemahakuasaan Allah Rabbul Izati.

Menegaskan kembali akan keagungan-Nya seraya menyambut panggilannya untuk


berhaji Labbai Allahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda
wanni’mata laka wal mulk laa syarika lak.

Kita datang dari tempat yang jauh dari segenap penjuru, ribuan kilometer kita
tempuh dengan segala suka dan duka dan antrean panjang kita tunggui dengan penuh
kesabaran.

Kini saatnya kita berada di puncak ibadah haji di sini.

Sepantasnyalah kita jadikan hari ini sebagai momentum untuk melakukan tranformasi
diri menjadi orang yang lebih menghayati makna ibadah yang kita lakukan, bertekad
untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dan berjanji untuk tidak melakukan
kesalahan di masa yang akan datang.
Kita istighfar minta ampun kepada Allah dari segala khilaf dan dosa yang kita
lakukan, sadar bahwa selama menjalani hidup tak akan luput dari perbuatan salah
dan dosa, sering abai terhadap aturan dan lalai dalam beribadah kepada-Nya.

Hari Arafah inilah saat doa kita didengar dan saat Allah mengampuni dosa kita.

Rasul bersabda: "Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari
neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan
keutamaan mereka pada para malaikat."

Kemudian Allah berfirman: "Apa yang diinginkan oleh mereka?”

Suasana Arafah seperti sekarang ini juga sekaligus merupakan momentum terbaik
bagi kita untuk muhasabah introspeksi tentang siapa kita, apa yang kita lakukan dan
ke mana akhirnya ujung dari kehidupan ini.

Alquran menjawab pertanyaan ini melalui episode penciptaan yang merefleksikan


apresiasi luar biasa atas entitas ciptaan-Nya yang memiliki keunggulan dibanding
dengan ciptaan lainnya.

Mari kita tengok episode penciptaan manusia yang digambarkan Al Quran surat Al
Baqarah ayat 30:

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat “Aku hendak menjadikan
khalifah bumi".

Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan mensucikan
namaMu".

Dia berfirman: “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Dalam ayat berikutnya Allah memberikan penegasan tentang entitas manusia yang
diciptakan sebagai makhluk yang memiliki keunggulan, yang memiliki kemampuan
mengidentifikasi objek sekelilingnya, dan bahkan melakukan penemuan atas hal-hal
yang sebelumnya tak terketahui oleh banyak orang.

Inilah kemampuan ilmiah manusia yang menjadi pembeda dengan makhluk ciptaan
Allah yang lain.

Namun demikian, di balik keunggulan itu ada kekuatan yang selalu membisik di
kanan kiri kita untuk melencengkan manusia dari jalan kebenaran.

Ini adalah miniatur manusia yang memiliki potensi untuk bertindak seperti hewan tak
kenal belas kasihan melakukan kekerasan, intimidasi, dan tindakan-tindakan radikal
karena ada kekuatan syaithoniyah yang akan menyesatkan manusia-manusia dari
jalan yang benar.

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya
akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari
kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat)".

Manusia memang dijadikan sebagai makhluk terbaik, tetapi bisa saja diturunkan
derajatnya serendah-rendahnya jika kehilangan aspek kemanusiaan yang mulia.

"Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sbeaik-baiknya,


kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serandah-rendahnya".

Mengapa demikian? Karena dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling
berkompetisi, yaitu aspek fujur dan aspek takwa.

"Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya".

Inilah konsep manusia sebagai makhluk bidimensional yang memberi ruang untuk
mengubah jalan sejarah dirinya menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah SWT.

Wukuf di Arafah seperti ini hendaknya tidak sekedar berdiam di padang Arafah.

Namun seyogyanya kita merenungkan makna yang dalam yang memberi isyarat
tentang ajaran kemanusaian yang berguna bagi hidup sehari-hari kita.

Pertama, kektika kita mulai mengenakan ihram dan diikat oleh sejumlah ketentuan
dan larangannya, maka hendaknya memberikan kesadaran bahwa dalam hidup ada
saatnya kita memulai sebuah transformasi secara sadar menuju keadaan yang lebih
baik.

Ketika kita mulai niat ihram kita memasuki dunia baru mengorbit kedekatan pada
Allah SWT.

Menghindari dari perbuatan-perbuatan yang dilarang dan memasuki suasana


spiritual baru, berzikir memuji kebesaran-Nya, meminta ampun segala dosa dan
berharap ridla-Nya, dan berharap diterima sebagai haji mabrur.

Hidup ini sesungguhnya tak dapat lepas dari batasan ruang dan waktu miqat zamani
dan miqat makani.

Ketika ada waktu-waktu tertentu kita diharuskan melaksanakan kewajiban, menjauhi


larangan.

Dalam hidup juga ada tempat yang wajib didatangi dan ada tempat-tempat yang
harus dijauhi.

Ada usaha untuk melawan keadaan agar menjadi baik karena kehidupan dalam Islam
bukanlah sebuah nihilisme yang hanya mengikuti arus sejarah secara pasif.
Allah memberikan kekuatan untuk memperoleh tempat yang lebih baik.

Kedua, ketika kita tidak boleh menggunakan wewangian selama ihram


mengisyaratkan agar tidak terikat kepada hal-hal yang ornamental dalam hidup
sehari-hari yang kadang dikejar hingga lupa diri.

Kita diminta untuk suatu saat menjadi diri kita sendiri tanpa ornament persis seperti
kondisi kita ketika dilahirkan dan kondisi kita ketika kembali kepada-Nya.

Dalam perspektif para muqarrabin (orang-orang yang dekat pada Allah), ornamen
kehidupan itu bahkan dapat membuat lupa diri dan memalingkannya dan lalai untuk
mengingat Allah.

Kehidupan dunia acapkali memang penuh dengan tipu daya.

"Kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdaya."

Kadang kita menjadi terhenyak dan baru ingat akan Allah saat berada dalam
kegalauan, berada dalam keterpurukan, berada dalam kondisi pailit dan lain-lain.

Ketiga, ketika kita tidak diperbolehkan untuk membunuh binatang, mencabut dan
mematahkan tumbuhan, memberi isyarat kepada kita agar memiliki kesadaran
terhadap ekologi dan ekosistem agar dapat hidup dengan keseimbangan saling
memberi dan menerima secara harmonis.

Allah memberikan anugerah alam seisinya dengan hukum-hukumnya (sunnatullah)


yang tak pernah berubah, yakni hukum kesimbangan ekologi dan ekosistem yang
harus dijaga karena manusia telah menyanggupi untuk mengemban amanah
mengelola alam seisinya.

Harus dilawan sikap merusak ekosistem dan ekologi yang akan menciptakan
kerusakan di darat dan lautan.

Hutan yang digunduli akan berakibat banjir, produksi karbondioksida akan


menciptakan efek rumah kaca dan mengakibatkan fenomena pemanasan global.

Tepatlah apa yang digambarkan Alquran ketika menyatakan bahwa kerusakan di


darat dan laut itu tersebab oleh ulah tangan manusia.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbautan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

Keempat, ketika kita dilarang memakai pakaian berjahit memberikan makna agar
kita hidup secara inklusif seperti pakaian yang dikenakan yang juga dipakai oleh
banyak orang.

Sikap ini sekaligus penegasan akan spirit Islam yang menjunjung tinggi spirit
egaliter, persamaan hak dan derajat dalam kehidupan sehari-hari.
Buang jauh-jauh kehendak untuk merasa dimiliki oleh banyak orang, superiority
complex dan menganggap sesamanya dengan sebelah mata.

Nabi dan para sahabat telah memberi contoh akan kehidupan yang penuh kesahajaan
dan sangat kontras dengan penguasa sebelumnya yang mementingkan hierarkhi dan
membuat jarak yang tak terjembatani dengan rakyatnya.

Kelima, ketika kita dilarang mencaci maki dan mengucapkan kata-kata kotor
memberi pelajaran agar kita dapat bersikap santun kepadasesama manusia tanpa
melihat latar belakang kelompok sosial dan agamanya.

Surat Al Hujurat ayat 13 yang sering dikutip sebagai referensi untuk menjelaskan
entitas manusia dan nilai-nilai perdamaian dalam Islam menyatakan:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesunguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

Ungkapan khitab ayat ini yang dinyatakan dengan kata-kata ‘yaa ayyuhan-naas’
memberi pengertian Allah mengajak bicara manusia secara universal bahwa manusia
diciptakan secara sosiologis menjadi berbangsa dan bersuku-suku untuk tujuan
saling mengenal satu dengan sesamanya.

Bukan untuk saling membunuh, bukan untuk saling konflik satu dengan lainnya,
bukan untuk saling menghujat satu dengan lainnya.

Ini semua dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat menata kehidupan yang bersifat
konsolidasi internal pada periode Makkah hingga saat membuat negara Madinah
yang bersinggungan dengan pihak kelompok lain yang beda agama.

Pemahaman terhadap esensi nilai-niali ibadah haji di balik yang tersurat, akan
menambah kualitas diri khususnya setelah melaksanakan ibadah dan pulang ke
Tanah Air.

Oleh sebagian ulama hal ini dipandang sebagai tanda-tanda haji mabrur.

Hasan Basri seorang ulama sufi abad delapan pernah menyatakan:

“Haji mabrur dapat dicapai jika pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan
mencintai akhirat” dan tanda-tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan
buruk yang dilakukan sebelum haji.

Dengan demikian harus ada perbaikan kualitas diri menjadi lebih baik dibanding
dengan sebelum haji.

Ketika Eropa bersuara lantang karena telah melahirkan masa pencerahan


(enlightment) di mana manusia dianggap telah menemukan jati dirinya sebagai
manusia dengan pemikiran kemanusiaan, ketika acap kali Barat dianggap yang
paling berjaya dalam urusan konsep kemanusiaan, ajaran tentang haji yang
direfleksikan dalam puncak ibadah di Arafah ini telah memancangkan tonggak bagi
kemanusiaan saat Nabi Khutbah Wada’ yang begitu menyentuh nilai-nilai
kedamaian, menghargai sesama dan menumbuhkembangkan spirit kebersamaan.

Kata-kata nabi begitu menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, mengapresiasi


persaudaraan dan perlindungan terhadap hak-hak orang lain.

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah SWT.

Hari Arafah seperti ini merupakan wahana training spiritual bagi kita semua yang
seharusnya berdampak pada peningkatan kualitas diri setelah selesai dan pulang ke
Tanah Air.

Inilah yang oleh ulama dikatakan sebagai indikasi haji yang mabrur saat kembali
dari Tanah Suci kelakuannya menjadi lebih baik dibanding masa sebelum haji.

Saat di Arafah juga mengajarkan pada kita agar terbiasa untuk menghadirkan Allah
dalam diri kita masing-masing.

Ketika di sini kita seakan lupa segalanya dan Allah hadir begitu dekat hendaknya
akan terbawa pulang sebagai hamba yang mampu menghadirkan Allah dalam sikap
dan perbuatan.

Merasa selalu dekat denganNya sehingga mampu menjadi alat kontrol terhadap
perbuatannya.

Nabi mengingatkan kita melalui ajaran Ihsan yang merupakan tindak lanjut dari
keimanan dan keislaman kita.

Dengan kata lain, jika ingin kita dapat selalu istiqamah konsisten dalam sikap dan
perilaku maka selain iman dan Islam dirasa perlu untuk melengkapinya dengan
Ihsan.

Ajaran Ihsan ini menjadikan diri ini merasa hidup dalam orbit Ilahi sehingga ke
mana saja dan di mana saja serta dalam keadaaan apa saja selalu ingat Allah.

Dia akan menjadi pengawas melekat pada diri sehingga mendorong untuk selalu
berperilaku positif di mana saja, taat aturan meski tak ada polisi.

Suasana Arafah akan melahirkan cara beragama yang tidak berisi aneka fragman
hidup tetapi melatih kita untuk berenang dalam samudra ilahi hidup serba ingat
Tuhan.

Dengan ungkapan lainmemberi penegasan agar masuk ke dalam Islam secara total.

"Hari orang-orang yang beriman, masuklah kami ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu." (QS Al Baqarah 108).
Sebagai akhir dari khutbah ini, saya ingin menegaskan bahwa pada saat dan waktu
yang hening dan sakral ini, kita hendaknya dapat muhasabah, untuk senantiasa
meningatkan ketakwaan, menyadari tanggung jawab kemanusiaan kita, menghormati
antar sesama, menjaga harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
senantiasa menyadari hak dan kewajiban kita, baik sebagai pemimpin maupun rakyat
biasa.

Revolusi mental untuk meneguhkan komitmen kebajikan antar sesama tanpa caci
maki dan saling hina.

Kita berharap agar rahmat, ridha dan ampunan Allah SWT tercurah kepada kita
semua, kepada warga bangsa, kepada para pemimpin kita, dan seluruh kaum
muslimin sedunia.

Mudah-mudahan kita dikaruniai haji yang mabrur, kembali ke Tanah Air dalam
keadaan bersih dan suci bagaikan anak yang baru lahir.

Anda mungkin juga menyukai