Anda di halaman 1dari 7

rafah (Kemenag) - Hari ini, Kamis, 9 Dzulhijjah 1438H bertepatan dengan tanggal, 31 Agustus 2017,

jutaan jemaah haji seluruh dunia tidak terkecuali jemaah haji Indonesia berkumpul di padang Arafah
untuk menunaikan wukuf. Naib atau wakil Amirul Hajj Prof.Dr. Abdul Djamil tampil menyampaikan
khutbah wukuf yang mengusung tema tentang Nilai-Nilai Kemanusiaan Ibadah Haji untuk
Meningkatkan Kualitas Keagamaan serta Tanggung Jawab Sosial.

Berikut petikan lengkap khutbah wukuf yang disampaikan Abdul Djamil di Arafah.

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah swt.

Marilah kita senantiasa berusaha untuk meningkatkan takwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh
agar hidup ini menjadi semakin berkualitas bagi diri dan masyarakat seiring dengan bertambahnya
usia, seiring dengan perubahan yang selalu terjadi pada diri kita, dan seiring dengan dinamika
keadaan yang melingkupi kita. Konsep siklus hidup dalam Islam menghendaki kehidupan hari ini
harus lebih baik dibanding dengan kemarin dan kehidupan esok harus lebih baik dibanding dengan
hari ini.Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran untuk menghadapi hari esok.
Allah berfirman:

Artinya: Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apayang telah diperbuatnyauntuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah swt.

Hari ini kita berada pada puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Padang Arafah, rukun haji yang tidak
bisaditinggalkan (alhajju ‘arafah). Keniscayaan yang tidak dapat ditawar sehingga mereka yang
sakitpun kita bawa ke sini lewat safari wukuf.Siapa yang melewatkan wukuf di Arafah maka tidak sah
ibadah hajinya.

Ini memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari ada hal hal yang mau tidak
mau harus kita jalankan untuk kepentingan tertentu, suka tidak suka siapapun orangnya ia harus
tunduk melaksanakan suatu kewajiban. Kehidupan kita sehari-hari selalu diwarnai dengan apa yang
harus dilakukan, apa yang harus ditinggalkan, apa yang dianjurkan dan apa yang
sebaiknyaditinggalkan agar hidup menjadi nyaman dalam interaksi dengan sesama manusia, selalu
damai dan terhindar dari konflik yang merugikan.

Jika kewajiban sudah diabaikan, jika larangan sudah diterjang tanpa merasa bersalah dan jika
anjuran untuk berbuat baik tak didengar lagi, maka keseimbangan tatanan masyarakat akan
terganggu dan kita berada dalam goncangan yang merugikan masyarakat secara luas.
Di padang Arafah ini kita bersimpuh dengan pakaian ihram, selembar kain tak berjahit yang dililitkan
ke tubuh kita, laksana mayat yang akan menghadap sang Khalik, tak membawa atribut, pangkat, dan
kedudukan serta status sosial. Prinsip persamaan derajat dan kedudukan (al musawah) inilah yang
tercermin dalam ibadah haji.Kita diajarkan untuk tidak mementingkan ego masing-masing dan
sebaliknya peduli kepada urusan banyak orang.Kita bisa berbagi dengan sesama.Menolong mereka
yang lemah, menunjukan jalan bagi mereka yang tersesat, berbagi kesempatan di tengah segala
sesuatu yang serba sempit dan terbatas.Kita dibiasakan untuk menahan diri dari dorongan
syahwatiyah dalam rangka makin mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

Pada akhirnya, kita semuanya hanya membawa selembar kain kafan untuk menghadap Ilahi dan
pada saat ini kita diajarkan tentang kesadaran terhadap hal ini.Terhadap kematian yang sering kita
takutkan atau kita lupakan atau pura-pura lupa dan tidak mau mengingatnya. Kita dibiasakan untuk
meningkatkan ketundukan pada kehendak Allah, menekan ego masing-masing dan membiasakan
diri untuk hidup apa adanya, bukan hidup apa-apa ada dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya.

Kita diminta sebanyak-banyaknya berzikir mengingat Allah agar hati menjadi tenang, damai, khusyu’,
dan itulah sesungguhnyapuncak kebahagiaan sejati manusia tatkala diri ini merasa begitu dekat
kepada Allah, selalu mengingat-Nya dalam setiap situasi dan akhirnya mampu berakhlak dengan
akhlak Allah (takhallaqu bi-akhlaaqillah) yang terrefleksikan dalam perilaku sehari-hari yang santun,
taat pada aturan dan berakhlak mulia dengan sesamanya. Ketenangan jiwa tersebut
sesungguhnyadapat dicapai melalui zikir sebagaimana firman-Nya:

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hari mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.

Berzikir untuk menyadari betapa kita ini kecil dan bukan apa-apa di depan kemahakuasaan Allah
Rabbul Izati. Menegaskan kembali akan keagungan-Nya seraya menyambut panggilannya untuk
berhaji Labbai Allahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wanni’mata laka
wal mulk laa syarika lak.Kita datang dari tempat yang jauh dari segenap penjuru, ribuan kilometer
kita tempuh dengan segala suka dan duka dan antrian panjang kita tunggui dengan penuh
kesabaran.Kini saatnya kita berada di puncak ibadah haji di sini. Sepantasnyalah kita jadikan hari ini
sebagai momentum untuk melakukan tranformasi diri menjadi orang yang lebih menghayati makna
ibadah yang kita lakukan, bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dan berjanji untuk
tidak melakukan kesalahan di masa yang akan datang.

Kita istighfar minta ampun kepada Allah dari segala khilaf dan dosa yang kita lakukan, sadar bahwa
selama menjalani hidup tak akan luput dari perbuatan salah dan dosa, sering abai terhadap aturan
dan lalai dalam beribadah kepadaNya. Hari Arafah inilah saat doakita didengar dan saat Allah
mengampuni dosa kita.
Rasul bersabda: Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari
Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat.
Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”

Suasana Arafah seperti sekarang ini juga sekaligus merupakan momentum terbaik bagi kita untuk
muhasabah introspeksi tentang siapa kita, apa yang kita lakukan dan ke mana akhirnya ujung dari
kehidupan ini. Al Quran menjawab pertanyaan ini melalui episode penciptaan yang merefleksikan
apresiasi luar biasa atas entitas ciptaan-Nya yang memiliki keunggulan dibanding dengan ciptaan
lainnya. Mari kita tengok episode penciptaan manusia yang digambarkan Al Quran surat Al Baqarah
ayat 30:

Artinya:Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat “Aku hendak menjadikan khalifah
bumi”. Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan mensucikan namaMu”.Dia
berfirman “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Dalam ayat berikutnya Allah memberikan penegasan tentang entitas manusia yang diciptakan
sebagai makhluk yang memiliki keunggulan, yang memiliki kemampuan mengidentifikasi objek
sekelilingnya dan bahkan melakukan penemuan atas hal-hal yang sebelumnya tak terketahui oleh
banyak orang. Inilah kemampuan ilmiah manusia yang menjadi pembeda dengan makhluk ciptaan
Allah yang lain. Namun demikian, di balik keunggulan itu ada kekuatan yang selalu membisik di
kanan kiri kita untuk melencengkan manusia dari jalan kebenaran. Ini adalah miniatur manusia yang
memiliki potensi untuk bertindak seperti hewan tak kenal belas kasihan melakukan kekerasan,
intimidasi, dan tindakan-tindakan radikal karena ada kekuatan syaithoniyah yang akan menyesatkan
manusia-manusia dari jalan yang benar.

Artinya: Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka
dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).

Manusia memang dijadikan sebagai makhluk terbaik, tetapi bisa saja diturunkan derajatnya
serendah-rendahnya jika kehilangan aspek kemanusiaan yang mulia.

Artinya: Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sbeaik-baiknya, kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serandah-rendahnya.

Mengapa demikian?Karena dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling berkompetisi, yaitu
aspek fujur dan aspek takwa.
Artinya: Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya.

Inilah konsep manusia sebagai makhluk bidimensional yang memberi ruang untuk mengubah jalan
sejarah dirinya menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah swt.

Wukuf di Arafah seperti ini hendaknya tidak sekedar berdiam di Padang Arafah. Namun seyogyanya
kita merenungakan makna yang dalam yang memberi isyarat tentang ajaran kemanusaian yang
berguna bagi hidup sehari-hari kita.

Pertama, kektika kita mulai mengenakan ihram dan diikat oleh sejumlah ketentuan dan larangannya,
maka hendaknya memberikan kesadaran bahwa dalam hidup ada saatnya kita memulai sebuah
transformasi secara sadar menuju keadaan yang lebih baik.Ketika kita mulai niat ihram kita
memasuki dunia baru mengorbit kedekatan pada Allah swt.Menghindari dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan memasuki suasana spiritual varu, berzikir memuji kebesaranNya, meminta ampun
segala dosa dan berharap ridla-Nya dan pada berharap diterima sebagai haji mabrur.Hidup ini
sesungguhny atak dapat lepas dari batasan ruang dan waktu miqat zamani dan miqat makani.Ketika
ada waktu-waktu tertentu kita diharuskan melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan.Dalam hidup
juga ada tempat yang wajib didatangi dan ada tempat-tempat yang harus dijauhi.Ada usaha untuk
melwan keadaan agar menjadi baik karena kehidupan dalam Islam bukanlah sebuah nihilisme yang
hanya mengikuti arus sejarah secara pasif.Allah memberikan kekuatan untuk memperoleh tempat
yang lebih baik.

Kedua, ketika kita tidak boleh menggunakan wewangian selama ihram mengisyaratkan agar tidak
terikat kepada hal-hal yang ornamental dalam hidup sehari-hari yang kadang dikejar hingga lupa diri.
Kita diminta untuk suatu saat menjadi diri kita sendiri tanpa ornament persis seperti kondisi kita
ketika dilahirkan dan kondisi kita ketika kembali kepadaNya. Dalam perspektif para muqarrabin
(orang-orang yang dekat pada Allah), ornamen kehidupan itu bahkan dapat membuat lupa diri dan
memalingkannya dan lalai untuk mengingat Allah.Kehidupan dunia acapkali memang penuh dengan
tipu daya.

Artinya: Kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdaya

Kadang kita menjadi terhenyak dan baru ingat akan Allah saat berada dalam kegalauan, berada
dalam keterpurukan, berada dalam kondisi pailit dan lain-lain.
Ketiga, ketika kita tidak diperbolehkan untuk membunuh binatang, mencabut dan mematahkan
tumbuhan, memberi isyarat kepadakita agar memiliki kesadaran terhadap ekologi dan ekosistem
agar dapat hidup dengan keseimbangan saling memberi dan menerima secara harmonis.Allah
memberikan anugerah alam seisinya dengan hukum-hukumnya (sunnatullah) yang tak pernah
berubah, yakni hukum kesimbangan ekologi dan ekosistem yang harus dijaga karena manusia telah
menyanggupi untuk mengemban amanah mengelola alam seisinya. Harus dilawan sikap merusak
ekosistem dan ekologi yang akan menciptakan kerusakan di darat dan lautan. Hutan yang digunduli
akan berakibat banjir, produksi karbondioksida akan menciptakan efek rumah kaca dan
mengakibatkan fenomena pemanasan global. Tepatlah apa yang digambarkan Al Quran ketika
menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut itu tersebab oleh ulah tangan manusia.

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbautan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).

Keempat, ketika kita dilarang memakai pakaian berjahit memberikan makna agar kita hidup secara
inklusif seperti pakaian yang dikenakan yang juga dipakai oleh banyak orang. Sikap ini sekaligus
penegasan akan spirit Islam yang menjunjung tinggi spirit egaliter, persamaan hak dan derajat dalam
kehidupan sehari-hari. Buang jauh-jauh kehendak untuk merasa dimiliki oleh banyak orang,
superiority complex dan menganggap sesamanya dengan sebelah mata. Nabi dan para sahabat telah
memberi contoh akan kehidupan yang penuh kesahajaan dan sangat kontras dengan penguasa
sebelumnya yang mementingkan hierarkhi dan membuat jarak yang tak terjembatani dengan
rakyatnya.

Kelima, ketika kita dilarang mencaci maki dan mengucapkan kata-kata kotor memberi pelajaran agar
kita dapat bersikap santun kepadasesama manusia tanpa melihat latar belakang kelompok sosial dan
agamanya. Surat Al Hujurat ayat 13 yang sering dikutip sebagai referensi untuk menjelaskan entitas
manusia dan nilai-nilai perdamaian dalam Islam menyatakan:

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa di antara kamu.Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ungkapan khitab ayat ini yang dinyatakan dengan kata-kata ‘yaa ayyuhan-naas’ memberi pengertian
Allah mengajak bicara manusia secara universal bahwa manusia diciptakan secara sosiologis menjadi
berbangsa dan bersuku-suku untuk tujuan saling mengenal satu dengan sesamanya.Bukan untuk
saling membunuh, bukan untuk saling konflik satu dengan lainnya, bukan untuk saling menghujat
satu dengan lainnya. Ini semua dicontohkan oleh Rasulullah saw saat menata kehidupan yang
bersifat konsolidasi internal pada periode Makkah hingga saat membuat negara Madinah yang
bersinggungan dengan pihak kelompok lain yang beda agama.
Pemahaman terhadap esensi nilai-niali ibadah haji di balik yang tersurat, akan menambah kualitas
diri khususnya setelah melaksanakan ibadah dan pulang ke Tanah Air. Oleh sebagian ulama hal ini
dipandang sebagai tanda-tanda haji mabrur. Hasan Basri seorang ulama sufi abad delapan pernah
menyatakan:

“Haji mabrur dapat dicapai jika pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat”
dan tanda-tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum
haji.Dengan demikian harus ada perbaikan kualitas diri menjadi lebih baik dibanding dengan
sebelum haji.

Ketika Eropa bersuara lantang karena telah melahirkan masa pencerahan (enlightment) di mana
manusia dianggap telah menemukan jati dirinya sebagai manusia dengan pemikiran kemanusiaan,
ketika acapkali Barat dianggap yang paling berjaya dalam urusan konsep kemanusiaan, ajaran
tentang haji yang direfleksikan dalam puncak ibadah di Arafah ini telah memancangkan tonggak bagi
kemanusiaan saat Nabi Khutbah Wada’ yang begitu menyentuh nilai-nilai kedamaian, menghargai
sesama dan menumbuhkembangkan spirit kebersamaan. Kata-kata nabi begitu menyentuh nilai-nilai
kemanusiaan, mengapresiasi persaudaraan dan perlindungan terhadap hak-hak orang lain.

Dhuyufurahman, yang dimuliakan Allah swt.

Hari Arafah seperti ini merupakan wahana training spiritual bagi kita semua yang seharusnya
berdampak pada peningkatan kualitas diri setelah selesai dan pulang ke Tanah Air.Inilah yang oleh
ulama dikatakan sebagai indikasi haji yang mabrur saat kembali dari Tanah Suci kelakuannya menjadi
lebih baik dibanding masa sebelum haji.

Saat di Arafah juga mengajarkan pada kita agar terbiasa untuk menghadirkan Allah dalam diri kita
masing-masing. Ketika di sini kita seakan lupa segalanya dan Allah hadir begitu dekat hendaknya
akan terbawa pulang sebagai hamba yang mampu menghadirkan Allah dalam sikap dan perbuatan.
Merasa selalu dekat denganNya sehingga mampu menjadi alat kontrol terhadap perbuatannya.Nabi
mengingatkan kita melalui ajaran Ihsan yang merupakan tindak lanjut dari keimanan dan keislaman
kita. Dengan kata lain, jika ingin kita dapat selalu istiqamah konsisten dalam sikap dan perilaku maka
selain iman dan Islam dirasa perlu untuk melengkapinya dengan Ihsan. Ajaran Ihsan ini menjadikan
diri ini merasa hidup dalam orbit Ilahi sehingga ke mana saja dan di mana saja serta dalam keadaaan
apa saja selalu ingat Allah. Dia akan menjadi pengawas melekat pada diri sehingga mendorong untuk
selalu berperilaku positif di mana saja, taat aturan meski tak ada polisi.

Suasana Arafah akan melahirkan cara beragama yang tidak berisi aneka fragman hidup tetapi
melatih kita untuk berenang dalam samudra ilahi hidup serba ingat Tuhan. Dengan ungkapan
lainmemberi penegasan agar masuk ke dalam Islam secara total.
Artinya: Hari orang-orang yang beriman, masuklah kami ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah Syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al
Baqarah 108)

Sebagai akhir dari khutbah ini saya ingin menegaskan bahwa pada saat dan waktu yang hening dan
sakral ini, kita hendaknya dapat muhasabah, untuk senantiasa meningatkan ketakwaan, menyadari
tanggung jawab kemanusiaan kita, menghormati antar sesama, menjaga harmoni dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan senantiasa menyadari hak dan kewajiban kita, baik sebagai
pemimpin maupun rakyat biasa. Revolusi mental untuk meneguhkan komitmen kebajikan antar
sesama tanpa caci maki dan saling hina. Kita berharap agar rahmat, ridha dan ampunan Allah Swt
tercurah kepada kita semua, kepada warga bangsa, kepada para pemimpin kita, dan seluruh kaum
muslimin sedunia. Mudah-mudahan kita dikaruniai haji yang mabrur, kembali ke Tanah Air dalam
keadaan bersih dan suci bagaikan anak yang baru lahir.

Anda mungkin juga menyukai